Anda di halaman 1dari 6

METODE DAN PENDEKATAN STUDI ISLAM

A. Pendahuluan
Islam diyakini sebagai agama terakhir yang diwahyukan Tuhan. Sebagai agama, Islam bukan hanya sebatas
agama yang terdiri atas seperangkat sistem kepercayaan, lambang-lambang nilai moral atau kumpulan dari upacara
dan ritual-ritual keagamaan. Namun kita meyakini bahwa Islam merupakan sebuah sistem yang sempurna yang
mencakup semua aspek kehidupan, baik dalam lingkup kehidupan individu maupun sosial. Islam dapat menjadi
solusi bagi permasalahan-permasalahan yang muncul belakangan ini. Sifat rahmat Islam tidak terbatas pada
golongan, bangsa dan ras tertentu. Islam berlaku untuk seluruh manusia dan sepanjang zaman (rahmatan
lil’alamin).[1]
Agar sifat rahmat Islam tersebut dapat dirasakan secara realistis oleh manusia, Islam harus dikaji dan
dipelajari dengan menggunakan pendekatan-pendekatan dan metode-metode tertentu untuk kemudian dipedomani
dalam berbagai aspek kehidupan manusia. Kegiatan pengkajian Islam dalam berbagai aspeknya ini kemudian yang
dikenal dengan istilah studi Islam.
Studi Islam berkembang hampir di seluruh negara di dunia, baik di dunia Islam maupun non Islam. Pusat-
pusat studi Islam di dunia Islam terdapat di universitas al-Azhar di Mesir, universitas Ummul Qura di Arab Saudi dan
Universitas Teheran di Teheran. Studi Islam di negara-negara non Islam diselenggarakan di beberapa negara seperti
di India, Chicago, Los Angeles, London dan Kanada. Sementara di Indonesia, studi Islam dipelajari pada
perguruan tinggi agama Islam dan beberapa perguruan tinggi swasta di Indonesia.[2]
Berkenaan dengan studi Islam, hal yang termasuk perangkat mendasar adalah rumusan pengertian studi
Islam, makna Islam, metode, metodologi, pendekatan, paradigma, yang akan diuraikan dalam tulisan ini. Oleh karena
itu,

B. Pengertian Islam, Muslim dan Islamisasi


1. Pengertian Islam
Dari segi etimologis kata Islam berasal dari bahasa Arab yaitu dari kata salima(‫ )سلم‬yang diartikan ‫نجا و‬
" ‫” برئ من عـيـب وآفة‬ [selamat dan terlepas dari cacat dan penyakit].[3] Kata salima juga dapat diartikan
selamat, sentosa dan damai. Dari kata salima kemudian diubah ke dalam bentuk wazn af’ala menjadi aslama dengan
menambahkan huruf hamzah di awal (‫إسالما‬ - ‫)أسلم – يسلم‬ yang berarti berserah diri masuk dalam
kedamaian. [4] Yatimin Abdullah berpendapat kata Islam dapat berasal dari kata silmun yang artinya keselamatan
atau perdamaian. Kata silmun terdapat dalam Q.S. Al-Baqarah/2 : 128 (sic) dan Q.S Muhammad/47 : 35.[5]
Selaras dengan beberapa pengertian etimologis di atas, menurut Afif ‘Abd al-Fatah Thabarah kata Islam
berasal dari kata as-salamu, as-salmu, dan as-silmu yang berarti menyerahkan diri, pasrah, tunduk dan patuh dari
manusia terhadap Tuhannya atau makhluk terhadap Khalik Tuhan Yang Maha Esa.[6]
Dengan demikian, secara antropologis perkataan Islam sudah menggambarkan fitrah dan kodrat manusia
sebagai makhluk yang harus patuh dan tunduk kepada Tuhannya. Pengertian ini menimbulkan pemahaman bahwa
manusia yang tidak patuh dan tunduk pada Tuhannya adalah wujud dari penolakan terhadap fitrah dirinya. [7]
Secara terminologis, kata Islam berarti agama yang ajaran-ajarannya diwahyukan Tuhan kepada masyarakat
manusia melalui nabi Muhammad saw sebagai rasul mengenai berbagai aspek dalam kehidupan
manusia.[8] Menurut Maulana Muhammad Ali bahwa Islam adalah agama perdamaian dengan dua ajaran pokok
yaitu keesaan Tuhan dan persaudaraan umat manusia. Kedua ajaran pokok tersebut menjadi bukti nyata akan
keselarasan Islam dengan namanya. [9]
Adapun Arkoun, seorang guru besar studi Islam, membantah pemaknaan Islam yang diinterpretasikan oleh
banyak kalangan dengan mengambil terjemahan ke dalam bahasa Prancis dengan arti “tunduk dan
patuh”. Menurutnya ada hal lain yang tidak hanya tunduk dan patuh yang harus dimuat oleh kata Islam secara
terminologi, tetapi juga merasakan getaran cinta kepada Allah SWT dan rasa ingin menyandarkan diri kepada semua
yang diperintahkanNya.[10]
Para orientalis sering mengidentikkan Islam dengan
istilah Muhammaddanism dan Muhammaden. Peristilahan ini muncul disebabkan pada umumnya agama di luar
Islam sering diidentikkan dengan pendirinya. Seperti agama Budha yang disandarkan kepada tokoh pendirinya
Sidharta Gautama Budha dan agama Yahudi yang disandarkan kepada orang-orang Yahudi (Jews), asal nama dari
negara Juda (Judea) atau Yahuda.[11]
Penyebutan istilah Muhammaddanism dan Muhammaden untuk agama Islam bukan saja tidak tepat, akan
tetapi secara prinsipil salah. Peristilahan tersebut dapat mengandung arti pemujaan dan pengkultusan terhadap nabi
Muhammad saw dan menyebabkan pemahaman yang salah. Analogi nama dengan agama-agama lainnya tidaklah
mungkin bagi Islam.[12]
2. Pengertian Muslim, Islami dan Islamisasi
Secara etimologis kata muslim berasal dari bahasa arab mengambil bentuk ism’ fā’il (kata benda yang
menyatakan subjek) ‫مسْـ ِلم‬
ُ ‫ وهو‬- ‫ أسلم – يسلم – إسالما‬yang dapat diartikan “Man Kana Ala Din Al-Islam” ( ‫من‬
‫[ )كان على دين االسالم‬orang yang memeluk agama Islam] [13] atau orang yang berserah diri pada Allah.[14]
Arkoun memaknai muslim secara etimologis adalah orang yang menyerahkan dirinya. Sedangkan secara
terminologis, adalah orang yang melakukan penyerahan diri dan komitmen wujudnya kepada Tuhan dan nabi-Nya
secara sukarela.[15] Dengan demikian, pengertian ini sesuai dengan makna yang terkandung dalam kata Islam
yang berarti penyerahan diri pasrah, tunduk dan patuh dari manusia terhadap Tuhannya. Jika kata Islam mengacu
kepada perbuatannya, maka kata muslim mengacu kepada subjeknya (orang yang melakukan perbuatan tersebut).
Hal yang menyangkut dengan sifat keislaman disebut dengan islami. Artinya adalah hal-hal yang telah
disifatkan dengan Islam dan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dalam berbagai aspek kehidupan seorang
muslim.
Istilah islamisasi dapat diartikan sebagai perbuatan atau proses memasukkan nilai-nilai Islam. Pengertian ini
sesuai dengan pendapat Mulyanto yang berbendapat bahwa Islamisasi ilmu pengetahuan adalah penerapan etika-
etika Islam dalam ilmu pengetahuan tersebut. Dengan kata lain Islam hanya berlaku sebagai etika-etika keagamaan
di luar struktur ilmu pengetahuan. Asumsi dasarnya adalah ilmu pengetahuan adalah bebas, maka konsekuensi
logisnya adalah mustahil muncul ilmu pengetahuan Islami.[16]

C. Islam Sebagai Sumber, Sebagai Pemikiran, Sebagai Pengamalan (Budaya/Peradaban); Studi Normatif dan
non-Normatif
Pada tataran sebagai sumber, agama Islam adalah agama samawi yang dibawa oleh Rasulullah SAW
dengan kitab suci Alquran sebagai sumbernya pokoknya.[17] Muhammad Abduh, mendudukkan fungsi Alquran
dengan fungsi yang tertinggi. Dalam arti, walaupun akal sehat mampu mengetahui yang salah dan benar, yang baik
dan yang buruk, tetapi ia tidak mampu mengetahui hal-hal yang gaib.[18]
Lebih dari itu, fungsi Alquran sebagai sumber nilai objektif, universal dan abadi. Karena ia diturunkan dari
zat yang maha tinggi. Kehujahan sumber hukum Islam ini dapat dibenarkan, karena ia merupakan sumber segala
macam aturan tentang hukum sosial ekonomi, kebudayaan, pendidikan, moral, dan sebagainya.
Diakui bahwa Alquran bukanlah “kitab ensiklopedia” yang berbicara tentang segala macam ilmu
pengetahuan secara rinci, tetapi ia berbicara tentang segala hal ilmu pengetahuan secara global : mulai dari
masalah aqidah, ibadah, dan akhlaq sampai masalah politik ekonomi, hukum budaya, antropologi, biologi, fisika,
[19]
kimia, bahkan teknologi perang dan sebagainya .
Dalam masalah ilmu pengetahuan contohnya, Alquran tidak mencakup teori-teori ilmiah yang baru dan
berubah serta merupakan hasil usaha-usaha manusia dalam penelitian dan eksprimen. Tetapi lebih terletak pada
dorongannya untuk berfikir dan menggunakan akal. Di mana hal ini tidak banyak diungkap oleh kitab-kitab agama
terdahulu (sebelum Alquran).[20] Sebagaimana yang telah terkandung dalam al-Quran surat Al-‘Alaq/96 : 1-5.
1. Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang Menciptakan,
2. Dia Telah menciptakan manusia dari segumpal darah.
3. Bacalah, dan Tuhanmulah yang Maha pemurah,
4. Yang mengajar (manusia) dengan perantaran kalam
5. Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya. [21]

Pada tataran pemikiran atau pemahaman, Islam memberikan ruang kajian ilmiah yang tidak kalah luasnya
dengan Islam sebagai wahyu. Banyak perdebatan-perdebatan antar kelompok-kelompok teologi merupakan
perdebatan dalam tataran kedua ini. Contohnya adalah masalah tingkah laku seorang manusia, apakah ia
mempunyai kehendak sendiri ataukah pekerjaannya sudah ditakdirkan oleh Allah SWT. Perdebatan dalam masalah
ini ramai diperbincangkan oleh kaum Mu’tazilah, As’ariyah dan golongan lainnya.
Selain itu, mengkaji proses Mu’tazilah kemudian menganut paham free-will juga termasuk dalam kajian Islam
sebagai pemikiran. Bagaimana kemudian memahami kata kutiba yang ada dalam ayat puasa kemudian diartikan
menjadi wajib juga merupakan contoh dari studi Islam pada tataran kedua.
Konsep kajian Islam sebagai pemikiran atau pemahaman adalah kajian yang berangkat dari sumber-sumber
yang diakui sebagai sumber-sumber Islam, seperti Alquran al-karim, hadits, ijma’ dan lain sebagainya. Selain itu,
mengkaji Islam pada tataran pemikiran ini juga akan memberikan ruang untuk mengkaji Islam sebagaimana dipahami
oleh suatu masyarakat. Contohnya seperti “konsep wihdatul wujud dalam Tarikat Naqsyabandiah, atau “syari’ah
menurut MUI” misalnya dan lain sebagainya. Kajian Islam sebagai pemahaman akan menyediakan ruang studi yang
sangat luas, seluas agama Islam menyebar di dunia.
Sedangkan Islam pada tataran terakhir, yakni Islam sebagai pengamalan, juga memberikan ruang kajian
keislaman yang sungguh luas. Konsep kajian Islam sebagai pengamalan berangkat dari pertanyaan
dasar: bagaimanakah suatu masyarakat mengamalkan Islam? Dari kajian keislaman pada tingkat kedua dan ketiga
inilah kemudian nantinya muncul studi wilayah, yakni memahami Islam pada suatu masyarakat, daerah, bangsa atau
etnis Islam.
Salah satu perbedaan antara Islam sebagai pemahaman dengan Islam pada pengamalan adalah
aktualisasiya pada kehidupan. Karena bisa saja suatu pemahaman tentang Islam tidak teraplikasikan dalam
pengamalan, atau malah bertentangan dengan fakta. Contoh kajian pada tataran pengamalan ini adalah
“pengaruh konsep wihdatul wujud pada aliran Tarikat Naqsyabandiah”, atau “mazhab Ciputat” dan lain sebagainya.
Dalam kajian-kajian keislaman tiga tataran ini memang perlu dijelaskan agar tidak terjadi kesalahpahaman
antara pengkaji dengan pembacanya.

D. Defenisi metode, metodologi, paradigma dan pendekatan dalam kajian ilmiah


Secara etimologi, metode berasal dari bahasa Yunani, yaitu meta (sepanjang) dan hodos (jalan). Sehingga
metode dapat diartikan sebagai suatu ilmu tentang cara atau langkah-langkah yang ditempuh dalam suatu disiplin
ilmu tertentu untuk mencapai tujuan tertentu.[22] Secara terminologi, metode berarti ajaran yang memberi uraian,
penjelasan, dan penentuan nilai. Metode biasanya digunakan dalam penyelidikan ilmiah. [23] Hugo F. Reading
menyatakan bahwa metode adalah kelogisan penelitian ilmiah, sistem tentang prosedur dan teknik riset.[24]
Berkaitan dengan istilah metode dan metodologi, Noeng Muhadjir menyebutkan bahwa metodologi
penelitian membahas konsep teoritik berbagai metode, baik kelebihan dan kekurangannya dalam kajian ilmiah, yang
kemudian dilanjutkan dengan pemilihan metode yang terbaik untuk digunakan. Sedangkan metode penelitian
mengemukakan secara teknis tentang metode-metode yang digunakan dalam penelitiannya. [25] Istilah lain yang
erat kaitannya dengan dua istilah ini, yakni tekhnik yaitu cara yang spesifik dalam memecahkan masalah tertentu
yang ditemukan dalam melaksanakan prosedur.[26]
Sedangkan paradigma menurut etimologi berarti contoh, tasrif dan teladan, sedangkan istilah paradigma
dalam penilitan ilmiah bisa diartikan dengan pedoman yang dipakai untuk menunjukkan gugusan sistem pemikiran,
bentuk kasus, dan pola pemecahannya.[27] Dalam suatu sumber lain disebutkan bahwa paradigma adalah model
dalam teori ilmu pengetahuan dan kerangka berpikir.[28]
Sementara pendekatan adalah cara pandang, orang juga sering menyamakannya dengan paradigma, yang
terdapat dalam suatu bidang ilmu yang selanjutnya digunakan untuk memahami agama.[29]
Menurut Muhaimin dkk., ada beberapa pendekatan yang dapat dilakukan dalam studi Islam : [30]
1. Pendekatan historis : tinjauan suatu masalah dari sudut tinjauan sejarah, dan menjawab serta menganalisisnya
dengan menggunakan metode analisis sejarah.
2. Pendekatan filosofis : melihat suatu masalah dari sudut tinjauan filsafat dan berusaha memecahkan masalah
dengan mengggunakan metode analisis spekulatif.
3. Pendekatan ilmiah : tinjauan dan analisa suatu masalah dengan menggunakan metode ilmiah.
4. Pendekatan doktriner : pendekatan studi Islam secara konvensional, di mana agama Islam sebagai objek studi
diyakini sebagai sesuatu yang suci dan merupakan doktrin-doktrin ilahi yang memiliki nilai kebenaran yang absolut
dan universal.
Menurut Yatimin ada beberapa pendekatan yang dapat dilakukan dalam memahami agama Islam yaitu
: pendekatan historis, pendekatan sosiologi, pendekatan teologis normatif, pendekatan sosial-budaya, pendekatan
antropologi, dan pendekatan psikologi. [31]
Agar studi keislaman dapat mencapai tujuan dengan maksimal, maka berbagai pendekatan haruslah
dilakukan secara integral dan sistemis, bukan sebagai pendekatan yang dilaksanakan secara parsial dan disholistik.
Adapun tujuan studi Islam, menurut Muhaimin dapat dirumuskan sebagai berikut : [32]

1. Untuk mempelajari secara mendalam tentang hakikat agama Islam, bagaimana posisinya serta
hubungannya dengan agama-agama lain dalam kehidupan budaya manusia.
2. Untuk mempelajari secara mendalam pokok-pokok ajaran agama Islam yang asli. Bagaimana penjabaran
dan operasionalisasinya dalam pertumbuhan dan perkembangan budaya dan peradaban Islam sepanjang
sejarahnya.
3. Untuk mempelajari secara mendalam sumber dasar ajaran Islam yang tetap abadi dan dinamis, serta
bagaimana aktualisasinya sepanjang sejarahnya.
4. Untuk mempelajari secara mendalam prinsip-prinsip dan nilai-nilai dasar ajaran agama Islam, dan
bagaimana realisasinya dalam membimbing dan mengarahkan perkembangan budaya dan peradaban
manusia pada zaman modern ini.

E. Makna Dan Ruang Lingkup Dari Studi Islam


1. Makna Studi Islam
Studi Islam (Islamic Studies), dapat diartikan sebagai usaha sadar dan sistematis untuk mengetahui dan
memahami serta membahas secara mendalam tentang seluk beluk atau berbagai hal yang berkaitan dengan agama
Islam. Baik berhubungan dengan ajaran, praktik-praktik pelaksanaannya secara nyata dalam kehidupan sehari,
sejarah dan lain-lain.[33] Menurut Jacques Waarderburg, studi Islam adalah kajian tentang agama Islam dan aspek-
aspek dari kebudayaan dan masyarakat muslim.[34]
Sayyed Nasher dalam Affandi Mochtar menyatakan bahwa studi Islam merupakan wacana yang
dikembangkan dalam proses pemahaman, penafsiran, dan penelitian masalah-masalah keislaman.[35] Menurut ia,
hal ini dikarenakan bahwa :
Islam bukan hanya sekedar sebuah agama dalam pengertian yang biasa, tetapi juga sebuah kerangka sosial-politik,
pandangan keduniaan, dan pandangan hidup yang mencakup semua aspek fisik, mental, dan spiritual manusia.
Islam, menurut ia lebih jauh lagi, merupakan sebuah tradisi yang walaupun esensinya bersifat tunggal, namun
meliputi berbagai tingkat pengertian dan derajat pelaksanaan.

Penekanan studi Islam yang disampaikan oleh Charles J. Adams dalam Affandi Mochtar sedikit berbeda
dengan beberapa pendapat para ahli tentang studi Islam yang telah disampaikan sebelumnya. Ia lebih menekankan
studi Islam pada segi lembaga-lembaga kajian keislaman, bukan pada tataran wacana keislaman yang
dikembangkan melalui proses pemahaman ajaran-ajaran yang terkandung dalam agama Islam. Oleh karena itu, lebih
menekankan bahasan tentang perkembangan institusi kajian keislaman yang ada di universitas-universitas Amerika
dan Kanada, antara lain The Institute of Islamic Studies, McGill University, Montreal, Canada.[36]
Sebuah simposium tentang Islamic Studies pernah diselenggarakan di Amsterdam tanggal 18-19 Oktober
1973 yang diikuti oleh para sarjana Barat. Tema-tema yang dibahas adalah kajian historis tentang Islam, baik di
dalam lingkup wilayah Arab, maupun non Arab termasuk India, Pakistan dan Indonesia. Dengan demikian, Islamic
studies yang dimaksudkan dalam simposium tersebut adalah pemikiran, interpetasi, atau hasil penelitian para
sarjana mengenai Islam yang berkembang di wilayah-wilayah tertentu. [dimiringkan].[37]
Ziauddin Sardar, dalam salah satu bab karyanya “Islamic Future” memberikan perhatian tentang masa
depan kajian keislaman dengan menggunakan judul The Future of Islamic Studies. Pada dasarnya, istilah studi islam
digunakan dengan pengertian umum yaitu kajian keislaman tingkat akademik. Namun, ia mengakui adanya islaimic
studies ala Barat, yang menurutnya berakar pada sejarah kolonial. Lebih tegas sardar menyatakan :
Warisan kolonial sangat nampak pada kebanyakan pelajaran dalam Islamic Studies di universitas-universitas Barat.
.. Kaitannya dengan kebijakan luar negeri (Barat) tidak pernah lenyap. Namun Islamic Studies di Barat benar-benar
memiliki keunggulan : sebab Islam dikaji sebagai “masalah”, sehingga dari sudut pandang nilai dan kebudayaan
Barat terdapat tekanan yang sangat kuat pada proses analisis. Sebagai contoh, The Venture of Islam dan Arab
Civilization to AD 1500, masing-masing oleh Hodgson dan Dunlop, adalah karya-karya analisis terbaik dari kajian
tentang masalah ketimuran.[38]

Berdasarkan beberapa uraian pengertian di atas, dapat dikatakan bahwa Islamic Studies pada dasarnya
adalah tradisi kajian Islam yang dikembangkan atas dasar kecenderungan ilmiah modern ala Barat. Tradisi Islamic
Studies tersebut termanifestasi dalam bentuk lembaga, karya-karya ilmiah dan pemikiran. Dalam
perkembangannya, Islamic Studies tidak saja melibatkan sarjana Barat, tetapi juga sarjana muslim, dengan tetap
menjaga karakter kritis dan analisis.

2. Ruang lingkup Studi Islam


Di kalangan para ahli, masih terdapat perdebatan sekitar permasalah apakah studi islam dapat dikategorikan
sebagai sebuah disiplin ilmu atau tidak. Mengingat sifat dan karakteristik antara ilmu pengetahuan dan agama
berbeda. Perdebatan sekitar masalah tersebut menyebabkan sulitnya menentukan dan mengembangkan ruang
lingkup studi Islam.
Amin Abdullah menyatakan, pangkal tolak kesulitan pengembangan ruang lingkup kajian studi Islam berakar
pada kesukaran seorang agamawan untuk membedakan antara yang normativitas dan historisitas. Pada tataran
normativitas, Islam kelihatan kurang tepat untuk dikatakan sebagai sebuah disiplin ilmu, sedang pada tataran
historisitas Islam dapat dikatakan sebagai sebuah disiplin ilmu.
Dari segi normatif, Islam merupakan agama yang tidak dapat diperlakukan kepadanya paradigma ilmu
pengetahuan. Yaitu paradigma analitis, kritis, metodologis, dan empiris. Sebagai agama, Islam lebih bersifat
memihak, romantis, apologis dan subyektif. Sedangkan jika dilihat dari segi historis yakni Islam dalam pengertian
yang dipraktekkan oleh manusia, serta tumbuh dan berkembang dalam sejarah kehidupan manusia, maka Islam
dapat dikatakan sebagai sebuah disiplin ilmu, yakni ilmu keislaman atau Islamic studies.[39]
Menurut Jacques Waardernburg, ada tiga kajian yang menjadi ruang lingkup dalam studi Islam :
a) Studi normatif tentang agama Islam : kajian ini biasanya dilakukan oleh orang muslim dalam rangka mendapatkan
pengetahuan tentang kebenaran agamanya. Yang mencakup kajian tentang ilmu-ilmu keagamaan seperti tafsir, ilmu
hadits, fiqih, ilmu kalam dan lain-lain. Namun, kajian ini juga dapat dilakukan oleh orang-orang non muslim yang ingin
mempelajari agama Islam karena ketertarikan dan keinginannya untuk menjadi muslim.
b) Studi non-normatif tentang agama Islam : kajian ini biasanya dilaksanakan di tingkat universitas. Kajian ini
bertujuan untuk mencari fakta-fakta kebenaran ajaran Islam dan mengkaji sikap keberagamaan muslim secara
faktual (living Islam). Studi non-normatif ini dapat dilakukan oleh seorang muslim atau non-muslim melalui penelitian-
penelitian ilmiah. Penelitian inilah yang secara umum dikatakan Islamic studies.
c) Studi non-normatif tetang aspek keislaman dari kebudayaan dan masyarakat muslim. Makna lebih luas dari studi ini
tidak berhubungan dengan Islam saja. Dalam konteks lebih luas membutuhkan perhatian dan pertimbangan, suatu
pendekatan Islam dari sudut pandang sejarah dan literatur atau sudut antropologi budaya sosiologi, dan tidak secara
spesifik dilihat dari perspektif studi agama.[40]
Sementara menurut Affandi Mochtar, kajian keislaman modern menaruh perhatian penuh pada hampir semua
aspek keislaman. Secara umum, bidang-bidang perhatian yang sejauh ini dikembangkan meliputi : latar belakang
kemunculan Islam – bangsa Arab pra-Islam – figur Muhammad, kitab Alquran, hadits, kalam, fiqih, tasawuf, filsafat,
beberapa konsep kunci tentang agama dalam Islam dan praktik-praktik keislaman dalam masyarakat. Selain bidang-
bidang tersebut di atas, mulai muncul juga kajian keislaman yang menyangkut perkembangan Islam kontemporer,
baik di negara-negara Islam sendiri maupun di Barat modern.[41]

F. Kesimpulan
Islam mempunyai banyak aspek ajaran untuk dikaji secara ilmiah, baik itu aspek sejarah, tasawuf, sains,
hukum, teologi dan aspek-aspek lainnya. Kajian tentang keislaman ini dikenal dengan istilah studi Islam/Islamic
Studies/ad-dirasah al-Islamiyah,baik pada tataran Islam sebagai sumber atau sebagai pemikiran atau sebagai
pengamalan (budaya/peradaban).
Yang menjadi wilayah kajian studi Islam adalah tentang seluk beluk atau berbagai hal yang berkaitan
dengan agama Islam. Baik berhubungan dengan ajaran, praktik-praktik pelaksanaannya secara nyata dalam
kehidupan sehari, sejarah dan lain-lain.
Dalam kajian-kajian keislaman diperlukan perangkat-perangkat yang akan mengantar pengkaji kepada
kesimpulan yang benar, baik dalam pendekatannya, metodologi, metode, tekhnik, dan lain sebagainya. Semua
perangkat-perangkat ini sangat berpengaruh dalam menghasilkan suatu kesimpulan dalam kajian-kajian keislaman.

Anda mungkin juga menyukai