Anda di halaman 1dari 10

Peran Mahasiswa

Dalam sejarah perjalanan bangsa pasca kemerdekaan Indonesia, mahasiswa


merupakan salah satu kekuatan pelopor di setiap perubahan. Tumbangnya Orde
Lama tahun 1966, Peristiwa Lima Belas Januari (MALARI) tahun 1974, dan terakhir
pada runtuhnya Orde baru tahun 1998 adalah tonggak sejarah gerakan mahasiswa
di Indonesia. Sepanjang itu pula mahasiswa telah berhasil mengambil peran yang
signifikan dengan terus menggelorakan energi “perlawanan” dan bersikap kritis
membela kebenaran dan keadilan. Kaum minoritas berintelekual ini sebenarnya
merupakan tulang punggung pembangun bangsa dan negara menuju perubahan
kearah yang lebih baik lagi.
Siapa itu mahasiswa yang sebenarnya ? Suatu pertanyaan yang akhir-akhir ini
muncul dengan adanya dinamika yang terjadi dalam kehidupan mahasiswa itu
sendiri. Mahasiswa yang digambarkan sebagai sosok yang muda, berintelektual dan
kritis seakan semakin luntur dari waktu ke waktu. Hal seperti ini terjadi karena
adanya kegagalan pemahaman peran dan fungsi mahasiswa yang telah keluar dari
koridor. Kegagalan pemahaman tersebut terlihat dari adanya penyimpangan sikap,
gaya hidup, pencapaian cita-cita yang tinggi tanpa didasari usaha nyata dan
integritas kehidupan mahasiswa yang tidak lagi mencerminkan dan tidak terarah
terhadap perjuangan mahasiswa itu sendiri.
Mahasiswa saat ini seakan lupa siapa dirinya dan untuk apa mereka mengenyam
pendidikan sampai level paling tinggi di dunia pendidikan. Pola pikir semacam ini
wajar adanya karena memang perubahan zaman yang luar biasa pada saat ini.
Paham-paham seperti ini semakin tumbuh berkembang dalam diri mahasiswa
seiring dengan pencarian jati dirinya. Bahkan sampai dengan saat ini masih ada
mahasiswa yang bingung tentang jati dirinya dan kebingungan dalam menentukan
arah kehidupan selanjutnya.
Kini kita bisa menyaksikan dengan mudah betapa banyaknya organisasi atau
kelompok mahasiswa dibentuk, tetapi kegiatan tersebut sangat minim dengan
keilmuan, perjuangan dan tanggung jawab sosial, sehingga mereka tidak memiliki
kemampuan untuk merubah keadaan atau setidaknya menyadarkan identitas
sebagai mahasiswa. Sehingga yang terjadi justru mahasiswa yang diatur oleh
keadaan dan mereka telah melupakan jati dirinya. Padahal masa depan negara ini
menjadi pengaruhnya.
Mahasiswa sebagai Agen Perubahan
Semua mahasiswa dari segala cabang keilmuan seharusnya sadar bahwa ia
merupakan calon-calon pemimpin bangsa sebagai agent of change dimasyarakat
dan dapat resisten terhadap berbagai macam godaan yang merubah polapikir
mahasiswa saat ini. Mahasiswa yang sadar pasti akan merasakan bahwa bangku
kuliah yang dia enyam saat ini merupakan the real education pendidikan yang penuh
warna dan pertarungan pembentukan jati diri dengan intelktualitas cara berpikir.
Sistem yang telah berhasil menutup ruang gerak mahasiswa sekarang ini mampu
menghipnotis pola pikir mahasiswa, kegiata-kegiatan ilmiah, tanggungjawab dan
kepekaan terhadap kondisi sosial mahasiswa telah menjadi budaya mahasiswa
seperti kegiatan diskusi, kajian, seminar, emgontrol pemerintah, kepekaan dan
empati sosial hilang dalam kehidupan mahasiswa.
Menurut Arbi Sanit, ada lima sebab yang menjadikan mahasiswa peka dengan
permasalahan kemasyarakatan sehingga mendorong mereka untuk melakukan
perubahan. Pertama, sebagai kelompok masyarakat yang memperoleh pendidikan
terbaik, mahasiswa mempunyai pandangan luas untuk dapat bergerak di antara
semua lapisan masyarakat. Kedua, sebagai kelompok masyarakat yang paling lama
mengalami pendidikan, mahasiswa telah mengalami proses sosialisasi politik
terpanjang di antara angkatan muda. Ketiga, kehidupan kampus membentuk gaya
hidup unik melalui akulturasi sosial budaya yang tinggi diantara
mereka. Keempat,mahasiswa sebagai golongan yang akan memasuki lapisan atas
susunan kekuasaan, struktur ekonomi, dan akan memiliki kelebihan tertentu dalam
masyarakat, dengan kata lain adalah kelompok elit di kalangan kaum muda. Kelima,
seringnya mahasiswa terlibat dalam pemikiran, perbincangan dan penelitian
berbagai masalah masyarakat, memungkinkan mereka tampil dalam forum yang
kemudian mengangkatnya ke jenjang karier.
Disamping itu ada dua bentuk sumber daya yang dimiliki mahasiswa dan
dijadikan energi pendorong gerakan mereka. Pertama, ialah Ilmu pengetahuan yang
diperoleh baik melalui mimbar akademis atau melalui kelompok-kelompok diskusi
dan kajian. Kedua, sikap idealisme yang lazim menjadi ciri khas
mahasiswa. Kedua potensi sumber daya tersebut ‘digodok’ tidak hanya melalui
kegiatan akademis didalam kampus, tetapi juga lewat organisasi-organisasi ekstra
universitas yang banyak terdapat di hampir semua perguruan tinggi.
Peran sejarah cukup besar dimainkan oleh kaum muda, sebagaimana secara
tepat digambarkan Arbi Sanit. Menurut Arbi Sanit (1989), ada dua peranan pokok
yang selalu tampil mewarnai sejarah aktifitas mahasiswa selama ini, yakni: Sebagai
kekuatan korektif terhadap penyimpangan yang terjadi di dalam berbagai aspek
kehidupan masyarakat. Kedua, Sebagai pencetus kesadaran masyarakat luas akan
problema yang ada dan menumbuhkan kesadaran itu untuk menerima alternatif
perubahan yang dikemukakan atau didukung oleh mahasiswa itu sendiri, sehingga
masyarakat berubah ke arah kemajuan.
Dua peranan pokok inilah yang sesungguhnya dijalankan oleh para mahasiswa,
atau pun kaum terpelajar umumnya, di zaman kolonial clan yang kemudian
diperankan juga oleh generasi berikutnya sampai saat ini. Kendatipun demikian,
tidak dapat disangkal bahwa saat ini semakin dirasakan menurunnya daya pengaruh
gerakan mahasiswa terhadap perubahan masyarakat umumnya, maupun terhadap
proses pengambilan keputusan. Setelah berhasil menggulingkan lokomotif rezim
otoriter Orde Baru, Suharto, perubahan substansial dari cara-cara Orde Baru tidak
mengalami perubahan yang signifikan. Bahkan yang timbul adalah kecenderungan
berbedanya arah gerakan sebagian mahasiswa dengan apa yang tengah
diperjuangkan masyarakat lewat lembaga politik formalnya. Tentu saja realitas ini
tidaklah dilihat dalam term “benar salah”, sebab hal tersebut lebih merupakan suatu
konsekuensi logis dari proses perubahan masyarakat itu sendiri.
Di Indonesia terdapat lima organisasi mahasiswa ekstra universitas atau sering
dinamakan ormas mahasiswa, yang cukup menonjol, yaitu HMI Dipo (Himpunan
Mahasiswa Islam), PMII (Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia), IMM (Ikatan
Mahasiswa Muhammadiyah), HMI MPO (Himpunan Mahasiswa Islam Majelis
Penyelamat Organisasi) dan KAMMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia).
Kesemuanya menarik untuk dikaji karena sama-sama membawa label Islam sebagai
identitas organisasinya, namun memiliki corak wacana dan strategi perjuangan yang
khas.
Fenomena penting yang ada kaitannya dengan lembaga kemahasiswaan,
yaitugejala lebih berminatnya mahasiswa terhadap lembaga lembaga non-
afiliatif . Bagian ini secara lebih khusus tetapi singkat menyoroti soal kelembagaan
itu. Dalam konteks ini secara sederhana dikedepankan dua problematika yang saling
mengait, yang berhubungan dengan kelembagaan mahasiswa.
Problematika pertama menyangkut gejala ‘diskontinuitas’
sumber cumberrekruitment kader pimpinan dengan ladang ‘orbitasi’ kader. Selama
ini, setuju atau tidak, sumber-sumber rekruitment kader pimpinan mahasiswa yang
potensial adalah organisasi mahasiswa ekstra universiter/institutes, sernentara
ladang orbitasi kader yang subur adalah lembaga kemahasiswaan
intrauniversiter/institutes. Keadaan ini berjalan secara baik dan dinamis sampai
sekitar awal 1978, ketika pemerintah memberlakukan kebijaksanaan NKK/BKK.
Lepas dari maksud kependidikan yang menyertainya, tidak dapat diingkari bahwa
pelaksanaan kebijaksanaan tersebut, terutama proses restrukturisasi lembaga
kemahasiswaan membawa dampak yang luas, yang langsung menyebabkan ladang
orbitasi yang subur itu semakin kurus saja. ‘Zat zat hara’ yang selama ini
menggemukkan dinamika mahasiswa, semakin dikuras. Pada saat berikutnya,
sumber cumberrekruitment yang potensial ikut mengalami nasib yang serupa.
Lembaga kemahasiswaan ekstra universiter semakin diciutkan peranannya.
Problematika kedua, justru merupakan akibat langsung dari problematika
pertama, yakni semakin terbukanya dunia kemahasiswaan terhadap ‘intervensi’
kepentingan kepentingan lain yang kadang kadang destruktif adanya. Bisa kita
bayangkan runyamnya keadaan, jika di satu sisi para kader tidak lagi dipersiapkan di
sumber-sumber rekruitment secara terkonsentrasi, sementara ladang orbitasi pun
tidak lagi terlalu subur. Sulit untuk dibantah bahwa dasar bagi restrukturisasi
lembaga kemahasiswaan yang dilakukan tahun 1978 adalah upaya untuk mencegah
konsentrasi mahasiswa di tingkat universitas dan antaruniversitas sebagai suatu
kekuatan pendobrak. Jadi sangat politis. Tetapi yang kurang diperhitungkan ialah, di
samping tereliminasinya salah satu substansi pembangunan pendidikan yaitu
pembentukan kepribadian, juga terpecahnya mahasiswa ke dalam puluhan atau
bahkan ratusan lembaga non afiliatif yang justru membuat kerepotan baru bagi para
penentu kebijaksanaan politik pendidikan
Kondisi saat ini, GM mengambil posisi dan menciptakan isu yang berbeda-
beda tanpa dikawal oleh semangat sebuah mainstream utama. Sehingga ketika
akan melakukan reposisi, seharusnya mengagendakan main stream utama dari isu-
isu yang akan digagas dan perjuangkan oleh masing-masing organ. Sampai saat ini
menurut hemat saya, main stream yang memungkinkan melakukan konsolidasi
sekaligus perjuangan demokrasi yakni bagaimana melakuklan proses
pemberdayaan atau penguatan terhadap peran rakyat yang selama ini terpinggirkan
oleh dua kekuatan besar, yakni Oligarki Negara dan Imperialisme Neo Liberal.
Dengan kata lain agenda besarnya dalah radikalisasi peran rakyat agar lebih
berdaulat.
Radikalisasi Peran Rakyat
Salah satu yang menjadi problem besar dari demokratisasi di Indonesia adalah
tidak ketidakmampuan rakyat bersikap secara mandiri, rasional dan kritis dalam
melihat permasalahan bangsanya. Rakyat tidak memiliki kekuatan yang utuh dan
hegemonik untuk melakukan perlawanan menuju kemandirian dan kebebasan
bersikap. Sebagian masyarakat kita masih memiliki nalar pragmatisme yang cukup
akut. Salah satu indikasinya adalah ketika menentukan hak-hak politiknya dan
pilihan politiknya kepada partai politik, rakyat tidak berangkat dari sebuah
pemahaman yang utuh tentang makna dan fungsi partai politik, visi partai politik
beserta calegnya. Pilihan dan sikap politik tidak berangkat dari kesadaran kritis.
Sehingga kita sulit menemukan masyarakat yang secara sukarela bergerak dalam
aktivitas dukung mendukung kepentingan politik tertentu (Peserta Pemilu). Mereka
akan bergerak kalau dibayar, diberikan dukungan materi yang membuat hidup
mereka senang dan survive.
Dengan demikian, apapun yang dilakukan oleh gerakan Pro Demokrasi termasuk
dalam halnya GM akan tertolak oleh pragmatisme masyarakat, karena mereka tidak
memerlukan gagasan-gagasan yang berat dan bagi mereka utopis. Mereka
berprinsip bagaimana saya bisa makan dan kenyang hari ini. Sehingga tidak
mengherankan, ketika kekuatan orde baru mencoba mengajak masyarakat
mengingat kembali kemakmuran semu yang dibangun oleh Suharto, masyarakat
langsung tersadarkan dan merasa rindu dengan kondisi ketika Suharto berkuasa.
Di sinilah mainstream penguatan, penyadaran dan pendidikan politik rakyat
sebagai bagian dari proses radikalisasi peran rakyat menjadi penting. Ada beberapa
alasan mainstream ini menjadi fokus Pertama, Kran demokratisasi yang mulai
terbuka lebar pasca lengsernya Suharto, yang diiringi oleh kebebasan partisipasi
yang luar biasa, tidak diiringi oleh mental dan sikap yang demokratis. Kebebasan
berpolitik, tidak ditopang oleh rasionalitas, kekritisan dan kemandirian berpikir dan
bersikap. Sehingga Demokratisasi yang muncul adalah anarkisme, kekerasan,
perpecahan tapi bukan perubahan yang paradigmatik dan konstruktif.
Kenyataan tersebut diperparah oleh faktor kedua yakni semakin menguatnya
penjajahan yang dilakukan kapitalisme dengan Neo Liberal nya. Kapitaslime
menawarkan dan meninabobokan masyarakat dengan cara menggembor-
gemborkan sikap hidup yang hedonis, serba mewah dan menempatkan materi di
atas segala-galanaya. Semua level masyarakat, berkompetisi untuk meraih materi
sebanyak-banyaknya dan bersaing untuk mendapatkan kehidupan ekonomi yang
layak. Kapitalisme menjadikan segala sesuatu harus dihargai dengan materi.
Sehingga tidak mungkin mangajak apalagi menggerakkan masyarakat yang sedang
kelaparan untuk memikirkan format serta bangunan demokratisasi di Indonesia.
Masyarakat dengan kungkungan kapitalisme, tidak memiliki ruang-ruang berpikir
rasional dan kritis.
Faktor ketiga, Ketergantungan masyarakat kepada kaum kapital itu diperparah
lagi oleh pragmatisme negara dalam memberikan ruang pastisipasi secara sehat
kepada masyarakat. Negara gagal dalam menciptakan ruang-ruang berpikir rasional
kepada masyarakat, akan tetapi justru sebaliknya negara mempertontonkan sikap
dan budaya kapitalistik dan feodalistik dalam mengurus negara. Fenomena Korupsi
dan Nepotisme menunjukkan betapa negara tidak pernah memiliki keberpihakan
terhadap rakyat. Birokrasi yang kaku dan korup yang diperagakan negara tidak
memberi ruang partisipasi yang sehat di tengah ruang demokrasi yang seharusnya
mengalami keterbukaan. Negara lewat kebijakan-kebijakan dan Undang-undangnya
kebih banyak memihak kepada kaum kapital daripada memberdayakan masyarakat.
Sementara itu sistem politik saat ini sama sekali tidak memberikan jalan alternatif
untuk keluar dari permasalahn-permasalahan di atas. Partai Politik sebagai salah
satu instrumen dan infrastruktur demokrasi, gagal melakukan pendidikan dan
komunikasi politik yang sehat kepada masyarakat. Bahkan ada beberapa partai
politik yang sangat memamfaatkan, kebodohan, ketidakberdayaan serta irrasonalitas
masyarakat pemilihnya. Karena dengan demikian mereka begitu mudah mendapat
dukungan hanya dengan memberikan masyarakat kepuasan materi, tapi tidak
menjalankan kewajibannya yakni melakukan pendidikan politik
Dari ekplorasi di atas, maka Reposisi Gerakan Mahasiwa Pasca Pemilu 2004
adalah dengan mengagendakan penguatan basis dan radikalisasi peran rakyat
dalam mewujudkan demokratisasi di Indonesia.
Faktor-faktor Penyebab Lunturnya Gerakan Mahasiswa
Ada beberapa faktor yang menjadi penyebab melemahnya gerakan
mahasiswa. Pertama, lunturnya ideologi gerakan. Saat ini gerakan mahasiswa telah
kehilangan ideologi sehingga stigma mahasiswa yang terjun di berbagai organisasi
kampus baik intra maupun eksra sudah mengalami titik kejenuhan dan kebosanan.
Hal itu mengakibatkan lunturnya rasa sensitivisme serta responsbility aktivis
mahasiswa terhadap perubahan sosial, dampaknya adalah gerakan mahasiswa
mengalami disorientasi .

Kedua, gerakan mahasiswa sudah tidak dianggap sebagai kekuatan besar dalam
mengawal perubahan. Hal tersebut bisa kita lihat dari berbagai gerakan mahasiswa
lewat berbagai aksi demonstrasi yang jarang menghasilkan perubahan yang
signifikan. Suara mahasiswa sebagai manifestasi suara rakyat sudah tidak mempan
dalam melakukan kritik serta kontrol terhadap kinerja pemerintah. Hal itulah yang
pada akhirnya menjadikan gerakan mahasiswa menjadi semakin tumpul.

Ketiga, sudah tidak ada lagi kebanggaan menjadi seorang aktivis. Gerakan
mahasiswa selalu identik dengan para aktivis kampus, namun saat ini menjadi
seorang aktivis kampus bukanlah menjadi pilihan utama mahasiswa karena
dianggap sebagai batu sandungan dalam meraih prestasi akademik. Oleh sebab itu
tidak mengherankan jika saat ini jumlah aktivis kampus semakin sedikit.

Keempat, adanya tindakan represif dari pemerintah. Sebagai langkah preventif


untuk menangkal setiap gerakan mahasiswa, saat ini pemerintah lebih memilih
tindakan yang represif. Tak jarang kekerasan fisik dilakukan aparat pemerintah
untuk mencegah aksi dan gerakan mahasiswa. Sehingga tidak mengherankan jika
gerakan mahasiswa menjadi melemah karena adanya rasa takut akan eksistensi
dan keselamatan jiwa para aktivis.
Kelima, minimnya dukungan dari masyarakat. Gerakan mahasiswa yang sering
berakhir dengan kericuhan, serta seringnya mahasiswa melakukan pengrusakan
terhadap berbagai fasilitas umum saat melakukan aksi-aksi demonstrasi menjadikan
citra mahasiswa menjadi menurun di mata masyarakat. Hal tersebut mengakibatkan
kepercayaan dan dukungan masyarakat terhadap gerakan mahasiswa semakin
memudar. Keenam, adanya politik kepentingan mahasiswa. Saat ini orientasi
mahasiswa dalam melakukan gerakan bukan lagi murni berjuang demi kepentingan
rakyat melainkan lebih dikarenakan adanya politik kepentingan. Hal itulah yang
menjadikan pola pikir mahasiswa menjadi pragmatis, dan hanya memikirkan soal
untung-rugi.
Mambangkitkan Peran Pergerakan Mahasiswa
A. Mengasah Kemampuan Reflektif
Dalam mengembangkan perannya, kaum muda Indonesia perlu mengasah
kemampuan reflektif dan kebiasaan bertindak efektif. Perubahan hanya dapat
dilakukan karena adanya agenda refleksi (reflection) dan aksi (action) secara
sekaligus. Daya refleksi kita bangun berdasarkan bacaan baik dalam arti fisik melalui
buku, bacaan virtual melalui dukungan teknologi informasi maupun bacaan
kehidupan melalui pergaulan dan pengalaman di tengah masyarakat. Makin luas
dan mendalam sumber-sumber bacaan dan daya serap informasi yang kita terima,
makin luas dan mendalam pula daya refleksi yang berhasil kita asah. Karena itu,
faktor pendidikan dan pembelajaran menjadi sangat penting untuk ditekuni oleh
setiap anak bangsa, terutama anak-anak muda masa kini.
B. Membangun Kebiasaan Bertindak Efektif
Di samping kemampuan reflektif, kaum muda Indonesia juga perlu melatih diri
dengan kebiasaan untuk bertindak, mempunyai agenda aksi, dan benar-benar
bekerja dalam arti yang nyata. Kemajuan bangsa kita tidak hanya tergantung kepada
wacana, ‘public discourse’, tetapi juga agenda aksi yang nyata. Jangan hanya
bersikap “NATO”, “Never Action, Talking Only” seperti kebiasaan banyak kaum
intelektual dan politikus amatir negara miskin. Kaum muda masa kini perlu
membiasakan diri untuk lebih banyak bekerja dan bertindak secara efektif daripada
hanya berwacana tanpa implementasi yang nyata.
C. Melatih Kemampuan Kerja Teknis
Hal lain yang juga perlu dikembangkan menjadi kebiasaan di kalangan kaum
muda kita ialah kemampuan untuk bekerja teknis, detil atau rinci. “The devil is in the
detail”, bukan semata-mata dalam tataran konseptual yang bersifat umum dan
sangat abstrak. Dalam suasana sistim demokrasi yang membuka luas ruang
kebebasan dewasa ini, gairah politik di kalangan kaum muda sangat bergejolak.
Namun, dalam wacana perpolitikan, biasanya berkembang luas kebiasaan untuk
berpikir dalam konsep-konsep yang sangat umum dan abstrak. Pidato-pidato,
ceramah-ceramah, perdebatan-perdebatan di ruang-ruang publik biasanya diisi oleh
berbagai wacana yang sangat umum, abtrask dan serba enak didengar dan indah
dipandang. Akan tetapi, semua konsep-konsep yang bersifat umum dan abstrak itu
baru bermakna dalam arti yang sebenarnya, jika ia dioperasionalkan dalam bentuk-
bentuk kegiatan yang rinci.
Sebaiknya, kaum muda Indonesia, untuk berperan produktif di masa depan,
hendaklah melengkapi diri dengan kemampuan yang bersifat teknis dan mendetil
agar dapat menjamin benar-benar terjadinya perbaikan dalam kehidupan bangsa
dan negara kita ke depan. Bayangkan, jika semua anak muda kita terjebak dalam
politik dan hanya pandai berwacana, tetapi tidak mampu merealisasikan ide-ide
yang baik karena ketiadaan kemampuan teknis, ketrampilan manajerial untuk
merealisasikannya, sungguh tidak akan ada perbaikan dalam kehidupan
kebangsaan kita ke depan.
DAFTAR PUSTAKA

Zubaidi Ahmad. 2007. Pendidikan Kewarganegaraan untuk Perguruan Tinggi.


Yogyakarta: Paradigma. Diktat Kuliah.
http://library.binus.ac.id/eColls/eThesis/Bab2/2011-2-00013-PL%202.pdf
http://fauzulandim.blogspot.com/2012/11/membangkitkan-spirit-gerakan-
mahasiswa.html

Anda mungkin juga menyukai