Anda di halaman 1dari 7

GERAKAN MAHASISWA

Oleh
Wanda E P Romansa, S.Pd
tentang
SEJARAH GERAKAN MAHASISWA INDONESIA

LATAR BELAKANG SEJARAH


Pembuktian sejarah gerakan mahasiswa Indonesia, sesuai dengan konteks
jamannya, haruslah memberikan kesimpulan apakah gerakan tersebut,
dalam orientasi dan tindakan politiknya, benar-benar mengarah dan
bersandar pada problem-problem dan kebutuhan struktural rakyat Indonesia.
Orientasi dan tindakan politik cermin daripada bagaimana mahasiswa
Indonesia memahami masyarakatnya, menentukan pemihakan pada
rakyatnya serta kecakapan merealisasi nilai-nilai tujuan ideologinya.
Karena pranata mahasiswa merupakan gejala pada masyarakat yang telah
memiliki kesadaran berorganisasi, dan mahasiswa merupakan golongan
yang di berikan kesempatan sosial untuk menikmati kesadaran tersebut,
maka asumsi bahwa gerakan mahasiswa memberikan penghargaan yang
tinggi terhadap kegunaan organisasi dalam gerakkannya adalah absah.
Dengan
demikian
kronologi
sejarah
gerakan
mahasiswa
harus
memperhitungkan batasan bagaimana mahasiswa memberikan nilai lebih
terhadap organisasi. namun demikian tidak ada maksud untuk menghargai
gerakan rakyat spontan.
Nilai lebih organisasi dalam gerakan mahasiswa hanyalah bermakna bahwa
didalam organisasi gerakan mahasiswa ditempa dan di penuhi syarat-syarat
sebagai berikut:
1) Pemahaman terhadap masyarakat problem-problem rakyatnya,
2) Pemihakan kepada rakyat-nya, dan
3) Kecakapan-kecakapan dalam tindakan mengolah massa-nya.
Ketiga syarat tersebutlah yang mencerminkan:
1) Tujuan dan orientasi gerakan mahasiswa,
2) Metodologi gerakan maha-siswa,

3) Strukturalisasi sumberdaya manusia, logistik dan keuangan gerakan


mahasiswa, dan
4) Program-program gerakan mahasiswa yang bermakna strategik-taktik.
Tidak dapat dipungkiri bahwa sejarah merupakan akumulasi dan kulminasi
dari dialektika kondisi obyektif dengan tindakan subyektif masa-masa
sebelumnya. Oleh karena itu gerakan mahasiswa Indonesia tidak terlepas
dari pengaruh:
1) Perang-perang heroik dan patriotik didalam dan diluar negri; gerakan
petani pada abad 19 dan buruh diawal tahun 1920-an didalam dan diluar
negeri; pemberontakan-pemberontakan terhadap kolonialisme-imperialisme
Belanda; munculnya kekuatan partai-partai politik di tahun 20-an,
2) Penyebaran ideologi liberal, nasionalisme, komunisme, sosial-demokrat,
dan islam,
3) Kondisi ekonomi politik.
MASA PENJAJAHAN BELANDA
Murid-murid STOVIA mencoba memulai gerakan dengan mendirikan Trikoro
Dharmo di tahun 1915. Gerakkannya bukan dalam kerangka konsep
mahasiswa tetapi pemuda, dan juga belum memiliki konsep nasionalisme
yang jelas (kedaerahan) atau tujuannya: Djawa Raya. Dalam hal ini jelas
bahwa walaupun konsep tentang mahasiswa, nasionalisme ataupun keadilan
sosial sudah bisa masuk ke tanah jajahan Hindia Belanda, namun pada
konteks jamannya semua idealisme konsep-konsep tersebut belum bisa
dirumuskan dan terwujud sebagai artikulator problem-problem konkrit
masyarakat pada waktu itu ; Kolonialisme, kapitalisme dan sisa-sisa
feodalisme. Dan yang lebih parah: belum bisa menggerakkan massanya
sesuai dengan artikulasinya tersebut.
Sejarawan-sejarawan yang idealis sering mengatakan, bahwa pada tahap
awal gerakan elemen-elemen pelopor, pertama-tama harus bisa
merumuskan
problem-problem
masyarakat
dan
kemudian
menyampaikannya dalam bentuk agitasi dan propaganda. Namun, realita
sejarah menghidangkan kenyataan yang lain: kondisi subyektif gerakan
belum bisa bersatu dengan kondisi obyektif di luar gerakan. Keduanya belum
solid, keduanya belum bisa menyatu melalui tahap-tahap panjang, rumit dan
mengesalkan.
Dan juga ada keharusan yang katanya logis dan absah, yang dipaksakan
oleh sejarawan-sejarawan idealis, yakni keharusan yang mengatakan: karena
ide-ide nasionalisme, liberal, komunisme, sosial-demokrat, islam dan lain-

lainnya sudah masuk ke tanah jajahan Hindia Belanda, seharusnya kaum


intelaktual membentuk diri menjadi pelopor yang mengartikulasi problemproblem masyarakat serta rakyatnya dan kemudian menggerakkan
massanya. Persoalannya bukan saja terletak pada keinginan subyektif dan
normatif dari kaum intelektual; persoalannya juga terletak pada tingkat
kesadaran (level of consciesness) kaum intelektual itu sendiri (sebagai
kondisi subyektif), tingkat kesadaran rakyatnya dan atmosfir ekonomi-politik
pendorong tingkat kesadaran tersebut (sebagai kondisi obyektif). Jadi, logika
sejarawan idealis tidaklah berpijak pada realitas sejarah, logika yang tidak
historis.
Atau bentuk
taktik kaum
didapatkan
menyatakan

dan watak organisasi seperti Trikoro Dharmo hanya merupakan


pelopor dalam menghadapi kondisi pada saat itu? Tidak, tidak
data ilegal, baik tertulis (dokumen) maupun lisan, yang
hal tersebut.

Organisasi-organisasi yang tumbuh kemudian adalah juga organisasi


kedaerahan (Jong Sumatera, Jong Celebes, Jong Minahasa, Bond Ambon) dan
tidak ada upaya berkonsolidasi. Hanya atas bantuan Perhimpoenan PeladjarPeladjar Indonesia (PPPI) maka organisasi-organisasi tersebut dilebur
menjadi Indonesia Moeda (IM) tahun 1930. Dalam tindakan konsolidasi,
pelajar-pelajar mengambil inisiatif, juga dalam hal merubah konsep
pelajarnya menjadi pemuda, yang secara teoretis lebih memungkinkan
mewadahi massa yang lebih luas.
Perjuangan IM pada umumnya lunak, kecuali cabang Surabaya, Radikalisasi
IM Surabaya berhasil memprovokasi kepala sekolah-kepala sekolah
menengah untuk mengeluarkan Schoolverbood (pemecatan bagi pelajarpelajar sekolah menengah yang memasuki IM). Dengan adanya peraturan
tersebut dan intel-intel bangsa sendiri yang menyusup ke IM untuk
mengadakan provokasi, maka IM menjadi lemah: menjadi organisasi
dekaden/bejad, tempat foya-foya.
Hanya anggota IM yang sadarlah yang bisa keluar dari IM dan kemudian
membentuk Soeloeh Pemoeda Indonesia (SPI) dan Pergerakan Pemoeda
Revolusioner (PERPIRI). Namun, dan memang wajar dalam masyarakat
kolonial, dikeluarkanlah Vargader-verbod (pembubaran dan larangan
berkumpul) bagi SPI dan PERPIRI. Tapi anggota-anggota yang konsisten
melakukan gerakan bawah tanah. Tahun 1915-1930 merupakan waktu yang
cukup panjang bagi pemuda dan pelajar untuk memiliki penjelasan yang
lebih jernih tentang nasionalisme yang melekat pada organisasi Indonesia
Moeda dan melepaskan diri dari organisasi sektarian pemuda dan mahasiswa
guna lebih mempertajam orientasi anti kolonial. Selain itu juga gerakan ini
telah melewati masa-masa sulit: kelumpuhan pergerakan nasional akibat
pemerintah kolonial yang semakin represif, setelah pemerintah kolonial di uji
oleh pemogokan-pemogokan buruh di awal tahun 1920-an dan

pemberontakan PKI tahun 1926. Gerakan pemogokan buruh dan


pemberontakan PKI tersebut merupakan suatu pengorbanan yang berharga
positif; memberikan atmosfir pendidikan politik bagi kelanjutan pergerakan
nasional. Banyak sejarawan Indonesia masih menolak menuliskan tinta
emasnya bagi sejarah Indonesia kurun itu.
Didalam kondisi kelumpuhan pergerakan nasional seperti ini, muncullah
alternatif kelompok study (studieclub) yang politis dilihat dari orentasi dan
tindakan politiknya, terbentuknya Indonesia Studieclub (IS) dan Algemeene
Studieclub (AS). Makna politis dari kelompok study pada waktu itu adalah:
1) Mempelajari kondisi dan problem-problem konkrit yang berhubungan
dengan negeri dan rakyat, kemudian mengadakan ceramah-ceramah dan
kursus-kursus tentangnya. Misalnya, yang berhubungan dengan buruh; upah,
kesejahteraan dan jam kerja; tentang perumahan rakyat; hal kondisi
organisasi politik; keuntungan atau kerugian dengan adanya pemilihan
anggota Gementeraad (dewan Kota); Arti pergerakan, pendidikan nasional,
parlemen, statistik perdagangan, gerakaan persatuan, kooperasi dan nonkooperasi, kerjasama diantara organisasi-organisasi politik dal lain-lain,
2) Membentuk komite dan pengumpulan bahan mengenai masyarakat koloni
terutama Hindia Belanda, kemudian menyebarkannya dalam bentuk brosurbrosur atau surat kabar atau majalah, seperti Soeloeh Ra'jat Indonesia dan
Soeleoeh Indonesia,
3) Mencari alternatif bagi perbaikan terhadap problem-problem konkrit
tersebut dan kemudian dilakukan tindakan nyata,
4) forumnya ditujukan pada sasaran masyarakat luas, pertemuannya terbuka
di gedung-gedung pertemuan umum yang di hadiri oleh kalangan
pergerakan dan masyarakat luas,
5) Mendukung pemogokan buruh bengkel dan elektrik di Surabaya bulan
nopember 1925. Namun tidak dapat di pungkiri ada juga kelompok studi
yang apolitis dan hanya berkubang di masalah-masalah teoritis, yaitu apa
yang dinamakan Debating Club (Sukarno keluar dari organisasi ini dan
masuk ke Algemeene Studieclub)
Dalam merespons perubahan politik yang lebih liberal akibat penggantian
gubernur Jendral de Fock oleh de Graeff (pendukung van Limburg Stirum,
liberalis), dan dalam kondisi ekonomi Belanda serta Hindia Belanda yang
berada pada posisi merambat ke arah ekses penawaran (posisi demikian
merupakan masa positif sebelum mencapai puncak konjunktur ekses
penawaran dalam masa depresi kapitalisme pada tahun 1929-1930 maka IS
dan AS berubah menjadi Partai Bangsa Indonesia (PBI) dan Perserikatan
Nasional Indonesia (PNI). Kelompok studi berhasil bertranformasi menjadi

partai, ia merupakan cikal-bakal partai yang banyak menyumbang bagi


tercapainya "kemerdekaan" Republik Indonesia. Tanda kutip pada kata
kemerdekaan
bermakna:
Setelah
Indonesia
merdeka
partai-partai
tersebut,ternyata tidak berhasil memenangkan pertempuran untuk merubah
hubungan sosial rakyat Indonesia menjadi lebih adil, unsur-unsur reaksioner
juga turut dihidupkan dan menjadi kuat oleh momen sejarah Indonesia.
Namun demikian Studieclub telah memperlihatkan keunggulannya
ketimbang kelompok studi tahun 1980-an. Kelompok studi tahun 80-an lebih
menyerupai debating club dalam tindakannya, apolitis:
1) berkubang di masalah-masalah teoritis,
2) tidak bisa berdialektika sebagai unsur subyektif yang merespons dan
menstimulasi kondisi obyektif dalam kondisi ekonomi-politik Orde Baru, ia
bukannya bertransformasi menjadi politis tapi malahan membusuk. Lebih
gegabah lagi bila kelompok studi tahun 80-an disimpulkan menjadi
bertransformasi menjadi pelopor, dominan atau bahkan mengambil peranan
kecil sekalipun sebagai koordinator dalam gerakan mahasiswa tahun 80-an.
Kesimpulan ini bukan berarti kami tidak menghargai nilai lebih diskusi.
Jangan samakan antara tindakan diskusi dengan tindakan kelompok studi
secara keseluruhan.
Analisa terhadap sejarah studieclub jelas memberikan kesimpulan bahwa
kondisi obyektif ekonomi-politik pada saat itu politik kolonial yang semakin
represif, yang kemudian berubah menjadi liberal karena perubahan status
ekonomi Belanda dan Hindia Belanda bisa direspon dan distimulasi oleh
kondisi obyektif Studieclub yang bertransformasi menjadi partai. Jadi,
sungguh suatu kesimpulan yang spekulatif bila dikatakan bahwa mandulnya
gerakan mahasiswa dari basis kampus pada masa Orde Baru dan larinya
mahasiswa dari basis kampus untuk membentuk kelompok studi adalah
akibat oleh NKK/BKK. Sungguh suatu kesimpulan yang spekulatif, seolah-olah
bila tidak ada NKK/BKK maka akan semarak dan menjadi kuatlah gerakan
mahasiswa. Apakah hal ini terbukti pada gerakan mahasiswa masa Orde
Baru tahun 60-an dan 70-an dimana pada waktu itu belum ada NKK/BKK?
Tidak, sejarah membuktikan bahwa kondisi subyektif gerakan mahasiswa
Orde Baru tahun 60-an dan 70-an tidak bisa merespons dan menstimulus
ekonomi politik Orde Baru pada tahun 60-an dan 70-an. Perdebatan
mengenai kondisi ekonomi-politik Orde Baru tahun 60-an dan 70-an
memerlukan ruang tersendiri. Namun yang jelas, sebagai gejala, gerakan
mahasiswa Orde Baru tahun 60-an dan 70-an benar-benar telah
dilumpuhkan, terutama tahun 60-an benar-benar merupakan borok sejarah.
Justru dalam skala tertentu, gerakan mahasiswa tahun 80-an dapat
menembus NKK/BKK. Namun akumulasi dan kulminasi tindakan politik, maka
yang lebih dapat di hargai adalah gerakan mahasiswa masa Orde Baru tahun
70-an. Penghargaan itu tentunya adalah hanya sebatas bahwa gerakan

tersebut telah memberikan atmosfir pendidikan politik dan tapak-tapak


kabur pedoman menuju demokratisasi.
Masa setelah bertransformasinya Studieclub menjadi PBI dan PNI pada kurun
sejarah inilah dapat di tebar pupuk momentum bagi konsolidasi, penyaringan
dan semaraknya wadah-wadah massa pemuda dan pelajar. Hal ini terbukti
dengan di selenggarakannya kongres Pemoeda Indonesia pada tahun 1928,
yang berhasil menggabungkan pergerakan-pergerakan pemuda yang
berorentasi luhur, memprioritaskan terwujudnya cita-cita nasionalisme,
menjunjung harkat nusa bangsa: mengolah tercapainya kemerdekaan. Nama
organisasi gabungan tersebut, dilihat secara semantik saja, sungguh
mengejutkan dan menggembirakan: Pemoesatan Pergerakan Pemoeda
Indonesia (PERPINDO) di pusat dan Pergaboengan Pemoeda (PERDA) di
daerah. Dan, anggota-anggotanya adalah IM, Pemoeda Muhaammadijah,
Persatoean Pemoeda Taman Siswa, Pemoeda Muslimin Indonesia, Persatoean
Pemoeda Kristen Djawi, Barisan Pemoeda GERINDO dan PRRI.
MASA PENJAJAHAN JEPANG
Tentu saja ruang ini tidak cukup tersedia untuk membahas gerakan
mahasiswa pada masa ini, yang cukup menggairahkan untuk di analisa
namun harus memperhitungkan spektrum perdebatan yang cukup luas.
Yang pasti, semua organisasi pemuda yang ada di bubarkan, dan pemuda di
masukkan kedalam, yang utama Seinendan-Keibondan (Barisan Pelopor) dan
Pembela Tanah Air (PETA) untuk dididik politik dan kegiatan-kegiatan
menunjang fasisme: latihan militer untuk membela kepentingan ekonomipolitik Asia Timur Raya.
Jalan keluar bagi gerakan pemuda adalah: gerakan bawah tanah
(Underground-legal). Ramainya pamflet-pamflet gelap, dan rapat-rapat gelap
yang mengakibatkan adanya penangkapan-penangkapan oleh penguasa
fasis Dai Nippon Jepang. Momentum gerakan bawah tanah, yang juga
"katanya" dikombinasikan dengan gerakan legal Sukarno, merupakan jalan
keluar yang lebih mencekam dan belum memassa, tingkat kesadaran massa
untuk mengambil jalan keluar ini belum mencapai tingkat yang revolusioner.
Dan harus dilacak mengapa Fron Anti Fasis tidak menampakkan sosok yang
jelas.

MASA KEMERDEKAAN
1945-1950

Suatu momentum yang tidak disia-siakan oleh gerakan pemuda dan pelajar:
selain mereka melucuti senjata Jepang, juga memunculkan kembali
organisasi-organisasi mereka, misalnya Angkatan Pemoeda Indonesia (API),
Pemuda Repoeblik Indonesia (PRI), Gerakan Pemoeda Repoeblik Indonesia
(GERPRI), Ikatan peladjar Indonesia (IPI), Pemoeda Poetri Indonesia (PPI dan
lain-lainnya.
Pada saat belum ada pemuda dan pelajar yang berbentuk federasi,
diselenggarakanlah kongres Pemoeda Seloeroeh Indonesia I (1945) dan ke-II
(1946). Kedua kongres tersebut sangat penting artinya karena:
1) Dapat melahirkan organisasi gabungan Pemoeda Sosialis Indonesia
(PESINDO) yang merupakan hasil peleburan API, PRI, GERPRI, AMRI dan
sebagainya,
2) Terbentuknya badan Kongres ke-I berada dalam suasana semangat
perjuangan bersenjata (pemuda turut berpartisipasi dalam pertempuran
Nopember di Surabaya),
3) Kongres ke-II menghasilkan keputusan antara lain: Berpegang teguh pada
Undang-Undang Dasar, membentuk dan memperkuat laskar, mengisi
jabatan-jabatan penting di pemerintahan dan mematuhi pimpinan yang
mengajak revolusi nasional dan revolusi sosial.
Organisasi-organisasi seperti Perhimpoenan Mahasiswa Djakarta (PMD),
Perhimpoenan Mahasiswa Katholik Jogja (PMJ), Sarekat Mahasiswa Indonesia
(SMI), Perhimpoenan Mahasiswa Islam (HMI), Perhimpoenan Mahasiswa
Kedokteran Hewan (PMKH), Perhimpoenan Mahasiswa Kristen Indonesia
(PMKRI) dan Persatoean Peladjar Pergoeroean Tinggie Malang (PPPM) setuju
membentuk Perserikatan Perhimpoenan-perhimpoenan Mahasiswa Indonesia
(PPMI) dan Badan Koordinasi Mahasiswa Indonesia (BKMI) yang khusus
berada di daerah pendudukan Belanda. Dalam perjalanannya, keberadaan

Anda mungkin juga menyukai