Anda di halaman 1dari 3

 Mahasiswa Sebagai “Agent Of Change”

Mahasiswa sebagai simbol dari kehidupan pemuda dengan corak kebudayaan yang otonom
dengan sendirinya akan membedakan dirinya dengan masyarakat lainnya. Mahasiswa adalah
kelompok lapisan masyarakat yang dalam jajaran stratifikasi sosial memiliki kelas khusus. Kalau
diperbincangkan senantiasa menjadi tema menarik dan aktual. Betapa tidak, ketika oran
menyentuh sebuah pergerakan transformasi sosial, maka sadar atau tidak, langsung berkorelasi
dengan dinamika kehidupan mahasiswa, sehingga dalam konteks kesejarahan setiap perubahan
yang terjadi pada setiap Negara dibelahan dunia yang berorientasi pada perbaikan, mahasiswa
terdokumentasi dengan tinta emas.

Dari kondisi tersebut, maka sangatlah pantas jika dikemudian hari mahasiswa mendapat
anjungan heroik : “mahasiswa adalah hati nurani masyarakat, mahasiswa adalah pemimpin
dimasa yang akan datang, dan sebagainya”. Sehingga mungkin berlebihan kalau dikatakan:
“mahasiswa ibarat dewa penyelamat” yang berjasadkan kebenaran, keadilan dan kejujuran.

Mahasiswa haruslah peka dan senantiasa tanggap terhadap setiap kebijakan yang ada, termasuk
isu akan diberlakunya Undang-Undang BHP di Perguruan Tinggi. Namun tafsiran peran dan
fungsi tersebut mengalami kekeliruan.

Aspirasi kepentingan selalu disalurkan dalam bentuk demonstrasi dan terkesan anarkis. Gerakan
dalam rangka pembaharuan dan perubahan kebijakan yang sesuai dengan aspirasi masyarakat
adalah sesuatu yang sah, akan tetapi satu hal yang perlu di ingat oleh mahasiswa adalah bahwa
dalam menyampaikan aspirasi harus senatiasa berdasarkan pada azas logika, etika dan estetika.

Secara keseluruhan, tidak semua mahasiswa bisa mengemban tanggung jawab sosial seperti
yang telah dikemukakan di atas. Penyebabnya adalah karena karakteristik dari setiap mahasiswa
itu berbeda-beda. Dalam kategorisasi karakter mahasiswa, sekurang-kurangnya terdapat tiga
jenis mahasiwa, antara lain;

1. Mahasiswa Passifis, adalah bentuk mahasiswa yang tidak mau peduli terhadap orang
lain, cenderung cuek dan apatis,
2. Mahasiswa Akademis, adalah mahasiwa yang menggunakan parameter keberhasilan
dengan angka dan nilai (IPK) yang tinggi, selesai kuliah dengan cepat, sehingga
waktunya dihabiskan untuk kuliah secara monoton tanpa menimbulkan simpati dan
empati dalam dirinya terhadap orang lain dan realitas eksternal mereka. Jenis mahasiswa
ini setelah menyelesaikan studinya sering disebut sebagai “sarjana karbitan”; dan
3. Mahasiswa Aktifis, adalah mahasiswa yang kehadirannya dalam sebuah perguruan tinggi
bukan semata-mata menjadi pecundang-pecundang mata kuliah denga akreditasi
“Cumlaude”. Akan tetapi mereka mempunyai kepedulian terhadap realitas eksternal
mereka, tanpa meninggalkan tugas utamanya sebagai mahasiswa (kuliah).

Dari ketiga karakter mahasiwa tersebut diatas, maka sudah sangat jelas bahwa mahasiswa yang
akan mampu memegang amanah menjalankan tanggung jawab sosial adalah mereka yang
termasuk dalam komunitas mahasiswa aktifis.

 Hal ini disebabkan karena adanya kesadaran mereka untuk memposisikan diri bukan semata-
mata sebagai seorang egaliter yang sangat egois terhadap status yang melekat pada dirinya
sebagai mahasiswa yang harus dilayani oleh orang tuanya dan masyarakat yang memberikan
amanah kepada mereka. Akan tetapi lebih dari itu seorang aktifis mampu memadukan antara
kepentingan dirinya sebagai aksentuasi dari amanah orang tuanya dengan realitas di luar dirinya.

  Peran Strategis Mahasiswa

Sebagai langkah taktis dan preferensi pengembangan ke depan, mahasiswa harus memiliki 4
kekuatan :
1. Kekuatan Moral
1.  Kekuatan Kontrol Sosial
2. Kekuatan Intelektual
3. Kekuatan Profesional

Oleh karena itu mahasiswa harus berani mengambil peran-peran strategis tersebut di atas.
Sebagai kekuatan moral dan Kontrol sosial, mahasiswa harus mampu bersentuhan dengan aksi-
aksi pembelaan kaum tertindas. Pada tataran mikro secara aktif menjadi kelompok penekan
(pressure group) terhadap kebijakan refresif di tingkat kampus. Pada tingkat makro, mampu
melakukan advokasi terhadap masyarakat yang terpinggirkan seperti nelayan, buruh, petani,
anak jalanan, dan PSK.

Sebagai bagian dari intellectual community mahasiswa menduduki posisi yang strategis dalam


keterlibatannya melakukan rekayasa sosial menuju independensi masyarakat, dalam aspek
ekonomi, politik, sosial dan budaya. Dalam posisinya sebagai komunitas terdidik, mahasiswa
merupakan salah satu kunci penentu dalam transformasi menuju keadilan dan kemakmuran
bangsa, di samping dua kelompok strategis lainnya yaitu kaum agamawan dan masyarkat sipil
(Madani) yang mempunyai kasadaran kritis atas situasi sosial yang sedang berlangsung saat ini.

 Tanggung jawab sosial mahasiswa

Secara sederhana posisi mahasiswa bisa kita gambarkan sebagai sosok yang berada di tengah
level. Di masyarakat menjadi bagian masyarakat, di kalangan intelektual mahasiswa juga
dianggap berada diantara mereka. Dengan kata lain keberadaan mereka di tengah-tengah level
apapun mempunyai nilai strategis.

“Tidak ada yang salah dengan mahasiswa yang aktif berpolitik. Justru seorang mahasiswa
yang berpolitik adalah mereka yang memiliki daya pikir kritis dan aktif dalam setiap
penanganan permasalahan yang terjadi terhadap bangsa ini.”

Muhammad Hatta pada tahun 1957 pernah mengatakan bahwa, “kaum intelegensia tidak bisa
bersikap pasif, menyerahkan segala-galanya kepada mereka yang kebetulan menduduki jabatan
yang memimpin dalam negara dan masyarakat. Kaum intelegensia adalah bagian daripada
rakyat, warga negara yang sama-sama mempunyai hak dan kewajiban”. Pernyataan Muhammad
Hatta tentang posisi kaum intelegensia, menyadarkan bahwa dalam memainkan peran dan fungsi
kaum intelegensia tidak lepas dari pertanggungjawaban statemen yang dilempar dikalangan
publik secara luas.

Pertanggungjawaban kaum intelegensia muncul sebagai kontrol terhadap negara dan kekuasaan
yang cenderung gagap dan mengubah haluan menjadi pengerus intelektualitas masyarakat dan
mengeksploitasi masyarakat luas demi sebuah ilusi kekuasaan. Kaum intelegensia mempunyai
peranan yang double, sebagai masyarakat dan sebagai kaum terpelajar. Oleh karena itu dengan
sendirinya tanggung jawabnya juga menjadi lebih besar karena memainkan dua peran sekaligus.

Kaum intelegensia mempunyai kekuatan dalam daya nalar dan keilmuannnya dalam
menyelesaikan permasalahan bangsa. Namun, unsur penting dari ilmu dan daya pikir itu adalah
entitas nilai moral yang harus dijunjung tinggi. Seperti yang disampaikan oleh KH. Idham
Cholid, bahwa ilmu bukan untuk ilmu, tapi ilmu untuk diamalkan.

Pengamalan ilmu dan daya nalar kritis mahasiswa untuk turut serta dalam penyelesaian masalah
bangsa tidak boleh dikebiri oleh lubang kenikmatan politik. Sangat dilematis ketika mahasiswa
dihadapkan pada tanggung jawab moral, tetapi dihadapkan pada lubang syahwat politik. Dan
akhirnya banyak juga yang terjebak untuk melacurkan daya nalar keilmuannya untuk menggapai
kepentingan pragmatis.
Tipe ideal intelektual dalam pandangan ini adalah golongan pemikir yang bijak yang duduk
bermeditasi di “puncak gunung es”, menjunjung tinggi nilai-nilai kebenaran universal dan abadi
dan tidak tersentuh oleh kekuasaan. Dengan kata lain, idealisme seorang intelektual adalah bebas
dari unsur politis dan kekuasaan, dan mengkritisi sistem dari luar, ibaratkan seorang komentator
yang menikmati pertandingan.

Terkait dengan obyek dan subyek politik dengan berintikan pandangan Goffman kehidupan
diibaratkan teater, interaksi sosial di atas panggung yang menampilkan permainan para aktor
(baca; para politisi) yang mengelola kesan (impression management) dengan sadar atau tidak
demi peningkatan status sosial, kepentingan finansial, dan politik kekuasaan.

Mahasiswa dengan balutan semangat kemandirian idealisme altruistik, bisa menjadi solusi
cerdas ketika menjadi landasan mental pergerakan kongkrit sebuah pemberdayaan dan
pencerdasan masyarakat. Tetapi menjadi candu yang membius bagi psikis masyarakat.
Keterjebakan mahasiswa pada gaya hedonisme memiliki dampak kausalitas terstimulasinya
paradigma berpikir pada pola kecenderungan ke arah pragmatisme oportunis. Harusnya
mahasiswa cenderung memberi titik tekan pada ‘harus berani’ membangun perombakan stigma
bahwa politik adalah karir yang menjanjikan kesuksesan. Stereotip yang terbangun memang,
ketika seseorang mapan dalam politik, secara otomatis nilai atau derajat sosio-ekonominya
terangkat.

Ketika menjadi mahasiswa telah gagal menapaki semangat idealisme pertanggungjawaban moral
dan intelektual, maka bisa dipastikan ketika keluar dari komunitas kampus, akan menjadi
sampah peradaban yang merusak tatanan nilai dan etika dalam bernegara dan bermasyarakat.
Mahasiswa yang sadar akan hakikatnya, tidak gampang terjebak dalam aksi yang bersifat
temporer tanpa konsepsi yang jelas menjangkau ke depan. Tidak mudah terjerumus ke dalam
aktifitas yang berorientasi pada kekuasaan dan vested interest. Tapi tetap berpegang teguh pada
nilai-nilai kemahasiswaan. Tidak henti-hentinya mengabdikan diri kepada masyarakat langsung,
demi tegaknya keadilan, kebenaran, kejujuran, kemakmuran, dan penegakan hak-hak asasi.
Inilah mestinya nilai-nilai ruh perjuangan moral mahasiswa.

Dalam hal kesarjanaan misalnya, kita harus mampu member penegasan bahwa “penguasaan
ilmu apa saja harus mempunyai faedah nyata bagi peradaban kemanusiaan, baik ilmu agama,
eksakta, sosial ekonomi. Dan proses kesarjanaan itu belum selesai manakala tidak disertai
dengan tindakan-tindakan nyata bagi kepentingan kemajuan rakyat banyak sebagai pengabdian
yang tak henti-hentinya pada masyarakat”.

Kita juga tidak menafikan adanya kelompok mahasiswa yang hanya menghabiskan waktu
dengan pergolakan pencarian jati diri, tanpa menghasilkan apa-apa. Dampak dari semua itu
adalah tak lebih dari kebodohan yang tertutupi dengan selembar ijazah, dan tergadai dengan
sendirinya ketika orang berbicara moral dan etika.

Dengan penuh rasa miris dan menyesakkan hati, mahasiswa hari ini hanya bisa mengenang
euforia kenangan sejarah kegemilangan pencapaian mahasiswa sebelumnya, dan tidak mampu
menjadi orang yang hidup dizamannya sendiri. Perlu dimunculkan jargon “kun ibna zamanika
(jadilah anak zamanmu)” sebagai sebuah kritikan mendalam terhadap gerakan mahasiswa pasca
reformasi.

Anda mungkin juga menyukai