Anda di halaman 1dari 13

PENDAHULUAN

Salah satu arti dakwah adalah usaha atau aktifitas dengan lisan
atau tulisan dan lainnya yang bersifat menyeru, mengajak, memanggil
manusia lainnya untuk beriman dan mentaati Allah SWT sesuai dengan
garis-garis aqida syariat serta akhlak islamiyah. Dalam pelaksanaan
dakwah ini, selayaknya harus mengetahui metode-metode dalam
penyampaiannya, yang mana Al-Quran telah mengisyaratkan sebagai
tuntunan dalam metode tersebut.
Dalam menerangkan cara-cara berdakwah tersdebut, Allah SWT
berfirman:

‫ادع إلي سبيل ربك باالحكمة والموعظة الحسنة وجادلهم باالتي هي احسن إن ربك هو اعلم بمن ضل‬
}125:‫عن سبيله وهو اعلم باالمهندين {النحل‬

“Serulah kepada jalan tuhanmu dengan hikmah, mauidzah hasanah, dan


debatlah mereka dengan cara yang terbaik, Tuhanmu Maha Mengetahui siapa
yang tersesat dari jalan-Nya dan ia Maha Mengetahui siapa yang mendapat
petunjuk”.

Dari ayat di atas jelaslah bahwa seorang juru dakwah harus


memperhatikan metode-metode tersebut sehingga visi dan misi dalam
berdakwah dapat tercapai, yang mana susunan metode tersebut
disajikan sebagai acuan dalam berdakwah sesuai kondisi dan situasi.

Bab 1 Metode Hikmah


Hikmah secara bahasa memiliki beberapa arti: al-‘adl, al-ilm, al-
Hilm, al-Nubuwah, al-Qur’an, al-injil, al-Sunnah dan lain
sebagainya. Hikmah juga diartikan al-‘llah, atau alasan suatu hukum,
diartikan juga al-kalam atau ungkapan singkat yang padat isinya.
Seseorang disebut hakim jika dia didewasakan oleh pengalaman, dan
sesuatu disebut hikmah jika sempurna.
Dalam bahasa komunikasi hikmah menyangkut apa yang disebut
sebagai frame of reference, field of reference dan field of experience, yaitu
situasi total yang mempengaruhi sikap terhadap pihak komunikan
(obyek dakwah).[1] Dengak kata lain
bi al-hikmah merupakan suatu metode pendekatan komunikasi yang
dilakukan atas dasar persuasife. Karena dakwah bertumpu pada human
oriented, maka konsekuensi logisnya adalah pengakuan dan
penghargaan pada hak-hak yang bersifat demokratis, agar fungsi
dakwah yang utama adalah bersifat informatif.
Para ulama telah mendenifisikan kata hikmah secara istilahi
yang diambil dari pengertian bahasa tersebut, antara lain:

1. Al-Hikmah; “mencapai kebenaran dengan ilmu dan akal.” Al-Hikmah


dari Allah adalah mengetahui sesuatu dan menciptakannya secara
sempurna. Dan hikmah bagi manusia adalah mengetahui apa-apa yang
diciptakan Allah dan berbuat baik.
2. Pengertian laain, hikmah adalah mengetahui suatu yang terbaik dengan
pengetahuan yang paling baik.
3. Meletakan sesuatu pada tempatnya.
4. Ketepatan ucapan dan perbuatan secara bersamaan.

Ibnu Katsir menafsirkan kata hakim, dengan keterangannya, hakim dalam


perbuatan dan ucapan, hingga dapat meletakan sesuatu pada
tempatnya.
Dari berbagai pengertian ini, jelaslah bahwa apa yang dimaksud metode
hikmah adalah metode meletakan sesuatu pada tempatnya, dengan
demikian berarti mencakup semua teknik dakwah.
Dasar-dasar Metode Hikmah
Kelebihan metode hikmah ini nampak pada beberapa hal berikut:

1. Dari makna hikmah yang mengakomodir kedua ikmah teoritis dan praktis,
dan seorang tidak dikatakan hakim (bijak) jika tidak bisa berbuat bijak
secara teoritis dan praktis.
2. Allah sendiri memilih kata hakim sebagai salah satu nama-Nya yang
diulang dalam Al-Qur’an lebih dari 80 kali.
3. Hikmah merupakan salah satu isi hati Nabi saw. Sebagaimana dalam
hadits disebutkan: “Dibukalah atap rumahku dan akku di Makkah, lalu
turunlah Jibril, lalu di belah dadaku, kemudian dicuci dengan air zamzam,
lalu ia membawa bokor emas yang berisikan hikmah dan iman, kemudian
dituangkan dalam dadaku, lalu dikukuhkannya.”(Muttafaq Alai).
4. Diantara pekerjaan Rosululla saw. adalah mengajaarkan hikmah, “Dan
dia mengajarkan kamu hikmah dan kitab.”
5. Allah menganjurkan untuk berdakwah dengan metode ini: “Serulah ke
jalan Tuhanmu dengan hikmah dan mau’idzoh hasanah” (QS. An-Nahl:
125).
6. Pemberian yang paling berharga yang di berikan kepada manusia: “Ia
memberi hikmah kepada siapa yang dikehendaki-Nya, barang siapa yang
diberi hikmah berarti telah diberi kebaikan yang banyak” (QS. Al-
baqarah: 269)
7. Seseorang boleh iri karena hikmah yang didapat orang lain di dunia ini.
Hadits Rasul saw.: “Tidak ada iri kecuali dalam dua hal; kepada
seseorang yang diberi harta oleh Allah lalu dia bisa menguasainya dengan
hak hingga tidak mengahncurkan dirinya, dan seseorang yang diberi
hikmah lalu ia mengamalkan dan mengajarkannya.[2]

Al-ilm yang merupakan salah satu arti bahasa dari kata hikmah,
merupakan isyarat bagi manusia untuk membekali dirinya dengan ilmu
pengetahuan. Sebagai satu-satunya din Allah (QS. Ali Imran: 19,85),
islam adalah manhaj al-hayat atau way of life, acuan dan kerangka tata
nilai kehidupan. Memahami islam sebagai way of life harus terkait satu
bagian dengan bagian lainnya. Sebagai satu tata nilai, islam tidaklah
sekedar baik sebagai landasan etis dan moral, tetapi ajarannya bersifat
operasional dan aplikatif dalam segala segi kehidupan manusia.[3]

Ajaran islam bukan saja mendorong umatnya untuk senantiasa mencari


dan mengembangkan berbagai ilmu pengetahuan , tetapi juga
mendorongnya untuk mengamalkan ilmu itu di tengah kehidupan.

“Ilmu itu ruhnya islam dan tiangnya iman; barangsiapa yang mengajarkan
ilmu, maka Allah akan menyempurnakan pahalanya. Barangsiapa belajar satu
ilmu lalu mengamalkannya, maka Allah mengajarinya ilmu pengetahuan yang
belum ia ketahui sebelumnya.” (HR Abu Syaikh)
Ciri-ciri ikmah dari segi tekhnis
1. Memilih metode yang sesuai untuk diterapkan pada situasi dan kondisi
yang tepat, karena sering kali suatu metode hanya sesuai untuk situasi
tertentu dan untuk menghadapi kondisi tertentu saja, namun tidak sesuai
pada kondisi yang lainnya. Untuk menghadapi kondisi emosional harus
menggunakan metode emosional, sebagaimana metode rasional dipakai
untuk kondisi yang rasional, demikian juga metode empirik anya bisa
dipakai pada kondisi empirik.
2. Memilih format yang cocok dari tekhnis yang dipakai. Banyak format
dari satu tekhnis dakwah, dan “hikmah” menuntut adanya pemilihan
format yang sesuai untuk berbagai situasi. Apa yang dikatakan dalam
kondisi “bahagia” berbeda dengan apa yang disampaikan pada kondisi
“sedih.” Apa yang disampaikan saat kondisi “sulit dan pailit” berbeda
dengan saat “serba mudah dan makmur.” Ada tempat saat menyeru
(persuasif), ada tempat saat melarang (preventif). Bagi orang penakut
misalkan, maka baik dipakai tekhnis persuasif dan pengharapan;
sedangkan bagi orang yang dikuasai ambisi dan pengharapan, sebaiknya
dengan tekhnis preventif, dst.
3. Berpedoman terhadap skala prioritas; yaitu mulai dari memberi
peringatan, kemudian nasihat, kemudian ketegasan lalu dengan tindakan
keras (bil yad), ancaman dan terakhir dengan pukulan.
Firman Allah:

‫والالتي تخافون نشوزهن فعظوهن واهجروهن في ا لمضاجع واضربوهن‬

}34 :‫فإن اطعنكم فال تبغوا عليهن سبيال إن هللا كان عليا كبيرا {النساء‬

“Perempuan-perempuan yang kamu khawatirkan akan nusyuz, hendaklah


kamu beri nasihat kepada mereka , tinggalkanlah mereka di tempat tidur (pisah
ranjang), dan (kalau perlu) pukullah mereka.Tetapi jika mereka menaatimu,
maka janganlah kamu mencari-cari alas an untuk menyusakannya. Sungguh,
allah Mahatinggi, Mahabesar.

1. Menginventarisir factor-faktor pendukung dan sarana dakwah yang dapat


diamati dalam rangka memilih tekhnis yang dipakai dan bersifat
preventif. Metode menghadapi orang bodoh sangatlah berbeda dengan
metode menghadapi musuh, sebagaimana metode menghadapi orang
lemah berbeda dengan menghadapi seorang penantang yang juga fanatic.

Bab 2 Metode Mauidzah Hasanah (nasihat)


Secara etimologis, mauidzoh merupakan bentukan dari kata wa’adza-
ya’idzu-iwa’dzan dan ‘idzata; yang berarti “menasihati dan mengingatkan
akibat suatu perbuatan,” berarti juga “menyuruh untuk mentaati dan
memberi wasiat agar taat.”
Alhasanah merupakan lawan dari sayyiat ;maka dapat dipaami bawa
mauidza dapat berupa kebaikan, dapat juga kejahatan; hal itu
tergantung pada isi yang disampaikan seseorang dalam memberikan
nasihat dan anjuran , juga tergantung pada merode yang dipakai
pemberi nasihat.
Atas dasar itu, maka pengertian untuk mauidzah disertai dengan sifat
kebaikan, “Serulah ke jalan Tuhanmu dengan hikmah dan mauidzah
hasanah…..” Karena kalau kata mauidzah dipakai tanpa embel-embel
dibelakangnya, pengertiannya harus dipaami sebagai mauidzah
hasanah;
‫والالتي تخافون نشوزهن فعظوهن واهجروهن في ا لمضاجع واضربوهن‬

}34 :‫فإن اطعنكم فال تبغوا عليهن سبيال إن هللا كان عليا كبيرا {النساء‬

“Maka berilah ia nasihat yang baik, lalu biarkan dia tidur sendirian, lalu
pukullah dia…….”

Ali Mustafa Yaqub mengatakan bahwa Mauidzah al Hasanah adalah


ucapan yang berisi nasehat-nasehat yang baik di mana ia dapat
bermanfaat bagi orang yang mendengarkannya, atau argumen-argumen
yang memuaskan sehingga pihak audience dapat membenarkan apa
yang disampaikan oleh subyek.[4]
Menurut filosof Tanthawy Jauhari, yang dikutip Faruq Nasution
mengatakan bahwa Mauidzah al Hasanah adalah Mauidzah Ilahiyah
yaitu upaya apa saja dalam menyeru /mengajak manusia kepada jalan
kebaikan (ma yad’u ila al shale) dengan cara rangsangan ,enimbulkan
cinta (raghbah) dan rangsangan yang menimbulkan waspada (rahbah).[5]
Cukup sederhana, teetapi mengandung ke dalam uraian yang cukup
luas, karena raghbah dan rahbah yang dimaksudkan ole Syaikh al Islam
itu adalah merupakan kebutuhan emosional dan manfaat ganda di
dalam kehidupan yang wajar dan sehat (to satisty emosional needs and gain
stability of life) sehingga di dalam konteks sosiologis, suatu kelompok
akan merasakan bahwa seruan agama (islam) memberi semangat dan
kehidupan yang cerah baginya. Mereka tidak merasa tersinggung atau
merasa dirinya dipaksa menerima suatu gagasan atau ide tertentu.
Upaya untuk menghindari rasa tersinggung atau paksaan ini tercermin
dalam ayat Al-Quran:

..………‫فبما رحمة من هللا لنت لهم ولو كنت فظا غليظ القلب النفضوا من حولك‬

“Maka disebabkan Rahmat dari Allah, kamu berlaku lemah lembut terhadap
mereka, sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati (bersikap) kasar, tentulah
mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu…….

Dan bawha aktifitas dakwah adalah dengan mauidzah yang mengarah


kepada pentingnya manusiawi dalam segala aspeknya. Sikap lemah
lembut (affection) menghindari sikap egoism adala warna yang tidak
terpisahkan dalam cara seseorang melancarkan idea-ideanya untuk
mempengaruhi orang lain secara persuasive dan bahkan coersive
(memaksa).
Caranya dengan mempengaruhi obyek dakwah atas dasar
pertimbangan psikologis dan rasional. Maksudnya sebagai subyek
dakwah harus memperhatikan semua determinan psikologis dari obyek
dakwah berupa frame of reference (kerangka berpikir) dan field
experience (lingkup pengalaman hidup dari obyek dakwah dan
sebagainya). Dalam hal ini Nabi memberikan petunjuk melalui
sabdanya:
.‫خا طبوا الناس علي قدر عقولهم‬
“Berbicaralah dengan mereka (manusia) itu sesuai dengan kemampuannya”.

Jadi setelah mengalami frame of experience dari obyek dakwah, seorang


da’I diwajibkan menyampaikan nasehat-nasehatnya dengan nasehat
yang factual berupa mauidzah hasanah agar pihak obyek dakwah dapat
menentukan pikiran teradap rangsangan, psikologis yang
mempengaruhi dirinya.
Dan kemudian Metode Mauidzah Hasanah ini memiliki beberapa dasar
yang menjadi acuan supaya melaksanakan metode ini diantaranya:

1. Ada perintah yang jelas untuk menggunakan metode tersebut:

‫ادع إلي سبيل ربك باالحكمة والموعظة الحسنة وجادلهم باالتي هي احسن إن ربك هو اعلم بمن ضل‬
}125:‫عن سبيله وهو اعلم باالمهندين {النحل‬

“Serulah kepada jalan tuhanmu dengan hikmah, mauidzah


hasanah…………………………..”
}63:‫وعظهم وقل لهم في انفسهم قوال بلبغا {النساء‬

“Dan nasihatilah mereka, serta sampaikanlah kepada mereka, pada jiwa


mereka, perkataan yang mengena.”

1. Rasululah saw. Menjadikan nasihat sebagaidasar agama, dengan


sabdanya: “Agama adalah nasihat” dan nasihat adalah sini\onim dari
mauidzah hasanah sebagaimana telah diungkap dahulu.
2. Rasululas saw. membai’at sahabat agar member nasihat kepada setiap
muslim, dalam hadits diungkapkan, “Aku dibai’at pleh Rasululah saw.
untuk mendirikan shalat, mengeluarkan zakat dan member nasihat kepada
seluruh muslim.”
3. Para Nabi menggunakannya , sebagaimana diceriatakan dari Nuh as.
‫وانصح لكم‬
“….Dan aku menasihati kamu sekalian.”
}68:‫وانا لكم ناصح امين {األعراف‬
“Aku adalah pemberi nasihat yang dapat dipercaya.”

Bab 3 Metode Berdebat


Berdebat menurut bahasa berarti berdiskusi atau beradu argumen. Di
sini, berarti berusaha untuk menaklukan lawan bicara sehingga seakan
ada perlawanan yang sangat kuat terhadap lawan bicara serta usaha
untuk mempertahankan argumen dengan gigih.

Secara epistemologis, berdebat sebagaimana didefinisikan para ulama


adalah:

1. Usaha yang dilakukan seseorang dalam mempertahankan argumen untuk


menghadapi lawan bicaranya.
2. Cara yang berhubungan dengan pengukuhan pendapat atau madzhab.
3. Membandingkan berbagai dalil atau landasan untuk mencari yang paling
tepat.
Perdebatan memiliki dua sifat; dengan cara baik dan dengan cara yang
tidak baik. Sebagaimana firman Allah:

}125:‫وجادلهم باالتي هي أحسن {النحل‬

“Debatlah mereka dengan cara yang lebi baik.”

}56:‫ويجادل الذين كفروا باالباطل ليدحضوا به الحق {الكهف‬


“Dan orang kafir mendebat dengan alas an yang bathil untuk melenyapkan
kebenaran…”

Melihat berbagai macam perdebatan ini, Al-Quran menyarankan


perdebatan yang terbaik sehingga menjadi metode yang dianjurkan,
sebagai yang diungkapkan dalam nashnya sebagai salah satu metode
dakwah. Metode perdebatan yang baik tersebut merupakan salah satu
metode dakwah rasional (nabhaj aqly) adapun bentuknya bias berupa
diskusi, tukar pandangan, atau dialog.
Sayyid Qutb menyatakan bahwa dalam menerapkan metode diskusi
dengan cara yang baik perlu diperhatikan hal-hal berikut:

1. Tidak merendahkan pihak lawan, atau menjelek-jelekan, karena tujuan


diskusi bukan mencari kemenangan, melainkan memudahkannya agar ia
sampai pada kebenaran.
2. Tujuan diskusi semata-mata untuk menunjukan kebenaran sesuai dengan
ajaran Allah.
3. Tetap menghormati pihak lawan, sebab jiwa manusia tetap memiliki
harga diri. Karenanya harus diupayakan ia tidak merasa kalah dalam
diskusi dan merasa tetap dihargai dan dihormati.[6]

Dasar-dasar Metode Perdebatan


1. Debat merupakan fitrah manusia. Dari sini manusia bisa dilihat menjadi
dua kategori; baik dan tidak baik. Jika dilihat dari sifatnya, apakah dia
membantah teradap kebenaran atau sebaliknya.
}54:‫وكان اإلنسان أكثر شيئ َج َدال {الكهف‬

“Adalah tabiat manusia dalam banyak hal selalu membanta”


}6:‫يجادلونك في الحق بعد ما تبين {األنفال‬

“Mereka membantahmu setelah mendengar kebenaran yang nyata.”


1. Allah memerintahkan untuk menggunakan metode berdebat. Firman
Allah:
}46:‫وال نجادلوا أهل الكتاب إال با التي هي أحسن {العنكبوت‬

“Dan janganlah kamu mendebat ahlul- kitab kecuali dengan cara dan alas an
yang terbaik…”
1. Metode ini digunakan oleh para Nabi dalam dakwah mereka:
Ini dapat dilihat dari kisah yang diceritakan Allah dalam al-Quran tentang
Nabi Nuh as. Ayatnya sebagai berikut:

}32:‫قالوا يا نوح قد جادلتنا فأكثرت ِجدالنا {هود‬

“Hai nuh, kamu telah mendebat kami, mendebat kami dalam banyak hal….”
1. 4. Dipakai dalam dakwah; sejak masa Rasul hingga sekarang.
Metode ini dipakai sejak masa sahabat hingga sekarang, para ulama
salaf menggunakannya dengan baik, dan mereka menghindari
perbuatan debat yang tercela.

Dalam hal ini selayaknya orang yang melaksanakan kegiatan dakwah


harus memiliki kemampuan-kemampuan yang berkaitan dengan metode
ini meliputi:

1. Kemampuan Berkomunikasi
2. Kemampuan Menguasai Diri
3. Kemampuan Pengetahuan Psikologi
4. Kemampuan Kengetahuan Kependidikan
5. Kemampuan Pengetahuan di Bidang Pengetahuan Umum
6. Pengetahuan di Bidang Ilmu al-Quran
7. Kemampuan Membaca Al-Quran dengan fasih
8. Kemampuan Pengetahuan di Bidang Ilmu Hadits
9. Kemampuan di Bidang Ilmu Agama secara Umum[7]
Dari beberapa keterangan diatas, setidaknya juru dakwah dapat
membekali dirinya dengan mantap, sehingga dapat menggunakan
metode ini dengan baik.

Metode keteladanan (Qudwah Hasanah)


Menurut bahasa, qudwah berarti uswah; yang berati keteladanan atau
contoh. Meneladani atau menyontoh, sama dengan mengikuti suatu
pekerjaan yang dilakukan sebagaimana adanya. Yang dimaksud
keteladanan di sini adalah keteladanan yang baik. Dalam ayat yang
dikemukakan di muka, keteladan sengaja diberi sifat baik, karena dalam
prakteknya, bisa saja seseorang menjadi teladan yang buruk. Dalam
hadits diungkapkan: “Barangsiapa yang membuat tradisi baik, maka
baginya pahala atas apa yang dilakukannya serta pahala orang lain
yang mengikuti tradisi tersebut tanpa mengurangi pahala merekayang
mengikutinya sedikitpun. Dan barangsiapa yang membuat tradisi buruk,
maka baginya dosa serta dosa yang mengikutinya tanpa mengurangi
dosa para pengikutnya sedikitpun. (HR. Muslim).
Dalam islam, qudwah hasanah dapat dibedakan pada dua bagian;

1. Qudwah hasanah yang bersifat mutlak, yaitu suatu teladan atau contoh
baik yang sama sekali tidak tercampuri keburukan karena statusnya
benar-benar baik; sebagai teladan yang diberikan Rasululah saw. pada
ummatnya. Status rasul yang ma’shum (terbebas dari dosa), membuat
beliau menjadi teladan yang mutlak bagi ummatnya. Firman Allah SWT:
}21:‫لقد كان لكم في رسول هلل أسوة حسنة لمن كان يرجو هللا واليوم األخر وذكر هللا كثيرا {األحزاب‬

1. Qudwah hasanah nisbi yaitu teladan yang terikat dengan yang


disyariatkan oleh Allah SWT. Karena status teladan itu dari manusia
biasa bukan Rasul ataupun Nabi. Keteladanan dari mereka, seperti para
ulama dan pemimpin umat lainnya, hanya sebatas jika tidak bertentangan
dengan syariat.
Personal approach atau pendekatan personal sebagai metode
keteladanan sudah dilakukan oleh Nabi semenjak turunnya wahyu, yaitu
yang dengan secara langsung memberikan contoh, dan karena di antara
fitrah manusia adalah suka mengikuti, dan pengaruh asimilasi tersebut
lebih besar. Pengaruh yang diterima lebi membekas karena sifatnya fitri
dan alami.

KESIMPULAN
Sejatinya manusia adalah suci sebagai fitrahnya, dan tatkala
sebagian manusia melenceng dari fitrahnya maka bagi manusia yang
lain supaya meluruskannya. Ketika sebagian manusia telah
menyimpang dari ketentuan Allah SWT. hendaknya memberi nasihat
yang baik, mengajak kembali ke jalan yang benar. Adapun metode-
metode dalam dakwah (hikmah, mauidzah hasanah, mujadalah hasanah
dan qudwah hasanah) adalah tuntunan yang diterangkan dalam Al-
quran (An-Nahl:125) sebagai acuan yang telah dicontohkan oleh Nabi,
para ulama, serta orang-orang yang shalih.

Anda mungkin juga menyukai