Anda di halaman 1dari 10

REFORMASI MELAHIRKAN MASYARAKAT EKSKLUSIF

Oleh Muhamad Miftahussurur


16312244039

Reformasi di Indonesia timbul karena adanya ketidakadilan pemerintah terhadap

masyarakat. Reformasi merupakan suatu gerakan yang menghendaki adanya perubahan

kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara ke arah yang lebih baik secara

konstitusional. Artinya, adanya perubahan kehidupan dalam bidang politik, ekonomi, hukum,

sosial, dan budaya yang lebih baik, demokratis berdasarkan prinsip kebebasan, persamaan, dan

persaudaraan.

Gerakan reformasi lahir sebagai jawaban atas krisis yang melanda berbagai segi

kehidupan. Krisis politik, ekonomi, hukum, dan krisis sosial merupakan faktor yang mendorong

lahirnya gerakan reformasi.Bahkan, krisis kepercayaan telah menjadi salah satu indikator yang

menentukan. Reformasi dipandang sebagai gerakan yang tidak boleh ditawar-tawar lagi dan

karena itu, hampir seluruh rakyat Indonesia mendukung sepenuhnya gerakan reformasi tersebut.

Dengan semangat reformasi, rakyat Indonesia menghendaki adanya pergantian

kepemimpinan nasional sebagai langkah awal menuju terwujudnya masyarakat yang adil dan

makmur. Pergantian kepemimpinan nasional diharapkan dapat memperbaiki kehidupan politik,

ekonomi, hukum, sosial, dan budaya. Indoenesia harus dipimpin oleh orang yang memiliki

kepedulian terhadap kesulitan dan penderitaan rakyat.

Namun kini harapan terhadap reformasi mulai terjadi kemunduran atas rasa dan semangat

kebersamaan yang sudah dibangun selama ini. Intoleransi semakin menebal ditandai dengan

meningkatnya rasa benci dan saling curiga diantara sesame anak bangsa. Hegemoni mayoritas
atas minoritas semakin menebal, mengganti kasih saying, tenggang rasa, dan semangat berbagi.

Intoleransi muncul akibat hilangnya komitmen untuk menjadikan toleransi sebagai jalan keluar

untuk mengatasi berbagai persoalan yang membuat bangsa terpuruk. Dalam perspektif

keagamaan, semua kelompok agama belum yakin bahwa nilai dasar dari setiap agama adalah

toleransi. Akibatnya, yang muncul adalah intoleransi dan konflik.

Dilansir dari idntimes.com ada beberapa kasus intolerasi yang ada di Indonesai pada tahun

2018 antara lain : perusakan pura di lumajang, penyerangan terhadap ulama di Lamongan,

perusakan masjid di Tuban, Ancaman bom di kelenteng Kwan Tee Koen Karawang, Serangan

Gereja Santa Lidwina Sleman, Persekusi terhadap Biksu di Tangerang, Dua serangan brutal

terhadap tokoh Islam yakni 1) penganiayaan ulama sekaligus Pimpinan Pusat Persatuan Islam

(Persis) HR Prawoto, oleh orang tak dikenal, hingga nyawanya tak dapat diselamatkan. 2)

penganiayaan pada ulama, tokoh NU, sekaligus pengasuh Pondok Pesantren Al Hidayah

Cicalengka Bandung, Jawa Barat, KH Umar Basri.

Persoalan intolerasni ini dikehendaki oleh orang-orang yang menganggap kelompoknyalah

yang paling benar, dan ingin menguasai pemerintahan. Reformasi yang mempunyai harapan

semakin baiknya bermasyarakat dan pemerintahan, justru dirusak oleh beberapa kelompok yang

ingin merusak keharmonisan masyarakat Indonesia. Hampir intoleransi saat ini di latar belakangi

oleh politik yang berkedok agama.

Zuhairi (2008) mengatakan persoalan anti toleransi dan anti pluralism yang semakin

menguat tidak hanya dipengaruhi oleh iman dan kitab suci, tetapi banyak dipengaruhi oleh faktor

riil, seperti politik, ekonomi, sosial dan budaya. Pluralisme tidak berarti pernyataan bahwa semua

agama sama, juga tidak berkaintan dengan pertanyaan mana yang benar dan baik. Namun,

pluralism adalah kesediaan menerima kenyataan bahwa dalam masyarakat ada cara hidup,
berbudaya, dan berkeyakinan agama yang berbeda. Dalam penerimaan itu, orang bersedia untuk

hidup, bergaul, dan kerjasama membangun negara. Frans Magnis Suseno (2008) mengatakan

pluralisme adalah syarat mutlak agar bangsa Indonesia yang begitu plural dapat bersatu dan

berbangsa yang tidak menghargai pluralisme adalah bangsa yang membunuh dirinya sendiri.

Harapan terhadap pluralisme justru semakin menipis mendekati pemilihan presiden

(pilpres 2019). Isu yang dibuat oleh media justru membuat masyarakat menjadi ekslusif terhadap

kelompoknya masing-masing. Masing-masing kelompok mengunggulkan pendapatnya dan

bersikeras tidak menerima pendapat orang lain yang bukan kelompoknya. Masyarakat eksklusif

adalah mereka yang membatasi pergaulan dengan masyarakat lain. Masyarakat ini cenderung

memisahkan diri dan tertutup dari pengaruh luar. Menurut Syarbaini, dkk (2019) Masyarakat

ekslusif adalah masyarakat yang disibukkan oleh urusannya masing-masing dan kurang

berinteraksi baik dengan lingkungannya. Sehingga merasa takut budaya lain merusaki

budayanya. Masyarakat ekslusif inilah yang mengakibatkan adanya sikap intoleransi.

Mendekati masa pesta demokrasi menjadikan kerukunan dalam masysrakat justru terusik,

dimana yang berbeda pilihan berarti adalah musuh. Perbedaan membuat yang kawan menjadi

lawan, yang lawan bisa jadi teman asalkan tujuan masing-masing tercapai. Alangkah indahnya

jika keragaman suku, agama, ras, dan antara golongan yang biasa disingkat dengan “SARA”

dapat dijadikan modal bersama untuk membangunIndonesia. Semua elemen bangsa ditempatkan

sebagai kekayaan sosial yang berharga diperlakukan adil, serta punya kesempatan berkembang

dan berperan membangun negeri. Namun pada kenyataan kerusuhan yang sering terjadi di

Indonesia berlatar belakang SARA, sehingga kemajemukan bukan dijadikan modal dasar

pembangunan Indonesia, tetapi seolah-olah menjadi beban. Hal ini mencerminkan bahwa bangsa

kita sedang mengalami disorientasi nilai solidaritas menyangkut kepedulian sosial dan
penghargaan atas potensi individu dan kelompok lain. Kemudian Magnis Suseno (2008)

menyatakan jika seseorang atau sekelompok orang dalam suatu masyarakat menghayati

kebudayaan lokalnya secara sempit dan seluruh identitasnya berdasarkan kelompok kecilnya

sendiri, maka hal ini dapat menjadi suatu ancaman bagi integrasi nasional. Demikian juga bila

agama tidak terintegrasi kedalam kebudayaan bangsa seluruhnya, bila agama mengisolasikan diri

dan merasa tidak terlibat secara positif dalam kebudayaannya, maka masyarakat akan terpecah

belah menjadi kelompok-kelompok dengan ikatan-ikatan primordial yang semakin menguat.

Halim (2008) dalam artikel yang berjudul “Menggali Oase Toleransi”, menyatakan

“Toleransi berasal dari bahasa latin, yaitu tolerantia, berarti kelonggaran, kelembutan hati,

keringanan dan kesabaran”. Secara umum istilah ini mengacu pada sikap terbuka, lapang dada,

suka rela, dan kelembutan. United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization

(UNESCO) mengartikan toleransi sebagai sikap “saling menghormati, saling menerima, dan

saling menghargai ditengah keragaman budaya, kebebasan berekspresi, dan karakter manusia”.

Ada dua model toleransi, yaitu : Pertama, toleransi pasif, yakni sikap menerima perbedaan

sebagai sesuatu yang bersifat faktual. Kedua, toleransi aktif, melibatkan diri dengan yang lain

ditengah perbedaan dan keragaman. Hakikat toleransi adalah hidup berdampingan secara damai

dan saling menghargai diantara keragaman. Di Indonesia, praktek toleransi mengalami pasang

surut. Pasang surut ini dipicu oleh pemahaman distingtif yang bertumpu pada relasi “mereka”

dan “kita”. Tak pelak, dalam berbagai kontemporer, sering dikemukakan bahwa, radikalisme,

ekstremisme, dan fundamentalisme merupakan baju kekerasan yang ditimbulkan oleh pola

pemahaman yang eksklusif dan antidialog atas teks-teks keagamaan.

Kita sebagai generasi penerus bangsa dan penerus perjuangan reformasi perlu

menyelamatkan bangsa dan negara dengan kembali kepada nilai-nilai luhur yang pasti melekat
pada sebagian besar orang, kelompok, dan masyarakat di negeri ini. Persoalannya tidak setiap

orang atau kelompok yang mau mengakui pluralisme dan multikulturalisme. Subkhan (2007:29)

menyatakan pluralisme tidak semata menunjuk pada kenyataan tentang adanya kemajemukan.

Namun, yang dimaksud adalah keterlibatan aktif terhadap kenyataan kemajemukan tersebut.

Pluralisme agama dan budaya dapat dijumpai dimana-mana. Didalam masyarakat tertentu,

dikantor tempat kita bekerja, di sekolah tempat kita belajar, bahkan di pasar tempat kita

berbelanja. Tapi seseorang baru dapat dikatakan menyandang sifat tersebut apabila ia dapat

berinteraksi positif dalam lingkungan kemajemukan tersebut. Yang dimaksudkan dengan

masyarakat plural dalam tulisan ini, adalah masyarakat majemuk yang ditandai adanya beragam

suku bangsa, agama, budaya atau adat istiadat. Kondisi masyarakat yang demikian diperlukan

kerjasama dengan sikap toleransi dalam menghadapi berbagai tantangan untuk memperkuat

ketahanan sosial suatu komunitas. Pada masyarakat majemuk atau plural, secara horizontal

ditandai dengan adanya kesatuan-kesatuan sosial berdasarkan perbedaan suku bangsa, perbedaan

agama, adat, dan perbedaan kedaerahan, dan sebagainya. Sedangkan ditinjau secara vertical

ternyata adanya perbedaan yang mencolok antara lapisan atas dengan lapisan bawah. Kondisi

masyarakat yang demikian akan mudah munculnya berbagai kerusuhan berupa konflik antar

etnis, konflik atas nama agama, dan adanya kecemburuan sosial yang disebabkan adanya

kesenjangan yang cukup tajam antara golongan kaya dan miskin. Apabila suatu masyarakat atau

komunitas tidak mampu mencegah atau mengelola konflik dan kekerasan serta tidak mampu

melindungi warga masyarakatnya yang rentan, hal ini mencerminkan lemahnya ketahanan sosial

masyarakat tersebut. Solusi yang ditawarkan, yaitu dengan pendekatan toleransi.

Menurut Rainer Forst dalam Tolerantion and Democracys (2007) dalam Christopher

(2005) menyebutkan, ada dua cara pandang tentang toleransi yaitu konsep yang dilandasi pada
otoritas negara (permission conception) dan konsepsi yang dilandasi pada kultur dan kehendak

untuk membangun pengertian dan penghormatan terhadap yang lain (respect conception). Dalam

hal ini, Forst lebih memilih konsep kedua, yaitu toleransi dalam kontek demokrasi harus mampu

membangun saling pengertian dan saling menghargai ditengah keragaman suku, agama, ras, dan

bahasa. Untuk membangun toleransi sebagai nilai kebijakan setidak ada dua modal yang

dibutuhkan yaitu: Pertama, toleransi membutuhkan interaksi sosial melalui percakapan dan

pergaulan yang intensif. Kedua, membangun kepercayaan diantara berbagai kelompok dan

aliran. Prinsip dasar semua agama adalah toleransi, karena semua agama pada dasarnya

mencintai perdamaian dan anti kekerasan.

Konsep toleransi beragama dan intoleransi sangat ditentang baik dalam literatur dan

bahkan lebih di bidang interaksi sosial dalam masyarakat plural agama di Indonesia.

Eksklusivisme agama telah dikaitkan dengan fanatisme keagamaan yang dapat menyebabkan

agama-bernuansa kekerasan dan ekstremisme. Di masa kini, makna toleransi sebagai

kemampuan untuk hidup dengan hal-hal yang berbeda. Toleransi adalah sifat yang amat

didukung di kehidupan modern yang penuh dengan manusia dan kelompok yang beragam.

Dalam kehidupan modern di era globalisasi, semua manusia sering berinteraksi dengan

manusia atau kelompok lain yang berbeda dengannya. Perbedaan ini dapat menjadi penyebab

kehiudpan yang terpisah antar kelompok-kelompok dalam suatu masyarakat yang besar. Dengan

kata lain, kelompok-kelompok tersebut hidup berdampingan, tetapi tidak hidup bersama, namun

keterpisahan ini bukan karena tanpa kontak sosial. Dalam kesehariannya kelompok-kelompok

atau anggota-anggotanya ini berinteraksi dan mengalami perbedaan-perbedaan mereka.

Perbedaan atau sifat asing yang ada pada objek cenderung dipandang negatif oleh banyak orang,

oleh karena itu, tidak jarang terjadi konflik diantara perbedaan ini.
Dari sinilah muncul masalah toleransi. Terhadap objek yang dipandang negatif subjek

dapat memilih sikap yang akan diambilnya. Jika subjek menuruti emosionalnya bahwa objek

adalah negatif, subjek akan bersikap intoleransi. Intoleransi dapat memicu koflik. Sikap

intoleransi dakan diikuti oleh tindakan yang intoleransi, mulai dari pelecehan atau penghinaan

verbal, kekerasan fisik dan dapat meluas hingga mengakibatkan deskriminasi atas dasar

kebencian terhdapa kelompok lain.

Jika subjek mengambil sikap toleran, artinya subjek tidak langsung menuruti

emosionalnya untuk bersikap negatif tetapi memilih untuk menanggung, menghormati, serta

menerima objek dan perbedaan mereka. Dasar dari tindakan ini dapat berupa tanggung jawab

terhadap kedudukan dan hak pribadi objek atau dari keinginan untuk damai.

Sebagai penggerak masa depan, kaum muda menjadi sangat penting. Kaum muda

merupakan masa depan sebuah bangsa yang ingin maju. Kaum muda tidak bisa dituduh sebagai

kelompok yang mengacaukan, tetapi mereka adalah kelompok masyarakat yang bergerak dan

terus mencari. Mereka kaum muda tidak bisa ditempatkan sebagai entitas yang selalu dalam

“kesesatan pikir” dan kesesatan tindakan atas nama agama/Tuhan. Tidaklah adil dan

proporsional jika menjadikan pemuda (kaum muda) sebagai tertuduh. Kaum muda memang

secara umur masih belum kalah dibandingkan dengan kaum tua. Mereka masih berumur 15-35

tahun sebagaimana dikatakan oleh UNESCO. Tetapi umur yang kalah dengan kaum tua (sepuh)

yang sudah berada diatas 35 tahun bukanlah hal yang bisa dijadikan alasan kaum muda harus

dipersalahkan. Bahkan ditangan merekalah Indonesia masa depan akan berada. Oleh sebab kaum

muda masih mengenyam pendidikan ditingkat Menengah Atas sampai Perguruan Tinggi maka

tidak bisa sembarang mengajarkan materi pelajaran ataupun materi kuliah yang tidak sesuai

dengan realitas sosial. Pendidikan kita harus mengajarkan realitas sehingga anak bangsa akan
paham tentang realitas bukan hidup di dunia abstrak dan maya semata. Pendidikan harus

mengajarkan realitas keragaman, pengakuan sosial atas keragaman kemajemukan, serta

mengajarkan misi damai membangun bangsa dan manusia bermartabat dalam dimensi yang luas.

Sekali lagi kaum muda tidak hanya sebagai objek tetapi mereka adalah subjek yang memiliki

dunianya sendiri. Oleh sebab itu perlu mendapatkan perhatian sebagaimana dunianya.

Kita akan melihat beberapa fakta lapangan tentang keterlibatan kaum muda dalam aksi-

aksi intoleransi yang terus menggunung dan mengepung. Kaum muda sangat penting

kehadirannya di ruang publik yang penuh dengan persoalan di depan hidungnya. Kaum muda

dengan begitu perlu dilibatkan dalam proses perubahan sosial yang kian keras. Kaum muda perlu

mendapatkan pemahaman kondisi sosial ekonomi politik dan historis yang memadai sehingga

memiliki gambar yang jelas tentang sebuah fenomena sebuah negara. Kaum muda tidak bisa

disesatkan begitu saja. Kaum muda juga tidak bisa diarahkan harus berbuat ini atau berbuat itu.

Kaum muda itu penuh dengan kreativitas dan inisiatif karena itu berilah ruang untuk berekspresi

dan berimajinasi membangun masa depannya asalkan positif dan sesuai dengan cita-cita

sosialnya. Kita sekarang dapat menyaksikan bahwa kaum muda adalah generasi milenial yang

sangat aktif dalam dunia maya. Bukan karena kaum muda itu bodoh atau pun kurang mampu

menelaah persoalan-persoalan tetapi kaum muda itulah yang sekarang disebut sebagai generasi

milenial (generasi sekarang) yang sangat intensif dengan persoalan media sosial. Berbeda dengan

dunia kaum tua yang telah lahir jauh sebelum mereka.

Mencermati uraian diatas, dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut. 1) Di era

reformasi kemajemukan masyarakat cenderung menjadi beban daripada modal bangsa Indonesia.

Hal ini terlihat dari munculnya berbagai masalah yang sumbernya berbau kemajemukan,

khusuunya bidang agama. Agama yang seharusnya menjadi solusi atas berbagai masalah sosial,
justru memicu timbulnya permasalahan sosial. Hal ini disebabkan kurang adanya pembahasan

tentang tanggung jawab sosial umat beragama. 2) Kini semangat kebersamaan semakin

menurun, dan toleransi semakin menebal ditandai dengan meningkatnya rasa benci dan saling

curiga diantara anak bangsa. Hal ini disebabkan semua kelompok agama belum yakin bahwa inti

dasar setiap agama adalah toleransi – perdamaian – anti kekerasan. 3) Untuk mencegah dan

menannggulangi berbagai permasalahan sosial, perlu dibangun dan dikembangkan toleransi

dalam kehidupan pada masyarakat majemuk. 4) Dengan berkembangnya toleransi, maka

terjalinnya hubungan antar anggot-anggota dari berbagai kelompok, hal ini dapat menetralisir

terjadinya konflik-konflik sosial dan tidak khawatir akan terjadi fanatisme sempit serta

sentiment-sentimen yang bersifat primordial. Disamping itu, interaksi yang dilakukan dalam

kehidupan bersama mengacu kepada nilainilai umum yang dijunjung oleh semua warga

masyrakat plural/majemuk.

Mengingat sering terjadinya benturan antara umat beragama yang menimbulkan konflik

sosial, maka disarankan: 1) Perlunya ditingkatkan “dialog” antar umat beragama sebagai langkah

pertama menuju kerukunan dan perdamaian. Dialog tersebut memerlukan suatu forum

pertemuan, berarti perlu dibentuk suatu lembaga atau organisasi yang disepakati oleh pemuka-

pemuka agama atau aliran kepercayaan yang ada dimasing-masing wilayah. 2) Perlu

ditingkatkan rasa tanggung jawab sosial umat beragama melalui kesadaran membayar zakat dan

infak sebagai sumber dana masyarakat dan dana tersebut dikelola dengan baik, dan kemudian

disalurkan kepada kaum duafa sebagai suatu upaya mengentaskan kemiskinan, yang merupakan

tanggung jawab masyarakat (umat beragama).


Daftar Pustaka

Syarbaini,Syahrial dan Rusdianta.2019.Dasar-dasar Sosiologi.Graha Ilmu:Yogyakarta

Wijaya, Rochmanudin. 2018. Kasus Intoleransi dan kekerasan beragama sepanjang 2018.

Diakses hari jum’at 22 Maret 2019 melalui

:https://www.idntimes.com/news/indonesia/rochmanudin-wijaya/linimasa-kasus-

intoleransi-dan-kekerasan-beragama-sepanjang-2

Christoper, Daniel L.Smith (editor). 2005. Lebih Tajam dari Pedang-Refleksi Agama-agama

Tentang Paradoks Kekerasan, Yogyakarta : Kansius.

Suseno, Frans Magnis. 2008. “Junjung Tinggi Pluralitas”: Pengerasan Identitas Kelompok

Akan Membunuh Diri Sendiri, Kompas 12 Mei

Halim, Abdul. 2008. “Menggali Oase Toleransi”, Kompas.

Misrawi, Zuhairi. 2008. “Toleransi Sebagai Kuasa Nilai”, Kompas.

Anda mungkin juga menyukai