NAMA
…………………………………………………………
2022
SEJARAH GERAKAN PEMUDA DAN MAHASISWA
Pemuda dan mahasiswa selalu identik dengan perubahan sosial di Indonesia sejak
jaman colonial Belanda sampai sekarang. Peran kesejarahan dan keterlibatan amat
panjang telah menempatkannya sebagai krlompok strategis yang memiliki daya dorong
transformasi sosial yang signifikan. Hingga tepatlah kiranya bila mahasiswa dianggap
sebagai ikon penting dalam perubahan sosial di Indonesia. Sejarah gerakan mahasiswa
bisa dijelaskan dalam beberapa fase di bawah ini :
4. Era Reformasi
Dan yang paling akhir kita dengar adalah, Reformasi 1998 yang melibatkan bebrapa
kalangan mahasiswa yang pada waktu itu sudah dibutakan selama kuran lebih 30 tahun oleh
rezim Orde baru, rezi Soeharto lewat NKK/BKK nya. Gerakan mahasiswa era 98 mencuat
dengan tumbangnya Orde Baru dengan ditandai lengsernya Soeharto dan kursi kepresidenan,
tepatnya pada tanggal 12 Mei 1998. Berbagai tindakan represif yang menewaskan aktivis
mahasiswa dilakukan pemerintah untuk meredam gerakan ini diantaranya: Peristiwa
Cimanggis, Peristiwa Gejayan, Tragedi Trisakti, Tragedi Semanggi I dan II, Tragedi
Lampung.
Pendahuluan
Banyak sekali sebagian orang yang beranggapan bahwa “Marhaen” merupakan kaum
proletar. Namun, pada kenyataannya anggapan tersebut tidaklah sesuai. Dalam Kamus Politik
(Fikiran Ra’jat-ed), yang dimaksud dengan Proletar adalah orang yang menjual tenaganya
“membuat” suatu “barang” untuk orang lain (majikannya), sedang ia tidak ikut memakai alat-
alat pembuatan “barang” itu. Sehingga, dapat disimpulkan bahwa kaum proletar , merupakan
orang yang membuat suatu barang dimana hasilnya tersebut dijual untuk orang lain,
sedangkan dia sendiri tidak mempergunakan barang tersebut untuk kebutuhannya sendiri
secara maksimal. Dengan kata lain yang dapat disebut sebagai kaum proletar ialah kaum
buruh.
Di Eropa, sebagian besar masyarakatnya disebut kaum proletar. Sebab disemua kota-
kota yang ada di Eropa terdapat perusahaan – perusahaan dan pabrik – pabrik yang banyak
sekali memperkerjakan kaum buruh. Di bidang pertanian Eropa sudah sejak lama
memperlakukan sistem “landbouw-kapitalisme”, yakni kapitalisme pertanian. Kaum buruh
tani bekerja pada sistem kapitalisme pertanian , dimana kaum buruh petani hanya bekerja
pada pemilik sawah, dengan imbalan sesuai perjanjian dengan pihak pemilik tanah sawah
tersebut, tanpa memiliki kuasa apapun untuk menjual sendiri hasil kerja kerasnya tersebut,
karena kelemahan kekuasaan kepemilikan yang dimiliki.
Bagaimana di Indonesia ? Meskipun sebagian besar masyarakat Indonesia adalah
masyarakat agraris, yang sebagian besar masyarakatnya bekerja sebagai petani. Namun,
bukan berati masyarakat Indonesia terbebas dari istilah “proletar”. Secara tidak langsung,
masyarakat Indonesia telah dikatakan sebagai “kaum proletar”. Masyarakat yang tinggal
dikota maupun didesa sebagian besar dapat disebut sebagai kaum proletar karena , mereka
bekerja pada sebuah perusahaan, membuat suatu barang perusahaan tersebut, lalu hasil
produksi yang ia buat tidak dinikmati sendiri, melainkan hasil produksi tersebut dijual
kembali oleh pemilik perusahaan tersebut. Berbagai contoh di sektor penjualan seperti, gula,
pabrik teh, tehnologi, rokok, sintetis, plastik, kebutuhan pokok, dll. Yang disebut kaum
proletar bukan tergantung atas kemampuan, dan kemelaratan yang dimilikinya. Namun,
dibataskan pada orang yang bekerja untuk membuat suatu barang, sedangkan orang itu
sendiri tidak menikmati hasil pembuatan tersebut, maka disebut dengan kaum proletar. Jadi
tidak semua kaum proletar itu lemah dalam segi financial, ada juga yang dapat memenuhi
kebutuhan dengan cukup.
Sejak peristiwa G30S 1965, negara bangsa Indonesia sebagai sebuah Republik,
praktis telah gagal, hancur berkeping-keping. Martabat manusia diluluhlantakkan, hubungan
antar sesama berlangsung penuh kecurigaan dan serba tegang, rasa solidaritas dan
kebersamaan musnah. Yang ada hanyalah laku bunuh-membunuh, jegal-menjegal, korupsi,
kebodohan, kemiskinan, pengkhianatan intelektual, hingga ketergantungan yang parah
terhadap dinamika ekonomi internasional. Beriringan dengan kebangkrutan Republik itu,
rejim Orde Baru (Orba), di bawah kondisi perang global melawan komunisme, secara
perlahan dan penuh kepastian, menggiring negara bangsa Indonesiamenjadi negara klien
(Client-State/CS) bagi negaraimperial (Imperial-State/IS). Dalam posisi sebagai CS ini, rejim
Orba berfungsi
memfasilitasi, melayani, dan melindungi kelancaran dan kelangsungan eksploitasi
sumberdaya manusia dan sumberdaya alam Indonesia. Sejak peristiwa G30S 1965 itu, apa
yang disinyalir Bung Karno sebagai “bangsa kuli dan kuli di antara bangsa-bangsa”, diwujud-
nyatakan oleh rejim Orba.
Setelah reformasi yang menumbangkan pucuk kekuasaan rejim Orba pada 1998,
terjangan imperialisme semakin menjadi-jadi. Rejim-rejim pasca reformasi kian menjadikan
dirinya sebagai klien imperialis. Jika pada masa Orba, agen-agen imperialismemasih harus
bernegoisasi dengan struktur kekuasaan yang relatif homogen saat ini, justru rejim-rejim
pasca reformasi berusaha semampu mungkin mengingatkan dirinya pada agen-agen
imperialisme itu. Jika pada masa Orba Imperialisme bekerja di bawah payumg perang global
melawan terorisme, akibatnya bukan membuka lembaran baru bagi kebangkitan kembali
Republik, rejim di era transisi ini malah kian menghamba pada tuntutan-tuntutan negara
imperial: obral murah perusahaan milik negara, mencabut sesegera mungkin subsidi untuk
kebutuhan mendasar rakyat, atau bagaimana agar kekuatanburuh selekas-lekasnya dilucuti
agar tidak mengganggu kelangsungan eksploitasi. Serta, keberhasilan melayani kepentingan
imperial itu, dijadikan ukuran sukses tidaknya kinerja rejim masa transisi. Kata kuncinya,
semakin terintegrasi semakin sukses. Misalnya, semakin banyak menjual perusahaan milik
Marhaenisme itu sendiri adalah asas yang menghendaki susunan masyarakat dan
negara, yang di dalam segala halnya, menyelamatkan dan melindungi kaum marhaen.
Marhaenisme adalah cara perjuangan revolusioner, sesuai dengan watak kaum marhaen pada
umumnya. Merhaenisme adalah asas dan cara perjuangan tegelik menuju kepada hilangnya
kapitalisme, imperalisme, dan kolonialisme.
Asas mahaenisme bila ditelusuri dari berbagai tulisan Soekarno, mengandung makna
sosio nasionalismedan sosio demokrasi. Sosio nasionalisme adalah paham yang mengandung
nilai kebangsaan yang sehat dan berdasarkan perikemanusiaan, persamaan nasib, gotong
royong, hidup kemasyarakatan yang sehat, kerjasama untuk mencapai sama bahagia, tidak
untuk menggencet dan menghisap. Jadi, di dalam paham kebangsaan itu, harus ada semangat
kerjasama dan gotong royong antara bangsa Indonesia dan bangsa-bangsa lain. Lebih tegas
lagi, yang dimaksud Soekarno adalah paham kebangsaan berperikemanusiaan.
Sedangkan sosio demokrasi adalah paham yang menjunjung tinggi kedaulatan rakyat.
Rakyatlah yang mengatur negaranya, perekonomiannya, dan kemajuannya, supaya sesuatu
bisa bersifat adi, tidak membeda-bedakan orang yang satu dengan yang lainnya. Rakyat yang
sangat menginginkan berlakunya demokrasi politik, demokrasi ekonomi, dan demokrasi
sosial.
Asas marhaenisme syarat dengan nuansa untuk memperjuangkan keadilan, persamaan
hak, dan memperjuangkan kepentingan kaum tertindas dengan upaya menghapuskan
pemerasan dan mempersatukan semua golongan yang tertindas (marhaen). Mempersatukan
kekuatan semua golongan yang tertindas, yang antikapitalis dan imperalis, tampaknya
diletakkan sebagai pilar utama untuk mencapai masyarakat demokrasi kearah pergaulan
hidup sama rata, sama bahagia, yang disesuaikan dengan semangat dan jiwa rakyat Indonesia.
Sosio nasionalisme, sosio demokrasi dan Ketuhanan Yang Maha Esa merupakan
bentuk ungkapan istilah lain dari cita-cita marhaenisme. Sosio-nasionalisme adalah satu asas
Sosio demokrasi adalah asas kehidupan rakyat yang berdemokrasi gotong royong,
yaitu satu demokrasi yang bersumber dari kepribadian rakyat Indonesia. Jadi bukan
demokrasi ”jegal-jegalan” (bahasa Soekarno), dan juga bukan demokrasi mayoritas
menindas minoritas, melainkan demokrasi yang memberikan keselamatan kepada seluruh
rakyat Indonesia. Sosio demokrasi oleh Soekarno diartikan pula sebagai demokrasi politik
dan demokrasi ekonomi ala Indonesia.
Serta Ketuhanan Yang Maha Esa adalah pondasi dari dua asas di atas (sosio
nasionalisme dan sosio demokrasi), sebagai unsur spiritualitas guna membimbing kedua sosio
tersebut menuju hakekat dan budi nurani manusia Indonesia. Dari pokok-pokok pikiran
tersebut di atas, maka dapat ditegaskan bahwa sosio nasionalisme, sosio demokrasi dan
Ketuhan Yang Maha Esa mengandung arti yang sama dengan Pancasila maupun cita-cita
bangsa yang tertuang dalam Pembukaan UUD 1945. Sehingga perdebatan tentang
Marhaenisme is Pancasila ataukah Pencasila is Marhaenisme tidak perlu diperdebatkan lagi.
Secara terpisah, Prof. Dr. Djohar MS menegaskan, keadaan obyektif bangsa Indonesia
telah lama dipikirkan Soekarno. Guna membangun keadaan obyektif bangsa Indonesia saat
itu, tidak dapat dilakukandengan menggunakan berbagai ideologi dunia yang saat itu sangat
populer. Pada saatnya, pemikiran Bung Karno dapat diangkat ke permukaan setelah diilhami
oleh karakteristik kehidupan mahaen di kota Bandung selatan, sehingga lahirlah
Marhaenisme.
Marhaenisme digali dan dirumuskan Bung Karno pada dasarnya adalah berupa alat
perjuangan, untuk membela masyarakat yang memiliki alat reproduksi, tetapi dalam keadaan
miskin. Agar alat perjuangan ini menjadi kenyataan, maka Marhaenisme harus diwujudkan
dalam gerakan massa marhaen. Karena Marhaenisme diwujudkan dalam masa marhaen,
maka tidak dapat dihindari Marhaenisme yang memiliki nuansa atau wawasan ideologi harus
ditampilkan dengan nyata dalam gerakan hidup pribadi, hidup beragama, kehidupan politik,
kehidupan ekonomi, dan kehidupan sosial budaya.
Penerapan Marhaenisme pada dasarnya adalah penerapan Pancasila. Namun, semua
telah dibelokkan dengan penjabaran dalam butir-butir P4 (Pedoman Penghayatan dan
Pengalaman Pancasila). Perbedaan antara Marhaenisme dan Pancasila hanya terletak pada
perbedaan simbol, atau pada perbedaan bentuk, sedangkan kanisi keduanya adalah sama.
Ketidakmampuan membedakan bentuk dan isi antara Marhaenisme dan Pancasila atau
ketidaklayakan konservasi, menyebabkan mereka mamandang Marhaenisme dengan
Pancasila itu berbeda. Marhaenisme yang terdiri dari unsur nasionalisme yang diberi muatan
kemanusiaan atau sosio nasionalisme dan unsur demokrasi yang diberi muatan keadilan atau
sosio demokrasi, pada dasarnya bersumber dari kekuatan membumikan agama. Bung Karno
tahu persis keberagaman bangsa ini, sehingga mampu menyatukan satu wilayah Indonesia.
Ini berbeda jauh dengan kondisi politik akhir-akhir ini, yang memandang berbeda berarti
musuh. Bung Karno itu sangat gandrung dengan persatuan bangsa, dan menggunakan nilai-
nilai agama sebagai dasar.
Gerakan mahasiswa nasional Indonesia selanjutnya disingkat GmnI lahir pada tanggal
23 maret 1954 hasil dari tiga fusi organisasi mahasiswa yang mempunyai persamaan azas
yaitu marhaenisme. Pada saat itu terdapat tiga organisasi mahasiswa yang berideologi
marhaenisme yaitu:
1. GERAKAN MAHASISWA MARHAENIS (GMM), berpusat di Jogjakarta
2. GERAKAN MAHASISWA (GM) MERDEKA, berpusat di Surabaya
3. GERAKAN MAHASISWA DEMOKRASI INDONESIA (GMDI), berpusat di
Jakarta.
Proses peleburan ketiga organisasi mahasiswa mulai tampak, ketika pada awal bulan
September 1953, Gerakan Mahasiswa Demokrasi Indonesia (GMDI) melakukan pergantian
pengurus, yakni dari Dewan Pengurus lama yang dipimpin Drs. Sjarief kepada Dewan
Pengurus baru yang diketuai oleh S.M. Hadiprabowo.
Dalam satu rapat pengurus GMDI yang diselenggarakan di Gedung Proklamasi, Jalan
Pegangsaan Timur 56 Jakarta, tercetus keinginan untuk mempersatukan ketiga organisasi
yang seazas itu dalam satu wadah. Keinginan ini kemudian disampaikan kepada pimpinan
kedua organisasi yang lain, dan ternyata mendapat sambutan positip.
Ketika lahir hubungan GmnI dengan PNI hanyalah sebatas organisasi seazas,
maksudnya masing-masing organisasi mempunyai otonomi untuk dirinya sendiri. Karena ada
upaya untuk memperbesar massanya setelah pemilu 1955, PNI pada tahun 1957
mengeluarkan peraturan bahwa organisasi yang seazas dengan mereka harus berada dibawah
pengaturan PNI, maka pada saat itu GmnI berada dalam system yang dibuat PNI. Setelah PNI
berfusi menjadi partai demokrasi Indonesia (PDI) pada tahun 1973, GmnI mendeklarasikan
independensinya yaitu melepas hubungan organisasionalnya dengan PNI, sehingga GmnI
tidak larut dalam fusi sejak saat itu. Dan sampai saat ini GmnI tidak berafiliasi dengan partai
politik manapun.
Makna GmnI
Mengapa dinamakan GmnI? Dalam kata GmnI yang terdiri dari empat huruf
mempunyai makna, yaitu:
Makna "GERAKAN" Dalam Nama GMNI
GMNI adalah suatu organisasi Gerakan, atau dalam bahasa inggris disebut
'Movement'. Karena Gerakan GMNI dilakukan oleh sekelompok manusia yang berstatus
'Mahasiswa', maka GMNI disebut pula sebagai "Student Movement".
Adapun yang dimaksud dengan "Gerakan" adalah: Suatu usaha atau tindakan yang
dilakukan dengan sadar dan sengaja oleh sekelompok manusia, dengan menggunakan sumua
potensi yang ia miliki (mis: sosial, politik, ekonomi, kebudayaan dll), atau yang ada di dalam
masyarakat dengan tujuan untuk melakukan pembaruan-pembaruan terhadap sistem
masyarakat, agar terwujud suatu tatanan masyarakat yang dicita-citakan bersama.
Gerakan disini bermakna sesuatu yang dinamis, fleksibel, dan survive terhadap
perubahan. GmnI bukan organisasi statis melainkan selalu adaptif dan antisipatif terhadap
segala perubahan yang terjadi.
Makna "MAHASISWA" Dalam GMNI
GMNI adalah organisasi Mahasiswa. Sebagai konsekwensi dari sifat ini, maka yang
boleh menjadi anggota GMNI hanya mereka yang berstatus mahasiswa sebagai kaum
intelektual kampus. Namun demikian tidak semua mahasiswa dapat menjadi anggota GMNI,
sebab yang dapat menjadi anggota GMNI hanya mereka yang mau berjuang, atau Insan
Mahasiswa Pejuang. Tentu yang dimaksud dengan Mahasiswa Pejuang disini adalah mereka
yang berjuang atas dasar Ajaran Sukarno. Dengan anggota mahasiswa, kader GmnI
diharapkan berfikiran dan berjiwa kritis, independen, rasional, berani, mempunyai idealism
tinggi dan mempunyai kepekaan sosial yang tinggi sebagai watak dari seorang mahasiswa.
Makna "NASIONAL" Dalam GMNI
GMNI adalah organisasi yang berlingkup nasional. Artinya bukan organisasi
kedaerahan, keagamaan, kesukuan, atau golongan yang bersifat terbatas. Makna Nasional
juga mengandung pengertian bahwa yang
Azas GmnI
Azas GmnI adalah marhaenisme. Marhaenisme disini adalah sebagai azas dan metode
perjuangan yang mencakup tiga hal, yaitu:
1. Socio nasionalis
2. Socio demokratis
3. Ketuhanan Yang Maha Esa
Marhaenisme bertujuan memberantas sampai keakar-akarnya segala bentuk
perwujudan system yang menyebabkan kemelaratan dan kesengsaraan secara lahir dan batin
terhadap rakyat Indonesia dan negara Indonesia serta umat manusia di dunia. Berdasar azas
perjuangan marhaenisme yang berprinsip pada nasionalisme-kerakyatan dan demokrasi-
kerakyatan dalam rangka membangun masyarakat sosialis religious, GmnI perlu melakukan
redefinisi dan reaktualisasi kearah yang memungkinkan GmnI itu untuk eksis dan terlibat
dalam pergulatan lingkungan secara signifikan, dimana hal itu dapat diperjuangkan dalam
suatu tata organisasi yang prograsif revolusioner.
Motto GMNI
Motto GMNI adalah
" PEJUANG PEMIKIR-PEMIKIR PEJUANG ", Motto tersebut mengandung makna:
PEJUANG PEMIKIR berarti setiap anggota GMNI adalah Pejuang Bangsa yang
bercita-cita luhur yakni membangun masyarakat Indonesia yang adil dan makmur, di
dalam suatu tatanan dunia yang tertib, damai dan berkeadilan sosial.
PEMIKIR PEJUANG berarti setiap kader GMNI adalah cendekiawan yang berjuang,
atau Patriot Bangsa yang memiliki kemampuan penalaran yang tinggi, serta
menguasai
ilmu pengetahuan dan mau serta mampu menggunakan berbagai dimensi keilmuannya
sebagai alat perjuangan menuju cita-cita.
Dengan demikian, secara positip dan tegas motto ini mengandung makna bahwa
setiap anggota GMNI adalah Pejuang, yang bukan berjuang asal-asalan, tetapi pejuang yang
sadar akan apa yang diperjuangkannya, dan memiliki landasan konsepsi perjuangan yang
jelas dan rasional.
1. Panji/bendera GMNI
2. Lambang/Simbol GMNI
Lambang GMNI berbentuk Perisai bersudut enam, atau tiga sudut diatas, dan tiga
sudut dibagian bawah. Komposisi warna dua bidang Merah mengapit bidang Putih, tegak
vertikal. Di tengah perisai terdapat lukisan Bintang Merah dengan Kepala Banteng Hitam
sebagai pusat. Dibawah Bintang terdapat logo GMNI. Makna yang terkandung:
Tiga Sudut atas Perisai melambangkan Marhaenisme
Tiga Sudut bawah Perisai melambangkang Tri Dharma Perguruan Tinggi
Warna Merah berarti Berani, warna Putih berarti suci. Makna komposisi:
Keberanian dalam menegakkan Kesucian.
Bintang melambangkan ketinggian cita-cita, serta keluhuran budi.
Kepala Banteng melambangkan Potensi rakyat Marhaen. Warna Hitam
melambangkan keteguhan pendirian dalam mengemban tugas
perjuangan.
3. Logo GMNI
Logo GMNI berbentuk tulisan yang terdiri dari empat huruf yaitu huruf "G", "M",
"N", "I" dengan komposisi sebagai berikut:
Huruf "G" yaitu kependekan dari kata "GERAKAN" ditulis dalam huruf
Kapital (huruf besar)
Huruf "M" yaitu kependekan dari kata "MAHASISWA" ditulis dalam huruf kecil.
Huruf "N" yaitu kependekan dari kata "NASIONAL" ditulis dalam huruf kecil.
4. Mars GMNI
Mars GMNI adalah modifikasi dari lagu "Marhaen Bersatu", dengan syair yang
disesuaikan dengan identitas GMNI. Syair lagu tersebut adalah sebagai berikut:
Mahasiswa Indonesia, Bersatulah Segera
Di dalam satu barisan, anti kemiskinan
Dalam satu barisan, serasa sama bahagia
Berjuang secara dinamis, di dalam Front Marhaenis
Reff.
Bersama buruh tani, bersama GMNI
ormas rakyat sejati
Bersatulah segera
marhaen pasti menang
5. Hymne GMNI
Kami pemuda Indonesia, putra-putri sang fajar
Merah warna darahku, putih warna tulangku
bersih jernih jiwa kita
Kami mahasiswa Indonesia, cinta rakyat
merdeka siap rela berkorban sepenuh jiwa raga
demi nusa dan bangsa
Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia
Pejuang Pemikir yang tetap setia
Mengawal Pancasila hingga akhir hayatnya
GMNI.., GMNI.., Jaya...!
Siapa yang memperhatikan benar tingkatan-tingkatan pergerakan wanita sebagai yang saya
gambarkan, akan dapat menentukan dengan tepat derajat pergerakan wanita Indonesia
(Sukarno, dalam Sarinah, Bab VI)
1
Oakley, Ann. 1972. ‘Sex, Gender & Society’. Maurice Temple Smith Ltd.
2
Dadang S, Anshori, Engkos Kosasih, dan Farida Sarimaya, ‘Membincangkan Feminisme: Refleksi muslimah
Atas Peran Soosial Kaum Wanita’, Penerbit pustaka Hidayahm 1997
Pentingnya gerakan perempuan untuk melepaskan kaum laki-laki dan perempuan dari
ketidaksetaraan gender, gerakan perempuan secara luas berguna untuk memperbaiki kualitas
pendidikan, kesehatan dan ekonomi-sosial yang kemudian dapat berdampak pada
pembangunan nasional.
Laki-laki dan perempuan adalah sebagai dua sayapnya seekor burung. Jika dua sayap
sama kuatnya, maka terbanglah burung itu sampai ke puncak yang setinggi-tingginya; jika
patah satu dari pada dua sayap itu, maka tak dapatlah terbang burung itu sama sekali.
(Soekarno, dalam Sarinah, hlm 17/18)