Anda di halaman 1dari 8

Gerakan Mahasiswa: Berangkat dari Mana dan Menuju

ke Mana?
indoprogress.com/2013/04/gerakan-mahasiswa-berangkat-dari-mana-dan-menuju-ke-mana/

April 1, 2013

Pendahuluan

AWAL kepengurusan organisasi mahasiswa saat ini, merupakan waktu yang tepat untuk
mewacanakan kembali arah gerakan mahasiswa. Hal ini yang kadang terlewatkan di
antara sebagian aktivis kampus. Padahal sebenarnya, ini selalu menjadi hal yang
menarik dan krusial, khususnya sebagai jawaban dari pertanyaan mau dibawa
kemanakah arah gerakan mahasiswa saat ini. Artikel ini memiliki tujuan untuk melihat
kembali perjalanan gerakan mahasiswa dan sebagai tawaran diagnosis bagi gerakan ke
depannya. Usaha ini dirasa sangat penting saat melihat gerakan mahasiswa saat ini
semakin kehilangan arah dan basis massanya.

Gerakan mahasiswa tidak semata sebagai kumpulan mitos dan slogan yang selalu
didengung-dengungkan para aktivis. Akumulasi mitos ini justru melenakan dan menina-
bobokan mahasiswa dalam zona nyamannya. Gerakan mahasiswa menuntut adanya
posisi yang jelas dan tegas, misalnya, dimana mahasiswa seharusnya berada di tengah
masyarakat. Menjawab soal tersebut, sebuah analisa tentang posisi mahasiswa secara
teoritis sangat dibutuhkan. Pun juga sebagai prakteknya dalam ’mengabdikan´dirinya
pada masyarakat. Dalam artian sederhana, aktivisme gerakan mahasiswa saat ini
membutuhkan topangan teori yang kuat sebagai landasan geraknya. Bukan untuk
menjadikan mahasiswa berteori secara saklek dan kaku, tetapi sebagai landasan gerak
yang jelas bagi langkah ke depan. Pentingnya teori dalam gerakan ini pernah dinyatakan
Lenin, ‘Tanpa teori yang revolusioner tak akan ada gerakan revolusioner.’

Belajar dari sejarah

Gerakan mahasiswa dalam prakteknya bukanlah hal yang ahistoris. Gerakan ini telah
melewati spektrum waktu yang lama dan cakupan geografis yang luas. Artinya, gerakan
mahasiswa bukanlah sesuatu yang terjadi dengan sendirinya dengan locus spesifik
Indonesia. Justru, gerakan mahasiswa Indonesia merupakan bagian dari kesejarahan
gerakan mahasiswa secara luas di dunia.

Dalam sejarah, secara umum gerakan mahasiswa Indonesia melegenda dalam masa-
masa tertentu. Secara awam pun, mahasiswa dapat menyebutkan dengan hapal
momentum itu. Peristiwa yang terjadi pada tahun 1966, 1974, 1978, dan 1998 diakui
sebagai tonggak sejarah gerakan mahasiswa di Indonesia. Namun, sebenarnya, yang
perlu dilakukan mahasiswa Indonesia saat ini bukanlah mengagung-agungkan gerakan
mahasiswa pada masa itu dengan menyebut-nyebutnya secara heroik. Mengapa
demikian, karena perilaku itu justru menjatuhkan gerakan mahasiswa pada romantisme
masa lalu dan terjebak dalam mitos-mitos konyol yang banyak menyebutkan bahwa
mahasiswa sebagai satu-satunya motor gerakan perubahan sosial. Bukan bermaksud

1/8
meremehkan peran mahasiswa pada masa itu, tetapi pengagungan membabi-buta akan
gerakan mahasiswa ketika itu, dalam pengalamannya, justru hanya akan berakhir pada
rasa bangga saja dan semakin mengokohkan mitos-mitos yang ada, dan yang paling
menusuk adalah tak mengubah keadaan sedikit pun.

Hal yang perlu dilakukan mahasiswa sekarang adalah pendobrakan atas ‘mitos-mitos’ di
atas dan memperbaikinya. Belajar dari sejarah merupakan upaya merekonstruksi kembali
apa yang terjadi di masa lalu untuk menjadi pembelajaran dalam pembacaan atas
realitas sekarang. Secara real memang kondisi sosialnya jelas berbeda, tetapi pola-pola
pembacaan atas kondisi yang terjadi patut untuk dilihat. Berangkat dari tesis bahwa
gerakan mahasiswa bersifat historis, maka belajar dari masa lalu adalah upaya
mempelajari pola-pola gerakan tersebut secara kritis. Hal ini perlu dilakukan agar
wawasan tentang gerakan mahasiswa tidak sempit. Oleh karena itu, kita perlu belajar
dari fakta sejarah yang telah terukir di lintasan dunia dalam hal gerakan mahasiswa
sebagai bahan analisa.

Mahasiswa Amerika Latin adalah pemberi contoh yang baik bagaimana mahasiswa
berperan dalam kehidupan bernegara. Aksi-aksi mereka diawali dari adanya Manifesto
Cordoba di Argentina pada tahun 1918. Manifesto Cordoba menjadi deklarasi hak
mahasiswa yang pertama di dunia, dan sejak itu mahasiswa di sana memainkan peran
yang konstan dan militan dalam kehidupan politik. Manifesto Cordoba adalah deklarasi
mahasiswa yang menuntut adanya otonomi akademik universitas dan keterlibatan
mahasiswa dalam mengelola administrasi universitas (cogobierno). Hal ini berangkat dari
adanya administrasi lama yang tidak pernah memberikan ruang untuk pembaharuan
kurikulum dan adanya ajaran yang membuat setiap orang ketakutan bila melakukan
perubahan. Hal yang dinyatakan dalam manifesto tersebut salah satunya, ‘Kami ingin
menghapus dari organisasi universitas konsep tentang otoritas yang kuno dan barbar,
yang menjadikan universitas benteng pertahanan tirani yang absurd.’[1]

Program reformasi total yang diinginkan mahasiswa berusaha mendobrak pandangan


konservatif akan universitas, dengan memberikan independensi penuh pada universitas
dari kooptasi kepentingan politik pemerintah, juga memberikan kesempatan mahasiswa
untuk berbagi kekuasaan dalam kampus. Hal ini merupakan refleksi atas kondisi sosial
politis di Amerika Latin yang dikuasai pemerintahan otoriter, yang jangkauan
kekuasaannys juga masuk ke dalam ranah akademik universitas. Kondisi yang demikian
kemudian menyebabkan gerakan mahasiswa secara bertahap memperluas tuntutannya
pada hal yang lebih bersifat politis, yaitu perlawanan pada rezim yang otoriter. Hal ini
karena adanya kesadaran bahwa kebijakan universitas tersebut hanya sebatas symptom,
perlu penghajaran pada akar penyakitnya. Perlawanan atas rezim tersebut dilakukan
dengan membentuk berbagai aliansi dan front bersama buruh dan petani sehingga dalam
kenyataannya mahasiswa tidak bergerak sendiri. Dalam jangka waktu 20 tahun,
perlawanan mahasiswa dari Argentina ini menyebar ke seluruh Amerika Latin. Di Peru
tahun 1919, Chili 1920, Kolumbia 1924, Paraguay 1927, Brazil dan Bolivia 1928, Meksiko
1929, Kosta Rika 1930, dan Kuba pada tahun 1933 dan 1952. Setiap negara memiliki
karakternya masing-masing, sehingga tingkat keberhasilan dan durasi pencapaiannya
pun berbeda-beda. Ada yang menang dengan menggulingkan rezim otoriter, ada juga

2/8
yang hanya setengah-setengah dengan mendapatkan otonomi sementara. Namun
setidaknya, mahasiswa Amerika Latin mengajarkan kepada kita jika tuntutan akademis
dan aktivitas politik merupakan dua hal yang saling melengkapi, bukan saling
bertentangan.

Di Italia perlawanan mahasiswa berawal dari Turin. Mahasiswa berhasil mengontrol


aktivitas fisik dan intelektual kampus mereka melalui kegiatan-kegiatannya sendiri.
Selama sebulan kampus berhasil di duduki (27 November 1967-27 Desember 1967),
sebelum aparat menyerbu kampus tersebut. Sejak itu perlawanan meluas ke beberapa
kota sepanjang jazirah Italia. Alasan utama mahasiswa melakukan perlawanan adalah
karena kondisi akademis yang otoriter. Tradisi pedagogi dan kurikulum menjadikan
profesor-profesor di sana dapat mengajar dengan seenaknya sendiri, misalnya, para
professor di sana memberi kuliah dengan diktat yang ditulisnya sendiri dan ujian hanya
diambil dari diktat tersebut. Tak ada ruang diskusi yang bebas dan kesempatan belajar
dari sumber lainnya. Selain itu, kurikulum yang disusun sangatlah kuno, seperti silabus
kuliah ilmu politik yang hanya sampai pada pemikiran JJ. Rousseau. Keterbatasan dan
kekakuan akademis ini membuat mahasiswa ‘terkurung’ dalam kegiatan akademisnya
sendiri. Oleh karena itu, agenda utama perlawanan mereka adalah kritikan atas kondisi
akademis tersebut. Untuk mencapai itu, gerakan mahasiswa berusaha memperluas
jangkauannya dengan keluar dari Turin, tentu dengan mengubah tuntutan secara praktis
menjadi ‘Lawan Otoriterianisme.’ Tujuannya jelas agar diikuti seluruh mahasiswa di Italia.
Efeknya dalam dua bulan (Januari-Februari 1968), gerakan mahasiswa ini meluas hingga
seluruh kota di Italia. Tidak hanya terdiri dari elemen mahasiswa saja, tetapi juga pelajar
dan para buruh FIAT. Hal ini kemudian menyita perhatian publik dan membuat
pemerintah tak tinggal diam. Represivitas terjadi dalam menghentikan perlawanan ini,
sehingga setidaknya 2000 mahasiswa ditangkap dengan berbagai tuduhan. Kenyataan
gerakan di Italia ini kemudian berhasil mengubah struktur akademis dan memaksa para
professor melihat kembali kurikulum di dalam kampus. Juga mengubah kebijakan
pendidikan nasional ke arah yang lebih egaliter dan terbuka.[2]

Gerakan mahasiswa di Spanyol dilatarbelakangi dua hal, yaitu krisis dan perlawanan
terbuka kepada rezim Franco dan kondisi internal Universitas. Secara umum, mahasiswa
merupakan entitas yang kecil di Spanyol pada tahun 1965.[3] Kondisi ini disebabkan oleh
mahalnya biaya kampus dan sedikitnya subsidi dari pemerintah, sehingga mahasiswa
dari kalangan buruh dan petani sangatlah kecil padahal mayoritas masyarakat berasal
dari dua kelas tersebut. Hal ini kemudian diperparah dengan sulitnya mencari pekerjaan
bagi para sarjana setelah lulus dari kampus.

Selain kondisi di atas, kooptasi rezim Franco dalam kampus sangatlah besar, termasuk
dalam serikat mahasiswa. Hanya satu serikat mahasiswa yang diakui di Spanyol, yaitu
Sindicato Espanol Universitario (SEU). Pimpinan serikat ini dipilih oleh pemerintah, meski
akhirnya diberikan keleluasaan pada mahasiswa untuk memilih sendiri. Namun,
mahasiswa tidaklah puas dengan hal tersebut dan kemudian mereka membuat serikat
baru yang dinamakan Federacion Universataria Democratica de Espana (FUDE) dan
ADEC. Keduanya kemudian melebur menjadi Confederacion Democratica de Espana
(CUDE). Setelah terbentuknya serikat baru ini, mahasiswa mulai berani mengkritisi

3/8
kebijakan-kebijakan pemerintah, termasuk dalam hal serikat mahasiswa di kampus. Kritik
mereka pada sistem Universitas kemudian merembet pada isu politik nasional. Reli-reli
protes selalu dihadapkan pada bentrokan dengan aparat kepolisian. Guna menghadapi
itu, mahasiswa kemudian membuka jaringan dengan buruh karena memiliki kesamaan
isu, yaitu kebebasan berserikat. Rezim Franco yang fasis dan totaliter dijadikan musuh
bersama karena memang dianggap sebagai akar masalah. Aliansi ini disahkan dengan
mogok bersama pada tanggal 1-3 Mei 1968. Hal ini kemudian berakibat pada bentrokan
dan penagkapan besar-besaran pada aktivis mahasiswa dan buruh. Namun perjuangan
bersama antara mahasiswa dan buruh terus berjalan hingga rezim Franco runtuh.

Gerakan mahasiswa juga terjadi di Perancis, yang paling terkenal pada tahun 1968.
Banyak versi yang menceritakan hal ini, namun bila mengikuti alur cerita dari Ernest
Mandell, faktor utama dari protes mahasiswa di Perancis adalah adanya alienasi dalam
kehidupan mahasiswa yang disebabkan oleh kampus. Mahasiswa dihadapkan pada
sistem, struktur, dan kurikulum yang membuat mahasiswa semakin terk-eksklusi dari
kehidupannya sendiri. Kampus membuat sistem ‘proletariat baru’ sehingga mereka tak
diperkenankan dalam menentukan kehidupannya di kampus dan berpartisipasi dalam
menentukan kurikulum. Semua sistem, struktur, dan kurikulum ditujukan hanya untuk
memenuhi kebutuhan industri. Mahasiswa tidak belajar sesuai dengan minat dan
bakatnya, tetapi diatur secara sistemik dalam kerangka besar untuk memenuhi
kebutuhan industri. Hal ini kemudian menjadikan mahasiswa mulai protes terhadap
kampusnya terkait permasalahan kampus. Setelah beberapa waktu, akhirnya mereka
menyadari jika akar permasalahan bukanlah di kampus, tetapi sistem yang mengatur
masyarakat secara luas, kampus dianggap hanya salah satu bagian dari masyarakat.
Pola perlawanan pun bergeser. Mahasiswa kemudian berafiliasi dengan buruh dan
elemen masyarakat lain untuk menentang sistem yang menyebabkan ‘alienasi’ tersebut,
yaitu kapitalisme. Perlawanan meluas tak hanya di kampus saja, tetapi hampir di seluruh
wilayah Perancis. Pertarungan ini naik-turun selama periode 1968 dan mempengaruhi
kenyataan politik di Perancis masa itu.[4]

Berangkat dari Realisme, Menuju Emansipatoris

Bila kita perhatikan bersama terdapat beberapa pembelajaran dari gerakan mahasiswa di
atas. Pembelajaran ini berkaitan dengan pembacaan realitas atas kondisi. Dari beberapa
kasus, setiap gerakan mahasiswa umumnya berangkat dari permasalahan yang ada di
sekitar mereka, hal itu kemudian diabstraksikan ke arah yang lebih mendasar untuk
mencari akar masalahnya. Dengan kata lain, gerakan mahasiswa selalu bermula dari
realitas di sekitarnya, dari sesuatu yang real, dan kemudian diproblematisasi. Bila
mengikuti logika ini, maka gerakan mahasiswa di atas melihat permasalahan dengan
kacamata realisme kritis.

Berangkat dari realisme merupakan kunci dalam melihat permasalahan. Lantas


kemudian timbul pertanyaan, hal seperti apa yang disebut sebagai realitas? Atau apakah
yang disebut dengan realisme? Sebelum itu, mari kita bedah apa yang disebut dengan
realisme. Realisme adalah sebuah pemahaman yang melihat kenyataan sebagai hal
yang terpisah dari diri pengamat. Dalam hal ini, kenyataan menjadi sesuatu yang ada
secara in heren di luar diri pelaku, walau pelaku itu ada atau tidak. Hal ini berbanding

4/8
terbalik dengan idealisme yang melihat kenyataan sebagai sesuatu yang ada karena idea
di kepala mengatakan hal tersebut ada. Artinya, kenyataan ditetukan oleh pikiran atau
anggapan seseorang. Dari perspektif realis, gerakan mahasiswa memandang jika
permasalahan sosial sebagai sesuatu yang ada secara real di luar diri mereka. Ada atau
tidak adanya gerakan mahasiswa, realitas permasalahan itu ada di masyarakat. Melihat
hal tersebut, gerakan mahasiswa kemudian muncul sebagai respon terhadap hal
tersebut. Namun, perlu diingat bahwa kemunculan gerakan mahasiswa tidak selalu
disyaratkan secara deterministik oleh permasalahan secara real itu.

Realisme kritis sendiri memiliki tiga tingkatan aspek ontologis, yaitu (a) realitas empirik
(realitas yang dapat dijumpai dengan panca indera), (b) realitas aktual (realitas yang
dijumpai dalam ruang dan waktu), dan (c) realitas ‘real’ (realitas yang bersifat transfaktual
dan lebih bertahan daripada persepsi kita karena ia berisi struktur yang memiiliki
kapasitas kuasa dan menjadi dasar terdalam dari peristiwa-peristiwa yang diobservasi
muncul).[5] Hubungan dari ketiga realitas tersebut terjadi secara sebab-akibat. Artinya
realitas (a) disebabkan oleh realitas (b) dan disebabkan oleh realitas (c). Sehingga,
realitas (a) merupakan manifestasi secara empirik dari realitas (c). Oleh karena itu,
realisme kritis selalu mensyaratkan untuk mendapatkan realitas yang ‘real’ atau sejati
dalam fenomena sosial, maka dibutuhkan sebuah cara untuk melampaui realitas empirik
dan realitas aktual tadi dan berusaha tak terjebak dalam keduanya. Hal ini seperti apa
yang dipaparkan Roy Bhaskar, bahwa pertama, dunia ada secara independen dari
anggapan-anggapan kita terhadapnya sekaligus terdiferensiasi dan terstratifikasi; kedua,
fenomena sosial muncul dari dalam relasi struktur menjadi aktual kemudian tampil secara
empiric; ketiga, sehingga untuk mempelajari fenomena sosial, seseorang harus memulai
dari bidang empirik, tetapi tidak boleh berhenti di situ saja melainkan harus terus
bergerak ke bidang aktual hingga mendapatkan pemahaman di tingkat relasi-relasi
terdalam dari struktur, yaitu kuasa.[6]

Melihat pengalaman dari gerakan mahasiswa di atas, gerakan mahasiswa dapat


dikatakan berangkat dari realitas empirik karena permasalahan yang di hadapi dapat
ditangkap oleh pancaindera dan langsung berkaitan dengan kehidupan mereka. Di
Amerika Latin hal itu dimulai dari permasalahan otonomi akademik, di Italia dari
otoritarianisme akademik, di Spanyol karena kekangan berorganisasi, dan di Perancis
karena ‘proletarianisasi’ kampus. Semuanya berangkat dari permasalahan yang empirik
di hadapan mereka. Namun, seperti paparan Bhaskar tadi, untuk mendapatkan realitas
yang ‘real,’ mereka tidak berhenti pada tataran permasalahan empirik saja, tapi terus
melaju untuk melewati permasalahan aktual dan menuju permasalahan terdalam yang
berasal dari relasi struktur, yaitu kuasa. Oleh karena itu, gerakan mahasiswa dari
Amerika Latin, Italia, Spanyol dan Perancis kemudian menyadari jika permasalahan yang
terjadi di dunia akademik mereka bukanlah sesuatu yang berdiri sendiri. Terdapat realitas
lain yang menjadi sumber permasalahan mereka, permasalahan inilah yang disebut
sebagai realitas ‘real.’ Realitas ‘real’ berhubungan dengan relasi kuasa secara struktural
yang menjadi akar permasalahan itu. Itulah mengapa kemudian mereka bergerak maju
menuju sesuatu yang lebih besar untuk menyelesaikan permasalahan yang sejati atau
‘real’ tersebut. Di Amerika Latin gerakan mahasiswa kemudian menuntut dijatuhkannya
otoritarianisme pemerintah, di Italia menuntut sistem akademik dalam tingkat nasional, di

5/8
Spanyol menyerang fasisme Franco, dan di Perancis kemudian menyerang sistem
kapitalisme pendidikan. Hal itu dilakukan saat mereka menemukan realitas ‘real’ tersebut
dalam konteks saat itu.

Pembelajaran yang didapatkan dari pembacaan realitas yang telah dilakukan oleh
kawan-kawan gerakan mahasiswa beberapa tahun lalu, dapat memberikan gambaran
kepada gerakan mahasiswa sekarang untuk melihat permasalahan secara kritis.
Berangkat dari realisme, dalam hal ini tentu dengan asumsi realisme kritis, adalah untuk
mendapatkan gambaran struktur permasalahan sosial dengan kacamata ontologisme
tersebut. Jargon bahwa mahasiswa berangkat dari realisme harus dijabarkan dengan
asumsi seperti di atas. Mahasiswa berangkat dari realitas atau fenomena sosial secara
empirik kemudian menuju sesuatu sesuatu yang ‘real,’ yang menjadi akar permasalahan
tersebut. Sekaligus tidak terjebak dalam realitas empirik dan aktual saja. Pembacaan
realitas yang demikian, menurut saya, tak hanya untuk permasalahan yang tunggal saja.
Analisa terhadap perkembangan isu sosial kemasyarakatan yang berlangsung secara
paralel perlu untuk dilakukan dengan analisa seperti di atas, sehingga gerakan
mahasiswa tak hanya berkutat pada satu isu ke isu lainnya saja, yang itu sebenarnya
hanya realitas empirik. Perlu penarikan secara ontologis untuk melihat realitas ‘real’ yang
terjadi. Permasalahan ‘real’ ini yang menjadi basis permasalahan untuk dihajar.

Penjabaran satu bagian telah dilewati, yaitu berangkat dari mana gerakan mahasiswa.
Maka selanjutanya yang perlu kita upas, menuju kemanakah gerakan mahasiswa ini?
Setelah realitas ‘real’ didapatkan lantas untuk apa diselesaikan?

Dalam pikiran saya, perjuangan gerakan mahasiswa menuju pada satu kata, yaitu
emansipatoris. Perjuangan ini secara singkat bertujuan untuk humanisasi kehidupan
manusia. Dalam pengertian humanisasi, pembebasan manusia dari belenggu yang
diciptakan permasalahan secara ‘real’ tadi berusaha dilepaskan. Perjuangan
emansipatoris berkaitan dengan sisi aksiologis dari ilmu pengetahuan yang menjadi
domain mahasiswa selama ini. Dengan perjuangan emansipatoris, ilmu pengetahuan tak
hanya berkutat di dunia kampus dan bebas nilai dalam menilai permasalahan. Ilmu
pengetahuan yang emansipatoris mensyaratkan keberpihakan dan berusaha
menyelesaikan permasalahan yang ada. Begitu pula gerakan mahasiswa sebagai bagian
dari civitas akademika, maka keberpihakan dan terlibat dalam penyelesaian masalah
sosial menjadi hal yang terhubung dengan perjuangan emansipatoris.

Dalam diri emansipatoris ini, keberpihakan menjadi arahan untuk menciptakan


kesetaraan bagi subyek yang diperjuangkan. Selain itu, keberpihakan menjadi jaminan
jika perjuangan mahasiswa bukanlah hal yang bebas nilai dan nihil. Terdapat subyek
yang menjadi dasar analisa bagaimana perjuangan diarahkan dan ukuran
kemenangannya. Sedangkan, aspek keterlibatan dalam penyelesaian masalah menjadi
domain pembebasan bagi yang diperjuangkan oleh gerakan mahasiswa. Pembebasan ini
merupakan langkah humanisasi dari belenggu permasalahan ‘real’ di atas. Dalam
perjuangan emanispatoris ini, gerakan mahasiswa dituntut untuk terus kontinyu dalam
denyut gerakan sosial masyarakat.

6/8
Hal tersebut dapat kita lihat dari pembelajaran gerakan mahasiswa di atas, bagaimana
perjuangan mereka diarahkan ke perjuangan emansipatoris. Gerakan mahasiswa setelah
menemukan realitas ‘real’ nya, diarahkan untuk membebaskan diri dari belenggu itu,
sekaligus menggabungkan diri dengan sektor lain di masyarakat untuk menghapuskan
belenggu yang dihasilkan oleh realitas ‘real’ tadi. Penggabungan diri ini dilakukan karena
pada umumnya permasalahan ‘real’ merupakan akar permasalahan bagi banyak
permasalahan empirik yang sifatnya multi sektoral. Oleh karena itu, menurut saya,
perjuangan emansipatoris tak dapat dilakukan dengan sendirian oleh gerakan
mahasiswa. Penggabungan diri dengan gerakan lain di masyarakat perlu dilakukan
dalam rangka pembebasan belenggu dari permasalahan yang berakar pada relasi
struktur tadi.

Penutup

Melalui tulisan ini, pembelajaran atas pembacaan realitas yang dilakukan gerakan
mahasiswa di berbagai belahan dunia menjadi hal yang penting. Setidaknya, bagaimana
gerakan ini berangkat dan menuju ke arah mana. Analisa atas hal tersebut perlu
mendapatkan porsi yang seimbang dalam dunia gerakan mahasiswa sekarang agar tak
menjadi ‘kerbau liar’ dalam dunia gerakan masyarakat.

Dengan analisa di atas, dalam hemat saya, gerakan mahasiswa saat ini harus berangkat
dari realisme dan menuju perjuangan emansipatoris. Dengan ini berarti menyadari jika
permasalahan sosial telah ada di luar sana, maka hal yang perlu dilakukan berikutnya
adalah analisa untuk menemukan relasi-relasi struktur yang menjadi akar permasalahan
sekarang, untuk menuju suatu realitas yang ‘real.’ Hal ini yang dimaksudkan dengan term
Berangkat dari Realisme. Selanjutnya, adalah pengarahan untuk menuju arena
pembebasan yang dilakukan secara bersama-sama dengan elemen masyarakat lain
untuk menuju sebuah perjuangan yang emansipatoris. Perjuangan ini bertujuan untuk
membebaskan masyarakat dari belenggu permasalahan yang diciptakan oleh
permasalahan ‘real’ tadi. Hal demikian menjadi tujuan dari gerakan mahasiswa saat ini.
Penjelasan tersebut, yang menurut saya, menjadi jawaban dari mana dan kemanakah
arah gerakan mahasiswa saat ini (harus) bergerak.***

Depok, 24 Maret 2013

Sehari sebelum Isu Kudeta akan dilancarkan

Dicky Dwi Ananta, mahasiswa Ilmu Politik UI, aktif di Pusat Kajian Dan Study Gerakan
BEM UI

[1] Alex Supartono, Mahasiswa Bergerak: Belajar dari Perlawanan dan Perjuangan
Internasional 1960-an, (Jakarta: YLBHI, 1999), hlm. 1

[2] Lihat selengkapnya dalam Alex Supatono, ibid. hlm. 22-27.

[3] Jumlah mahasiswa di Spanyol padaa tahun itu 75.000 dari 31 juta penduduk. Lihat
Alex, ibid. hlm. 28.

7/8
[4] Lihat selengkapnya dalam Dicky Dwi Ananta, Melihat Kembali Gerakan Mahasiswa:
Antara Teori dan Praktek, diunduh dari http://www.prp-indonesia.org/2012/melihat-
kembali-gerakan-mahasiswa-antara-teori-dan-praktek diakses pada 24 Maret 2013 pukul
14.23 WIB

[5] Roy Bhaskar dalam Robertus Robert,’Realisme Kritis dan Pendasaran Filosofis Ilmu
Sosial,’ Komunitas: Jurnal Sosiologi, Volume 2 Tahun 2007, hlm. 83.

[6] Roy Bhaskar dalam Robertus Robert, ibid.hlm. 84

8/8

Anda mungkin juga menyukai