Anda di halaman 1dari 2

Pendidikan merupakan suatu jembatan untuk membentuk manusia Indonesia menjadi berani dan

cerdas untuk melawan hegemoni kapital yang menjajah kehidupan manusia Indonesia. Sebagaimana
yang ditegaskan oleh Ki Hadjar Dewantara, tujuan dari pendidikan adalah untuk memanusiakan
manusia Indonesia dan membebaskan manusia Indonesia dari belenggu dehumanisasi berupa
imperialisme yang merupakan kepanjangan tangan dari kapitalisme.
Tapi, dalam perjalanan sejarahnya hingga lebih dari 20 tahun setelah rezim otoriter-militeristik
Soeharto tumbang, pendidikan di Indonesia masih terjerembab dalam kerangka berpikir Orde Baru
yang memandang pendidikan sebagai saluran hegemoni untuk membungkam kritik terhadap penguasa
dan sistem kapitalisme yang ada. Institusi pendidikan, khususnya pendidikan tinggi, masih belum
mampu tampil sebagai institusi kritis yang dapat membangun kesadaran kritis manusia Indonesia.
Kebijakan neoliberal yang dijalankan pemerintah telah mereduksi makna dan praktik sejati dari
pendidikan itu sendiri. Universitas ditranformasi hingga
hampir serupa dengan lembaga yang mencetak para mandor (pekerja intelektual yang melayani
kapitalisme), sedangkan pendidikan dasar dan menengah menjelma sebagai lembaga yang
memproduksi buruh (pekerja maskular/teknik). Keduanya itu hanyalah berusaha diarahkan agar
menguntungkan bagi kapitalisme dan penguasa.
Sebagaimana diketahui banyak orang, institusi pendidikan di Indonesia tidak lagi memiliki daya
intelektual kritis sebagai pusat bidaya yang memproduksi ilmu serta pengetahuan baru. Institusi
pendidikan, sebagian telah menjelma sebagai pelayan kapitalisme. Riset-riset diperluas, tapi bukan
untuk kepentingan rakyat melainkan kepentingan struktural bagi kapitalisme yang integral dengan
penguasa.
Dalam menyikapi permasalahan pendidikan di Indonesia, perlu cakrawala atau ketajaman untuk
menangkap dan memginterpretasi seluruh fenomena secara holistik dan filosofis. Menurunnya
kualitas intelektual mahasiswa dari tahun ke tahun bukan semata-mata karena kehadiran teknologi
beserta kemajuannya yang sangat cepat. Namun, penurunan kualitas tersebut disebabkan secara
struktural. Mana mungkin, mahasiswa dapat meluaskan daya kritisnya atas sebanyak mungkin
fenomena apabila institusi kampus hanya berorientasi pada kapitalisme sebagai sistem yang sedang
digdaya.
Banyak institusi kampus di bawah himbaun Kemenristekdikti yang berusaha untuk membatasi
ekspresi sosial dari gerakan kritia mahasiswa dalam mengkritik kebijakan neoliberal pemerintah
seperti kapitalisasi pendidikan. Kemudian, kehidupan intelektual di kampus juga mengalami pasang
surut seiring dengan semakin minimnya mimbar bebas digelar beserta prinsip kebebasan berpikir (free
thinking) di kampus. Kini, sebagian kampus malah asyik mengembangkan asas “fee thinking” untuk
mendukung realisasi program “pembangunan nasional” yang merenggut kedaulatan sumber daya
alam dan manusia di Indonesia.
Jika tidak ingin pendidikan Indonesia berorientasi pada suatu hal yang sebenarnya merugikan bangsa
ini sendiri, maka perlulah adanya suatu usaha untuk menyelamatkannya. Cara satu-satunya adalah
merevolusi sistem pendidikan yang melandasi praktik pendidikan di Indonesia agar berorientasi pada
pembebasan manusia dari dehumanisasi. Dehumanisasi bisa terwujud apabila manusia Indonesia
belum mampu memandang hakikat pendidikan itu sebagai praktik belajar kehidupan, atau belajar dari
kehidupan dan bagaimana caranya hidup yang benar. Bukan semata-mata pendidikan itu, sebagai alat
untuk mencari “sumber penghidupan”.
Dengan bahasan singkat di atas, tim penulis mengajak seluruh gerakan mahasiswa yang membaca
tulisan ini untuk terus bergerak dan rapatkan gerakan berkesadaran kritis dalam mendobrak paradigma
pendidikan neoliberal yang selama ini dicekokkan pemerintah untuk direalisasikan institusi kampus di
seluruh wilayah Indonesia. Kerja-kerja intelektual memang seharusnya untuk menghasilkan ilmu dan
pengetahuan baru, bukan terjerembab untuk merepetisi pengetahuan lama yang usang demi menjaga
keterbungkaman segenap eksponen pendidikan dalam merespon kebijakan pemerintah yang salah
kaprah.
ditegaskan di sini, bahwa pendidikan tinggi khususnya, berada untuk orientasi yang salah. Mahasiswa
bukan untuk dicetak sebagai mandor intelektual yang hanya melayani kebutuhan pasar kapitalisme
seperti pada logika penguasa. Mahasiswa sebagai “siswa besar” bukan kelas sosial yang terpisah atau
teralienasi dari masyarakat secara ontologis. Mahasiswa sebagai intelektual, seyogyanya memerankan
fungai sosial-intelektualnya bagi kepentingan masyarakat dan komunitas sosial.
Riset-riset diperluas seharusnya untuk menyelesaikan persoalan-persoalan di masyarakat secara kritis
dan solutif, bukan untuk membuat “masukan akademis” bagi kelanggengan struktural hegemoni
kapitalisme di negara ini dari level makro hingga mikro. Terakhir dan yang jadi penegasan penting
dari tuntutan penulis adalah “Wujudkan Pendidikan Gratis, Ilmiah, dan Demokratis. Ganti Haluan
Ekonomi, Bangun Persatuan Nasional. Menangkan Pancasila!”.

Anda mungkin juga menyukai