Anda di halaman 1dari 5

Nama : Qori Bayyinaturrosyi NIM : 0914021041 KLS : B/V

Menggugat

Mahasiswa

Penguasa dan Depolitisasi Gerakan Mahasiswa Oleh Ridwan Saidi Ridwan Saidi adalah mantan ketua umum PB HMI (Pengurus Besar Himpunan Mahasiswa Islam) periode 1974-1979. Ridwan dalam buku yang berjudul mahasiswa menggugat ini memaparkan mengenai gerakan sosial kemahasiswaan yang terkooptasi oleh pemerintah melalui depolotisasi gerakan mahasiswa. Krisis ekonomi yang melanda Indonesia sejak Agustus 1997 merupakan cobaan besar terhadap multidimensi kebangsaan Indonesia, tidak terkecuali dunia kemahasiswaan. Pada masa itu eksistensi mahasiswa yang merupakan salah satu instrumen kontrol terhadap segala kebijakan pemerintah sangat dipertanyakan. Segelintir pihak beranggapan bahwa bungkamnya mahasiswa terhadap kondisi sosial kebangsaan dikarenakan dunia mahasiswa sudah terkooptasi oleh pemerintah. Akan tetapi pendapat tersebut bertolak belakang dengan kenyataan yang terjadi pada Februari 1998. Pada masa itu mahasiswa mulai menunjukkan taringnya dengan merekonstruksi gerakan-gerakan sosial. Bebicara jauh lagi, ternyata pada era 1998 merupakan awal dari pembuktian mahasiswa sebagai pionir pergerakan sosial era Orde Baru, era dimana mesiu adalah bahasa ketegasan dari pemerintah. Secara perlahan tapi pasti melalui beberapa kampus mahasiswa mulai bersuara dan melontarkan berbagai macam tuntutan dengan turun kejalan, sehingga tidak jarang terjadi bentrokan dengan pihak keamanan. Kondisi tersebut melatar belakangi Depdikbud mengeluarkan regulasi Normalisasi Kehidupan Kampus (NKK) dan Badan Kordinasi Kampus (BKK), bahkan regulasi Sistem Kredit Semester (SKS) yang masih berlaku hingga saat ini merupakan salah satu kebijakan pemerintah untuk membekukan aktifitas mahasiswa di kampus. Logikanya pemerintah berharap dengan sistim SKS tersebut maka mahasiswa akan sibuk di kampus dan tidak jauh menghiraukan permasalahan bangsa. Esensial dikeluarkannya regulasi tersebut

Mahasiswa Menggugat

bertujuan untuk menjinakkan mahasiswa yang sudah mulai mencoba merong-rong pemerintah Orde Baru. Secara pribadi, menurut saya pergerakan yang dilakukan oleh mahasiswa pada masa itu sebenarnya karena dipengaruhi oleh dua faktor. Faktor yang pertama bisa dikatakn karena kepedulian terhadap penderitaan rakyat kecil (bersifat semu), akan tetapi kalau mengacu pada esensial mahasiswa yang merupakan komponen masyarakat, maka bisa dikatan pergerakan tersebut juga dikarenakan oleh kepentingan peribadi (politik kepentingan) yang membaur kedalam politik kelompok, dan kondisi tersebut merupakan faktor yang kedua. Kerisis moneter yang salah satunya berimbas pada kehidupan mahasiswa ternyata memberikan stimulus pergerakan sosial kemahasiswaan. Bisa disimpulkan seperti itu, karena pada masa itu bahkan pada masa sekarangpun permasalahan ekonomi secara langsung banyak memberikan dampak pada mahasiwa yang akhirnya berujung pada keterpaksaan untuk berhenti kulyah, karena tidak mampu membayar biaya kulyah. Selanjutnya, ketika pergerakan mahasiswa mulai berlangsung dengan kontras, muncul permasalahan baru berupa konflik abstrak dan non-abstrak. Konflik abstrak disni maksud saya adalah bentrokan fisik yang terjadi antara mahasiswa dengan aparat keamanan yang tidak membenarkan tindakan gerakan mahasiswa, sedangkan konflik non-abstrak mewakili tekanan-tekanan pemerintah pada lembaga Universitas yang mengintruksikan supaya pihak-pihak kampus seperti rektor atau dosen-dosen mampu meredam tindakan-tindakan mahasiswa yang dirasa pemerintah menjurus pada keanarkisan. Dengan berbagai macam regulasi-regulasi, bahkan dengan ancaman penonaktifan pemerintah menekan pihak kampus agar secara aktif menjinakkan pergerakan-pergerakan mahasiswa. Berdasarkan pemaparan Ridwan Saidi, pada masa itu keadaannya sangat kompleks, bahkan permasalahan tersebut sudah memasuki ranah internasional. Keadaan dalam negeri Indonesia tidak luput dari pandangan internasional, sehingga pemerintah sebenarnya agak repot dalam meretas pergerakan mahasiswa, karena pasti akan berbenturan dengan permasalahan Hak Asasi Manusia (HAM).

Mahasiswa Menggugat

Berlandaskan pandangan para pakar ekonomi, bahwa krisis ekonomi merupakan fenomena yang tidak berdiri sendiri melainkan dipengaruhi oleh berbagai macam komposisi kenegaraan, maka dalam aksi-aksinya mahasiswa banyak sekali menekan pemerintah dengan tuntutan reformasi dalam segala bidang, seperti reformasi dalam bidang politik, pendidikan, hukum, dan lain sebagainya. Bahkan dengan lantang mahasiswa pada masa itu menuntut agar MPR melakukan sidang istimewa guna membahas perombakan besar-besaran dalam pemerintahan.

Politik Praktis di Kampus Oleh Hasan Mustafa Hasan Mustafa adalah Dosen FISIP Universitas Katolik Parahiyangan (UNPAR) Bandung, pemaparan Hasan tentang politik praktis di kampus dalam buku Mahasiswa Menggugat memiliki continuitas dengan pemaparan Ridwan Saidi. Politik praktis adalah sebuah istilah yang mulai tenar pada era 1978 saat diberlakukannya konsep NKK dan BKK. Politik peraktis yang terjadi di dunia kampus memang tidak bisa dipungkiri, sebelum masa Orde Baru kegiatan politik peraktis di kampus memang sudah ada, kenyataan tersebut dapat dilihat dari tindakan mahasiswa yang menjadikan kampus tidak hanya sebagai tempat menuntut ilmu tetapi juga dimanfaatkan sebagai tempat meniti karir ke dunia politik. Politik praktis mahasiswa dijembatani melalui organisasi-organisai kemahasiswaan yang berkoalisi dengan parta-partai politik, contohnya adalah koalisi antara organisasi Ketua Dewan Mahasiswa intra-Universitas yang berkoalisi dengan PNI, HMI dengan Masyumi, dan CGMI dengan PKI. Semua organisasi kemahasiswaan berlomba-lomba melakukan pencitraan dengan berbagai atributnya, organisasiorganisasi tersbut nantinya akan menjadi batu loncatan bagi mahasiswa untuk terjun langsung ke panggung perpolitikan.

Mahasiswa Menggugat

Terjadinya praktek-praktek perpolitikan di dunia kampus merupakan salah satu alasan Menteri Pendidikan mengeluarkan peraturan NKK dan BKK, yang bertujuan untuk mengembalikan guna esensial dunia kampus sebagai ranah akademis. Selanjutnya fenomena politik praktis yang terjadi di kampus akhirnya bisa diredam dengan peraturan bahwa setiap organisasi kemahasiswaan bertanggung jawab langsung kepada rektor. Istilah politik praktis di kampus, menurut Hasan Mustafa adalah sebuah istilah yang kurang tepat, karena dapat dilihat bahwa semua bentik tuntutan aspirasi yang disampaikan civitas mahasiswa merupakan aspirasi yang berhulu pada keadaan alami, dengan kata lain bukan karena rekayasa politik. Selanjutnya Hasan mengacu pada keniscayaan manusia sebagai zoon politicon, dan menegaskan bahwa semua tindakan yang dilakukan gerakan mahasiswa pada era 1978 bukanlah tindakan politik praktis yang salah, bahkan tindakan mahasiswa adalah sebuah gerakan yang peduli akan nasip bangsa, dengan cara berpolitik peraktis untuk mengontrol segala kebijakan pemerintah. Pemaparan Hasan Mustafa menurut saya dapat disumpulkan dengan bahasa bahwa istilah politik praktis di kampus adalah sebuah tudingan yang membabai buta, dengan tujuan mematikan laju pergerakan mahasiswa.

Prospek Depolitisasi Kampus Oleh Fahrus Zaman Fadhly Fahrus Zaman Fadhly adalah mantan Ketua Badan Kordinator (Badko) HMI Jawa Barat priode 1997-1999, dan mantan Ketua Senat Mahasiswa IKIP Bandung priode 1996-1997. Dalam pemaparannya, Fahrus melihat bahwa pergerakan yang dilakukan mahasiswa dengan berbagai tuntutan yang bersemboyankan reformasi clean and good government secara tidak langsung menjadikan kampus sebagai ranah depolitisasi oleh pemerintah. Pada masa Orde Baru, sejak penghujung tahun 1970-an kampus sudah mengalami depolitisasi. Depolitisasi tersebut bertujuan untuk menjinakkan

Mahasiswa Menggugat

mahasiswa secara halus. Dengan berbagai kebijakan yang sangat atraktif pemerintah setidaknya sudah mampu mendepolitisasi kehidupan kampus, dampaknya dapat dilihat dari kecendrungan life stayle mahasiswa yang apolitis, pragmatis, individualis, dan hedonis. Proses depolitisasi tersebut dilakukan dengan berbagai cara, di antaranya adalah melalui pengideologian. Dalam setiap kehidupan kampus, mahasiswa selalu diberikan penekanan bahwa tugas utama mereka adalah belajar, kondisi tersebut mengakibatkan mahasiswa tumbuh menjadi generasi yang tidak peka terhadap permasalahan bangsa. Depolitisasi yang terjadi di dunia kampus menjadikan mahasiswa sebagai generasi Developmentalisme yang mereduksi nilai-nilai kemanusiaannya, menjadikannya sebagai mesin-mesin produksi guna peningkatan produktivitas. Produktivitasnya pun berorientasi pada pasar yang mengurung kehidupan mahasiswa pada gaya hidup konsumerisme. Proyek depolitisasi kampus adalah kebijakan yang boleh dikatakan sangat antagonistik, disatu sisi pemerintah banyak melakukan rekruitmen politik terhadap orang-orang kampus, baik dosen maupun mahasiswa, untuk duduk dijabatan pemerintahan. Disisi lain pemerintah secara all out mematikan aktivitas dan kreativitas mereka, salah satu caranya adalah dengan menutup ruang politik di dunia kampus.

Anda mungkin juga menyukai