BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Selama abad ke-19 dan awal abad ke-20, di Indonesia terus-menerus timbul
perlawanan, kerusuhan, kegaduhan, brandalan, dan sebagainya, yang semuanya itu cukup
banyak terjadi di daerah perdesaan. Boleh dikatakan hampir tiap tahun di salah satu
daerah terjadi pergolakan dan kerusuhan, yang sering diwujudkan sebagai tindakan-
tindakan yang bersifat agresif dan radikal. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa
pergolakan sosial menjadi endemis sifatnya. Gerakan itu ternyata merupakan kekuatan
sosial yang besar di daerah perdesaan. Timbulnya pergolakan itu dapat dianggap sebagai
terdapat di dalam masyarakat perdesaan. Sikap rakyat dalam mengambil bagian dalam
ditimbulkan oleh ajaran-ajaran mesianistis atau milenaristis dan juga dengan pandangan
eskatologi yang bersifat revolusioner. Sebagai aktivitas kolektif, gerakan sosial yang
didukung oleh rakyat petani bertujuan hendak mewujudkan ataupun sebaliknya menolak
suatu perubahan susunan masyarakat. Dalam usaha untuk melaksanakan tujuannya itu,
cenderung melakukan pergolakan sosial. Dominasi ekonomi, politik, dan kultural yang
ekonomi uang, beban rakyat menjadi bertambah berat. Sistem ekonomi uang ini telah
2
timbulnya buruh upahan, masalah kepemilikan, dan penggarapan tanah. Dengan adanya
subordinasi ekonomi itu, pengerahan tenaga dan kondisi kerja menjadi tergantung pada
pihak penguasa kolonial. Selain itu, dengan adanya perkembangan perdagangan dan
timbul pula peran-peran tradisional. Dalam bidang politik timbul banyak penetrasi sistem
administrasi yang bersifat legal rasional yang dibawa oleh pemerintah kolonial.
timbulnya proses birokratisasi menurut nilai dan ukuran Barat. Timbulnya ide baru
hidup. Dalam situasi yang demikian itu timbul kecenderungan masyarakat untuk mencari
tradisional.
perasaan tidak puas atau kekuatan oposisional, jalan yang akan ditempuh adalah dengan
mengadakan gerakan sosial sebagai protes sosial. Dalam perwujudannya, gerakan protes
sosial itu sering kali diperkuat oleh perasaan keagamaan dan menjadi gerakan sosial
politik. Kekuatan-kekuatan yang timbul dari kepercayaan agama yang berakar dalam
tradisi rakyat untuk melawan ekspansi kolonial adalah sangat membahayakan. Dalam
3
situasi yang demikian itu timbul harapan akan kedatangan seorang mesias atau ratu adil
yang diharapkan dapat memberikan pertolongan kepada mereka. Konsepsi kehadiran ratu
adil itu antara lain berisi harapan akan kembalinya susunan masyarakat lama atau
datangnya zaman keemasan, yang biasanya hal itu membuat gerakan protes menjadi
sangat radikal serta revolusioner sifatnya. Dengan demikian, protes sosial yang
mengambil jalan kekerasan yaitu dengan melancarkan pemberontakan secara aktif dapat
arkais karena organisasinya, programnya, serta strategi dan taktiknya masih terlalu
sederhana apabila dibandingkan dengan gerakan sosial modern seperti yang dilancarkan
dilakukannya mudah sekali ditindas oleh kekuatan militer kolonial. Pada umumnya
gerakan-gerakan semacam itu sangat pendek umurnya atau abortif, dan merupakan
pergolakan lokal atau regional yang tidak ada koordinasi satu sama lain. Dalam
perang besar, seperti Perang Diponegoro, Perang Padri, maupun Perang Aceh. Selain
sifatnya yang tradisional arkais, gerakan sosial juga memiliki orientasi tujuan yang masih
kabur, pengikut atau pelaku-pelakunya tidak mempunyai gambaran yang jelas tentang
tata masyarakat dan tata pemerintahan yang akan direalisasikan andaikata perjuangan itu
dapat mencapai kemenangan. Sifat yang tradisional arkais juga tercermin, antara lain
bahwa gerakan tersebut sering kali tidak dapat dipisahkan dari segisegi religio magis.
Dalam lingkungan sosio kultural pada masa itu, loyalitas dan sentimen pokok tidak ada
4
Dapat ditunjukkan bahwa selama periode abad ke-19 dan ke-20 hampir setiap
satunya adalah Gerakan Ratu Adil. Gerakan ini adalah jenis gerakan melawan keadaan
atau peraturan yang tidak adil. Dalam hal ini ideologi yang pokok yang mendorong
timbulnya gerakan ini adalah adanya rasa dendam terhadap kondisi sosial ekonomi yang
Uraian di atas dapat memberikan gambaran tentang cirri-ciri penting dari gerakan
Gerakan Ratua Adil maka rumusan judul penelitiannya yakni Sejarah Perkembangan
Gerakan Ratu Adil Tahun1903 – 1923; (Realitas Sejarah Dari Gerakan Sosial Pada Masa
Kolonial Belanda)
B. Rumusan Masalah
Agar dekonstruksi hasil penelitian menjadi jelas dan terarah maka perlu di
C. Pembatasan Masalah
Agar dapat diperoleh gambaran yang jelas dalam membahas permasalahan yang
diajukan maka perlu diberi pembatasan baik ruang Lingkup waktu maupun
5
adalah perkembangan Gerakan Ratu Adil. Lingkup peristiwa lahirnya Gerakan Ratu Adil
di Jawa ini menjadi fenomena Historis dari Gerakan Sosial yang muncul pada masa
D. Tujuan Penelitian
Berdasarkan judul yang kami rumuskan maka tujuan yang akan dicapai oleh penulis
sebagai berikut :
1. Dalam rangka melengkapi salah satu syarat untuk menyelesaikan studi di STKIP
Kieraha-Ternate.
3. Dalam usaha untuk mengungkap secara mendetail proses lahirnya gerakan Ratu
Adil.
E. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
b. Dapat mengambil kesimpulan tentang proses sejarah lahirnya Gerakan Ratu Adil di
2. Bagi penulis.
penulisan.
b. Sebagai suatu wujud nyata dan tanggung jawab penulis sebagai mahasiswa
6
F. Sistimatika Penulisan
A. Latar Belakang
B. Rumusan Masalah
C. Pembatasan Masalah
D. Tujuan Penelitian
E. Manfaat Penelitian
F. Sistematika Penulisa
A. Penjelasan Istilah
B. Kerangka Teori
C. Kerangka Berpikir
A. Lokasi Penelitian
B. Jenis Penelitian
E. Teknik Penulisan
A. Kesimpulan
B. Saran
Daftar Pustaka
Glosarium
Lampiran-Lampiran.
7
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A. Pengertian Istilah
memahami suatu alur peristiwa sejarah secara utuh dan menyeluruh, karena darinya akan
dijadikan suatu patokan atau landasan pijakan bagi perkembangan kearah masa depan.
penelitian ilmiah maka konsep penjelasan makna atas judul merupakan sesuatu yang
sangat penting, hal dimaksudkan agar tidak terjadi adanya intepretasi yang keliru
Sejarah Lahirnya Gerakan Ratu Adil di Jawa tahun 1903-1923 (Realitas Sejarah
Dari Gerakan Sosial Pada Masa Kolonial Belanda), demikian rumusan judul untuk
dekonstruksi historis, konsep generative grammar atas makna dari judul ini adalah suatu
peristiwa sosial yang lahir ditengah-tengah masyarakat Jawa yang secara religius
meyakini adanya mesianis yang menyelamatkan mereka dari kesengsaraan atau akan
hadirnya seorang ratu adil sebagai juru selamat ditengah-tengah mereka. Peristiwa ini
terjadi dalam masa kekuasaan kolonial Belanda dan pengaruhnya cukup luas dikalangan
masyarakat Jawa.
B. Kerangka Teori
Dari konteks masalah penelitian, nyata bahwa penelitian ini merupakan suatu
penelitian gerakan sosial yang terjadi pada masa kolonialisme Belanda. Karena
penelitian ini merupakan suatau penelitian gerakan sosial maka untuk menopangnya
haruslah dibutuhkan teori-teori gerakan sosial atau kerangka pemikiran teoritis dari
gerakan sosial. Mengenai teori yang mendukung penelitian ini dapat dikemukakan dalam
Tocqueville yang mengatakan bahwa revolusi terjadi tidak ketika kelompok masyarakat
tertentu dalam kondisi tertekan. Tetapi, aksi kolektif berupa revolusi muncul ke
permukaan ketika sebuah sistem politik dan ekonomi tertutup mengalami keterbukaan.
Karya luar biasa Eisinger ini dibuat berdasarkan data dan informasi, serangkaian protes
kelembagaan tersebut tertutup aksi-aksi kolektif relatif berkurang secara kuantitas atau
gerakan sosial muncul ketika tingkat akses terhadap lembaga-lembaga politik mengalami
keseimbangan politik baru belum terbentuk. Ketiga, ketika para elite politik mengalami
konflik besar dan konflik ini dipergunakan oleh para pelaku perubahan sebagai kesem pa
tan. Keempat, ketika para pelaku perubahan digandeng oleh para elite yang berada di
tertentu, semua variabel POS tersebut bisa dipergunakan dalam menjelaskan sebuah
gerakan sosial, akan tetapi pada praktiknya sering kali terlalu problematik dan dipaksakan
mempergunakan tiga variabel POS, yaitu, terbukanya akses kelembagaan politik melalui
para pelaku perubahan yang berada di partai-partai politik, perpecahan di dalam tubuh
elite politik dan perpecahan di dalam koalisi gerakan etnik. Contoh lain adalah gerakan
hak asasi manusia di Amerika dipelopori oleh kaum kulit hitam, berkembang karena
dukungan sumber daya eksternal untuk keluar dari masalah atau mencapai tujuan yang
daya eksternal. Sumber daya ini dipergunakan oleh pelaku perubahan melalui terbukanya
akses kepada kelembagaan politik dan perpecahan di tubuh para elite politik?
variabel yang dijelaskan oleh Tarrow memiliki sejumlah kelemahan. Kelemahan utama-
nya, Tarrow hanya menyediakan penjelasan umum mekanisme POS seperti struktur
kelembagaan sebuah sistem politik dan konfigurasi kekuasaan di antara para aktor di
sekaligus mencoba menspesifikasi lebih dalam gagasan POS dalam kerangka sebuah
konsep yang selalu mengalami perkembangan. Ada dua hal penting yang Kriesi ingin
jelaskan berkaitan dengan POS. Pertama, POS bukanlah sebuah konsep kaku dan
konstan. POS mungkin mengalami perubahan sepanjang masa sebagai hasil kontrol para
elite baru di dalam sistem atau tercapainya konsolidasi elite lama dengan berbagai
faktor struktur kelembagaan formal, informal dan strategi yang dipergunakan oleh para
pelaku perubahan.
konsep POS. Brockett menekankan beberapa aspek, yang berbeda dengan Kriesi
dan Tarrow. Mereka adalah, misalnya, arti akses kelembagaan di mata para pelaku
10
struktur aliansi.
ini tidak luput dari kritik. Konsep POS, misalnya, tidak mampu mengakomodasi
dinamika ketegangan politik itu sendiri. Dengan kata lain, terbukanya kesempatan
politik dilihat sebagai sesuatu yang statis sedangkan di sejumlah kasus kita
jatuhnya rezim Soeharto tetapi setelah lima tahun reformasi, kita menyaksikan
Struktur Mobilisasi
alternatif dalam menjelaskan gerakan sosial di kalangan akademisi, tidak bisa dilepaskan
dari sejumlah penelitian yang berkaitan dengan aksi-aksi kolektif. Dari hasil studi
McCarthy dan Zald berpendapat bahwa sebuah sistem politik yang terlembaga
formal dan juga informal. Melalui kendaraan ini, masyarakat memobilisasi dan berbaur
dalam aksi bersama . Konsep ini berkonsentrasi kepada jaringan informal, organisasi
bahwa struktur mobilisasi adalah sejumlah cara kelompok gerakan sosial melebur dalam
aksi kolektif, termasuk di dalamnya taktik gerakan dan bentuk organisasi gerakan sosial.
dalam masyarakat untuk dapat dimobilisasi. Dalam konteks ini, unit-unit keluarga,
jaringan pertemanan, asosiasi tenaga sukarela, unit-unit tempat bekerja dan elemen-
elemen negara itu sendiri menjadi lokasi-lokasi sosial bagi struktur mobilisasi mikro.
McCarthy, kita juga mampu menentukan dua kategori yang membuat struktur mobilisasi,
Paris pada 1871, kita harus mempertimbangkan peranan jaringan struktur mobilisasi
karena organisasi informal seperti jaringan kekerabatan dan persaudaraan menjadi dasar
bagi rekruitmen gerakan. Lebih jauh, seperti McCarthy dan Wolfson menunjukkan
mengidentifikasi beberapa faktor jaringan struktur informal seperti, perbedaan dalam sub-
mekanisme mobilisasi mikro, dia ingin menyatakan bahwa hubungan formal dan
sebagai contoh, secara bersama-sama. Infrastruktur sosial ini dipercaya secara luas
struktur informal sebagai pisau analisis, belumlah mampu memetakan struktur informal
secara mendalam.
sebagai organisasi gerakan sosial. Akan tetapi, seperti halnya struktur informal, struktur
formal juga memiliki bentuk kelembagaan yang beragam. Lofland memfokuskan kepada
kelompok akar rumput yang mandiri. Dia menekankan kelompok akar rumput adalah
jenis bentuk struktur lokal di masyarakat lapisan bawah. Berkaitan dengan jenis
organisasi ini, Rucht menambahkan model organisasi for mal akar rurnput mampu
menjadi pelaku protes politik yang radikal dan memiliki komitrnen tinggi terhadap
gerakan.
Proses Framing
Mekanisme proses framing dipergunakan juga oleh para akademisi gerakan sosial
dalam studi gerakan sosial. Walaupun konsep ini tidak berkembang secepat struktur
kesempatan politik dan struktur mobilisasi, belakangan ini para akademisi semakin
mengakui pentingnya proses framing dalam memahami sukses dan gagalnya sebuah
gerakan sosial.
Snow dan Banford mencatat, suksesnya gerakan sosial terletak pada sampai sejauh
mana mereka memenangkan pertempuran atas arti. Hal ini berkaitan dengan upaya para
pelaku perubahan memengaruhi makna dalam kebijaksanaan publik. Oleh karena itu,
framing masalah-masalah sosial dan ketidakadilan. Ini sebuah cara untuk meyakinkan
kelompok sasaran yang beragam dan luas sehingga mereka terdorong mendesakkan
sebuah perubahan. Snow dan Benford, lebih lanjut, menekankan dua komponen penting
dalam memframing gerakan, yaitu, diagnosis elemen atau mendefinisikan masalah dan
13
sumbernya dan prediksi elemen sekaligus mengidentifikasi strategi yang tepat untuk
Zald, lebih lanjut, mengidentifikasi beberapa topik penting yang tidak hanya
berhubungan dengan proses framing tetapi juga memainkan peranan penting dalam
Topik pertama adalah kontradiksi budaya dan alur sejarah. Dia berpendapat bahwa
kesempatan politik dan mobilisasi, sering kali tercipta melalui ketegangan budaya dan
kontradiksi yang telah berlangsung lama muncul menjadi bahan proses framing seperti,
keluhan dan
menjadi penyebab mobilisasi ketika dua atau lebih tema-tema budaya yang
aksi kolektif.
Aktor-aktor yang berbeda baik di dalam maupun di luar sebuah gerakan, dalam
konteks beragamnya kelompok sasaran, adalah faktor melebarnya framing. Oleh karena
itu, Zald menyatakan bahwa topik kedua proses framing sebagai sebuah aktivitas strategi.
Keretakan dan kontradiksi budaya menyediakan konteks dan sekaligus kesempatan bagi
kader-kader gerakan, yaitu, pemimpin, partisipan inti, aktivis dan simpatisan. Akan
tetapi, ada sebuah proses aktif framing dan pendefinisian ideologi, simbol, peristiwa-
peristiwa yang mampu menjadi ikon oleh para pengusaha moral. Para pengusaha moral
ini bisa dari kalangan aktivis maupun dari kalangan di luar aktivis. Kalangan wartawan,
Snow dan akademisi gerakan sosial lainnya menambahkan bahwa proses framing
melalui menyalahkan atau menyarankan garis aksi. Lebih jauh, gerakan dalam skala besar
14
bisa menciptakan framing tunggal dengan cakupan luas, yang sangat mungkin
Untuk mencapai sebuah kelompok sasaran, aktor gerakan membutuhkan alat dalam
menjalankan framing, yaitu, media. Karenanya, debat mengenai proses framing juga
memasukkan media sebagai sebuah topik penting. Seperti Zald berpendapat bahwa
media cetak dan elektronik, buku, pamflet. Aktivis gerakan sosial mempergunakan
warung kopi, cafe dan ruang-ruang pertemuan sebagai media berdebat untuk men-
Kita mengetahui bahwa media sering kali memiliki agendanya sendiri. Media yang
mengadopsi isu lingkungan akan berbeda dari media yang tidak memiliki ketika mereka
media menjadi bagian penting di dalam proses keseluruhan proses framing tidak hanya
karena media memiliki agenda mereka sendiri tetapi juga karena setiap orang memiliki
McCarthy dan Zald memiliki gagasan serupa mengenai framing dalam media.
Mereka menekankan bahwa media adalah target utama bagi upaya proses framing dalam
memengaruhi pemerintah, pemilihan umum dan agenda publik juga bagian utama
gerakan sosial. Gerakan sosial melebur dalam taktik yang langsung atau tidak langsung
gerakan. Agen-agen gerakan berupaya membawa isu mereka ke dalam kelompok sasaran
yang beragam, seperti media, partai politik, pejabat parlemen dan pemerintah.
Walaupun mekanisme proses framing telah berkembang secara luas dan memiliki
prospek cerah dalam menjawab gerakan sosial ke depan, sejumlah kritik ditujukan ke
konsep tersebut. Berkaitan dengan itu, Snow mengungkapkan paling tidak ada dua
15
masalah besar yang mempergunakan konsep proses framing. Pertama, kajian tentang
proses framing tidak memiliki aplikasi empirik secara mendalam sehingga ini menjadi
rujukan dalam memahami gerakan sosial lainnya. Kedua, mekanisme proses framing
Repertoire
atau pilihan bentuk taktik dan strategi aksi dalam menjelaskan aksi bersama dan
bentuk protes lainnya. Charles Tilly adalah perintis pertama yang mempergunakan
dan sejumlah kasus lainnya seperti ketegangan politik di Burgundy pada 1977 dan
studi gerakan sosial seperti Sydney Tarrow, Mark Beissinger dan Marco Giugni
mengapa perubahan bentuk aksi yang diterapkan oleh para pelaku perubahan di
kerja apa yang dia maksud dengan repertoire. Kata repertoire merujuk kepada
abstrak atau berasal dari propaganda politik. Repertoire muncul dari perjuangan.
16
sebagai repertoire umum karena mengakomodasi semua alat repertoire yang dapat
contoh sederhana bagaimana konsep ini berjalan, ada baiknya kita menyimak
ilustrasi berikut ini. Satu aktor mewakili sekelompok pekerja melakukan klaim
bersama kepada aktor lain yaitu pimpinan para pekerja yang menjadi objek klaim
Tilly juga menjelaskan bagaimana proses bentuk repertoire baru terjadi. Dia
menjelaskan bahwa munculnya bentuk repertoire baru hasil dari inovasi gagasan
dan proses tawarmenawar di antara pekerja, pemilik modal dan negara mengenai
batas antara bentuk-bentuk aktivitas aksi yang dapat dan tidak diterima. Para
Bentuk aksi ini bersama dengan pemilihan umum telah menjadi begitu
populer di Eropa Barat dan Amerika Utara pada 1780 dan 1850, telah mengalami
Prancis, sebagai contoh, awalnya demonstrasi muncul sebagai kegiatan rutin dan
tidak memiliki daya tekan politik selama masa Kerajaan pada 1830-1848, kemudian
17
menjadi bentuk aksi utama selama masa republik kedua pada 1985- 1951. Di
Inggris Raya, demonstrasi sebagai pilihan bentuk aksi lebih tua dibandingkan
dengan Francis. Bentuk aksi ini terjadi melalui proses uji coba, tawar menawar dan
ketika Tilly menganalisis bentukbentuk aksi bersama. Tilly menerapkan tiga tema,
yaitu, kompetisi di dalam sebuah sistem yang dikembangkan, reaktif membela hak-
hak yang terancam dan proaktif menuntut hak-hak yang belum dinikmati. Dia
dalam sebuah aksi. Oleh karena itu, di dalam karyanya Getting it Together in Bur-
pengetahuan sosial dan sejarah yang ada berkaitan dengan bentuk-bentuk aksi
pilihan bentuk aksi yang ada berkaitan dengan kemandiriannya atas identitas dan
Dia mengidentifikasi, seperti, gagasan tersebut sering kali keliru, tumpang tindih
Sumber-Sumber Intelektual
telah dijelaskan di atas tidaklah cukup memadai. Oleh karena itu, mereka
fenomena gerakan sosial. Konsep ini sangat populer di antara akademisi ilmu
pengetahuan sosial, bukan karena kata struktural menjadi kata penting dalam
perbendaharaan kata dalam ilmu pengetahuan sosial sekarang ini, tetapi karena
Pertanyaan pusatnya adalah apa itu struktur dan mengapa konsep ini
adalah aturan dan sumber daya, dibentuk di dalam reproduksi sistem sosial.
Sorensen menjelaskan bahwa tujuan asal gagasan konsep kelas Marx adalah
penjelasan ini adalah eksploitasi kelas pekerja oleh para pemilik modal yang
Tema sentral konsep ini adalah eksploitasi berkaitan dengan bagaimana satu
pertentangan laten. Kondisi tersebut menciptakan kesadaran kelas dan pada titik
tertentu, kesadaran kelas menghasilkan konflik kelas. Marx percaya inilah satu-
satunya cara para buruh mengubah struktur kelas. Sorensen, lebih jauh,
perbedaan relasi kelas. Jenkins mengambil contoh petani Rusia di bawah rezim
Tzar. Jenkins mencatat petani diikat dengan tanah dan diwajibkan menyetor dua
atau tiga hari bekerja kepada para tuan tanah sebagai imbalan tanah yang
Konsep ini, walaupun demikian, mendapatkan kritik baik dari dalam markas
ketidakseimbangan dan keluhan yang diciptakan oleh para pemilik modal tidak
selalu menstimulasi aksi kolektif bila tidak ada mekanisme-mekanisme lain turut
bekerja. Salah satunya adalah organisasi revolusi dan seberapa besar peran
hegemoni negara dan aparatus represif memainkan peran penting untuk mencegah
konflik kelas terjadi, seperti diungkapkan oleh Lenin dan Gramsci. Tarrow, lebih
syarat-syarat politik di mana sumber daya yang terbatas dan pekerja tereksploitasi
dipergunakan oleh banyak disiplin ilmu, baik ilmu politik, sosiologi, ekonomi,
psikologi dan antropologi. Perintis teori ini dapat ditelusuri mulai dari Plato dan
Aristotle sampai dengan Hobbes dalam karyanya Leviathan, Hume dalam karyanya
A Treatise of Human Nature, Adam Smith dalam karyanya The Wealth of Nations,
Kant dalam karyanya Critigue of Pure Reason dan Oslo dalam karyanya The Logic
of Collective Action.
mengapa sejumlah orang berpartisipasi di dalam aksi kolektif dan yang lain tidak,
Opp mengajukan dua versi konsep rational choice, yaitu, model rational choice
umum dan spesifik. Masing-masing model memiliki hipotesis dan implikasi dalam
menjelaskan aksi kolektif. Menurut Opp ada tiga hipotesis, berkaitan dengan model
rational choice umum. Hipotesa pertama adalah preference (pilihan utama) bahwa
preference adalah penentu aksi ketika aksi tersebut mampu memuaskan pilihan
individu terlibat dalam aksi kolektif dan hipotesis ketiga adalah maksimalisasi
kegunaan bahwa individu memilih aksi yang akan memberikan kegunaan lebih
individu memilih aksi seperti demonstrasi disebabkan oleh pilihan utama, motivasi
utama mereka bila ada kendala dan kesempatan yang akan memengaruhi hasil
kendala ketika mereka ingin mendapatkan kepuasan lain. Di sisi lain, Opp
model rational choice umum tidak memiliki spesifikasi apa yang memengaruhi
pilihan utama individu-individu. Di samping itu, semua kendala dan kesempa tan
mungkin menjadi variabel penjelas. Kendala yang sering kali dipersepsikan oleh
itu, apakah pilihan utama yang menguntungkan dan kendala yang merugikan
aksi, memengaruhi kinerja individu tersebut. Semakin positif mereka dinilai, maka
ngatakan bahwa lebih pasti hasil perilaku yang diharapkan, maka keinginan
individu terlibat dalam aksi kolektif akan semakin kuat. Sedangkan preposisi
keempat mengatakan bahwa bila produk yang akan dihasilkan lebih besar dari
produk yang diharapkan oleh si individu, maka individu tersebut lebih mungkin
Konsep ini selalu berada dalam kritik. Fireman dan Gamson berpendapat
bahwa asumsi nilai guna lebih operasional ketika asumsi-asumsi relevan, nyata dan
bersifat individu padahal dalam gerakan ini tidak selalu terjadi. Bary juga
mencatat bahwa rational choice teori baik umum atau khusus tidak mampu
menyediakan data spesifik dan situasinya. Belum lagi, bagaimana menjelaskan free
riding di dalam aksi kolektif bahwa individu tidak akan berpartisipasi bila mereka
aksi kolektif.
Analisis budaya juga kerap dipergunakan oleh para akademisi studi gerakan
nilai, simbol, dan ritual. Walaupun elemen di atas, terlalu kompleks untuk
dijadikan pijakan untuk membuat definisi kerja budaya di dalam gerakan sosial,
akan tetapi seperti Johnston dan Klandermans berpendapat bahwa kita bisa
kita temukan juga di Quebec-Kanada. Fantasia dan Hirsch menemukan hal serupa
menentang Prancis. Contoh terkini, seperti Steve Fenton tulis dalam bukunya,
proses framing. Oleh karena itu, konsep ini akan menjadi lebih operasional bila
Contentious Politics
cakupan relatif kecil dan tidak cukup memadai untuk menjelaskan ketegangan
muncul dalam konteks politik yang relatif terbuka di Amerika, dengan organisasi
gerakan sosial yang relatif besar dan banyak secara quantitas dibandingkan dengan
perkembangannya.
tindih dan saling berkompetisi satu dengan yang lain dalam menjelaskan
ketegangan politik.
di atas, pada 1995 McAdam, Tarrow dan Tilly bertemu dan mencoba berkolaborasi
serangkaian seri-seri diskusi dan seminar menyerap pendapat dan kritik dari
akademis gerakan sosial mengenai konsep yang telah ada maupun konsep conten-
tious politics yang mereka ajukan, sampai dengan karya mereka dipublikasi pada
2001.
politik lintas sistem dan cara yang telah ada. Ini berarti di dalam peristiwa tersebut
sejumlah aktor politik baru terlibat dan mempergunakan pendekatan baru sebagai
alat politik. Oleh karena itu, ini berimplikasi bahwa ketegangan yang melibatkan
aktor dan alat yang telah mapan tidak menjadi subjek penelitian mereka. Ada dua
tumbuh di luar dari kebiasaan yang ada dan kedua, perubahan dalam jangka waktu
singkat sebuah ketegangan politik dan perubahan sosial sering kali muncul dari
yang ada. Mereka juga menyimpulkan bahwa dari kasuskasus transgressive yang
tersebut muncul di dalam arena politik karena dipengaruhi oleh mekanisme dan
C. Kerangka Pikir
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Lokasi Penelitian
Penelitian merupakan penelitian kepustakaan, olehnya itu seluruh data dan lokasi
pusat kerarsipan.
B. Jenis Penelitian
26
Sesuai dengan objek penelitian maka penelitian ini merupakan penelitian sejarah
yang merekonstruksi jejak-jejak masa lampau yang didasarkan pada spasial tertentu,
diharapkan penelitian ini dapat menghasilkan data deskriptif kualitatif berupa uraian
tertulis dari sumber sajarah berupa infomasi lisan dan tertulis dari orang yang diteliti serta
Sumber sejarah secara garis besarnya terbagi atas sumber primer dan sumber
sekunder. Seringkali para sejarawan harus bertumpuh pada karya-karya sekunder untuk
memperoleh pengetahuan mengenai latar belakang yang diperlukan guna mengenali lebih
sumber-sumber sekunder yang baik dapat memberi kemungkinan untuk lebih mengenal
sumber primer (rekaman sezaman) secara lebih baik pula. Demikian pula sebaliknya
pertelaahan sumber-sumber primer yang runtut dapat memberi peluang untuk mengoreksi
sezaman.
penelitian ini, maka secara teoritik Louis Gottschalk (1986 : 78 – 79) menyarankan agar
1. Untuk menjabarkan latar belakang yang cocok dengan bukti sezaman mengenai
subyeknya. Kendati demikian harus bersifat terbuka dan skeptis terhadap sumber
tersebut.
3. Untuk memperoleh kutipan atau petikan dari sumber-sumber sezaman atau sumber-
sumber lain, namun senantiasa harus bersikap skeptis terhadap sifat akurat dari
27
sumber sekunder, apa lagi jika sumber sekunder itu merupakan hasil terjemahan dari
bahasa lain.
4. Untuk memperoleh interpretasi dan hipotesis dari masalah yang diteliti, dengan
Untuk sumber-sumber primer, jarak waktu yang lebih jauh dari peristiwa dapat
jarak waktu yang jauh dari peristiwa-peristiwa yang diceritakannya maka semakin falid
tingkat kepercayaannya. Ini bukan saja karena semakin jauh jarak waktu telah membuat
sumber-sumber sekunder semakin menampilkan sifatnya yang netralitas, tetapi juga lebih
banyak materi yang tersedia sebagi akibat dari banyaknya penulis sejarah yang
penelitian ini mengikuti prosedur dan kaidah yang berlaku dalam penelitian sejarah,
yakni melalui tahap (1) Heuristik, (2) Kritik, (3) Interpretasi dan (4) Historiografi.
Berdasarkan tahapan itu maka langka pertama yang dilakukan adalah pengumpulan data.
Untuk data sekunder pengumpulan data dilakukan melalui studi kepustakaan. Sedangkan
untuk data primer ditempuh melalui studi sumber serta wawancara dengan pelaku sejarah
dan atau saksi sejarah yang masih mungkin ditemukan. Pada tahap kedua dilakukan
seleksi data serta pengujian validitas dan reabilitas melalui kritik sumber (internal dan
menggunakan teori collective action dari Christopher Lloyd serta polity model
konteks permasalahan untuk dapat menarik kesimpulan. Akhirnya, semua data penelitian
diproses dengan teori yang melandasinva untuk menghindari unsur subjektivitas dalam
penelitian ini.
28
mengunakan berbagai jenis konsep, hipotesis, dan teori sebagai kerangka referensi yang
dipakai untuk mencari dan mengatur data; sehingga penulis Sejarah dapat lebih lengkap
dalam mempelajari fenomena historis yang kompleks. Dalam penelitian ini digunakan
beberapa tahap pendekatan yaitu; pendekatan historis, pendekatan politik dan pendekatan
sosial.
Seseorang yang ingin menulis tentang masa lampau tepat kiranya menggunakan
pendekatan historis. Historis itu sendiri menurut Louis Gottschalk berarti masa lampau
umat manusia. Pengertian lebih tajam diungkapkan oleh Sartono Kartodirdjo bahwa
sejarah tidak hanya mengungkapkan masa lampau saja tetapi fakta mengenal apa, siapa,
kapan dan di mina serta menerangkan bagaimana sesuatu telah terjadi. Penelitian ini
Ratu Adil tahun1903 – 1923 di wilayah Jawa pada masa pemerintah kolonial Belanda.
E. Teknik Penulisan
merupakan cara penulisan, pemaparan atau pelaporan hasil penelitian, olehnya penulisan
hasil penelitian sejarah hendaklah dapat memberikan gambaran yang jelas mengenai
proses penelitian. Maka melalui historiografi ini penulis dapat menilai apakah penelitian
ini sesuai dengan prosedur atau tidak dan dapat dipaparkan sesuai dengan fakta sejarah
yang ada.
29
DAFTAR PUSTAKA
Abu Bakar Loebis, Kilas Balik Kenangan Pelaku dan Saksi, UI Press, Jakarta, 1995
Dekker Njoman I, Drs,S.H. Sejarah Indonesia Baru, 1800 – 1900, Lembaga Penerbitan
K.J. Veeger, Realitas Sosial, PT. Gramedia Pustaka Utama Jakarta 1993.
1988.
Krom, N. J. Prof. Dr, Zaman Hindu, Terjemahan Arief Efendi, Pembangunan, Jakarta,
1956.
Ricklefs, M.C., Sejarah Indonesia Modern, 1200 – 2004, Terjemahan; Satrio Wahono
Yogyakarta, 2005.
Wolf Charles,Jr. The Indonesian Story, The John Day Company, New York 1948.