Anda di halaman 1dari 3

ARTIKEL

KePMIIan
Di Susun Oleh:

M. Helmi

PERGERAKAN MAHASISWA ISLAM INDONESIA


Universitas Islam Negri Antasari
Banjarmasin
Pergerakan Mahasiswa dalam Pendidikan Kritis
PMII harus memiliki tanggung jawab representative sosial kemasyarakatan yang majemuk, dan
dituntut untuk menjadi “agent of transformation” melalui dinamika pergerakan yang konstruktif
dan menghindari pergerakan sporadis dengan landasan strategis menuju suatu tatanan masyarakat
yang adil dan makmur dalam bingkai kemanusiaan (humanist).
Berawal dari tanggung jawab inilah peran mahasiswa sangat dominan sebagai tokoh sentral
episode reformasi yang terjadi pada bulan mei 1998 yang lalu. Gerakan mahasiswa yang
bersumbu pada sikap kritis akan ketimpangan sosial pada waktu itu, seakan-akan menjadi peletup
untuk bangun dari tidur panjang. Sebuah gerakan nurani untuk membela masyarakat yang
termarginalkan dan juga gerakan moral untuk menjadikan bangsa dan Negara yang demokratis,
dan PMII menjadi bagian dari episode tersebut.
Kemudian yang menarik untuk dikaji adalah sejauh mana peranan pendidikan kritis tersebut bisa
dijadikan legitimasi akan arah gerak PMII. Sebab bagaimanapun juga aspek pendidikan
cenderung akan membentuk idiologi yang beragam pada masyarakat, khususnya mahasiswa.
Dilihat dari sejarah perkembangan pendidikan, pendidikan kritis berkembang pesat mulai dekade
70-an, namun demikian pada dekade 20-an telah lahir konsep pendidikan kritis yang berupa
pemikiran-pemikiran pendidikan progresif dari George S. Counts. Beliau mengemukakan tiga
masalah vital pada masa itu, dan kemudian dari masalah-masalah tersebut lahirlah yang
dinamakan pendidikan kritis. Tiga masalah tersebut yaitu mengkritik prinsip pendidikan
konservatif, memberikan ruang besar terhadap peranan guru untuk menjadikan pendidikan sebagai
agen dari perubahan sosial, dan penataan ekonomi sebagai salah satu syarat untuk perbaikan
pendidikan (H.A.R. Tilaar, 2003:44).
Pendidikan kritis dalam pengimplementasiannya tidak akan lepas dari konsep paradigma kritis,
dimana paradigma kritis merupakan salah satu aliran pendekatan pendidikan yang telah dipetakan
oleh Girouk dan Aronowitz (1985). Menurut mereka dalam dunia pendidikan ada tiga aliran
pendidikan yang menjadi landasan fundamental dan mempunyai karakteristik berbeda satu sama
lainnya. Aliran tersebut yaitu pendidikan yang berparadigma konservatif, liberal dan kritis.
Perbedaan yang paling mendasar dari ketiga paradigma pendidikan tersebut, yaitu dalam konteks
pengkritisan akan sebuah system. Jika dalam peradigma konservatif pendidikan bertujuan untuk
melanggengkan dan menjaga status quo, sementara paradigma liberal mengedepankan perubahan
yang moderat, maka paradigma kritis menghendaki perubahan struktur secara fundamental dalam
politik ekonomi kerakyatan.
Dalam prespektif kritis, urusan pendidikan adalah melakukan refleksi kritis terhadap idiologi dan
system yang ada ke arah transformasi sosial. Tugas utama pendidikan adalah menciptakan ruang
agar mampu bersikap kritis terhadap system dan struktur ketidakadilan, serta melakukan
dekonstruksi dan advokasi menuju system yang lebih baik. Dengan kata lain, tugas utama
pendidikan adalah memanusiakan kembali manusia yang mengalami dehumanisasi karena system
dan struktur yang tidak adil (Mansour Fakih, 2001:20).
Maka dari itu peran PMII sebagai penggerak arah transformasi ke tatanan yang lebih “beradaab”,
hendaknya dibarengi dengan nilai-nilai paradigma kritis tersebut. Karena bagaimanapun juga
image mahasiswa sebagai insan terdidik dan mempunyai daya nalar intelektual yang lebih tinggi
dibanding masyarakat lainnya dapat merespons secara aktif melalui interopeksi akan realitas dan
pengalaman, juga dengan rasa tanggung jawabnya akan mampu untuk mengadvokasi masyarakat
dengan cara dialogis, bukannya monologis.
Disamping paradigma kritis, pergerakan mahasiswa juga tidak akan lepas dari partisispasi rakyat
akan arah demokrasi, dimana menurut Mansour Fakih dalam dewasa ini telah terjadi depolitisasi
dan penjinakan terhadap konsep partisipasi. Akibatnya, kata partisispasi tidak bermakna bagi
rakyat untuk memperjuangkan nasib mereka. Dalam hal ini, menurut beliau partisispasi yang tepat
adalah partisispasi transformatif, yaitu partisispasi yang bermakna memberikan ruang kepada
rakyat untuk menjadi subjek terhadap proses perubahan sosial, pengambilan keputusan, dan aksi
melawan ketidakadilan untuk transformasi sosial mereka sendiri ( Dadang Juliantara, 1998:12)
Selain pemahaman akan paradigma dan partisispasi yang telah dipaparkan diatas, pergerakan
mahasiswa dalam pendidikan kritis juga tidak terlepas dari prinsip-prinsip pengembangan opini
publik, dalam hal ini diantaranya yaitu kritis objectif, independent, berpihak pada rakyat, dialogis
humanis dan tepat momentum.
Dalam pemahaman pendidikan kritis, PMII sebagai elemen intelektual akademik yang diharapkan
terus menerus memelihara idealismenya, akan membaca melalui sisi kekritisannya yang terus
dipelihara dengan kemampuan-kemampuannya menganalisis masalah-masalah sosial secara
objectif.
Pendidikan kritis dalam PMII tidak harus dipahami sebagai bentuk radikalisme akan sebuah
perubahan tatanan social, ekonomi, politik dan budaya. PMII dalam perananya sebagai bagian dari
oposisi moral tidak akan bisa begitu saja merubah system dan struktur yang tidak adil, karena
kekuatan moral harus dibarengi dengan kekuatan dalam “akar praksis”. Maka diperlukan adanya
kerjasama yang serius dan sinergis dari seluruh komponen masyarakat, melalui alur “chek and
balanc”.
Dari analis tersebut, dapat ditarik kesimpulan bahwa PMII dalam melakukan pentransformasian
sosial bermuara dari implementasi pendidikan kritis, yang tidak lain bertujuan untuk menciptakan
tatanan hidup masyarakat yang demokratis, humanis dan terbebaskan.
Sebagai bagian akhir dari tulisan ini, penulis menganalogikan peranan mahasiswa sebagai seorang
anak yang menggelitik bapaknya, jangan sampai sang bapak tertidur pulas dan lengah ketika
mengendari mobil bermerk “Negara”. Dan semuanya harus yakin jika anak tersebut tidak
bermaksud menyakiti dan mencelakai bapaknya. Namun sebaliknya, perbuatan anak tersebut
dikarenakan cintanya kepada sang papak. Agar jangan sampai bapak yang dikasihaninya tersebut
mati “demokrasi” karena kelengahannya

Anda mungkin juga menyukai