Pendidikan merupakan salah satu alat dalam kehidupan manusia, yang digunakan
untuk mnyadarkan dan membuat manusia menjadi manusia yang seutuhnya, yang
sadar dan peka terhadap lingkungan social (humanisasi). Melalui pendidikan seseorang
dapat mengenal, merumuskan sesuatu hal urgen yang terjadi di masyarakat, dan
mampu menyimpulkan dan bahkan memberikan jalan keluar.
Hakikat dari pendidikan itu mencerdaskan, menyadarkan dan membebaskan. Sejauh ini
pendidikan diyakini sebagai tempat atau wadah yang (seharusnya) menumbuhkan rasa
kemanusiaan, identitas dan karakter setiap individu dalam mengekspresikan kehidupan
berbangsa. Namun apa jadinya kalau pendidikan yang diagungkan itu, tidak lagi
menjadi alat perjuangan tetapi malah menjadi alat penghancur serta alat penindas yang
baru?
KEOTORITERAN KAMPUS
Pada masa pemerintahan orde baru (ORBA) yang sangat otoriter, kreativitas
mahasiswa ditumbuhkan dengan cara-cara yang membuat mereka menjadi homogen,
sehingga pendidikan yang seharusnya menjadi alat untuk membebaskan sebaliknya
digunakan sebagai kendaraan politik kekuasaan untuk melakukan indokrinasi.
Keseragaman dalam bertindak dan berfikir pada mahasiswa merupakan ciri utama dari
indokrinasi itu. Oleh karena itu tidak ada tempatt untuk pembedaan pendapat,
mengemukakan pendapat dan kritik terhadap pemerintahan maupun kampus, kalaupun
ada itu hanya sebagian kecil.
Dalam konteks sekarang, pola yang sama masih juga ditunjukkan dan tidak jauh
berbeda dengan zaman orde baru. Kampus yang merupakan lembaga perguruan tinggi
yang memiliki misi untuk menjalankan Tridarma Perguruan Tinggi (Pendidikan,
penilitian, dan Pengabdian terhadap Masyarakat) malah berubah fungsi menjadi pabrik
yang menciptakan mahasiswa homogeny (memiliki cara piker dan tindak yang sama),
tidak peka terhadap persoalan social yang terjadi.
Padahal kalau kita menilik pada satu poin penting dari konsep tridarma perguruan tinggi
yakni pengabdian pada masyarakat. Disebutkan bahwa salah satu tugas mahasiswa
adalah melakukan pengabdian kepada masyarakat.
Kegiatan tersebut diperlukan untuk mengetahui situasi dan kondisi sosial yang terjadi di
masyarakat, dan semua elemen kampus harus melakukan pengabdian kepadaa
masyarakat itu termasuk juga mahasiswa, mengabdikan diri pada masyarakat sudah
menjadi kewajiban mutlak yang mesti dilakukan oleh masyarakat. Akan tetapi bagaima
hal itu bisa disalurkan oleh mahasiswa jika setiap saat kampus memenjarai kebebasan
mahasiswa, dan kampus hanya memperbolehkan mahasiswa bersosialisasi pada
masyarakat saat momen kubermas saja dengan kurun awaktu yang begitu singkat.
Budaya tunduk adalah istilah yang disematkan pada mahasiswa yang dalam dirinya
tertanam suatu rasa ketakutan terhadap suatu kondisi atau keadaan (fobia berlebihan)
misalnya takut terhadap dosen, takut nilai mata kuliahnya buruk, takut IPK rendah, takut
telat lulus, dan ketakutan lainya yang ada di dunia kampus, (Landukati, (2019) Novel;
Cinta dan Perjuangan).
Ketakutan mahasiswa inilah yang menjadi senjata ampuh bagi pihak kampus terutama
Rektor beserta konco-konconya dan para pihak Dosen, untuk melakukan indokrinasi
dan teror terhadap mahasiswa, terutama bagi mahasiswa semester satu. Teror tersebut
biasanya berupa ancaman mendapat nilai rendah atau tidak lulus mata kuliah yang
mereka programkan alias eror (E), kalau mahasiswa tidak mengikuti apa yang
diinginkan dosen tersebut.
Lebih mirisnya lagi ada saja mahasiswa yang takut menegur dosennya yang suka
semena-semena (seenak maunya). Misalnya dosen yang sudah nyata-nyatanya
terlampat mengisi waktu kuliah, namun ketika dalam proses belajar berlangsung dan
ada masiswa yang terlambat anehnya dosen tersebut tidak memperbolehkan masiswa
itu masuk untuk mengikuti matakuliah tersebut. Bahkan ada juga dosen yang melarang
para mahasiswanya untuk mempertanya terkait dengan pembahasan materi yang
belum dipahami.
Terkadang mahasiswa sendiri tidak mahasiswa sendiri tidak menyadari akan hal itu,
mereka sepertinya menikmati kondisi ketertindasan yang demikian. Sehingga pemikiran
mereka hanya sebatas kuliah, kuliah dan kuliah. Lekas itu dapat ijasa dan bekerja.
Ini menjadi pola umum pemikiran mahasiswa yang dibentuk di dalam kampus oleh para
oknum dosen, sehingga nalar kritis dan kepekaan terhadap lingkungan sosial yang
seharusnya tumbuh di dalam nadi mereka malah mati digerogoti oleh semacam virus
berbahaya, dan kemudian virus itu tumbuh menjadi penindas yang baru bagi
masyarakat.
Menurut hasil penelitian yang dibuat oleh bidang penelitian dan pengembangan senat
mahasiswa selama beberapa minggu, melakukan pengamatan di kam[pus terhadap
perilaku mahasiswa. Sebanya 200 mahasiswa dari 6 fakultas, saya menemukan hasil
yang saya pikir selalu bergerak dalam suatu linear dan pola yang sama.
Hal ini membuat saya kemudian berani mengambil suatu kesimpulan bahwa
pergerakan mahasiswa hanya sebatas dari kos, kampus hingga kembali lagi ke kos.
Kebanyakan saat ini hanya bergerak pada beberapa titik tertentu dan membentuk satu
pola yang sama yaitu kampus, kuliah, kos, kasur dan kampong atau sebaliknya kos,
kasur, kampus dan kuliah.
Dengan demikian, memang tidak dapat dipungkiri bahwa polarisasi yang dibentuk,
merupakan dampak dari pada pengaruh kontaminasi budaya tunduk dan sikap
mahasiswa yang masih terlalu konservatif dalam memandang dan menjamahkan
Geopolitik kampus.
Namun satu hal yang paling membedakan antara lembaga kemahasiswaan dengan
organisasi atau forum ekstra kampuas adalah adalah tempat perjuangan, dan
keberaniannya dalam memperjuangkan serta menampung aspirasi mahasiswa dalam
kampus dan di luar kampus.
Perjuangan yang tulus tanpa mengenal rasa takut, tidak ada budaya tunduk apa lagi
mengekang. Karena yang ada hanyalah budaya untuk melawan ketidak benaran juga
mempertahankan serta memperjuangkan yang semestinya. Itulah yang membedakan
pergerakan kawan-kawan di lembaga kemahasiswaan dengan organisasi atau forum
ekstra lainnya yang “mungkin” bermesraan dan membeo (patuh dan penurut) dengan
system kampus yang membelit seperti ular piton.
___Anonimitas___