Bila ditelisik lebih jauh, ide Revolusi Pendidikan muncul sebagai respons atas kondisi
pendidikan di Indonesia saat ini, khususnya di perguruan tinggi yang dinilai bermasalah.
Salah satu masalah tersebut adalah persoalan Uang Kuliah Tunggal (UKT). Melalui
Permendikbud No. 55 Tahun 2013, pemerintah mengesahkan UKT sebagai sistem
pembayaran kuliah di Perguruan Tinggi. UKT adalah sebagian biaya kuliah yang harus
ditanggung mahasiswa dalam tiap semesternya. Kebijakan ini menimbulkan gejolak
dibanyak kampus. Ribuan mahasiswa dari berbagai Universitas seperti UGM,
Universitas Diponogoro (Undip), Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed), UIN Sunan
kalijaga, dan berbagai kampus lain, bergerak menolak pemberlakuan UKT karena dinilai
memberatkan dan menimbulkan banyak persoalan. Untuk lebih jelas mengenai UKT,
saya akan jabarkan di bagian selanjutnya.
Berawal dari UKT, muncul kesadaran dalam diri berbagai elemen mahasiswa untuk
merombak tatanan pendidikan yang selama ini ada. Tercetuslah istilah Revolusi
Pendidikan sebagai cita-cita bersama untuk merubah dunia pendidikan di Indonesia.
Saya pribadi sangat mengapresiasi gagasan ini. Apalagi jika mampu menjadi agenda
bersama seluruh elemen gerakan mahasiswa. Maklum, sudah terlalu lama gerakan
mahasiswa terkotak-kotak dalam isu, maupun cara pandang ketika melihat dunia
pendidikan.
Secara esensial, saya setuju dengan Revolusi Pendidikan, hanya saja muncul
pertanyaan dalam benak saya; “Bila ingin Revolusi, Revolusi Pendidikan dimulai dari
mana?” Sebuah pertanyaan sederhana, namun menghasilkan jawaban yang tidak
sederhana. Pertanyaan ini adalah pertanyaan yang harus dijawab oleh seluruh elemen
mahasiswa yang ingin memulai Revolusi Pendidikan. Menurut saya, perlu dilakukan
pembacaan secara menyeluruh terhadap dunia pendidikan saat ini. Pembacaan ini
sendiri minimal meliputi paradigma dasar, orientasi yang dituju, hingga pembiayaan
pendidikan di Indonesia. Pentingnya melakukan pembacaan adalah guna membentuk
kesamaan cara pandang dalam melihat dunia pendidikan. Ketika kesamaan dalam cara
pandang terbentuk, otomatis penyikapan atas realitas yang terjadi akan mudah
dilakukan.
Menurut saya, kebijakan UKT yang belakangan menuai polemik, dapat dijadikan titik
tolak untuk memulai kajian yang lebih komprehensif terhadap dunia pendidikan. Sejauh
yang saya ketahui, kajian mengenai UKT masih berkutat pada tataran praktik UKT
dilapangan, bukan pada kajian yang membahas UKT secara konsepsional. Di kampus
saya sendiri—UIN Sunan Kalijaga—pembacaan mengenai UKT masih berada dilevel hilir
bukan hulu. Seperti, golongan UKT yang tidak sesuai dengan kemampuan ekonomi
keluarga, tidak transparannya pihak birokrasi kampus dalam rincian UKT, hingga tidak
dilibatkannya mahasiswa dalam perumusan UKT. Berbagai permasalahan ini adalah
persoalan yang ditemui hampir diseluruh kampus, namun apakah permasalahan ini
merupakan permasalahan fundamental dari UKT? Saya kira tidak, sebab berbagai
persoalan tersebut tidak menunjukan kecacatan UKT secara keseluruhan. Argumentasi
yang didasarkan hanya pada persoalan diwilayah praktik, akan mudah dipatahkan
dengan logika-logika dasar birokrasi kampus atau pemerintah. Kita perlu melihat UKT
tidak hanya pada tataran praktik di lapangan, tapi pada tataran konsep. Kita harus
membalik cara pandang kita melihat UKT, UKT ditolak bukan karena ia bermasalah di
lapangan, namun karena UKT memang telah cacat sejak dibuat sehingga menimbulkan
permasalahan dilapangan. Kita harus menunjukan kepada seluruh mahasiswa dan
masyarakat secara umum, bahwa UKT telah bermasalah sejak dalam pikiran sehingga
kita patut menolaknya.
Bila proyeksi kita adalah pada Revolusi Pendidikan, pembacaan menyeluruh terhadap
UKT adalah salah satu pintu awal memulai Revolusi Pendidikan. Tulisan ini dibuat
sebagai bentuk ijtihad saya dalam menunjukan kecacatan UKT secara konsepsional.
Diharapkan tulisan ini mampu memantik perdebatan lanjutan mengenai UKT dan
berguna dalam langkah awal menuju Revolusi Pendidikan.
Ekonomi klasik ini yang dikemudian hari disebut Kapitalisme. Menurut Warner Sombart,
kapitalisme ditandai oleh tiga semangat: pemilikan, persaingan, dan rasionalisasi.4
Ketiga semangat diatas menjadi mekanisme kerja Kapitalisme sebagai sistem
pemikiran.
Perkembangan sistem ekonomi klasik berjalan bukan tanpa kritik. Tokoh-tokoh utama
pemikiran ini mendapat kritik pedas dari pemikir lainnya. Beberapa tokoh tersebut ialah
Pierre Joseph Proudhon dan Karl Marx. Proudhon terkenal sebagai bapak kaum
Anarkis, ia menjadi sosok fenomenal setelah menulis sebuah tulisan berjudul What is
Fakih, Dr. Mansour, Runtuhnya Teori Pembangunan dan Globalisasi. Yogyakarta: Insist Press & Pustaka
1
Perjalanan Kapitalisme selain menghadapi kritik dari berbagai pemikir lain, juga
dihadapkan pada berbagai perubahan sosial dimasyarakat tiap zamannya. Seperti
ketika terjadi Perang Dunia I tahun 1914-1919. Saat itu, berbagai infrastruktur kota
hancur akibat perang. Uang kas negara juga terkuras habis untuk membiayai perang.
Perekonomian negara-negara yang terlibat pun lumpuh. Banyak pabrik yang tutup dan
pengangguran merajalela. Daya beli masyarakat menurun, ditambah lagi banyaknya
perlawanan masyarakat di negeri jajahan membuat konsentrasi negara di Eropa
terpecah. Kondisi ini membuat krisis terjadi di berbagai penjuru dunia yang
terakumulasi di akhir tahun 1930-an. Krisis ini yang kemudian dikenal The Great
Depression (Depresi Besar).
Depresi Besar tahun 1930 menjadi titik tolak transformasi Kapitalisme. Ketika itu
muncul banyak ekonom yang mencoba mencari solusi atas masalah yang sedang
terjadi. Salah satu tokoh tersebut adalah John Maynard Keynes. Keynes menginginkan
peran negara yang diperbesar untuk membantu pasar dapat bekerja dengan baik untuk
menciptakan keseimbangan antara permintaan dan penawaran.5 Gagasan Keynes ini
membuat ia dicap sebagai ekonom neo-klasik. Penekanan untuk memperbesar peran
negara dalam perekonomian untuk memperkuat pasar ini yang belakangan disebut
sebagai konsep welfare state (Negara Kesejahteraan). Menurut Dawam Rahardjo,
welfare state berpandangan bahwa negara mempunyai kewajiban untuk melindungi
warga negaranya dari kemiskinan. Kewajiban ini tidak bisa diserahkan begitu saja
kepada individu, perusahaan-perusahaan swasta atau kelompok masyarakat. Negara
bertanggung jawab menciptakan kesejahteraan dengan menarik pajak dari
perusahaan-perusahaan dan warga negara umumnya. Dari pendapatan itu, negara
memberikan tunjangan/subsidi kepada para penganggur dan keluarga miskin,
mengadakan pendidikan gratis, kesehatan gratis, dan penyediaan sarana dan prasarana
untuk masyarakat.6 Realitas ini membuat pemiskinan seperti yang diramalkan Marx
tidak terjadi, dan perusahaan-perusahaan (Kapitalis) dapat terus mengeruk laba
sebesar-besarnya.
Gagasan welfare state ini menjadi semacam obat atas terjadinya Depresi Besar tahun
5
Ibid., Hal. XXVII.
6
Ibid., Hal. XXII.
1930. Dengan melakukan penguatan peran negara melalui mekanisme subsidi kepada
masyarakat, dengan sendirinya daya beli masyarakat kembali meningkat.
Pengangguran dapat ditekan dengan beroperasinya banyak perusahaan yang
sebelumnya tutup. Singkatnya perekonomian kembali normal.
Depresi Besar menjadi semacam bukti adaptasi Kapitalisme atas perubahan kondisi
zaman. Walaupun berubah secara bentuk namun secara prinsip tidak ada perubahan.
Era pasca Depresi Besar menandai berkembangnya pemikiran ekonomi neo-klasik.
Setelah menemui tantangan saat Perang Dunia I, Kapitalisme kembali mengalami krisis
dalam kondisi yang hampir serupa. Tepatnya ketika terjadi Perang Dunia II, tahun
1939-1945. Uang kas negara habis untuk perang, infrastruktur yang porak poranda
akibat perang. Meningkatnya angka pengangguran hingga lumpuhnya perekonomian
menjadi masalah utama ketika Perang Dunia II. Ekonom dan berbagai pemimpin dunia
berkumpul di Resort Gunung Washington dekat Bretton Woods, New Hampshire, pada
Juli 1944. Lebih dari 700 delegasi dari 44 negara—termasuk John Maynard Keynes turut
hadir.7 Hasil dari konferensi ini adalah perjanjian Bretton Woods. Perjanjian ini
menstabilkan mata uang internasional dengan mengelompokan mereka ke nilai emas.
Tetapi warisan utama adalah lahirnya tiga institusi internasional baru: Pertama, The
International Monetary Fund (IMF), yang bertugas mengelola sistem moneter baru;
Kedua, The International Bank for Reconstruction and Development (IBRD), bertugas
memberi pinjaman kepada negara-negara yang membutuhkan—saat ini menjadi World
Bank; Ketiga, The General Agreement on Tariffs and Trade (GATT), bertugas
membentuk dan mendorong perjanjian perdagangan.8
IMF, IBRD, dan GATT berhasil merekontruksi perekonomian dunia. Ketiga lembaga ini
memberi pinjaman kepada negara-negara yang hancur akibat Perang Dunia II, hanya
saja pinjaman ini tidak gratis. IMF dan IBRD misalnya, mengajukan syarat tiap kali ada
negara yang mengajukan proposal permohonan pinjaman, kedua lembaga tersebut
meminta kepada negara itu untuk mereformasi berbagai peraturan di negaranya yang
menghambat investasi. Hal ini dimaksudkan agar berbagai perusahaan Multinational
Corporations (MNC) dan Transnational Corporation (TNCs) dapat leluasa
menggelontorkan modalnya di negara-negara tersebut. Dengan perjanjian Bretton
Woods, Kapitalisme kembali mampu keluar dari krisis yang menghinggapinya.
Bulan madu Kapitalisme dengan perjanjian Bretton Woods hanya bertahan sesaat.
Tahun 1970-an sistem ekonomi kapitalisme kembali diguncang krisis. Kali ini krisis
disebabkan keterlibatan Amerika Serikat (AS) dalam Perang Vietnam. Perang Vietnam
menyita banyak kas negara AS. Kala itu harga tukar Dollar Amerika terhadap emas
Siradjudin, Effendi. Nation in Trap: Menangkal ‘Bunuh Diri’ Negara dan Dunia Tahun 2020. Yogyakarta:
7
Neoliberalisme berasal dari kata neo, liberal, dan isme. Liberal disini dimaksudkan
sebagai liberal dalam pengertian ekonomi, bukan dalam artian lain seperti politik.
Sedangkan neo merujuk pada bangkit atau kelanjutan dari sistem ekonomi liberal yang
dulu ada. isme bermaksud paham atau sistem pemikiran. Sehingga neoliberalisme
kemudian bermakna sebagai sistem pemikiran ekonomi yang melanjutkan perjuangan
sistem ekonomi liberal.9 Dikatakan melanjutkan karena setelah Depresi Besar tahun
1930, roda perekonomian dunia menguatkan peran negara, dengan gagasan Welfare
State. Neoliberalisme hadir untuk menentang itu semua. Keterlibatan negara dalam
perekonomian adalah sesuatu yang keliru. Berbagai permasalahan ekonomi seperti
kemiskinan dan kenaikan harga barang-barang tidak boleh disikapi pemerintah dengan
memberikan subsidi. Biarkan pasar menyelesaikan permasalahan tersebut sendiri.
Begitu kira-kira argument penganut paham ini.
Harvey, David. Neoliberalisme dan Restorasi Kelas Kapitalis. Yogyakarta: Resist Book. 2009. Hal. 3.
10
Darmaningtyas, Edi Subkhan, Fahmi Panimbang. Melawan Liberalisme Pendidikan. Malang: Madani.
11
2014. Hal.29.
Dari butir-butir kesepakatan diatas, terlihat orientasi utama perekonomian dunia
diarahkan pada perdagangan bebas, minimalisir peran negara dalam perekonomian,
dan stabilitas makro dalam ekonomi.
Setelah Kesepakatan Washington terbentuk, pada tahun 1994 GATT berubah menjadi
The World Trade Organization (WTO). Perubahan ini terjadi dalam perundingan Putaran
Uruguay di Marakesh, Maroko. Tugas pokok WTO tidak jauh berbeda dengan GATT
dalam perumusan regulasi perdagangan bebas dunia. Hanya saja WTO tidak dibentuk
untuk memonitoring anggota yang tidak mengikuti aturan, namun bertindak berdasar
komplain yang diajukan anggotanya.12 Indonesia yang juga hadir dalam pertemuan itu,
turut menandatangani kesepakatan pembentukan WTO. Bentuk persetujuan tersebut
terlihat dengan keluarnya UU. No. 7 Tahun 1994 Tentang Pengesahan Organisasi
Perdagangan Dunia. Dengan keikutsertaan Indonesia dalam persetujuan pembentukan
WTO, arah ekonomi Indonesia secara resmi berkiblat kepada sistem ekonomi
Neoliberalisme hingga saat ini.
Uraian panjang diatas adalah gambaran umum mengenai sistem ekonomi yang hari ini
dianut di Indonesia. Pertanyaannya apa korelasi realita tersebut dengan pendidikan?
Disini letak menariknya. Kebanyakan masyarakat biasanya berpikir bahwa pendidikan
adalah bidang yang netral dari kepentingan ekonomi tertentu. Namun kenyataan yang
terjadi menunjukan sisi sebaliknya.
Tahun 2001 WTO menyelenggarakan pertemuan di Doha, Qatar. Dalam pertemuan ini
dibahas mengenai liberalisasi perdagangan dunia. WTO membagi liberalisasi
perdagangan dunia menjadi dua ketegori, yaitu General Agreement on Tariff and Trade
(Kesepakatan Umum tentang Tarif dan Perdagangan/GATT) dan General Agreement on
Trade in Services (Kesepakatan Umum Perdagangan Sektor Jasa/GATS). Melalui GATS
inilah pendidikan bersama 11 sektor lain dikategorikan sebagai jasa dalam
perdagangan dunia.13 Jasa Pendidikan menurut WTO dibagi menjadi empat, yaitu:
Pertama, institusi pendidikan tinggi luar negeri menawarkan kuliah melaui internet dan
online degree program. Kedua, bentuk penyediaan jasa pendidikan tinggi yang paling
dominan, mahasiswa belajar di perguruan tinggi. Ketiga, kehadiran perguruan tinggi luar
negeri dengan membentuk partnership, subsidiary, twinning arrangement dengan
perguruan tinggi lokal. Keempat, dosen atau pengajar asing mengajar pada lembaga
pendidikan lokal.14 Masuknya sektor pendidikan kedalam 12 sektor jasa yang dapat
diperdagangkan, menunjukan kepada kita bahwa pendidikan bukanlah sesuatu yang
netral dari kepentingan ekonomi Kapitalisme—Neoliberalisme.
Fakih, Dr. Mansour, Runtuhnya Teori Pembangunan dan Globalisasi. Yogyakarta: Insist Press & Pustaka
12
Pendidikan Tinggi.
Neoliberalisme menempatkan pendidikan tak ubahnya barang dagangan atau komoditi
yang dapat diperjualbelikan. Cita-cita luhur pendidikan yang selama ini dianggap
sebagai alat pembebasan, alat menyalurkan ilmu pengetahuan, atau alat
pengembangan kreativitas manusia, dimata Neoliberalisme adalah omong kosong.
Bagi Neoliberalisme, pendidikan ialah alat untuk mengeruk keuntungan
sebesar-besarnya. Karena itu tidak heran, jika arah pendidikan dibuat sedemikian rupa
sehingga pendidikan menjadi pabrik tenaga kerja yang cocok untuk tujuan ekonomi
Neoliberalisme.15
Sampai disini saya kira cukup jelas posisi pendidikan dalam konstelasi ekonomi-politik
dunia. Pendidikan adalah alat kepentingan Neoliberalisme untuk mengeruk keuntungan.
Dibagian selanjutnya saya akan mencoba menjelaskan lebih jauh mengenai Liberalisasi
Pendidikan yang terjadi di Indonesia. Hal ini saya lakukan demi memudahkan
menganalisa fenomena UKT yang sedang terjadi saat ini.
Praktik Liberalisasi Pendidikan walaupun tidak secara eksplisit terlihat, embrio awal
pembentukannya bisa dilacak setelah ditanda tanganinya kesepakatan pendirian WTO
dan keluarnya UU No. 7 Tahun 1994. Tanda-tanda terjadinya Liberalisasi Pendidikan
mulai nampak ketika pemerintah Indonesia pada Tahun 1999, mengeluarkan Peraturan
Pemerintah (PP) No. 61 Tahun 1999 Tentang Perguruan Tinggi Negeri sebagai Badan
Hukum. Substansi pokok PP ini adalah perubahan status perguruan tinggi negeri
menjadi Badan Hukum Milik Negara (BHMN). Kampus-kampus yang statusnya BHMN
mendapat otonomi dalam bidang akademik maupun non-akademik secara penuh untuk
Wahono, Francis. Kapitalisme Pendidikan: Antara Kompetisi dan Keadilan. Yogyakarta: LKiS. 2001.
15
Hal.6.
mengelola dan menyelenggarakan pendidikan tinggi. Kampus-kampus yang berubah
menjadi BHMN antara lain; UGM, Universitas Indonesia (UI), Institut Pertanian Bogor
(IPB), Institut Teknologi Bandung (ITB), Universitas Sumatera Utara (USU), Universitas
Pendidikan Indonesia (UPI), dan Universitas Airlangga (Unair). Perubahan status
perguruan tinggi negeri (PTN) menjadi BHMN, secara perlahan mengubah watak dan
karakter PTN yang bersangkutan, dari yang tadinya PTN publik, berubah menjadi PT
privat.16
Aroma Liberalisasi Pendidikan kian tercium dengan keluarnya UU. No 20 Tahun 2003
Tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas). UU Sisdiknas disinyalir merupakan
turunan dari kesepakatan yang ada dalam GATS. Walaupun Indonesia baru meratifikasi
perjanjian tersebut pada Tahun 2005, tidak dapat dipungkiri kuatnya nuansa pesanan
dalam UU ini begitu terasa. UU Sisdiknas sendiri menuai banyak kontroversi,
kontroversi tersebut dipicu salah satunya karena pada pasal 50 ayat (6) yang berbunyi,
“Perguruan tinggi menentukan kebijakan dan memiliki otonomi dalam mengelola
pendidikan di lembaganya.” Serta dalam pasal 53 ayat (1), (2), (3), dan (4) yang
membahas mengenai BHP (Badan Hukum Pendidikan). Pasal 53 ini merupakan
kelanjutan dari PP No. 61 Tahun 1999 Tentang PTN sebagai BHMN. Kedua pasal ini
dipandang sebagai contoh pasal yang melanggengkan praktik Liberalisasi Pendidikan.
Dengan adanya otonomi, satu sisi membawa dampak positif karena pengembangan
keilmuan bisa disesuaikan dengan kebutuhan lembaga pendidikan itu sendiri. Namun
sisi negatifnya, otonomi kampus membawa dampak pada hilangnya peran negara
dalam penyelenggaraan pendidikan. Kasus mahalnya biaya kuliah sebelum adanya UKT
adalah contoh menarik dari pemberlakuan otonomi kampus. Kita pasti tahu bahwa
sebelum adanya UKT terdapat beragam pungutan pendidikan kepada mahasiswa.
Seperti, uang gedung, SPP, uang SKS, dan lain-lain. Banyaknya pungutan ini disebabkan
tuntutan pemerintah kepada kampus agar meningkatkan kualitas pendidikan di
kampusnya. Hanya saja masalahnya besaran subsidi dari pemerintah cenderung tetap
bahkan menurun. Konsekuensinya pengelola kampus yang diberikan otonomi, mencari
sumber pendapatan lain diluar pemerintah. Sumber pendapatan paling mudah adalah
dari mahasiswa. Tidak heran jika kemudian kampus-kampus menarik banyak pungutan
kepada mahasiswa. Implikasi banyaknya pungutan ini membuat biaya kuliah menjadi
amat mahal. Contoh ini menunjukan bermasalahnya praktik otonomi kampus yang
menghilangkan peran negara dalam pendidikan.
16
Opcit., Hal. 44.
Modal, yang diikuti penerbitan Peraturan Presiden RI (Perpres) No. 76 Tahun 2007 dan
Perpres No. 77 Tahun 2007. Kedua Perpres ini menyatakan bahwa Pendidikan
merupakan bidang usaha yang terbuka bagi penanaman modal asing maksimal sampai
49%. Dengan terbukanya pendidikan untuk modal asing, terbukalah jalan bagi modal
masuk ke sektor pendidikan. Masuknya modal ke dunia pendidikan akan berimplikasi
pada orientasi pendidikan yang hanya untuk mencari keuntungan semata.
Tahun 2009, keluar UU No. 9 Tahun 2009 Tentang Badan Hukum Pendidikan (BHP). UU
BHP merupakan amanat dari UU Sisdiknas yang di pasal 53 ayat 4 menghkendaki
pembuatan UU yang mengatur lebih jauh mengenai BHP. Sama seperti UU Sisdiknas,
UU BHP juga menuai kontroversi di masyarakat. Kontroversi ini pun dipicu hal yang
sama ketika UU Sisdiknas keluar, yaitu terkait praktik Liberalisasi Pendidikan seperti
yang termuat dalam pasal 41 ayat (2) yang berbunyi, “Pemerintah, Pemerintah Daerah,
dan Masyarakat dapat memberikan bantuan sumberdaya pendidikan kepada badan
hukum pendidikan.” Kata ‘dapat’ dalam ayat tersebut ditafsirkan banyak orang sebagai
pilihan bukan kewajiban. Pemerintah dapat membiayai pendidikan bila pemerintah mau,
bila pemerintah tidak mau tidak ada persoalan. Disinilah bentuk terselubung dari
Liberalisasi Pendidikan dalam UU BHP.
Kontroversi UU BHP ini bahkan hingga ke meja Mahkamah Konstitusi (MK), dengan
pengajuan judicial review oleh Tim Advokasi Koalisi Pendidikan. Judicial review ini
sendiri dikabulkan oleh MK, dengan keputusannya untuk membatalkan UU BHP karena
bertentangan dengan UUD 1945.
Kondisi ini membuat kemungkinan akses pendidikan tinggi bagi orang miskin akan sulit
terpenuhi, pendidikan tinggi hanya akan menjadi tempat orang-orang yang mampu
secara finansial. Apalagi dalam UU PT ini tidak ada satu ayat pun yang menjamin setiap
rakyat Indonesia untuk bisa memperoleh pendidikan tinggi. UU PT inilah yang hingga
detik ini masih berlaku, dan mengilhami lahirnya UKT yang sebenarnya adalah praktik
Liberalisasi Pendidikan model baru.
Sampailah kita pada pembahasan mengenai UKT. Sepengetahuan saya UKT muncul
pertama kali pada Tahun 2013. Pemerintah melalui Menteri Pendidikan dan
Kebudayaan, Mohammad Nuh, mengeluarkan Peraturan Menteri Pendidikan dan
Kebudayaan (Permendikbud) No. 55 Tahun 2013 Tentang Biaya Kuliah Tunggal (BKT)
dan Uang Kuliah Tunggal (UKT). Peraturan ini merupakan turunan dari UU PT yang
disahkan 2012 lalu. Dalam pasal 88 dan 98 UU PT, pemerintah diamanatkan
mengalokasikan dana bantuan operasional perguruan tinggi paling sedikit 30% . . .
(Pasal 98, ayat 6). Menetapkan satuan biaya perkuliahan secara periodik di perguruan
tinggi . . . (Pasal 88, ayat 1). Menentukan satuan biaya operasional perguruan tinggi
yang ditanggung mahasiswa . . . (Pasal 88, ayat 3). Dan membuat ketentuan lebih lanjut
terkait ketiga hal tersebut . . . (Pasal 88, ayat 5).
Permendikbud No. 55 Tahun 2013 adalah ketetapan pemerintah yang dibuat untuk
Tulisan Ahmad Rizky Mardhatillah Umar dalam Harian Indoprogress.com berjudul, Pendidikan Tinggi
17
Dalam draft Permendikbud No. 55 Tahun 2013 pada bagian pertimbangan, poin (2)
dikatakan, “Bahwa untuk meringankan beban mahasiswa terhadap pembiayaan
pendidikan, perlu menetapkan uang kuliah tunggal di perguruan tinggi negeri di
lingkungan kementerian pendidikan dan kebudayaan.” Dari apa yang tertulis tersebut,
pemerintah berusaha menunjukan kepada kita bahwa semangat awal pembentukan
UKT adalah untuk meringankan beban pendidikan mahasiswa di perguruan tinggi.
Semangat ini diperkuat dalam Konferensi Pers Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan tentang UKT Tanggal 27 Mei 2013. Dalam forum ini, pihak pemerintah
mengatakan, bahwa prinsip penetapan BOPTN, BKT dan UKT adalah beban biaya yang
di tanggung oleh mahasiswa, di usahakan menurun dari tahun ke tahun dengan
menaikan BOPTN serta mendasari beban biaya untuk saling menopang, si kaya
menopang biaya kuliah si miskin (Afirmasi).19
Rumus penghitungan UKT adalah BKT dikurangi (-) BOPTN sama dengan (=) UKT.
Besaran bantuan BOPTN hanya menutupi sebagian dari total biaya dalam BKT. Jumlah
biaya yang tidak tertutupi oleh BOPTN ini yang kemudian menjadi UKT dan dibebankan
kepada mahasiswa untuk dibayarkan. UKT yang dibayarkan mahasiswa, dikelompokkan
berbasarkan kemampuan ekonomi mahasiswa yang dibagi menjadi lima golongan.
Mahasiswa yang pendapatan per-bulan orang tuanya di bawah Rp. 250.000,
ditempatkan di golongan I dengan beban biaya kisaran Rp. 0 – Rp. 400.000. Mahasiswa
yang orang tuanya memiliki pendapatan diatas Rp. 250.000 ditempatkan digolongan II
hingga V yang besarannya bervariasi tergantung kebutuhan program studi yang
ditempuh.
19
Bahan Konferensi Pers Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan tentang UKT tanggal 27 Mei 2013.
termuat dalam BKT. Misalnya di dalam BKT ada anggaran pengadaan jas almamater
kampus, namun dalam kenyataannya jas almamater tersebut tidak ada. Praktik ini
dijumpai hampir diseluruh perguruan tinggi yang menggunakan UKT.
Bagi sebagian orang, permasalahan yang kerap ditemui dalam pelaksanaan UKT adalah
masalah teknis belaka. Berbagai masalah tersebut bukanlah masalah vital dari UKT itu
sendiri. Orang-orang ini berpendapat bahwa pada dasarnya UKT baik, namun
pelaksanaannya saja yang bermasalah, sehingga niatan baik tersebut tidak terlaksana.
Bagi saya pendapat seperti ini keliru. Dalam pandangan saya UKT sudah bermasalah
sejak dibuat, setidaknya ada tiga alasan mengapa UKT bermasalah. Pertama, UKT
merupakan turunan dari UU PT yang sangat kental nuansa Liberalisasi Pendidikan di
dalamnya. Sehingga besar kemungkinan pemberlakuan UKT membawa semangat
serupa.
Pasal 31 UUD 1945 dan putusan MK diatas sangat jelas mengamanatkan bahwa
penyelenggaraan pendidikan adalah tanggung jawab pemerintah, baik pada sistem
maupun pembiayaan pendidikan tersebut. Terselenggaranya pendidikan merupakan
wujud eksistensi negara. Kondisi ini membuat prinsip moralis tentang subsidi silang
UKT harusnya tidak berlaku. Orang miskin dan kaya memiliki hak yang sama dalam
memeroleh pendidikan yang sepenuhnya ditanggung pemerintah.
Ketiga alasan ini bagi saya cukup untuk dijadikan alasan menolak UKT, karena bukan
hanya secara praktik di lapangan yang menemui masalah, namun secara konsep pun
UKT sudah bermasalah. UKT tidak lebih sebagai model terbaru dari Liberalisasi
Pendidikan di Indonesia.
20
Putusan Mahkamah Konstitusi No 012/PUU-III/2005
Seruan Perlawanan!
Setelah melihat posisi pendidikan dalam konstelasi ekonomi-politik dunia dan melihat
bagaimana UKT ternyata adalah pelanggeng Liberalisasi Pendidikan, urgensi
melakukan Revolusi Pendidikan adalah 100%. Walau begitu, menurut saya kajian lebih
jauh terhadap dunia pendidikan yang tidak hanya menyoroti persoalan UKT atau
pembiayaan pendidikan tinggi harus juga dilakukan. Kajian ini bisa berupa pembahasan
terkait paradigma dan orientasi dari pendidikan di Indonesia. Setelah pembacaan
secara komprehensif ini selesai, saya rasa ide Revolusi Pendidikan akan menjadi
kenyataan. Tulisan pendek ini adalah upaya untuk terlibat dalam kajian dan pembacaan
tersebut.
Sambil kajian lebih jauh tersebut dilakukan, saya pikir gerakan mahasiswa tidak bisa
mendiamkan realitas pendidikan yang kian hari kian dicengkram oleh kepentingan
Kapitalisme-Neoliberalisme. Gerakan mahasiswa di tanah air harus juga bergerak
melawan. Segala cara yang dapat dilakukan untuk memperbaiki keadaan harus
dilakukan. Kita bisa belajar dengan banyak gerakan rakyat yang berhasil melawan
Liberalisasi Pendidikan, Kanada dan Chile adalah contohnya.
Selain itu, konsolidasi seluruh elemen mahasiswa dalam menyikapi realitas pendidikan
harus sesegera mungkin dilakukan. Konsolidasi ini berguna untuk menentukan langkah
strategis apa yang akan diambil dalam penyikapan persoalan pendidikan. Melibatkan
elemen gerakan lain seperti Buruh, Tani, atau Nelayan juga patut dilakukan, sebab
persoalan pendidikan tidak hanya mempengaruhi mahasiswa namun juga masyarakat
secara umum.
Daftar Pustaka
2. Fakih, Dr. Mansour, Runtuhnya Teori Pembangunan dan Globalisasi. Yogyakarta: Insist Press &
Pustaka Pelajar. 2013.
3. Harvey, David. Neoliberalisme dan Restorasi Kelas Kapitalis. Yogyakarta: Resist Book. 2009.
4. Rahardjo, Prof. Dawam, dalam kata pengantar buku, Kapitalisme, Dulu dan Sekarang. Jakarta:
LP3ES. 1987.
5. Ridwan, Nur Khalik, NU dan Neoliberalisme. Yogyakarta: LKiS. 2012.
6. Siradjudin, Effendi. Nation in Trap: Menangkal ‘Bunuh Diri’ Negara dan Dunia Tahun 2020.
Yogyakarta: Esit Institute & Pustaka Pelajar. 2012.
7. Wahono, Francis. Kapitalisme Pendidikan: Antara Kompetisi dan Keadilan. Yogyakarta: LKiS.
2001.
8. Artikel Sofian Effendi dalam Harian Sindo 10 Maret 2007 berjudul, Indonesia Menghadapi
Liberalisasi Pendidikan Tinggi.
9. Artikel Ahmad Rizky Mardhatillah Umar dalam Harian Indoprogress.com berjudul, Pendidikan
Tinggi dalam Jerat Kapitalisme.
10. Bahan Konferensi Pers Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan tentang UKT tanggal 27 Mei
2013.
11. Putusan Mahkamah Konstitusi No 012/PUU-III/2005.
12. UUD 1945.
13. UU No.7 Tahun 1994 Tentang Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia
14. PP No. 61 Tahun 1999.
15. UU No. 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional.
16. UU No. 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal.
17. Perpres No. 76 Tahun 2007.
18. Perpres No. 77 Tahun 2007.
19. UU No. 9 Tahun 2009 Tentang Badan Hukum Pendidikan.
20. UU No. 12 Tahun 2012 Tentang Pendidikan Tinggi.
21. Permendikbud No. 55 Tahun 2013 Tentang UKT dan BKT.