DEFINISI TARBIYAH
• Etimologis : Tarbiyah berasal dari kata ربي – يربي – تربيةyang berarti :
- Penambahan atau peningkatan ( ) الزيادة
- Pertumbuhan dan perkembangan ( ) النشئ والترعرع
- Perbaikan/pengaturan/pengurusan/pemeliharaan ( )الصالحا والقيام على شئ والتدبر والرعاية
• Therminologis :
Definisi Umum:
1. Menumbuhkan sesuatu dari satu kondisi ke kondisi lain sampai kepada kesempurnaan
(Ar Raghib Al Ashfahani dalam Mufradatnya)
2. Menyampaikan atau mengantarkan sesuatu pada kesempurnaan selangkah demi
selangkah (Imam Al Baydhowy dalam Kitab Anwaarut Tanzil)
Definisi Khusus:
Tarbiyah Islamiyah :
adalah satu sistim pembinaan ke Islaman yang syamil, terpadu dan berkesinambungan
yang bertujuan membentuk pribadi muslim yang memiliki sifat-sifat yang unik (Al
Mutamayyizah) yaitu: Mu’min,Mushlih,Mujahid,Muta’awin dan Mutqin ( 5 M )
Penjelasan 5 M :
• Mu’min :
o Paham Islam dengan manhaj yang shahih
o Beriman dan bertauhid (terbebas dari kufur dan syirik)
o Komitmen pada syariat Islam
o Tekun beribadah sesuai sunnah (memiliki ruhiyah yang hidup)
o Memiliki akhlak yang terpuji
o Mengamalkan adab-adab Islamy
• Mushlih:
o Menjadi dai/murobbi
o Mampu menjadi agen perubah (min anashir at taghyir) di wilayahnya (tempat tinggal
dan pekerjaannya)
o Mampu menyelesaikan problema-problema masyarakatnya.
• Mujahid:
o Memiliki kesadaran untuk berjuang
o Bersungguh-sungguh (maksimal)
o Sabar menghadapi kendala-kendala/tantangan perjuangan
o Rela berkorban
• Muta’awin :
o Iltizam (komitmen) dengan jama’ah (terikat dan terlibat)
o Memiliki kesadaran berjuang dengan berjamaah (bertandzim)
o Siap memimpin dan dipimpin
o Mudah ta’awun dengan sesama pejuang dan tidak mudah konflik
• Mutqin (Profesional)
o Berjuang dengan memberikan dan menyalurkan potensi dan keahlian (kafa-ah) yang
dianugerahkan oleh Allah kepadanya.
o Tekun, teliti, cermat, amanah dan tuntas dalam bekerja
o Mengetahui betul pos perjuangannya
3. Tarbiyah Badaniyyah/Jasadiyyah
• Amal jama’i
• Riyadhah
• Rihlah
• Muhibbah
Setidaknya ada dua alasan mengapa tarbiyah Islamiyah menjadi hal yang sangat
penting. Pertama, ditinjau dari aspek internal ajaran Islam, dan kedua, ditinjau dari
aspek individu umat Islam.
Metode ini kami anggap paling tepat (atau bahkan baku) sebab, ketika Nabi Ibrahim AS
berdoa kepada Allah: “Ya Tuhan kami, utuslah untuk mereka (anak cucu kami) seorang
rasul dari kalangan mereka, yang membacakan kepada mereka ayat-ayat Engkau, dan
mengajarkan kepada mereka Al Kitab dan Al Hikmah, serta mensucikan mereka.
Sesungguhnya Engkaulah yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana” (2:129), Allah
menjawabnya dengan; “Sebagaimana Kami telah mengutus kepadamu Rasul diantara
kamu yang membacakan ayat-ayat kami kepadamu, mensucikan kamu, dan mengajarkan
kepadamu Al Kitab dan Al Hikmah, serta mengajarkan kepadamu apa-apa yang belum
kamu ketahui” (2:151). Pada do’a Nabi Ibrahim ta’limul kitab wal hikmah mendahului
tazkiyyah dan pada jawaban Allah tazkiyyah mendahului ta’limul kitab wal hikmah.
Metode ini terbukti mampu mencabut akar-akar kejahiliyahan dari dada ummat dan
kemudian menjadikannya sebagai ummat yang terbaik.
Setelah jahiliyyah berhasil ditumbangkan pada masa rasul, ada yang beranggapan
bahwa jahiliyyah tidah akan pernah muncul lagi. Seolah-olah, menurut mereka,
jahiliyyah merupakan salah satu fase sejarah yang telah lampau dan tidak akan terulang
lagi.
Salah bukti adanya anggapan (pandangan) ini adalah adagium yang dikembangkan oleh
Dunlop, yang menyatakan: “Orang-orang Arab pada masa jahiliah suka menyembah
patung dan berhala, menguburkan anak perempuan hidup-hidup, suka minum khamr dan
main judi, suka merampok dan menodong. Lalu datanglah Islam untuk melarang semua
itu.”
Apa yang salah dari ungkapan di atas? Selintas ungkapan itu benar adanya. Islam
diturunkan untuk menghancurkan kejahiliahan. Tetapi kalau dicermati secara lebih
teliti, ungkapan yang dimuat dalam planning pendeta yang datang ke Mesir pada masa
pendudukan Inggris itu, mengandung maksud untuk menggambarkan bahwa misi Islam
telah selesai dan tak ada lagi peranan yang bisa dilakukan oleh Islam untuk kaum
muslimin dan umat manusia lainnya.
Kalau sekarang umat menengok ke sekelilingnya, mereka tidak akan menemukan patung-
patung sebagaimana yang disembah oleh orang Arab Jahiliah. Mereka juga tidak akan
mendapati orang yang menguburkan anak perempuannya hidup-hidup. Lebih dari itu,
mereka juga akan kesulitan untuk menemukan peminum khamr, pemain judi, dan
perampok dalam bentuk tradisionalnya. Dengan hilangnya atribut-atribut kejahiliyyahan
tersebut, apa lagi peran yang dapat dimainkan oleh Islam?
Demikianlah, dalam benak mereka, seolah Islam telah kehilangan misinya dan tak
mungkin lagi melakukan peran baru. Sebab jahiliah, menurut mereka, telah berlalu
dengan dibawanya Islam oleh Muhammad saw, sehingga sekarang ini tidak ada lagi
jahiliah.
Benar, kalau kita melihat tampilan luarnya saja. Penyembahan patung-patung tidak ada
lagi, anak-anak perempuan tidak lagi dikubur hidup-hidup, bahkan anak-anak perempuan
diperjuangkan persamaan haknya. Tetapi kalau kita lihat tampilan dalam
(hakikat/substansi) jahiliah itu, niscaya kita akan menjumpai bahwa kejahiliyahan pada
zaman modern ini telah tampil dengan kuantitas dan kualitas yang jauh melebihi
kejahiliahan Arab sebelum Islam.
Untuk mengenali ada tidaknya jahiliyyah pada sebuah masyarakat, kita tidak dapat
hanya mengandalkan pada penilaian tampilan-tampilan luarnya saja. Untuk mendapatkan
hasil yang akurat, penilaian harus dilakukan dengan membandingkan antara kondisi
sebuah masyarakat dengan ciri-ciri khusus yang melekat pada masyarakat jahiliyyah.
Ciri-ciri tersebut adalah; jahl (kebodohan), dzillah (kehinaan), faqr (kefakiran), dan
tanafur (perpecahan).
Menurut istilah Al Quran, jahl mengandung makna tidak mengetahui hakikat Tuhan,
menyangkut jiwa dan perilaku, dan tidak mengikuti apa yang diturunkan Allah. Beberapa
contoh dari Al Quran, misalnya pada Al A’raf ayat 138, “Dan Kami seberangkan Bani
Israil ke seberang lautan itu, maka setelah mereka sampai ke suatu kaum yang tetap
menyembah berhala mereka, Bani Israil berkata: ‘Hai Musa, buatlah untuk kami sebuah
tuhan (berhala) sebagaimana mereka mereka mempunyai beberapa tuhan (berhala).’
Musa menjawab: ‘Sesungguhnya kamu ini adalah kaum yang jahil.’” Yang dimaksud jahil
di sini adalah tidak mengetahui hakikat Tuhan sehingga mendorong mereka menyuruh
Musa membuat Tuhan berupa patung yang bisa disentuh dan dilihat untuk mereka
sembah. Seandainya mereka tahu bahwa Allah Yang Maha Mencipta tak ada yang
serupa dengan-Nya dan tak bisa dilihat dengan mata, niscaya mereka tak akan
menuntut itu dari Musa.
“Mereka meyangka yang tidak benar terhadap Allah seperti sangkaan jahiliah. Mereka
berkata: ‘Apakah ada bagi kita barang sesuatu (hak campur tangan) dalam urusan ini.”
(QS 3:154) Orang jahiliah menduga bahwa seseorang bisa campur tangan bersama
Allah menentukan suatu permasalahan. Sementara itu mereka tidak tahu bahwa hanya
Allah saja yang mengatur segala sesuatu tanpa ada sekutu dan segala sesuatu itu hanya
terjadi atas kehendakNya. Kejahilan mereka adalah pada sifat Allah yang mempunyai
kewenangan mutlak.
“Yusuf berkata:’Wahai Tuhanku, penjara lebih aku sukai dari pada memenuhi ajakan
mereka kepadaku. Dan jika tidak Engkau hindarkan dari padaku tipu daya mereka, tentu
aku akan cenderung untuk (memenuhi keinginan mereka) dan tentulah aku termasuk
orang-orang yang jahil.’” (Yusuf: 33). Jahil yang ditakuti Yusuf adalah perbuatan yang
menyalahi perintah Allah dan yang diharamkannya.
Pada zaman modern ini betapa banyaknya orang yang menyembah tuhan lain untuk hal-
hal “di luar agama”. Dan betapa banyaknya pula orang yang terjerumus dalam perbuatan
yang Nabi Yusuf as berlindung kepada Allah untuk tidak melakukannya. Ini adalah
sebagian bukti, bahwa orang-orang yang hidup pada zaman modern ini, juga masih
mengidap penyakit “jahl”.
Di samping itu, untuk membuktikan bahwa karakteristik jahiliyyah yang lain –dzillah,
faqr, dan tanafur- juga melekat sangat erat pada masyarakat di zaman modern ini, juga
tidak terlalu sulit. Oleh karena itu, tidaklah berlebihan jika Muhammad Qutb
menyebutnya sebagai jahiliyyah abad 20.
Itulah pandangan yang benar tentang jahiliyyah.
Jahiliah tidak terbatas pada penyembahan patung, mengubur anak perempuan hidup-
hidup, minum khamr, main judi atau melakukan perampokan. Semua itu hanya tampilan
luar dari Jahiliah di Arab sebelum kedatangan Islam. Adapun jahiliah itu adalah suatu
esensi yang darinya muncul tampilan luar tadi. Mungkin saja tampilannya berbeda
menurut tempat dan waktu, sebagaimana tercatat dalam sejarah. Jahiliah bisa terulang
kapan saja dan di mana saja, bila ada unsur dan sarana yang mendukungnya. Namun
esensinya tetap sama, yaitu sama-sama tidak mengetahui hakikat Tuhan dan tidak
mengikuti apa yang diurunkan Allah.
Dan esensi itu, sekarang ini melanda mayoritas manusia penghuni bumi. Artinya,
kejahiliahan adalah sesuatu yang nyata pada hari ini yang menunggu kembalinya Islam
untuk berperan. Mengembalikan umat manusia dari kejahiliahan, dari kesesatan
(dhalalun mubin). “Sesungguhnya Allah telah memberi karunia kepada orang-orang yang
beriman ketika Allah mengutus di antara mereka seorang Rasul dari golongan mereka
sendiri, yang membacakan kepada mereka ayat-ayat Allah, membersihkan (jiwa)
mereka, dan mengajarkan kepada mereka Al Kitab dan Al Hikmah. Dan sesungguhnya
sebelum kedatangan nabi itu, mereka adalah benar-benar dalam kesesatan yang nyata.”
Ali Imron : 164
Orang jahiliyah benar-benar sesat. Persis seperti orang yang terus-menerus berputar
di dalam kota mencari jalan ke luar kota, tetapi ia tidak mendapatkannya. Ia telah
kehilangan kompas dan petanya. Meskipun ia telah seharian mencari jalan keluar, tetap
tak menemukannya.
Hanya dengan proses tarbiyah seperti itulah kita akan memperoleh nikmat yang
mengantarkan kita menuju khairu ummah “Kamu adalah sebaik-baik ummah yang
dikeluarkan untuk manusia. Kamu menyuruh berbuat kebaikan, melarang berbuat
kemungkaran dan kamu beriman kepada Allah.” (Ali ‘Imran: 110) yang memiliki ciri-ciri;
ilmu (pengetahuan/pemahaman), ‘izzah (terhormat), ghina (kekayaan), ukhuwah
(persaudaraan).
B. Aspek individu
Dilihat dari sudut individu, manusia membutuhkan tarbiyah islamiyah karena dua hal; 1)
hakikat setiap jiwa manusia membutuhkan pembinaan 2) realitas ummat dewasa ini yang
terserang virus ghutsai.
Oleh karena itu, kereta jiwa ini harus dikendalikan oleh kusir yang selalu memegang
kendali kuda-kuda liar indera. Ia akan menundukkan pandangan manakala kuda
penglihatan menarik kereta jiwa ke jalan mengumbar mata. Ia akan menutup telinga
ketika kuda pendengaran mengajaknya mendengarkan perkataan yang mengotori
jiwanya. Ia akan menghentikan langkahnya, ketika nafsu berusaha memerosokkan ke
jurang dosa. Ia akan mengendalikan semuanya.
Namun itu bukan perkara mudah. Bahkan sang kusir kadang tidak mampu berbuat
banyak, ketika kuda-kuda ini menariknya secara liar. Agar sang kusir ini mampu
mengendalikan kudanya, ia harus dilatih dan dididik. Ia harus ditarbiyah.
Seperti disabdakan oleh Rasulullah SAW dalam haditsnya; “Ketahuilah di dalam jasad
manusia terdapat segumpal daging, jika ia baik maka baiklah seluruh jasadnya, tetapi
jika rusak maka rusaklah seluruh jasadnya. Ketahuilah ia adalah hati.”
Melihat manusia, dikaitkan dengan hadits Rasul di atas, sebaiknya dimulai dari hatinya.
Sebenarnya ia adalah makhluq spiritual (ruhani) yang mempunyai pengalaman manusia,
dan bukan manusia yang mempunyai pengalaman spiritual. Kalau mau meluruskan arah
hidupnya, maka luruskanlah dulu hati dan jiwanya, rahkan ruhaninya, bimbinglah jiwanya,
kuatkanlah hatinya. Niscaya perjalanannya akan senantiasa benar. Agar kereta berjalan
di jalan yang semestinya, dan tidak masuk ke dalam jurang, latihlah dan didiklah dulu
kusirnya. Bimbinglah ia sampai mahir mengendalikan kuda.
Aspek social, “orang-orang Eropa telah bekerja keras untuk menenggelamkan seluruh
negeri Islam yang mereka kuasai dengan gelombang kehidupan materialis dengan gaya
hidup rusak dan virus-virus yang mematikan. Mereka menjerumuskan negeri-negeri
Islam itu ke dalam nasib buruk di bawah kekuasaannya. Disamping itu, Eropa berambisi
kuat untuk memonopoli berbagai unsur kebaikan dan kekuatan ilmu pengetahuan,
industri, dan system yang bermanfaat. Mereka telah membuat rencana dan
melaksanakan langkah-langkah perang jenis ini secara sempurna dengan dukungan
kelicikan politik dan kekuasaan militer hingga tercapailah apa yang mereka inginkan.”
“Gelobang itu menyebar secepat kilat sampai ke tempat-tempat yang belum terjamah
sebelumnya dan menyentuh jiwa seluruh lapisan masyarakat. Musuh-musuh Islam telah
berhasil menipu kaum intelektual muslim. Mereka letakkan tabir yang menutupi mata
orang lain agar tidak bisa melihat mereka yang sebenarnya, dengan cara mengambarkan
Islam dengan gambaran terbatas pada masalah-masalah aqidah, ibadah dan akhlaq, di
samping spiritual, mistik, khurafat, dan berbagai fenomena keagamaan yang kering tak
jelas sumbernya. Tipu daya ini ditopang dengan kebodohan kaum Muslimin terhadap
agama mereka sehinga banyak di antara mereka yang merasa senang, tenteram, dan
puas dengan persepsi tersebut. Persepsi tersebut melekat amat lama pada diri mereka
hingga sulit memahamkan salah seorang di antara bahwa Islam adalah sebuah system
social sempurna yang mencakup semua aspek kehidupannya.”
Hasil perpaduan “yang serasi” antara kebodohan ummat Islam dan tipu daya musuhnya
adalah krisis ekonomi, krisis politik (hegemoni dan diktatorisme), krisis jati diri,
pemikiran dan referensi, seperti yang kita saksikan pada hari-hari ini.
Untuk dapat keluar dari krisis multidimensional ini, diperlukan suatu kerja keras dan
cerdas yang dibingkai dalam wadah amal jamai (kerja sama). Dan amal jamai tidak akan
wujud kecuali apabila diawali dengan proses tarbiyah islamiyah para pendukungnya.
“Akan datang suatu masa di mana umat-umat lain akan memperebutkan kalian, sama
seperti anjing-anjing yang memperebutkan makanan” demikian rasul pernah bersabda
kepada para sahabatnya. Salah seorang sahabat bertanya, “Apakah karena jumlah kita
sedikit ketika itu?” Rasulullah menjawab, “(Tidak) bahkan ketika itu sangat banyak,
tetapi kalian itu bagai buih yang mengapung di atas arus air. Sungguh Allah akan
mencabut dari dada musuh kalian rasa takut terhadap kalian, dan sungguh Allah akan
menanamkan wahn dalam hati kalian.” Salah seorang bertanya, “Apakah wahn itu wahai
Rasulullah”? Rasululllah menjawb, “Cinta dunia dan takut mati.”
Penjelasan rasul ini menggambarkan secara gamblang bahwa sebab kelemahan dan
kehinaan suatu kaum adalah kelemahan hati dan jiwa. Hati mereka kosong dari karakter
luhur dan mulia, sekalipun jumlah mereka banyak dan secara materi mereka melimpah.
Itulah “virus” mematikan, yang lazim disebut virus buih (ghutsai). Virus ini membuat
ummat islam menjadi ringan timbangannya, sehingga menjadikannya tidak punya arus.
Virus ghutsai menyebabkan kaum muslimin menjadi santapan yang nikmat bagi para
taghut (musuh-musuh Allah SWT). Penyebab timbulnya virus ghutsai ini adalah
kecintaan kaum muslimin kepada dunia sekaligus membenci kematian.
Sesungguhnya suatu ummat yang telah terbuai dalam kenikmatan, terbuai oleh
kemewahan, tenggelam dalam kemilau harta, tertipu pesona dunia, dan lupa kepada
kemungkinan menghadapi tragedy dan kekerasan, serta perjuangan menegakkan
kebenaran; kepada umat seperti itu, tinggal dikatakan kepada mereka, “Selamat jalan
untuk kehormatan dan cita-cita.”
Berlarutnya krisis yang merundungi negeri ini merupakan contoh yang terlalu jelas
untuk dilewatkan. Kita tidak perlu melihat secara detail bagaimana rakyat banyak telah
terjangkiti penyakit jiwa ini. Cukuplah kita perhatikan bagaimana para pembesar negeri.
Jangankan berkorban untuk mengangkat umat dan bangsa dari kehinaan, para pembesar
itu justru mengeruk kekayaan rakyat dan memasukkan ke pundi-pundi kekayaan pribadi
dan golongannya. Kekuasaan yang ada pada mereka tidak dipergunakan untuk melanyani
umat, justru mereka memposisikan diri sebagai yang harus dilayani. Jiwa pengorbanan
merosot ke titik nadir, dan memunculkan jiwa mencari korban.
Perilaku para pemimpin ini dituruti oleh generasi yang lebih muda. Mereka menjadi
generasi yang kehilangan semangat juang dan berkorban untuk mengemban misi mulai
kehidupan. Sementara itu mereka terlena oleh kenikmatan remeh-temeh, kesenangan
sesaat. Mereka menjadi generasi hasil didikan generasi pendahulunya, sehingga hasilnya
setali tiga uang, tidak terlalu jauh berbeda dengan seniornya.
Sekedar contoh, lihat apa yang terjadi. Dalam tiga tahun, pengguna narkoba di Jakarta
mengalami peningkatan luar biasa, 400 persen. Tercatat, tahun 1996 ada 1.729
pengguna narkoba dan pada tahun 1999 naik menjadi 8.823 orang. Remaja di Jakarta
dalam sehari membelanjakan uangnya sekitar Rp1,3 milyar hanya untuk membeli
ekstasi, shabu-shabu, narkotika, dan obat-obatan terlarang lainnya.
Sebanyak 200 sekolah dari 600 SLTA di Jakarta telah masuk daftar hitam
penyalahgunaan narkoba selama tahun 2000. Selain itu sebanyak 181 sekolah dari 600
SLTP juga tercantum dalam daftar hitam tersebut. Sekitar 1.200 pelajar SLTA
tercatat kecanduan. Tidak kurang dari 1.100 pelajar SLTP terjerat kasus
penyalahgunaan narkoba
Bercermin dari kondisi di atas, wajar memang kalau kemudian umat ini menjadi umat
yang mempunyai hati yang lembek, loyo dan tidak berbobot. Maka menjadi semakin
banyak bukti dari prediksi Rasulullah di atas.
Itu baru sekedar dilihat dari sisi moral. Kalau saja kita mau melihat secara lebih luas
dan detail, niscaya kita akan semakin mengerti mengapa umat ini menjadi seperti buih
yang tidak mampu membuat arus dan terjebak dalam krisis multi dimensional. Sisi
ekonomi, perundangan, teknologi, pendidikan adalah bagian lain letak kelemahan umat,
yang semakin menambah ketidakmampuannya membuat arus peradaban dunia.
Untuk menterapi virus tersebut, kita membutuhkan terapi yang disebut tarbiyah.
Dengan proses tarbiyah, insya Allah akan menambah berat timbangan dan membuat
arus, sehingga kita mampu menghancurkan taghut.
Solusi Islam
Semua alasan tersebut menjadikan tarbiyah menjadi penting dan urgen. Kegagalan
pendidikan (sekolah) dalam mencetak kader-kader umat dan bangsa, membuat kita
bertanya. Apa yang salah dengan system pendidikan kita?
Pendidikan telah mengalami penyempitan makna sekadar menjadi pengajaran dan
pelatihan. Pembinaan, tarbiyah, pendidikan tidak identik dengan pengajaran dan
pelatihan. Pelatihan itu berurusan dengan praktik, dengan belajar melakukan.
Pengajaran lebih kepada transfer pengetahuan atau proses mengembangkan potensi
intelektualitas. Sementara pendidikan, pembinaan dan tarbiyah adalah proses untuk
menemukan dan kemudian mengaktualisasi segenap potensi diri manusia. Pembentukan
karakter-karakter mulia manusia seperti integritas, tekad kuat, jujur, kerendahan
hati, kesetiaan, keadilan, kesabaran, kesungguhan, lapang dada dan karakter mulia tidak
lainnya mungkin dilakukan dengan pengajaran, ia hanya bisa dilakukan dengan
pembinaan, pendidikan dan dilatih.
Yang terlupakan oleh metode pendidikan dewasa ini adalah bahwa manusia tidak saja
mempunyai fisik dan pikiran, tetapi juga mempunyai hati. Ini yang jarang atau bahkan
tidak pernah disentuh dalam dunia pendidikan. Bahkan barangkali dipandang tidak ada
hubungan antara fisik dan akal dengan hati. Bukankah ini cara memandang manusia
secara keliru?
Dibutuhkan suatu pendekatan yang komprehensif dalam mendidik umat. Hal terpenting
yang harus menjadi perhatian pertama dalam mendidik umat adalah mengupayakan
kebangkitan spiritual, kebangkitan ruhani, kehidupan hati, kebangkitan hakiki manusia
dan perasaannya. Tidak cukup menjejali manusia dengan pengetahuan. Ia hanya akan
menjadi orang yang tahu, punya pengetahuan. Tetapi kemauan seseorang untuk
merealisasi pengetahuan menjadi karakter dan akhlaq diri tidak diperoleh dari
pengajaran. Diperlukan wadah dan hati yang kuat dalam diri manusia yang akan diisi
pengetahuan, agar bisa mendorongnya menjadi manusia yang mempunyai karakter luhur
dan mulia.
Penting untuk menengok kepada Guru Besar Kehidupan, Rasulullah saw, bagaimana
beliau mampu mendidik dan membina generasi terbaik umat manusia yang pernah
dilahirkan di muka bumi ini. Yang kemudian dari mereka nantinya dua imperium adidaya
kala itu, Romawi dan Persi, bisa ditundukkan. Yang kemudian dari generasi ini
memunculkan generasi yang memperbarui peradaban dunia. Memuliakan kemanusiaan
manusia dan mengeluarkan dari kebinatangan manusia. Membebaskan manusia dari
belenggu ikatan materi menuju ikatan ketauhidan.
Penting untuk disimak apa yang dilakukan oleh Rasulullah dalam membina dan
mentarbiyah para sahabatnya, yaitu bahwa Rasulullah membina dan mempersiapkan
para sahabatnya dengan pembinaan yang menyentuh seluruh aspek kehidupannya:
ruhani, jasmani dan fikiran. Dan untuk membina kekuatan ruhani, kekokohan jiwa,
pancaran spiritual, sampai-sampai dibutuhkan waktu paling tidak 13 tahun. Sebelum
akhirnya Rasul mengajarkan aspek-aspek lain dari kehidupan ini. Dilihat dari sudut
pandang seperti ini, bukankah apa yang dilakukan oleh kebanyakan orang saat ini dalam
mendidik umat menjadi terbalik?
Para pengikut Rasulullah dibentuk dan diproses melalui Tarbiyah Islamiyah yang
merealisasikan ‘ubudiyahnya hanya kepada Allah saja; ‘ubudiyah yang meliputi i’tiqad,
ibadah dan aturan yang benar-benar diterapkan dalam segala aktivitas hidup mereka.
Proses ‘ubudiyah seperti ini akan membersihkan jiwa, hati, dan spiritualitas mereka
dari beriman kepada selain Allah dan meluruskan aktivitas mereka dari orientasi yang
lain daripada Allah semata-mata.
Mengikuti apa yang pernah dilakukan oleh Rasul, kebangkitan kembali umat ini
memerlukan tarbiyah islamiyah. Model pembinaan yang komprehensif untuk
membangkitkan umat dari keterpurukannya. Tarbiyah berasal dari bahasa Arab yang
mengandung arti kurang lebih penjagaan, pengasuhan dan pendidikan. Tarbiyah
Islamiyah adalah penjagaan, pengasuhan dan pendidikan berasaskan Al-Quran dan
sunnah Rasulullah SAW. Sumber-sumber ini adalah sumber-sumber rabbani. Dengan
sumber inilah generasi sahabat dididik oleh Rasulullah SAW sehingga melahirkan
generasi rabbani yang mendapat julukan dan pujian dari Allah: “Kamu adalah sebaik-
baik ummah yang dikeluarkan untuk manusia. Kamu menyuruh berbuat kebaikan,
melarang berbuat kemungkaran dan kamu beriman kepada Allah.” (Ali ‘Imran: 110)
Tarbiyah ingin mewujudkan kondisi yang kondusif bagi manusia untuk dapat hidup di
dunia secara lurus dan baik, serta hidup di akhirat dengan naungan ridho dan pahala
Allah swt. Tarbiyah membentuk pribadi muslim yang mempunyai karakteristik:
mempunyai aqidah yang lurus, ibadahnya benar, akhlak terpuji, fikiran yang kaya dengan
ilmu, tubuh yang kuat, mampu berusaha untuk mencari rizki, mampu mengendalikan
hawa nafsu dan mau melakukan mujahadah pada dirinya, memiliki waktu dengan teratur,
urusan dan pekerjaannya ditata dan diatur dengan disiplin, dan bermanfaat bagi orang
lain.
Tarbiyah adalah proses penyiapan manusia yang shalih, agar tercipta suatu
keseimbangan dalam potensi, tujuan, ucapan, dan tindakannya secara keseluruhan.
Keseimbangan potensi artinya kemunculan suatu potensi tidak boleh memandulkan
potensi yang lain atau untuk memunculkan potensi yang satu dimandulkan potensi yang
lain. Juga keseimbangan antara potensi ruhani, jasmani, dan akal pikiran; keseimbangan
antara keruhanian manusia dan kejasmaniannya.
Tarbiyah islamiyah merupakan cara ideal berinteraksi dengan fitrah manusia, baik
secara langsung (dengan kata-kata) atau tidak langsung (berupa keteladanan dan sarana
yang lain), untuk memproses perubahan dalam diri manusia menjuju kondisi yang lebih
baik. Secara global tarbiyah islamiyah bertujuan membangun kepribadian Islam yang
integral dalam segala sisi-sisinya, khususnya dalam sisi aqidah, ibadah, ilmu
pengetahuan, budaya, akhlaq, perilaku, pergerakan, keoganisasian dan manajerial,
sehingga seluruh kegiatan tarbiyah akan mengembangkan potensi ruhani, jasmani dan
akal pikiran manusia.
Coba cermati firman Allah yang menciptakan manusia beserta segala kehidupannya, di
surat Ali Imran 164: “Sungguh Allah telah memberi karunia kepada orang-orang yang
beriman ketika Allah mengutus di antara mereka seorang rasul dari golongan mereka
sendiri, yang membacakan kepada mereka ayat-ayat Allah, membersihkan (jiwa)
mereka, dan mengajarkan kepada mereka Al Kitab dan Al Hikmah. Dan sesungguhnya
sebelum (kedatangan Nabi) itu, mereka adalah benar-benar dalam kesesatan yang
nyata.” Senada dengan ayat tersebut adalah surat Al Baqarah ayat 151: “Sebagaimana
(Kami telah menyempurnakan nikmat Kami kepadamu) Kami telah mengutus kepadamu
Rasul di antara kamu yang membacakan ayat-ayat Kami kepada kamu dan mensucikan
kamu dan mengajarkan kepadamu Al Kitab dan Al Hikmah (As Sunnah), serta
mengajarkan kepada kamu apa yang belum kamu ketahui.” Atau ayat 2 surat Al Jumuah:
“Dialah yang mengutus kepada kaum yang buta huruf seorang Rasul diantara mereka,
yang membacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, mensucikan mereka dan mengajarkan
kepada mereka Kitab dan Hikmah (As Sunnah). Dan sesungguhnya mereka sebelumnya
benar-benar dalam kesesatan yang yang nyata.”
Banyak sisi yang bisa dilihat dari membaca ayat-ayat di atas. Dari sisi tarbiyah
islamiyah kita bisa mengambil makna bahwa sebelumnya kaum mukmin ini benar-benar
tersesat. Mereka menuhankan batu-batu yang dianggapnya bisa memberikan kebaikan
dan mencegah keburukan dari mereka. Gaya hidup hedonisme orang Arab jahiliyah yang
berkecenderungan kepada materialisme duniawi, tergambar dalam salah satu syair
Tarafah pra Islam:
Cari aku di kumpulan orang-orang, kau akan menemukan aku di sana
Buru aku di kedai minuman, kau akan menangkapku di sana
Datangi aku di pagi hari, akan kuberi kau secangkir penuh anggur. Bila kau menolak,
tolaklah sesukamu dan jadilah penghibur yang baik.
Syair di atas menunjukkan kebiasaan minum orang Arab jahiliyah yang merupakan
sumber kenikmatan. Kira-kira tidak berbeda dengan kebiasaan banyak orang jahiliyah
masa kini.
Kemudian diutuslah Rasul untuk membacakan ayat-ayat Allah, mensucikan jiwa mereka,
dan mengajarkan Al Kitab dan Al Hikmah (As Sunnah), serta mengajarkan apa yang
belum diketahui. Diutuslah Rasulullah untuk mentarbiyah, mendidik dan membina
masyarakat arab jahiliyah. Mensucikan jiwa mereka, mengisi hati mereka, menguatkan
ruhani, mengajarkan kepada mereka ayat-ayat Allah, memutuskan ikatan-ikatan duniawi
kemudian mengikatkan kepada ikatan aqidah. Menumbuhkan perasaan takut kepada
Tuhannya, perasaan rendah di hadapan Tuhan, hidup dengan ketinggian akhlaq.
Dengan proses seperti inilah generasi terbaik umat ini dilahirkan. Melalui proses ini
lahirlah ummat yang akan menjadi dasar penyelesaian problematika kemanusiaan secara
keseluruhan. Masalah manusia hari ini tidak akan dapat diurai dan dipecahkan kecuali
kembali kepada Islam. Dan Islam tidak akan dapat memainkan perannya kecuali jika
terdapat pendukung yang komitmen terhadapnya. Pendukung yang komit terhadap
Islam tidak akan dapat diwujudkan kecuali dengan pembinaan, dengan tarbiyah
islamiyah.
Model Tarbiah
Pengertian tarbiah Islamiyah, sebagaimana telah disinggung di muka, adalah cara ideal
dalam berinteraksi dengan fitrah manusia, baik secara langsung (kata-kata) maupun
secara tidak langsung (keteladanan dan sarana lain), untuk memproses perubahan dalam
diri manusia menuju kondisi yang lebih baik. Secara global tarbiah Islamiah bertujuan
membangun kepribadian Islam yang integral dari segala sisinya, khususnya sisi aqidah,
ibadah, ilmu pengetahuan, budaya, akhlaq, perlilaku, pergerakan, keorganisasian dan
manajerial, sehingga seluruh kegiatan tarbiah akan mengembangkan potensi ruhani,
jasmani, dan akal manusia. Tujuan akhir tarbiah adalah menyiapkan seseorang untuk
dapat mengemban tanggung jawab da’wah dan menghadapi rintangan dalam da’wah.
Sasaran tarbiah
Sasaran tarbiah untuk tingkat individu mencakup sepuluh point yaitu; salimul aqidah,
setiap individu dituntut untuk memiliki kelurusan aqidah yang hanya dapat diperoleh
melalui pemahaman terhadap Al Quran dan As-Sunnah
Shahihul ibadah, setiap individu dituntut untuk beribadah sesuai dengan petunjuk yang
disyariatkan kepada Rasulullah saw. Pada dasarnya, ibadah bukanlah ijtihad seseorang
karena ibadah itu tidak dapat diseimbangkan melalui penambahan, pengurangan atau
penyesuaian dengan kondisi kemjuan zaman.
Matinnul khuluq, setiap individu dituntut untuk memiliki ketangguhan akhlaq/karakter
sehingga mampu mengendalikan hawa nafsu dan syahwat.
Qadirun ‘alal kasbi, setiap individu dituntut untuk mampu menunjukkan potensi dan
kretivitasnya dalam dunia kerja.
Mutsaqqaful fikri, setiap individu dituntut untyuk memiliki keluasan wawasan. Artinya,
dia harus mampu memanfaatkan setiap kesempatan untuk mengembangkan wawasan.
Qawiyul jism, setiap individu dituntut untuk memliki kekuatan fisik melalui sarana-
sarana yang dipersiapkan Islam.
Mujahidun li nafsi, setiap individu dituntut untuk mengendalikan hawa nafsunya dan
senatiasa mengokohkan diri di atas hukum-hukum Allah melalui ibadah dan amal saleh.
Artinya, ia dituntut untuk berjihad melawan bujuk rayu setan yang menjerumuskan
manusia pada kejahatan dan kebatilan.
pertama,
dalam tarbiah dengan system halaqoh ini didapatkan kearifan, kejelian, dan langsung di
bawah asuhan seorang murabbi. Sehingga setiap kecenderungan dan perubahan yang
terjadi segera bisa dipantau dan diarahkan oleh murabbi. Sedang programnya
bersumber dari Kitabullah dan sunnah rasul, dengan jadwal yang sudah diatur.
Kedua,
tarbiah melalui halaqoh merupakan ‘tujuan yang terkandung dalam perangkat.’ Demikian
itu karena penyiapan seorang individu secara islami, pematangan mentalitas, pemikiran,
aqidah, dan perilaku merupakan aktivitas yang memerlukan kesinambungan dan
kontinuitas, sekaligus menjadi tujuan abadi. Kendati sarana ini termasuk perangkat,
namun karena kuatnya keterkaitan dengan tujuan, mengharuskan system ini memiliki
kontinyuitas.
Ketiga,
sepanjang perjalanan tarbiah, hanya sistem halaqoh yang mampu memantapkan proses
penyiapan individu islami secara integral. Oleh karenanya system ini harus tetap
berlanjut, meski daulah islam telah berdiri karena ia yang akan menjadi penyuplai
kebutuhan pemerintahan akan sumber daya manusia dengan proses yang baik.
Keempat, taruhlah pemerintah dapat menguasai system pengajaran dan informasi,
namun keduanya tidak akan mampu mentarbiyah. Meskipun tarbiah yang integral, yang
menanamkan dalam jiwa sifat keutamaan, kesungguhan, dan kepekaan terhadap
tanggung jawab memang berhubungan erat dengan proses pengajaran dan informasi.
Kompetensi Tarbiah
Dasar-dasar keislaman mencakup al qur’an dan ulumul qur’an, hadist dan ulumul hadits,
aqidah, fiqh, akhlaq, sirah dan kepribadian muslim. Pengembangan diri terdiri dari
metodologi berfikir dan riset, belajar mandiri, rumah tangga muslim, manajemen,
bahasa arab, kesehatan dan kekuatan fisik, kependidikan dan keguruan. Dakwah dan
pemikiran meliputi fiqh dakwah, sejarah dan peradaban umat, dunia islam kontemporer,
pemikiran, gerakan dan organisasi pembaharuan, islam dan kekuatan lawan. Dan social
kemasyarakatan meliputi tata social kemasyarakatan, perundang-undangan, system
politik dan hubungan internasional, ekonomi, seni dan budaya, iptek dan lingkungan,
serta isu kontemporer social politik dakwah islam.
Tarbiyah Islamiyah
Solusi
Melihat kondisi umat saat ini serta memperhatikan hakekat jiwa manusia maka
dibutuhkan sebuah pendidikan islam bagi umat islam.
Kontinyu (Mustamiroh)
Membentuk syahsiyah islamiyah bukan sekedar transfer ilmu (Takwiniyah)
Bertahap atau berprogram (Muthdarrijah)
Menyeluruh (Kaffah).
1. Robbaniyah
3. Syumuliyah ( Menyeluruh )
Itulah beberapa bukti dan pertimbangan yang memastikan urgensi tarbiyah islamiyah
salam kehidupan. Tetapi perlu kita sadari bahwa tanpa adanya tarbiyah yang terarah
dan sistemik mustahil akan mencetak insan yang memiliki Syakhsiyah Islamiyah.