Anda di halaman 1dari 4

ESSAY

CALON PESERTA
INDONESIAN YOUTH SOCIAL EXPEDITION
VOLUME 2
Catatan:
 Essay dibuat dengan tema “Harapanku Untuk Indonesia Di Masa Depan.”
 Essay dibuat dengan jumlah minimal 250 kata.
Subtema:
Subtema harus sesuai dengan bidang pengabdian yang dipilih oleh calon peserta.
1. Pendidikan
2. Kesehatan
3. Ekonomi Kreatif &Pariwisata
4. Sosial&LingkunganHidup

“Pendidikan yang Memerdekakan, Pendidikan Untuk Semua”

“Kalian anak-anak laut, yang berumah laut, bertulang lunas perahu, berurat akar-bakau,
bernafas uap garam.. Kalian telah terlatihh, lebih daripada apa yang bisa diajarkan oleh
sekolah, untuk mengetahui apa bedanya antara ombak dengan gelombang, antara arus
dengan alir, antara angin dengan badai, antara pertanda dengan kejadian. Tetaplah seperti
itu!”
Kaledupa, 10 Januari 2007
(Roem Topatimasang dalam buku Sekolah Itu Candu)

Sekolah sebagai institusi pendidikan yang notabenenya diharapkan mampu menempa sisi
intelektual manusia, memperkokoh moral dan mental, serta menajamkan kepekaan, pada
realitas hari ini malah mengambil peran layaknya industri yang hanya melahirkan robot-robot
pekerja. Atau jika boleh mengutip pemikiran sederhana dari Paulo Freire yang menyusun
daftar antagonism pendidikan bahwa pendidikan hari ini memiliki fashionnya sendiri yaitu
“gaya bank” dimana guru mengajar, murid belajar, guru tahu segalanya dan murid tak tahu
apa-apa, guru mengatur dan murid diatur, guru sebagai subjek dalam proses belajar mangajar
dan murid sebagai objeknya. Student Center Learning, sebuah metode pembelajaran dimana
murid menjadi pusat atau sentrum pengetahuan nampaknya hanya menjadi dongeng pengantar
tidur bagi para pembelajar yang tidak lagi haus akan pengetahuan melainkan haus akan ijazah.
Belum lagi persoalan kurikulum yang menurut saya hanya menjadi patokan idealis
tanpa melihat realitas kompetensi murid dan konteks kehidupan masyarakat setempat. Kita
dipaksa tunduk pada standar, cara berpikir bahkan metodologi barat yang belum tentu
ngonteks dan sesuai dengan kondisi masyarakat di Indonesia. Seperti yang diungkapkan
Althusser (2014) bahwa tidak hanya reproduksi keterampilan, tapi juga reproduksi
memastikan ketundukan pada ideologi yang berkuasa. Maka institusionalisasi pendidikan
yang dijalankan oleh negara kapitalis ialah dalam rangka mempertahankan reproduksi
kapitalisme itu sendiri, yakni menanamkan ide-ide kapitalis.
Entah mengapa, mulai dari forum-forum seminar di hotel berbintang, sampai kuliah
umum di universitas ternama, kursi deretan paling belakanglah yang selalu terisi lebih dulu.
Lalu, entah mengapa, siswa baru berani bertanya jika sudah ada yang bertanya lebih dulu.
Mereka takut salah, takut pertanyaannya dianggap tidak berkualitas, sehingga mereka
memborgol pertanyaan dan rasa ingin tahu yang mungkin sudah ada di benak mereka. Buntu!
Jiwa-jiwa kritis terkungkung rapi dalam pola pendidikan hari ini. Murid yang
senantiasa mengeluarkan gagasannya dalam mengkritik seringkali dianggap seperti orang gila
ditengah orang-orang “waras” yang lebih memilih diam, disuap lalu kenyang. Tirani sekolah
yang menciptakan suasana proses belajar kaku dan serius menjadi penghalang lahirnya ide-ide
cemerlang dari murid-murid. Pendidikan hari ini, juga membungkam mata kita atas masalah-
masalah sosial yang ada. Tidak ada telaah kritis tentang perumusan solusi yang seharusnya
memang muncul dari ruang-ruang pendidikan. Ruang kelas menjelma penjara, teori hanyalah
tembok-tembok yang menjauhkan kita dari realitas lapangan.
Pendidikan dalam epos kapitalisme yang memuja kompetisi, memaksa murid-murid
berlomba meraih puncak, entah itu rangking ataupun IPK tertinggi. Yang terataslah yang
dianggap paling intelek. Pada hakikatnya akal manusia memang merdeka, hanya saja sistem
membuat akal kita seolah terpenjara dan terbungkam, yang ketika kita mencoba berteriak dan
melawan, ada konsekuensi akademis yang harus kita tanggung. Masihkah kau percaya pada
sekolah?
Sekolah hari ini menjadi tempat yang nyaman bagi penindasan. Mengutip beberapa
pertanyaan penting dari buku “Pendidikan Kaum Tertindas”, siapakah yang lebih siap
dibandingkan kaum tertindas untuk memahami makna mengerikan yang terjadi pada
masyarakat yang menindas? Siapakah yang merasakan akibat penindasan lebih daripada kaum
tertindas itu sendiri? Siapakah yang dapat memahami pentingnya arti pembebasan dengan
lebih baik. Pembebasan yang dimaksud disini dimulai bukan dalam arti pemberontakan fisik
terhadap kaum penindas tapi dimulai dari pencerahan bahwa akal manusia pantas untuk
merdeka tanpa intervensi dari siapapun. Proses penyadaran menjadi kunci manusia untuk
sadar akan hak-hak kemanusiaannya.
Menarik sebuah kutipan kontroversial dalam back cover buku Sekolah, Kapitalisme
yang Licik, “Nenek ingin aku memperoleh pendidikan, karenanya ia melarangku sekolah oleh
Margareth Mead”. Hal ini mengungkapkan pemikiran kontradiktif tentang sekolah hari ini
yang nyatanya tidak mendidik tapi menindas. Belum lagi aturan-aturan selalu saja menjadi
hak prerogratif tenaga pendidik. Murid terlambat tidak diperkenankan masuk kelas sementara
dosen dengan seenaknya saja datang terlambat dan mengganti jadwal kuliah yang seringkali
menyusahkan muridnya.
Tunduk dan patuhnya negara pada kapitalisme yang meniscayakan otonomi keuangan
kampus memaksa kampus untuk memutar otak untuk memenuhi pundi-pundinya dan
memastikan pembangunan infrastruktur tetap berjalan. Orientasi pendidikan bukan lagi pada
pembangunan manusia melainkan pembangunan gedung, taman dan lain-lain yang rasanya
bukan bagian dari kebutuhan. Alhasil UKT setiap tahunnya naik. Uang Kuliah menjadi
semakin mahal. Belum ditambah fenomena belakangan ini yaitu kewajiban membayar dana
pengembangan program di beberapa universitas. Pendidikan tidak lagi untuk semua.
Pendidikan hanya untuk yang berduit! Orang miskin dilarang sekolah!
Menyikapi semua ini, upaya-upaya gerakan mahasiswa perlu kembali mengkoreksi
dirinya, membongkar segala prasangka idealisme borjuis yang terus beranakpinak, yang
menjadikannya bungkam pada kekuasaan penindasan negara. Kita perlu terus meningkatkan
upaya-upaya seperti merebut hak atas kampus, cita-cita pendidikan gratis untuk rakyat,
melawan liberalisasi pendidikan, dan lain sebagainya. Jalur politis juga rasa-rasanya perlu kita
tempuh agar perjuangan tidak hanya terjadi di akar rumput.
Percayalah, tidak akan ada pendidikan yang memerdekakan dan adil tanpa perjuangan
menghancurkan kapitalisme itu sendiri! Umur panjang, perjuangan.

Referensi:
Politik Pendidikan – Paulo Freire
Pendidikan Kaum Tertindas – Paulo Freire
Sekolah Kapitalisme Yang Licik – Paulo Freire
Sekolah Itu Candu-Roem Topatimasang
Membangun Kesadaran Kritis – Nurhadi Sirimorok
Artikel dari Kompas.com “Pendidikan yang Memerdekakan”
Artikel dalam Indoprogress.com “Pendidikan yang Memerdekakan”

Anda mungkin juga menyukai