Anda di halaman 1dari 11

MAHASISWA SEBAGAI INTERMEDIARY ACTOR DALAM PROSES PENYAMPAIAN

DEMOKRASI DELIBERATIF

Oleh Faiz Abdullah Wafi

Faizwafi0@gmail.com

Proses demokrasi menjadi sebuah jalan yang panjang bagi Indonesia dengan tujuan akhir untuk
mencapai kesejahteraan dan keadilan bagi masyarakat secara menyeluruh. Namun, proses demokrasi ini
tidak mudah, dalam artian banyak sekali tantangan yang harus dihadapi bangsa ini dari berbagai arah
yang harus diorganisir baik melalui peran pemerintah, masyarakat dan mahasiswa. Namun gejolak dan
permasalahan demokrasi tidak bisa dihindari oleh kita semua sehingga pemecahan masalah harus tetap
dilakukan dengan pertimbangan yang matang. Terlebih lagi dengan isu-isu yang berkembang sekarang,
seperti permasalahan yang dihadapi masyarakat papua yang disebabkan oleh suasana dan kondisi akibat
konflik politik yang berkepanjangan dan mengharuskan pemerintah untuk melakukan evakuasi, hingga
proses revisi UU KPK dan UU KUHP yang memancing respon masyarakat serta mahasiswa untuk
melakukan demonstrasi yang disinyalir akibat pelemahan secara struktural yang dibuat secara sepihak.
Bukan tidak mungkin masalah ini dikhawatirkan akan menjadi sarang konflik yang bisa menjadi
tumpangan gratis bagi separatis maupun radikalis yang mencoba menarik permasalahan ini dan
mengaitkannya dengan gagalnya proses demokrasi. Hal inilah yang mengharuskan adanya gerakan
alternatif yang bisa menjadi intermediary actor dalam menengahi konflik yang terjadi antara pemerintah
dan masyarakat. Intermediary actor disebut sebagai gerakan yang cocok karena mampu membuka ruang
diskursus yang komprehensif terutama dalam memperjuangkan hak-hak masyarakat untuk mencapai
keadilan dan kesejahteraan (Haryanto, Hairini, & Abu Bakar, 2013).

Disisi lain mahasiswa yang diasosiasikan sebagai perpanjangan tangan dari masyarakat serta
sebagai agent of change tidak pernah absen untuk merespon permasalahan yang menyelimuti bangsa ini.
Meskipun gerakan mahasiswa masih diandalkan sebagai jembatan penghubung, tanpa kita sadari
gerakan mahasiswa menjadi kian involutif atau yang dinamakan sebuah proses stagnasi yang tidak
disadari oleh mahasiswa sekarang. Proses ini terjadi salah satunya disebabkan karena adanya
dilematisasi untuk memutuskan gerakan mahasiswa menjadi gerakan politik atau gerakan moral
(Usman, 1999). Pada satu sisi, gerakan mahasiswa berkaitan erat dengan gerakan sosial-politik yang
dilatar belakangi oleh sejarah pasca kemerdekaan dengan aktor intelektual yang mumpuni, sebut saja
gerakan mahasiswa yang melancarkan kritiknya terhadap pemerintah Orde Lama tentang arah
pembangunan Indonesia dan eskalasi politik, serta gerakan mahasiswa pada zaman Orde Baru yang
mampu melengserkan rezim Orde Baru dengan kuantitas dan solidaritas mahasiswa yang kuat. Hal itulah
yang menjadi bukti bahwa kekuatan mahasiswa masih sangat dominan untuk menjadi oposisi yang tetap
kritis terhadap segala urusan dan kebijakan yang dibuat oleh pemerintah. Terlepas dari kondisi sosial-
politik yang ada, mahasiswa tetap menjadi aktor penting yang berhubungan dengan banyak lini terutama
terkait perkembangan teknologi yang membuat manusia harus berkompromi dari kebiasaan, budaya dan
identitas yang mereka punya untuk menghadapi modernitas yang menggema. Oleh karena itu
mahasiswa sebagai aktor intelektual dan aktor moral memiliki posisi yang startegis dan bertanggung
jawab untuk menyebarkan pengetahuan kepada masyarakat serta memperjuangkan keadilan dan
kepentingan umum.

Gerakan Mahasiswa dan Permasalahan Demokrasi

Sebuah transisi besar sedang dihadapi oleh umat manusia yang mengharuskannya untuk
meningkatkan kualitas dalam menghadapi invasi teknologi dan informasi yang muncul secara deras.
Setidaknya itulah yang menggambarkan sekaligus membedakan zaman ini dengan sebelumnya, dimana
sifat solidaritas kian bergeser kepada individualitas. Banyak sekali kajian yang membahas tentang tugas
manusia untuk merefleksikan zamannya, salah satunya adalah kajian yang ditulis Julia Backhaus
mengenai kebutuhan manusia untuk menghadirkan Intermediary actor dalam transisi sosio-teknologi
yang besar. Selain itu, Intermediary actor juga mampu menjadi mediator diantara berbagai macam
kelompok dan kepentingannya untuk melahirkan inovasi dan bahkan ikut berpartisipasi dalam
pembuatan kebijakan yang berkelanjutan (Backhaus, 2010). Hal ini setidaknya berhubungan dengan
argumen yang disampaikan oleh Alain Touraine bahwa gerakan sosial memiliki nilai dan karakteristik
yang mencolok ketika kita membandingkannya dengan setiap periode intelektual dan sejarah sosial
(Touraine, 1984). Artinya gerakan sosial pasca kemerdekaan yang bercorak sebagai counterculture
terhadap kolonialisme belum tentu relevan dengan gerakan sosial yang terjadi sekarang. Karena pada
dasarnya gerakan sosial lahir dari permasalahan sosial atau anomali yang terjadi pada zamannya akibat
adanya kompetisi dari berbagai macam kepentingan kolektif yang dideskripsikan oleh Obserschall
sebagai pertaruhan wacana dalam skala hirarki kekuasaan (Obserschall, 1973).

Dalam konteks demokrasi, pertaruhan wacana menjadi hal yang penting untuk membangun
narasi yang bersifat multidimensional sehingga mampu menciptakan kebijakan yang tidak bias terhadap
kepentingan tunggal. Ruang inilah yang harusnya menjadi pijakan bagi mahasiswa untuk memproduksi
ide-ide keilmuan dan pengetahuan sebagai Intermediary actor dalam menguatkan demokrasi. Sehingga
mampu berdampak terhadap nilai-nilai universalitas dalam menjaga keutuhan bangsa dan kesejahteraan
masyarakat. Pada faktanya, sistem demokrasi menjadi sebuah sistem politik yang paling kuat dan
menempati stratum teratas sehingga mampu diterima serta diadopsi oleh banyak negara karena dianggap
mampu mengatur hubungan masyarakat dengan negara dan negara dengan dunia (Nugroho, 2012).
Konsep kebebasan yang identik dengan demokrasi menjadi faktor yang paling siginifikan untuk
membentuk masyarakat yang bebas dan bertanggung jawab dalam melakukan aktivitasnya, karena
demokrasi memberikan ruang gerak dan kesempatan yang sama bagi setiap warga negara serta menjamin
hak-hak prinsipal dalam berkehidupan. Seperti hak berkumpul, berserikat dan menyampaikan pendapat
di muka umum yang tercantum dalam UUD 1945 menjadi bukti bahwa sistem demokrasi dilegitimasi
oleh konstitusi dasar bangsa Indonesia. Hak-hak seperti itulah yang dibutuhkan mahasiswa untuk
membuka ruang diskusi seluas-luasnya sehingga mampu memunculkan diskursus yang kritis di ruang
publik. Hal ini juga menjadi alasan penting dalam membangkitkan gerakan mahasiswa yang pada era
sekarang dicap mengalami stagnasi atau bahkan ditunggangi oleh aktor-aktor tertentu.

Bahkan isu penunggangan terhadap gerakan mahasiswa pernah dimunculkan ketika terjadi
demonstrasi di berbagai kota untuk merespon disahkannya RUU KPK untuk menggantikan UU KPK
yang lama, meskipun usulan ini akhirnya diundur tetapi mahasiswa masih berkomitmen untuk mengawal
proses ini sampai tuntas hingga KPK dirasa tidak dilemahkan secara struktural oleh pemerintah. Namun,
permasalahan pokok yang dihadapi mahasiswa bukan saja hal diatas tetapi sikap pemerintah yang
merasa ada penunggangan dalam gerakan mahasiswa (tirto.id, tirto.id, 2019). Sudah tentu tuduhan
tersebut ditolak oleh mahasiswa, meskipun sempat terjadi kericuhan di beberapa kota akibat demonstrasi
tersebut dan hanya satu kota yang mampu membuat demonstrasi menjadi apik, syarat akan
intelektualitas dan jauh dari kata ricuh. Demonstrasi tersebut terjadi di di Jalan Gejayan, Yogyakarta
yang sekarang dikenal sebagai Jalan Affandi dengan mengusung tagline “Gejayan Memanggil”
(Tempo.co, 2019). “Gejayan Memanggil” adalah salah satu kasus demontrasi mahasiswa yang
mengalami transformasi secara singkat yang terjadi dalam dua jilid. “Gejayan Memanggil” menjadi
sebuah demonstrasi yang memiliki jumlah massa cukup besar bagi mahasiswa yang ada di Yogyakarta
setelah peristiwa 1998, ribuan mahasiswa tumpah ruah di jalanan yang dulu pernah menjadi peristiwa
penting tumbangnya rezim Orde Baru. Gerakan “Gejayan Memanggil” bahkan dicap sebagai satu-
satunya gerakan mahasiswa yang tidak terjadi bentrokan maupun kerusuhan dan digadang-gadang
menjadi gerakan intelektual model baru di Indonesia yang mempertimbangkan dua arah gerakan yaitu,
offline dan online yang merujuk pada ruang publik dan ruang daring (Kompas.com, 2019). Namun
gerakan “Gejayan Memanggil” tidak berumur lama, yang akhirnya gerakan tersebut menjadi stagnan
hanya dalam dua jilid saja. Tentu hal ini menimbulkan pertanyaan yang sangat dasar mengenai apakah
gerakan mahasiswa tersebut hanya didasarkan pada antusiasme sesaat dan idealisme singkat oleh
mahasiswa? Sehingga menyebabkan konsistensi gerakan mahasiswa menurun. Walaupun begitu,
gerakan “Gejayan Memanggil” adalah salah satu yang terbaik dari gerakan mahasiswa dengan fokus isu
yang sama tanpa meninggalkan kekerasan didalamnya dan menjadi salah satu pencapaian yang terbilang
bagus di era sekarang.
Membaca konteks gerakan mahasiswa memang perlu dipahami secara detail dan menjadi hal
yang sangat penting bagi mahasiswa, terutama menyangkut keberadaan mahasiswa tidak hanya diukur
hanya sebatas gerakan turun ke jalan. Lebih dari itu, mahasiswa sebagai aktor intelektual masih memiliki
beragam cara untuk mengaktualisasikan keilmuan dan pengetahuannya kepada masyarakat seperti,
penelitian, pengajaran hingga pengabdian atas ilmu-ilmu yang telah didapatkan di bangku perguruan
tinggi kepada masyarakat. Jalur-jalur seperti itulah yang harus ditempuh oleh mahasiswa terutama dalam
merespon permasalahan demokrasi pada era sekarang. Sejauh ini ada lima permasalahan pokok yang
menjadi tantangan bagi demokrasi, pertama polarisasi masyarakat yang terpecah akibat tensi politik
yang tinggi, kedua imigrasi dan upaya mempertahankan multietnis dalam tantangan global, ketiga
globalisasi, ketimpangan dan ketidakpuasan demokratis, keempat menaiknya populisme dan kelima
maraknya debat publik daripada solusi institusional yang dibangun dalam diskursus publik (Ziblatt,
2019). Lima permasalahan itulah yang menjadi alasan bahwa gerakan sosial menghadapi sebuah
permasalahan yang kompleks, yang bukan hanya datang dari satu lini tetapi berbagai lini yang kemudian
memberikan asemacam alarm kepada mahasiswa sebagai intermediary actor untuk menginterpretasikan
ulang gerakan sosial berdasarkan pemaknaan terhadap nilai-nilai demokrasi.

Pentingnya Menghadirkan Demokrasi Deliberatif di Ruang Publik

Dengan usia yang sudah mencapai tujuh puluh empat tahun, bangsa ini seyogyanya mampu
belajar dari pengalaman serta mampu mengidentifikasi permasalahan guna mencapai solusi yang
matang. Salah satu permasalahan besar yang selalu dinarasikan oleh masyarakat adalah belum
terbukanya secara penuh ruang-ruang publik yang memungkinkan masyarakat untuk ikut andil dalam
proses perumusan kebijakan yang berimplikasi terhadap kepentingan masyarakat secara keseluruhan
(Strong, 1966). Secara umum model demokrasi terbagi menjadi dua, yaitu demokrasi langsung dan
demokrasi tidak langsung, namun hampir semua negara modern lebih memilih untuk menggunakan
sistem demokrasi tidak langsung yang cenderung lebih efisien dan efektif salah satunya adalah
Indonesia. Sistem demokrasi tidak langsung menghadirkan majelis rakyat yang dipilih oleh masyarakat
dalam proses penyampaian aspirasi dan pendelegasian tugas dalam menyusun atau merevisi undang-
undang pada institusi legislatif, selain memilih pemimpin dalam institusi eksekutif. Untuk itulah proses
demokrasi harus memunculkan narasi-narasi baru yang berkontekstualisasi dengan proses sejarah yang
ada.

Sementara itu, hadirnya demokrasi di Indonesia merupakan sejarah yang panjang dan berproses,
bahkan proses demokrasi dikenal baru pertama kali oleh masyarakat Indonesia dalam sistem pemilu
tahun 2004 dimana masyarakat diberikan hak untuk memilih presiden secara langsung. Namun
demokrasi tidak hanya diartikan pada segmentasi politik saja, melainkan kehidupan bernegara yang lebih
luas termasuk menghadirkan ruang publik bagi masyarakat. Pada diskursus demokrasi dan politik
kontemporer, konsep ruang publik menempati posisi yang sangat vital yang diartikulasikan sebagai
wacana untuk menyerukan mengenai pentingnya pelembagaan suatu relasi sosial antara masyarakat dan
pemerintah (Prasetyo, 2012). Istilah ruang publik sendiri tidak bisa lepas dari kontribusi Habermas yang
mendeskripsikan ruang publik sebagai ruang yang dihidupi oleh masyarakat sipil dan berfungsi sebagai
Intermediary antara negara dan individu (Habermas, 1989). Tentu saja istilah ruang publik merujuk pada
ruang yang lebih luas dan bertugas dalam megakomodasi ruang-ruang privat. Sementara sifat
kedinamisan yang dimiliki ruang publik inilah yang membuat Rabitkov mendeskirpsikan tiga hal yang
biasa terjadi di ruang publik, yaitu masyarakat versus individu, keterlihatan versus penyembunyian dan
keterbukaan versus ketertutupan (Prasetyo, 2012). Ketiga hal tersebut menjadi sangat relevan ketika
dihubungkan dengan permasalahan demokrasi yang melanda Indonesia, seperti ekstrimisme yang
diasosiasikan sebagai kelompok yang memiliki fanatisme berlebih terhadap suatu ideologi,
kepercayaan, ras hingga suku yang melibatkan konflik panjang antar kelompok masyarakat. Masalah
lain seperti korupsi, pelanggaran hak asasi manusia, separatisme, intoleransi dan sebagainya juga
menjadi masalah yang belum terselesaikan dengan baik pada dasawarsa ini.

Salah satu alasan penting untuk menyelesaikan permasalahan tersebut adalah menghadirkan
demokrasi deliberatif yang melibatkan masyarakat dalam menjalankan pemerintahan. Demokrasi
deliberatif berfokus pada prosedur hukum yang dibentuk, tentang bagaimana undang-undang diresmikan
melalui dialog antara mekanisme legislatif dan diskursus sosial baik formal maupun informal (Haliim,
2016). Demokrasi deliberatif memberikan ruang diluar kekuasaan administratif negara sebagai bagian
dari penyeimbang kekuasaan. Dimana ruang tersebut menjadi jaringan-jaringan komunikasi publik yang
menempatkan masyarakat pada posisi yang emansipatoris guna mengontrol segala keputusan
administratif oleh pemerintah melalui ruang-ruang publik. Menurut Habermas, hadirnya dimensi
deliberatif dibutuhkan untuk mengawasi kebijakan yang akan disahkan telah terlebih dahulu lolos uji
publik melalui diskursus-diskursus yang berkembang didalamnya, sehingga undang-undang dan
kebijakan akan bisa dikategorikan sebagai kehendak umum atau kehendak publik (Habermas, 1982).

Hadirnya masyarakat dalam diskursus publik inilah yang kemudian akan membentuk sebuah
kehendak umum yang melegitimasi berbagai macam kebijakan dan undang-undang yang disahkan untuk
kepentingan umum. Namun dalam realitasnya, tidak semua individu dan bahkan kelompok memiliki
nalar kritis yang sama dalam melahirkan diskursus. Ada kelompok yang begitu dominan karena
mempunyai akses yang lebih dibandingkan kelompok lain. Oleh karena itu kepentingan masyarakat
harus dijembatani oleh sebuah kelompok terpelajar, yang mampu melihat permasalahan dalam berbagai
sudut pandang tanpa menghilangkan tanggung jawab moral kepada masyarakat. Kelompok ini harus
memiliki sifat yang netral dan konsisten dalam memperjuangkan kepentingan umum, sehingga dengan
konsepsi itulah maka tidak ada kelompok yang lebih cocok dibandingkan dengan keberadaan mahasiswa
yang selalu dicap sebagai perpanjangan tangan dari masyarakat. Pada dasarnya mahasiswa selalu
diasosiasikan sebagai aktor atau bahkan konseptor dalam setiap gerakan sosial. Dengan ide-ide yang
diproduksi dari bangku kuliah, mahasiswa diharapkan menjadi Intermediary actor yang mampu
merevitalisasi dan mentransformasikan nilai-nilai demokrasi kepada negara dan masyarakat.

Mahasiswa Sebagai Intermediary actor

Keberadaan Intermediary actor dalam landskap sosial-politik di Indonesia bukanlah hal yang
tabu. Intermediary actor selama ini kuat sekali diasosiasikan kepada Lembaga Swadaya Masyarakat
sebagai organisasi non-profit yang didasarkan pada konsep state-society relation. Adanya Lembaga
Swadaya Masyarakat dilatar belakangi oleh kebutuhan pemerintah atau negara untuk memenuhi
kebutuhan masyarakat secara menyeluruh serta keterbatasan masyarakat dalam menyampaikan
tuntutannya kepada pemerintah (Anggraeny, 2017). Hal inilah yang harus diadopsi oleh mahasiswa
sebagai gerakan intelektual dan juga agent of change. Dalam artian bukan mengambil tugas yang telah
dilakukan oleh Lembaga Swadaya Masyarakat, tetapi keberadaan mahasiswa harus bersinergi dengan
Lembaga Swadaya Masyarakat untuk menutupi celah permasalahan dan tugas yang belum diselesaikan
kepada masyarakat. Lingkungan mahasiswa selama ini juga identik dengan konsep Tridharma Perguruan
Tinggi dimana mahasiswa dituntut bukan hanya untuk belajar tapi juga memiliki inovasi baru serta
mampu terlibat dalam pengabdian kepada masyarakat. Tridharma Perguruan Tinggi selama ini belum
mampu dimaksimalkan oleh mahasiswa dengan baik, bukan hanya untuk merespon kebijakan atau
undang-undang dengan basis riset dan kajian tapi juga untuk menyebarkan ilmu dan pengetahuan kepada
masyarakat yang kurang konsisten. Oleh karena itu, penulis menawarkan tiga bentuk tanggung jawab
mahasiswa sebagai Intermediary actor.

Pertama, mahasiswa bertanggung jawab untuk menyebarkan budaya literasi kepada masyarakat,
yang nantinya akan membuat masyarakat menjadi terdidik dan bersinergi dengan mahasiswa untuk
menyelesaikan permasalahan dan konflik dengan pandangan yang luas. Sehingga meminimalisir
terjadinya segregasi atau perpecahan dalam tubuh masyarakat. Selain itu, penyebaran budaya literasi
juga sangat penting bagi masyarakat terutama dalam memilah informasi berdasarkan fakta dan data yang
jelas, karena pada dasarnya masyarakat dihadapkan dengan berbagai macam informasi yang mengucur
deras dan dikhawatirkan masyarakat akan rentan terhadap manipulasi informasi yang dilakukan oleh
oknum tertentu. Budaya literasi juga akan membangun kesadaran masyarakat dan mengembalikan
solidaritas yang hilang karena masuknya modernisme yang kemudian berimplikasi terhadap penguatan
tradisi dan peradaban.

Kedua, mahasiswa berperan penting dalam menyelaraskan pembangunan. Prinsip kedua tersebut
berhubungan dengan kompromisitas terhadap modernisme, selain menguatkan budaya literasi
mahasiswa juga dituntut untuk mengeluarkan inovasi dan gagasan terhadap pembangunan yang ramah
dan berkelanjutan. Dalam konteks ini, mahasiswa menjadi Intermediary actor antara kepentingan
masyarakat dan pemerintah untuk merumuskan konsep pembangunan yang berpihak kepada masyarakat.
Pembangunan yang berpihak mempunyai arti pembangunan yang disandarkan atas kehendak umum
yang sebelumnya telah dilegitimasi dalam ruang publik melalui diskursus yang panjang. Sehingga
dengan adanya mahasiswa, keberadaan masyarakat dan budaya akan mengikat nilai-nilai pembangunan
berdasarkan prinsip soliditas dan solidaritas masyarakat.

Ketiga, mahasiswa menjadi penengah dalam segala hal. Keberadaan penengah dalam sistem
demokrasi menjadi hal yang krusial, terutama dalam mencegah lahirnya konflik. Penengah seringkali
diasosiasikan kepada kelompok yang mempunyai intelektualitas dan moralitas yang tinggi, sehingga
mampu bersikap serta bertindak dengan logis. Terutama dalam ruang publik yang sangat dinamis,
keberadaan mahasiswa yang masih dipercaya masyarakat sebagai perpanjangan tangan dan masih
dipercaya pemerintah sebagai agent of change sekaligus memberikan dua tanggung jawab penting bagi
mahasiswa yang berimplikasi pada kesejahteraan masyarakat dan sekaligus kemajuan negara.

Peran mahasiswa diatas setidaknya menjadi gambaran bahwa mahasiswa diharapkan mampu
berkontribusi terhadap keberadaan masyarakat dan negara. Ketiga kewajiban mahasiswa tersebut
relevan dengan nilai-nilai yang ada pada konsep demokrasi deliberatif, dimana demokrasi harus
melahirkan partisipasi yang aktif sebagai embrio dalam melahirkan diskursus kebangsaan. Praktik
tersebut juga menjadi tawaran yang menarik bahwa aktivitas masyarakat nantinya tidak lagi ditentukan
oleh budaya politik yang diyakini oleh elit-elit politik tetapi akan melahirkan proses dekontruksi maupun
rekontruksi bangunan dari nilai-nilai demokrasi yang ada (Wahyono, 2012). Sehingga mampu
mengembalikan, menyadarkan dan menyatakan akselerasi masyarakat sebagai fakta politik dalam
melahirkan demokratisasi (Faihsal, 2007).

Kesimpulan

Mahasiswa sebagai intermediary actor pada dasarnya merupakan mercusuar bagi keberadaan
demokrasi. Sebagai sebuah kelompok terpelajar mahasiswa memiliki tanggung jawab yang berat
terutama dalam menyemai nilai-nilai demokrasi dan menjadi jembatan antara pemerintah dengan
masyarakat. Selain itu, sebagai intermediary actor mahasiswa juga berperan menghidupkan komunikasi
dan relasi sosial-politik yang konsisten serta berkelanjutan. Namun tanpa melalui diskursus yang matang
dalam ruang publik, mahasiswa tidak akan mampu menghadapi permasalahan demokrasi seperti,
polarisasi masyarakat yang terpecah akibat tensi politik yang tinggi, ketimpangan, ketidakpuasan
demokrasi dan sebagainya yang mengancam proses demokrasi. Sehingga mahasiswa harus
mengaktualisasikan tiga bentuk tanggung jawab dalam merespon permasalahan tersebut., yaitu
mahasiswa harus bertanggung jawab dalam menyebarkan budaya literasi kepada masyarakat untuk
membangun pola pemikiran masyarakat yang sinergis, rasional dan mampu membaca permasalahan
secara jernih. Selanjutnya, mahasiswa juga bertanggung jawab dalam menyelaraskan pembangunan
sehingga pembangunan yang diinisiasi oleh pemerintah mampu mengakomodasi kepentingan dan
menaikkan kesejahteraan masyarakat. Dan yang terakhir, mahasiswa harus menjadi penengah dalam
segala hal, terutama untuk menengahi konflik antar kelompok yang menjadi permasalahan krusial bagi
demokrasi. Dengan tiga tanggung jawab diatas, mahasiswa diharapkan mampu menghadirkan demokrasi
deliberatif sebagai sebuah gagasan dalam memunculkan diskursus mengenai nilai-nilai demokrasi.
Sehingga diskursus yang akan dibangun oleh mahasiswa sebagai intermediary actor mampu mewakilin
kepentingan kehendak umum secara universal.
DAFTAR PUSTAKA

Anggraeny, S. (2017). Relasi Kuasa Antar Aktor Intermediary dan Pemerintah. Yogyakarta: Research
Repositary UMY.

Backhaus, J. (2010). Intermediaries As Innovating Actors in the Transition to a Sustainable Energy


System. Central European Journal of Public Policy Volume 4 No. 1, 87-88.

Faihsal, M. (2007). Institusionalisasi Demokrasi Deliberatif di Indonesia: Sebuah Pencarian Teoritik.


Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Volume 11 Nomor 11, 5.

Habermas, J. (1982). The Thery of Communicative Action: Reason and Rationalization of Society.
Boston: Beacon Press.

Habermas, J. (1989). The Structural. Cambridge: Prolitiy press.

Haliim, W. (2016). Demokrasi Deliberatif Indonesia: Konsep Partisipasi Masyarakat dalam


Membentuk Demokrasi dan Hukum yang Responsif. Jurnal Masyarakat Indonesia Volum 42
Nomor 1, 20.

Haryanto, Hairini, S., & Abu Bakar. (2013). PKBI: Aktor Intermediary dan Gerakan Sosial Baru.
Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (JSP) Volume 16 Nomor 3, 187-189.

Kompas.com. (2019, September 24). #GejayanMemanggil dan Suara dari Gejayan. Diambil kembali
dari Kompas.com:
https://www.kompas.com/tren/read/2019/09/24/131507065/gejayanmemanggil-dan-suara-dari-
gejayan?page=all

Nugroho, H. (2012). Demokrasi dan Demokratisasi: Sebuah Kerangka Konseptual Untuk Memahami
Dinamika Sosial-Politik di Indonesia. Jural Pemikiran Sosiologi Volume 1 Nomor 1, 2.

Obserschall, A. (1973). Social Conflict and Social Movements. Englewood Cliffs: Prentice Hall.

Prasetyo, A. G. (2012). Menuju Demokrasi Rasional: Melacak Pemikiran Jurgen Habermas tentang
Ruang Publik. Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Volume 16 Nomor 2, 169.

Strong, C. F. (1966). The Modern Political Constitutions. London: The English Book Society and
Sidgwick & Jackson Limite.
Tempo.co. (2019, September 24). Cerita mahasiswa Tinggalkan Kampus Untuk Gejayan Memanggil.
Diambil kembali dari Tempo.co: https://nasional.tempo.co/read/1251504/cerita-mahasiswa-
tinggalkan-urusan-kampus-untuk-gejayan-memanggil

tirto.id. (2019, September 30). tirto.id. Diambil kembali dari Tuduhan Mahasiswa Ditunggangi Adalah
Kekalahan Moral Pemerintah: https://tirto.id/tuduhan-mahasiswa-ditunggangi-adalah-
kekalahan-moral-pemerintah-eiYw

Touraine, A. (1984). An Introduction to the Study of Social Movements. Social Reseach Volume 52
Nomor 4, 749-750.

Usman, S. (1999). Arah Gerakan Mahasiswa: Gerakan Politik atau Gerakan Moral? Jurnal Ilmu Sosial
dan Ilmu Politik (JSP Volume 3 Nomor 2, 146-147.

Wahyono, S. B. (2012). Trranformasi Kultural Menuju Demokrasi Substansial. Jurnal Ilmu Sosial dan
Ilmu Politik Volume 1 Nomor 1, 27.

Ziblatt, D. (2019, November 2). Challenges to Democracy. Diambil kembali dari


Scholar.Harvard.Edu: https://scholar.harvard.edu/dziblatt/challenges-democracy

Anda mungkin juga menyukai