Anda di halaman 1dari 30

1

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Selama abad ke-19 dan awal abad ke-20, di Indonesia terus-menerus timbul

perlawanan, kerusuhan, kegaduhan, brandalan, dan sebagainya, yang semuanya itu cukup

mengguncangkan masyarakat dan pemerintah waktu itu. Peristiwa-peristiwa itu terutama

banyak terjadi di daerah perdesaan. Boleh dikatakan hampir tiap tahun di salah satu

daerah terjadi pergolakan dan kerusuhan, yang sering diwujudkan sebagai tindakan-

tindakan yang bersifat agresif dan radikal. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa

pergolakan sosial menjadi endemis sifatnya. Gerakan itu ternyata merupakan kekuatan

sosial yang besar di daerah perdesaan. Timbulnya pergolakan itu dapat dianggap sebagai

suatu ledakan daripada keteganganketegangan, permusuhan, atau pertentangan yang

terdapat di dalam masyarakat perdesaan. Sikap rakyat dalam mengambil bagian dalam

gerakan-gerakan yang sangat radikal karena digerakkan oleh harapanharapan yang

ditimbulkan oleh ajaran-ajaran mesianistis atau milenaristis dan juga dengan pandangan

eskatologi yang bersifat revolusioner. Sebagai aktivitas kolektif, gerakan sosial yang

didukung oleh rakyat petani bertujuan hendak mewujudkan ataupun sebaliknya menolak

suatu perubahan susunan masyarakat. Dalam usaha untuk melaksanakan tujuannya itu,

sering kali ditempuh jalan radikal atau revolusioner.

Tidak dapat disangkal bahwa dominasi Barat beserta perubahanperubahan sosial

yang mengikutinya telah menciptakan kondisi-kondisi yang memungkinkan rakyat untuk

cenderung melakukan pergolakan sosial. Dominasi ekonomi, politik, dan kultural yang

terjadi pada masa kolonial telah mengakibatkan timbulnya disorganisasi di kalangan

masyarakat tradisional beserta lembaga-lembaganya. Dengan dimasukkannya sistem

ekonomi uang, beban rakyat menjadi bertambah berat. Sistem ekonomi uang ini telah
2

memungkinkan pelaksanaan sistem perpajakan, peningkatan perdagangan hasil bumi,

timbulnya buruh upahan, masalah kepemilikan, dan penggarapan tanah. Dengan adanya

subordinasi ekonomi itu, pengerahan tenaga dan kondisi kerja menjadi tergantung pada

pihak penguasa kolonial. Selain itu, dengan adanya perkembangan perdagangan dan

industri pertanian timbul deferensiasi struktural di dalam masyarakat Indonesia sehingga

timbul pula peran-peran tradisional. Dalam bidang politik timbul banyak penetrasi sistem

administrasi yang bersifat legal rasional yang dibawa oleh pemerintah kolonial.

Sementara itu, lembagalembaga politik tradisional semakin terdesak. Demikian pula

penguasapenguasa tradisional merosot kedudukannya menjadi alat birokratis yang

sepenuhnya ditempatkan di bawah pengawasan kekuasaan kolonial, yaitu sebagai akibat

timbulnya proses birokratisasi menurut nilai dan ukuran Barat. Timbulnya ide baru

mengenai kehidupan sosial membuat bangunan tradisional tersebut semakin diperlemah.

Dengan adanya perubahanperubahan itu, golongan-golongan sosial ditempatkan di luar

kerangka sosial dan merongrong kekuatan norma-norma tradisional sebagai pedoman

hidup. Dalam situasi yang demikian itu timbul kecenderungan masyarakat untuk mencari

pegangan-pegangan lama, antara lain dengan menghidupkan kembali nilai-nilai

tradisional.

Dalam menghadapi pengaruh penetrasi budaya Barat yang memiliki kekuatan

desintegratif, masyarakat Indonesia mempunyai cara-cara untuk membuat reaksi sendiri.

Karena di dalam sistem kolonial tida'k terdapat lembaga-lembaga untuk menyalurkan

perasaan tidak puas atau kekuatan oposisional, jalan yang akan ditempuh adalah dengan

mengadakan gerakan sosial sebagai protes sosial. Dalam perwujudannya, gerakan protes

sosial itu sering kali diperkuat oleh perasaan keagamaan dan menjadi gerakan sosial

politik. Kekuatan-kekuatan yang timbul dari kepercayaan agama yang berakar dalam

tradisi rakyat untuk melawan ekspansi kolonial adalah sangat membahayakan. Dalam
3

situasi yang demikian itu timbul harapan akan kedatangan seorang mesias atau ratu adil

yang diharapkan dapat memberikan pertolongan kepada mereka. Konsepsi kehadiran ratu

adil itu antara lain berisi harapan akan kembalinya susunan masyarakat lama atau

datangnya zaman keemasan, yang biasanya hal itu membuat gerakan protes menjadi

sangat radikal serta revolusioner sifatnya. Dengan demikian, protes sosial yang

mengambil jalan kekerasan yaitu dengan melancarkan pemberontakan secara aktif dapat

dibenarkan oleh tradisi mesianistis.

Gerakan-gerakan rakyat itu umumnya dianggap sebagai gerakan yang bersifat

arkais karena organisasinya, programnya, serta strategi dan taktiknya masih terlalu

sederhana apabila dibandingkan dengan gerakan sosial modern seperti yang dilancarkan

oleh komunisme dan fasisme. Oleh sebab itu, pemberontakan-pemberontakan yang

dilakukannya mudah sekali ditindas oleh kekuatan militer kolonial. Pada umumnya

gerakan-gerakan semacam itu sangat pendek umurnya atau abortif, dan merupakan

pergolakan lokal atau regional yang tidak ada koordinasi satu sama lain. Dalam

peristilahan kolonial, peristiwa-peristiwa munculnya aksi gerakan sosial itu sering

digolongkan dengan sebutan-sebutan sebagai gangguan ketenteraman, huru-hara,

kerusuhan, atau gerakan rohani.

Pergolakan-pergolakan itu tidak semuanya termasuk kategori dari peristiwa perang-

perang besar, seperti Perang Diponegoro, Perang Padri, maupun Perang Aceh. Selain

sifatnya yang tradisional arkais, gerakan sosial juga memiliki orientasi tujuan yang masih

kabur, pengikut atau pelaku-pelakunya tidak mempunyai gambaran yang jelas tentang

tata masyarakat dan tata pemerintahan yang akan direalisasikan andaikata perjuangan itu

dapat mencapai kemenangan. Sifat yang tradisional arkais juga tercermin, antara lain

bahwa gerakan tersebut sering kali tidak dapat dipisahkan dari segisegi religio magis.

Dalam lingkungan sosio kultural pada masa itu, loyalitas dan sentimen pokok tidak ada
4

kecuali sentimen keagamaan sehingga agitasiagitasi atau reaksi yang dilancarkan

terhadap tantangan Barat pada hakikatnya adalah bersifat keagamaan.

Dapat ditunjukkan bahwa selama periode abad ke-19 dan ke-20 hampir setiap

daerah mengenal masa-masa pergolakan yang tercermin dalam bentuk gerakan-gerakan

sosial dengan segala perkembangannya. Diantara gerakan-gerakan yang muncul salah

satunya adalah Gerakan Ratu Adil. Gerakan ini adalah jenis gerakan melawan keadaan

atau peraturan yang tidak adil. Dalam hal ini ideologi yang pokok yang mendorong

timbulnya gerakan ini adalah adanya rasa dendam terhadap kondisi sosial ekonomi yang

kurang memberi tempat yang bebas bagi kehidupan para pendukungnya.

Uraian di atas dapat memberikan gambaran tentang cirri-ciri penting dari gerakan

sosial dan juga tentang pola-pola kepemimpinan ideologi serta bentuk-bentuk

organisasinya. Untuk melaksakukan penelitian terhadap Gerakan Sosial terutama

Gerakan Ratua Adil maka rumusan judul penelitiannya yakni Sejarah Perkembangan

Gerakan Ratu Adil Tahun1903 – 1923; (Realitas Sejarah Dari Gerakan Sosial Pada Masa

Kolonial Belanda)

B. Rumusan Masalah

Agar dekonstruksi hasil penelitian menjadi jelas dan terarah maka perlu di

kemukakan rumusan masalah sebagai kerangka acuan. Adapun rumusan permasalahan

penelitian ini adalah;

1. Bagaimanakah awal lahirnya gerakan Ratu Adil di Jawa ?.

2. Bagaimana perkembangan Gerakan Ratu Adil di Jawa ?

C. Pembatasan Masalah

Agar dapat diperoleh gambaran yang jelas dalam membahas permasalahan yang

diajukan maka perlu diberi pembatasan baik ruang Lingkup waktu maupun
5

permasalahan. Lingkup waktu dimulai sejak tahun 1903-1923. Lingkup permasalahannya

adalah perkembangan Gerakan Ratu Adil. Lingkup peristiwa lahirnya Gerakan Ratu Adil

di Jawa ini menjadi fenomena Historis dari Gerakan Sosial yang muncul pada masa

pemerintah kolonial Belanda.

D. Tujuan Penelitian
Berdasarkan judul yang kami rumuskan maka tujuan yang akan dicapai oleh penulis

sebagai berikut :

1. Dalam rangka melengkapi salah satu syarat untuk menyelesaikan studi di STKIP

Kieraha-Ternate.

2. Dalam rangka mengungkap kembali peristiwa lahirnya gerakan Ratu Adil di

wilayah Jawa tahun 1903-1923.

3. Dalam usaha untuk mengungkap secara mendetail proses lahirnya gerakan Ratu

Adil.

E. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Bagi para pembaca.

a. Diharapkan memperoleh suatu gambaran mengenai proses sejarah lahirnya Gerakan

Ratu Adil di Jawa tahun 1903-1923.

b. Dapat mengambil kesimpulan tentang proses sejarah lahirnya Gerakan Ratu Adil di

Jawa tahun 1903-1923.

2. Bagi penulis.

a. Untuk mengukur kemampuan penulis dalam meneliti dan merekonstruksikan

peristiwa masa lampau dengan mencari kebenaran historis dalam bentuk

penulisan.

b. Sebagai suatu wujud nyata dan tanggung jawab penulis sebagai mahasiswa
6

sejarah dan menjadi sejarahwan pendidikan.

F. Sistimatika Penulisan

Dalam proses penulisanya menggunakan sistimatika sebagai berikut:

Bab I. Pendahuluan terdiri dari

A. Latar Belakang

B. Rumusan Masalah

C. Pembatasan Masalah

D. Tujuan Penelitian

E. Manfaat Penelitian

F. Sistematika Penulisa

Bab II. Tinjauan Pustaka yang terdiri dari;

A. Penjelasan Istilah

B. Kerangka Teori

C. Kerangka Berpikir

Bab. III. Metode Penelitian yang terdiri dari;

A. Lokasi Penelitian

B. Jenis Penelitian

C. Teknik Pengumpulan Data

D. Teknik Analisa Data

E. Teknik Penulisan

Bab. IV. Pembahasan Hasil Temuan.

Bab V. Penutup yang meliputi;

A. Kesimpulan

B. Saran

Daftar Pustaka

Glosarium

Lampiran-Lampiran.
7

BAB II
KAJIAN PUSTAKA

A. Pengertian Istilah

Dekonstruksi Historis terhadap suatu peristiwa sejarah sangat diperlukan demi

memahami suatu alur peristiwa sejarah secara utuh dan menyeluruh, karena darinya akan

dijadikan suatu patokan atau landasan pijakan bagi perkembangan kearah masa depan.

Dalam proses dekonstruksi peristiwa sejarah, jika dilakukan berdasarkan kerangka

penelitian ilmiah maka konsep penjelasan makna atas judul merupakan sesuatu yang

sangat penting, hal dimaksudkan agar tidak terjadi adanya intepretasi yang keliru

terhadap judul dari suatu dekonstruksi atas peristiwa historis.

Sejarah Lahirnya Gerakan Ratu Adil di Jawa tahun 1903-1923 (Realitas Sejarah

Dari Gerakan Sosial Pada Masa Kolonial Belanda), demikian rumusan judul untuk

dekonstruksi historis, konsep generative grammar atas makna dari judul ini adalah suatu

peristiwa sosial yang lahir ditengah-tengah masyarakat Jawa yang secara religius

meyakini adanya mesianis yang menyelamatkan mereka dari kesengsaraan atau akan

hadirnya seorang ratu adil sebagai juru selamat ditengah-tengah mereka. Peristiwa ini

terjadi dalam masa kekuasaan kolonial Belanda dan pengaruhnya cukup luas dikalangan

masyarakat Jawa.

B. Kerangka Teori
Dari konteks masalah penelitian, nyata bahwa penelitian ini merupakan suatu

penelitian gerakan sosial yang terjadi pada masa kolonialisme Belanda. Karena

penelitian ini merupakan suatau penelitian gerakan sosial maka untuk menopangnya

haruslah dibutuhkan teori-teori gerakan sosial atau kerangka pemikiran teoritis dari

gerakan sosial. Mengenai teori yang mendukung penelitian ini dapat dikemukakan dalam

ulasan dan kerangkan pemikiran teoritis gerakan sosial dibawah ini;


8

Peter Eisinger di dalam artikelnya di American Political Science Review menjadi

akademisi pertama yang inempergunakan mekanisme POS dalam menjelaskan kasus-

kasus gerakan sosial, revolusi dan nasionalisme. 3 Eisinger mengadopsi pandangan

Tocqueville yang mengatakan bahwa revolusi terjadi tidak ketika kelompok masyarakat

tertentu dalam kondisi tertekan. Tetapi, aksi kolektif berupa revolusi muncul ke

permukaan ketika sebuah sistem politik dan ekonomi tertutup mengalami keterbukaan.

Karya luar biasa Eisinger ini dibuat berdasarkan data dan informasi, serangkaian protes

masyarakat Amerika di wilayah perkotaan yang dikumpulkan untuk melihat peran

kelembagaan politik mendorong rnunculnya aksi-aksi kolektif. Apakah ketika

kelembagaan tersebut tertutup aksi-aksi kolektif relatif berkurang secara kuantitas atau

mengalami peningkatan ketika kelembagaan politik mengalami keterbukaan.

Akademisi lain, seperti McAdam (1982) dan Tarrow (1989) menjabarkan

mekanisme POS secara lebih spesifik. Mereka mengembangkan dan mengidentifikasi

variabelvariabel lainnya, di samping variabel yang telah dikemukakan oleh Eisinger,

tentang bagaimana sebuah gerakan sosial muncul mempergunakan mekanisme POS.

Berkaitan dengan variabel-variabel tersebut, pertama, sejalan dengan pemikiran Eisinger,

gerakan sosial muncul ketika tingkat akses terhadap lembaga-lembaga politik mengalami

keterbukaan. Kedua, ketika keseimbangan politik sedang tercerai berai sedangkan

keseimbangan politik baru belum terbentuk. Ketiga, ketika para elite politik mengalami

konflik besar dan konflik ini dipergunakan oleh para pelaku perubahan sebagai kesem pa

tan. Keempat, ketika para pelaku perubahan digandeng oleh para elite yang berada di

dalam sistem untuk melakukan perubahan.

Variabel-variabel di atas dibuat berdasarkan kasuskasus tertentu. Untuk tingkat

tertentu, semua variabel POS tersebut bisa dipergunakan dalam menjelaskan sebuah

gerakan sosial, akan tetapi pada praktiknya sering kali terlalu problematik dan dipaksakan

bila kesemua variabelvariabel tersebut dipergunakan dalam menguji gerakan sosial.

Gerakan demokratisasi di Eropa Timur, sebagai contoh, dapat dijelaskan dengan


9

mempergunakan tiga variabel POS, yaitu, terbukanya akses kelembagaan politik melalui

para pelaku perubahan yang berada di partai-partai politik, perpecahan di dalam tubuh

elite politik dan perpecahan di dalam koalisi gerakan etnik. Contoh lain adalah gerakan

hak asasi manusia di Amerika dipelopori oleh kaum kulit hitam, berkembang karena

dipengaruhi oleh terbukanya akses memilih bagi kaum kulit hitam.

Sydney Tarrow, karenanya, menekankan sekali lagi bahwa bentuk-bentuk

ketegangan politik mengalami peningkatan ketika para pelaku perubahan mendapatkan

dukungan sumber daya eksternal untuk keluar dari masalah atau mencapai tujuan yang

mereka inginkan. Political Opportunity Structure selalu berhubungan dengan sumber

daya eksternal. Sumber daya ini dipergunakan oleh pelaku perubahan melalui terbukanya

akses kepada kelembagaan politik dan perpecahan di tubuh para elite politik?

Mempertajam analisis Tarrow, Hanspeter Kriesi berpendapat bahwa variabel-

variabel yang dijelaskan oleh Tarrow memiliki sejumlah kelemahan. Kelemahan utama-

nya, Tarrow hanya menyediakan penjelasan umum mekanisme POS seperti struktur

kelembagaan sebuah sistem politik dan konfigurasi kekuasaan di antara para aktor di

dalam sistem politik tersebut. Kriesi, karenanya, mengajukan sejumlah klarifikasi

sekaligus mencoba menspesifikasi lebih dalam gagasan POS dalam kerangka sebuah

konsep yang selalu mengalami perkembangan. Ada dua hal penting yang Kriesi ingin

jelaskan berkaitan dengan POS. Pertama, POS bukanlah sebuah konsep kaku dan

konstan. POS mungkin mengalami perubahan sepanjang masa sebagai hasil kontrol para

elite baru di dalam sistem atau tercapainya konsolidasi elite lama dengan berbagai

modifikasi baru. Sehingga, Kriesi menekankan pentingnya mempertimbangkan faktor-

faktor struktur kelembagaan formal, informal dan strategi yang dipergunakan oleh para

pelaku perubahan.

Sejalan dengan Kriesi, Brockett mengajukan isu serupa berkaitan dengan

konsep POS. Brockett menekankan beberapa aspek, yang berbeda dengan Kriesi

dan Tarrow. Mereka adalah, misalnya, arti akses kelembagaan di mata para pelaku
10

perubahan, kehadiran sekutu, fragmentasi elite dan tingkat konflik yang

mempergunakan cara-cara represif. Sedangkan Rucht menambahkan bahwa

pentingnya mempertimbangkan beberapa aspek berikut ini, seperti, akses terhadap

partai politik, kapasitas pemerintah dalam mengimplementasikan kebijakan, dan

struktur aliansi.

Walaupun konsep POS terbukti mampu menjelaskan gerakan sosial, konsep

ini tidak luput dari kritik. Konsep POS, misalnya, tidak mampu mengakomodasi

dinamika ketegangan politik itu sendiri. Dengan kata lain, terbukanya kesempatan

politik dilihat sebagai sesuatu yang statis sedangkan di sejumlah kasus kita

menyaksikan adanya pergeseran setiap saat kesempatan politik. Gerakan

demokratisasi di Indonesia, sebagai contoh, mendapatkan keuntungan di awal-awal

jatuhnya rezim Soeharto tetapi setelah lima tahun reformasi, kita menyaksikan

kesempatan politik mulai tertutup kembali.

Struktur Mobilisasi

Mekanisme struktur mobilisasi menjadi populer sekaligus sebagai mekanisme

alternatif dalam menjelaskan gerakan sosial di kalangan akademisi, tidak bisa dilepaskan

dari sejumlah penelitian yang berkaitan dengan aksi-aksi kolektif. Dari hasil studi

menunjukkan bahwa tidak semua gerakan sosial dapat dijelaskan dengan

mempergunakan mekanisme POS. Sejumlah akademisi gerakan sosial seperti, McAdam,

McCarthy dan Zald berpendapat bahwa sebuah sistem politik yang terlembaga

merangsang terbentuknya prospek membangun aksi-aksi kolektif dan pilihan bentuk

gerakan. Mereka mendefinisikan struktur mobilisasi sebagai kendaraan kolektif baik

formal dan juga informal. Melalui kendaraan ini, masyarakat memobilisasi dan berbaur

dalam aksi bersama . Konsep ini berkonsentrasi kepada jaringan informal, organisasi

gerakan sosial dan kelompok-kelompok di tingkatan meso.

Di dalam tulisannya mengenai struktur mobilisasi, McCarthy menjelaskan secara

mendalam apa yang dimaksud dengan struktur mobilisasi. McCarthy mengungkapkan


11

bahwa struktur mobilisasi adalah sejumlah cara kelompok gerakan sosial melebur dalam

aksi kolektif, termasuk di dalamnya taktik gerakan dan bentuk organisasi gerakan sosial.

Struktur mobilisasi juga memasukkan serangkaian posisi-posisi sosial dalam kehidupan

sehari-hari dalam struktur mobilisasi mikro. Tujuannya adalah mencari lokasi-lokasi di

dalam masyarakat untuk dapat dimobilisasi. Dalam konteks ini, unit-unit keluarga,

jaringan pertemanan, asosiasi tenaga sukarela, unit-unit tempat bekerja dan elemen-

elemen negara itu sendiri menjadi lokasi-lokasi sosial bagi struktur mobilisasi mikro.

Dengan mempergunakan definisi kerja di atas, McCarthy berpendapat bahwa kita

sebenarnya dapat menelusuri karakteristik sejarah gerakan sosial. Berdasarkan definisi

McCarthy, kita juga mampu menentukan dua kategori yang membuat struktur mobilisasi,

yaitu, struktur formal dan informal.

Gould, sebagai contoh, berpendapat bahwa untuk memahami mobilisasi komune

Paris pada 1871, kita harus mempertimbangkan peranan jaringan struktur mobilisasi

informal. Snow dan Eklund-Oslond mendukung gagasan tersebut. Mobilisasi terjadi

karena organisasi informal seperti jaringan kekerabatan dan persaudaraan menjadi dasar

bagi rekruitmen gerakan. Lebih jauh, seperti McCarthy dan Wolfson menunjukkan

bahawa struktur informal menjadi kontributor penting munculnya gerakangerakan loka1.

Konsep struktur informal, kemudian, berkembang menjadi lebih luas ketika

dihubungkan dengan mobilisasi gerakan. Woliver, sebagai contoh, menekankan

pentingnya faktor ingatan komunitas. Sedangkan Gamson dan Schmeidler

mengidentifikasi beberapa faktor jaringan struktur informal seperti, perbedaan dalam sub-

kultur dan infrastruktur protes. McAdam menambahkan, dengan mempergunakan

mekanisme mobilisasi mikro, dia ingin menyatakan bahwa hubungan formal dan

informal di antara masyarakat dapat menjadi sumber solidaritas dan memfasilitasi

struktur komunikasi ketika mereka memilih perbedaan dari kebijaksanaan pemerintah,

sebagai contoh, secara bersama-sama. Infrastruktur sosial ini dipercaya secara luas

memainkan peranan penting terciptanya gerakan sosial. Tetapi, seperti McCarthy


12

mencatat, pelaku perubahan dan para akademisi gerakan sgsiaLyangArternpergunakan

struktur informal sebagai pisau analisis, belumlah mampu memetakan struktur informal

secara mendalam.

Dengan kata lain, kelompok-kelompok organisasi formal juga memainkan peranan

penting dalam membentuk struktur mobilisasi. Akademisi mengategorikan mereka

sebagai organisasi gerakan sosial. Akan tetapi, seperti halnya struktur informal, struktur

formal juga memiliki bentuk kelembagaan yang beragam. Lofland memfokuskan kepada

kelompok akar rumput yang mandiri. Dia menekankan kelompok akar rumput adalah

jenis bentuk struktur lokal di masyarakat lapisan bawah. Berkaitan dengan jenis

organisasi ini, Rucht menambahkan model organisasi for mal akar rurnput mampu

menjadi pelaku protes politik yang radikal dan memiliki komitrnen tinggi terhadap

gerakan.

Proses Framing

Mekanisme proses framing dipergunakan juga oleh para akademisi gerakan sosial

dalam studi gerakan sosial. Walaupun konsep ini tidak berkembang secepat struktur

kesempatan politik dan struktur mobilisasi, belakangan ini para akademisi semakin

mengakui pentingnya proses framing dalam memahami sukses dan gagalnya sebuah

gerakan sosial.

Snow dan Banford mencatat, suksesnya gerakan sosial terletak pada sampai sejauh

mana mereka memenangkan pertempuran atas arti. Hal ini berkaitan dengan upaya para

pelaku perubahan memengaruhi makna dalam kebijaksanaan publik. Oleh karena itu,

pelaku perubahan memiliki tugas penting mencapai perjuangannya melalui membuat

framing masalah-masalah sosial dan ketidakadilan. Ini sebuah cara untuk meyakinkan

kelompok sasaran yang beragam dan luas sehingga mereka terdorong mendesakkan

sebuah perubahan. Snow dan Benford, lebih lanjut, menekankan dua komponen penting

dalam memframing gerakan, yaitu, diagnosis elemen atau mendefinisikan masalah dan
13

sumbernya dan prediksi elemen sekaligus mengidentifikasi strategi yang tepat untuk

memperjuangkan masalah tersebut.

Zald, lebih lanjut, mengidentifikasi beberapa topik penting yang tidak hanya

berhubungan dengan proses framing tetapi juga memainkan peranan penting dalam

membentukframing. Dengan kata lain, topik-topik ini menjadi sumber dasarframing.

Topik pertama adalah kontradiksi budaya dan alur sejarah. Dia berpendapat bahwa

kesempatan politik dan mobilisasi, sering kali tercipta melalui ketegangan budaya dan

kontradiksi yang telah berlangsung lama muncul menjadi bahan proses framing seperti,

keluhan dan

ketidakadilan, sehingga aksi kolektif menjadi mungkin. Kontradiksi budaya juga

menjadi penyebab mobilisasi ketika dua atau lebih tema-tema budaya yang

memiliki potensi kontradiksi dlbawa ke dalam kontradiksi aktif melalui kekuatan

aksi kolektif.

Aktor-aktor yang berbeda baik di dalam maupun di luar sebuah gerakan, dalam

konteks beragamnya kelompok sasaran, adalah faktor melebarnya framing. Oleh karena

itu, Zald menyatakan bahwa topik kedua proses framing sebagai sebuah aktivitas strategi.

Keretakan dan kontradiksi budaya menyediakan konteks dan sekaligus kesempatan bagi

kader-kader gerakan, yaitu, pemimpin, partisipan inti, aktivis dan simpatisan. Akan

tetapi, ada sebuah proses aktif framing dan pendefinisian ideologi, simbol, peristiwa-

peristiwa yang mampu menjadi ikon oleh para pengusaha moral. Para pengusaha moral

ini bisa dari kalangan aktivis maupun dari kalangan di luar aktivis. Kalangan wartawan,

masyarakat, asosiasi pemimpin, politisi, dan penulis juga berkontribusi menentukan

pilihan strategi framing dalam gerakan sosial.

Snow dan akademisi gerakan sosial lainnya menambahkan bahwa proses framing

membuat orang mampu memformulasikan sekumpulan konsep untuk berpikir dengan

menyediakan skema interpretasi terhadap masalah-masalah di dunia. Skema ini bisa

melalui menyalahkan atau menyarankan garis aksi. Lebih jauh, gerakan dalam skala besar
14

bisa menciptakan framing tunggal dengan cakupan luas, yang sangat mungkin

diartikulasi oleh gerakan sosial berikutnya.

Untuk mencapai sebuah kelompok sasaran, aktor gerakan membutuhkan alat dalam

menjalankan framing, yaitu, media. Karenanya, debat mengenai proses framing juga

memasukkan media sebagai sebuah topik penting. Seperti Zald berpendapat bahwa

pengkontesan framing terjadi dalam interaksi berhadap-hadapan dan melalui beragam

media cetak dan elektronik, buku, pamflet. Aktivis gerakan sosial mempergunakan

warung kopi, cafe dan ruang-ruang pertemuan sebagai media berdebat untuk men-

sosialisasikan isu sehingga kelompok masyarakat berkeinginan untuk terlibat dalam

gerakan sosial tersebut.

Kita mengetahui bahwa media sering kali memiliki agendanya sendiri. Media yang

mengadopsi isu lingkungan akan berbeda dari media yang tidak memiliki ketika mereka

menurunkan laporan tentang bencana lingkungan. Karenanya, framing isu di dalam

media menjadi bagian penting di dalam proses keseluruhan proses framing tidak hanya

karena media memiliki agenda mereka sendiri tetapi juga karena setiap orang memiliki

interpretasi berbeda dalam sesuatu hal.

McCarthy dan Zald memiliki gagasan serupa mengenai framing dalam media.

Mereka menekankan bahwa media adalah target utama bagi upaya proses framing dalam

gerakan sosial. Akan tetapi, media tidaklah satu-satunya. Upayaupaya langsung

memengaruhi pemerintah, pemilihan umum dan agenda publik juga bagian utama

gerakan sosial. Gerakan sosial melebur dalam taktik yang langsung atau tidak langsung

menargetkan persepsi dan perilaku kelompok sasaran dengan mengomunikasikan framing

gerakan. Agen-agen gerakan berupaya membawa isu mereka ke dalam kelompok sasaran

yang beragam, seperti media, partai politik, pejabat parlemen dan pemerintah.

Walaupun mekanisme proses framing telah berkembang secara luas dan memiliki

prospek cerah dalam menjawab gerakan sosial ke depan, sejumlah kritik ditujukan ke

konsep tersebut. Berkaitan dengan itu, Snow mengungkapkan paling tidak ada dua
15

masalah besar yang mempergunakan konsep proses framing. Pertama, kajian tentang

proses framing tidak memiliki aplikasi empirik secara mendalam sehingga ini menjadi

rujukan dalam memahami gerakan sosial lainnya. Kedua, mekanisme proses framing

memiliki bias dalam menjelaskan gerakan sosial.

Repertoire

Para akademisi gerakan sosial juga mempergunakan repertoire of contention

atau pilihan bentuk taktik dan strategi aksi dalam menjelaskan aksi bersama dan

bentuk protes lainnya. Charles Tilly adalah perintis pertama yang mempergunakan

mekanisme tersebut pada 1970-an. Tilly menerapkan mekanisme repertoire ketika

dia menganalisis ketegangan-ketegangan politik di Inggris Raya pada 1758-1834

dan sejumlah kasus lainnya seperti ketegangan politik di Burgundy pada 1977 dan

di Prancis pada 1986. Walaupun di antara mekanisme lainnya, mekanisme

repertoire paling jarang dipergunakan oleh akademisi gerakan sosial dalam

menjelaskan fenomena aksi-aksi protes, Tilly mengidentifikasi sejumlah akademisi

studi gerakan sosial seperti Sydney Tarrow, Mark Beissinger dan Marco Giugni

turut juga mengembangkan gagasan repertoire. Tarrow, sebagai contoh,

mempergunakan gagasan tersebut ketika dia menganalisis lingkaran protes di Italia

pascaperang. Beissinger menganalisis konflik etnik di Uni Soviet sebelum dan

setelah perpecahan dan Giugni menganalisis gerakan sosial baru di Eropa.

Dengan mempergunakan mekanisme repertoire, Tilly berupaya menjelaskan

mengapa perubahan bentuk aksi yang diterapkan oleh para pelaku perubahan di

Inggris Raya, terjadi. Berdasarkan penelitiannya, Tilly membangun sebuah definisi

kerja apa yang dia maksud dengan repertoire. Kata repertoire merujuk kepada

serangkaian rutinitas terbatas yang dipelajari, dibagi dan diejawantahkan melalui

proses pilihan yang membebaskan. Repertoire adalah sebuah penciptaan budaya

melalui proses pembelajaran. Mereka bukanlah sekumpulan kata filosofis yang

abstrak atau berasal dari propaganda politik. Repertoire muncul dari perjuangan.
16

Orang-orang belajar, sebagai contoh, menghancurkan jendela-jendela di dalam

protes, menyerang tempattempat penjara, menghancurkan rumah-rumah para

bangsawan, demonstrasi di jalanan, mengeluarkan petisi, pertemuan formal dan

mengorganisasi pertemuan-pertemuan asosiasi Ichusus. Tilly, lebih lanjut,

menjelaskan bahwa repertoire adalah sekumpulan alat yang dapat dipergunakan

oleh sekelompok masyarakat dalam mencapai keinginan mereka. Tarrow,

karenanya, mengategorisasi konsep repertoire yang digagas oleh Tilly dikategorisasi

sebagai repertoire umum karena mengakomodasi semua alat repertoire yang dapat

di pergunakan oleh masyarakat.

Tilly menekankan bahwa repertoire didedikasi sebagai alat interaksi di antara

sekelompok masyarakat dalam jumlah besar bukan di antara individu. Sebagai

contoh sederhana bagaimana konsep ini berjalan, ada baiknya kita menyimak

ilustrasi berikut ini. Satu aktor mewakili sekelompok pekerja melakukan klaim

bersama kepada aktor lain yaitu pimpinan para pekerja yang menjadi objek klaim

bersama para pekerja. Klaim tersebut masuk ke dalam proses penuntutan,

meningkat sampai menjadi persoalan kompleks politik nasional.

Tilly juga menjelaskan bagaimana proses bentuk repertoire baru terjadi. Dia

menjelaskan bahwa munculnya bentuk repertoire baru hasil dari inovasi gagasan

dan proses tawarmenawar di antara pekerja, pemilik modal dan negara mengenai

batas antara bentuk-bentuk aktivitas aksi yang dapat dan tidak diterima. Para

penantang akan selalu menginovasi cara-cara lama daripada tidak

mempergunakannya sama sekali.

Bentuk aksi ini bersama dengan pemilihan umum telah menjadi begitu

populer di Eropa Barat dan Amerika Utara pada 1780 dan 1850, telah mengalami

proses perubahan panjang. Setiap tempat memiliki sejarahnya masing-masing. Di

Prancis, sebagai contoh, awalnya demonstrasi muncul sebagai kegiatan rutin dan

tidak memiliki daya tekan politik selama masa Kerajaan pada 1830-1848, kemudian
17

menjadi bentuk aksi utama selama masa republik kedua pada 1985- 1951. Di

Inggris Raya, demonstrasi sebagai pilihan bentuk aksi lebih tua dibandingkan

dengan Francis. Bentuk aksi ini terjadi melalui proses uji coba, tawar menawar dan

standardisasi yang dibentuk oleh para demonstran dan penguasa.

Proses perkembangan mekanisme repertoire dapat ditelusuri pada awal 1977,

ketika Tilly menganalisis bentukbentuk aksi bersama. Tilly menerapkan tiga tema,

yaitu, kompetisi di dalam sebuah sistem yang dikembangkan, reaktif membela hak-

hak yang terancam dan proaktif menuntut hak-hak yang belum dinikmati. Dia

menamakan konsep tersebut sebagai bentuk-bentuk taksonomi. Kemudian, dia

menyadari bahwa di beberapa kasus, ketiga kategorisasi tersebut termasuk di

dalam sebuah aksi. Oleh karena itu, di dalam karyanya Getting it Together in Bur-

gundy dia mengajukan konsep repertoire sebagai koreksi.

Menurut Tilly, ada beberapa bagian yang butuh dikerjakan dalam

memformulasi bentuk baru repertoire. Misalnya, membantu mengodifikasi

pengetahuan sosial dan sejarah yang ada berkaitan dengan bentuk-bentuk aksi

kolektif populer, menggeneralisasi pertanyaan-pertanyaan mengapa bentuk aksi

tersebut berubah atau bervariasi, mengajukan hipotesis mengenai kendala-kendala

pilihan bentuk aksi yang ada berkaitan dengan kemandiriannya atas identitas dan

kepentingan dari partisipan melalui aksi-aksi bersama.

Walaupun demikian, Tilly sendiri mengakui bahwa mekanisme repertoire

memiliki kemungkinan berkembang sekaligus juga memiliki sejumlah kelemahan.

Dia mengidentifikasi, seperti, gagasan tersebut sering kali keliru, tumpang tindih

dengan mekanisme lainnya dan tidak satu pun mendemonstrasikan kegunaannya

dengan jelas dan konkret.

Sumber-Sumber Intelektual

Pada periode yang sama, akademisi gerakan sosial mencoba menjelaskan

gerakan sosial dengan mempergunakan beberapa sumber intelektual. Gagasan ini


18

berkembang menjadi alternatif menjelaskan aksi-aksi kolektif karena para

akademisi studi gerakan sosial berpendapat bahwa mekanisme-mekanisme yang

telah dijelaskan di atas tidaklah cukup memadai. Oleh karena itu, mereka

menawarkan sumber-sumber, intelektual sebagai alternatif.

Pendekatan Struktural adalah konsep pertama yang relatif sering

dipergunakan oleh para akademisi studi gerakan sosial dalam menjelaskan

fenomena gerakan sosial. Konsep ini sangat populer di antara akademisi ilmu

pengetahuan sosial, bukan karena kata struktural menjadi kata penting dalam

perbendaharaan kata dalam ilmu pengetahuan sosial sekarang ini, tetapi karena

istilah struktural telah berkembang menjadi eponymous school seperti fungsional-

isme struktural, strukturalisme dan pasca-strukturalisme.

Pertanyaan pusatnya adalah apa itu struktur dan mengapa konsep ini

dipergunakan untuk menjelaskan aksiaksi kolektif. Menurut Giddens, struktur

adalah aturan dan sumber daya, dibentuk di dalam reproduksi sistem sosial.

Struktur ada hanya sebagai penelusuran memori, dasar organik pengetahuan

manusia dan diejawantahkan di dalam aksi.

Definisi Giddens, akan tetapi, tidak mampu memberikan mekanisme struktur

sebuah penjelasan aksi kolektif. Istilah struktur, karenanya, merujuk kepada

pekerjaan Marx, yang memformulasikan konsep kelas. Di dalam konsep ini,

Sorensen menjelaskan bahwa tujuan asal gagasan konsep kelas Marx adalah

menjelaskan ketidakseimbangan, gerakan sosial, konflik sosial dan proses politik

membangun sebuah teori sejarah. Mekanisme yang memproduksi kekuatan

penjelasan ini adalah eksploitasi kelas pekerja oleh para pemilik modal yang

menciptakan kepentingan yang saling bertentangan.

Tema sentral konsep ini adalah eksploitasi berkaitan dengan bagaimana satu

kelompok mendapatkan keuntungan dan kelompok lainnya tidak mendapatkan

apa-apa dari proses produksi. Karenanya, ini menciptakan ketidakseimbangan di


19

masyarakat, kemudian membentuk struktur kelas di masyarakat. Distribusi

keuntungan yang tidak seimbang oleh para pemilik modal menyebabkan

pertentangan laten. Kondisi tersebut menciptakan kesadaran kelas dan pada titik

tertentu, kesadaran kelas menghasilkan konflik kelas. Marx percaya inilah satu-

satunya cara para buruh mengubah struktur kelas. Sorensen, lebih jauh,

menjelaskan bahwa eksploitasi sebagai penyebab keuntungan dan ketidakuntungan

di antara kelas-kelas di masyarakat, adalah sebuah teori ketidakseimbangan.

J. Craig Jenkins, sebagai contoh, mendemonstrasikan teori struktur

ketidakseimbangan mengikuti konsep Kelas Marx mengenai mengapa petani

memberontak. Jenkins menunjukkan bahwa keluhan petani adalah dasar

struktural konflik antara petani dan kelompok-kelompok pemilik modal. Pada

dasarnya, pemberontakan dibentuk melalui intensitas keluhan di kalangan petani.

Jenkins, lebih lanjut, menambahkan bahwa potensi mobilisasi dalam

mekanisme struktural di kalangan petani disebabkan oleh intensitas keluhan dan

perbedaan relasi kelas. Jenkins mengambil contoh petani Rusia di bawah rezim

Tzar. Jenkins mencatat petani diikat dengan tanah dan diwajibkan menyetor dua

atau tiga hari bekerja kepada para tuan tanah sebagai imbalan tanah yang

dipinjamkan kepada petani. Emansipasi terus-menerus berkembang kemudian

menggumpal menjadi pemberontakan pada 1905-1907.

Konsep ini, walaupun demikian, mendapatkan kritik baik dari dalam markas

struktural maupun di luar struktural sendiri. Mereka berpendapat bahwa

ketidakseimbangan dan keluhan yang diciptakan oleh para pemilik modal tidak

selalu menstimulasi aksi kolektif bila tidak ada mekanisme-mekanisme lain turut

bekerja. Salah satunya adalah organisasi revolusi dan seberapa besar peran

hegemoni negara dan aparatus represif memainkan peran penting untuk mencegah

konflik kelas terjadi, seperti diungkapkan oleh Lenin dan Gramsci. Tarrow, lebih

jauh, menambahkan bahwa mekanisme struktural tidak mampu menjabarkan


20

syarat-syarat politik di mana sumber daya yang terbatas dan pekerja tereksploitasi

mampu memobilisasi atas nama kepentingan mereka .

Rational choice theory adalah mekanisme kedua dari sumber-sumber

intelektual yang dipergunakan dalam menjelaskan gerakan sosial. Mekanisme

rational choice memiliki sejarah perkembangan relatif cukup panjang dan

dipergunakan oleh banyak disiplin ilmu, baik ilmu politik, sosiologi, ekonomi,

psikologi dan antropologi. Perintis teori ini dapat ditelusuri mulai dari Plato dan

Aristotle sampai dengan Hobbes dalam karyanya Leviathan, Hume dalam karyanya

A Treatise of Human Nature, Adam Smith dalam karyanya The Wealth of Nations,

Kant dalam karyanya Critigue of Pure Reason dan Oslo dalam karyanya The Logic

of Collective Action.

Di dalam memahami bagaimana mekanisme rational choice menjelaskan

mengapa sejumlah orang berpartisipasi di dalam aksi kolektif dan yang lain tidak,

Opp mengajukan dua versi konsep rational choice, yaitu, model rational choice

umum dan spesifik. Masing-masing model memiliki hipotesis dan implikasi dalam

menjelaskan aksi kolektif. Menurut Opp ada tiga hipotesis, berkaitan dengan model

rational choice umum. Hipotesa pertama adalah preference (pilihan utama) bahwa

preference adalah penentu aksi ketika aksi tersebut mampu memuaskan pilihan

mereka. Hipotesa kedua adalah kendala dan kesempatan mendorong individu-

individu terlibat dalam aksi kolektif dan hipotesis ketiga adalah maksimalisasi

kegunaan bahwa individu memilih aksi yang akan memberikan kegunaan lebih

besar atau kerugian lebih kecil kepada mereka.

Berdasarkan tiga hipotesis di atas, kita dapat mencatat bahwa individu-

individu memilih aksi seperti demonstrasi disebabkan oleh pilihan utama, motivasi

dan hasrat. Walaupun demikian, individu-individu akan mengabaikan pilihan

utama mereka bila ada kendala dan kesempatan yang akan memengaruhi hasil

akhir pilihan utama mereka. Individu-individu, lebih jauh, akan menghadapi


21

kendala ketika mereka ingin mendapatkan kepuasan lain. Di sisi lain, Opp

menunjukkan bahwa gagasan ini memiliki beberapa kelemahan. Sebagai contoh,

model rational choice umum tidak memiliki spesifikasi apa yang memengaruhi

pilihan utama individu-individu. Di samping itu, semua kendala dan kesempa tan

mungkin menjadi variabel penjelas. Kendala yang sering kali dipersepsikan oleh

individu bukanlah kendala sesungguhnya di lapangan, padahal ini penentu. Selain

itu, apakah pilihan utama yang menguntungkan dan kendala yang merugikan

adalah penjelasan yang harus diuji secara empiric.

Mekanisme rational choice khusus, memiliki empat preposisi yang

menjelaskan mengapa individu terlibat dalam aksi. Preposisi pertama mengatakan

bahwa perilaku di dalam situasi tertentu individu memilih, sangat tergantung

dengan persepsi individu terhadap alternatif-alternatif perilaku yang ada. Preposisi

kedua menjelaskan bahwa konsekuensi perilaku yang dibayangkan dalam sebuah

aksi, memengaruhi kinerja individu tersebut. Semakin positif mereka dinilai, maka

semakin mungkin aksi-aksi diikuti oleh individu-individu. Preposisi ketiga me-

ngatakan bahwa lebih pasti hasil perilaku yang diharapkan, maka keinginan

individu terlibat dalam aksi kolektif akan semakin kuat. Sedangkan preposisi

keempat mengatakan bahwa bila produk yang akan dihasilkan lebih besar dari

produk yang diharapkan oleh si individu, maka individu tersebut lebih mungkin

terlibat dalam gerakan sosial.

Konsep ini selalu berada dalam kritik. Fireman dan Gamson berpendapat

bahwa asumsi nilai guna lebih operasional ketika asumsi-asumsi relevan, nyata dan

bersifat individu padahal dalam gerakan ini tidak selalu terjadi. Bary juga

mencatat bahwa rational choice teori baik umum atau khusus tidak mampu

menyediakan data spesifik dan situasinya. Belum lagi, bagaimana menjelaskan free

riding di dalam aksi kolektif bahwa individu tidak akan berpartisipasi bila mereka

beranggapan mereka bisa mendapatkan keuntungan tanpa harus terlibat dalam


22

aksi kolektif.

Analisis budaya juga kerap dipergunakan oleh para akademisi studi gerakan

sosial dalam memahami aksi-aksi kolektif. Karena sebuah peristiwa gerakan

biasanya memiliki sejumlah elemen budaya penting seperti kebiasaan, kepercayaan,

nilai, simbol, dan ritual. Walaupun elemen di atas, terlalu kompleks untuk

dijadikan pijakan untuk membuat definisi kerja budaya di dalam gerakan sosial,

akan tetapi seperti Johnston dan Klandermans berpendapat bahwa kita bisa

mengadopsi definisi budaya Wuthnow bahwa budaya adalah aspek ekspresif

simbolik dari perilaku sosial.

Jenson, sebagai contoh, menganalisis peranan budaya dalam gerakan

Aborigin di Australia dan dia menemukan bahwa elemen-elemen budaya

memainkan peranan penting yang mengikat orang-orang Aborigin menggapai

kedaulatan mereka. Gerakan nasionalisme mempergunakan simbol budaya dapat

kita temukan juga di Quebec-Kanada. Fantasia dan Hirsch menemukan hal serupa

ketika mereka menganalisis gerakan revolusioner di Algeria. Mereka mencatat

budaya Islam tradisional memainkan peranan penting mendorong masyarakat

menentang Prancis. Contoh terkini, seperti Steve Fenton tulis dalam bukunya,

fenomena bekas negara-negara di Uni Soviet dan Yugoslavia membentuk negara

berdasarkan kesamaan latar belakang etnik.

Konsep ini memiliki sejumlah kesulitan ketika dipakai dalam menjelaskan

sebuah gerakan sosial. Kesulitan pertama, mekanisme ini tidak mempertimbangkan

mekanisme lain, seperti, struktur kesempatan politik, struktur mobilizing dan

proses framing. Oleh karena itu, konsep ini akan menjadi lebih operasional bila

juga mengakomodasi sejumlah mekanisme yang lain.

Contentious Politics

Secara keseluruhan, McAdam menyimpulkan bahwa mekanisme struktur

kesempatan politik, struktur mobilisasi, framing dan repertoire memiliki


23

keterbatasan dalam menguji contentious politics atau ketegangan politik. McAdam

mengidentifikasi empat kelemahan utama dari mekanisme di atas. Pertama,

mekanisme-mekanisme tersebut terlalu statis daripada dinamis. Kedua, mekanisme-

mekanisme tersebut lebih relevan menjelaskan gerakan sosial tunggal dengan

cakupan relatif kecil dan tidak cukup memadai untuk menjelaskan ketegangan

dengan cakupan yang besar dan luas. Ketiga, mekanisme-mekanisme tersebut

muncul dalam konteks politik yang relatif terbuka di Amerika, dengan organisasi

gerakan sosial yang relatif besar dan banyak secara quantitas dibandingkan dengan

di negara-negara selatan di mana secara kuantitas organisasi gerakan sosial lebih

kecil dan secara politik lebih tertutup. Keempat, mekanisme-mekanisme tersebut

lebih memfokuskan kepada asal-asal gerakan daripada fase-fase

perkembangannya.

Hal serupa terjadi dengan sumber-sumber intelektual. Tilly, McAdam dan

Tarrow (2001) berpendapat bahwa sumber-sumber intelektual sering kali tumpang

tindih dan saling berkompetisi satu dengan yang lain dalam menjelaskan

ketegangan-ketegangan politik. Rintangannya sering kali tertuju kepada

ketidakcocokan antara teori dengan bukti-bukti di lapangan dalam menjelaskan

ketegangan politik.

Oleh karena itu, untuk menjembatani kelemahan masing-masing mekanisme

di atas, pada 1995 McAdam, Tarrow dan Tilly bertemu dan mencoba berkolaborasi

mengintegrasi mekanisme-mekanisme yang ada. Mereka melaksanakan

serangkaian seri-seri diskusi dan seminar menyerap pendapat dan kritik dari

akademis gerakan sosial mengenai konsep yang telah ada maupun konsep conten-

tious politics yang mereka ajukan, sampai dengan karya mereka dipublikasi pada

2001.

Berdasarkan apa yang mereka maksud dengan contentious politics, sangat

jelas bahwa Tilly, McAdam dan Tarrow menekankan kasus-kasus ketegangan


24

politik lintas sistem dan cara yang telah ada. Ini berarti di dalam peristiwa tersebut

sejumlah aktor politik baru terlibat dan mempergunakan pendekatan baru sebagai

alat politik. Oleh karena itu, ini berimplikasi bahwa ketegangan yang melibatkan

aktor dan alat yang telah mapan tidak menjadi subjek penelitian mereka. Ada dua

alasan berkaitan dengan itu. Pertama, banyak contoh ketegangan transgressive

tumbuh di luar dari kebiasaan yang ada dan kedua, perubahan dalam jangka waktu

singkat sebuah ketegangan politik dan perubahan sosial sering kali muncul dari

transgressive yang memiliki kecenderungan lebih sering mereproduksi rezim-rezim

yang ada. Mereka juga menyimpulkan bahwa dari kasuskasus transgressive yang

mereka kumpulkan dan teliti, terdapat cetak biru bahwa peristiwa-peristiwa

tersebut muncul di dalam arena politik karena dipengaruhi oleh mekanisme dan

proses yang sama.

Mekanisme, proses dan peristiwa di sini adalah konsep utama yang

dipergunakan oleh Tilly, McAdam dan Tarrow ketika mereka menganalisis

peristiwa-peristiwa transgressive. Mereka mengidentifikasi dan membedakan tiga

mekanisme yang memengaruhi ketegangan politik. Pertama adalah mekanisme

lingkungan. Kedua adalah mekanisme kognitif. Ketiga adalah mekanisme relasi.

C. Kerangka Pikir

Konsep Keyakinan Religi


Pemerintah Kolonial Belanda
Masyarakat Jawa

Keyakinan Tentang Mesianis atau Politik Kolonial yang melahirkan


adanya Ratu Adil kesengsaraan rakyat pribumi

Lahirnya Gerakan Ratu Adil


25

BAB III
METODE PENELITIAN

A. Lokasi Penelitian

Penelitian merupakan penelitian kepustakaan, olehnya itu seluruh data dan lokasi

penelitian dipusatkan pada sumber-sumber informasi seperti perpustakaan dan pusat-

pusat kerarsipan.

B. Jenis Penelitian
26

Sesuai dengan objek penelitian maka penelitian ini merupakan penelitian sejarah

yang merekonstruksi jejak-jejak masa lampau yang didasarkan pada spasial tertentu,

temporal dan prosesual secara tradisional melalui penelitian sejarah, dengan

menggunakan pendekatan deskriptif analisis kualitatif. Melalui pendakatan ini

diharapkan penelitian ini dapat menghasilkan data deskriptif kualitatif berupa uraian

tertulis dari sumber sajarah berupa infomasi lisan dan tertulis dari orang yang diteliti serta

mengamati pola tingkah laku mereka secara holistik.

C. Teknik Pengumpulan Data

Sumber sejarah secara garis besarnya terbagi atas sumber primer dan sumber

sekunder. Seringkali para sejarawan harus bertumpuh pada karya-karya sekunder untuk

memperoleh pengetahuan mengenai latar belakang yang diperlukan guna mengenali lebih

mendalam dokumen-dokumen sezaman (sumber primer). Sesungguhnya pertelaahan

sumber-sumber sekunder yang baik dapat memberi kemungkinan untuk lebih mengenal

sumber primer (rekaman sezaman) secara lebih baik pula. Demikian pula sebaliknya

pertelaahan sumber-sumber primer yang runtut dapat memberi peluang untuk mengoreksi

sumber-sumber sekunder, melalui analisis kritis terhadap kesaksian orang-orang

sezaman.

Dalam kaitan dengan sumber-sumber sekunder yang akan digunakan dalam

penelitian ini, maka secara teoritik Louis Gottschalk (1986 : 78 – 79) menyarankan agar

penggunaan sumber-sumber sekunder sebaiknya hanya untuk empat tujuan yakni ;

1. Untuk menjabarkan latar belakang yang cocok dengan bukti sezaman mengenai

subyeknya. Kendati demikian harus bersifat terbuka dan skeptis terhadap sumber

tersebut.

2. Untuk memperoleh petunjuk mengenai data bibliografi yang lain.

3. Untuk memperoleh kutipan atau petikan dari sumber-sumber sezaman atau sumber-

sumber lain, namun senantiasa harus bersikap skeptis terhadap sifat akurat dari
27

sumber sekunder, apa lagi jika sumber sekunder itu merupakan hasil terjemahan dari

bahasa lain.

4. Untuk memperoleh interpretasi dan hipotesis dari masalah yang diteliti, dengan

maksud untuk menguji dan memperbaikinya.

Untuk sumber-sumber primer, jarak waktu yang lebih jauh dari peristiwa dapat

membuat kekuatannya menjadi kurang falid. Sebaliknya bagi sumber-sumber sekunder,

jarak waktu yang jauh dari peristiwa-peristiwa yang diceritakannya maka semakin falid

tingkat kepercayaannya. Ini bukan saja karena semakin jauh jarak waktu telah membuat

sumber-sumber sekunder semakin menampilkan sifatnya yang netralitas, tetapi juga lebih

banyak materi yang tersedia sebagi akibat dari banyaknya penulis sejarah yang

melakukan studi-studi terhadap masalah yang sama.

Berdasarkan atas konsep penjelasan mengenai sumber sejarah maka dalam

penelitian ini mengikuti prosedur dan kaidah yang berlaku dalam penelitian sejarah,

yakni melalui tahap (1) Heuristik, (2) Kritik, (3) Interpretasi dan (4) Historiografi.

Berdasarkan tahapan itu maka langka pertama yang dilakukan adalah pengumpulan data.

Untuk data sekunder pengumpulan data dilakukan melalui studi kepustakaan. Sedangkan

untuk data primer ditempuh melalui studi sumber serta wawancara dengan pelaku sejarah

dan atau saksi sejarah yang masih mungkin ditemukan. Pada tahap kedua dilakukan

seleksi data serta pengujian validitas dan reabilitas melalui kritik sumber (internal dan

eksternal). Selanjutnya pada tahap ketiga dilakukan interpretasi data dengan

menggunakan teori collective action dari Christopher Lloyd serta polity model

( government, contender, polity dan coalition) dari Charles Tilly.

D. Teknik Analisa Data

Setelah terkumpul data selanjutnya dianalisis dan digolongkan sesuai dengan

konteks permasalahan untuk dapat menarik kesimpulan. Akhirnya, semua data penelitian

diproses dengan teori yang melandasinva untuk menghindari unsur subjektivitas dalam

penelitian ini.
28

Dalam penelitian ini digunkan pendekatan multidimensional, yaitu pendekatan yang

mengunakan berbagai jenis konsep, hipotesis, dan teori sebagai kerangka referensi yang

dipakai untuk mencari dan mengatur data; sehingga penulis Sejarah dapat lebih lengkap

dalam mempelajari fenomena historis yang kompleks. Dalam penelitian ini digunakan

beberapa tahap pendekatan yaitu; pendekatan historis, pendekatan politik dan pendekatan

sosial.

Seseorang yang ingin menulis tentang masa lampau tepat kiranya menggunakan

pendekatan historis. Historis itu sendiri menurut Louis Gottschalk berarti masa lampau

umat manusia. Pengertian lebih tajam diungkapkan oleh Sartono Kartodirdjo bahwa

sejarah tidak hanya mengungkapkan masa lampau saja tetapi fakta mengenal apa, siapa,

kapan dan di mina serta menerangkan bagaimana sesuatu telah terjadi. Penelitian ini

menggunakan pendekatan historis untuk mengetahui Sejarah perkembangan Gerakan

Ratu Adil tahun1903 – 1923 di wilayah Jawa pada masa pemerintah kolonial Belanda.

E. Teknik Penulisan

Sebagai fase terakhir dalam metode sejarah adalah historiografi historiografi

merupakan cara penulisan, pemaparan atau pelaporan hasil penelitian, olehnya penulisan

hasil penelitian sejarah hendaklah dapat memberikan gambaran yang jelas mengenai

proses penelitian. Maka melalui historiografi ini penulis dapat menilai apakah penelitian

ini sesuai dengan prosedur atau tidak dan dapat dipaparkan sesuai dengan fakta sejarah

yang ada.
29

DAFTAR PUSTAKA

Ali R.Moh., Pengantar Ilmu Sejarah, LKIS, Yogyakarta, 2005.

Abu Bakar Loebis, Kilas Balik Kenangan Pelaku dan Saksi, UI Press, Jakarta, 1995

Dekker Njoman I, Drs,S.H. Sejarah Indonesia Baru, 1800 – 1900, Lembaga Penerbitan

IKIP Malang, 1969.

K.J. Veeger, Realitas Sosial, PT. Gramedia Pustaka Utama Jakarta 1993.

Koentowijoyo, Metodologi Sejarah, Tiara Wacana, Yogyakarta, 2003.

Iskandar Tedja Soekmana. R, Sejarah Indonesia, Pustaka, Dewata, Jakarta, 1952.


30

Kartodirdjo Sartono,Prof.Dr. Pengantar Sejarah Indonesia Baru I, Gramedia, Jakarta,

1988.

Krom, N. J. Prof. Dr, Zaman Hindu, Terjemahan Arief Efendi, Pembangunan, Jakarta,

1956.

Matram R.M, Sejarah Indonesia, Menara Pengetahuan, Yogyakarta, 1951.

Notosusanto Nugroho, Marwati Djoenedpusponegoro, Sejarah Nasional Indonesia

IV, Balai Pustaka, Jakarta 1990

Ricklefs, M.C., Sejarah Indonesia Modern, 1200 – 2004, Terjemahan; Satrio Wahono

dkk, Serambi, Jakarta, 2005.

Toynbee Arnold, J. Mankind and Mother Earth, (Terjemahan), Pustaka Pelajar,

Yogyakarta, 2005.

Wolf Charles,Jr. The Indonesian Story, The John Day Company, New York 1948.

Anda mungkin juga menyukai