Anda di halaman 1dari 2

“MODERASI BERAGAMA DALAM KONTEKS MULTIKULTURAL DI INDONESIA”

Ditulis oleh : Qursin Jahelmi


Mahasiswi semester VII (Tujuh) STAI Sultan Syarif Hasim Siak Sri Indrapura

Perbincangan toleransi beragama tetap penting. Terlebih dalam konteks bangsa Indonesia
yang majemuk. Pada dasarnya, multikulturalisme yang terbentuk di Indonesia merupakan akibat
dari kondisi sosio-kultural maupun geografis yang begitu beragam dan luas. Menurut kondisi
geografis, Indonesia memiliki banyak pulau di mana setiap pulau tersebut dihuni oleh sekelompok
manusia yang membentuk suatu masyarakat. Dari masyarakat tersebut terbentuklah sebuah
kebudayaan mengenai masyarakat itu sendiri. Tentu saja hal ini berimbas pada keberadaan
kebudayaan yang sangat banyak dan beraneka ragam.
Kemajemukan dalam agama, bahasa, etnis, suku, dan adat istiadat memerlukan sebuah
sofistifikasi manajemen konflik, sehingga konflik dengan ketegangan secara berkesinambungan
dapat dikelola dengam baik. Elemen-elemen kemajemukan tersebut, baik sendirian maupun
bersama-sama, dapat mengancam integrasi bangsa. Perlu diakui bahwa elemen agama
berkontribusi amat besar bagi munculnya disintegrasi sosial dibanding elemen lain.
Dalam konteks masyarakat Indonesia, konflik agama sering lahir akibat konflik-konflik
ideologis dan politik yang kemudian menjalar ke konflik agama, Seperti konflik agama yang
terjadi di Situbondo pada tahun 1996, konflik agama di Poso pada tahun 1998-2000, konflik agama
di Ambon pada tahun 1999, konflik agama di Lampung Selatan pada tahun 2012, konflik agama
di Sampang pada tahun 2012, konflik agama di Tolikara pada tahun 2015, konflik agama di Aceh
pada tahun 2015, konflik agama di Lumajang, Lamongan, Tuban, dan Kawarang pada tahun 2018,
dan juga kasus agama lainnya yang mungkin tidak di sebutkan di atas (Hukamnas.com). Dalam
banyak hal, agama menjadi mata rantai terakhir konflik karena dalam struktur masyarakat
Indonesia, agama menjadi dasar psikologi sehingga sangat sensitif terhadap konflik. Kondisi
semacam ini, ditopang oleh maraknya alira-aliran sempit baik yang mengejawantah dalam bentuk
partai politik, organisasi-organisasi maupun asosiasi-asosiasi.
Untuk menyikapi elemen-elemen kemajemukan atau multikulturalisme di Indonesia dan
juga tantangan baru di era teknologi informasi dan informasi yang dengan menggiring opini negatif
yang membuat informasi kabur terkhusus informasi tentang keagamaan. Dalam hal ini harus
adayanya penyeimbangan untuk menyikapi hal tersebut, baik dalam berfikir maupun bertindak.
Keseimbangan inilah yang biasa dikenal dengan istilah “moderasi”. Kata moderasi berasal dari
Bahasa Latin moderâtio, yang berarti ke-sedang-an (tidak kelebihan dan tidak kekurangan). Kata
itu juga berarti penguasaan diri (dari sikap sangat kelebihan dan kekurangan). Kamus Besar
Bahasa Indonesia (KBBI) menyediakan dua pengertian kata moderasi, yakni: 1. n pengurangan
kekerasan, dan 2. n penghindaran keekstreman. Jadi jika dikatakan, “orang itu bersikap moderat”,
kalimat itu berarti bahwa orang itu bersikap wajar, biasa-biasa saja, dan tidak ekstrem (Kementrian
Agama RI, Moderasi Beragama, 2019:15).
Moderasi beragama harus dipahami sebagai sikap beragama yang seimbang antara
pengamalan agama sendiri (eksklusif) dan penghormatan kepada praktik beragama orang lain yang
berbeda keyakinan (inklusif). Moderasi beragama sesungguhnya merupakan kunci terciptanya
toleransi dan kerukunan, baik di tingkat lokal, nasional, maupun global. Pilihan pada moderasi
dengan menolak ekstremisme dan liberalisme dalam beragama adalah kunci keseimbangan, demi
terpeliharanya peradaban dan terciptanya perdamaian. Dengan cara inilah masing-masing umat
beragama dapat memperlakukan orang lain secara terhormat, menerima perbedaan, serta hidup
bersama dalam damai dan harmoni. Dalam masyarakat multikultural seperti Indonesia, moderasi
beragama bisa jadi bukan pilihan, melainkan keharusan.

Anda mungkin juga menyukai