kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara ke arah yang lebih baik secara
konstitusional. Artinya, adanya perubahan kehidupan dalam bidang politik, ekonomi, hukum,
sosial, dan budaya yang lebih baik, demokratis berdasarkan prinsip kebebasan, persamaan, dan
persaudaraan.
Gerakan reformasi lahir sebagai jawaban atas krisis yang melanda berbagai segi
kehidupan. Krisis politik, ekonomi, hukum, dan krisis sosial merupakan faktor yang mendorong
lahirnya gerakan reformasi.Bahkan, krisis kepercayaan telah menjadi salah satu indikator yang
menentukan. Reformasi dipandang sebagai gerakan yang tidak boleh ditawar-tawar lagi dan
karena itu, hampir seluruh rakyat Indonesia mendukung sepenuhnya gerakan reformasi tersebut.
kepemimpinan nasional sebagai langkah awal menuju terwujudnya masyarakat yang adil dan
ekonomi, hukum, sosial, dan budaya. Indoenesia harus dipimpin oleh orang yang memiliki
Namun kini harapan terhadap reformasi mulai terjadi kemunduran atas rasa dan semangat
kebersamaan yang sudah dibangun selama ini. Intoleransi semakin menebal ditandai dengan
meningkatnya rasa benci dan saling curiga diantara sesame anak bangsa. Hegemoni mayoritas
atas minoritas semakin menebal, mengganti kasih saying, tenggang rasa, dan semangat berbagi.
Intoleransi muncul akibat hilangnya komitmen untuk menjadikan toleransi sebagai jalan keluar
untuk mengatasi berbagai persoalan yang membuat bangsa terpuruk. Dalam perspektif
keagamaan, semua kelompok agama belum yakin bahwa nilai dasar dari setiap agama adalah
Dilansir dari idntimes.com ada beberapa kasus intolerasi yang ada di Indonesai pada tahun
2018 antara lain : perusakan pura di lumajang, penyerangan terhadap ulama di Lamongan,
perusakan masjid di Tuban, Ancaman bom di kelenteng Kwan Tee Koen Karawang, Serangan
Gereja Santa Lidwina Sleman, Persekusi terhadap Biksu di Tangerang, Dua serangan brutal
terhadap tokoh Islam yakni 1) penganiayaan ulama sekaligus Pimpinan Pusat Persatuan Islam
(Persis) HR Prawoto, oleh orang tak dikenal, hingga nyawanya tak dapat diselamatkan. 2)
penganiayaan pada ulama, tokoh NU, sekaligus pengasuh Pondok Pesantren Al Hidayah
yang paling benar, dan ingin menguasai pemerintahan. Reformasi yang mempunyai harapan
semakin baiknya bermasyarakat dan pemerintahan, justru dirusak oleh beberapa kelompok yang
ingin merusak keharmonisan masyarakat Indonesia. Hampir intoleransi saat ini di latar belakangi
Zuhairi (2008) mengatakan persoalan anti toleransi dan anti pluralism yang semakin
menguat tidak hanya dipengaruhi oleh iman dan kitab suci, tetapi banyak dipengaruhi oleh faktor
riil, seperti politik, ekonomi, sosial dan budaya. Pluralisme tidak berarti pernyataan bahwa semua
agama sama, juga tidak berkaintan dengan pertanyaan mana yang benar dan baik. Namun,
pluralism adalah kesediaan menerima kenyataan bahwa dalam masyarakat ada cara hidup,
berbudaya, dan berkeyakinan agama yang berbeda. Dalam penerimaan itu, orang bersedia untuk
hidup, bergaul, dan kerjasama membangun negara. Frans Magnis Suseno (2008) mengatakan
pluralisme adalah syarat mutlak agar bangsa Indonesia yang begitu plural dapat bersatu dan
berbangsa yang tidak menghargai pluralisme adalah bangsa yang membunuh dirinya sendiri.
(pilpres 2019). Isu yang dibuat oleh media justru membuat masyarakat menjadi ekslusif terhadap
bersikeras tidak menerima pendapat orang lain yang bukan kelompoknya. Masyarakat eksklusif
adalah mereka yang membatasi pergaulan dengan masyarakat lain. Masyarakat ini cenderung
memisahkan diri dan tertutup dari pengaruh luar. Menurut Syarbaini, dkk (2019) Masyarakat
ekslusif adalah masyarakat yang disibukkan oleh urusannya masing-masing dan kurang
berinteraksi baik dengan lingkungannya. Sehingga merasa takut budaya lain merusaki
Mendekati masa pesta demokrasi menjadikan kerukunan dalam masysrakat justru terusik,
dimana yang berbeda pilihan berarti adalah musuh. Perbedaan membuat yang kawan menjadi
lawan, yang lawan bisa jadi teman asalkan tujuan masing-masing tercapai. Alangkah indahnya
jika keragaman suku, agama, ras, dan antara golongan yang biasa disingkat dengan “SARA”
dapat dijadikan modal bersama untuk membangunIndonesia. Semua elemen bangsa ditempatkan
sebagai kekayaan sosial yang berharga diperlakukan adil, serta punya kesempatan berkembang
dan berperan membangun negeri. Namun pada kenyataan kerusuhan yang sering terjadi di
Indonesia berlatar belakang SARA, sehingga kemajemukan bukan dijadikan modal dasar
pembangunan Indonesia, tetapi seolah-olah menjadi beban. Hal ini mencerminkan bahwa bangsa
kita sedang mengalami disorientasi nilai solidaritas menyangkut kepedulian sosial dan
penghargaan atas potensi individu dan kelompok lain. Kemudian Magnis Suseno (2008)
menyatakan jika seseorang atau sekelompok orang dalam suatu masyarakat menghayati
kebudayaan lokalnya secara sempit dan seluruh identitasnya berdasarkan kelompok kecilnya
sendiri, maka hal ini dapat menjadi suatu ancaman bagi integrasi nasional. Demikian juga bila
agama tidak terintegrasi kedalam kebudayaan bangsa seluruhnya, bila agama mengisolasikan diri
dan merasa tidak terlibat secara positif dalam kebudayaannya, maka masyarakat akan terpecah
Halim (2008) dalam artikel yang berjudul “Menggali Oase Toleransi”, menyatakan
“Toleransi berasal dari bahasa latin, yaitu tolerantia, berarti kelonggaran, kelembutan hati,
keringanan dan kesabaran”. Secara umum istilah ini mengacu pada sikap terbuka, lapang dada,
suka rela, dan kelembutan. United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization
(UNESCO) mengartikan toleransi sebagai sikap “saling menghormati, saling menerima, dan
saling menghargai ditengah keragaman budaya, kebebasan berekspresi, dan karakter manusia”.
Ada dua model toleransi, yaitu : Pertama, toleransi pasif, yakni sikap menerima perbedaan
sebagai sesuatu yang bersifat faktual. Kedua, toleransi aktif, melibatkan diri dengan yang lain
ditengah perbedaan dan keragaman. Hakikat toleransi adalah hidup berdampingan secara damai
dan saling menghargai diantara keragaman. Di Indonesia, praktek toleransi mengalami pasang
surut. Pasang surut ini dipicu oleh pemahaman distingtif yang bertumpu pada relasi “mereka”
dan “kita”. Tak pelak, dalam berbagai kontemporer, sering dikemukakan bahwa, radikalisme,
ekstremisme, dan fundamentalisme merupakan baju kekerasan yang ditimbulkan oleh pola
Kita sebagai generasi penerus bangsa dan penerus perjuangan reformasi perlu
menyelamatkan bangsa dan negara dengan kembali kepada nilai-nilai luhur yang pasti melekat
pada sebagian besar orang, kelompok, dan masyarakat di negeri ini. Persoalannya tidak setiap
orang atau kelompok yang mau mengakui pluralisme dan multikulturalisme. Subkhan (2007:29)
menyatakan pluralisme tidak semata menunjuk pada kenyataan tentang adanya kemajemukan.
Namun, yang dimaksud adalah keterlibatan aktif terhadap kenyataan kemajemukan tersebut.
Pluralisme agama dan budaya dapat dijumpai dimana-mana. Didalam masyarakat tertentu,
dikantor tempat kita bekerja, di sekolah tempat kita belajar, bahkan di pasar tempat kita
berbelanja. Tapi seseorang baru dapat dikatakan menyandang sifat tersebut apabila ia dapat
masyarakat plural dalam tulisan ini, adalah masyarakat majemuk yang ditandai adanya beragam
suku bangsa, agama, budaya atau adat istiadat. Kondisi masyarakat yang demikian diperlukan
kerjasama dengan sikap toleransi dalam menghadapi berbagai tantangan untuk memperkuat
ketahanan sosial suatu komunitas. Pada masyarakat majemuk atau plural, secara horizontal
ditandai dengan adanya kesatuan-kesatuan sosial berdasarkan perbedaan suku bangsa, perbedaan
agama, adat, dan perbedaan kedaerahan, dan sebagainya. Sedangkan ditinjau secara vertical
ternyata adanya perbedaan yang mencolok antara lapisan atas dengan lapisan bawah. Kondisi
masyarakat yang demikian akan mudah munculnya berbagai kerusuhan berupa konflik antar
etnis, konflik atas nama agama, dan adanya kecemburuan sosial yang disebabkan adanya
kesenjangan yang cukup tajam antara golongan kaya dan miskin. Apabila suatu masyarakat atau
komunitas tidak mampu mencegah atau mengelola konflik dan kekerasan serta tidak mampu
melindungi warga masyarakatnya yang rentan, hal ini mencerminkan lemahnya ketahanan sosial
Menurut Rainer Forst dalam Tolerantion and Democracys (2007) dalam Christopher
(2005) menyebutkan, ada dua cara pandang tentang toleransi yaitu konsep yang dilandasi pada
otoritas negara (permission conception) dan konsepsi yang dilandasi pada kultur dan kehendak
untuk membangun pengertian dan penghormatan terhadap yang lain (respect conception). Dalam
hal ini, Forst lebih memilih konsep kedua, yaitu toleransi dalam kontek demokrasi harus mampu
membangun saling pengertian dan saling menghargai ditengah keragaman suku, agama, ras, dan
bahasa. Untuk membangun toleransi sebagai nilai kebijakan setidak ada dua modal yang
dibutuhkan yaitu: Pertama, toleransi membutuhkan interaksi sosial melalui percakapan dan
pergaulan yang intensif. Kedua, membangun kepercayaan diantara berbagai kelompok dan
aliran. Prinsip dasar semua agama adalah toleransi, karena semua agama pada dasarnya
Konsep toleransi beragama dan intoleransi sangat ditentang baik dalam literatur dan
bahkan lebih di bidang interaksi sosial dalam masyarakat plural agama di Indonesia.
Eksklusivisme agama telah dikaitkan dengan fanatisme keagamaan yang dapat menyebabkan
kemampuan untuk hidup dengan hal-hal yang berbeda. Toleransi adalah sifat yang amat
didukung di kehidupan modern yang penuh dengan manusia dan kelompok yang beragam.
Dalam kehidupan modern di era globalisasi, semua manusia sering berinteraksi dengan
manusia atau kelompok lain yang berbeda dengannya. Perbedaan ini dapat menjadi penyebab
kehiudpan yang terpisah antar kelompok-kelompok dalam suatu masyarakat yang besar. Dengan
kata lain, kelompok-kelompok tersebut hidup berdampingan, tetapi tidak hidup bersama, namun
keterpisahan ini bukan karena tanpa kontak sosial. Dalam kesehariannya kelompok-kelompok
Perbedaan atau sifat asing yang ada pada objek cenderung dipandang negatif oleh banyak orang,
oleh karena itu, tidak jarang terjadi konflik diantara perbedaan ini.
Dari sinilah muncul masalah toleransi. Terhadap objek yang dipandang negatif subjek
dapat memilih sikap yang akan diambilnya. Jika subjek menuruti emosionalnya bahwa objek
adalah negatif, subjek akan bersikap intoleransi. Intoleransi dapat memicu koflik. Sikap
intoleransi dakan diikuti oleh tindakan yang intoleransi, mulai dari pelecehan atau penghinaan
verbal, kekerasan fisik dan dapat meluas hingga mengakibatkan deskriminasi atas dasar
Jika subjek mengambil sikap toleran, artinya subjek tidak langsung menuruti
emosionalnya untuk bersikap negatif tetapi memilih untuk menanggung, menghormati, serta
menerima objek dan perbedaan mereka. Dasar dari tindakan ini dapat berupa tanggung jawab
terhadap kedudukan dan hak pribadi objek atau dari keinginan untuk damai.
Sebagai penggerak masa depan, kaum muda menjadi sangat penting. Kaum muda
merupakan masa depan sebuah bangsa yang ingin maju. Kaum muda tidak bisa dituduh sebagai
kelompok yang mengacaukan, tetapi mereka adalah kelompok masyarakat yang bergerak dan
terus mencari. Mereka kaum muda tidak bisa ditempatkan sebagai entitas yang selalu dalam
“kesesatan pikir” dan kesesatan tindakan atas nama agama/Tuhan. Tidaklah adil dan
proporsional jika menjadikan pemuda (kaum muda) sebagai tertuduh. Kaum muda memang
secara umur masih belum kalah dibandingkan dengan kaum tua. Mereka masih berumur 15-35
tahun sebagaimana dikatakan oleh UNESCO. Tetapi umur yang kalah dengan kaum tua (sepuh)
yang sudah berada diatas 35 tahun bukanlah hal yang bisa dijadikan alasan kaum muda harus
dipersalahkan. Bahkan ditangan merekalah Indonesia masa depan akan berada. Oleh sebab kaum
muda masih mengenyam pendidikan ditingkat Menengah Atas sampai Perguruan Tinggi maka
tidak bisa sembarang mengajarkan materi pelajaran ataupun materi kuliah yang tidak sesuai
dengan realitas sosial. Pendidikan kita harus mengajarkan realitas sehingga anak bangsa akan
paham tentang realitas bukan hidup di dunia abstrak dan maya semata. Pendidikan harus
mengajarkan misi damai membangun bangsa dan manusia bermartabat dalam dimensi yang luas.
Sekali lagi kaum muda tidak hanya sebagai objek tetapi mereka adalah subjek yang memiliki
dunianya sendiri. Oleh sebab itu perlu mendapatkan perhatian sebagaimana dunianya.
Kita akan melihat beberapa fakta lapangan tentang keterlibatan kaum muda dalam aksi-
aksi intoleransi yang terus menggunung dan mengepung. Kaum muda sangat penting
kehadirannya di ruang publik yang penuh dengan persoalan di depan hidungnya. Kaum muda
dengan begitu perlu dilibatkan dalam proses perubahan sosial yang kian keras. Kaum muda perlu
mendapatkan pemahaman kondisi sosial ekonomi politik dan historis yang memadai sehingga
memiliki gambar yang jelas tentang sebuah fenomena sebuah negara. Kaum muda tidak bisa
disesatkan begitu saja. Kaum muda juga tidak bisa diarahkan harus berbuat ini atau berbuat itu.
Kaum muda itu penuh dengan kreativitas dan inisiatif karena itu berilah ruang untuk berekspresi
dan berimajinasi membangun masa depannya asalkan positif dan sesuai dengan cita-cita
sosialnya. Kita sekarang dapat menyaksikan bahwa kaum muda adalah generasi milenial yang
sangat aktif dalam dunia maya. Bukan karena kaum muda itu bodoh atau pun kurang mampu
menelaah persoalan-persoalan tetapi kaum muda itulah yang sekarang disebut sebagai generasi
milenial (generasi sekarang) yang sangat intensif dengan persoalan media sosial. Berbeda dengan
Mencermati uraian diatas, dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut. 1) Di era
reformasi kemajemukan masyarakat cenderung menjadi beban daripada modal bangsa Indonesia.
Hal ini terlihat dari munculnya berbagai masalah yang sumbernya berbau kemajemukan,
khusuunya bidang agama. Agama yang seharusnya menjadi solusi atas berbagai masalah sosial,
justru memicu timbulnya permasalahan sosial. Hal ini disebabkan kurang adanya pembahasan
tentang tanggung jawab sosial umat beragama. 2) Kini semangat kebersamaan semakin
menurun, dan toleransi semakin menebal ditandai dengan meningkatnya rasa benci dan saling
curiga diantara anak bangsa. Hal ini disebabkan semua kelompok agama belum yakin bahwa inti
dasar setiap agama adalah toleransi – perdamaian – anti kekerasan. 3) Untuk mencegah dan
terjalinnya hubungan antar anggot-anggota dari berbagai kelompok, hal ini dapat menetralisir
terjadinya konflik-konflik sosial dan tidak khawatir akan terjadi fanatisme sempit serta
sentiment-sentimen yang bersifat primordial. Disamping itu, interaksi yang dilakukan dalam
kehidupan bersama mengacu kepada nilainilai umum yang dijunjung oleh semua warga
masyrakat plural/majemuk.
Mengingat sering terjadinya benturan antara umat beragama yang menimbulkan konflik
sosial, maka disarankan: 1) Perlunya ditingkatkan “dialog” antar umat beragama sebagai langkah
pertama menuju kerukunan dan perdamaian. Dialog tersebut memerlukan suatu forum
pertemuan, berarti perlu dibentuk suatu lembaga atau organisasi yang disepakati oleh pemuka-
pemuka agama atau aliran kepercayaan yang ada dimasing-masing wilayah. 2) Perlu
ditingkatkan rasa tanggung jawab sosial umat beragama melalui kesadaran membayar zakat dan
infak sebagai sumber dana masyarakat dan dana tersebut dikelola dengan baik, dan kemudian
disalurkan kepada kaum duafa sebagai suatu upaya mengentaskan kemiskinan, yang merupakan
Wijaya, Rochmanudin. 2018. Kasus Intoleransi dan kekerasan beragama sepanjang 2018.
:https://www.idntimes.com/news/indonesia/rochmanudin-wijaya/linimasa-kasus-
intoleransi-dan-kekerasan-beragama-sepanjang-2
Christoper, Daniel L.Smith (editor). 2005. Lebih Tajam dari Pedang-Refleksi Agama-agama
Suseno, Frans Magnis. 2008. “Junjung Tinggi Pluralitas”: Pengerasan Identitas Kelompok