Anda di halaman 1dari 12

BAB I

PENDAHULUAN

Latar Belakang Masalah


Mahasiswa adalah salah satu elemen penting yang diharapakan dapat melakukan
perubahan dan memberikan kontribusi nyata terhadap bangsa dan negaranya. Menjadi
mahasiswa seharusnya menjadi langkah awal yang nyata untuk melakukan perubahan. Rasa
idealisme yang ada pada diri mahasiswa sudah seharusnya di dukung oleh seluruh masyarakat
sebagai salah satu alat aspirasi masyarakat untuk membawa bangsa ke arah yang lebih baik.
Namun melihat fenomena yang ada sekarang ini, pemerintah cenderung mematikan karakter
para mahasiswa dengan menerapkan kurikulum-kurikulum yang sekuler yang menjadikan
mahasiswa sibuk mementingkan kepentingan dirinya sendiri yakni bagaimana cara mendapat
nilai yang baik, lulus tepat waktu, dan bekerja di perusahaan dengan mendapat gaji besar,
bahkan saat ini mahasiswa lebih merasa bangga ketika mereka lulus dan bekerja di negara
asing. Tidakkah mereka ingin memberikan kontribusinya kepada bangsa ini? Mereka dididik
di tanah air hanya untuk melakukan perbaikan di negara lain. Sungguh itu merupakan realita
yang menyedihkan. Pemerintah yang merasa kedaulatannya terancam oleh semangat dan rasa
idealisme tinggi para mahasiswa kini menerapkan kurikulum-kurikulum sekuler menjadikan
mahasiswa disibukkan dengan kepentingan materi kuliah sehingga mahasiswa tidak lagi
peduli terhadap apa yang terjadi di lingkungan mereka. Hal ini yang menjadikan mahasiswa
Indonesia seperti hidup dalam pemerintahan yang dikatator.

Rumusan Masalah
1. Bagaimana peran mahasiswa dalam pelaksanaan perannya sebagai agen perubahan?
2. Apa sajakah faktor penyebab mahasiswa menjadi peka terhadap berbagai
permasalahankemasyarakatan?
3. Apakah problematika yang menghambat pelaksanaan peran mahasiswa sebagai agen
perubahan?
4. Bagaimana solusi atas problematika tersebut?
Tujuan

Selain untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Pendidikan Kewarganegaraan,
makalah ini juga bertujuan untuk menyadarkan mahasiswa akan betapa pentingnya peran
mereka bagi kelangusungan hidup bangsa ini, sehingga para mahasiswa tidak lagi
mempunyai pola pikir yang lebih mementingkan dirinya sendiri dengan sibuk mendapatkan
nilai yang baik dan lulus dengan baik, namun lebih daripada itu para mahasiswa haruslah
lebih peka terhadap kejadian-kejadian yang terjadi di lingkungan mereka. Begitu juga para
dosen yang sudah seharusnya lah memberikan keleluasaan mahasiswa untuk menyatakan
pendapat mereka dan tidak menilai mahasiswa dari satu sisi saja, sehingga para dosen tidak
hanya mencetak mahasiswa yang baik secara akademik, terlebih secara sosial dan emosional.
BAB II
LANDASAN TEORI

Definisi Mahasiswa
Definisi mahasiswa menurut Kamus Lengkap Bahasa Indonesia (Kamisa, 1997), bahwa
mahasiswa merupakan individu yang belajar di perguruan tinggi. Montogmery dalam Papalia
dkk (2007) menjelaskan bahwa perguruan tinggi atau universitas dapat menjadi sarana atau
tempat untuk seorang individu dalam mengembangkan kemampuan intelektual, kepribadian,
khususnya dalam melatih keterampilan verbal dan kuantitatif, berfikir kritis dan moral
reasoning.
Mahasiswa merupakan satu golongan dari masyarakat yang mempunyai dua sifat, yaitu
manusia muda dan calon intelektual, dan sebagai calon intelektual, mahasiswa harus mampuu
untuk berfikir kritis terhadap kenyataan sosial, sedangkan sebagai manusia muda, mahasiswa
seringkali tidak mengukur resiko yang akan menimpa dirinya (Djodjodibroto, 2004).
Mahasiswa dalam perkembangannya berada pada kategori remaja akhir yang berada dalam
rentang usia 18-21 tahun (Monks dkk, 2001). Menurut Papalia, dkk. (2007), usia ini berada
dalam tahap perkembangan dari remaja atau adolescence menuju dewasa muda atau young
adulthood. Pada usia ini, perekembangan individu ditandai dengan pencarian identitas diri,
adanya pengaruh dari lingkungan, serta sudah mulai membuat keputusan terhadap pemilihan
pekerjaan atau karirnya.
Lebih jauh, menurut Ganda (2004), mahasiswa adalah individu yang belajar dan
menekuni disiplin ilmu yang ditempuhnya secara mantap, dimana didalam menjalani
serangkaian kuliah itu sangat dipengaruhi oleh kemampuan mahasiswa itu sendiri, karena
pada kenyataannya diantara mahasiswa ada yang sudah bekerja atau disibukkan oleh kegiatan
kemahasiswaan.
BAB III
PEMBAHASAN

Peran Mahasiswa
Dalam sejarah perjalanan bangsa pasca kemerdekaan Indonesia, mahasiswa merupakan
salah satu kekuatan pelopor di setiap perubahan.  Tumbangnya Orde Lama tahun 1966,
Peristiwa  Lima Belas Januari (MALARI) tahun 1974, dan terakhir pada runtuhnya Orde baru
tahun 1998 adalah tonggak sejarah gerakan mahasiswa di Indonesia.  Sepanjang itu pula
mahasiswa telah berhasil mengambil peran yang signifikan dengan terus menggelorakan
energi “perlawanan” dan bersikap kritis membela kebenaran dan keadilan. Kaum minoritas
berintelekual ini sebenarnya merupakan tulang punggung pembangun bangsa dan negara
menuju perubahan kearah yang lebih baik lagi.
Siapa itu mahasiswa yang sebenarnya ? Suatu pertanyaan yang akhir-akhir ini muncul
dengan adanya dinamika yang terjadi dalam kehidupan mahasiswa itu sendiri. Mahasiswa
yang digambarkan sebagai sosok yang muda, berintelektual dan kritis seakan semakin luntur
dari waktu ke waktu. Hal seperti ini terjadi karena adanya kegagalan pemahaman peran dan
fungsi mahasiswa yang telah keluar dari koridor. Kegagalan pemahaman tersebut terlihat dari
adanya penyimpangan sikap, gaya hidup, pencapaian cita-cita yang tinggi tanpa didasari
usaha nyata dan integritas kehidupan mahasiswa yang tidak lagi mencerminkan dan tidak
terarah terhadap perjuangan mahasiswa itu sendiri.
Mahasiswa saat ini seakan lupa siapa dirinya dan untuk apa mereka mengenyam
pendidikan sampai level paling tinggi di dunia pendidikan. Pola pikir semacam ini wajar
adanya karena memang perubahan zaman yang luar biasa pada saat ini. Paham-paham seperti
ini semakin tumbuh berkembang dalam diri mahasiswa seiring dengan pencarian jati dirinya.
Bahkan sampai dengan saat ini masih ada mahasiswa yang bingung tentang jati dirinya dan
kebingungan dalam menentukan arah kehidupan selanjutnya.
Kini kita bisa menyaksikan dengan mudah betapa banyaknya organisasi atau kelompok
mahasiswa dibentuk, tetapi kegiatan tersebut sangat minim dengan keilmuan, perjuangan dan
tanggung jawab sosial, sehingga mereka tidak memiliki kemampuan untuk merubah keadaan
atau setidaknya menyadarkan identitas sebagai mahasiswa. Sehingga yang terjadi justru
mahasiswa yang diatur oleh keadaan dan mereka telah melupakan jati dirinya. Padahal masa
depan negara ini menjadi pengaruhnya.
Mahasiswa sebagai Agen Perubahan
Semua mahasiswa dari segala cabang keilmuan seharusnya sadar bahwa ia merupakan
calon-calon pemimpin bangsa sebagai agent of change dimasyarakat dan dapat resisten
terhadap berbagai macam godaan yang merubah polapikir mahasiswa saat ini. Mahasiswa
yang sadar pasti akan merasakan bahwa bangku kuliah yang dia enyam saat ini merupakan
the real education pendidikan yang penuh warna dan pertarungan pembentukan jati diri
dengan intelktualitas cara berpikir.
Sistem yang telah berhasil menutup ruang gerak mahasiswa sekarang ini mampu
menghipnotis pola pikir mahasiswa, kegiata-kegiatan ilmiah, tanggungjawab dan kepekaan
terhadap kondisi sosial mahasiswa telah menjadi budaya mahasiswa seperti kegiatan diskusi,
kajian, seminar, emgontrol pemerintah, kepekaan dan empati sosial hilang dalam kehidupan
mahasiswa.
Menurut Arbi Sanit, ada lima sebab yang menjadikan mahasiswa peka dengan
permasalahan kemasyarakatan sehingga mendorong mereka untuk melakukan perubahan.
Pertama, sebagai kelompok masyarakat yang memperoleh pendidikan terbaik, mahasiswa
mempunyai pandangan luas untuk dapat bergerak di antara semua lapisan masyarakat.
Kedua, sebagai kelompok masyarakat yang paling lama mengalami pendidikan, mahasiswa
telah mengalami proses sosialisasi politik terpanjang di antara angkatan muda. Ketiga,
kehidupan kampus membentuk gaya hidup unik melalui akulturasi sosial budaya yang tinggi
diantara mereka. Keempat, mahasiswa sebagai golongan yang akan memasuki lapisan atas
susunan kekuasaan, struktur ekonomi, dan akan memiliki kelebihan tertentu dalam
masyarakat, dengan kata lain adalah kelompok elit di kalangan kaum muda. Kelima,
seringnya mahasiswa terlibat dalam pemikiran, perbincangan dan penelitian berbagai masalah
masyarakat, memungkinkan mereka tampil dalam forum yang kemudian mengangkatnya ke
jenjang karier.
Disamping itu ada dua bentuk sumber daya yang dimiliki mahasiswa dan dijadikan energi
pendorong gerakan mereka. Pertama, ialah Ilmu pengetahuan yang diperoleh baik melalui
mimbar akademis atau melalui kelompok-kelompok diskusi dan kajian.  Kedua, sikap
idealisme yang lazim menjadi ciri khas mahasiswa.  Kedua potensi sumber daya tersebut
‘digodok’ tidak hanya melalui kegiatan akademis didalam kampus, tetapi juga lewat
organisasi-organisasi ekstra universitas yang banyak terdapat di hampir semua perguruan
tinggi.
Peran sejarah cukup besar dimainkan oleh kaum muda, sebagaimana secara tepat
digambarkan Arbi Sanit. Menurut Arbi Sanit (1989), ada dua peranan pokok yang selalu
tampil mewarnai sejarah aktifitas mahasiswa selama ini, yakni: Sebagai kekuatan korektif
terhadap penyimpangan yang terjadi di dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat. Kedua,
Sebagai pencetus kesadaran masyarakat luas akan problema yang ada dan menumbuhkan
kesadaran itu untuk menerima alternatif perubahan yang dikemukakan atau didukung oleh
mahasiswa itu sendiri, sehingga masyarakat berubah ke arah kemajuan.
Dua peranan pokok inilah yang sesungguhnya dijalankan oleh para mahasiswa, atau pun
kaum terpelajar umumnya, di zaman kolonial clan yang kemudian diperankan juga oleh
generasi berikutnya sampai saat ini. Kendatipun demikian, tidak dapat disangkal bahwa saat
ini semakin dirasakan menurunnya daya pengaruh gerakan mahasiswa terhadap perubahan
masyarakat umumnya, maupun terhadap proses pengambilan keputusan. Setelah berhasil
menggulingkan lokomotif rezim otoriter Orde Baru, Suharto, perubahan substansial dari cara-
cara Orde Baru tidak mengalami perubahan yang signifikan. Bahkan yang timbul adalah
kecenderungan berbedanya arah gerakan sebagian mahasiswa dengan apa yang tengah
diperjuangkan masyarakat lewat lembaga politik formalnya. Tentu saja realitas ini tidaklah
dilihat dalam term “benar salah”, sebab hal tersebut lebih merupakan suatu konsekuensi logis
dari proses perubahan masyarakat itu sendiri.
Di Indonesia terdapat lima organisasi mahasiswa ekstra universitas atau sering dinamakan
ormas mahasiswa, yang cukup menonjol, yaitu HMI Dipo (Himpunan Mahasiswa Islam),
PMII (Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia), IMM (Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah),
HMI MPO (Himpunan Mahasiswa Islam Majelis Penyelamat Organisasi) dan KAMMI
(Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia). Kesemuanya menarik untuk dikaji karena
sama-sama membawa label Islam sebagai identitas organisasinya, namun memiliki corak
wacana dan strategi perjuangan yang khas.
Fenomena penting yang ada kaitannya dengan lembaga kemahasiswaan, yaitu gejala
lebih berminatnya mahasiswa terhadap lembaga lembaga non-afiliatif . Bagian ini secara
lebih khusus tetapi singkat menyoroti soal kelembagaan itu. Dalam konteks ini secara
sederhana dikedepankan dua problematika yang saling mengait, yang berhubungan dengan
kelembagaan mahasiswa.
Problematika pertama menyangkut gejala ‘diskontinuitas’ sumber cumber rekruitment
kader pimpinan dengan ladang ‘orbitasi’ kader. Selama ini, setuju atau tidak, sumber-sumber
rekruitment kader pimpinan mahasiswa yang potensial adalah organisasi mahasiswa ekstra
universiter/institutes, sernentara ladang orbitasi kader yang subur adalah lembaga
kemahasiswaan intra universiter/institutes. Keadaan ini berjalan secara baik dan dinamis
sampai sekitar awal 1978, ketika pemerintah memberlakukan kebijaksanaan NKK/BKK.
Lepas dari maksud kependidikan yang menyertainya, tidak dapat diingkari bahwa
pelaksanaan kebijaksanaan tersebut, terutama proses restrukturisasi lembaga kemahasiswaan
membawa dampak yang luas, yang langsung menyebabkan ladang orbitasi yang subur itu
semakin kurus saja. ‘Zat zat hara’ yang selama ini menggemukkan dinamika mahasiswa,
semakin dikuras. Pada saat berikutnya, sumber cumber rekruitment yang potensial ikut
mengalami nasib yang serupa. Lembaga kemahasiswaan ekstra universiter semakin diciutkan
peranannya.
Problematika kedua, justru merupakan akibat langsung dari problematika pertama, yakni
semakin terbukanya dunia kemahasiswaan terhadap ‘intervensi’ kepentingan kepentingan lain
yang kadang kadang destruktif adanya. Bisa kita bayangkan runyamnya keadaan, jika di satu
sisi para kader tidak lagi dipersiapkan di sumber-sumber rekruitment secara terkonsentrasi,
sementara ladang orbitasi pun tidak lagi terlalu subur. Sulit untuk dibantah bahwa dasar bagi
restrukturisasi lembaga kemahasiswaan yang dilakukan tahun 1978 adalah upaya untuk
mencegah konsentrasi mahasiswa di tingkat universitas dan antaruniversitas sebagai suatu
kekuatan pendobrak. Jadi sangat politis. Tetapi yang kurang diperhitungkan ialah, di samping
tereliminasinya salah satu substansi pembangunan pendidikan yaitu pembentukan
kepribadian, juga terpecahnya mahasiswa ke dalam puluhan atau bahkan ratusan lembaga
non  afiliatif yang justru membuat kerepotan baru bagi para penentu kebijaksanaan politik
pendidikan
Kondisi saat ini,    GM mengambil posisi dan menciptakan isu yang berbeda-beda tanpa
dikawal oleh semangat sebuah mainstream utama. Sehingga ketika akan melakukan reposisi,
seharusnya mengagendakan main stream utama dari isu-isu yang akan digagas dan
perjuangkan oleh masing-masing organ. Sampai saat ini menurut hemat saya, main stream
yang memungkinkan melakukan konsolidasi sekaligus perjuangan  demokrasi  yakni
bagaimana melakuklan proses pemberdayaan atau penguatan terhadap peran rakyat yang
selama ini terpinggirkan oleh dua kekuatan besar, yakni Oligarki Negara dan Imperialisme
Neo Liberal. Dengan kata lain agenda besarnya dalah radikalisasi peran rakyat agar lebih
berdaulat.
Radikalisasi Peran Rakyat
Salah satu yang menjadi problem besar dari demokratisasi di Indonesia adalah tidak
ketidakmampuan rakyat bersikap secara mandiri, rasional dan kritis dalam melihat
permasalahan bangsanya. Rakyat tidak memiliki kekuatan yang utuh dan hegemonik untuk
melakukan perlawanan menuju kemandirian dan kebebasan bersikap. Sebagian masyarakat
kita masih memiliki nalar pragmatisme yang cukup akut. Salah satu indikasinya adalah ketika
menentukan hak-hak politiknya dan pilihan politiknya kepada partai politik, rakyat tidak
berangkat dari sebuah pemahaman yang utuh tentang makna dan fungsi partai politik, visi
partai politik beserta calegnya. Pilihan dan sikap politik tidak berangkat dari kesadaran kritis.
Sehingga kita sulit menemukan masyarakat yang secara sukarela bergerak dalam aktivitas
dukung mendukung kepentingan politik tertentu (Peserta Pemilu). Mereka akan bergerak
kalau dibayar, diberikan dukungan materi yang membuat hidup mereka senang dan survive.
Dengan demikian, apapun yang dilakukan oleh gerakan Pro Demokrasi termasuk dalam
halnya GM akan tertolak oleh pragmatisme masyarakat, karena mereka tidak memerlukan
gagasan-gagasan yang berat dan bagi mereka utopis. Mereka berprinsip bagaimana saya bisa
makan dan kenyang hari ini. Sehingga tidak mengherankan, ketika kekuatan orde baru
mencoba mengajak masyarakat mengingat kembali kemakmuran semu yang dibangun oleh
Suharto, masyarakat langsung tersadarkan dan merasa rindu dengan kondisi ketika Suharto
berkuasa.
Di sinilah mainstream penguatan, penyadaran dan pendidikan politik rakyat sebagai
bagian dari proses radikalisasi peran rakyat menjadi penting. Ada beberapa alasan
mainstream ini menjadi fokus Pertama, Kran demokratisasi yang mulai terbuka lebar pasca
lengsernya Suharto, yang diiringi oleh kebebasan partisipasi yang luar biasa, tidak diiringi
oleh mental dan sikap yang demokratis. Kebebasan berpolitik, tidak ditopang oleh
rasionalitas, kekritisan dan kemandirian berpikir dan bersikap. Sehingga Demokratisasi yang
muncul adalah anarkisme, kekerasan, perpecahan tapi bukan perubahan yang paradigmatik
dan konstruktif.
Kenyataan tersebut diperparah oleh faktor kedua yakni semakin menguatnya penjajahan
yang dilakukan kapitalisme dengan Neo Liberal nya. Kapitaslime menawarkan dan
meninabobokan masyarakat dengan cara menggembor-gemborkan sikap hidup yang hedonis,
serba mewah dan menempatkan materi di atas segala-galanaya. Semua level masyarakat,
berkompetisi untuk meraih materi sebanyak-banyaknya dan bersaing untuk mendapatkan
kehidupan ekonomi yang layak. Kapitalisme menjadikan segala sesuatu harus dihargai
dengan materi. Sehingga tidak mungkin mangajak apalagi menggerakkan masyarakat yang
sedang kelaparan untuk memikirkan format serta bangunan demokratisasi di Indonesia.
Masyarakat dengan kungkungan kapitalisme, tidak memiliki ruang-ruang berpikir rasional
dan  kritis.
Faktor ketiga, Ketergantungan masyarakat kepada kaum kapital itu diperparah lagi oleh
pragmatisme negara dalam memberikan ruang pastisipasi secara sehat kepada masyarakat.
Negara gagal dalam menciptakan ruang-ruang berpikir rasional kepada masyarakat, akan
tetapi justru sebaliknya negara mempertontonkan sikap dan budaya kapitalistik dan
feodalistik dalam mengurus negara. Fenomena Korupsi dan Nepotisme menunjukkan betapa
negara tidak pernah memiliki keberpihakan terhadap rakyat. Birokrasi yang kaku dan korup
yang diperagakan negara tidak memberi ruang partisipasi yang sehat di tengah ruang
demokrasi yang seharusnya mengalami keterbukaan. Negara lewat kebijakan-kebijakan  dan
Undang-undangnya kebih banyak memihak kepada kaum kapital daripada memberdayakan
masyarakat.
Sementara itu sistem politik saat ini sama sekali tidak memberikan jalan alternatif untuk
keluar dari permasalahn-permasalahan di atas. Partai Politik sebagai salah satu instrumen dan
infrastruktur demokrasi, gagal melakukan pendidikan dan komunikasi politik yang sehat
kepada masyarakat. Bahkan ada beberapa partai politik yang sangat memamfaatkan,
kebodohan, ketidakberdayaan serta irrasonalitas masyarakat pemilihnya. Karena dengan
demikian mereka begitu mudah mendapat dukungan hanya dengan memberikan masyarakat
kepuasan materi, tapi tidak menjalankan kewajibannya yakni melakukan pendidikan politik
Dari ekplorasi di atas, maka Reposisi Gerakan Mahasiwa Pasca Pemilu 2004 adalah
dengan mengagendakan penguatan basis dan radikalisasi peran rakyat dalam mewujudkan
demokratisasi di Indonesia.
Faktor-faktor Penyebab Lunturnya Gerakan Mahasiswa
Ada beberapa faktor yang menjadi penyebab melemahnya gerakan mahasiswa. Pertama,
lunturnya ideologi gerakan. Saat ini gerakan mahasiswa telah kehilangan ideologi sehingga
stigma mahasiswa yang terjun di berbagai organisasi kampus baik intra maupun eksra sudah
mengalami titik kejenuhan dan kebosanan. Hal itu mengakibatkan lunturnya rasa sensitivisme
serta responsbility aktivis mahasiswa terhadap perubahan sosial, dampaknya adalah gerakan
mahasiswa mengalami disorientasi . 
Kedua, gerakan mahasiswa sudah tidak dianggap sebagai kekuatan besar dalam
mengawal perubahan. Hal tersebut bisa kita lihat dari berbagai gerakan mahasiswa lewat
berbagai aksi demonstrasi yang jarang menghasilkan perubahan yang signifikan. Suara
mahasiswa sebagai manifestasi suara rakyat sudah tidak mempan dalam melakukan kritik
serta kontrol terhadap kinerja pemerintah. Hal itulah yang pada akhirnya menjadikan gerakan
mahasiswa menjadi semakin tumpul.
Ketiga, sudah tidak ada lagi kebanggaan menjadi seorang aktivis. Gerakan mahasiswa
selalu identik dengan para aktivis kampus, namun saat ini menjadi seorang aktivis kampus
bukanlah menjadi pilihan utama mahasiswa karena dianggap sebagai batu sandungan dalam
meraih prestasi akademik. Oleh sebab itu tidak mengherankan jika saat ini jumlah aktivis
kampus semakin sedikit.
Keempat, adanya tindakan represif dari pemerintah. Sebagai langkah preventif untuk
menangkal setiap gerakan mahasiswa, saat ini pemerintah lebih memilih tindakan yang
represif. Tak jarang kekerasan fisik dilakukan aparat pemerintah untuk mencegah aksi dan
gerakan mahasiswa. Sehingga tidak mengherankan jika gerakan mahasiswa menjadi melemah
karena adanya rasa takut akan eksistensi dan keselamatan jiwa para aktivis. 
Kelima, minimnya dukungan dari masyarakat. Gerakan mahasiswa yang sering berakhir
dengan kericuhan, serta seringnya mahasiswa melakukan pengrusakan terhadap berbagai
fasilitas umum saat melakukan aksi-aksi demonstrasi menjadikan citra mahasiswa menjadi
menurun di mata masyarakat. Hal tersebut mengakibatkan kepercayaan dan dukungan
masyarakat terhadap gerakan mahasiswa semakin memudar. Keenam, adanya politik
kepentingan mahasiswa. Saat ini orientasi mahasiswa dalam melakukan gerakan bukan lagi
murni berjuang demi kepentingan rakyat melainkan lebih dikarenakan adanya politik
kepentingan. Hal itulah yang menjadikan pola pikir mahasiswa menjadi pragmatis, dan hanya
memikirkan soal untung-rugi. 
Mambangkitkan Peran Pergerakan Mahasiswa
Mengasah Kemampuan Reflektif
Dalam mengembangkan perannya, kaum muda Indonesia perlu mengasah kemampuan
reflektif dan kebiasaan bertindak efektif. Perubahan hanya dapat dilakukan karena adanya
agenda refleksi (reflection) dan aksi (action) secara sekaligus. Daya refleksi kita bangun
berdasarkan bacaan baik dalam arti fisik melalui buku, bacaan virtual melalui dukungan
teknologi informasi maupun bacaan kehidupan melalui pergaulan dan pengalaman di tengah
masyarakat. Makin luas dan mendalam sumber-sumber bacaan dan daya serap informasi yang
kita terima, makin luas dan mendalam pula daya refleksi yang berhasil kita asah. Karena itu,
faktor pendidikan dan pembelajaran menjadi sangat penting untuk ditekuni oleh setiap anak
bangsa, terutama anak-anak muda masa kini.
Membangun Kebiasaan Bertindak Efektif
Di samping kemampuan reflektif, kaum muda Indonesia juga perlu melatih diri dengan
kebiasaan untuk bertindak, mempunyai agenda aksi, dan benar-benar bekerja dalam arti yang
nyata. Kemajuan bangsa kita tidak hanya tergantung kepada wacana, ‘public discourse’,
tetapi juga agenda aksi yang nyata. Jangan hanya bersikap “NATO”, “Never Action, Talking
Only” seperti kebiasaan banyak kaum intelektual dan politikus amatir negara miskin. Kaum
muda masa kini perlu membiasakan diri untuk lebih banyak bekerja dan bertindak secara
efektif daripada hanya berwacana tanpa implementasi yang nyata.
Melatih Kemampuan Kerja Teknis
Hal lain yang juga perlu dikembangkan menjadi kebiasaan di kalangan kaum muda kita
ialah kemampuan untuk bekerja teknis, detil atau rinci. “The devil is in the detail”, bukan
semata-mata dalam tataran konseptual yang bersifat umum dan sangat abstrak. Dalam
suasana sistim demokrasi yang membuka luas ruang kebebasan dewasa ini, gairah politik di
kalangan kaum muda sangat bergejolak. Namun, dalam wacana perpolitikan, biasanya
berkembang luas kebiasaan untuk berpikir dalam konsep-konsep yang sangat umum dan
abstrak. Pidato-pidato, ceramah-ceramah, perdebatan-perdebatan di ruang-ruang publik
biasanya diisi oleh berbagai wacana yang sangat umum, abtrask dan serba enak didengar dan
indah dipandang. Akan tetapi, semua konsep-konsep yang bersifat umum dan abstrak itu baru
bermakna dalam arti yang sebenarnya, jika ia dioperasionalkan dalam bentuk-bentuk kegiatan
yang rinci.
Sebaiknya, kaum muda Indonesia, untuk berperan produktif di masa depan, hendaklah
melengkapi diri dengan kemampuan yang bersifat teknis dan mendetil agar dapat menjamin
benar-benar terjadinya perbaikan dalam kehidupan bangsa dan negara kita ke depan.
Bayangkan, jika semua anak muda kita terjebak dalam politik dan hanya pandai berwacana,
tetapi tidak mampu merealisasikan ide-ide yang baik karena ketiadaan kemampuan teknis,
ketrampilan manajerial untuk merealisasikannya, sungguh tidak akan ada perbaikan dalam
kehidupan kebangsaan kita ke depan.
BAB IV
PENUTUP

Kesimpulan
Peran mahasiswa bagi bangsa dan negeri ini bukan hanya duduk di depan meja dan
dengarkan dosen berbicara, akan tetapi mahasiswa juga mempunyai berbagai perannya dalam
melaksanakan perubahan untuk bangsa Indonesia, peran tersebut adalah sebagai generasi
penerus yang melanjutkan dan menyampaikan nilai-nilai kebaikan pada suatu kaum, sebagai
generasi pengganti yang menggantikan kaum yang sudah rusak moral dan perilakunya, dan
juga sebagai generasi pembaharu yang memperbaiki dan memperbaharui kerusakan dan
penyimpangan negatif yang ada pada suatu kaum.
Peran ini senantiasa harus terus terjaga dan terpartri didalam dada mahasiswa Indonesia
baik yang ada didalam negeri maupun mahasiswa yang sedang belajar diluar negeri. Apabila
peran ini bisa dijadikan sebagai sebuah pegangan bagi seluruh mahasiswa Indonesia, “ruh
perubahan” itu tetap akan bisa terus bersemayam dalam diri seluruh mahasiswa Indonesia.
Saran
Pada bagian ini penyusun ingin mengajak yang dalam hal ini ditujukan kepada para
generasi muda pelajar dan mahasiswa, para Dosen dan Guru, seluruh elemen pemerintah baik
yang ada di daerah maupun yang ada di pusat serta seluruh lapisan masyarakat Indonesia
secara luas agar tetap bersatu demi mempertahankan keutuhan NKRI. Terkadang masalah
sepele akan menjadi kompleks jika tidak ada solidaritas di antara sesama kita. Penyusun
berharap tak akan ada lagi perselisihan di negeri kita tercinta sehingga cita-cita bangsa
Indonesia akan tercapai.
Pepatah dalam bahasa Inggris mengatakan Student Today, Leader Tomorrow. Penulis
meyakini bahwa kunci tercapainya cita-cita itu ada di tangan para generasi muda. Oleh
karena itu, tetaplah semangat dalam meraih apa yang telah menjadi tujuan hidup kita.

Anda mungkin juga menyukai