Anda di halaman 1dari 17

Mahasiswa sebagai Agent of Change

Perlu disadari, mahasiswa adalah

intelektual terdidik. Kaum muda dengan segala potensi memiliki kesempatan dan ruang untuk
berada dalam lingkungan akademis yang disebut kampus.
Harapan besar menunggu kalangan terdidik ini menjadi penerus kepemimpinan bangsa,
negara ini menunggu waktu untuk mereka urus, bukan merusuh. Sebagai kaum menengah ke
atas, karena hanya lima persen saja dari masyarakat Indonesia yang merasakan sebagai
mahasiswa, tidak seharusnya kelakuan urakan dan emosional mereka perturutkan. Wakil
Ketua Sumbar Intellectual Society (SIS) Musfi Yendra S IP menekankan, berbagai perubahan
yang terjadi di belahan dunia ini sebagian besar dicatatkan oleh mahasiswa.
Reformasi sebagai momen penting di Indonesia pun, adalah hasil perjuangan mahasiswa
dengan gerakannya. Alam kebebasan berdemokrasi, tanpa tekanan otoriter sekarang ini
adalah buah dari pola-pola gerakan yang dilakukan oleh kaum terdidik yang ingin bangsanya
mengalami perubahan, terangnya.
Sebagai kaum terdidik yang hidup dalam komunitas masyarakat, menurut mahasiswa
Program Pascasarjana Unand ini, memiliki beberapa peran penting. Pertama, sebagai iron
stock, yaitu mahasiswa diharapkan menjadi manusia tangguh yang memiliki kemampuan dan
akhlak mulia yang dapat menggantikan generasi-generasi sebelumnya. Artinya mahasiswa
merupakan aset, cadangan dan harapan bangsa. Kongkritnya sebagai penerus tonggak estafet
bangsa, lanjutnya.
Kedua, mahasiswa sebagai agent of change. Dimana mahasiswa sebagai agen dari suatu
perubahan yang diharapkan dalam rangka kemajuan bangsa. Dilakukan dengan
memperjuangkan hak-hak rakyat kecil dan miskin, mengembalikan nilai-nilai kebenaran yang
diselewengkan oleh oknum-oknum elit. Dalam perubahan ini mahasiswa harus menjadi
garda terdepan, tambahnya.
Ketiga, mahasiswa sebagai agent of problem solver. Dimana, mahasiswa harus menjadi
generasi yang memberikan solusi dari setiap persolaan yang terjadi dalam lingkungan dan
bangsanya sendiri. Dengan berbagai analisa dan kajian-kajian akademik yang dilakukan,
semestinya mahasiswa bisa membantu jalan keluar terhadap kondisi sulit yang dihadapi oleh
pengambil kebijakan.

Keempat, mahasiswa sebagai agent of control. Fungsi ini dilakukan terhadap penyimpangan
yang dilakukan oleh penguasa negara. Berpijak dari ungkapan Jo Grimmond, mantan anggota
Parlemen Inggris, mahasiswa harus berontak terhadap birokrasi dalam semua bentuk dan
sikapnya. Mahasiswa harus berontak terhadap pikiran yang hanya berpikir dalam rangka
organisasi yang dianutnya atau terhadap kelaziman-kelaziman yang telah di-indoktrinasikannya, lanjut Musfi.
Baik terhadap determinisme ekonomi dan teknik, penggunaan pendidikan yang menghasilkan
budak-budak bagi suatu teknokrasi yang digerakkan oleh mesin, para profesor yang
memberikan sedikit waktu di universitas-universitas di mana katanya mereka harus mengajar.
Konflik Internal, Kekerdilan Jiwa
Peran dan fungsi mulia mahasiswa sering mereka cederai sendiri. Hal ini menunjukkan satu
bentuk indikasi kekerdilan jiwa mahasiswa, dengan melakukan konflik internal dalam satu
kampus. Dinamikanya tidak pada hal-hal yang subtansi, seperti tersinggung oleh kata-kata,
merasa tidak dihargai oleh junior atau mahasiswa dari fakultas lain. Pemicu lainnya, karena
perebutan teman perempuan dan sebagainya. Akibat yang ditimbulkan adalah anarkisme,
terangnya.
Merusak fasilitas kampus dengan membabi buta dan menganggu proses belajar mengajar
(PBM) mahasiswa lain, lumrah dilakukan dengan alasan di atas. Terakhir, fenomena di
kampus Universitas Negeri Padang (UNP) tanggal 20 September lalu, antara Mahasiswa
Fakultas Teknik dan Fakultas Ilmu Keolahragaan.
Musfi mencatat, tidak seharusnya kampus pencetak calon pendidik itu, berubah mencekam di
bulan Ramadhan yang seharusnya penuh kedamaian. Tidak jelas apa yang dipersoalkan,
akhirnya diselesaikan dengan cara tawuran seperti preman. Wajah pendidikan Sumatera
Barat tercoreng ulah mereka. Hampir seluruh media cetak dan elektronik nasional
menayangkan beritanya. Kita sebagai masyarakat tentu sangat menyayangkan kejadian ini,
lanjutnya.
Untuk itu, menurutnya ke depan mahasiswa mesti mengarahkan energinya kepada hal yang
lebih membangun dan kritis. Budaya gerakan massa yang dipunyai oleh mahasiswa sebagai
kekuatan, harusnya diarahkan kepada kontrol terhadap kebijakan yang tidak memihak kepada
rakyat. [Padek]
http://enewsletterdisdik.wordpress.com/2008/09/27/mahasiswa-sebagai-agent-ofchange/

MAHASISWA SEBAGAI AGENT OF CHANGE DAN SOCIAL CONTROL


Sejarah mencatat peran mahasiswa dalam fungsinya sebagai agent of change dan social
control dalam kehidupan bermasyarakat, menempatkan mahasiswa sebagai basis intelektual
menuju masa depan yang cerah. Peran mahasiswa yang realistis dalam berbangsa dan
bernegara telah terukir dalam sejarah Indonesia. Pada Tahun 1966, mahasiswa dengan jiwa
mudanya mampu menggulingkan Soekarnao (Orde Lama) Otoritarianisme negara berupa
pengangkatan Soekarnao sebagai Presiden seumur hidup dapat ditolak. Berlanjut pada tahun

1998 dengan pergerakan yang sistematis dan teroganizir mahasiswa bersama TokohTokoh masyarakat mampu menggulingkan rezim Soeharto (1998) yang akhirnya
mengundurkan diri sebagai dari kursi kepresidenan. Kampus tempat lahirnya para aktivis,
intelektual, dan pempimpin masa depan telah memberikan perannya yang strategis di tengah
masyarakat.
Seiring berjalannya waktu peran mahasiswa dilemahkan oleh sistem yang terjadi di kampus
itu sendiri, pengrusak moral, anarkisme, dan kurangnya eksistensi mahasiswa menjadi
symbol yang ada pada mahasiswa. Kedaan itu tak dapat dinafikan dari dunia kampus, yang
teridri dari berbagai golongan, budaya dan elemen masyarakat. Mengedepankan pendididkan
sains dan teknlogi merupakan ciri yang ada pada perguruan tinggi swasta maupun negeri
yang ada pada saat ini. Ketimpangan pun terjadi ketika kecerdasan intelektual tidak didukung
dengan kecerdasan emosional dan spiritual yang memadai. Sebuah penelitian pada salah
seorang instruktur lembaga terkemuka di Singapura memberikan fakta baru tentang sintem
pendidikan formal, dimana 90% dari waktu dan biaya yang diarahkan untuk mendapatkan
fakta-fakta dan hitungan matematis, hanya 10% untuk mengembangkan sikap, kemudian
Universitas Harvard yang Nomor wahid di dunia pun mengugngkapkan bahwa 85% yang
menentukan kesuksesan, ketapatan keputusan, promosi jabatan dan lain-lain ditentukan oleh
sikap-sikap seseorang. Hanya 15% yang ditentukan oleh kehalian atau komptensi tehnis yang
dimilikinya, yang justru mempengaruhi 85% keberhasilan kita. Terlepas dari semua itu
Mahasiswa sebagai mata air yang mengaplikasikan paradigma kampus sebagai center of
excellence (Pusat Keunggulan), sehingga tanggung jawab mahasiswa di tengah masyarakat
selalu dipertanyakan. Sebagai mata air yang mengaliri sungai dengan basis intelektualnya,
mahasiswa dihadapkan dengan dinamika masyarakat. Tak ubahnya sebuah negara mahasiswa
pun sebagai student governance (Pemerintahan Mahasiswa) dengan organisasi baik internal
maupun external mahasiswa mampu beridiri diatas kaki sendiri. Kesemuanya itu merupakan
pengabdian mahasiswa terhadap masyarakat yang sesuai dengan fungsi-fungsinya.
Mahasiswa Sebagai Agent of Change dan Agent of Control

Mahasiswa sebagai salah satu bagian dari masyarakat. Hal ini mengharuskan mahasiswa
harus bisa masuk berpartisipasi dan mengembangkan ilmunya ke masyarakat dan
lingkungannya. Mahasiswa diharapkan sebagai pencetus ide sekaligus eksekutor dari idenya,
yang kemudian akan berpengaruh pada perubahan budaya, keadaan, atau sistem.

Perubahan bisa terjadi pada segala segi termasuk pola pikir dan pola prilaku. Mahasiswa
dalam posisi agent of change dituntut untuk mengimplikasikan segala macam sikap, perilaku,
dan pikirannya dalam sebuah bentuk konkrit bukan sesuatu yang abstrak. Menuangkan ideide kreatif untuk bisa dimanfaatkan oleh dirinya sendiri maupun orang lain. Apa yang perlu
diperbaiki dari yang sudah ada, atau melakukan perubahan yang bisa lebih bermanfaat bagi
umat.

Sedangkan sebagai agent of control, Mahasiswa harus dapat menjadi pengawas dari segala
apa yang terjadi di sekitar kita. Sebagai mahasiswa juga harus mengetahui bagaimana

mestinya, jika sesuatu tidak berjalan semestinya maka fungsi sebagai agent of change terus
dijalankan.Namun dalam penerapan fungsi agent of change kita harus memiliki dasar yang
kuat untuk melakukan perubahan.

Semangat bagi para mahasiswa sebagai penerus bangsa yang mulia. Merdeka!!!!!

Mahasiswa Sebagai Agent of Change


Lembaga Pers Mahasiswa INSTITUT, dalam ulang tahunnya yang ke-28 mengharapkan mahasiswa
UIN tidak melupakan perannya sebagai agent of change.
Arus globalisasi menimbulkan dampak positif dan negatif bagi mahasiswa. Dampak positifnya,
mahasiswa dibekali akses mudah dalam pencarian informasi dengan bebas dan tanpa batas ruang
dan waktu. Namun dengan hal tersebut, menciptakan mahasiswa-mahasiswa yang praktis hingga
melupakan substansi perannya sebagai mahasiswa.
Agent of Change, begitulah kerap peran mahasiswa dielu-elukan. Pasti masih teringat jelas dalam
memori kita bahwa gelar tersebut diberikan bukan tanpa alasan, melainkan karena besarnya lakon
mahasiswa dalam perjalanan sejarah tanah air. Merubah era diktator menjadi era kebebasan
(demokrasi).
Namun, mahasiswa kini lebih cenderung apatis terhadap masalah-masalah yang melanda bangsa.
Pun hal ini juga dipengaruhi kian maraknya pola pikir kapitalis. Sistem kapitalis yang kian menyeret
mereka ke wilayah egosentris. Orientasi mereka pun berubah dari perjuangan demi bangsa ke
perjuangan untuk memperkaya diri.
Tak pelak, mahasiswa ingin cepat lulus. Memanggul gelar sarjana dan cepat bekerja. Muncullah ideide instant dan tak mau repot. Mulai dari hal yang sangat kecil, seperti mencontek saat ujian, plagiat
makalah, dan hingga jual beli skripsi dianggap halal asal nilai memuaskan. Kalau sudah demikian?
Siapakah yang akan disalahkan?
Selain itu, berdasarkan hasil survey yang pernah dilakukan LPM INSTITUT mengenai budaya diskusi
mahasiswa UIN (Juni 2011), hasilnya sangat mengejutkan. Hanya 38% mahasiswa yang aktif
mengikuti kajian di luar kelas.
Ini merupakan permasalahan yang krusial dan tidak boleh dibiarkan. Oleh karena itu, perlu ada
tindakan yang bersifat menyadarkan. Menurut hemat saya, salah satunya adalah memberikan
gambaran-gamabaran tentang pentingnya ikut dalam sebuah organisasi. Tujuannya hanya satu
mengembalikan pemahaman peran mahasiswa sebagai agent of change. Agen yang dapat merubah
bangsa Indonesia menjadi bangsa yang maju dan mandiri.
Berangkat dari berbagai problematika di atas, Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) INSTITUT UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta menyelenggarakan talk show yang bertemakan Mahasiswa, Apa Peranmu?
(Aksi nyata mahasiswa dulu, kini, dan nanti).
Diadakan di Aula Student Center UIN Jakarta pada 14 Desember 2011, setelah empat hari ditutupnya
penerimaan karya Lomba Opini yang digelar dalam satu bulan dengan tema senada, LPM INSTITUT
menghadirkan Prof. Dr. Komaruddin Hidayat, Rektor UIN Jakarta, Ken Budha Kusumandaru, aktivis,
dan Gun Gun Heryanto, M.Si, Dosen Komunikasi UIN Jakarta.

Talks show tersebut merupakan rangkaian acara Dies Natalis LPM INSTITUT yang ke-28 pada 24
Desember 2011 mendatang. Dengan diadakannya acara ini, diharapkan mahasiswa-mahasiswa,
khususnya mahasiswa UIN Jakarta menyadari bahwa bukanlah kita sebagai mahasiswa yang diubah
oleh sebuah sistem. Namun, harus berani melawan arus sistem yang membuat kita melupakan jati
diri kita sebagai mahasiswa.
Demikian pula dengan hadirnya berbagai narasumber dari tingkat aktivis, dosen, hingga rektor, yang
diharapkan mampu menjawab berbagi keluhan mahasiswa dalam sesi diskusi. Dengan begitu,
pimpinan kampus pun mengetahui permasalahan-permasalahan yang menghinggapi civitas
akademika. Solusi pun ditunggu untuk dilontarkan dalam penyelesaian problematika tersebut.

Peran mahasiswa sebagai AGENT OF CHANGE


September 22nd, 2011 |

Author: erfylalupanda

Mahasiswa adalah kelompok masyarakat yang sedang menekuni bidang ilmu tertentu dalam
lembaga pendidikan formal dan menekuni berbagai bidang tersebut di suatu tempat yang di
namakan universitas. Kelompok ini sering juga disebut sebagai Golongan intelektual muda
yang penuh bakat dan potensi. Disamping itu mahasiswa juga semestinya mempunyai
perilaku yang patut menjadi teladan para adik adiknya yang masih duduk di bangku
sekolah. Namun posisi yang demikian ini sudah barang tentu bersifat sementara karena kelak
di kemudian hari mereka tidak lagi mahasiswa dan mereka justru menjadi pelaku-pelaku
intim dalam kehidupan suatu negara atau masyarakat.

Namun yang menjadi pembahasannya sekarang adalah Hakikat kita sebagai


mahasiswa yang semestinya mempunyai bakat dan potensi untuk membangun Bangsa dan
Negara ini. Dalam hal makna, arti mahasiswa bukanlah posisi strata pendidikan yang
dilakukan setelah lulus SMA. Namun ketika menginginkan makna ini agar jelas ada empat
peran yang dimiliki mahasiswa yakni sebagai agen perubahan (AGEN OF CHANGE),
kekuatan moral, kontrol sosial, dan cadangan potensial.
Sebagai agen perubahan (AGEN OF CHANGE), mahasiswa dituntut bersifat kritis.
Diperlukan implementasi yang nyata. Contoh konkrit implementasi tersebut adalah
perjuangan mahasiswa di tahun 1998 dalam mengumandangkan reformasi. Perubahan yang
terjadi sebagai efek dari perjuangan mahasiswa masa itu sangatlah besar baik bagi kinerja
pemerintahan, control kerja pemerintahan, kondisi perekonomian bangsa, sistem pendidikan
yang diterapkan, serta hal-hal lain yang berhubungan langsung dengan masyarakat. Harapan
besar ditujukan pada para pemuda. Pemuda yang dimaksud adalah para mahasiswa. Dalam
posisi ini, mahasiswa adalah aset yang sangat berharga. Harapan tinggi suatu bangsa terhadap
mahasiswa adalah menjadi generasi penerus yang memiliki loyalitas tinggi terhadap
kemajuan bangsa.

Sebagai kekuatan moral, masyarakat akan memandang tingkah laku, perkataan, cara
berpakaian, cara bersikap, dan sebagainya yang berhubungan dengan moral sebagai acuan
dasar mereka dalam berperilaku. Disinilah mahasiswa harus di tuntut ke intelektualannya
dalam kekuatan moralnya di masyarakat.
Sebagai kontrol sosial, Masyarakat adalah sekumpulan populasi dengan beragam karakter.
Banyak sekali aspek sosial yang harus dipenuhi agar tidak terjadi ketimpangan yang rentan
memicu konflik. Jika kondisinya berlawanan, maka dapat dipastikan adanya konflik kecil
yang bisa timbul di mahasiswa maupun masyarakat. Di sinilah peran mahasiswa. Kontrol dari
kondisi kondisi sosial merupakan implementasi nyata mahasiswa untuk bersinggungan
langsung dengan masyarakat. Memanfaatkan media sangat atraktif bila diterapkan. Jika
menyadari peran dalam masyarakat sewajarnya mahasiswa menjadi harapan masyarakat dan
bukan sekadar penganut hedonistik.
Sebagai cadangan potensial, sebagaimana pengertian mahasiswa sendiri yang berarti suatu
kelompok yang sedang menekuni bidang ilmu tertentu. Disinilah kesadaran para mahasiswa
yang harus ditekankan, bahwa sebagai mahasiswa yang nantinya akan mempunyai suatu
keahlian dalam bidang bidang ilmu tertentu harus wajib mengamalkannya dalam
masyarakat luas. Ini semua semata mata untuk kemajuan Bangsa dan Negaranya sendiri.
Dan disinilah tingkat Nasionalisme seorang lulusan mahasiswa akan di pertanyakan.
Karena banyak lulusan lulusan mahasiswa Indonesia melupakan Bangsa dan Negaranya
sendiri, karena mereka sudah dilupakan oleh uang dan jabatan yang mereka dapat di Bangsa
dan Negara lain. Seharusnya kita (mahasiswa) menjadi cadangan potensial untuk memajukan
Bangsa dan Negara kita, dan menjadi titik terang untuk keluar dari krisis krisis yang
berkepanjangan ini.
Semoga kita sadar akan Hakikat kita sebagai mahasiswa, dan menjadi titik terang untuk
kemajuan dan kebangkitan Indonesia.

Peran Mahasiswa, Agent of Change


Posted on: August 12, 2009 by: susilo.adi.setyawan

Oleh Susilo Adi Setyawan


Perlu disadari, mahasiswa adalah kaum intelektual terdidik. Kaum muda dengan
segala potensi memiliki kesempatan dan ruang untuk berada dalam lingkungan
akademis yang disebut kampus. Kampus merupakan sarana yang paling efektif
untuk melahirkan kaum intelektual sejati. Dari sekian banyak kaum intelektual
tersebut akan muncul beberapa bibit kaum intelektual yang aktif di berbagai kegiatan
yang berlandaskan tri dharma perguruan tinggi. Mereka yang aktif tersebutlah yang

pantas disebut aktivis intelektual. Seorang Aktivis Intelektual adalah seorang yang
memiliki pengetahuan umum secara memadai sehingga mampu menemukan dan
menganalisa setiap fenomena yang tengah berkembang di tengah masyarakat dan
mampu memberikan solusi yang tepat dan bermanfaat.
Pemikiran kritis, demokratis, dan konstruktif diharapkan selalu lahir dari pola pikir
para mahasiswa. Suara-suara mahasiswa kerap kali merepresentasikan dan
mengangkat realita sosial yang terjadi di masyarakat. Sikap idealisme mendorong
mahasiswa untuk memperjuangkan sebuah aspirasi pada penguasa, dengan cara
mereka sendiri.
Tidak dapat dipungkiri bila generasi muda khususnya para mahasiswa, selalu
dihadapkan pada permasalahan global. Setiap ada perubahan, mahasiswa selalu
tampil sebagai kekuatan pelopor, kekuatan moral dan kekuatan pendobrak untuk
melahirkan perubahan. Oleh karena itu kiranya sudah cukup mendesak untuk
segera dilakukan penataan seputar kehidupan mahasiswa tersebut.
Berbicara tentang mahasisiwa selalu tidak ada habisnya. Mahasisiwa adalah
manusia yang dipenuhi idealisme. Mahasiswa senantiasa punya banyak cerita bagi
negeri ini. Mahasiswa dianggap tunas-tunas baru yang akan menggantikan peran
para pemimpin di masa yang akan datang. Di tangan para mahasiswalah masa
depan bangsa ini akan terbentuk. Tongkat estafet ini akan diteruskan oleh
mahasiswa. Di samping mahasiswa sebagai penerus kepemimpinan bangsa ini,
ternyata mahasiswa dipandang berperan sebagai agent of change, agent of

modernization, atau agen-agen yang lain. Hal ini memberikan konsekuensi logis
kepada mahasiswa untuk bertindak dan berbuat sesuai dengan gelar yang
disandangnya. Mahasiswa harus tetap memiliki sikap kritis, dengan mencoba
menelusuri permasalahan sampai ke akar-akarnya. Dengan adanya sikap kritis
dalam diri mahasiswa diharapkan akan timbul sikap korektif terhadap kondisi yang
sedang berjalan. Pemikiran prospektif ke arah masa depan harus hinggap dalam
pola pikir setiap mahasiswa.

Ditengah peran dari mahsiswa yang sedemikian besar itu, terkadang mahasiswa
merasakan suatu beban. Artinya mahasiswa mempunyai tanggungjawab yang tinggi
terkait dengan statusnya. Mahasiswa harus bisa berkontribusi dalam masyarakat
dan mahasiswa harus bersikap tegas dan strategis dalam setiap langkahnya. Di
tengah perkembangan dunia pendidikan dewasa ini, kiranya harapan itu harus
ditinjau ulang. Karena kenyataan sekarang banyak mahasiswa yang tidak lagi dapat
bersikap seperti apa yang menjadi harapan masyarakat selama ini. Sebagian besar
mahasiswa tidak dapat menjalankan fungsi yang selama ini diemban. Fungsi
pembelajaran yang harusnya dapat ditransformasikan kepada masyarakat terkadang
belum dapat dilaksanakan, hal ini disebabkan kualitas dari mahasiswa sendiri yang
sekarang mulai menurun. Mahasiswa seharusnya dapat mentransformsikan sikap
kritis dan kedewasaaannya dalam masyarakat mengingat salah satu poin tri dharma
perguruan tinggi adalah pengabdian kepada masyarakat.
Dilihat dari segi kualitas maupun kuantitas, para mahasiswa tetap saja merupakan
komunitas elite yang patut diperhitungkan dari dulu dan sampai kini terlebih bagi
suatu daerah. Di daerah, masih relatif sedikit anggota masyarakatnya yang dapat
menyekolahkan sampai tingkat perguruan tinggi. Oleh karena itu, keberadaan
mahasiswa bagi suatu daerah merupakan modal sosial yang luar biasa, yang dapat
dimanfaatkan dan diberdayakan bagi pembangunan suatu daerah. Namun
mahasiswa, dapat juga menjadi suatu ancaman bagi pemerintahan suatu daerah
karena dapat bersikap kritis dan mengambil peran sebagai kekuatan kontrol.
Dengan demikian para mahasiswa juga harus mulai berorientasi ke daerah bukan
lagi ke pusat karena Pusat selain sudah overload juga menjadi simbol ketimpangan
pembangunan di Indonesia, sehingga diperlukan desentralisasi dan orientasi baru
dalam pembangunan daerah.
Mahasiswa harus menyadari, ada banyak hal di negara ini yang harus diluruskan
dan diperbaiki. Kepedulian terhadap negara dan komitmen terhadap nasib bangsa di
masa depan harus diinterpretasikan oleh mahasiswa ke dalam hal-hal yang positif.
Tidak bisa dipungkiri, mahasiswa sebagai social control terkadang juga kurang

mengontrol dirinya sendiri. Sehingga mahasiswa harus menghindari tindakan dan


sikap yang dapat merusak status yang disandangnya, termasuk sikap hedonis-

materialis yang banyak menghinggapi mahasiswa.


Karena itu, kepedulian dan nasionalisme terhadap bangsa dapat pula ditunjukkan
dengan keseriusan menimba ilmu di bangku kuliah. Mahasiswa dapat mengasah
keahlian dan spesialisasi pada bidang ilmu yang mereka pelajari di perguruan tinggi,
agar dapat meluruskan berbagai ketimpangan sosial ketika terjun di masyarakat
kelak.
Akankah pernyataan yang menyebutkan bahwa mahasiswa itu adalah agent of

change hanya sekedar wacana? Harapan yang selama ini diemban oleh mahasiswa
adalah sebagai agent of change mulai harus diintrospeksi lagi. Tentunya introspeksi
ini harus dimulai dari mahasiswa sendiri sebagai solusi. Mahasiswa harus benar
benar menyadari posisi strategisnya dan beranjak dari statusnya maka mahasiswa
harus berupaya untuk mewujudkan hal tersebut ke dalam sebuah tindakan-tindakan
yang rasional dan dewasa. Dan ingat, Sebaik baiknya manusia di dunia adalah

manusia yang bermanfaat bagi manusia yang lain .

HIRUK PIKUK KEHIDUPAN MAHASISWA SEBAGAI AGENT OF CHANGE

Mahasiswa adalah tonggak dari sebuah perubahan. Suatu istilah yang tentunya
sudah tidak asing lagi kita dengar, yaitu bahwa Mahasiswa Sebagai Agent Of
Change/Agen Perubahan. Mahasiswa selalu menjadi bagian dari perjalanan
sejarah sebuah bangsa. Pemikiran kritis, dan konstruktif selalu lahir dari pola
pikir para mahasiswa. Sikap idealisme mendorong mahasiswa untuk
memperjuangkan sebuah aspirasi rakyat kepada penguasa, dengan cara mereka
sendiri.
Peran mahasiswa sangatlah nyata bagi sebuah perubahan dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Diamana peran mahasiswa itu sendiri
diantaranya: 1) sebagai penganalisa, pemberi solusi terhadap fenomena ataupun
peristiwa yang sedang terjadi di masyarakat, 2) sebagai pengamat dan
pengontrol terhadap kebijakan dan keputusan pemerintah, 3) sebagai
penyambung lidah atau penyampai aspirasi masyarakat kampus pada khususnya

dan masyarakat luas pada umumnya, 4) sebagai penyampai kebenaran, 5)


sebagai agen perubahan (agent of change), 6) sebagai generasi muda penerus
masa depan bangsa.
Disamping itu semua, ada kisah yang menarik dalam kehidupan mahasiswa.
Kehidupan yang menarik itu adalah kehidupan yang identik dengan kehidupan
kos-kosan. Walaupun kondisi anak kos yang selalu identik dengan keprihatinan
seperti yang ada dalam benak sebagian orang. Namun itu tidak semuanya benar.
Karena ternyata masih ada diantara mereka yang sanggup merasakan kehidupan
yang glamor dengan fasilitas dan kebutuhan yang selalu berkecukupan. Namun,
jumlahnya tidak lebih banyak dari mereka yang kondisi ekonomi kosnya paspasan. Besar kecilnya pemasukan bergantung pada kiriman dari orang tua. Jika
jatah dari orang tua habis sebelum akhir bulan, maka mulailah para anak kos ini
beraksi untuk mencari pinjaman kepada teman yang dianggap lebih mampu.
Tidak jarang sebagian dari mereka ada yang berhutang di kantin kampus atau
warung ibu kos. Bulan berikutnya kembali berhutang, hanya berpindah dari satu
teman ke teman lain.
Bagaimana jika teman sudah habis menjadi korban pinjaman? Langkah kedua
adalah menjual aset berharga, mulai dari baju, tas, sepatu, dispenser, rice
coocker, lemari, HP, dan bahkan sampai komputer. Jika dari kedua usaha di atas
ternyata uang yang didapat belum mampu mencukupi kebutuhannya, maka
ditempuhlah cara yang ketiga, yaitu memangkas pos pengeluaran yang penting.
Misalnya, jatah pembelian buku, biaya makan, ongkos praktikum. Bahkan ada
sebagian mahasiswa yang berani menggadaikan surat kendaraannya demi untuk
memperoleh uang guna mencukupi kehidupannya di kos. Inilah manajemen
kehidupan anak kos yang hidup dalam kondisi serba kekurangan. Disatu sisi
kebutuhan hidup kian meningkat dan mau tidak mau harus segera dipenuhi dan
disisi lain biaya kuliah yang terus membumbung tinggi dan harus segera
dilunasi.
Kehidupan mahasiswa ataupun mahasiswi yang kondisi ekonomi dan kehidupan
orang tuanya berada di kelas menengah ke atas, tentunya keadaan seperti ini
tidak menjadi msalah. Kondisi ini jauh berbeda dengan kondisi kehidupan
mahasiswa ataupun mahasiswi yang orang tuanya serba kekurangan.
Bagi mahasiswa ataupun mahasiswi yang masih mengandalkan kiriman uang
dari orang tua, yang ekonomi orang tuanya menduduki kelas menengah ke
bawah, keseharian mereka harus membagi dua fikiran dan konsentrasi
belajarnya yang tidak mengenal tempat, saat belajar di ruang kuliah ataupun
saat berada di kos-kosan. Disatu sisi mereka memikirkan kuliah yang semakin
hari tugas semakin menumpuk apalagi jika sudah mendekati ujian tengah
semester (UTS) ataupun ujian akhir semester (UAS). Seakan-akan tidak
memberikan kesempatan lagi kepada otak untuk refressing. Disisi lain,
mahasiswa ataupun mahasiswi ini harus memikirkan kondisi fisik orang tuanya
yang semakin hari semakin lemah dan tentunya ekonomi orang tuanya pun juga
ikut melemah. Apalagi bagi mereka yang orang tuanya tidak memiliki
penghasilan tetap ataupun penghasilan sampingan. Keadaan seperti ini tentunya

akan sengat mengganggu konsentrasi belajar para anak kos ini.


Namun ironisnya, manajemen kehidupan anak kos seperti di atas secara sadar
dan bangga diadopsi oleh para mahasiswa dan mahasiswi Indonesia tidak
terkecuali para mahasiswa dan mahasiswi yang ada di Kepulauan Bangka
Belitung ini. Mereka dengan sadar dan senang hati menjalani kehidupan seperti
ini, tanpa mau berusaha untuk mencari solusi dan jalan keluar terhadap masalah
yang selama ini mereka hadapi.
Jika kita mau merenung dan berfikir sejenak, tentunya akan muncul pertanyaanpertanyaan dari dalam benak kita. Mengapa semua ini menimpa kehidupan
mahasiswa ataupun mahasiswi sebagai salah satu tonggak perubahan negeri ini?
Mengapa kondisi ini terjadi di negeri yang kaya raya dengan sumber daya
alamnya dan di negeri yang pernah mendapat julukan Jamrud Katulistiwa ini?

Solusi Masalah
Ada tiga perspektif yang bisa kita gunakan untuk menguraikan problematika
yang kehidupan mahasiswa sebagai anak kos-kosan ini dan tentunya berawal
dari kehidupan orang tuanya sebagai masyarakat (warga Negara) Indonesia.
Perspektif pertama, perspektif ekonomi hyang diajukan para ekonom, yang
menyatakan bahwa, segala krisis yang terjadi adalah akibat fundamental
ekonomi Indonesia yang lemah. Sehingga mereka mengajukan solusi untuk
restrukturisasi utang luar negeri, meningkatkan ekspor, dan solusi lainya. Hal ini
telah dilakukan tetapi tidak menyelesaikan masalah.
Perspektif kedua, perspektif politik. Penganut perspektif ini mengatakan bahwa,
krisis yang terjadi bukan hanya disebabkan oleh rusaknya tatanan ekonomi,
namun lebih disebakan oleh rusaknya tatanan politik, yang berefek pada tidak
demokratisnya pemerintah. Beranjaknya dari analisis ini maka demokratisasi
dilakukan di segala bidang, pemilihan presiden bahkan sampai pemilihan kepala
daerah telah dilakukan secara langsung. Namun, ternyata hasilnya sampai saaat
ini belum mampu menyelesaikan krisis multidimensional yang terjadi.
Perspektif ketiga adalah perspektif filosofi radikal. Teori ini memandang bahwa
krisis multidimensional yang terjadi saat ini bukanlah semata-mata disebabkan
oleh rapuhnya tatanan ekonomi dan rusaknya sistem perpolitikan, namun semua
krisis ini disebabkan oleh rapuhnya idiologi Negara. Sehingga berimbas pada
kesalahan penerapan sistem. Sistem yang diterapkan saat ini bukanlah sistem
yang ideal namun sistem yang cacat sejak lahir dan bersifat self destructive
yaitu tatanan sistem kapitalisme-sekuler. Sehingga solusi fundamental untuk
menyelesaikan problem kehidupan mahasiwa ataupun mahasiswi serta
masyarakat saat ini adalah mengganti sistim sekuler dengan sistem yang baru.
Kegagalan sistem kapitalisme tidak hanya terjadi di Indonesia saja, namun
terjadi pula di Negara yang menjadi pengusung sistim ini yaitu Amerika Serikat

(AS). Adalah sebuah pilihan yang bijak ketika mengarahkan perubahan sistem
tersebut ke arah penerapan Syariat Islam. Islam adalah satu-satunya idiologi
yang mampu memancarkan kemuliaan, bahkan mempersatukan dua per tiga
belahan dunia, dan mampu bertahan selama 1300 tahun. Serta berhasil
memberi rahmat kepada alam, bukan hanya kepada orang islam semata. Sistem
kapitalisme di bawah pimpinan Amerika Serikat belum mampu menyaingi
kejayaan sistem Islam. Islam memberikan gambaran-gambaran jika Syariat
Islam diterapkan di bawah naungan Khilafah Islamiyah.

Islam Menjamin Keamanan Dunia


Jaminan keamanan ini diberikan sama kepada masyarakat Islam maupun non
Muslim. Sejarah telah membuktikan, kaum Yahudi Spanyol lebih memilih tinggal
di wilayah Negara Islam setelah inkusisi oleh Ratu Isabella, karena keamanannya
terjamin. Hal yang sama juga membuat orang-orang Rusia memilih tinggal di
wilayah Negara Islam pasca Revolusi Bolchevik.

Islam Menjamin Kemakmuran


Masa pemerintahan Abdurrahman III memperoleh pendapatan sebesar 12 juta
dinar emas (satu dinar setara dengan 4,25 gram emas). Diduga kuat jumlah
tersebut melebihi pendapatan pemerintahan negeri-negeri masehi latin jika
digabungkan. Sumber pendapatan tersebut bukan berasal dari pajak yang tinggi,
melainkan salah satu efek dari pemerintah yang bersih dan didukung oleh
kemajuan pertanian dan industry.

Menjamin Kesehatan Masyarakat


Islam telah menjamin kesehatan yang bermutu dan murah dan bahkan gratis.
Pengelolaannya dilimpahkan kepada institusi Negara sebagai pelayan
masyarakat. Bukti historis telah menunjukkan bahwa Islam telah menjamin
seluruh dunia dalam menyiapkan berbagai rumah sakit yang layak sekaligus
memenuhi keperluannya. Contohnya adalah Al-Bimarustan yang dibangun oleh
Nudruddin di Damaskus tahun 1160, telah bertahan selama tiga abad dalam
merawat orang-orang sakit tanpa bayaran dan menyediakan obat-obatan gratis.
Jadi dalam sistem Islam pelayanan kesehatan gratis bukan sekedar jargon.
Begitulah gambaran ketika kita memilih Islam sebagai solusi, tidak hanya akan
mensejahterakan seluruh manusia (Muslim dan non Muslim), bahkan mampu
mensejahterakan dunia.
Semua itu ada pada diri mahasiswa ataupun mahasiswi sendiri yang mendapat
jargon agent of change sekaligus sebagai anak kos khususnya dan para orang
tua sebagai masyarakat pada umumnya. Memilih diterapkannya Syariat Islam di
bawah naungan Khilafah Islamiyah, berarti menginginkan kehidupan yang lebih
baik dunia dan akhirat, lebih dihormati dan disegani oleh Negara lain. Memilih
tetap diterapkannya Kapitalisme-Sekulerrisme, berarti memilih tetap menjadi
anak kos-kosan yang selalu dalam kekurangan, selalu dilecehkan oleh bangsa

lain, tetap tertindas dan lain-lain. Pilihannya ada pada diri anda. Hal ini
dikarenakan hidup adalah sebuah pilihan.
Sebagaimana yang dijelaskan Allah dalam FirmanNya, yang artinya Telah Kami
tunjukkan kepadanya dua jalan hidup (baik dan buruk) (TQS. Al Balad (90) :
10). Wallahu alam.

Meneruskan sebelumnya, kita sudah tahu tentang hakikat mahasiwa dan sekarang kita akan
mengkaji peran mahasiswa sebagai AGENT OF CHANGE.
Saya mulai dengan kata mahasiswa. Mahasiswa dipilih sebagai pelaku karena memiliki
potensi yang besar sebagai agen perubahan. Mahasiswa saya definisikan di sini sebagai
segmen pemuda yang tercerahkan karena memiliki kemampuan intelektual yang tinggi. Di
sini saya tidak membicarakan mahasiswa sebagai orang yang faham teknologi, atau faham
ilmu-ilmu sosial, namun saya mengartikan mahasiswa sebagai orang yang memiliki
kemampuan logis dalam berfikir sehingga dapat membedakan mana yang benar dan mana
yang salah.
Sebagai bagian dari pemuda, mahasiswa juga memiliki karakter positif lainnya, antara lain
idealis dan energik. Idealis berarti (seharusnya) mahasiswa masih belum terkotori oleh
kepentingan pribadi, juga belum terbebani oleh beban sejarah atau beban posisi. Artinya
mahasiswa masih bebas menempatkan diri pada posisi yang dia anggap terbaik, tanpa adanya
resistansi yang terlalu besar. Mahasiswa seharusnya berada diposisi netral yang tanpa ada
embel-embel yang lain. Tetap berperan dengan idealisme dan independennya. Tanpa
memihak kecuali kepada kebenaran.
Dengan potensi seperti di atas, wajar jika pada setiap zaman kemudian pemuda memegang
peran penting dalam perubahan kaumnya. Kita lihat kisah Ibrahim as sang pembaharu, atau
kisah pemuda Kahfi (18:9-26) yang masing-masing begitu sigap menerima kebenaran. Atau
orang-orang yang segera menerima dan mendukung Rasulullah saw pun ternyata adalah para
pemuda, bukan orang-orang tua yang saat itu menjadi pemuka kaumnya. Bukan Abu Jahal
atau Abu Sufyan, tetapi Umar bin Khathab, Ali bin Abi Thalib, Zaid bin Haritsah lah yang
kemudian mengusung panji-panji Islam. Bahkan Abu Bakar yang cukup tua pun saat itu
baru berusia 37 tahun.
Ada ulama yang kemudian menyampaikan bahwa pemuda dapat memiliki tiga peran, yaitu:
1. Sebagai generasi penerus (AthThur:21); meneruskan nilai-nilai kebaikan yang ada pada
suatu kaum.
2. Sebagai generasi pengganti (Al Maidah:54); menggantikan kaum yang memang sudah
rusak dengan karakter mencintai dan dicintai Allah, lemah lembut kepada kaum mumin,
tegas kepada kaum kafir, dan tidak takut celaan orang yang mencela.
3. Sebagai generasi pembaharu (Maryam:42); memperbaiki dan memperbaharui kerusakan
yang ada pada suatu kaum.

Kata kunci yang kedua adalah Islam. Islam adalah sebuah ideologi yang memberikan energi
besar bagi perubahan. Hal ini dimungkinkan karena karakter Islam yang syumul, mewarnai
seluruh aspek kehidupan dan mengatur seluruh bagian manusia. Islam tidak hanya sekedar
mewarnai pola pikir, namun dia juga mempengaruhi emosi, perasaan, pemikiran dan juga
fisik. Berislamnya seseorang akan melahirkan sebuah totalitas. Dengan adanya syahadah,
seorang muslim akan meyakini bahwa dia memang diciptakan hanya untuk beribadah, bahwa
tidak ada yang dapat memberikan kemudharatan kecuali atas izin Allah, sehingga dengan
demikian tidak ada lagi sesuatupun yang ditakutinya. Kalaupun harus berperang, dia
meyakini bahwa apapun hasilnya akan berupa kebaikan. Matinya adalah syahid, dan
hidupnya adalah kemuliaan.
Dengan demikian gabungan kata mahasiswa dan Islam memberikan sebuah energi besar yang
berlipat, yang apabila diarahkan dengan baik dapat memberikan sebuah perubahan.
Berbicara tentang perubahan, tentunya akan memunculkan pertanyaan mengapa harus ada
perubahan. Di sini ada beberapa hal yang bisa dijadikan sebagai jawaban:
1. Kondisi saat ini sangat jauh dari ideal. Tidak perlu kita pungkiri bahwa masyarakat
(termasuk atau terutama di Indonesia) saat ini masih cukup jauh dari Islam. Contoh yang jelas
tampak di permukaan adalah pada moral masyarakat, misalnya korupsi yang membudaya
atau adanya pergaulan bebas. Oleh karena itu tidak salah jika ada ulama yang mengatakan
kondisi sekarang sebagai jahiliyah modern.
2. Perubahan adalah suatu keniscayaan, atau sunnatullah. Artinya suka atau tidak, kita akan
menemui perubahan. Kalaupun kita diam, maka ada banyak pemikiran lain (komunis, liberal,
dll) yang mencoba mengubah masyarakat sesuai dengan kehendak mereka. Oleh karena itu,
diamnya kita berarti membiarkan kekalahan ideologi yang kita yakini kebenarannya dan
membiarkan terjadinya perubahan ke arah yang tidak kita kehendaki. Dalam Ar Rad:11,
Allah berfirman bahwa Allah tidak akan mengubah kondisi suatu kaum hingga mereka
mengubah kondisi dirinya sendiri.
3. Melakukan perubahan adalah perintah di dalam ajaran Islam, sebagaimana dalam suatu
hadits Rasulullah saw menyatakan bahwa orang yang hari ini lebih baik dari kemarin adalah
orang yang beruntung, orang yang hari ini sama dengan kemarin berarti rugi, dan orang yang
hari ini lebih buruk dari kemarin adalah celaka. Artinya kalau kita membiarkan kondisi statis
tanpa perubahan apalagi membiarkan perubahan ke arah yang lebih buruk berarti kita
tidak termasuk orang yang beruntung. Juga di dalam Ali Imran:104 Allah memerintahkan
agar ada kaum yang menyeru kepada kebaikan sebagai sebuah perubahan.
Pertanyaan berikutnya yang mungkin muncul adalah mengapa harus saya yang melakukan
perubahan, dan bukan orang lain. Secara sederhana jawabannya adalah karena kita adalah
orang-orang terpilih. Dari sekitar 5 milyar penduduk bumi, hanya 1 milyar yang memeluk
Islam, suatu segmen yang tidak terlalu besar. Dari sekian banyak pemeluk Islam, mungkin
hanya sekitar 5 % yang menjadi mahasiswa. Berarti kita (baca: mahasiswa muslim)
merupakan sebuah segmen yang sangat kecil. Dan dari sekian mahasiswa muslim, hanya
puluhan atau mungkin ratusan yang tertarik mengikuti kajian, atau membaca tulisan

bertemakan peran mahasiswa Islam sebagai agen perubahan. Orang-orang yang sedikit ini
seharusnya tidak kemudian lepas tangan, yang artinya membiarkan perubahan berjalan ke
arah yang tidak kita kehendaki. Dengan kata lain, kita telah sadar akan potensi yang kita
miliki; dan setiap potensi bermakna adanya tanggung jawab. Makin besar potensi yang
dimiliki seseorang, makin besar pula tanggung jawab yang dimilikinya. Dalam sebuah hadits
yang diriwayatkan oleh Al Hakim, Rasulullah juga mengingatkan kita untuk mempergunakan
lima kesempatan, yang di antaranya adalah masa muda sebelum datangnya tua.
Kesadaran bahwa kita harus menjadi agen perubahan merupakan langkah awal yang
kemudian harus dibarengi dengan pemahaman bagaimana cara melakukan perubahan atau ke
arah mana perubahan itu kita arahkan. Di dalam surat Ali Imran:104 yang disebutkan di atas,
Allah menyebutkan bahwa perubahan itu harus dilakukan ke arah kebaikan. Dalam tataran
praktis, tentu kita harus mem-break down tujuan global itu ke dalam sasaran-sasaran jangka
pendek, jangka menengah hingga jangka panjang. Arah kebaikan yang dimaksud adalah
Islam dan tauhid, sehingga sebagai tujuan jangka panjang adalah terbentuknya masyarakat
dan pemerintahan yang Islami yang lingkupnya tidak hanya Indonesia namun dunia. Sebagai
sasaran antara, bisa saja kita memikirkan perubahan kepemimpinan nasional, penggolan
agenda reformasi, dst. Tentu dalam menyusun agenda jangka pendek kita perlu memikirkan
secara lebih detil, disesuaikan dengan kondisi yang ada dan kondisi ideal yang kita inginkan.
Dalam ilmu sosiologis disebutkan ada dua pandangan tentang perubahan, yaitu pandangan
materialistik yang meyakini bahwa tatanan masyarakat sangat ditentukan oleh teknologi atau
benda. Misalnya Marx yang menyatakan bahwa kincir angin menimbulkan masyarakat
feodal; mesin uap menimbulkan masyarakat kapitalis-industri. Atau mungkin sekarang kita
bisa mengatakan internet menimbulkan masyarakat informasi, dst. Sedang pandangan kedua
adalah pandangan idealistik yang menekankan peranan ide, ideologi atau nilai sebagai faktor
yang mempengaruhi perubahan. Dalam kaitannya dengan perbincangan kita, pandangan
kedua inilah yang lebih mengena, di mana sasaran perubahan kita adalah manusia dan
ideologi yang kita bawa adalah Islam.
Juga disebutkan bahwa ada tiga pendekatan yang dapat dilakukan untuk melakukan
perubahan. Yang pertama dengan mengubah individu sehingga kemudian akan
mempengaruhi tatanan sosial, kelompok atau organisasi. Yang kedua dengan mengubah
kelompok, sehingga perubahan suasana dalam kelompok akan mempengaruhi individu
(sebagai contoh orang yang sehari-harinya biasa saja, di dalam acara daurah pun akan
terimbas untuk ikut melakukan amal-amal kebaikan, seperti mengaji, dll). Yang ketiga adalah
menekankan pada perubahan struktur sosial yang kemudian akan menyebar ke seluruh bagian
masyarakat. Kita bisa dan perlu melakukan ketiganya secara simultan, hanya saja perlu
ditekankan bahwa perubahan yang langgeng adalah yang berasal dari pemahaman individu.
Ada beberapa aplikasi praktis atau tahapan yang perlu dilakukan dalam mengarahkan
perubahan di dalam masyarakat, antara lain sebagai berikut:
* Perbaikan individu, yaitu perbaikan diri.

Dalam hal ini kita perlu menjawab pertanyaan, kita ada di mana dan mau ke mana, sehingga
dapat dilakukan perbaikan (perubahan ke arah yang lebih baik). Tentu perbaikan diri di sini
menyeluruh, baik (terutama) aspek agama, (kemampuan) akademis, (kemampuan) sosial, dll.
* Pembentukan lingkungan, perbaikan kaum, perbaikan umat.
Ini adalah tahapan berikutnya. Perlu diingat juga Ar Rad:11 dan Al Anfal:53
* Penyebaran wacana dan opini.
Dalam masyarakat luas, yang sulit untuk dilakukan pembinaan intensif yang melahirkan
pemahaman, minimal perlu dilakukan penyebaran wacana dan opini. Perlu diingat bahwa
pelaku penyebaran wacana dan opini perlu memiliki kredibilitas moral (masyarakat tidak
akan mempercayai orang yang cacat moral) dan kredibilitas intelektual (baik lahir dari
pendidikan maupun pengalaman).
Juga perlu diingat bahwa selain menyebarkan wacana normatif, kita perlu juga memberikan
solusi aplikatif untuk menjawab permasalahan umat. Sekedar slogan Islam adalah solusi
mungkin baik untuk langkah awal. Namun berhenti di situ hanya akan menyebabkan
masyarakat apatis, sehingga perlu dilanjutkan dengan bagaimana cara Islam menjadi solusi.
Dalam penelitian yang dilakukan di Turki disebutkan bahwa di masa represif Islam mampu
bertahan karena kemampuannya untuk muncul dalam hal normatif yang tidak terlalu
berbenturan dengan penguasa, namun di masa liberal justru Islam terkalahkan oleh gerakan
kiri, karena gagal membumikan aspek normatif tadi ke dalam masalah praktis. Seharusnya
gerakan Islam di Indonesia belajar dari hal ini.
* Penanaman motivasi pada masyarakat.
Motivasi akan melahirkan sebuah gerakan sehinga siapa yang berbicara sebuah perubahan
akan membicarakan juga cara menanamkan motivasi. Sebagai catatan, motivasi semu cukup
mudah diberikan, seperti dalam demonstrasi di mana peserta demonstrasi akan mengikuti
perintah danlap karena larut dalam massa, atau motivasi yang muncul karena perintah dari
penguasa. Namun motivasi ini akan lenyap begitu faktor luar yang menimbulkannya hilang.
Dengan demikian pemberian motivasi yang terbaik adalah memunculkan motivasi internal,
yang hanya mungkin muncul dengan adanya pemahaman. Pemahaman bahwa ideologi Islam
adalah yang terbaik dan perlu diperjuangkan.
Penanaman motivasi ini menjadi makin penting kalau kita mengingat pendapat saintis
(Thuman and Bennet) yang mengatakan bahwa faktor utama kepunahan sebuah peradaban
(misal: peradaban Maya, peradaban Islam) adalah hilangnya kepercayaan diri, motivasi dan
semangat untuk bertahan.
* Melakukan mobilitas vertikal dan network antar bidang.
Langkah di atas kebanyakan adalah perbaikan internal masyarakat Islam. Agar peradaban
Islam kemudian mengemuka di antara peradaban lainnya, kita juga perlu melakukan
mobilitas vertikal, atau memfungsikan seluruh potensi kita sebaik-baiknya dalam term
Islam disebut ihsan, dan menjalin network, yang dalam term Islam disebut dengan amal
jamai (61:4). Dengan demikian Islam akan mempengaruhi tidak hanya orang-orang yang

telah tercerahkan dengan Islam (baca: muslim), namun juga orang-orang yang masih berada
di luar Islam.
Satu catatan lain, bahwa adalah sebuah sunnatullah untuk melakukan perubahan secara
bertahap (tadarruj), seperti halnya penciptaan manusia yang bertahap. Penerapan aturan Islam
secara drastis oleh sebuah pemerintah misalnya tanpa mempersiapkan masyarakatnya
lebih dahulu, hanya akan menimbulkan penolakan spontan. Dalam hal ini patut diingat
ucapan Umar bin Abdul Aziz yang mengatakan, Jangan engkau tergesa-gesa wahai anakku,
sesungguhnya Allah pernah mencela khamr dalam Al Quran dua kali dan mengharamkannya
pada kali yang ketiga. Aku khawatir jika membawa kebenaran ini kepada manusia secara
spontan, maka mereka pun menolaknya secara spontan pula, sehingga dari sinilah akan
muncul fitnah.
Tentu dalam hal lain juga kita sadari bahwa di sisi lain pemahaman yang benar akan Islam,
akan menimbulkan perubahan revolusioner dalam diri seseorang, seperti kondisi para
shahabat yang begitu sigap dalam menerima perintah Allah dan Rasul-Nya.
Terakhir ada dua kata kunci yang perlu diingat dalam melakukan perubahan ini, yang pertama
adalah pembinaan (tarbiyah) sehingga akan memberikan pemahaman dan motivasi yang
langgeng. Musthafa Masyhur pernah berkata, Tarbiyah bukan segalanya, tapi segalanya
tidak ada tanpa tarbiyah. Dan yang kedua adalah kerja keras dengan beramal, karena Allah
hanya menilai amal dan usaha kita bukan hasil dari usaha kita.

Anda mungkin juga menyukai