BANGSA INDONESIA
Latar Belakang
Sumber Konflik
Berbeda dengan perbedaan horisontal, perbedaan vertikal diasumsikan sebagai
faktor yang menentukan tercetusnya konflik sosial. Karena status sosial dan ekonomi
serta kedudukan politik signifikan dalam setiap interaksi sosial antara kelompok-
kelompok etnik. Apakah interaksi sosial tersebut akan bersifat positif atau negatif, sangat
ditentukan oleh kadar perbedaan-perbedaan vertikal di antara kelompok-kelompok etnik.
Dan bukan dari perbedaan-perbedaan horisontal, sebagaimana yang banyak diyakini
selama ini.
Semakin tinggi posisi politik dan peran dominatif suatu kelompok etnik, akan
semakin kuat menimbulkan prasangka (stereotipe negatif) yang menjadi sumber
ketegangan dan konflik antarkelompok etnik. Apalagi kalau mengacu konsep dominatif
yang lebih menekankan pada aspek kualitatif daripada aspek kuantitatifnya. Di mana
suatu kelompok etnik minoritas juga berpeluang memiliki peran dominatif, jika
kelompok tersebut secara substansial menguasai struktur politik atau ekonomi di daerah
(negara) tertentu.
Sehingga dari pola interaksi sosial yang demikian itu bisa mengimplikasikan
perbedaan-perbedaan yang semakin kompleks, baik secara horisontal maupun vertikal.
Yang selanjutnya, sangat efektif sebagai sumber ketegangan. Perbedaan-perbedaan yang
kompleks itu, secara empirik terbukti pada kasus ketegangan dan konflik sosial yang
menyangkut minoritas etnik Cina di Indonesia. Meski minoritas, tetapi dalam kehidupan
sehari-hari mereka menguasai pusat-pusat perdagangan.
Jadi secara hipotesis dapat disimpulkan, bahwa sumber konflik sosial antara
berbagai etnik atau golongan bukan didominasi oleh perbedaan horisontal. Tetapi yang
lebih menonjol disebabkan oleh faktor perbedaan-perbedaan vertikal. Karena interaksi
dalam perbedaan vertikal antaretnik (suku) dan golongan lebih berdimensi kalah-menang,
bermuara pada munculnya kekuatan yang mendominasi dan yang didominasi. Kemudian
terjadi ketidakseimbangan, prasangka dan ketegangan. Dan apabila tidak segera
diantisipasi, maka kondisi itu sangat rentan dimanfaatkan oleh mereka yang tak
bertanggung jawab untuk memicu konflik sosial dan kerusuhan massal.
Dari Masyarakat Majemuk ke Multikultural
Landasan sosial dan budaya masyarakat Indonesia yang bercorak masyarakat
majemuk (plural society) sudah saatnya dikaji kembali. Ideologi masyarakat majemuk
yang menekankan pada keanekaragaman suku bangsa tidak akan mungkin mewujudkan
masyarakat sipil yang demokratis. Untuk mencapai tujuan demokratisasi, ideologi harus
digeser menjadi ideologi keanekaragaman budaya atau multikulturalisme.
Indonesia Baru Berbasis Multukultural
Prinsip demokrasi hanya mungkin hidup dan berkembang secara mantap dalam
sebuah masyarakat sipil yang terbuka (open society), yang warganya mempunyai
toleransi terhadap perbedaan-perbedaan dalam bentuk apa pun, karena adanya kesetaraan
derajat kemanusiaan yang saling menghormati, dan diatur oleh hukum yang adil dan
beradab yang mendorong kemajuan dan menjamin kesejahteraan hidup warganya.
Padahal keberaturan dan ketidakberaturan adalah dua hal yang saling mengisi.
Melenyapkan ketidakberaturan berarti melenyapkan daya perubahan dan kreativitas.
Dunia chaos adalah dunia yang selalu dipenuhi energi kegelisahan. Kebudayaan yang
tidak gelisah adalah kebudayaan yang telah mati. Kegelisahan untuk bertumbuh inilah
yang harus ditanamkan pada setiap komponen bangsa yang plural ini (daerah, suku,
agama, ras).
Otonomi daerah dapat diberikan pemaknaan, tidak saja ‘kebebasan daerah untuk
menentukan dirinya sendiri’, tetapi juga kebebasan dalam membangun ‘garis-garis
penghubung’ atau ‘garis-garis dialogis’ (dialogic lines) antardaerah. Garis-garis
penghubung itu sangat dinamis dan kompleks, yang memungkinkan kita mengembara
dalam kemungkinan teritorial dan makna baru yang kaya. Di mana dimungkinkan
terjadinya dialog budaya antaretnik, sehingga tercapai suatu transformasi dan akulturasi
budaya yang memberikan nilai tambah bagi pengkayaan budaya Indonesia Baru nanti.
Oleh sebab itu, setiap komponen bangsa harus merupakan sistem terbuka (open
system). Artinya, harus selalu mengantisipasi tantangan dan pengaruh dari luar dirinya,
baik terhadap tantangan regional maupun global. Oleh sebab itu, diperlukan kemampuan
untuk merasa, kemampuan berempati, dan kemampuan pemahaman, sebagai inti dari
prinsip dialogis [2].
Catatan Akhir
Di tengah arus reformasi dewasa ini, agar selamat mencapai Indonesia Baru,
maka idiom yang harus lebih diingat-ingat dan dijadikan landasan kebijakan mestinya
harus berbasis pada konsep Bhinneka Tunggal Ika. Artinya, sekali pun berada dalam satu
kesatuan, tidak boleh dilupakan, bahwa sesungguhnya bangsa ini berbeda-beda dalam
suatu kemajemukan.
Maka, Indonesia Baru yang kita citakan itu, hendaknya ditegakkan dengan
menggeser masyarakat majemuk menjadi masyarakat multikultural, dengan
mengedepankan keBhinnekaan sebagai strategi integrasi nasional. Namun, jangan sampai
kita salah langkah, yang bisa berakibat yang sebaliknya: sebuah konflik yang
berkepanjangan. Harus disadari, bahwa merubah masyarakat majemuk ke multukultural
itu merupakan perjuangan panjang yang berkelanjutan.