A. Pendahuluan
Islam diyakini sebagai agama terakhir yang diwahyukan Tuhan. Sebagai agama, Islam bukan hanya sebatas
agama yang terdiri atas seperangkat sistem kepercayaan, lambang-lambang nilai moral atau kumpulan dari upacara
dan ritual-ritual keagamaan. Namun kita meyakini bahwa Islam merupakan sebuah sistem yang sempurna yang
mencakup semua aspek kehidupan, baik dalam lingkup kehidupan individu maupun sosial. Islam dapat menjadi
solusi bagi permasalahan-permasalahan yang muncul belakangan ini. Sifat rahmat Islam tidak terbatas pada
golongan, bangsa dan ras tertentu. Islam berlaku untuk seluruh manusia dan sepanjang zaman (rahmatan
lil’alamin).[1]
Agar sifat rahmat Islam tersebut dapat dirasakan secara realistis oleh manusia, Islam harus dikaji dan
dipelajari dengan menggunakan pendekatan-pendekatan dan metode-metode tertentu untuk kemudian dipedomani
dalam berbagai aspek kehidupan manusia. Kegiatan pengkajian Islam dalam berbagai aspeknya ini kemudian yang
dikenal dengan istilah studi Islam.
Studi Islam berkembang hampir di seluruh negara di dunia, baik di dunia Islam maupun non Islam. Pusat-
pusat studi Islam di dunia Islam terdapat di universitas al-Azhar di Mesir, universitas Ummul Qura di Arab Saudi dan
Universitas Teheran di Teheran. Studi Islam di negara-negara non Islam diselenggarakan di beberapa negara seperti
di India, Chicago, Los Angeles, London dan Kanada. Sementara di Indonesia, studi Islam dipelajari pada
perguruan tinggi agama Islam dan beberapa perguruan tinggi swasta di Indonesia.[2]
Berkenaan dengan studi Islam, hal yang termasuk perangkat mendasar adalah rumusan pengertian studi
Islam, makna Islam, metode, metodologi, pendekatan, paradigma, yang akan diuraikan dalam tulisan ini. Oleh karena
itu,
C. Islam Sebagai Sumber, Sebagai Pemikiran, Sebagai Pengamalan (Budaya/Peradaban); Studi Normatif dan
non-Normatif
Pada tataran sebagai sumber, agama Islam adalah agama samawi yang dibawa oleh Rasulullah SAW
dengan kitab suci Alquran sebagai sumbernya pokoknya.[17] Muhammad Abduh, mendudukkan fungsi Alquran
dengan fungsi yang tertinggi. Dalam arti, walaupun akal sehat mampu mengetahui yang salah dan benar, yang baik
dan yang buruk, tetapi ia tidak mampu mengetahui hal-hal yang gaib.[18]
Lebih dari itu, fungsi Alquran sebagai sumber nilai objektif, universal dan abadi. Karena ia diturunkan dari
zat yang maha tinggi. Kehujahan sumber hukum Islam ini dapat dibenarkan, karena ia merupakan sumber segala
macam aturan tentang hukum sosial ekonomi, kebudayaan, pendidikan, moral, dan sebagainya.
Diakui bahwa Alquran bukanlah “kitab ensiklopedia” yang berbicara tentang segala macam ilmu
pengetahuan secara rinci, tetapi ia berbicara tentang segala hal ilmu pengetahuan secara global : mulai dari
masalah aqidah, ibadah, dan akhlaq sampai masalah politik ekonomi, hukum budaya, antropologi, biologi, fisika,
[19]
kimia, bahkan teknologi perang dan sebagainya .
Dalam masalah ilmu pengetahuan contohnya, Alquran tidak mencakup teori-teori ilmiah yang baru dan
berubah serta merupakan hasil usaha-usaha manusia dalam penelitian dan eksprimen. Tetapi lebih terletak pada
dorongannya untuk berfikir dan menggunakan akal. Di mana hal ini tidak banyak diungkap oleh kitab-kitab agama
terdahulu (sebelum Alquran).[20] Sebagaimana yang telah terkandung dalam al-Quran surat Al-‘Alaq/96 : 1-5.
1. Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang Menciptakan,
2. Dia Telah menciptakan manusia dari segumpal darah.
3. Bacalah, dan Tuhanmulah yang Maha pemurah,
4. Yang mengajar (manusia) dengan perantaran kalam
5. Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya. [21]
Pada tataran pemikiran atau pemahaman, Islam memberikan ruang kajian ilmiah yang tidak kalah luasnya
dengan Islam sebagai wahyu. Banyak perdebatan-perdebatan antar kelompok-kelompok teologi merupakan
perdebatan dalam tataran kedua ini. Contohnya adalah masalah tingkah laku seorang manusia, apakah ia
mempunyai kehendak sendiri ataukah pekerjaannya sudah ditakdirkan oleh Allah SWT. Perdebatan dalam masalah
ini ramai diperbincangkan oleh kaum Mu’tazilah, As’ariyah dan golongan lainnya.
Selain itu, mengkaji proses Mu’tazilah kemudian menganut paham free-will juga termasuk dalam kajian Islam
sebagai pemikiran. Bagaimana kemudian memahami kata kutiba yang ada dalam ayat puasa kemudian diartikan
menjadi wajib juga merupakan contoh dari studi Islam pada tataran kedua.
Konsep kajian Islam sebagai pemikiran atau pemahaman adalah kajian yang berangkat dari sumber-sumber
yang diakui sebagai sumber-sumber Islam, seperti Alquran al-karim, hadits, ijma’ dan lain sebagainya. Selain itu,
mengkaji Islam pada tataran pemikiran ini juga akan memberikan ruang untuk mengkaji Islam sebagaimana dipahami
oleh suatu masyarakat. Contohnya seperti “konsep wihdatul wujud dalam Tarikat Naqsyabandiah, atau “syari’ah
menurut MUI” misalnya dan lain sebagainya. Kajian Islam sebagai pemahaman akan menyediakan ruang studi yang
sangat luas, seluas agama Islam menyebar di dunia.
Sedangkan Islam pada tataran terakhir, yakni Islam sebagai pengamalan, juga memberikan ruang kajian
keislaman yang sungguh luas. Konsep kajian Islam sebagai pengamalan berangkat dari pertanyaan
dasar: bagaimanakah suatu masyarakat mengamalkan Islam? Dari kajian keislaman pada tingkat kedua dan ketiga
inilah kemudian nantinya muncul studi wilayah, yakni memahami Islam pada suatu masyarakat, daerah, bangsa atau
etnis Islam.
Salah satu perbedaan antara Islam sebagai pemahaman dengan Islam pada pengamalan adalah
aktualisasiya pada kehidupan. Karena bisa saja suatu pemahaman tentang Islam tidak teraplikasikan dalam
pengamalan, atau malah bertentangan dengan fakta. Contoh kajian pada tataran pengamalan ini adalah
“pengaruh konsep wihdatul wujud pada aliran Tarikat Naqsyabandiah”, atau “mazhab Ciputat” dan lain sebagainya.
Dalam kajian-kajian keislaman tiga tataran ini memang perlu dijelaskan agar tidak terjadi kesalahpahaman
antara pengkaji dengan pembacanya.
1. Untuk mempelajari secara mendalam tentang hakikat agama Islam, bagaimana posisinya serta
hubungannya dengan agama-agama lain dalam kehidupan budaya manusia.
2. Untuk mempelajari secara mendalam pokok-pokok ajaran agama Islam yang asli. Bagaimana penjabaran
dan operasionalisasinya dalam pertumbuhan dan perkembangan budaya dan peradaban Islam sepanjang
sejarahnya.
3. Untuk mempelajari secara mendalam sumber dasar ajaran Islam yang tetap abadi dan dinamis, serta
bagaimana aktualisasinya sepanjang sejarahnya.
4. Untuk mempelajari secara mendalam prinsip-prinsip dan nilai-nilai dasar ajaran agama Islam, dan
bagaimana realisasinya dalam membimbing dan mengarahkan perkembangan budaya dan peradaban
manusia pada zaman modern ini.
Penekanan studi Islam yang disampaikan oleh Charles J. Adams dalam Affandi Mochtar sedikit berbeda
dengan beberapa pendapat para ahli tentang studi Islam yang telah disampaikan sebelumnya. Ia lebih menekankan
studi Islam pada segi lembaga-lembaga kajian keislaman, bukan pada tataran wacana keislaman yang
dikembangkan melalui proses pemahaman ajaran-ajaran yang terkandung dalam agama Islam. Oleh karena itu, lebih
menekankan bahasan tentang perkembangan institusi kajian keislaman yang ada di universitas-universitas Amerika
dan Kanada, antara lain The Institute of Islamic Studies, McGill University, Montreal, Canada.[36]
Sebuah simposium tentang Islamic Studies pernah diselenggarakan di Amsterdam tanggal 18-19 Oktober
1973 yang diikuti oleh para sarjana Barat. Tema-tema yang dibahas adalah kajian historis tentang Islam, baik di
dalam lingkup wilayah Arab, maupun non Arab termasuk India, Pakistan dan Indonesia. Dengan demikian, Islamic
studies yang dimaksudkan dalam simposium tersebut adalah pemikiran, interpetasi, atau hasil penelitian para
sarjana mengenai Islam yang berkembang di wilayah-wilayah tertentu. [dimiringkan].[37]
Ziauddin Sardar, dalam salah satu bab karyanya “Islamic Future” memberikan perhatian tentang masa
depan kajian keislaman dengan menggunakan judul The Future of Islamic Studies. Pada dasarnya, istilah studi islam
digunakan dengan pengertian umum yaitu kajian keislaman tingkat akademik. Namun, ia mengakui adanya islaimic
studies ala Barat, yang menurutnya berakar pada sejarah kolonial. Lebih tegas sardar menyatakan :
Warisan kolonial sangat nampak pada kebanyakan pelajaran dalam Islamic Studies di universitas-universitas Barat.
.. Kaitannya dengan kebijakan luar negeri (Barat) tidak pernah lenyap. Namun Islamic Studies di Barat benar-benar
memiliki keunggulan : sebab Islam dikaji sebagai “masalah”, sehingga dari sudut pandang nilai dan kebudayaan
Barat terdapat tekanan yang sangat kuat pada proses analisis. Sebagai contoh, The Venture of Islam dan Arab
Civilization to AD 1500, masing-masing oleh Hodgson dan Dunlop, adalah karya-karya analisis terbaik dari kajian
tentang masalah ketimuran.[38]
Berdasarkan beberapa uraian pengertian di atas, dapat dikatakan bahwa Islamic Studies pada dasarnya
adalah tradisi kajian Islam yang dikembangkan atas dasar kecenderungan ilmiah modern ala Barat. Tradisi Islamic
Studies tersebut termanifestasi dalam bentuk lembaga, karya-karya ilmiah dan pemikiran. Dalam
perkembangannya, Islamic Studies tidak saja melibatkan sarjana Barat, tetapi juga sarjana muslim, dengan tetap
menjaga karakter kritis dan analisis.
F. Kesimpulan
Islam mempunyai banyak aspek ajaran untuk dikaji secara ilmiah, baik itu aspek sejarah, tasawuf, sains,
hukum, teologi dan aspek-aspek lainnya. Kajian tentang keislaman ini dikenal dengan istilah studi Islam/Islamic
Studies/ad-dirasah al-Islamiyah,baik pada tataran Islam sebagai sumber atau sebagai pemikiran atau sebagai
pengamalan (budaya/peradaban).
Yang menjadi wilayah kajian studi Islam adalah tentang seluk beluk atau berbagai hal yang berkaitan
dengan agama Islam. Baik berhubungan dengan ajaran, praktik-praktik pelaksanaannya secara nyata dalam
kehidupan sehari, sejarah dan lain-lain.
Dalam kajian-kajian keislaman diperlukan perangkat-perangkat yang akan mengantar pengkaji kepada
kesimpulan yang benar, baik dalam pendekatannya, metodologi, metode, tekhnik, dan lain sebagainya. Semua
perangkat-perangkat ini sangat berpengaruh dalam menghasilkan suatu kesimpulan dalam kajian-kajian keislaman.