Anda di halaman 1dari 24

GERAKAN SOSIAL

Diajukan untuk memenuhi tugas Sejarah Indonesia II

KELAS A

DOSEN PENGAMPU:
Drs. Kayan Swastika, M.Si
Rully Putri Nirmala Puji, S.Pd, M.Ed
Riza Afita Surya, S.Pd, M.Pd

Oleh:
Rahardi Teguh Prakoso 180210302022

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN SEJARAH


JURUSAN PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS JEMBER
2019
KATA PENGANTAR

Bismillaahirrahmaanirrohiim

Puja dan Puji syukur kita panjatkan kepada Allah SWT dan yang maha Esa, karena atas
rahmatNya , taufik , hidayah dan karunianya, penulis mampu menyelesaikan penyusunan laporan
makalah yang berjudul Gerakan gerakan sosial di jawa melawan pemerasan dan gerakan ratu
adil. Sholawat serta salam semoga selalu tercurah limpahkan pada Nabi Besar Muhammad
SAW. Serta pada kerabat, keluarganya, para sahabatnya dan semoga sampai pada kita semua
selaku umatnya.

Makalah ini dibuat dengan tujuan pemenuhan salah satu tugas Sejarah Indonesia II.
Dengan adanya penulisan makalah ini juga bermaksud untuk mengembangkan wawasan dan
ilmu pengetahuan serta merangsang mahasiswa untuk berperan aktif dalam program studi atau
pendidik, khususnya mengenai materi diatas.

Makalah ini tentu jauh dari kata sempurna yang disebabakan oleh keterbatasan penulis.
Jika ditunggu kesempurnaan makalah ini, niscaya tidak akan pernah slesai. Maka dari itu, kritik,
saran dan masukan yang bersifat membangun akan selalu diharapkan agar kedepannya lebih baik
lagi.

Jember, 30 April 2019

Penulis
BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Penyebab utama adanya gerakan sosial diantaranya adalah kekecewaan, frustasi, alienasi,
perasaan tedesak, dan ketegangan untuk melakukan perlawanan dalam bentuk kekerasan politik.
Timbulnya perasaan tidak puas di lingkungan masyarakat luas akibat adanya kesenjangan antara
nilai yang diharapkan dan nilai yang terwujud menyebabkan masyarakat merasakan sangat
kehilangan sesuatu yang biasa disebut dengan deprivasi relatif. Deprivasi relatif menjadi
tindakan kekerasan baik politik ataupun tidak, sangat dipengaruhi oleh faktor penyebab terlihat
ada tingkat kepatuhan pada nilai, yaitu adanya dukungan luas dari berbagai kelompok
masyarakat dalam melancarkan aksinya.

Perlawanan dalam kekerasan politik dibagi menjadi 2, yaitu :

1. Kerusuhan, yaitu kekerasan politik yang bersifat spontan dan kurnag terorganisasi dengan
jumlah massa yang cukup banyak namun tidak begitu meluas.
2. Revolusi, yaitu kekerasan politik yang dilakukan melalui perjuangan yang sangat
terorganisasi secara intensif. Komponen adanya revolusi adalah persekongkolan
(persekutuan secara rahasia dan terorganisir) dan perang internal (terorganisir dengan
jumlah massa yanh terlibat cukup besar dan meluas)

Perubahan-perubahan politik di Indonesia dari abad XIX sampai abad XX bebarengan


dengan perubahan secara struktural di bidang politik. Di bidang politik, adanya pergeseran
struktur politik di tradisional ke arah struktur politik modern. Perubahan dalam bidang politik
terjadi sebagai akibat dari meluasnya penetrasi sistem administrasi yang bersifat legal rasional
semakin mengesampingkan peranan elite nasional.

Di bidang ekonomi, kedudukan penguasa tradisional ditempatkan di bawah pengawasan


penguasa asing dalam kerangka sistem eksploitasi ekonomi. Perekonomian yang semula
didominasi oleh perekonomian tradisional diganti dengan perekonomian yang didominasi oleh
ekonomi perdagangan.

Selain itu, karena adanya pengaruh kuat Barat di bidang politik dan ekonomi, berdampak
pula pada kebudayaan Barat yang semakin cepat memasuki kehidupan masyarakat Indonesia.
Pengaruh kehidupan Barat mendesak sistem nilai tradisional dan keagamaan sehingga keduanya
merupakan kekuatan konservatif yang menentang westernisasi. Struktur masyarakat Indonesia
mengalami perubahan yang melahirkan golongan masyarakat baru yang lebih bersaing, bersikap
antagonis, dan saling besengketa, sehingga mengakibatkan terjadinya kekacauan di dalam
masyarakat.

Gerakan sosial selalu lebih tampak sebagai gerakan protes atau suatu reaksi terhadap
keadaan yang tidak adil yang dilakukan kelompok penguasa yang mendominasi kehidupan
orang-orang rendah status ekonomi maupun politik. Pengisapan, pemerasan, perampasan,
penggusuran, dan komunitas yang telah ada sebelumnya, penghapusan hak-hak rakyat oleh tuan
tanah dan negara, status ekonomi dan politik yang diturunkan, pemungutan pajak, kerja wajib,
dan berbagai bentuk tekanan menjadi isu sentral dari penyebab terjadinya gerakan sosial.

1.2 Rumusan Masalah


Rumusan masalah sebagai berikut.
1.2.1 Apa yang dimaksud gerakan sosial?
1.2.2 Apa saja jenis-jenis gerakan sosial?
1.2.3 Bagaimana gerakan melawan pemerasan?
1.2.4 Bagaimana gerakan Ratu Adil?

1.3 Tujuan Penulisan


Tujuan penulisan sebagai berikut.
1.3.1 Untuk mengetahui apa yang dimaksud gerakan sosial
1.3.2 Untuk mengetahui jenis-jenis gerakan sosial
1.3.3 Untuk mengetahui gerakan melawan pemerasan
1.3.4 Untuk mengetahui gerakan Ratu Adil.
BAB II PEMBAHASAN

2.1 DEFINISI GERAKAN SOSIAL


Gerakan sosial adalah aktivitas kolektif yang bertujuan untuk mewujudkan atau menolak
perubahan terhadap tatanan masyarakat yang ada. Gerakan sosial berkembang di Indonesia sejak
sekitar abad XIX dan abad XX yang dilakukan oleh rakyat untuk mewujudkan harapan atau
menolak perubahan secara stuktural sebagai akibat dominasi ekonomi, politik, dan kultural dari
pemerintah kolonial. Gerakan sosial yang terus menerus muncul, menjadikan kehidupan rakyat
beralih dari tradisional ke kehidupan modern. Dominasi yang mengakibatkan disorganisasi
masyarakat tradisional beserta lembaganya telah dipertahankan secara turun menurun
menimbulkan pergolakan, perlawanan, dan kerusuhan yang dilakukan secara agresif dan radikal
dalam bentuk gerakan sosial. Gerakan sosial yang ada di Indonesia terjadi di berbagai daerah
khusunya di pulau Jawa mengingat bahwa Jawa merupakan pusat kolonialisme dengan
mengeksploitasi potensi yang ada di Jawa karena tanahnya yang subur, letak yang strategis, dan
penduduknya yang padat. Selain itu, gerakan sosial juga terjadi di lluar pulau Jawa seperti di
Sulawesi, Sumatra, dan Nusa Tenggara.

Perlawanan, huru hara, protes, kerusuhan, kekacauan, dan aksi berandalan yang terjadi
hampir setiap tahun di suatu daerah, sehingga tepat apabila dikatakan bahwa pergolakan sosial
tersebut bersifat endemis. Sebagian besar gerakan sosial dilakukan oleh masyarakat petani di
desa sebagai bentuk kekuatan sosial yang laten yang dapat diwujudkan dalam agresivitas yang
dahsyat. Pergolakan sosial dapat diartikan sebagai edakan dari ketegangan, pertentangan,
ataupun permusuhan dalam masyarakat. Meskipun pada sekitar abad ke-20 ada pergolakan yang
berlangsung di kota dengan dukungan dari para buruh ataupun pegawai yang bertempat di
perkotaan. Faktor-faktor yang menjadikan adanya pergolakan sosial di pekotaan tidak jauh
berbeda dengan faktor pergolakan sosial di pedesaan. Setelah kemerdekaan Indonesia,
pergolakan sosial juga masih menjadi masalah kebangsaan. Pergolakan etnik adalah salah satu
aspek yang paling sering menjadi penyebab munculnya pegolakan sosial.
2.2 JENIS DAN SIFAT GERAKAN SOSIAL

Menurut Charles Lewis Taylor, gerakan sosial dibagi menjadi 3, yaitu :

1. Demonstrasi, yaitu gerakan sosial yang dilakukan oleh sejumlah orang yang terorganisir
untuk melakukan protes tanpa kekerasan terhadap adanya sebuah rezim, pemerintah,atau
pimpinan.
2. Kerusuhan, yaitu gerakan sosial dilakukan oleh keompok masyarakat yang muncul secara
spontan untuk melakukan protes dengan dibarengi penggunaan kekerasan fisik,
perusakan barang, penjarahan, penganiayaan, dan pembunuhan.
3. Serangan bersenjata, yaitu gerakan sosial yang berupa tindak kekerasan yang dilakukan
oleh massa kepada suatu kelompok dengan menggunakan senjata dan bertujuan untuk
menghancurkan kekuasaan dan keberadaan kelompok lain.

Tindakan yang dilakukan oleh pelaku gerakan sosial yang bersifat agresif dan radikal. Sikap dna
tindakan rakyat dalam melakukan aksi potes digerakkan oleh sebuah ideologi yang menunjukkan
sifat dari gerakan yang dilancarkan.

Berdasarkan ideologi, gerakan sosial dibagi menjadi :

1. Nativistik, mengharapkan kembalinya masyarakat asli


2. Millenarianistis, mengharap datangnya zaman keemasan
3. Messianistis, mengharap datangnya Ratu Adil
4. Perang sabil
5. Revivalisme

Selain gerakan sosial berdasar ideologi, geakan sosial juga merupakan gerakan sekte
keagamaan ang bersifat kebudayaan dan tidak melakukan konfrontasi secara terbuka terhadap
penguasa sehingga tidak menimbulkan konflik secara terbuka dengan pemerinah. Jenis gerakan
sosial lainnya adalah pemogokan mengenai penuntutan kenaikan upah, memprotes berbagai
tuntutan kerja wajib yang melebihi ketentuan, menolak tindak kekerasan terhadap petani,
tauapun yang lainnya. Gerakan nasional dilakukan untuk melawan pemerasan, ketidak adilan,
penindasan, dan eksploitasi terhadap rakyat.
Protes sosial terhadap pemerintah atau pihak lain yang lain telah melakukan tindakan
merugikan rakyat juga muncul dalam bentuk perbanditan sosial. Perbanditan terjadi akibat
ketidka adilan, eksploitasi, dan tindakan sewenang-wenang terhadap rakyat. Perbanditan
merupakan resistensi terhadap kemiskinan karena tekanan pajak, kerja wajib, dan tekanan sosial
politik untuk mencegah adnaya ketidak adilan, penekanan, dan eksploitasi.

Sasaran gerakan sebagian ditujukan kepada penguasa kolonial dan aparatnya baik pejabat
Belanda maupun bumiputra. Karena di daerah pedesaan hampir setiap tahun terjadi aksi dalam
bentuk pemberontakan, kerusuhan, perbanditan, sehingga gerakan sosial ini memilliki sifat
endermis. Gerakan sosial juga memiliki solidaritas yang bersifat komunal, yang dibangun agar
ada sentimen dalam keterkaitan yang snagat primordialisme.

Gerakan sosial umumnya bersifat arkais karena organisasi, progrm, strategi, dan
taktiknya masih terlalu sederhana apabila dibandingkan dengan gerakan sosial modern. Oleh
karena itu, pemberontakan dan perlawanan yang dilakukan juga dapat ditumpas dengan mudah
oleh pemerintah kolonial dengan memiliki sifat yang abortif/pendek merupakan pergolakan lokal
atau regional, dan tidak ada koordinasi satu dengan yang lain. Dalam era kolonial, peristiwa
tersebut dapat digolongkan sebagai gangguan ketenteraman, huru-hara atau keonaran, kerusuhan,
dan gerakan rohani.

2.3 GERAKAN MELAWAN PEMERASAN


Gerakan ini diawali di abad ke 19 yang dikalukan oleh para petani di tanah partikelir
yang disebabkan oleh rasa tidak adil atas besarnya pajak dan adanya kerja rodi. Para petani di
daerah itu merasa bahwa pajak yang ditetapkan terlalu besar sehingga terasa seperti pemerasan
sedangkan hasil panen yan tidak bisa mereka rasakan karena harus dikurangi untuk membayar
pajak. Karena hal tersebut timbulah kerusuhan di daerah tersebut yang disebut sebagai kerusuhan
cuka, yang merupakan nama dari pajak terbesar yang memberatkan rakyat. Perlawanan ini tidak
termasuk dalam gerakan social karena dalam gerakan didasari oleh rasa dendam terntu sehingga
tidak adanya fanaisme agama didalamnya, atau hanya murni rasa dendam kepada para pemimpin
yang memberi peraturan mengenai pajak yang terlalu besar.
Tanah partikelir merupakan tanah milik swasta yang ada karena hasil penjualan tanah
oleh VOC di tahun 1602-1799. Yang pada pelaksanaanya dilanjutkan oleh Daendels dan Raffles
hingga tahun 1820. Tanah partikelir ini dalam penjualnnya berbeda dengan tanah biasanya,
karena tanah ini diserahkan bukan hanya tanah dengan tanaman yang ditanam melainkan wilayah
dengan penduduknya. Dalam kepemilikannya pun bersifat mutlakdan jangka waktu selamanya.
Pemilik tanah ini disebut “ Tuan Tanah” yang memiliki hak istimewa yaitu hak yang dimiliki
oleh pemerintah seperti hak kemanan. Serta para pemilik tanah ini berhak untuk memerintah para
tenaga kerja untuk kepentingan pribadi seperti untuk menjadi pengurus tanaman atau menjadi
pengurus rumah tangga.
Awal adanya tanah partikelir ini adalah karena pada zaman VOC yang mulai melaukan
praktik penjualan tanah ini pada abad ke 19. Tanah partikelir ini telah menyebar ke seluruh jawa
seperti di Batavia, Banten, Surabaya dan Karawang. VOC meneyrahkan tanah ini dengan alasan
kepentingan politik seperti memberikan hadian kepada orang yang dianggap dapat menjaga
ketentraman daerah Batavia contohnya para mantan perwira VOC. Dalam pelaksanaanya ada
beberapa tanah yang diberikan kepada orang pribumi dengan alasan mencari dukungan dari
pihak tersebut. Namun dalam pemerintahan Daendels dan Raffles banyak tanah patikelir yang
dijual karena pada saat tersebut pemerintah membutuhkan banyak dana untuk membantu
perekonomian yang hamper bangkrut.
Tuan tanah yang memiliki hak istimewa pada masa tersebut ternyata menggunakan
kekuasannya dengan tidak bijaksana, mereka melakukan eksploitasi bahkan melakukan
kecurangan agar mendapat keuntungan yang besar. Karena hal tersebut pada pemerintahan
Daendels dan Raffles membuat sebuah peraturan yaitu larangan untuk memberlakukan pajak
persepuluh persen kepada petani serta melakukan eksploitasi pada tenaga kerja. Dengan adanya
peraturan ini tidak membuat para pemilik tanah mematuhi tetapi mereka tetap melakukan
pelanggaran dikarenakan pada zaman tersebut control pemerintah dalam msyarakat masih
kurang. Akhirnya di tahun 1816 muncul sebuah kerusuhan di tanah partikelir daerah Batavia dan
Cirebon. Diarenakan keadaan tersebut pemerintah mengeluarkan kembali peraturan baru un utk
melindungi petani. Pemerintah mengelurkan peraturan pada 28 februari 1839 yang menegaskan
bahwa pemerintah tetap memiliki wewenang dalam tanah partikelir sehingga para pemilik tanah
harus tetap memperhatikan kesejahteraan rakyat. Namun para tuan tanah tetap tidak
menghiraukan peratura ini sehingga secara berturut-turut terjadi di Candi Udik yaitu pada tahun
1845 kemudian disusul kerusuhan di Ciomas tahun 1886 kemudian pada tahun 1892 terjdi
kerusuhan lagi di Campea. Kerusuhan terus terjadi dan semakin menjadi-jadi sampai tahun 1913.
Tanah partikelir di Jawa sebagian banyak adalah milik tuan tanah bangsa Eropa dan
Orang Cina. Para tuan tanah ini memperoleh perolehan dari hasil tanah parikelir yang
dikuasainya. Yang dilakukan oleh para pemilik tanah ini adalah dengan merapkan uang sewa,
pajak serta bagian panen kepada petani serta kepemilikan terhadap tenaga kerja. Dalam
perjalannya par tuan tanh juga mengangkat pegawai administrasi, pemungut pajak serta
pengawas agar mempermudah dalam pelaksanaannya. Tanah partikelir ini sebagian besar
ditanami tanaman perkebunan seperti the, kopi, coklat yang merupakan komoditi ekspor. Namun
dengan ketentuan yang dilakukan oleh para pemilik tanah membuat para petani kehilangan hak
otonom dalam ekonomi. Karena jika dlam hokum mereka adalah orang yang bebas namun
didalam kenyataanya kehidupan mereka bergantung kepada pemilik tanah. Mereka juga
kehilangan hak atas tanah mereka karena setiap tanaman ditentukan oleh pemilik tanah dan
hasilnya harus dibagi kepada tuan tanah. Dalam kehidupan mereka merupakan buruh sewaan
karena para tuan tanah bertindak sewenang-wenang dengan memaksa para petani seenaknya
sendiri tanpa memperhatikan kesejahteraan petani, para pemilik tanah juga menuntut unutk
penyerahan tenaga kerja demi kepentingan pribadi, serta tuan tanah berhak mengusir petani yang
tidak dapat membayar pajak atau tidak mau melakukan hal yang diperitahkan.
Pajak yang harus dibayarkan petani kepada tuan tanah tidak hanya satu jenis tetapi
beberapa jenis yaitu cuke, pajek dan kontingensi. Pajak ini sangat memberatkat petani belum
juga mereka harus melakukan kerja rodi. Cuke merupakan pajak yang hasrus dibayarkan jika
petani menanam padi atau kacang. Besarnya pajak adalah seperlima dari hasil panen dan harus
dibayarkan setiap kali petani memanen tanamannya. Kontingensi merupakan pajak yang yang
harus dibayarkan oleh petani jika menanam selain padi dan kacang. Kontingensi ini dibayar
setiap periode yang sebelumnya teah disepakati oleh tuan tanah dan petani. Yang terakhir adalah
pajeg merupakan pajak yang dibayar kan kepada tuan tanah bagi petani yang menanam kacang
dan padi dan diyarkan dalam satu periode tertentu dan dapat diperpanjang pada periode
selanjutnya. Dalan praktikya pajak tersebut tersa berat karena petani tidak bisa fokus mengolah
tanah tetapi juga harus melakukan kerja rodi. Ada beberapa kerja rodi yang harus dilakukan yaitu
kerja kompenian yaitu kerja rodi yang dilakukan selama lima hari setiap satu bulan sekali yang
harus dilakukan oleh para petani. Kemudian ada kerja garol yang dilakukan pada hari tertentu
disaat ada pembangunan atau pemerintah membutuhkan tenaga kerja untuk melakukan sesuatu.
Ada juka kerja kroyo merupakan pekerjaan yang dilakukan di saat ada perayaan adat di daerah
tersebut dan membutuhkan tenaga kerja untuk membantu. Yang terkahir adalah kerja kemit yaitu
ronda untuk kemanan desa namun dalam pelaksanannya malah para petani disuruh untuk
menjaga gudang dan pabrik milik para tuan tanah.
Kontrak kerja memang ada dalam setiap kebijakan atau kesepakatan dengan petani
namun para tuan tanah tidak memberikan jaminan atau konpensasi kepada etani seperti disaat
terjadi bencana alam, gagal panen dan sakit. Malah tuan tanah menggunakan keadaan ini untuk
semakin menekan petani. Disaat ada yng sakit dan tidak bisa melaksanakan kerja rodi maka
mereka dianggap berhutang dan harus membayarnya dengan uang atau kerja rodi diwaktu yang
lain. Kemudian disaat terjadi bencana alam yang membuat para petani gagal panen mereka
megangga pajak yang tidak bisa dibayarkan ini sebagai hutan dan harus dibayar pada panen
berikutnya. Dengan keadaan seperti ini tentu sangat memberatkan kepada petani dan
menguntungkan kepada pemilik tanah. Namun para petani tidak bisa menentang kebijakan ini
karena pemimpin pribumi dan lembaga pengadilan sudah dikuasai atau berpihak kepada tuan
tanah sehingga tidak ada tempat untuk mencari keadilan lagi.
Masyarakat yang pada awalnya hidup tentram dan aman menjadi tidak lagi dapat hidup
dengan bahagia serta adat istiada yang seharusnya kental dalam masayrakat pedesaan sudah tidak
terlihat di masyarakat partikelir. Hal ini karena semua kehidupan telah dikuasai oleh para tuan
tanah bahkan kebijakan yang dibuat oleh tuan tanah cenderung dianggap sebagai adat istiadat
yang harus dipatuhi oleh masyarakat setempat. Sehingga membuat dalam masyarakat partikelir
tuan tanah memiliki kekuasaan yang tidak terbatas seperti seorang raja.
Pemerintah telah membatasi wewenang tuan tanah namun hal ini seakan tisak dihiraukan
oleh pemilik tanah. Dengan kedaan yang semakin tidak menguntungkan bagi para masyarkat di
tanah partikelir membuat timbulah perlawanan yang ditujukan kepada para tuan tanah. Dalam
perlawanan ini mereka cenderung melakukan gerakan-gerakan di tanah partikelir dengan
dilandasi oleh rasa dendam kepada pemilik tanah atas kebijakan pajak dan krja rodi yang sangat
tidak adil. Setelah terjadi kerusuhan di Ciomas hal ini menjadi satu sebab timbulnya ledakan
pergolakan di tanah partikelir lainnya.

Gerakan di Jawa
Perlawanan Ciomas merupakan salah satu penyulut gerakan perlawanan di daerah
lain.tanah partikelir Ciomas ini terletak di lereng gunung salak dengan luas 9.000 bau dan
berpenduduk 15.000 jiwa tanah ini dijual oleh Gurbernur Daendels kepada pihak swasta.
Masyarakat di tanah partikelir Ciomas juga melakukan perlawanan namun pada tahun 1886
terjadi perlawanan besar besaran yang menjadikannya sebagai perbincangan Nasional. Hal ini
karena masalah antara tuan tanah dengan masyarakat yang sangat rumit yaitu pada awal
tahun1880 para tuan tanah di daerah partikelir Ciomas melakukan eksploistasi dengan cara
menaikkan produksinya untuk kepentingan pasar. Padahal pada saat itu sedang terjadi
kekeringan dan wabah penyakit menular pada hewan yang meyebabkan krisis pertanian
Keadaan politik dan ekonomi di aderah partikelir Ciomas sebelum terjadi kerusuhan
sangat memberatkan masyarakat sekitar. Hal ini terlihat dari para petani yang benci dan tidak
suka atas diberlakukannya pajak. Karena untuk melakukan panen mereka harus menunggu waktu
yang telah diperintahkan oleh tuan tanah selain itu untuk mengawasi panen para tuan tanah
menunjuk para petugas pengawas untuk terjun ke sawah mengawasi proses panen. Adanya
praktik perbudakan hal sangat tidak masyarakat karena mereka dipaksa untuk mengangkut hasil
panen dari sawah ke lumbung milik tuan tanah dengan jarak 18km. selain itu merek juga disuruh
melakukan kerja rodi untuk bekerja di perkebunan serta pabrik kopi. Dimana di dalam
perkejannya terdapat peraturan yang tegas kepada mereka, jika tidak dpat hadir maka dianggap
sebagai hutang bahkan saat sudah mengirim orang untuk mewkilkan bekerja tetap saja ditolak.
Hal lain adalah pajak yang sangat berat karena harus menyerahkan hasil pertanian yang melebihi
batas. Seperti dua butir kelapa dalam satu pohon, untuk penanaman pohon kopi dalam sepetak
tanah petani wajib menanam sebanyak 250 pohon dengan kewajiban sebesar seperlima setiap
panen. Dalam hal ekonomi masyarkat dilarang untuk melakukan ekspor padi, hewan kerbau dn
hasil panen lainnya ke daerah luar atau adanya pembatasan dalam perdagangan. Semua hal
dalam kehidupan diawasi oleh tuan tanah melalui petugas pengawas seperti dalam penjualan
hewan ternak, kayu, penebangan pohon. Hal terkahir yang paling membuat masyarakat geram
adalah adanya eksploitasi pada perempuan dan anak-anak yaitu mereka dipaksa untuk bekerja
kepada tuan tanah selama Sembilan hari di setiap bulan. Dengan keadaan yang sangat tidak adil
ini tidak mengherankan jika memicu perlawanan yang dilakukan masyarakay untuk melawan
tuan tanah.
Banyak orang Ciomas yang meninggalkan desanya untuk menghindari beban pajak dan
kerja rodi. Mereka melakukan pelarian sebelum pecahnya perlawanan. Banyak masyarakat
Ciomas yang memutuskan pergi hingga sebanyak 2.000 orang yang notabene mereka adalah para
buruh harian dan bekerja di gudang dan perkebunan milik tuan tanah.
Perlawanan di Ciomas yang paling besar terjadi di tahun 1886 sebenarnya terjadi dua kali
yaitu pada bulan Februari 1886 yan diketuai oleh Apan Ba Sa’ amah. Perlawanan ini dipicu oleh
Camat Ciomas yang bernama Haji Abdurarakhim dating ke Kampung Pasir Angsana dengan
tujuan untuk menangkap Apan. Apan yeng notabene adalah pemimpin dalam perlawanan sudah
waspada sehingga saat Camat Ciomas dating Apan telah siap untuk melakukan perlawanan.
Dengan bantuan para pengikutnya Apan berhasil membunuh Camat Ciomas, melihat
kampungnya sudah tidak aman Apan mengajak pengikutnya utntuk mundur ke Kampun Petir
yang merupakan perbatasan paling dekat dengan tanah partikelir Ciampea. Apan dan
pengikutnya bertahan di desa tersebut, sampai akhirnya tewas ditembak serdadu yang dating atas
pimpinan Asisten Residen Bogor.
Perlawanan tidak berakhir sampai disitu sekitar tiga bulan kemudian tepatnya pada bulan
mei terjadi perlawanan lagi yang dipimpin oleh Muhammad Idris. Pemimpin perlawanan ini
pada walnya merupakan petani biasa yang merasa tidak terima dengan kebijakan tuan tanah.
Idris merasa kecewa dengan pihak tuan tanah terutama pada saat tanahnya disita di tahun 1885
karena untuk membayar hutangnya. Hal ini terjadi karena pada saat itu Idris tidak melakukan
kerja rodi karena dia pergi berdagang ke pasar Bogor. Akhirnya Idris pergi ke Ciampea di
kampung dekat bukit Pasir Gaok, disana ternyata banyak orang dari Ciomas yang datang
menceritakan rasa kecewanya kepada para tuan tanah. Semakin lama sekain banyak orang yang
datang terutama para bujang yang melarikan diri salah satunya ialah Djeding Ba Sa’ iran yang
merupakan salah satu orang kepercayaan untuk melaksanakan sedekah bumi. Berdasarkan
laporan ada sekitar 2.000 orang yang berkumpul dan bergabung menjadi pengikut Idris untuk
melaksanakan perlawanan.
Perlawanan yang dilakukan oleh pasukan Idris pada Selasa malam, 18 mei 1886 karena
padamalam iru diadakan sedekah bumi di Kampung Taman, Ciomas. Alasan mereka melakukan
penyerangan pada saat itu karena dalam acar tersebut pasti dihadiri oleh tuan tanah dan
kelurganya maka mereka menganggap ini merupakan saat yang tepat untuk melakukan
perlawanan. Kemudian pada siang hari Idris bersama pasukan sekitar 40 orang yang didalamnya
juga terdapat perempuan datang dan menyerang pesta tersebut, namun ternyata dalam pesta
tersebut tuan tanah tidak datang melainkan hanya beberapa pencalang dan polisi desa
kepercayaan tuan tanah. Melihat hal tersebut Idris menyuruh pasukannya untuk mundur karena
target dari perlawanan ini tidak datang akhirnya pasukan Idris mundur dan pulang ke Pasir Gaok.
Peristiwa penyerangan ini dilaporkan oleh tuan tanah kepada Asisten Residen Bogor
sehingga pada keesokan harinya pasukan militer yang dipimpin oleh Residen Batavia pergi ke
Pasir Gaok untuk mengepung pasukan Idris. Namun sebelum itu Idris telah memberi tahu para
pengikutnya jik ada yang datang menegpung dan didalamnya terdapat tuan tanah mereka harus
melawan, namun jika yang datang tentara atau militer tidak usah melawan lebih baik
menghindar. Karena hal tersebut saat dikepung dan disuruh menyerah para petani malah
menyoraki dan mengejek. Melihat hal tersebut akhirnya pemimpin pasukan militer menyuruh
menembaki mereka, kemudia para pasukan Idris berusaha melarikan diri dengan naik ke atas
bukit secara terpisah sehingga membuat para pasukan militer bingung untuk melakukan
pengejaran. Namun karena pasukan yang yang banyak terdapat beberapa pasukan Idris yang
tertangkap salah satunya ialah Idris dan Sa’ iran.
Perlawanan Ciomas bersifat spontan terlihat dari perlawanan yang dipimpin oleh Idris,
meskipun sebelum perlawanan di bulan mei 1886 telah terjadi beberapa perlawanan sebelumnya
seperti perlawanan yang dipimpin oleh Apan Ba Sa’ amah. Namun perlawan di bulan mei sangat
mengejutkan pmerintah dan tuan tanah karena tida terduga sama sekali dan dilakukan secara
spontan.
Perlawanan yang dilakukan oleh petani di daerah Ciomas ini jelas terjadi karena adanya
rasa ketidak adilan pada kebijakan yang dibuat oleh pemilik tanah yang sangat memberatkan
mereka. Karena adanya rasa yang sama ini membuat mereak berkumpul dan melakukan sebuah
pergerakan bermodalkan perasaan senasib. Perlawanan yang terjadi di Ciomas tergolong kecil
disbanding perlwanan di daerah lain namun dampak yang ditumbulkan sangat besar terutama
dalam dampak politisnya.
Dampak yang paling terlihat setelah perlawanan di Ciomas adalah dengan adanya
perlawanan ini semakin mendesak pemerintah untuk segera membeli kembali tanah partikular.
Dengan dibuatnya reglemen yang didalmnya menegaskan dalam kurun waktu tahun 1913-1920
pemerintah membeli semua tanah partikular dan merubahnya menjadi tanah yang bebas.
Berbeda dengan sautu peristiwa pergolakan-pergolakan yang terjadi di daerah tersebut,
maka suatu peristiwa pergolakan yang terjadi ditanah partikelir di Surabaya yang terjadi pada
tahun 1916 memiliki suatu sifat yang secara khas yaitu radikal atau bahkan revolusioner.
Pergolakam ini pun bertujuan agar mengahncurkan imstitusi tanah partikelir tersebut, termasuk
berbagai macam kewajiban yang dibebankan kepada penduduknya. Agitasi-agutasipun terdahulu
tidai pernah menyangkut pernyataan pokok yang membahayakan. Dalam peristiwa yang terjadi
di Suarabaya, kelihatannya rakyat telah diindoktrinasi oleh ide yang memberi pernyataan bahwa
tanah merupakan rakyat telah diindoktrinasi dengan ide yang memberi pernyataan bahwa tanah
merupakan milik petanu dan karenanya mereka tidak pelru membayar sewa untuo tanah yang di
tanami dan didiami oleh mereka, dan juga tak perlu melakukan suatu pelayanan kerja. Para
petani dihasut oleh Sadikin untuk melakukan suatu pemberontakan. Sadikin menganjurkan agar
rakyat menolak untuk melakukan kompenian, membayar sewa atau cuke. Para petani melakukan
melakukan ancaman-ancaman, intimidasi dan juga rintangan-rintangan untuk memperkuat
tuntutannya. Hal yang paling penting ialah pengabaian sepenuhnya terhadap hak tuan tanah dan
kewajiban penanamnya. Latat belakang dari agitasi petani ini sangat penting , karena dapat
menunjukkan bahwa gerakan dari petani ini ditanah partikelir wilayah Surabaya telag
dipengsruhu oleh radikalisme dari pergerakan nasional yang modern, terutama juga Sarekat
Islam. Didalam ini sumber-sumber ini tidak banyak di paparkan keterangan ysng cukup
mengenai sejauh manakan kerusuhan-kerusuhan dipengaruhi oleh agen-agen Sarekat Islam.
Ciri khas lainnya yang dari gerakan ini adalah gerakannya tampak bersifat sekuler
didalam suatu pengertian bahwa tidak ada sebuah tanda ide agama atau juga atau upacara
keagamaan. Didalam sejarah tradisional pergolakam sosial Jawa jaranglah dapat ditemukannya
suatu gerakan yang benar-benar sekuler. Mayoritas sifatnya gerakan itu keagamaan. Agitasi para
petani yang di tanah partikelir daerah Pamanukan dan Ciasem bersifat lebih kepada Sekuler
daripada sifat keagamaannya, namun disitu ada bukti mengenai penggunaam jimat dan pusaka.
Sensional yanf lebih ialah pberontakan di Condet, sebuah desa yang berads di tanah
partikelir Tanjong Oost, kecamatan pasar Rebo Jawa Barat. Pemberontakan itu mrngikuti pola
gerakan protes tradisional yang tidak berlangsung laam. Perjungan antara petani kecil melawan
tuan tanah masih tampak jelas didalam keruwetan kejadiannya. Untuk kepentingan dari tuan
tanah kaum petani menderit dan banyaknya pemerasan keringat para petani. Karena itu
ketengangan-ketegangan serta kesulitan yang dirasakan ditanah partikelir tersebut
mencerminkan dari pemberontakan.
Tahun 1912 peraturan bari diberlakukan yakni tentang tanah partikelir, dengan para tuan
tanah melakukan suatu pengadilan terhadap para petani yang tidak mampu membayar pajak.
Tahun 1914 telah dilakukan suatu pengadilan terhadap 2000 perkara tentang kegagalan dalam
membayar pajak atauoun sewa pekararangan dan juga penebusan pekerjaan kompenian. Pada
tahun 1914 hal yang sama juga dilakukan terhadap 500 buah perkara dan 300 buah pada thun
1915. Sehingga para kaum petani banyak mengalami kebangkrutan, dikarenaakn harta yang
dimiliki terpaksa untuk disita dan juga dijual, atau dibakar. Tentu hal ini menimbulkan suatu rasa
dendam dan juga kebencian yang sangat dalam. Rasa drndam pun semakin membara
dikarenakan dari pihak tuan tanah selain melakukan suatu pengadilan, juga melakukam kenaikan
pungutan pajak.
Peritiwa yang terjadi pertama yakni pada 14 Mei 1916 mengenai diadilinya Ataba dsri
Batu Ampar di tanah partikelir Tanjong Oost. Peradilannya di landrad (pengadilan distrik)
Meester Corneli. Memutuskan Taba harus memabyar f 7,20 serta ongkos-ongkos perkaranya.
Tanggal 15 diperingatkannya Taba agar membayarnya jika tidak maka pihak berwajib akan
menjual barang-barangnya yng disita. Maka rakyat menuduh bahwa kepala setempay mengabdi
pada kepentingan orang Kristen akibat dari tindakannya, dan harus dibunuh. Tanggal 6 Maret
1916 pihak berwajib datang kerumah Taba untuk melakukan tugas hukumannya, banyak orang
berkumpul di rumah Jaimin. Dengan tujuan mencegah aagar para Entong Gendut ada diantsra
gerombolan orang itu. Rumah Taba dijual kepada mandor Pirun dengan harga f.4,50 pada 15
Maret 1916.
Antisipasi didaerah Batu Ampar terhadap pencegahan para pegawai melaksanaakn
keputusan pengadilan distrik yakni melakukan perkumpulan bela diri. Dari laporan yang diterima
pemimpin pemimpinnya adalah Entong Gendut, Maliki dan Modin. Ketiga pemimpin itu berasal
dsri daerah Batu Ampar. Delapan orwng wazir dan dua orang prajurit pun diangkat. Pada tahun
5 April merupajan peristiwa yng kedua dengan Entong Gemdut memimpin segerombolan orang
yang berkerumun di depan Villa Nova, rumay Lady Rollinson, pemilik dsri tanah Cililutan
Besar.
Kemudian wedana segera memerintahkan kepada bawahnnya agar segera memanggil
Entong Gendut menghadap dia di Meester Cornelis. Alasan dari Entong Gendut menghentikan
pertunjukan topeng agar tidak terjadi perjudian dan kepentingan agama. Selanjutnya ia
menyatakan mengapa para rakyat menentanf kepada polisi, karena pilisi memabantu para
kepentingan orang Kristen, yajni menjual rumah rakyat dan kadang membakarnya juga. Dan
perdebatan pun berlangsung terus. Kemudian usaha untuk menangkap entong Gendut pun gagal.
Pada 9 dan 10 April rumah dari Entong Gendut pun digrebek oleh pasukan petugas
pemerintahan dibawah pimpinan Wedana untuk menangkap Entong Gendut. Namun sebelum
Entong Gendut tertembak dan meninggal terjadi sebuah pergulatan seru antara pasukan
pemerintahan dengan pera pemberontak. Hal yang menyebabkan para petani di Conder bergerak
dibawah pimpinan Entong Gendut adalah sebuah kemiskinan dan kemelaratan. Akibat dari
kerusuhan ini adalah disatu pihak adanya sebuah tanda meningkatnya pungutan pajak dan
keuntungan terhadap tuan tanah, lain pihak adanya beribu petani kehilangan hak milik tanahnya,
tidak memiliki rumah, serta kesengsaraan dan kejahatan pun merajalela. Lumpuhnya kehidupan
petani dikarenakan sistem pemilikan tanah pertikelir dalam masyarakat modern. Maka kejahatan
pun meningkat. Perampokan pun juga meningkat dapat dihubungkan dengan meningkatnya
protes sosial yang tak terorganisasi.
Kerusuhan yang terjadi di Tanjong Oost ini masih memiliki selubung rahasia tentang ada
tidaknya suatu sifat kepolitikan dsripada kerusuhan tersebut. Sumber-sumber tak neyebutkan
suatu bukti adanya hubungan antara bendera merah dengan bintang sabit putih dengan suatu
aliran politik, sepeti Sarekat Islam. Sifat keagamaan yang terdapat pada gerakan ini lebih tampak
adanya proklamasi Entong Gendut menjadi Imam Mahdi, dengan semboyan “ sabilullag” ,
upacara dalam pembawaan bendera, ucapan mantra magis, penggunaan jimat, dan lain
sebagainya .
Meluasnya peristiwa kerusuhan di Tanggerang yang meletus tepat pada 1924 namun
tidak disebabkan dari tekanan ekonomi. Kehidupan para petani partikelir Tanggerang ini tidak
menimbulkan suatu dasar ketidakpuasan. Namun hidupnya kembali bergolak di Tanggerang
dengan mengambil bentuk dramatis yang telah cukup menggoncangkan peemrintahan dan juga
khalayak ramai. Tanggerang merupakan suatu wilayah dataran penuh dengan sawah-sawah yang
dimana kehidupan ekonomi para penduduknya berbasis pada pertanian. Dengan mata
pencaharian tambahan yakni berdagang kecil dan penjualan tenaga. Ditanah partikelir ini juga
diberlakukan suatu pemungutan cuke, sewa tanah dan juga pekarangan, pengerahan tenaga kerja
terutama pada kompeni yang mampu dibeli. Pada 1913 sejak Sarekat Islam muncul terjadilah
perubahan diantara tuan tanah Cina. Dalam penarikan cuke, sewa tanah dan juga pekarangan
serta ko.penian Cina tidak berlebihan.
Keadaan perekonomian di Tanggerang tidak begitu jelek. Dengan harga beras yang tidak
begitu mahal, demikian juga dengan harha bahan makanan lainp rendah bila dibandingkan
dengan tahun sebelumnya. Keluhan umum yang mampu terjadi mengenai sulitnya dalam
mencari uang terasa sangat jarang. Sebuah laporan yang menganggap dari peristiwa kerusuhan di
Tanggerang ini sebagai Ratu Adil, akan tetapi anehnya dalam ideologinya tidak tampak adanya
suatu konsep Ratu Adil. Yang tampak malah semacam faham nativisme, yaitu suatu kerinduan
terhadap kembalinya kerajaan lama. Memang bisa dikatakan peristiwa di Tanggerang ini
merupakan fenomena dari ekonomi dan agama. Ada beberapa gambaran mengenai susana
lingkungan tersebut jika dilihat dalam suatu kepercayaan agama, sistem dan juga praktek yang
mencerminkan ideologi gerakan dan juga sebagainya.
Pertama, beberapa dari pemimpin suatu pergeraakn dapat disatukan oleh suatu pemujaan
kepada orang keramat yang berada di kuburan Manggadua di daerah Batavia yakni makam
Pangeran Blongsong dan Ibnu Mas Kuning. Kedua, Kaiin berguru kepada Sairi, alias Bapak
Cungok dari Cawang, tentang ilmu kawedukan dan iomu keslametan. Sairinlah aymg dianggap
menjadi dalang dari seluruh pergerakan itu. Ketiga, adanya suatu harapan terahdap restorasi
daripada Kesultanan Banten. Menurut uga salah seorang dari keturunan Maulana Hasanuddin
suatu ketika menjadi Raja Banten. Ide nativistis ini disebarkan oleh ibu Melati, seorang dukun
yang telah terkenal, disamping membagi kartu silsisah, juga menjual jimat yang berbentuk
sebuah kitab suci dengan memuat sejarah Keramat Banten.
Keempat, adanya suatu ideologi milenaristis dan eskatologis yang mampu didukung
dengan pengikut kaiin. Guru bernama Raden Mangunsaria mengajarkan tentang kedatangan
seorang wali dengan mengajarkan ilmu tingkat tinggi . Kelima, memilki hubungan dengan
ideologi milenarisme dan eksatologi terdapat harapan mesianistis mengenai kedatangan Imam
Mahdi sebagai juru selamat didalam tradisi Islam. Kedatangan Imam Mahdi dengan ditandainya
turunnya Nabi isa di gunung Serandil.
Dapat di ketahui tentang upacara ritual yang telahdilakukan para pemberontak yang mirip
dengan ritus inisiasi dari suatu perkumpulan mistik, seperti mandi dengan air suci yang menandai
sebagai tradisi upacara dalam pembersihan diri setelah dari beberapa harj berpuasa dan juga
berdoa maupun semedi.
Tampak adamya suatu proses transformasi dalam peristiwa Atnggerang ini, protes
tentang ekonomi dirumuskan dalam suatu batasan keagamaan. Dengan hal ini berhubungan
ditunjukkan pula mengenai suatu golongan sosial yang telah ada dalam suatu gerakan itu.
Berdasarkan kehidupan sosialnya penyelidikan mrnghasilka. 24 orang tawanan, empat orang
adalah oragn miskin, sisanya orag kaya. Sebuah pertemuan dari pengikut penting dari gerakan
tersebut terjadi pada bulan Oktober tempat dirumah Merin, bersamaan dilangsungkannya
dengan pesta perkawinan.
Beberapa hari swbelum terjadi letusan pemberontakan, para kaum pemberontak
mengadajan sebuah pertemuan dan melakukan perjalanan ke beberapa tempat yang dikeramatkan
daerah Manggadua dang Parungkured Rakhmat dengan harapan dari orang keramat tersebut
untuk menjamin keberhasilannya usaha didalam merebut kembali Negeri Pulo Jawa. Para
pengikut Kaiin pun mengharapkan memiliki tanah yang cukup luas dengan direbutnya tabag
milik peranu dahulu oleh tun tanah Cina yang telah sesuai dengan ilham yang sudah di terimanya
dengan isi bahwa tanah yang ada di Tanggerang adalah milik nenek moyanngya.
Tanggal 10 Pebruari 1924 atau 4 bulan Rajab sesuai dengan anjuran dari Sairin serangan
haru segera dimulai. Saat-saat yang menggetarkan sebelum serangan dimulai karena banyk
dilakukannya ziarah-ziarah dan juga oembagian jimat. Puncak dari acara persiapan yang terakhir
adalah upacara untuk membersihkan diri dilakukan di rumha Sairin tujuannya agar memperoleh
kekebalan bagi para anggota yang memberontak. Dengan mememaik celana putih dan topi
bambu buatan Tanggerang.
Kaiin memimpin para pengikutnya untuk menuju tempat tuan tanah yang ada di
Pangkalan dan juga menyerang para penghuninya serta harta yang telah dimilikinya tepat apda
19 Pebruari. Kantor dari tuan tanah Kampong Melayu dirampok serta dibakarnya buku-buku.
Sedikit bukti yang menunjukkam adanya suatu hubungan antaar pertumbuhan nasionalis modern
atau Sarekat Islam bila dilihat dari gerakan di Tanggerang ini, namun tentu saja para
pemimpinnya telah memiliki tingkat kesadaran politik. Tercermin dalam tujuannya untuk
mengembalikan tanah kepada rakyat dengan dasar bahwa para orang asing tidak memiliki hak
atas kepemilikan tanah dengan ungkapan yang nersemboyankan "dari asal pulang ke asal".
Merupakan wujud ciri penting dari suatu gerakan di wilayah Tanggerang adlaah tuntutan orang
asing. Hal ini pun menunjukkan suatu adanya tuntutan ekonomi yang secara khusus drngan
disertainya suatu tuntutan politik yang cukup luas.
Tahun 1914 banyak terjadi kegiatan yang sifatnya kolektif dan terjadi didalam kehidupan
sehari-hari, adanya sistem yang saling tolong-menolong didalam kematian, dan lain sebagainya.
Pemberontakan yng terjdi di Tanggerang tidak memiliki afiliasi yang sifatnya nasional dan juga
diorganisasikan melalui garis dari kekerabatan serta pengelompokkan dalam upacara. Namun
dalam suatu gerakan yang telah terjadi di Demak pada tahun 1918 dan 1935 terlihat adanya suatu
tingkatan kodernitas yang mencakup lebih luas didalam suatu kepemimpinannya maupun
organisasinya juga. Pada tahun 1918 terjadilah peristiwa Bulusan seperti diorganisasi oleh ketua
Sarekat Islam yang berasal dari Demak dan Semarang bernama Suharja dan Semaun. Gerakan
dari pemberontakan ini dimulai dengan diadakan dari serentetan rapat di berbagai cabang Sarekat
Islam dengan rumusan tuntutan sebagai berikut: 1) penghapusan suatu pajak kepala ;2)
penghapusan dari lumbung desa dan iuga pembagian padu kepada rakyat kecil ;3) pengembalian
tanah sawah komunal terhadap rakyat kecil; 4) pembelian tanah partikelir oleh pemerintah
dengan cepat. Bila tuntutan ini tidka diindahkan oleh pemerintah rakyat pun akan memberontak.
Kerusuhan lain juga terjadi di Demak pada tahun 1935 dikenal dengan peristiwa Genuk.
Latar belakang peristiwa ini dalah penolakan para kusir gerobak untuk membayat pajak kepda
pemerintah kotapraja Semarang. Dengan dua kali penolakan membayar pajak yakni kepada
Demak dan Semarang. Meletuskan pemberontakan yakni pada tanggal 4 Pebruari 1935 ketika
para kusir gerobak melakukan suatu perlawanan kepada polisi didaerah Kaligawe yang sedang
melakukan suatu pemeriksaan disetiap kendaraan yang akan memasuki kota. Menurut laporan
diorganisasi Sukaemi dan Raden Akhmad kerusuhan di Genuk ini merupakan protes yang berisi
unsur agama seperti tampak pada proklamasi dari Sukaemi yang menganggap sebagai Sunan
Kali Jaga, dengan suatu keinginan agar dapat diakui sebegai pemimpin keramat.
Dari kerusuhan tersebut maka memperjelas adanya rakyat masuk kedalam suatu arus
pemberontakan dengan keinginan berakhirnya kebobrokan ekonomi. Dengan faktor ekonomi
yang mereka menjadikan alasan adalah masalah pungutan cukai.
2.4 GERAKAN RATU ADIL

Seperti halnya dengan gerakan sosial tradisional yang lain, peristiwa pergolakan yang
pendek umurnya dan terbatas tempatnya merupakan kerusuhan-kerusuhan mesianistis di Jawa.
Kejadian itu seperti yang terjadi pada persekutuan atau desa. Gerakan tersebut berasal dari
seorang yang mendapatkan sebuah peran menjadi pemimpin agama, jurus selamat atau nabi,
maupun yang mengikuti oleh segolongan orang-orang memperyainya. Gerakan ini lebih
bersandar ke segi gaib yang menjelma ke eskatologis dn milenaristis. Secara singkat ini
menghendaki adanya satu millennium, sebuah harapan terhadap tibanya sebuah zaman keemasan
yang tidak adanya penderitaan rakyat serta ketegangan dan ketidakadilan.
Mesianisme yang ada di Jawa Tengah dan Jawa Timur lebih mengartikan dirinya dalam
gerakan Ratu Adil, yang pada jenisnya masih bisa ditemui dibeberapa wilayah pada saat ini.
Namun gerakan itu muncul lebih panjang di daerah Jawa Tengah. Gerakan-gerakan protes
tradisional umumnya dihasilkan oleh kenyataan yakni pada umumnya reaksi masyarakat
tradisional ini terhadap perubahan sosial dengan jalan keagamaan, yang semata-mata akibat
perubahan itu tidak membawa diferensiasi di antara berbagai segi kehidupan.

Kerinduan yang dialami rakyat ini mengahapkan tibanya zaman keemasan yang mistis,
hal itu ditujukan terhadap ramalan-ramalan mesianistis, yang melahirkan rasa dendam terhadap
pemerintahan asing yang dilakukan oleh rakyat, serta keinginan untuk mengusir yang tampak
jelas pada penghidupan kembali harapan terhadap Ratu Adil. Tujuan pokok gerakan ini ialah
mengubah kehidupan secara mutlak dan rasikal yanag terjadi di masyarakat yang awalnya
profon. Dalam hal ini yang menjadi persoalan adalah masalah sekarang yang tidak memikirkan
nasib nantinya.

Praktik-praktik Islam yang umumnya terjadi di Jawa selalu dipenuhi oleh unsur non
Islam seperti mstik. Pada hal ini pesantren maupun tarekat berperan penting pada
perkembangannya. Karena kedua memberikan dasar kuat terhadap pergerakan sosial. Factor
penting pada gerakan mesianistik adalah pada gerakan ini terdiri dari kelompok-kelompok
keluarga. Dan anggota-anggotanya bersal dari solidaritas yaitu kekerabatan.

Pada tahun-tahun berikutnya muncul kembali gerakan mesianisme pada tahun 1907 di
desa Bandungan yang berada di wilayah Kabupaten Berbek, di Keresidenan Kediri. Gerakan
yang dipimpin oleh seorang petani kaya yairu Dermodjojo. Awal mula gerakan ini memang
bbelum diketahui, namun ia mempromosikan dirinya sebagai seorang Ratu Adil. Ia bermimpi
menjadi Ratu Adil karena suda ditakdirkan. Hal tersebut juga diperkuat dengan mimpi orang-
orang yang bermimpi sama seperti dirinya. Prokalamasi tersebut terjadi pada Januari tahun 1907.
Setelah hal itu, banyak memberikan indoktrinasi terhadap pengikutnya.

Kemudian pertemuran kedua pun terjadi namun singkat, Karena pada saat itu berhasil
diatasi oleh polisi dan berakhir hanya dalam tempo sehari. Dari laporan dinyatakan bahwa
pemberontakan tidak dijiwai dari perasaan tidak puas terhadap pihak pedesaan, namun berasal
dari sifat ketaatan yang membabi buta dari pengkut Dermodjojoyang dianggap menjadi Ratu
Adil. Gerakan yang dilakukan merupakan gerakan kejadian locak yang murni.
Gerakan lainnya yang mirip dengan mesianistis juga dapat dilihat dari Peristiwa Dietz,
gerakan ini terjadi yekitar 1918 ddengan pemimpin yang bernama Dietz. Dalam gerakannya ia
mengumumkan sebagai seorang Ratu Adil dan juga sebagai calon dari pemegang tahta di
Yogyakarta.

Banyak gerakan-gerakan yang seperti itu, misalnya pada Gerakan Herucokro, Nur hakim
dan Malangjuda yang terjadi berterusan pada 180-1871 dan 1885-1886. Terdapat juga gerakan
lainnya yang dikenal dengan Peristiwa Amat Ngisa. Gerakan seperti itu di Banyumas terjadi
pada 1920 an. Dari adanya beberapa gerakan tersebut bisa dikatakan bahwa dalam budaya di
Jawa, kepemimpinan didalam gerakan mesianistis sumbernya berasal dari wahyu suci, wangsit
atau wisik, dimana semua itu merupakan gaib.
BAB 3. PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Gerakan ini diawali di abad ke 19 yang dikalukan oleh para petani di tanah partikelir
yang disebabkan oleh rasa tidak adil atas besarnya pajak dan adanya kerja rodi. Para petani di
daerah itu merasa bahwa pajak yang ditetapkan terlalu besar sehingga terasa seperti pemerasan
sedangkan hasil panen yan tidak bisa mereka rasakan karena harus dikurangi untuk membayar
pajak. Karena hal tersebut timbulah kerusuhan di daerah tersebut yang disebut sebagai kerusuhan
cuka, yang merupakan nama dari pajak terbesar yang memberatkan rakyat. Perlawanan ini tidak
termasuk dalam gerakan social karena dalam gerakan didasari oleh rasa dendam terntu sehingga
tidak adanya fanaisme agama didalamnya, atau hanya murni rasa dendam kepada para pemimpin
yang memberi peraturan mengenai pajak yang terlalu besar.
Tanah partikelir merupakan tanah milik swasta yang ada karena hasil penjualan tanah
oleh VOC di tahun 1602-1799. Yang pada pelaksanaanya dilanjutkan oleh Daendels dan Raffles
hingga tahun 1820. Tanah partikelir ini dalam penjualnnya berbeda dengan tanah biasanya,
karena tanah ini diserahkan bukan hanya tanah dengan tanaman yang ditanam melainkan wilayah
dengan penduduknya. Dalam kepemilikannya pun bersifat mutlakdan jangka waktu selamanya.
Pemilik tanah ini disebut “Tuan Tanah” yang memiliki hak istimewa yaitu hak yang dimiliki
oleh pemerintah seperti hak kemanan. Serta para pemilik tanah ini berhak untuk memerintah para
tenaga kerja untuk kepentingan pribadi seperti untuk menjadi pengurus tanaman atau menjadi
pengurus rumah tangga.
Awal adanya tanah partikelir ini adalah karena pada zaman VOC yang mulai melaukan
praktik penjualan tanah ini pada abad ke 19. Tanah partikelir ini telah menyebar ke seluruh jawa
seperti di Batavia, Banten, Surabaya dan Karawang. VOC meneyrahkan tanah ini dengan alasan
kepentingan politik seperti memberikan hadian kepada orang yang dianggap dapat menjaga
ketentraman daerah Batavia contohnya para mantan perwira VOC. Dalam pelaksanaanya ada
beberapa tanah yang diberikan kepada orang pribumi dengan alasan mencari dukungan dari
pihak tersebut. Namun dalam pemerintahan Daendels dan Raffles banyak tanah patikelir yang
dijual karena pada saat tersebut pemerintah membutuhkan banyak dana untuk membantu
perekonomian yang hamper bangkrut.
Tuan tanah yang memiliki hak istimewa pada masa tersebut ternyata menggunakan
kekuasannya dengan tidak bijaksana, mereka melakukan eksploitasi bahkan melakukan
kecurangan agar mendapat keuntungan yang besar. Karena hal tersebut pada pemerintahan
Daendels dan Raffles membuat sebuah peraturan yaitu larangan untuk memberlakukan pajak
persepuluh persen kepada petani serta melakukan eksploitasi pada tenaga kerja. Dengan adanya
peraturan ini tidak membuat para pemilik tanah mematuhi tetapi mereka tetap melakukan
pelanggaran dikarenakan pada zaman tersebut control pemerintah dalam msyarakat masih
kurang. Akhirnya di tahun 1816 muncul sebuah kerusuhan di tanah partikelir daerah Batavia dan
Cirebon. Diarenakan keadaan tersebut pemerintah mengeluarkan kembali peraturan baru un utk
melindungi petani. Pemerintah mengelurkan peraturan pada 28 februari 1839 yang menegaskan
bahwa pemerintah tetap memiliki wewenang dalam tanah partikelir sehingga para pemilik tanah
harus tetap memperhatikan kesejahteraan rakyat. Namun para tuan tanah tetap tidak
menghiraukan peratura ini sehingga secara berturut-turut terjadi di Candi Udik yaitu pada tahun
1845 kemudian disusul kerusuhan di Ciomas tahun 1886 kemudian pada tahun 1892 terjdi
kerusuhan lagi di Campea. Kerusuhan terus terjadi dan semakin menjadi-jadi sampai tahun 1913.
Tanah partikelir di Jawa sebagian banyak adalah milik tuan tanah bangsa Eropa dan
Orang Cina. Para tuan tanah ini memperoleh perolehan dari hasil tanah parikelir yang
dikuasainya. Yang dilakukan oleh para pemilik tanah ini adalah dengan merapkan uang sewa,
pajak serta bagian panen kepada petani serta kepemilikan terhadap tenaga kerja. Dalam
perjalannya par tuan tanh juga mengangkat pegawai administrasi, pemungut pajak serta
pengawas agar mempermudah dalam pelaksanaannya. Tanah partikelir ini sebagian besar
ditanami tanaman perkebunan seperti the, kopi, coklat yang merupakan komoditi ekspor. Namun
dengan ketentuan yang dilakukan oleh para pemilik tanah membuat para petani kehilangan hak
otonom dalam ekonomi. Karena jika dlam hokum mereka adalah orang yang bebas namun
didalam kenyataanya kehidupan mereka bergantung kepada pemilik tanah. Mereka juga
kehilangan hak atas tanah mereka karena setiap tanaman ditentukan oleh pemilik tanah dan
hasilnya harus dibagi kepada tuan tanah. Dalam kehidupan mereka merupakan buruh sewaan
karena para tuan tanah bertindak sewenang-wenang dengan memaksa para petani seenaknya
sendiri tanpa memperhatikan kesejahteraan petani, para pemilik tanah juga menuntut unutk
penyerahan tenaga kerja demi kepentingan pribadi, serta tuan tanah berhak mengusir petani yang
tidak dapat membayar pajak atau tidak mau melakukan hal yang diperitahkan.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Taufik. 2012. Indonesia Dalam Arus Sejarah Jilid IV : Kolonialisasi
dan Perlawanan.Jakarta : PT Ichtiar Baru van Hoeve

Soedjono, dan Leirissa. 2009. Sejarah Nasional Indonesia IV : Kemunculan


Penjajahan di Indonesia.Jakarta : Balai Pustaka

Anda mungkin juga menyukai