Anda di halaman 1dari 108

BAB 1.

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Kerusuhan atau Konflik Sosial adalah suatu kondisi dimana terjadi huruhara/kerusuhan atau perang atau keadaan yang tidak aman di suatu daerah tertentu yang melibatkan lapisan masyarakat, golongan, suku, ataupun organisasi tertentu. Negara Indonesia sangat sarat dengan kerusuhan sosial, setiap hari hampir selalu ada berita mengenai kerusuhan-kerusuhan di berbagai pelosok daerah. Sebagai warga Negara Indonesia sudah semestinya kita tanggap dan kritis menghadapi kondisi Negara yang seperti ini. Bertindak sesuai dengan peran kita di masyarakat. Sebagai mahasiswa kita harus mampu menarik benang merah yang sering menjadi penyebab huru-hara di Negara ini.

Dengan adanya alasan di atas maka disusunlah makalah ini, agar kita mampu menarik benang merah masalah Negara kita, serta mampu menghadapinya tanpa harus memperkeruh keadaan.

1.2 Rumusan Masalah

1. Apa saja hal-hal yang melatarbelakangi terjadinya kerusuhan sosial di Negara Indonesia dari segi pertahanan dan keamanan? 2. Apa saja hal-hal yang melatarbelakangi terjadinya kerusuhan sosial di Negara Indonesia dari segi agama? 3. Apa saja hal-hal yang melatarbelakangi terjadinya kerusuhan sosial di Negara Indonesia dari segi budaya? 4. Apa saja hal-hal yang melatarbelakangi terjadinya kerusuhan sosial di Negara Indonesia dari segi pelanggaran pancasila?

1.3 Tujuan Penulisan

1. Mengetahui hal-hal yang melatarbelakangi terjadinya kerusuhan sosial di Negara Indonesia dari segi pertahanan dan keamanan. 2. Mengetahui hal-hal yang melatarbelakangi terjadinya kerusuhan sosial di Negara Indonesia dari segi agama. 3. Mengetahui hal-hal yang melatarbelakangi terjadinya kerusuhan sosial di Negara Indonesia dari segi budaya. 4. Mengetahui hal-hal yang melatarbelakangi terjadinya kerusuhan sosial di Negara Indonesia dari segi pelanggaran pancasila.

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Teori Perubahan Sosial Menurut Sztompka, masyarakat senantiasa mengalami perubahan di semua tingkat kompleksitas internalnya. Dalam kajian sosiologis, perubahan dilihat sebagai sesuatu yang dinamis dan tidak linear. Dengan kata lain, perubahan tidak terjadi secara linear. Perubahan sosial secara umum dapat diartikan sebagai suatu proses pergeseran atau berubahnya struktur/tatanan didalam masyarakat, meliputi pola pikir yang lebih inovatif, sikap, serta kehidupan sosialnya untuk mendapatkan penghidupan yang lebih bermartabat. Pada tingkat makro, terjadi perubahan ekonomi, politik, sedangkan ditingkat mezo terjadi perubahan kelompok, komunitas, dan organisasi, dan ditingkat mikro sendiri terjadi perubahan interaksi, dan perilaku individual. Masyarakat bukan sebuah kekuatan fisik (entity), tetapi seperangkat proses yang saling terkait bertingkat ganda (Sztompka, 2004). Alfred (dalam Sztompka, 2004), menyebutkan masyarakat tidak boleh dibayangkan sebagai keadaan yang tetap, tetapi sebagai proses, bukan objek semu yang kaku tetapi sebagai aliaran peristiwa terus-menerus tiada henti. Diakui bahwa masyarakat (kelompok, komunitas, organisasi, bangsa) hanya dapat dikatakan ada sejauh dan selama terjadi sesuatu didalamnya, seperti adanya tindakan, perubahan, dan proses tertentu yang senantiasa bekerja. Sedangkan Farley mendefinisikan perubahan sosial sebagai perubahan pola prilaku, hubungan sosial, lembaga , dan struktur sosial pada waktu tertentu. Perubahan sosial dapat dibayangkan sebagai perubahan yang terjadi didalam atau mencakup sistem sosial. Oleh sebab itu, terdapat perbedaan antara keadaan sistem tertentu dalam jangka waktu berlainan. Parson mengasumsikan bahwa ketika masyarakat berubah, umumnya masyarakat itu tumbuh dengan kemampuan yang lebih baik untuk menanggulangi masalah

yang dihadapinya. Sebaliknya, perubahan sosial marxian menyatakan kehidupan sosial pada akhirnya menyebabkan kehancuran kapitalis. Gerth dan Mills (dalam Soekanto, 1983) mengasumsikan beberapa hal, misalnya perihal pribadi-pribadi sebagai pelopor perubahan, dan faktor material serta spiritual yang menyebabkan terjadinya perubahan. Lebih lanjut menurut Soekanto, faktor-faktor yang menyebabkan perubahan adalah: a. Keinginan-keinginan secara sadar dan keputusan secara pribadi. b. Sikap-sikap pribadi yang dipengaruhi oleh kondisi-kondisi yang berubah. c. Perubahan struktural dan halangan struktural. d. Pengaruh-pengaruh eksternal. e. Pribadi-pribadi kelompok yang menonjol. f. Unsur-unsur yang bergabung menjadi satu. g. Peristiwa-peristiwa tertentu. h. Munculnya tujuan bersama.

Selanjutnya Bottomore juga mengatakan bahwa perubahan sosial mempunyai kerangka. Adapun susunan kerangka tentang perubahan sosial, antara lain : a. Perubahan sosial itu dimulai pada suatu masyarakat mana yang pertamatama mengalami perubahan. b. Kondisi awal terjadinya perubahan mempengaruhi proses perubahan sosial dan memberikan ciri-ciri tertentu yang khas sifatnya. c. Kecepatan proses dari perubahan sosial tersebut mungkin akan berlangsung cepat dalam jangka waktu tertentu. d. Perubahan-perubahan sosial memang disengaja dan dikehendaki. Oleh karenanya bersumber pada prilaku para pribadi yang didasarkan pada kehendak-kehendak tertentu.

Perubahan sosial selalu mendapat dukungan/dorongan dan hambatan dari berbagai faktor. Adapun faktor-faktor yang mendorong terjadinya perubahan, adalah: a. Kontak dengan kebudayaan lain

salah satu proses yang menyangkut dalam hal ini adalah difusi. Difusi merupakan proses penyebaran unsur-unsur kebudayaan dari perorangan kepada perorangan lain, dan dari masyarakat kepada masyarakat lain. Dengan difusi, suatu inovasi baru yang telah diterima oleh masyarakat dapat disebarkan kepada masyarakat luas di dunia sebgai tanda kemajuan. b. Sistem pendidikan yang maju c. Sikap menghargai hasil karya dan keinginan-keinginan untuk maju. d. Toleransi terhadap perbuatan-perbuatan yang menyimpang. e. Sistem terbuka dalam lapisan-lapisan masyarakat. Sistem terbuka memungkinkan adanya gerakan mobilitas sosial vertikal secara luas yang berarti memberi kesempatan perorangan untuk maju atas dasar kemampuan-kemampuanya. f. Penduduk yang heterogen Masyarakat-masyarakat yang terdiri dari kelompok-kelompok sosial yang memiliki latar belakang, ras, dan ideologi yang berbeda mempermudahkan terjadinya kegoncangan yang mendorong terjadinya proses perubahan.

Selain itu, perubahan sosial juga mendapatkan hambatan-hambatan. Adapun faktor-faktor penghambat tersebut adalah : a. Kurangnya hubungan dengan masyarakat-masyarakat lain. b. Perkembangan ilmu pengetahuan yang terlambat. c. Sikap masyarakat yang masih tradisional. d. Adanya kepentingan-kepentingan yang telah tertanam dengan kuat sekali atau vested interest. e. Rasa takut akan terjadinya kegoyahan pada integrasi kebudayaan. f. Prasangka terhadap hal-hal yang asing atau baru. g. Hambatan-hambatan yang bersifat ideologis. h. Adat atau kebiasaan.

2.2 Benturan Sosial Benturan sosial demi benturan sosial berlangsung dengan mengambil bentuk aneka-rupa serta menyentuh hampir di segala aspek (frame of conflict) kehidupan masyarakat (konflik agraria, sumberdaya alam, nafkah, ideologi, identitas-kelompok, batas teritorial, dan semacamnya). Satu hal yang perlu dicatat adalah bawa apapun bentuk benturan sosial yang berlangsung akibat dari konflik sosial, maka akibatnya akan selalu sama yaitu stress sosial, kepedihan (bitterness), disintegrasi sosial yang seringkali juga disertai oleh musnahnya aneka aset-aset material dan non-material. Kehancuran assetasset non-material yang paling kentara ditemukan dalam wujud dekapitalisasi modal sosial yang ditandai oleh hilangnya trust di antara para-pihak yang bertikai, rusaknya networking, dan hilangnya compliance pada tata aturan norma dan tatanan sosial yang selama ini disepakati bersama-sama). Seolah semua yang telah dengan susah payah dibangun dan ditegakkan oleh masing-masing warga yang bertikai, dengan mudah diakhiri begitu saja karena konflik sosial. Dari perspektif politik ketatanegaraan, kebijakan otonomi daerah (OTDA), hingga taraf tertentu juga ikut menyumbang memperburuk situasi konflik sosial di atas. Peristiwa demi peristiwa konflik sosial yang berlangsung di Indonesia selama 10 tahun terakhir menunjukkan adanya titik berat yang nyata pada basis materialisme, daripada basis post-materialisme. Kendati demikian, bukan berarti post-materialism-based sosial conflict tidak ada samasekali di Indonesia. Berbagai macam demonstrasi massa yang menuntut agar negara secara konsisten menegakkan agenda demokrasi, desentralisme, penyelamatan lingkungan hidup, perang terhadap korupsi, perjuangan hak-hak perempuan, dan sebagainya adalah wujud riil dari hadirnya dinamika konflik sosial berbasiskan post-materialisme di Indonesia selama 10 tahun terakhir. Meningginya intensitas dan keluasan konflik sosial sejak era reformasi di Indonesia, tidak dapat disangkal telah mencengangkan banyak kalangan. Ketercengangan ini tentu saja sangat bisa dipahami, karena sejarah stereotipe

bangsa Indonesia selama ini lebih banyak ditandai oleh ciri-ciri bangsa nan ramah, bangsa nan penuh toleransi, namun pada saat pasca ORBA ternyata masyarakat Indonesia justru menunjukkan karakter keberingasannya dengan degree of violence-nya yang menembus batas-batas rasa kemanusiaan, yang tidak bisa diterima oleh bangsa manapun di dunia. Pertanyaannya, adakah sindroma anomali-sosial yang memang menjadi ciri-khas budaya bangsa Indonesia? Ataukah, konflik sosial memang tidak dapat dielakkan terjadi pada bangsa manapun di dunia manakala stress sosial yang berakar pada banyak faktor penyebab telah mencapai titik-puncaknya?

2.3 Arena Konflik (Tiga Ruang Kekuasaan) Konflik sosial bisa berlangsung pada aras antar-ruang kekuasaan. Terdapat tiga ruang kekuasaan yang dikenal dalam sebuah sistem sosial kemasyarakatan, yaitu ruang kekuasaan negara, masyarakat sipil atau kolektivitas-sosial, dan sektor swasta (Bebbington, 1997; dan Luckham, 1998). Konflik sosial bisa berlangsung di dalam setiap ruangan ataupun melibatkan agensi atau struktur antar-ruangan kekuasaan. Dengan mengikuti model konflik sosial berperspektifkan ruang-kekuasaan dari Bebbington (1997) maka konflik sosial antar pemangku kekuasaan dapat berlangsung dalam tiga bentuk, yaitu: (1) Warga masyarakat sipil atau kolektivitas sosial berhadap-hadapan melawan Negara dan sebaliknya. Dalam hal konflik sosial dapat terjadi dalam bentuk protes warga masyarakat atas kebijakan publik yang diambil oleh negara/pemerintah yang dianggap tidak adil dan merugikan masyarakat secara umum. Perlawanan asosiasi pedagang kaki-lima di Jakarta melawan penggusuran oleh Pemerintah DKI Jaya adalah contoh klasik yang terus kontemporer. (2) Konflik sosial yang berlangsung antara warga masyarakat atau kolektivitas sosial melawan swasta dan sebaliknya. Contoh klasik dalam hal ini adalah perseteruan berdarah yang terus berlangsung (bahkan hingga kini) antara

komunitas local melawan perusahaan pertambangan multi-nasional di Papua. Kasus serupa juga ditemui dalam Tragedi Pencemaran Teluk Buyat yang memperhadapkan warga lokal yang menderita kesakitan akibat pencemaran air terus-menerus dari limbah tailing aktivitas penambangan emas oleh perusahaan swasta asing di Sulawesi Utara di awal dekade 2000an. (3) Konflik sosial yang berlangsung antara swasta berhadap-hadapan melawan Negara dan sebaliknya. Berbagai tindakan yang diambil oleh

Pemerintah/Negara dalam mengawal jalannya sebuah kebijakan, biasanya memakan biaya sosial berupa konflik tipe ini secara tidak terelakkan.

Dinamika konflik sosial antar-ruang kekuasaan akan berlangsung makin kompleks, manakala unsur-unsur pembentuk sebuah ruang kekuasaan tidak merepresentasikan struktur sosial dengan atribut/identitas sosial yang homogen. Di ruang kekuasaan negara, termuat sejumlah konflik sosial internal baik yang bersifat latent (terselubung terpendam) maupun manifest (mewujud-nyata). Dalam hal ini, contoh yang paling mudah terjadi adalah konflik sosial yang berlangsung dalam praktek manajemen pemerintahan akibat olah-kewenangan dalam pengendalian pembangunan yang berlangsung secara hierarkhikal antara pemerintah kabupaten, provinsial, dan pusat. Konflik yang lebih banyak mengambil bentuk konflik kewenanangan tersebut mengemuka sejak rejim pengaturan pemerintahan desentralisasi berlangsung penuh sejak Undang-Undang (UU) No. 22/1999 dilanjutkan dengan UU No. 32/2004 sebagai konsekuensi OTDA.

Konflik antar pemerintah. Konflik sosial horisontal, juga berlangsung antar departemen sektoral di pemerintahan pusat, ataupun antara satu pemerintah kabupaten berhadap-hadapan melawan pemerintah kabupaten lain dalam suatu kebijaksanaan tertentu.

Di ruang kekuasaan masyarakat sipil atau kolektivitas sosial, berlangsung konflik sosial yang tidak kalah intensifnya antara sesama kolektivitas sosial dalam mempertentangkan suatu obyek yang sama. Hal ini dipicu oleh cara pandang yang berbeda-beda dalam memaknai suatu persoalan. Perbedaan mazhab atau ideologi yang dianut oleh masing-masing pihak bersengketa menjadikan friksi sosial dapat berubah menjadi konflik sosial yang nyata. Beberapa contoh aras konflik ini bisa disebutkan antara lain adalah, tawuran antar warga yang dipicu oleh hal-hal yang dalam kehidupan normal dianggap sederhana (sepele), seperti masalah batas wilayah administratif (desa atau kabupaten) yang hendak dimekarkan sebagai konsekuensi OTDA. Sementara itu, di ruang ini juga bisa berlangsung konflik sosial yang melibatkan perbedaan identitas sosial komunal (ethno-communal conflict) seperti ras, etnisitas dan religiositas. Konflik-konflik sosial yang berlangsung antara para penganut mazhab pada sebuah agama tertentu (konflik sektarian sebagaimana terjadi antara penganut Ahmadyah versus non-Ahmadyah) juga terjadi secara dramatis di ruang masyarakat sipil di Indonesia. Konflik sosial yang berlangsung di ruang masyarakat sipil menghasilkan dampak yang paling beraneka warna (karena diversenya persoalan yang dijadikan obyek konflik) dan berlangsung cukup memprihatinkan (berujung pada kematian, cedera, dan kerusakan) di Indonesia. Beberapa kawasan di provinsi-provinsi DKI Jakarta, Kalimantan Barat dan Kalimantan Tengah, Sulawesi Tengah (Poso) ataupun Maluku dan Maluku Utara sepanjang akhir dekade 1990an hingga paruh pertama dekade 2000an menjadi ajang konflik sosial antarkomunitas atau communal-conflict (lihat, Varshney, et al. 2006). Sementara itu di ruang kekuasaan swasta, konflik sosial lebih banyak terjadi oleh karena persaingan usaha yang makin ketat. Kendati demikian, konflik sosial juga bias dipicu oleh karena kesalahan Negara dalam mengambil kebijakan dalam pemihakan kepada kaum lemah. Misalnya, konflik sosial para pedagang UKM (Usaha Kecil Menengah) melawan perusahaan retail swasta multinasional yang merasuki kawasankawasan yang sesungguhnya bukan lahan bermain mereka.

Selain itu, konflik-konflik berdarah yang berlangsung antara nelayan trawl (pukat harimau) bermodal kuat melawan nelayan atau koperasi nelayan kecil (bermodal lemah) di berbagai daerah, adalah salah satu contoh klasik konflik di ruang ini.

2.4 Kedalaman dan Skala Konflik Sebagai bagian dari proses-proses sosial, dalam banyak kasus dijumpai bahwa konflik sosial tidak berlangsung secara serta-merta. Meski tipe konflik sosial yang bersifat spontaneous conflict tetap ada (misalnya tawuran para pendukung kesebalasan sepakbola yang sedang bertanding), namun jenis konflik yang sertamerta tersebut biasanya lebih mudah dikendalikan dan segera diredam, daripada yang bersifat konstruktif dan organized. Dalam hal dijumpai kasus-kasus konflik sosial yang bertipe constructive sosial conflict, ada sejumlah prasyarat yang memungkinkan konflik sosial dapat berlangsung, antara lain: (1) ada isyu-kritikal yang menjadi perhatian bersama (commonly

problematized) dari para pihak berbeda kepentingan, (2) ada inkompatibilitas harapan/kepentingan yang bersangkut-paut dengan sebuah obyek-perhatian para pihak bertikai, (3) gunjingan/gossip atau hasutan serta fitnah merupakan tahap inisiasi konflik sosial yang sangat menentukan arah perkembangan konflik sosial menuju wujud riil di dunia nyata, (4) ada kompetisi dan ketegangan psiko-sosial yang terus dipelihara oleh kelompok-kelompok berbeda kepentingan sehingga memicu konflik sosial lebih lanjut. Pada derajat yang paling dalam, segala prasayarat terjadinya konflik yang akan memicu, (5) masa kematangan untuk perpecahan (6) diakhiri oleh clash yang bisa disertai dengan violence (kerusakan dan kekacauan).

10

Konflik sosial bisa berakibat sangat luas dan berlangsung dalam jangka waktu lama, bila semua tahapan tersebut diorganisasikan dengan baik (organized sosial conflict) seperti yang terjadi antara Republik Indonesia melawan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) beberapa waktu lalu. Sementara itu, dampak konflik dapat cepat ditekan perluasannya, jika sifatnya tidak terorganisasikan dengan baik (unorganized sosial conflict). Jikalau dilihat dari perspektif kecepatan reaksi (speed of reaction) yang diberikan para pihak atas ketidaksepahaman yang terbentuk di kalangan berkonflik, maka konflik sosial dapat berlangsung dalam beberapa variasi tipe/bentuk, yaitu: 1. Gerakan sosial damai (peaceful collective action) yang berlangsung berupa aksi penentangan, yang dapat berlangsung dalam bentuk: aksi korektif, mogok kerja, mogok makan, dan aksi-diam. Dalam hal tidak ditemukan resolusi konflik yang memuaskan, maka aksi damai dapat dimungkinkan berkembang menjadi aksi membuat gangguan umum (strikes and civil disorders) dalam bentuk demonstrasi ataupun huru-hara. 2. Demonstrasi (demonstrations) atau protes bersama (protest gatherings) adalah kegiatan yang mengekspresikan atas ketidaksepahaman yang ditunjukkan oleh suatu kelompok atas suatu isyu tertentu. Derajat tekanan konflik kurang-lebih sama dengan pemogokan. Aksi kolektif seperti ini biasanya diambil sebagai protes yang reaksioner yang dilakukan secara berkelompok ataupun massal atas ketidaksepahaman yang ditunjukkan oleh suatu pihak tertentu kepada pihak berseberangan atas suatu masalah tertentu. Biasanya skala bersifat lokalitas, sporadik (meski tidak tertutup kemungkinan dapat meluas). 3. Kerusuhan dan huru-hara (riots), adalah peningkatan derajat keberingasan (degree of violence) dari sekedar demonstrasi. Kerusuhan berlangsung sebagai reaksi massal atas suatu keresahan umum. Oleh karena disertai dengan histeria massa, maka huru-hara seringkali tidak bisa dikendalikan dengan mudah tanpa memakan korban luka (bahkan kematian).

11

4. Pemberontakan (rebellions) adalah konflik sosial berkepanjangan yang biasanya digagas dan direncanakan lebih konstruktif dan terorganisasikan dengan baik. Pemberontakan bisa menyangkut perjuangan atas suatu kedaulatan atau mempertahankan kawasan termasuk eksistensi ideologi tertentu. Pemberontakan tidak harus berlangsung secara manifest, melainkan bisa diawali di bawah tanah sehingga tampak latent sifatnya. 5. Aksi radikalisme-revolusioner (revolutions) adalah gerakan penentangan yang menginginkan perubahan sosial secara cepat atas suatu keadaan tertentu. 6. Perang adalah bentuk konflik antar negara yang sangat tidak dikehendaki oleh masyarakat dunia karena dampaknya yang sangat luas terhadap kemanusiaan.

2.5 Konflik Komunal (Livelihood and Identity Struggle) Konflik sosial yang berlangsung antar kelompok (inter-group sosial conflict) di ruang masyarakat sipil dapat menyangkut krisis pluralitas-sosio-budaya dan bernuansa identitas sosial. Konflik tersebut merupakan konflik yang paling sering terjadi di Indonesia seiring dengan krisis ekonomi dan jatuhnya rejim ORBA di tahun 1997. Dalam konflik bernuansa etno-komunal, sangat tampak nyata adanya para pihak yang membawa atribut identitas ideologi, identitas antar-keagamaan, identitas kelompok atau juga perbedaan mazhab pada agama yang sama (konflik sektarian), serta perbedaan asal-usul atau keturunan sebagai pembeda utama kelompok yang saling menggugat, pelancaran klaim, atas persoalan yang disengketakan. Meskipun akar-konflik yang bertanggung jawab atas terjadinya konflik sosial komunal di Indonesia sangatlah berbeda-beda, namun ada beberapa hal yang membuatnya samayaitu adanya radikalisasi perbedaan identitas, radikalisasi komunalisme5 serta dianutnya bounded rationality6 yang memicu kesadaran

12

kelas (class consciousness ala Marx) dalam kelompok-kelompok yang bertikai. Hal-hal tersebut tidak bisa dielakkan ikut bertanggung jawab dan memperkuat dorongan kepada setiap warga untuk saling bersengketa dengan warga dari kelompok lainnya dan jika mungkin saling meniadakan (eliminating strategy). Pemahaman konflik sosial seperti ini dianut oleh para ahli sosiologi yang mendasarkan analisisnya pada perbedaan basis sosio-kultural (perspektif kulturalisme) yang dianut masyarakat. Disadari ataukah tidak disadari, konflik sosial komunal di ruang sipil, seringkali ditemukan benang-merah akar penyebabnya tersimpan mendalam (deeply rooted) pada persoalan livelihood distress. Persoalan kemiskinan dan keterdesakan ekonomi bercampur-baur dengan perasaan ketidakpastian kehidupan (survival insecurity) akibat datangnya kompetitor dari sekelompok warga atau masyarakat (biasanya dengan identitas tertentu), menyebabkan eskalasi dan intensitas konflik sangat mudah memuncak.

Dalam tataran konflik antar kelompok ini, kepentingan individual dalam kelompok seringkali juga diabaikan, karena telah diwakili oleh kepentingan kelompok (individu mengalami gejala sosial yang dikenal sebagai oversosialized processes dimana tujuan dan kepentingan kolektif menjadi segala-galanya). Artinya, persaingan antar individu pada suatu kelompok melawan kepentingan individu pada kelompok yang berbeda menjadi bagian integral konflik sosial antar kelompok. Dengan kata lain konflik sosial selalu melibatkan perselisihan antar kelompok (partai/pihak) dimana individu di dalamnya menjadi konstituen pendukung perjuangan kelompoknya masing-masing. Demkianlah sehingga pada banyak kasus, konflik kelompok (group conflict) dipakai untuk menunjuk pengertian konflik sosial (sosial conflict).

Konflik sosial semacam ini memang dapat dipahami melalui perspektif materalisme, dimana basis material (sustenance needs security atau masalah livelihood/nafkah) bagi kehidupan sekelompok warga sebagai akar konflik sosial

13

yang harus diselesaikan terlebih dahulu. Ketidaksiapan sekelompok orang untuk hidup dalam suasana kehidupan yang saling-berkoeksistensi di suatu kawasan, juga merupakan penjelasan tersendiri munculnya konflik horisontal-komunal ini. Dengan asumsi sosial-economic stress, maka konflik sosial menuntut penyelesaian di wilayah materialisme secara konstruktif.

2.6 Bingkai Konflik Sosial Coser (1967) sebagaimana dikutip Oberschall (1978) mendefinisikan konflik sosial sebagai berikut: sosial conflict is a struggle over values or claims to status, power, and scarce resources, in which the aims of the conflict groups are not only to gain the desired values, but also to neutralise, injure, or eliminate rivals. Dengan mengacu pada pengertian konseptual tentang konflik sosial tersebut, maka proses konflik sosial akan meliputi spektrum yang lebar. Isyu-isyu kritikal yang membingkai konflik sosial yang seringkali dijumpai dalam sistem sosial (di segala tataran) adalah: 1. Konflik antar kelas sosial (sosial class conflict) sebagaimana terjadi antara kelas buruh melawan kelas majikan dalam konflik hubungan-industrial, atau kelas tuan tanah melawan kelas buruh-tani dalam konflik agraria. 2. Modes of production conflict (konflik moda produksi dalam perekonomian) yang berlangsung antara kelompok pelaku ekonomi bermodakan (caraproduksi) ekonomi peasantry-tradisionalisme (pertanian skala kecil subsistensederhana) melawan para pelaku ekonomi bersendikan moral-ekonomi akumulasi profit dan eksploitatif. 3. Konflik sumberdaya alam dan lingkungan (natural resources conflict) adalah konflik sosial yang berpusat pada isyu claim dan reclaiming penguasaan sumberdaya alam (tanah atau air) sebagai pokok sengketa terpenting. Dalam banyak hal, konflik sumberdaya alam berimpitan dengan konflik agraria, dimana sekelompok orang memperjuangkan hak-hak penguasaan tanah yang diklaim sebagai property mereka melawan negara, badan swasta atau kelompok sosial lain.

14

4.

Konflik ras (ethnics and racial conflict) yang mengusung perbedaan warna kulit dan atribut sub-kultural yang melekat pada warna kulit pihak-pihak yang berselisih.

5.

Konflik antar-pemeluk agama (religious conflict) yang berlangsung karena masingmasing pihak mempertajam perbedaan prinsip yang melekat pada ajaran masingmasing agama yang dipeluk mereka.

6.

Konflik sektarian (sectarian conflict), adalah konflik yang dipicu oleh perbedaan pandangan atau ideologi yang dianut antar pihak. Konflik akan makin mempertajam perbedaan pandangan antar mazhab (seringkali pada ideologi yang sama).

7.

Konflik politik (political conflict) yang berlangsung dalam dinamika olahkekuasaan (power exercise).

8.

Gender conflict adalah konflik yang berlangsung antara dua penganut pandangan berbeda dengan basis perbedaan adalah jenis-kelamin. Para pihak mengusung kepentingan-kepentingan (politik, kekuasaan, ekonomi, peran sosial) yang berbeda dan saling berbenturan antara dua kelompok penyokong yang saling berseberangan.

9.

Konflik-konflik antar komunitas (communal conflicts), yang bisa disebabkan oleh berbagai faktor, seperti: eksistensi identitas budaya komunitas dan factor sumberdaya kehidupan (sources of sustenance). Konflik komunal seringkali bias berkembang menjadi konflik teritorial jika setiap identitas kelompok melekat juga identitas kawasan.

10. 10.Konflik teritorial (territorial conflict) adalah konflik sosial yang dilancarkan oleh komunitas atau masyarakat lokal untuk mempertahankan kawasan tempat merek membina kehidupan selama ini. Konflik teritorial seringkali dijumpai di kawasan-kawasan Hak Pengusahaan Hutan (HPH), dimana komunitas adat/lokal merasa terancam sumber kehidupan dan identitas sosio-budayanya manakala penguasa HPH menghabisi pepohonan dan hutan dimana mereka selama ini bernaung dan membina kehidupan sosial-budaya dan sosio-kemasyarakatan.

15

11. Inter-state conflict adalah konflik yang berlangsung antara dua negara dengan kepentingan, ideologi dan sistem ekonomi yang berbeda dan berbenturan kepentingan dengan pihak lain negara. 12. Dalam kecenderungan global, inter-state conflict bisa berkembang menjadi regional conflict sebagaimana terjadi pada era perang dingin (Blok Uni Soviet vs Blok USA), atau peperangan di Balkan pada akhir dekade 1990an, dimana USA dan NATO menghabisi Serbia.

16

BAB 3. KERUSUHAN KARENA PERTAHANAN DAN KEAMANAN

Indonesia sebagai negara kesatuan pada dasarnya dapat mengandung potensi kerawanan akibat keanekaragaman suku bangsa, bahasa, agama, ras dan etnis golongan, hal tersebut merupakan faktor yang berpengaruh terhadap potensi timbulnya konflik. Dengan semakin marak dan meluasnya konflik akhir-akhir ini, merupakan suatu pertanda menurunnya rasa nasionalisme di dalam masyarakat. Kondisi seperti ini dapat terlihat dengan meningkatnya konflik yang bernuansa SARA, serta munculya gerakan-gerakan yang ingin memisahkan diri dari NKRI akibat dari ketidakpuasan dan perbedaan kepentingan. Apabila kondisi ini tidak dikelola dengan baik akhirnya akan berdampak pada disintegrasi bangsa. Permasalahan ini sangat kompleks sebagai akibat akumulasi permasalahan ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya dan keamanan yang saling tumpang tindih, apabila tidak cepat dilakukan tindakan-tindakan bijaksana untuk menanggulangi sampai pada akar permasalahannya maka akan menjadi problem yang berkepanjangan.

3.1 Kerusuhan Ambon Kerusuhan sosial yang terjadi di Ambon pada tahun 1999 masih menyisakan luka perih baik itu masyarakat Muslim atau warga Kristen Ambon. Persaudaraan yang mereka jaga semenjak abad ke-9 rusak dan terbelah akibat adanya tunggangan kepentingan yang mendompleng isu SARA menjadi kendaraannya. Butuh 3 tahun untuk menyelesaikan konflik tersebut. Namun diyakini konfilk itu tidak benar-benar selesai. Butuh puluhan tahun lagi agar rasa curiga tidak saling mengintai antara dua komunitas tersebut, Islam dan Kristen. Rasa curiga dan permusuhan itu masih ada. Terbukti hari minggu kemarin (11/09/2011), terjadi kembali kerusuhan yang diakibatkan hal sepele yang dibungkus isu SARA. Beruntung hal tersebut dapat segera diatasi dengan sikap aparat keamanan yang tegas.

17

Kerusuhan hari minggu kemarin seperti mengajak kita untuk kembali ke situasi Ambon pada tahun 1999 hingga periode tahun 2002. Rasa kekhawatiran konflik itu akan terulang sempat membuncahalhamdulillah situasi di Ambon saat ini kembali relatif kondusif.

3.1.1 Latar Belakang Konflik Isu yang beredar melalui SMS diyakini pihak kepolisian sebagai pemicunya. Di dalam sms tersebut dikabarkan bahwa seorang tukang ojek yang beragama Islam tewas dikeroyok sejumlah pemuda di kawasan Kristen akibat menabrak sebuah rumah di kawasan tersebut yang terjadi pada hari sabtu. Menurut pihak Kepolisian yang dirilis dari Mabes Polri Jakarta, Tewasnya seorang tukang ojek bernama Darkin Saimen pada hari Sabtu (10/09/2011) merupakan kecelakaan tunggal bukan diakibatkan oleh penganiayaan. Hal ini didapat dari saksi-saksi dan hasil otopsi. Hari minggu, setelah melakukan memakaman oleh pihak keluarga Darkin Saimen, nah..disinilah kerusuhan itu pecah. Antar dua kubu saling serang dengan batu dan melakukan pembakaran beberapa kendaraan. Entah siapa yang memulai. Kembali provokator coba bermain disini. Beberapa pihak beranggapan kepolisian sedikit terlambat dalam mengantisipasi runutan kejadian diatas hingga akhirnya timbul kerusuhan, walaupun tidak atau belum sempat menyebar. Menurut Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (Kontras) Haris Azhar, bila kepolisian dengan cepat dan tanggap menghubungi pihak keluarga Darkin Saimen dan melakukan konfirmasi terkait tewasnya korban, maka kerusuhan dapat dihindarkan. Pihak kepolisian juga diaggap kurang awas dan sensitif mengenai masalah yang menyangkut kekerasan sosial yang bisa berdampak pada kerusuhan SARA.
18

Padahal hal- hal seperti ini dululah di tahun 1999 yang menyebabkan dua komunitas berlainan agama dapat hidup damai dalam satu kampung menjadi terpisah mendirikan kampung dan basis masing2 hingga saat ini. Diharapkan kepolisian dan juga Badan Intelijen Negara, kedepannya agar lebih proaktif untuh melihat dan mengantisipasi pemicu-pemicu kerusuhan SARA meskipun sangat sepele kelihatannya untuk dapat dicegah dan ditanggulangi sedini mungkin. Kekhawatiran tentang perpecahan (disintegrasi) bangsa di tanah air dewasa ini yang dapat digambarkan sebagai penuh konflik dan pertikaian, gelombang reformasi yang tengah berjalan menimbulkan berbagai kecenderungan dan realitas baru. Segala hal yang terkait dengan Orde Baru termasuk format politik dan paradigmanya dihujat dan dibongkar. Bermunculan pula aliansi ideologi dan politik yang ditandai dengan menjamurnya partai-partai politik baru. Seiring dengan itu lahir sejumlah tuntutan daerah-daerah diluar Jawa agar mendapatkan otonomi yang lebih luas atau merdeka yang dengan sendirinya makin menambah problem, manakala diwarnai terjadinya konflik dan benturan antar etnik dengan segala permasalahannya. Penyebab timbulnya disintegrasi bangsa juga dapat terjadi karena perlakuan yang tidak adil dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah khususnya pada daerah-daerah yang memiliki potensi sumber daya/kekayaan alamnya berlimpah/ berlebih, sehingga daerah tersebut mampu menyelenggarakan pemerintahan sendiri dengan tingkat kesejahteraan masyarakat yang tinggi. Selain itu disintegrasi bangsa juga dipengaruhi oleh perkembangan politik dewasa ini. Dalam kehidupan politik sangat terasa adanya pengaruh dari statemen politik para elit maupun pimpinan nasional, yang sering mempengaruhi sendi-sendi kehidupan bangsa, sebagai akibat masih kentalnya bentuk-bentuk primodialisme sempit dari kelompok, golongan, kedaerahan bahkan agama. Hal ini menunjukkan bahwa para elit politik secara sadar maupun tidak sadar telah memprovokasi masyarakat. Keterbatasan tingkat intelektual sebagian besar masyarakat Indonesia sangat mudah terpengaruh oleh ucapan-ucapan para elitnya sehingga dengan

19

mudah terpicu untuk bertindak yang menjurus ke arah terjadinya kerusuhan maupun konflik antar kelompok atau golongan.

3.1.2 Kebijakan Penanggulangan. Adapun kebijakan yang diperlukan guna memperkukuh upaya integrasi nasional adalah sebagai berikut : 1. Membangun dan menghidupkan terus komitmen, kesadaran dan kehendak untuk bersatu. 2. Menciptakan kondisi yang mendukung komitmen, kesadaran dan kehendak untuk bersatu dan membiasakan diri untuk selalu membangun konsensus. 3. Membangun kelembagaan (Pranata) yang berakarkan nilai dan norma yang menyuburkan persatuan dan kesatuan bangsa. 4. Merumuskan kebijakan dan regulasi yang konkret, tegas dan tepat dalam aspek kehidupan dan pembangunan bangsa, yang mencerminkan keadilan bagi semua pihak, semua wilayah. 5. Upaya bersama dan pembinaan integrasi nasional memerlukan

kepemimpinan yang arif dan efektif.

3.1.3 Strategi Penanggulangan Adapun strategi yang digunakan dalam penanggulangan disintegrasi bangsa antara lain : 1. Menanamkan nilai-nilai Pancasila, jiwa sebangsa dan setanah air dan rasa persaudaraan, agar tercipta kekuatan dan kebersamaan di kalangan rakyat Indonesia. 2. Menghilangkan kesempatan untuk berkembangnya primodialisme sempit pada setiap kebijaksanaan dan kegiatan, agar tidak terjadi KKN.

20

3. Meningkatkan

ketahanan

rakyat

dalam

menghadapi

usaha-usaha

pemecahbelahan dari anasir luar dan kaki tangannya. 4. Penyebaran dan pemasyarakatan wawasan kebangsaan dan implementasi butir-butir Pancasila, dalam rangka melestarikan dan menanamkan kesetiaan kepada ideologi bangsa. 5. Menumpas setiap gerakan separatis secara tegas dan tidak kenal kompromi. 6. Membentuk satuan sukarela yang terdiri dari unsur masyarakat, TNI dan Polri dalam memerangi separatis. 7. Melarang, dengan melengkapi dasar dan aturan hukum setiap usaha untuk menggunakan kekuatan massa. Untuk mendukung terciptanya keberhasilan suatu kebijaksanaan dan strategi pertahanan disarankan : 1. Penyelesaian konflik vertikal yang bernuansa separatisme bersenjata harus diselesaikan dengan pendekatan militer terbatas dan professional guna menghindari korban dikalangan masyarakat dengan memperhatikan aspek ekonomi dan sosial budaya serta keadilan yang bersandar pada penegakan hukum. 2. Penyelesaian konflik horizontal yang bernuansa SARA diatasi melalui pendekatan hukum dan HAM. 3. Penyelesaian konflik akibat peranan otonomi daerah yang menguatkan faktor perbedaan, disarankan kepemimpinan daerah harus mampu meredam dan memberlakukan reward and punishment dari strata pimpinan diatasnya. 4. Guna mengantisipasi segala kegiatan separatisme ataupun kegiatan yang berdampak disintegrasi bangsa perlu dibangun dan ditingkatkan institusi inteligen yang handal. Masalah-masalah pertahanan dan keamanan Nasional yang menyebabkan kerusuhan sosial dipengaruhi beberapa aspek yaitu:

21

1. Aspek Lingkungan Strategis a. Lingkungan Internal Dalam beberapa tahun terakhir ini kemampuan negara untuk memenuhi kebutuhan dan kepentingan masyarakat juga berkurang. Gejala ini tampaknya akan terus berlangsung. Kelemahan ekonomi dan keuangan negara adalah salah satu penyebab utama dari keadaan ini. Selain itu, pelembagaan politik untuk membangun sistem politik yang demokratis juga masih akan menghadapi berbagai persoalan. Hubungan lembagalembaga negara, terutama antara eksekutif dan legislatif tampaknya belum akan mampu melahirkan sistem checks and balances yang stabil. Negara juga akan dihadapkan pada tuntutan-tuntutan baru daerah dalam proses desentralisasi di Indonesia. Ketimpangan ekonomi dan masalah-masalah distribusi sumber-sumber ekonomi antara pusat dan daerah akan memperkuat tuntutan-tuntutan seperti itu. Proses ini akan memakan waktu yang lama. Masalah-masalah di atas melahirkan tantangan terhadap proses reformasi politik di Indonesia. Hakekatnya adalah bahwa politik, baik pelaku maupun proses pelembagaannya, masih menghadapi krisis legitimasi, tidak hanya dalam konteks hubungan antara negara (state) dan masyarakat (society), melainkan juga dalam hubungan antara sipil dan militer (civil-military relations, CMR). Hubungan sipil-militer yang menundukkan institusi militer di bawah otoritas politik sebagai syarat pembangunan sistem politik yang demokratis masih sering dipahami secara salah. Bermainnya kepentingan-kepentingan kekuasaan dan ekonomi, baik kelompok politik sipil dan militer, menjadikan reformasi hubungan sipil-militer masih akan memakan waktu yang lama. Masalahnya menjadi makin rumit karena para pihak yang berkepentingan (stakeholders) dalam masalah hubungan sipil-militer tidak menjadikan masalah ini sebagai agenda politik nasional. Persoalan-persoalan di atas, yaitu menurunnya kemampuan negara, krisis ekonomi, ketidakadilan, ketidakpastian transisi politik, dan masalah

22

hubungan sipil-militer, menunjukkan bahwa Indonesia akan menghadapi masalah-masalah keamanan dalam negeri yang serius. Ancaman kedua yang akan dihadapi oleh Indonesia adalah konflik komunal dan gerakan separatis. Konflik komunal lahir tidak hanya karena perbedaan nilai dan budaya, tetapi lebih mendasar adalah karena entitas/masyarakat tidak mampu menemukan bentuk interaksi yang lebih tinggi yang mengatasi ikatan komunal mereka. Masalah ini makin runyam karena masyarakat tidak merasakan kehadiran negara dan bentuk-bentuk ikatan politik dan ekonomi ke mana mereka memberikan loyalitas. Proses politik selama krisis ini tidak mampu mentransformasi konflik-konflik komunal ke dalam bentuk interaksi sosial politik yang terlembaga. Banyak faktor menjelaskan munculnya separatisme yaitu sejarah, ketimpangan ekonomi dan ketidakadilan politik, dan perasaan

dimarginalkan oleh sistem politik dan ekonomi. Masalah ini akan makin rumit karena globalisasi dan keterbukaan menjadikan mereka yang terlibat mempunyai ruang lebih bebas untuk bergerak ke luar batas nasional. Sumber-sumber ekonomi dan finansial menjadi lebih luas dengan adanya kemampuan untuk membentuk jaringanjaringan internasional yang memberikan mereka akses persenjataan dan dukungan eksternal, baik potensi dukungan resmi, maupun melalui kegiatan-kegiatan ilegal misalnya penyelendupan senjata, obat terlarang, dan kegiatan terorisme. Bentuk ancaman ketiga yang akan dihadapi oleh Indonesia adalah kerusuhan sosial. Ini akan lahir ketika masyarakat menemui jalan buntu untuk mengatasi krisis, terutama ekonomi dan sosial. Dalam situasi krisis, di mana negara tidak mampu memenuhi kebutuhan masyarakat, dan bersamaan dengan itu lembaga dan proses politik kehilangan legitimasi, potensi kerusuhan sosial merupakan potensi ancaman yang dihadapi oleh Indonesia. Potensi kerusuhan sosial juga dapat memanfaatkan kerawanan hubungan-hubungan ikatan primordial, terutama agama, yang sangat mudah dimanipulasi. Akhir-akhir ini rasa aman dalam hubungan keagamaan mulai terusik.

23

Ancaman lain yang juga akan dihadapi adalah terorisme. Dalam kurun waktu 3-4 tahun terjadi serangan bom teroris dalam skala besar. Terorisme yang berkembang di Indonesia mempunyai akar kuat di dalam negeri Indonesia baik karena sejarah, ideologi-politik, lemahnya penegakkan hukum, dan tidak terpenuhinya kepentingan-kepentingan ekonomi dan politik. Keberhasilan jaringan terorisme internasional masuk ke Indonesia lebih banyak ditentukan oleh masalah-masalah domestik di atas. Faktor lain adalah krisis ekonomi dan politik yang memberikan ruang bagi kelompok teroris untuk memberikan jalan alternatif dan

mengeksploitasi ketidakpuasan masyarakat terhadap negara. Selain itu, ketidakmampuan negara untuk melakukan kontrol terhadap beberapa aspek yang dengan mudah bisa dimanfaatkan oleh jaringan terorisme, misalnya pengawasan terhadap arus manusia, wilayah maritim dan udara yang sangat terbuka. Yang tidak kalah penting adalah korupnya birokrasi dan aparat keamanan yang memudahkan jaringan teroris untuk menembus institusi-institusi masyarakat. b. Lingkungan Eksternal Sementara itu aspek eksternal menunjukkan kecil kemungkinan terjadi perang konvensional antar negara di kawasan Asia Tenggara dan Asia Pasifik yang akan mengancam keamanan dan kepentingan Indonesia. Kemungkinan terjadinya invasi militer ke Indonesia juga sangat kecil. Secara ekonomi dan politik, perang dan invasi militer adalah pilihan yang mahal baik dilihat dari politik domestik maupun dalam hubungan antar bangsa yang akan makin saling tergantung (interdependensi) di mana kepentingan nasional hanya bisa dipenuhi melalui kerjasama internasional. Dalam situasi seperti itu negara dan bangsa akan dihadapkan pada pilihan yang terbatas dalam menentukan kebijakan nasional mereka yang mempersempit kemungkinan lahirnya kebijakan luar negeri dan dan perangkat-perangkat keamanan negara dan

pertahanan yang agresif.

24

Meskipun demikian, akan lahir tantangan-tantangan baru yang harus diperhatikan oleh Indonesia. Pertama, Amerika Serikat (AS) masih akan mendominasi ekonomi dan politik dunia. Posisi AS dalam sistem internasional dewasa ini belum bisa ditandingi oleh kekuatan lain, bahkan oleh Uni Eropa, apalagi oleh kekuatan-kekuatan regional seperti Brasil, Argentina, Afrika Selatan, India, ASEAN, Jepang, dan China. Perilaku kekuatan-kekuatan ini belum mampu membentuk sistem internasional baru yang menantang supremasi AS. Dalam posisi seperti itu, perubahan kebijakan dan perilaku Amerika Serikat dipastikan akan mempengaruhi kepentingan Indonesia. Terlebih untuk kawasan Asia Tenggara dan Asia Pasifik yang merupakan kawasan sangat strategis bagi Amerika Serikat. Kehadiran Amerika Serikat di kawasan sekitar Indonesia ini akan tetap menjadi kondisi obyektif dalam perumusan kebijakan keamanan dan pertahanan Indonesia. Masalah-masalah baru internasional, seperti terorisme, keamanan jalur perdagangan, dan masalah-masalah hak azasi manusia akan mewarnai perilaku Amerika Serikat terhadap Indonesia yang sekarang dan dalam kurun waktu beberapa tahun ke depan diperkirakan belum mampu sepenuhnya mengontrol perkembangan-perkembangan internasional dan domestik. Kedua, harus juga dicermati bahwa perkembangan-perkembangan ke depan di kawasan Asia Pasifik mengindikasikan bahwa konflik akan lebih banyak berdimensi maritim. Atau, aspek maritime akan membuat koflik menjadi makin kompleks. Penyelundupan manusia, penyebaran aksi terorisme, kejahatan internasional yang lain akan banyak memanfaatkan dimensi laut, terutama di negara-negara yang kemampuan patroli dan pengawasan wilayah lautnya sangat lemah seperti Indonesia. Bahkan ada kaitan yang erat antara terorisme, separatisme, dan kejahatan transnasional yang lain dengan memanfaatkan atau mengeksploitasi jalur-jalur laut di wilayah perairan Indonesia, sehingga mereka bisa bergerak dengan bebas untuk memasuki Indonesia. Ini menunjukkan bahwa keamanan laut

25

tidak hanya strategis dalam hubungan dan politik internasional, melainkan juga strategis bagi keamanan domestik.

2. Aspek Kebijakan Pertahanan dan Keamanan Dalam situasi seperti itu, pemerintah belum belum merumuskan kebijakan umum pertahanan negara. Kebijakan umum pertahanan memberi arah tentang apa yang hendak dicapai pada masa pemerintahan sekarang ini dan bagaimana mencapainya. Kebijakan umum pertahanan memberikan arah tentang apa yang akan dihadapi oleh Indonesia dalam perubahan perkembangan internasional dan internal. Di sini kebijakan umum pertahanan negara berisi penilaian tentang potensi ancaman (threat assessment) baik eksternal maupun internal atas dasar analisa lingkungan strategis dan karakter geografis Indonesia sebagai negara kepulauan. Kebijakan umum pertahanan negara juga menjelaskan penilaian tentang kapabilitas pertahanan yang dimiliki dan harus dikembangkan oleh Indonesia dengan melihat perkembangan kapabilitas pertahanan negaranegara lain, terutama di kawasan Asia Tenggara dan Asia Pasifik. Akhirnya, kebijakan umum pertahanan juga berisi strategi pertahanan tentang bagaimana menghadapi perkembangan-perkembangan potensi ancaman dan lingkungan strategis yang kemudian diturunkan dalam pengembangan strategi dan kekuatan pertahanan Indonesia. Sampai saat ini kebijakan umum pertahanan negara belum dirumuskan secara formal. Tidak hanya hal ini merupakan keharusan strategis dan politik yang akan menjadi pedoman perumusan kebijakan pertahanan melalui Departemen Pertahanan, melainkan juga merupakan keharusan legal seperti yang ditentukan oleh Undang-undang No. 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara. 3. Aspek institusional dan hubungan kewenangan Aspek institusional dan hubungan kewenangan adalah aspek yang sensitif karena mengandung masalah politik dan hubungan kekuasaan. Meskipun secara legal telah diatur kewenangan politik dan operasional,

26

ketentuan

legal

ini

belum

diimplementasikan.

Hubungan

antara

Departemen Pertahanan dan Mabes masih tumpang tindih. Posisi panglima langsung dibawah Presiden mempunyai implikasi politis dan psikologis dalam hubungannya dengan Departemen Pertahanan. Terlebih Departemen Pertahanan masih menghadapi kelemahan sumber daya manusia terutama terbatasnya kemampuan sipil di dalam Departemen Pertahanan.

Melihat masalah-masalah di atas, harus ada prioritas dan komitmen yang jelas untuk melakukan penataan infrastruktur kelembagaan yang menegaskan prinsipprinsip supremasi otoritas politik atas intrumen hankam. Tanpa langkah ini proses demokratisasi di Indonesia tidak akan pernah mapan. Semua pengaturan tersebut juga ditujukan untuk membentuk kekuatan hankam yang professional dan akuntabel.

3.2 Dampak Krisis Global Terhadap Sistem Pertahanan dan Keamanan Ketahanan Nasional sangatlah penting dalam kehidupan Berbangsa dan Bernegara karena Ketahanan Nasional merupakan kemampuan suatu bangsa dan negara untuk mempertahankan persatuan dan kesatuan bangsa guna dapat mencapai kesejahteraan bangsa dan melanjutkan pembangunan yang berkesinambungan. Ketahanan Nasional sangat dipengaruhi oleh Ketahanan dan Kestabilan dalam bidang: Politik Ekonomi Sosial Budaya Pertahanan Keamanan Nasional

1. Ketahanan dan Kestabilan Politik:

27

Iklim Politik yang mendukung terciptanya kestabilan politik sangat diperlukan dalam mencapai terwujudnya ketahanan nasional. Untuk itu diperlukan dukungan yang kuat dalam bentuk: pemerintahan yang bersih (clean and good governance), dengan tingkat legitimasi dan kredibilitas yang tinggi. terselenggaranya system yang transparan dan iklim demokrasi yang sehat.

2. Ketahanan dan Kestabilan Ekonomi: Diperlukan dukungan dalam bentuk sistem perekonomian yang kuat dan bertumpu pada ketahanan dan kemampuan bangsa sendiri, baik dalam hal sumber daya alam maupun sumber daya manusia yang berkualitas (resource based) sehingga tidak mudah goyah oleh gejolak yang bersifat internal maupun eksternal. Kekuatan dan kestabilan sistem perekonomian dapat terbentuk dengan adanya sistem dan pelaksanaan yang baik dalam sektor moneter maupun riil dalam bentuk kebijakan moneter maupun kebijakan fiskal yang membangun. 3. Ketahanan dan Kestabilan Sosial Budaya: Faktor-faktor yang mempengaruhi: Nilai-nilai yang ditanamkan dan diyakini oleh masyarakat maupun system sosial budaya yang diciptakan oleh pemerintah. Tingkat pendidikan masyarakat, untuk terciptanya tujuan

mencerdaskan kehidupan bangsa merupakan faktor yang sangat penting agar masyarakat tidak rentan, memiliki daya tahan dalam menghadapi setiap gejolak serta memiliki kemampuan untuk berusaha dan bertumpu di atas kekuatan lokal dan keunggulannya sendiri. 4. Kestabilan Pertahanan dan Keamanan Nasional (HanKamNas): System Pertahanan dan Keamanan Nasional yang kuat dan dijalankan dengan benar, dengan keberpihakan pada kepentingan seluruh rakyat

28

sangat penting untuk memberikan jaminan rasa aman, khususnya untuk menjalankan kegiatan perekonomian atau usaha bagi seluruh masyarakat sebagaimana telah dicanangkan dari awal berdirinya republik tercinta ini (khususnya tercantum dalam UUD 45). Pada akhirnya jaminan rasa aman ini akan menjamin kelancaran roda perekonomian guna mewujudkan kesejahteraan bangsa. Dampak krisis ekonomi di Indonesia sebagai akibat krisis ekonomi global adalah meningkatnya jumlah pengangguran dan meningkatnya jumlah penduduk miskin. Hal ini akan menyebabkan bertambahnya kerawanan sosial di dalam negeri yang berpotensi untuk memicu kerusuhan sosial sehingga dapat menimbulkan korban jiwa. Hal ini dikatakan Menteri Pertahanan Juwono Sudarsono pada saat memberikan ceramah kepada peserta Pendidikan Pelatihan kepemimpinan (Diklatpim) Tingkat I angkatan XVIII dengan tema Dampak Krisis Ekonomi Global terhadap Sistem Pertahanan dan Keamanan Nasional, Jumat (28/11) di Lembaga Administrasi Negara (LAN), Jakarta. Selanjutnya menhan mengatakan, kerusuhan diakibatkan tiga hal, yakni kerusuhan sosial akibat kecemburuan sosial, perbedaan kesejahteraan dan SARA. Kerusuhan sosial dapat mempengaruhi bidang-bidang lain seperti destabilisasi sistem politik yang akan memperparah stabilitas keamanan dan politik terutama menjelang pemilu 2009, meningkatkatnya aksi terorisme dan kemungkinan penguatan separatisme apabila ada daerah yang tidak puas akan kebijakan pemerintah pusat dalam pengananan krisis. Kemudian Menhan menambahkan, Negara yang memiliki kekuatan ekonomi di dunia juga memiliki kekuatan pertahanan yang kuat. Begitu juga sebaliknya negara yang ekonominya lemah akan memiliki kekuatan pertahanan yang lemah. Dalam kondisi tertentu pemerintah dihadapkan pada dua pilihan, yaitu antara penyediaan dana untuk kepentingan pertahanan negara atau penyediaan dana untuk peningkatan kesejahteraan rakyat.
29

Peningkatan kesejahteraan rakyat dianggap penting karena negara berkewajiban untuk meningkatkan kesejahteraan rakyatnya menuju negara yang sejahtera. Dilain pihak negara juga mempunyai kewajiban melindungi negara dari ancaman negara lain yang bertujuan untuk menguasai sumber daya alam indonesia. Dengan penerimaan pemerintah yang menyusut, maka kemampuan pemerintah untuk menyediakan dana untuk memelihara keamanan dan meremajakan peralatan militer juga otomatis berkurang. Akibatnya ancaman eksternal akan bertambah, mengingat kemampuan TNI untuk menjaga territorial wilayah Indonesia jadi berkurang. Indonesia memiliki lebih dari 17 ribu pulau dan berbatasan dengan 10 negara. Untuk menjaga keamanannya membutuhkan anggaran yang cukup besar. Akan tetapi, mengingat kemampuan negara yang sangat terbatas serta penetapan prioritas untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat, sehingga penerimaan anggaran pertahanan Dephan masih minim. Walaupun demikian, penyelenggaraan pertahanan negara harus terus dilaksanakan dan menyesuaikan dengan anggaran yang ada. Dalam keterbatasan anggaran ini, solusi yang diberikan Dephan agar penyelenggaraan pertahanan tetap terselenggara, yaitu dengan minimum assential force. Dimana tugas utama yang diemban TNI akan tetap dilaksanakan dengan melakukan efisiensi pemanfaatan alutsista yang ada termasuk efisiensi bahan bakar, tetap membeli alutsista yang modern tetapi dalam jumlah terbatas agar prajurit TNI dapat terus mengikuti perkembangan teknologi militer dan melakukan rekonsisi alutsista yang berumur tua untuk menjaga tetap dapat berfungsi dengan baik. Dalam ceramah ini di hadiri 22 orang peserta yang rata-rata menjabat eselon I atau eselon II yang sedang dipromosikan untuk menjabat sebagai eselon I. Peserta berasal dari kementrian, departemen dan badan-badan milik pemerintah baik dari pusat maupun daerah.

30

3.2.1 Strategi Ketahanan Nasional Bangkit dari Krisis Permasalahan yang Dihadapi dan Dampaknya pada Ketahanan Nasional dan Akar Permasalahan Penyebab Timbulnya Krisis dan Rentannya Ketahanan Nasional Krisis yang telah berkepanjangan di Indonesia terjadi sebagai akibat dari kombinasi dan akumulasi gejolak eksternal yang berdampak penularan (contagion effect) pada segala struktur maupun tatanan system dalam negeri. Berawal dari gejolak pasar uang yang sangat hebat berakibat pada krisis yang sangat mendalam di berbagai sektor. Pada dasarnya krisis ekonomi yang terjadi di Indonesia merupakan akibat dari: besarnya keinginan untuk menguasai pasar global tanpa dukungan infrastruktur teknologi serta sistem manajemen (pengelolaan sumber daya) yang kuat. cepatnya proses integrasi dunia usaha / perekonomian Indonesia ke dalam perekonomian global, tanpa pembangunan fondasi yang kokoh lemahnya dukungan instrumen kelembagaan yang efisien serta tertata baik kurangnya penguasaan di bidang infrastruktur teknologi industri yang tepat guna, yang mengandalkan keunggulan lokal. lemahnya akses pada jalur informasi global. lemahnya struktur pendanaan pada dunia usaha. lemahnya sistem pendidikan yang belum membuat masyarakat memiliki kemampuan dan kemandirian. lemahnya struktur industri, sehingga masih sangat tergantung pada negara lain, baik dalam hal impor bahan dasar, penguasaan teknologi maupun proses produksi. lemahnya daya saing, karena kurangnya penguasaan yang dapat menciptakan produk unggulan. lemahnya akses pasar global. kurang optimalnya pemanfaatan sumber daya, (sumber daya manusia maupun sumber daya alam).
31

lemahnya tata pelaksanaan dan lembaga hukum.

3.2.2 Dampak Krisis Pada Ketahanan Nasional depresiasi Rupiah sebagai akibat dari gejolak pasar uang yang bersifat eksternal telah menciptakan suatu kondisi stagflasi dan instabilitas pada perekonomian Indonesia. depresiasi nilai tukar rupiah yang sangat tajam berdampak pada turunnya tingkat kepercayaan pada mata uang rupiah. penerapan tingkat suku bunga tinggi yang diharapkan dapat mengembalikan stabilitas nilai mata uang rupiah telah membuat turunnya kinerja dan bahkan tingkat likuiditas perbankan nasional sebagai akibat dari lemahnya sistem perbankan. hal ini membuat matinya pergerakan sektor riil sebagai akibat dari menurunnya kegiatan dunia usaha serta investasi secara drastis. krisis pada sektor riil telah menciptakan kepanikan pada tatanan masyarakat secara keseluruhan yang belum ditunjang oleh taraf pendidikan yang memadai, serta penguasaan akan akses jalur informasi membuat terciptanya krisis sosial. krisis sosial telah mengakibatkan meningkatnya kriminalitas dan kerusuhan sosial. dampak dari krisis sosial ini pada akhirnya juga telah mengakibatkan krisis kepercayaan pada pemerintahan yang ada. krisis kepercayaan menimbulkan gejala disintegrasi di berbagai wilayah. berbagai kerusuhan sebagai akibat dari krisis sosial telah membuat turunnya tingkat kepercayaan dari para investor, khususnya investor asing yang mengakibatkan larinya modal usaha secara besar-besaran dari dalam negeri.

32

meningkatnya

kriminalitas

yang

tidak

didukung

oleh

sistem

pertahanan dan keamanan yang baik membuat masyarakat tidak merasa mendapat jaminan rasa aman untuk melakukan produktivitas mereka sehingga memperparah kondisi sektor riil. Puncak krisis pada tahun 1998 maupun dampak krisis global sejak tahun 2008 telah mengakibatkan: Tingginya tingkat inflasi Tingkat pertumbuhan pendapatan nasional yang bergerak ke bilangan negative Defisit transaksi berjalan Tingkat pengangguran meningkat tajam Meningkatnya angka putus sekolah. Meningkatnya masalah kesehatan serta menurunnya harapan hidup masyarakat.

33

BAB 4. KERUSUHAN SOSIAL KARENA BUDAYA

4.1 Kerusuhan Ambon Kerusuhan yang terjadi di Kota Ambon dan kemudian meluas ke berbagai tempat di Maluku, telah menelan ratusan (bahkan mungkin ribuan) korban jiwa manusia tak berdosa, ribuan rumah penduduk, puluhan tempat ibadah, serta ratusan sarana perekonomian. Kerusuhan dimaksud ternyata telah membawa dampak negatif, sehingga sangat mempengaruhi terganggunya sistem pendidikan dan aktivitas ekonomi masyarakat; belum terhitung rusaknya hubungan-hubungan sosial, kekerabatan dan kemanusiaan yang selama ini menjadi referensi bersama dalam tatanan kehidupan bermasyarakat di Maluku, khususnya di Kota Ambon. Kerusuhan yang berlarut-larut hingga lebih dari satu bulan tersebut, secara eksplisit memberi indikasi bahwa potensi konflik internal yang ada dalam kehidupan sosial kemasyarakatan di Maluku (terutama di Maluku Tengah) dan intervensi "budaya impor", telah melemahkan kearifan budaya lokal. Kondisi yang rentan sedemikian, kemudian dieksploitasi dan dimanfaatkan secara sistematis oleh aktor intelektual yang hampir dapat dipastikan sulit dijamah hukum. Karena itu, pemecahan masalah Kerusuhan Ambon dengan berbagai implikasi yang timbul, seyogianya tidak disederhanakan, sebab jika demikian, pemecahan masalahnya tidak akan tuntas, bahkan hanya mengalihkan konflik massa ke waktu berikutnya. Dalam kerangka pemecahan Kerusuhan Ambon secara mendasar, diperlukan kajian yang komprehensif dan integratif agar dapat meminimalkan kecenderungan berpikir simplisistik, terutama untuk mengungkapkan sumbersumber masalah yang secara akumulatif membentuk titik-titik kritis (critical points) pada jaringan interaksi antar elemen di dalam masyarakat. Titik tolak ini penting, sebab eksploitasi suatu kerusuhan sosial yang bersifat luar biasa (massive) seperti di Ambon ini, tentu tidak terjadi secara spontan dan seketika, tetapi lazim didahului oleh pematangan kondisi sosio-psikologis massa, baik secara sengaja maupun tanpa disadari. Ini berarti, variabel waktu, pola hubungan

34

sosial masyarakat di desa maupun kota, berbagai kebijakan publik, dan pendekatan pembangunan secara nasional, ikut menentukan pra-kondisi kerusuhan, termasuk yang terjadi di Ambon. Oleh sebab itu, prinsip yang seharusnya dipedomani dalam upaya mencari solusi untuk membangun kembali keharmonisan struktur sosial bagi kebutuhan jangka panjang atau melakukan suatu rekayasa tatanan sosial masyarakat baru di Maluku, khususnya Maluku Tengah, dan Indonesia Baru pada umumnya, haruslah didasarkan pada itikad mengedepankan semua fakta empirik sesuai realitas obyektif yang jujur; dan yang terpenting ialah tanpa pretensi dan kepentingan politik sempit. Dalam konteks demikian, maka pokok-pokok pikiran yang disampaikan ini, pertama-tama didasarkan pada suatu gambaran tentang pola hubungan sosial dalam masyarakat di daerah pedesaan dan perkotaan di Maluku Tengah, proses pelemahan pranata sosial-budaya yang hidup dalam masyarakat baik yang dipengaruhi oleh berbagai kebijakan pembangunan nasional yang memarjinalkan kearifan budaya lokal sebagai katup pengaman potensi konflik sosial, maupun intervensi "budaya impor", serta identifikasi pola Kerusuhan Ambon. Akhirnya akan dikemukakan pula beberapa solusi pemecahan masalah Kerusuhan Ambon dalam rangka mengembangkan sebuah platform baru

kehidupan berbangsa berdasarkan cita-cita para pendiri republik ini.

4.1.1 Latar Belakang Masalah Secara antropologis, masyarakat asli Maluku Tengah berasal dari dua pulau besar, yaitu Pulau Seram dan Pulau Buru, kemudian bermigrasi ke pulaupulau kecil di sekitarnya. Para migran dari Pulau Seram menyebar ke Kepulauan Lease (Pulau Haruku, Pulau Saparua, dan Pulau Nusalaut) dan Pulau Ambon. Migrasi ini, memberi dampak terhadap peran Kepulauan Lease sebagai pusat kebudayaan baru yang diintrodusir oleh Pemerintah Kolonial Belanda, sehingga terjadi asimilasi antara kebudayaan baru dimaksud dengan Kebudayaan Seram yang mendapat pengaruh dari kebudayaan sekitarnya, yaitu pengaruh kebudayaan Melanesia (tradisi Kakean) dan Melayu, serta kekuasaan Ternate dan Tidore.

35

Dalam rangka pengawasan terhadap penduduk, Pemerintah Kolonial Belanda menurunkan penduduk dari pegunungan ke pesisir pantai, sehingga komunitas-komunitas dengan teritori yang disebut Hena atau Aman, berganti nama dengan Negeri, yang diciptakan oleh pemerintah kolonial. Dalam proses sosio-historis, negeri-negeri ini mengelompok dalam komunitas agama tertentu, sehingga timbul dua kelompok masyarakat yang berbasis agama, yang kemudian dikenal dengan sebutan Ambon Sarani dan Ambon Salam. Pembentukan negeri seperti ini, memperlihatkan adanya suatu totalitas kosmos yang

mengentalkan solidaritas kelompok, namun pada dasarnya rentan terhadap kemungkinan konflik. Oleh sebab itu, dikembangkanlah suatu pola manajemen konflik tradisional sebagai pencerminan kearifan pengetahuan lokal guna mengatasi kerentanan konflik dimaksud seperti Pela, Gandong dan hubungan kekerabatan lainnya. Teritori-teritori baru ini (negeri) diatur struktur pemerintahannya yang mirip dengan struktur pemerintahan di Negeri Belanda. Dengan struktur pemerintahan demikian, maka negeri-negeri menjadi "negara-negara

kecil" dengan pemerintah, rakyat dan teritori tertentu, dipimpin oleh Raja yang diangkat dari klen-klen tertentu yang memerintah secara turun-temurun, dan kekuasaan di dalam negeri, dibagi-bagi untuk seluruh klen dalam komunitas negeri. Dalam proses penataan struktur pemerintahan negeri, terjadi perubahan institusi sosial, seperti Saniri Negeri yang sebelumnya merupakan lembaga peradilan, berubah fungsi menjadi semacam badan perwakilan rakyat. Dalam perkembangan sosio-historis selanjutnya, terjadi kontak-kontak sosial baik antar masyarakat asli Maluku Tengah maupun antara masyarakat asli dengan pendatang. Dengan demikian, maka di dalam masyarakat Maluku Tengah ini dikenal 2 (dua) kelompok atau kategori sosial, yaitu Anak Negeri dan Orang Dagang. Yang disebut Anak Negeri ialahpenduduk asli Maluku Tengah dalam sebuah negeri (Desa Adat). Anak Negeri ini, terdiri atas 2 kelompok pemeluk agama, yaitu Anak Negeri Sarani, untuk yang beragama Kristen, yang mendiami Negeri (Desa Adat) Sarani, dan Anak Negeri Salam, untuk yang beragama Islam, yang mendiami Negeri (Desa Adat) Salam. Kedua kelompok

36

masyarakat ini umumnya hidup dalam komunal-komunal (Negeri) yang terpisah, kecuali di beberapa desa seperti Hila, Larike, dan Tial. Yang disebut Orang Dagang, ialah para pendatang dari luar Negeri, baik karena ikatan perkawinan dengan Anak Negeri, maupun karena tugas-tugas pelayanan masyarakat (guru, mantri kesehatan, mantri pertanian, dan lain-lain), atau karena aktivitas ekonomi (penggarap tanah atau pemungut hasil hutan, atau pedagang). Jadi, Orang Dagang di sebuah Negeri, dapat berasal dari Orang Maluku Asli yang berasal dari Negeri lain, ataupun pendatang dari luar Maluku, yaitu yang berasal dari Buton, dan suku bangsa Cina serta Arab. Khusus pendatang dari luar Maluku, etnis yang dominan dari segi kuantitas ialah enis Buton. Orang Dagang dari luar Maluku ini datang dan menetap dalam Negeri, baik secara berbaur dengan Anak Negeri maupun membentuk suatu komunal lain dalam Petuanan Negeri, lebih didominasi oleh kepentingan ekonomi. Orang Dagang yang berasal dari etnik Buton yang berdiam di sebuah Negeri, biasanya dalam jumlah puluhan kepala keluarga, dan hampir seluruhnya datang dan menetap dalam Negeri Kristen. Mereka ini, sudah ratusan tahun mendiami Negeri-Negeri Kristen, dan kehadirannya sebagai petani penggarap lahan, baik Tanah Dati maupun Tanah Negeri. Sejak kedatangan etnis ini hingga tahun 1970an, mereka ini membentuk komunal yang terpisah dengan Anak Negeri, dan hidup dengan tradisi maupun agama yang dianutnya, secara bebas. Orang Dagang yang berasal dari keturunan Arab atau Cina, datang dan mendiami sebuah Negeri dalam jumlah yang sangat kecil, yaitu hanya satu atau beberapa kepala keluarga. Mereka ini, hadir sebagai pedagang yang tidak membentuk komunal yang terpisah dari Anak Negeri, tetapi berbaur dalam komunitas Anak Negeri. Walaupun mereka berbaur dengan Anak Negeri, pada umumnya, tradisi nenek moyangnya tetap dipertahankan, terutama yang berasal dari keturunan Cina. Demikian juga agama yang dianutnya, terutama keturunan Arab, pada umumnya tetap dipertahankan, sekalipun mereka mendiami sebuah Negeri yang pemeluk agama Anak Negerinya berbeda. Saat akan melaksanakan ibadah berjamaah misalnya, umumnya mereka melakukan ibadah di Negeri yang sama agamanya, atau ke kota terdekat.

37

Kontak sosial antar Anak Negeri dari dua atau lebih Negeri, terjadi karena hubungan kekerabatan, yang terakomodasi dalam berbagai wujud

termasuk PELA dan GANDONG, atau karena hubungan ekonomi maupun sosial lain, seperti pendidikan anak, atau acara-acara keagamaan maupun hari-hari besar kenegaraan. Sebaliknya, kontak sosial antara Anak Negeri dengan Orang Dagang, terutama yang berasal dari luar Maluku, terjadi karena kegiatan ekonomi, sehingga pola hubungan kedua kelompok masyarakat ini, lebih dimotivasi oleh kepentingan ekonomi semata. Berdasarkan gambaran antropologis dan sosiologis di atas, maka sesungguhnya dalam kehidupan sosial, terutama pada daerah pedesaan di Maluku Tengah, terdapat tiga pengelompokan masyarakat, yaitu Anak Negeri Serani, Anak Negeri Salam, dan Orang Dagang. Perekat sosial antar satu kelompok dengan kelompok lainnya, berbeda-beda. Perekat sosial yang mengikat hubungan sosial Anak Negeri Serani dan Anak Negeri Salam, antara lain yang menonjol ialah nilai-nilai budaya PELA atau GANDONG yang diyakini mempunyai

kekuatan supranatural yang sangat mempengaruhi perilaku sosial kedua kelompok masyarakat ini. Wujud keterikatan budaya ini secara praktis terlihat dari sifat kegotong-royongan antar kedua Negeri yang yang mempunyai hubungan pela atau gandong. Sifat kegotong-royongan ini, dalam realitasnya memasuki area identitas kelompok yang sensitif, yaitu dalam hal pembangunan rumah ibadah, dimana Negeri Serani merasa berkewajiban untuk menyiapkan bahan bangunan (biasanya kayu) dan bersama-sama membangun mesjid. Demikian sebaliknya, Negeri Salam merasa berkewajiban untuk menyiapkan bahan bangunan dan bersama-sama membangun gereja. Kewajiban ini didasari atas rasa kewajiban sosial, moral, dan ritual, dan sama sekali tidak ada nuansa ekonomi didalamnya. Kewajiban yang bernuansa sosial, moral dan ritual ini, tidak mengurangi atau-pun mengganggu kepatuhan terhadap ajaran agama yang dianut oleh Anak Negeri tiap Negeri yang berbeda agama ini, bahkan mempertebal rasa saling menghargai perbedaan agama antar kedua Negeri tersebut. Pola hubungan Anak Negeri dengan Orang Dagang, dipererat oleh kepentingan ekono-mi, dari masing-masing kelompok. Sehingga yang menjadi

38

perekat hubungan sosial antar kedua kelompok masyarakat ini, bukan agama, tetapi transaksi ekonomi. Hal ini terjadi, karena pada umumnya Orang Dagang yang terbanyak berasal dari Buton, mendiami dan menggarap lahan milik petuanan Negeri Serani. Sedangkan Orang Dagang dagang asal Negeri lain, pada umum-nya pola hubungan sosial dengan Anak Negeri direkat oleh kekerabatan karena perkawinan atau pekerjaan sosial lain. Sebab itu, pandangan Anak Negeri terhadap Orang Dagang yang berasal dari Negeri lain, berbeda dengan yang berasal dari luar Maluku Tengah. Orang Dagang dari Negeri lain, masih dilihat sebagai suatu kesatuan budaya, sedangkan terhadap Orang Dagang dari luar Maluku Tengah, dilihat sebagai pendatang dan orang diluar kesatuan budaya. Karena itu, ada perlakuan yang berbeda dari Anak Negeri terhadap Orang Dagang yang berasal dari Negeri lain dengan yang berasal dari luar Maluku Tengah. Namun ada perlakuan yang sama kepada kedua sub kelompok Orang Dagang ini, ialah kedua-duanya tidak diberikan hak dalam penguasaan Tanah Datiatau Tanah Negeri. Berdasarkan uraian-uraian di atas, secara sosiologis dan antropologis, pola hubungan sosial dalam kehidupan masyarakat pedesaan di Maluku Tengah, sudah mengandung potensial konflik, karena adanya sentimen kelompok, baik dalam konteks Salam-Serani, Anak Negeri-Orang Dagang, maupun secara kesatuan budaya. Namun demikian, sentimen kelompok ini, tereliminasi dengan kearifan budaya lokal, maupun kepentingan ekonomi yang substitusional dalam batasan kewajaran, sehingga konflik sosial tidak termanifest. Dengan kata lain, potensi tersebut dapat diredam dan mengendap pada bagian terdalam struktur kepribadian masyarakat, karena institusi sosial budaya lokal masih berfungsi dengan baik sebagai katup pengaman yang mampu meminimalkan eksplosi sosial yang bernuansa primordial.

Kota-kota di Maluku Tengah, sama seperti kota lainnya dimanapun, terbentuk karena adanya pusat pemerintahan dan kegiatan politik, pusat kegiatan ekonomi, maupun pusat kegiatan pendidikan. Karena itu, kota lazim menjadi

39

pusat konsentrasi manusia dari berbagai latar belakang etnik, budaya, maupun agama dengan berbagai kepentingan yang berbeda-beda. Kota Ambon sebagai sentral seluruh kegiatan pemerintahan dan politik, ekonomi maupun pendidikan, di Maluku, mempunyai daya tarik bagi masyarakat dari berbagai penjuru desa yang ada di Maluku maupun luar Maluku. Karena itu, proses migrasi secara spontan terjadi ke Kota Ambon sekitar permulaan abad 19, dimana para migran Anak Negeri Serani dari daerah pedesaan datang ke Kota Ambon umumnya untuk kepentingan pendidikan, sedangkan Anak Negeri Salam datang lebih untuk kepentingan ekonomi, yakni sebagai pedagang dan sedikit sekali yang datang untuk kepentingan pendidikan, dan Orang Dagang dari luar bermigrasi ke Kota Ambon untuk kepentingan ekonomi semata. Para Migran dari daerah pedesaan ke Kota Ambon, mem-bentuk komunal-komunal yang segregatif berdasarkan latar belakang agama sesuai dengan segregasi teritori di pedesaan, walaupun dalam sebuah komunal tidak lagi homogen seperti Kon-sep Anak Negeri - Orang Dagang. Sebaliknya, para pendatang dari wilayah-wilayah lain dari Sulawesi Selatan dan Pulau Jawa, membentuk komunal-komunal yang segregatif berdasarkan latar belakang etnik. Pola pemukiman yang segregatif di Kota Ambon dengan masyarakat yang semakin heterogen ini, membentuk sentimen kelompok dalam berbagai latar belakang, yaitu sentimen kelompok agama, ikatan negeri, maupun etnik yang rawan konflik. Seiring dengan perkembangan kepemerintahan dan politik, pendidikan, dan ekonomi, Kota Ambon sebagai sentral seluruh kegiatan tersebut, semakin dipadatkan dengan para migran yang tidak hanya berasal dari daerah pedesaan, tetapi juga dari daerah-daerah lain disekitarnya, terutama Daerah Sulawesi Selatan. Dengan perkembangan Kota Ambon yang semakin pesat ini, maka Kota Ambon menjadi tumpuan untuk mencari lapangan kerja baru. Orang Ambon Serani, dengan bekal tingkat pendidikan yang relatif lebih tinggi, mempunyai orientasi kerja pada biro-krasi, sebaliknya Orang Ambon Salam sebagian besar mempunyai orientasi kerja pada sektor ekonomi berskala kecil. Pendatang suku bangsa Cina dan Arab, yang pada dasarnya menda-tangi Maluku karena kepentingan ekonomi, berorientasi kerja pada sektor ekonomi berskala me-nengah

40

dan besar, sedangkan para pendatang dari Sulawesi Selatan dan Tenggara, mempunyai orientasi kerja pada sektor ekonomi berskala kecil. Sejalan dengan perkembangan Kota Ambon yang demikian pesat, dan proses migrasi masuk yang tidak diimbangi dengan kebijakan kependudukan yang berbasis pada daya dukung pulau, mengakibatkan semakin tingginya tingkat kepadatan penduduk. Dengan tingginya ke-padatan penduduk ini, maka ruang kerak penduduk semakin sempit, sehingga persaingan se-cara ekonomis, baik terhadap ruang (tanah) maupun lapangan kerja, mengakibatkan semakin tingginya potensi konflik antar kelompok masyarakat. Sehubungan dengan perkembangan ekonomi, terutama terpuruknya harga cengkeh, akibat kebijakan Tata Niaga Cengkeh yang monopolistik, maka kehidupan ekonomi para petani cengkeh di Maluku semakin sulit dari waktu ke waktu. Anak Negeri Kristen yang selama ini tidak berbakat di sektor swasta, sebab selama ini orientasi kerja hanya pada birokrasi, mencoba mengalihkan aktivitas ekonomi keluarga pada sektor ekonomi. Saat akan memasuki dunia karier yang baru, yakni sebagai wirausahawan, sudah ada "barier" , yaitu kelompok masyarakat lain, yakni Anak Negeri Islam dan Orang Dagang, baik dari etnis Buton, Bugis/Makassar, Arab, maupun Cina, yang lebih mapan dalam berbagai aspek manajerial usaha. Selain itu, pola rekruitmen pegawai birokrasi yang cenderung berpendekatan koneksitas (KKN), menimbulkan ketersinggungan sosial ekonomi dikalangan para pencari kerja yang sangat minim koneksinya pada instansi birokrasi. Beragamnya motivasi kelompok-kelompok dalam masyarakat di Kota Ambon ini, dan terjadinya berbagai ketimpangan sosial, mengakibatkan terjadi perubahan pola hubungan sosial, terutama pada kelompok masyarakat asal Negeri-Negeri, dari pola hubungan yang berbasis pada budaya tolong menolong dan saling menghormati, berdasarkan kewajiban sosial, moral, dan ritual, menjadi orientasi kepentingan yang bersifat ekonomis. Perubahan hubungan sosial ini, mengakibatkan semakin bertambah mengentalnya solidaritas kelompok yang berbasis pada agama, sehingga potensi konflik di Kota Ambon semakin tajam.

41

Menyimak pola hubungan sosial masyarakat di Maluku Tengah yang dikemukakan di atas, pada dasarnya kehidupan masyarakat menyimpan potensi konflik. Negeri-negeri terpola pada perbedaan-perbedaan kelompok, baik terkait dengan teritori maupun agama, yaitu Negeri Salam dan Negeri Serani. Pembagian kelompok negeri ini menimbulkan solidaritas primordial yang kuat di kalangan anggota kelompok. Disatu pihak terdapat solidaritas kelompok yang berbasis pada negeri, dilain pihak terdapat juga solidaritas kelompok yang berbasis pada agama. Dalam realitas kehidupan sosial, perbedaan kelompok ini direkat oleh kebudayaan lokal, yaitu adat, karena adanya kesatuan budaya yang dianut oleh masyarakat di Maluku Tengah. Konsep Salam-Serani sebenarnya merupakan sebuah totalitas Orang Ambon dalam konteks budaya. Hubungan-hubungan pela dan gandong merupakan jaringan kesatuan yang luas, dan menjadi perekat antar kelompok masyarakat yang berbeda, sebagai sebuah totalitas dan kesatuan budaya. Dalam perkembangan kemasyarakatan dan kebangsaan, potensi konflik antar kelompok masyarakat, baik di Maluku Tengah maupun Indonesia pada umumnya, tidak dikelola melalui tahapan pluralisme yang disertai dengan pemberdayaan katup-katup pengamannya (safety valve). Akibatnya, masyarakat tidak mengetahui bagaimana seharusnya menghargai realitas obyektif,

yaitu kebhinnekaan yang ada, sehingga sikap politik masyarakat tidak pernah menca-pai tingkat kedewasaan yang memadai untuk berdemokrasi. Perjalanan berbangsa dan berne-gara selama 32 tahun belakangan ini menunjukan bahwa manajemen pembangunan Pemerin-tahan Orde Baru sudah mengalami kegagalan dalam memfasilitasi perkembangan pluralisme dari tahap awal, yakni Pluralisme Primordial menuju Pluralisme Liberal, untuk selanjutnya mencapai

tahap Pluralisme Konsosiasional. Hal ini disebabkan oleh pendekatan stabilitas yang melahirkan struktur masyarakat yang didominasi oleh ideologi seragam dan keseragaman, yang sengaja menihilkan kebhinnekaan, sehingga tertib sosial yang berhasil dicapai ternyata hanya mencerminkan integrasi sosial politik yang semu, karena nilai-nilai apresiatif terhadap realitas kemajemukan tidak melembaga dalam perilaku berbagai kelompok, baik komunitas etnis, agama, maupun antar golongan.

42

Dalam perjalanan kenegaraan dan kebangsaan, sejak awal tahun 1970an, dalam ke-rangka terciptanya stabilitas, maka mulai terintrodusir Paradigma Mayoritas-Minoritas dalam manajemen pembangunan. Paradigma ini terwujud dalam berbagai produk undang-undang maupun praktek kenegaraan. Praktek bernegara dan bermasyarakat yang sangat kental dengan paradigma ini ialah Undang-Undang No. 5 Tahun 1979 dan budaya mohon petunjuk. Kedua bentuk paradigma ini merupakan apresiasi dari nilai-nilai budaya Jawa yang dipaksakan pemberlakuannya diseluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Implikasinya, rasa mayoritas (sense of majority) cenderung mengekspresikan diri secara terbuka melalui tuntutan-tuntutan dominatif, yang tanpa disadari kemudian menstimulasi munculnya rasa minoritas (sense of minority), sebagai upaya resistensi dalam berbagai bentuk.Konsekuensi logis dari sense of majority versus sense of minority pada lapisan masyarakat bawah (grassroot level), ialah berkembangnya polarisasi yang cukup kuat. Hal ini terjadi karena berbagai saluran ekspresi diri yang idealnya berlangsung secara kompetitif dan prestatif tersumbat oleh kepentingan prestise pribadi dan kelompok, yang

dipraktekan nyaris tanpa moral. Awal tahun 1990an pendekatan berparadigma mayoritas-minoritas mulai berubah basis-nya dari dominasi Budaya Jawa, menjadi dominasi keagamaan. Implikasi terhadap berubahnya basis paradigma mayoritas-minoritas ini, ialah politisasi agama yang semakin mempertajam konflik sosial dalam kehidupan masyarakat Maluku, terutama Maluku Tengah, yang memang secara sosiologis telah hidup dalam Konsep Salam-Serani. Konsep Salam-Serani yang bernuansa kultural berubah esensinya menjadi Konsep Islam-Kristen yang bernuansa universal. Akibatnya, terjadi perubahan perilaku sesama Anak Negeri, yang semula saling mengunjungi ataupun menghadiri acara ritual adat sekaligus dengan ritual agama, mulai memilah-milah untuk hanya mengunjungi atau menghadiri acara ritual adat saja. Pendekatan mayoritas-minoritas berdasarkan nuansa keagamaan,

merupakan embrio hancurnya nilai-nilai kemanusiaan, apalagi jika ditunjang dengan politisasi agama. Sebab agama mempunyai karateristik yang khas

43

yaitu "nilai ekslusifistik dan ekspansif", sehingga politisasi agama akan mendorong berkembangnya kehidupan berbangsa dan bernegara dalam nuansanuansa eksklusifisme agama. Padahal, dalam kehidupan berbangsa dan bernegara yang dicita-citakan oleh para founding fathers republik ini, bukan didasarkan pada pendekatan paradigma mayoritas-minoritas dalam bentuk apapun, tetapi didasarkan pada tatanan budaya bangsa yang ber BHINNEKA dan mampu mempersatukan Indonesia dari Sabang sampai Merauke. Dalam berbagai dimensi pembangunan selama ini, baik kepemerintahan, ekonomi, dan sosial, pendekatan kuantitatif selalu dikedepankan yang diterjemahkan sebagai demokrasi. Padahal esensi demokrasi bukan terletak pada angka-angka statistik, tetapi pada kualitasnya, yaitu bagaimana mendorong seluruh rakyat untuk berpartisipasi dalam seluruh proses pem-bangunan bangsa, berdasarkan nilai-nilai kultural yang hidup dalam masyarakat. Nilai-nilai kultural yang hidup dalam masyarakat di Maluku ialah per-saudaraan dan saling menghargai yang menembusi sekat-sekat agama. Nilai-nilai ini selama berabadabad telah terbukti men-ciptakan hubungan persaudaraan dan saling menghargai, sehingga interaksi sosial yang dinamis antara seluruh lapisan dan golongan masyarakat di Maluku, dapat berlangsung dalam nuansa rasa persaudaraan yang tinggi dan saling tolong-menolong, sebagai wujud sebuah kewajiban sosial, moral, dan ritual. Nilai-nilai kultural ini, mulai mengalami degradasi, seiring dengan politik pembangunan yang mengedepankan pendekatan-pendekatan keagamaan. kuantitatif Akibatnya,

dengan paradigma

mayoritas-minoritas berdasarkan

masyarakat di Maluku, terutama di Kota Ambon, terkotak-kotak dalam sekatsekat agama, sehingga nuansa kebangsaan yang berBHINNEKA mulai

surut, diganti dengan nuansa mayoritas-minoritas yang berbasis agama. Dampak langsung ialah, hancurnya nilai dan pranata kultural yang selama ini menjadi perekat dalam kehidupan masyarakat di Maluku, bahkan kemungkinan besar di daerah-daerah lain di Indonesia juga. Hancurnya nilai dan pranata kultural mengakibatkan masyarakat terkotak-kotak, sehingga timbul rasa superioritas mayoritas terhadap golongan minoritas berdasarkan agama. Sebaliknya, golongan

44

minoritas merasa eksistensinya terancam dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia yang didasarkan pada hakekat BHINNEKA TUNGGAL IKA yang berbasis pada tatanan budaya. Rasa superioritas mayoritas di satu sisi berhadapan dengan rasa terancamnya eksistensi go-longan minoritas di lain sisi, karena paradigma mayoritas-minoritas berbasis agama, menjadi ancaman terhadap integrasi dan keutuhan bangsa. Ketika gong reformasi memberi ruang yang besar bagi terbukanya saluran aspirasi, timbul dorongan bereksperimen politik dengan resiko tinggi, yang semula dianggap sebagai perilaku demokratis, ternyata kemudian membuka jalan bagi luapan ekspresif yang cenderung anarkhis dari sense of majority, yang merangsang energi sosial massa pada lapisan bawah, muncul kepermukaan sebagai kekuatan destruktif yang semakin mempertajam polarisasi dan jurang antar etnis, agama, dan golongan. Dalam konteks ini, isyu agama sebagai salah satu sarana pembinaan solidaritas dan sentimen kelompok, menjadi pilihan strategis untuk menggalang kekuatan massa, sehingga agama menjadi kendaraan politik. Kondisi seperti ini, terjadi di Indonesia, sehingga budaya lokal di Maluku Tengah, terutama di Kota Ambon, terpengaruh dan ikut menjadi lebih lemah lagi, sehingga hampir tidak ada lagi katup pengaman untuk menentralisasi konflik sosial yang memang sudah potensial.

4.1.2 Akibat Kerusuhan Kerusuhan Ambon yang berlarut-larut selama dua bulan, telah mengakibatkan kerugian yang tak ternilai. Jika dibandingkan dengan kerusuhan di tempat-tempat lain, Kerusuhan di Ambon dan sekitarnya merupakan yang terlama dengan kerugian yang terbesar. Ini disebabkan, pola Kerusuhan Ambon sama sekali berbeda dengan yang terjadi pada tempat-tempat lainnya di Indonesia, dan faktor pemicunya juga sangat fundamental, serta meliputi banyak

variabel (complicated). Kerusuhan di Ambon yang mulai terjadi sejak tanggal 19 Januari 1999, diawali dengan terjadinya pertikaian pribadi antara seorang pendatang beragama Islam dengan seorang Anak Negeri Kristen, yang kemudian melibatkan dua

45

kelompok masyarakat berlabel agama, yaitu Kelompok Islam dan Kelompok Kristen. Awal kerusuhan terjadi di Tempat Pemberhentian Mobil Angkutan di Batu Merah, dimana seorang pendatang beragama Islam dan seorang Anak Negeri Kristen, sopir mobil angkutan kota Jurusan Batu Merah, terlibat pertikaian, kemudian si Anak Negeri Kristen meninggalkan lokasi kejadian dan kembali dengan beberapa temannya yang sekampung dan mengejar si pendatang beragama Islam. Si pendatang beragama Islam ini selanjutnya melarikan diri memasuki Desa Batu Merah dan kembali dengan massa Islam yang membawa berbagai senjata tajam, kemudian mengejar si Anak Negeri Kristen dan teman-temannya, sehingga mereka lari memasuki Kampung Mardika, yang berbatasan dengan Desa Batu Merah. Masyarakat Mardika yang melihat massa Batu Merah mengejar massa yang masuk ke dalam kampungnya sebagai tindakan penghadangan, sehingga terjadilah saling melempar batu antar kedua kelompok massa, yang berakhir dengan dibakarnya 4 (empat) buah rumah penduduk warga Mardika. Saat itu, masyarakat pada lokasi-lokasi pemukiman Kristen mulai mengetahui adanya pertikaian antara Mardika dan Batu Merah, dan tampaknya solidaritas kelompok yang telah mengental dan lemahnya budaya lokal sebagaimana dikonstatasi sebelumnya, mendorong keterlibatan kelompok Pemuda Kristen dari Belakang Soya, lokasi terdekat dengan Mardika, secara berkelompok untuk menuju Mardika guna memberi membantu. Pada waktu yang hampir bersamaan, dalam jarak yang hampir 3 kilometer ke arah barat Desa Batu Merah, sekelompok massa Islam yang berasal dari Soa Bali, Jalan Baru, dan Waihaong, melakukan provokasi terhadap warga Silale yang beragama Kristen, dengan alasan bahwa Desa Batu Merah telah dibakar oleh Orang Kristen. Saat itu, terjadilah saling melempar dengan batu antara kedua kelompok masyarakat ini, dan berakhir dengan dibakarnya 12 (dua belas) buah rumah penduduk dan 1 (satu) buah gereja, pada malam tanggal 19 Januari 1999 itu. Dengan terbakarnya rumah-rumah penduduk Kristen di Mardika dan Silale, serta gereja di Silale, mulailah terjadi akumulasi massa dari kedua kelompok agama di berbagai sudut jalan Kota Ambon, diikuti dengan saling menyerang rumah dan tempat ibadah di berbagai tempat.

46

Pada tanggal 19 Januari 1999 malam dan dilanjutkan besok harinya, warga lima desa Islam di Jazirah Leihitu, yaitu Wakal, Hitu, Hila Islam, Mamala, dan Morela, mulai melakukan penyerangan terhadap 125 anak-anak remaja Kristen yang berasal dari Kota Ambon yang sedang melakukan kegiatan retreat di Field Marine Station milik Universitas Pattimura di Hila. Akibat penyerangan ini, 6 (enam) orang dari rombongan anak-anak remaja ini terbunuh, sedangkan yang lainnya berhasil menyelamatkan diri melalui laut maupun naik gunung ke Desa Hatiwe Besar dan Desa Tawiri, dengan dibantu oleh penduduk Desa Asilulu, dan warga Buton di petuanan desa Seith. Tanggal 20 Januari 1999 pagi, warga kelima desa Islam ini menyerang dan membakar rumah-rumah penduduk dan gereja tua di Desa Hila Kristen. Warga Desa Hila Kristen semuanya sempat menyelamatkan diri ke Desa Seith dan Kaitetu yang beragama Islam, dan dibantu oleh penduduk kedua desa ini maupun warga Buton disekitarnya, dan dievakuasi ke Desa Hatiwe Besar dan Desa Tawiri, dengan berjalan kaki melalui gunung. Aksi penyerangan massa dari kelima desa ini kemudian meluas ke arah jalan raya menuju Kota Ambon dengan berjalan kaki, yang disertai dengan pembakaran rumah penduduk dan pembunuhan di lokasi-lokasi; Dusun Telaga Kodok, Dusun Benteng Karang, Desa Hunuth/Durian Patah, Desa Waiheru, Desa Nania, dan Desa Negeri Lama. Ironisnya, dalam perjalanan panjang aksi pembantaian dan pembakaran oleh massa dari kelima warga desa tersebut terhadap pemukiman penduduk Kristen ini, massa melewati beberapa pos dan barak militer, tetapi tidak ada tindakan pencegahan oleh aparat keamanan setempat, kecuali yang dilakukan oleh aparat dari Satuan Brimob di Air Besar, Desa Passo. Dalam aksi pembantaian dan pembakaran ini 34 (tiga puluh empat) warga beragama Kristen meninggal dunia, termasuk seorang pendeta wanita dan seorang pendeta laki-laki, serta ratusan rumah penduduk dan sejumlah gereja, maupun harta benda lainnya terbakar dan dijarah. Alasan aksi pembantaian dan pembakaran serta penjarahan yang dilakukan oleh massa dari kelima desa Islam ini, ialah adanya informasi bahwa Mesjid Al fatah yang menjadi representasi identitas umat Muslim di Kota Ambon sudah dibumi hanguskan oleh Orang Kristen.

47

Informasi mengenai pembantaian, pembakaran, dan penjarahan atas pemukiman-pemukiman Kristen oleh massa dari kelima desa Islam ini, mengakibatkan sentimen dan solidaritas kelompok di kalangan Umat Kristen di Kota Ambon dan sekitarnya tereksploitasi dan muncul ke permukaan secara tidak terkendali sebagai reaksi atas aksi massa tersebut, sehingga terjadilah penyerangan dalam bentuk pembakaran dan pembantaian terhadap Umat Islam di pemukiman-pemukiman Islam maupun obyek-obyek ekonomi yang sebagian besar dikuasai oleh Umat Islam. Dalam kerusuhan antar kelompok masyarakat di Kota Ambon dan sekitarnya ini, aparat keamanan yang ada, tidak sama sekali berfungsi secara maksimal sesuai tugasnya, malahan menurut penilaian kedua kelompok masyarakat yang sedang terlibat dalam kerusuhan ini, aparat keamanan bertindak diskriminatif. Hal ini terbukti dengan puluhan warga sipil yang meninggal dan luka-luka kena tembakan aparat keamanan, dan seorang aparat anggota Kostrad dari Batalion Linud 431 yang berbasis di Ujung Pandang dan tiba di Ambon tanggal 20 Januari 1999, terbunuh oleh warga sipil di Benteng. Kerusuhan yang terjadi di Ambon ini kemudian meluas ke berbagai tempat di Maluku, yaitu di Sanana, di Saumlaki, dan di Seram (pada berbagai lokasi). Kerusuhan yang terjadi di luar Ambon ini, berupa pembunuhan dan pembakaran rumah penduduk dan tempat ibadah antar kedua kelompok agama Islam dan Kristen. Kerusuhan sosial yang sempat terhenti tanggal 24 Januari 1999, kemudian berlanjut lagi pada tanggal 14 Februari 1999 berupa penyerangan massa dari beberapa Desa Islam di Pulau Haruku terhadap Desa Kariu yang beragama Kristen, mengakibatkan puluhan orang korban meninggal dunia dan luku-luka dan ratusan rumah penduduk serta dua buah gereja di Desa Kariu terbakar. Kerusuhan di Kariu ini berdampak pada solidaritas Umat Kristen di Saparua, sehingga terjadi penyerangan pada beberapa pemukiman Islam di Saparua, yang mengakibatkan puluhan rumah penduduk terbakar dan puluhan korban jiwa luka-luka dan meninggal dunia. Tanggal 23 - 25 Februari 1999 kerusuhan yang bernuansa agama kembali terjadi di Batu Merah Dalam, yaitu penyerangan dan pembakaran rumah-rumah

48

penduduk Kristen oleh massa Islam yang berasal dari Batu Merah dan Kampung Galunggung serta Dusun Rinjani. Dalam kerusuhan ini puluhan korban luka-luka dan meninggal dunia terkena tembakan aparat maupun senjata-senjata tradisional, serta puluhan rumah terbakar. Tanggal 1 Maret 1999 kembali terjadi kerusuhan yang bernuansa agama di Dusun Ahoru dan Dusun Rinjani, berupa saling menyerang antar massa dari kedua kelompok agama yang berdiam di kedua dusun tersebut. Dalam kerusuhan ini, terdapat sejumlah orang meninggal dunia dan luka-luka, serta sejumlah rumah penduduk terbakar. Kerusuhan ini kemudian dilaporkan oleh Kepala Kanwil Departemen Agama Propinsi Maluku kepada Menteri Agama bahwa warga Muslim yang sedang sholat subuh diserang dan ditembak di dalam mesjid. Laporan ini kemudian dikonfirmasi oleh beberapa tokoh Islam lainnya dalam rangka pemberitaan, sehingga selama beberapa hari ekspose berita dilakukan secara tendensius oleh berbagai media massa nasional baik elektronik maupun cetak. Akibatnya, timbullah gerakan solidaritas Islam secara nasional dengan tujuan ber-jihad di Ambon. Kerusuhan masih berlanjut secara massal pada tanggal 5 Maret 1999. Ini diduga kuat sebagai akibat munculnya semangat ber-jihad yang dibakar oleh gerakan Islam secara nasional tersebut. Pada tanggal tersebut massa yang semula berkumpul di Mesjid Al Fatah menyerang wilayah di sekitar Gereja Silo, diikuti oleh pembakaran gedung sekolah SD Latihan yang sementara ditempati para pengungsi beragama Kristen dari Silale. Muncullah reaksi balik dari massa yang beragama Kristen, sehingga menyulut kerusuhan di beberapa tempat sekitarnya. Kerusuhan ini menelan cukup banyak korban manusia baik yang luka berat dan ringan maupun yang meninggal. Disamping garis besar kronologis peristiwa kerusuhan yang digambarkan di atas, sebetulnya terjadi pula beberapa tindak kriminal yang dilakukan secara berkelompok oleh massa Islam tertentu seperti pembunuhan (ditikam atau diparang) orang-perorangan yang beragama Kristen dan penculikan seorang dosen Fakultas Hukum Unpatti yang kebetulan melewati perkampungan warga Islam.

49

Hal yang sama terjadi pula bagi orang Islam yang melewati perkampungan orang Kristen. Saat ini tampaknya kerusuhan massal sudah bisa dikendalikan oleh aparat keamanan, bahkan telah diupayakan pula penyerahan berbagai senjata tajam dari warga perkampungan atau desa Islam dan Kristen, sehingga dapat mendukung proses rekonsiliasi yang terus-menerus dilakukan. Untuk menciptakan rasa aman dan kenyamanan hidup bagi warga masyarakat kota Ambon dan sekitarnya, diperkirakan paling tidak periode "mengatasi kerusuhan" oleh aparat keamanan ini akan membutuhkan waktu kurang lebih 1 (satu) hingga 2 (dua) bulan ke depan, sebelum memasuki tahap "pemulihan (recovery) hubungan-hubungan sosial" dalam kehidupan bermasyarakat antar kedua kelompok masyarakat.

4.1.3 Kesimpulan & Pemecahan Masalah Kerusuhan Ambon. Berdasarkan uraian singkat mengenai kondisi psiko-sosial dan garis besar fakta lapangan di atas, beberapa kesimpulan yang dapat dikemukakan sebagai berikut: 1. Kerusuhan yang terjadi di Kota Ambon dan tempat-tempat lain di Maluku, merupakan sebuah hasil rekayasa (entah siapa aktor intelektualnya) untuk tujuan tertentu, antara lain (i) merusak tatatan kultur masyarakat Maluku, dan (ii) mendiskreditkan umat Kristen di Maluku, serta (iii) merusak sistem perekonomian dan sistem pendidikan di Maluku. (iv) memberi aksentuasi dalam rangka merubah stereotip predikat orang Ambon yang dikenal sebagai orang Kristen. Perekayasa kerusuhan ini, adalah orang atau kelompok yang memahami benar kondisi psiko-sosial masyarakat di Maluku, terutama di kalangan Umat Kristen. 2. Kerusuhan yang melanda berbagai sudut di Daerah Maluku ini, telah dijadikan komoditas politik untuk melemahkan posisi tawar Umat Kristen di Maluku, sebagai salah satu anak kandung Ibu Pertiwi, dalam proses pembangunan bangsa, baik secara nasional maupun lokal. Sebab, kerusuhan ini bukannya tidak mungkin terkait erat dan merupakan

50

kelanjutan dari berbagai tragedi berdarah lainnya di Indonesia terutama di Pulau Jawa yang menelan korban jiwa dan kerugian material dari umat Kristiani. 3. Nilai-nilai kultural masyarakat di Maluku yang sarat dengan nuansa persaudaraan, yang selama ini hidup dan dipraktekan dalam kehidupan kemasyarakatan, telah berubah menjadi rasa saling mencurigai dan mendendam, antara kelompok masyarakat Kristen dan kelompok masyarakat Islam di Maluku. Tatanan nilai budaya lokal mengalami degradasi bahkan kerusakan akibat menguatnya sentimen nilai universal (agama Islam) dan pengaruh perspektif kebijakan pembangunan yang berlatar belakang pendekatan mayoritas-minoritas. 4. Rusaknya berbagai infra-struktur ekonomi dan terganggunya aktivitas ekonomi masyarakat, akan berdampak terhadap kelangkaan bahan kebutuhan pokok dan inflatoir dalam jangka pendek, sedangkan dalam jangka panjang, akan sangat mengganggu dinamika pembangunan di Daerah Maluku pada umumnya, dan khususnya Kotamadya Ambon. 5. Terganggunya aktivitas pendidikan pada semua jenjang pendidikan di Kotamadya Ambon dan sekitarnya, akan mempengaruhi proses perbaikan kualitas sumber daya manusia di Maluku, yang dalam jangka panjang akan melemahkan posisi tawar Orang Maluku dalam pasar kerja lokal maupun nasional. 6. Kredibiltas pemerintah daerah, terutama Pemerintah Daerah Maluku, Kotamadya Ambon, dan Kabupaten Maluku Tengah, sedang diuji, bahkan kemungkinan besar sedang dirongrong oleh pihak-pihak tertentu dengan tujuan politis khusus. 7. Pers nasional belum berfungsi sebagai pers yang menjunjung tinggi nilai dan etika jurnalistik, sebab berita-berita yang dipublikasi tidak melalui "check and recheck" secara proporsional dari semua kelompok masyarakat yang terlibat dalam kerusuhan. Akibatnya, Orang Kristen di Maluku rusak citranya dimata publik nasional dan internasional, sehingga keselamatan jiwa dan rasa aman Orang Maluku Kristen pada berbagai

51

tempat di Indonesia terancam, hingga aktivitas pendidikan dan ekonomi keluarganya terganggu. Hal ini memberi indikasi bahwa ada sebuah konspirasi besar dan sistematis untuk mengancam eksistensi Orang Maluku Kristen di Indonesia. 8. Manajemen operasional keamanan dalam mengeliminasi meluasnya kerusuhan, maupun dalam mengatasi kerusuhan, tidak berjalan dengan baik, sehingga perilaku aparat ke-amanan di lapangan serba canggung dan membangun citra diskriminatif dalam menangani berbagai kerusuhan. Bertumpu pada berbagai penjelasan yang dikemukakan sebelumnya, maka dalam rangka upaya memulihkan hubungan sosial kemasyarakatan antar Anak Negeri maupun antara Anak Negeri dengan para pendatang atau Orang Dagang, diperlukan solusi yang komprehensif dan integratif, baik pada aras nasional maupun lokal. Pemecahan masalah dengan pendekatan demikian tidak bisa dihindari karena kerusuhan Ambon merupakan akumulasi masalah yang dipengaruhi baik oleh faktor-faktor nasional (eksternal) maupun internal (lokal/daerah). Disamping itu, untuk mencapai tahap pemulihan hubunganhubungan sosial yang adil, jujur dan permanen, dibutuhkan adanya konsesi yang harus diberikan oleh masing-masing pihak yang terlibat dalam pertikaian. Kondisi seperti ini dapat terlihat dengan meningkatnya konflik yang bernuansa SARA, serta munculya gerakan-gerakan yang ingin memisahkan diri dari NKRI akibat dari ketidakpuasan dan perbedaan kepentingan. Apabila kondisi ini tidak dikelola dengan baik akhirnya akan berdampak pada disintegrasi bangsa. Permasalahan ini sangat kompleks sebagai akibat akumulasi permasalahan ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya dan keamanan yang saling tumpang tindih, apabila tidak cepat dilakukan tindakan-tindakan bijaksana untuk menanggulangi sampai pada akar permasalahannya maka akan menjadi problem yang berkepanjangan. Budaya adalah suatu cara hidup yang berkembang dan dimiliki bersama oleh sebuah kelompok orang dan diwariskan dari generasi ke generasi. Budaya terbentuk dari banyak unsur yang rumit, termasuk sistem agama dan politik, adat
52

istiadat, bahasa, perkakas, pakaian, bangunan, dan karya seni. Bahasa, sebagaimana juga budaya, merupakan bagian tak terpisahkan dari diri manusia sehingga banyak orang cenderung menganggapnya diwariskan secara genetis. Ketika seseorang berusaha berkomunikasi dengan orang-orang yang berbada budaya dan menyesuaikan perbedaan-perbedaannya, membuktikan bahwa budaya itu dipelajari. Budaya adalah suatu pola hidup menyeluruh. budaya bersifat kompleks, abstrak, dan luas. Banyak aspek budaya turut menentukan perilaku komunikatif. Unsurunsur sosio-budaya ini tersebar dan meliputi banyak kegiatan sosial manusia. kebudayaan adalah sesuatu yang akan memengaruhi tingkat pengetahuan dan meliputi sistem ide atau gagasan yang terdapat dalam pikiran manusia, sehingga dalam kehidupan sehari-hari, kebudayaan itu bersifat abstrak. Sedangkan perwujudan kebudayaan adalah benda-benda yang diciptakan oleh manusia sebagai makhluk yang berbudaya, berupa perilaku dan benda-benda yang bersifat nyata, misalnya pola-pola perilaku, bahasa, peralatan hidup, organisasi sosial, religi, seni, dan lain-lain, yang kesemuanya ditujukan untuk membantu manusia dalam melangsungkan kehidupan bermasyarakat.

4.2 Kerusuhan Poso Pada tahun 1998, terjadi kerusuhan di kabupaten Poso, Sulawesi tengah, Indonesia. Kerusuhan ini dikenal dengan sebutan kerusuhan Poso. Kerusuhan poso berpusat pada masalah tempat pertikaian antara umat Islam dan Kristen. Kasus Poso berlangsung hampir dua tahun yaitu sejak Desember 1998 sampai Juni 2000 dan terbagi atas tiga bagian, masing-masing kerusuhan jilid I (25 29 Desember 1998) jilid II ( 17-21 April 2000) dan jilid III (16 Mei 15 Juni 2000) serta telah menelan korban tewas hampir 300 jiwa, ratusan orang tak diketahui nasibnya.

53

Akan tetapi, sampai akhir tahun 2005, kekerasan masih terjadi di Kabupaten Poso antara lain persitiwa pemenggalan kepala siswa sekolah menengah atas, juga sebelumnya terjadi ledakan bom. Kekerasan dan pembunuhan tampaknya belum berhenti dari bumi Sintuwu Maroso (Poso). Berbagai tindakan itu telah menambah daftar panjang korban kekerasan yang telah terjadi sejak pecah konflik tahun 1998. Pada tahun 2001, tepatnya 20 Desember, Deklarasi Malinoyang bertujuan untuk memadamkan pertikaian antara umat islam dan kristen telah ditandatangani oleh kedua belah pihak dan diinisiasi oleh Jusuf Kalla dan Susilo Bambang Yudhoyono. 4.2.1 Kronologis Kerusuhan Pada hari jumat tanggal 25 Desember 1998, pkl. 02.00 Wita : Terjadi penganiayaan di mesjid Darusalam Kel. Sayo terhadap Korban yang bernama Ridwan Ramboni, umur 23 tahun, agana Islam, suku Bugis palopo, pekerjaan mahasisiwa, alamat Kel. Sayo, yang dilakukan oleh Roy Runtu Bisalemba, umur 18 tahun, agama Kristen protestan, suku pamona, pekerjaan, tidak ada, alamat jl. Tabatoki sayo. Akibat penganiayaan korban mengalami luka potong dibagian bahu kanan dan siku kanan,selanjutnya dirawat di RSU Poso. Pkl. 02.30, Timbul reaksi dari pemuda-pemuda Remaja mesjid terhadap kasus yang dimaksud dan beredar isu isu sbb:

Pelaku penganiayaan (Roy Bisalemba) terpengaruh minuman keras, sehabis minum di toko lima di jalan Samratulangi.

Anak kandung pemilik toko lima (Akok) WNI keturunan cina di isukan telah melontarkan kata-kata Umat Islam kalau buka puasa pake RW saja.

Imam masjid di Sajo telah dibacok didalam masjid hingga di Opname I Rumah Sakit.

Pkl.14.30 Wita. Sekelompok pemuda/remaja Islam Masjid Ke Kayamanya berjumlah 50 orang mengendarai truk turun di muka RSU Poso, menengok

54

Korban Lk.LUKMAN RAMBONI, selanjutnya berjalan menuju took LIMA dijalan Samratulangi melakukan pelemparan took tersebut dengan batu dan kayu. Pkl.14.45 Wita, Sasaran pengrusakan diarahkan kerumah tempat tinggal penduduk milik tersangka (ROY BISALEMBA) dijalan Yos Sudarso Kel. Kasintuwu dan beberapa rumah keluarga tersangka di jalan Tabatoki Kel.Sayo. Massa merusak bangunan dan isi perabot rumah tangga dengan batu, kayu, dan senjata tajam. Pkl. 15.15 Wita. Sekelompok pemuda/remaja berjumlah sekitar 300 orang merusak penginapan dan diskotik DOLIDI NDAWA di Jln.P.Nias Kel.Kayamanya, menggunakan batu dan kayu. Pkl. 18.45. Wita .Massa berjumlah 300 orang merusak tempat Billyard dijalan P.Sumatra Poso. Selanjutnya massa dari ummat Islam kel.Kayamanya bergabung dengan massa kelurahan Moenko berjumlah sekitar 1000 orang melakukan pengrusakan losmen/diskotik LASTI dijalan P.Seram Kel.Gebang Rejo, hingga bangunan rumah dan diskotik serta isi rumah dan beberapa ratus botol minuman keras dihancurkan. Pkl. 19.00 Wita, Pasukan PAM PHH memblokade massa dijembatan penyembrangan kuala Poso yang bermaksud untuk bergabung dengan massa remaja Islam Masjid kel. Bone Sompe dan Kel.Lawanga . Terjadi sedikit ketegangan antara aparat dengan massa yang tetap memaksakan kehendaknya menembus barisan PHH, namun massa dapat dikendalikan. Pkl. 20.20 Wita, Sebagian massa yang terbendung pasukan PHH kembali menuju kompleks pertokoan dan tempat-tempat hiburan yang biasanya dijadikan tempat menjual miras dan membawa prostitusi, selanjutnya massa melakukan pengrusakan dengan cara melempar dengan batu dan merusak dengan pentungan kayu, pentungan besi dan senjata tajam /parang :

Toserba intisari lantai II dilempar hingga etalas toko pecah. Toko Hero di Jln.P.Irian dilempar hingga kaca toko pecah. Toko Asia di Jln.P.Irian dilempar hingga kaca toko pecah. Hotel Kartika dirusak dan kasur busa hotel dibakar di Jalan Raya. Hotel Anugrah Inn di rusak meliputi kaca dan isi perabotan Hotel diruang Resepsionis dan ruang penerima tamu hotel.
55

Penginapan WatiLembah di jln.P.Batam dilempar hingga kaca bangunan tempat/hotel pecah.

Rumah makan Arisa di Jln.P.Batam Kel. Moenko dibakar dan seluruh minuman keras dikeluarkan dan dipecahkan di Jalan Raya dan sebagaian lagi dibakar.

Pkl. 23.00 Wita. Massa membubarkan diri, situasi dapat terkendalikan[4]. 4.2.2 Periodisasi Konflik Kerusuhan Poso yang dimulai pada tahun 1998 merupakan serangkaian konflik sosial yang berkepanjangan. Konflik pertama terjadi sekitar bulan Desember 1998 yang kemudian disusul dengan yang kedua kalinya pada bulan April 2000. Konflik ketiga yang terjadi pada minggu keempat bulan Mei 2000 merupakan konflik terbesar dibandingkan dengan kedua konflik sebelumnya. Pada konflik jilid ketiga ini terjadi cukup banyak korban, tidak saja dari segi materi (perusakan rumah tinggal dan infrastruktur sosial) namun juga terjadi banyak korban jiwa. Pengungsian besar-besaran terjadi pada daerah konflik yang terkonsentrasi di tiga kecamatan yaitu Poso Kota, Poso Pesisir, dan Lage. Konflik ini dimuali dari perkelahian di antara dua orang pemuda yang berbeda agama, kemudian berkembang menjadi perkelahian di antara komunitas kampung-kampung Muslim dan Kristen, di mana selama gelombang kerusuhan pertama (Desember 1998) dan kedua (April 1998), terutama kelurahan-kelurahan Kristen di kota Poso menjadi sasaran penjarahan dan pembakaran, dibarengi dengan gelombang pengungsian penduduk Kristen dari kota Poso ke kota-kota Tentena (di Kabupaten Poso sebelah selatan), Palu, dan Bitung serta Manado (Sulawesi Utara). Secara garis besar, kerusuhan Poso terjadi dalam 3 jilid yaitu : 1. Jilid 1, Kerusuhan Poso I. 25-29 Desember 1998 2. Jilid 2, Kerusuhan Poso II. 17-21 April 2000.

56

3. Jilid 3, Kerusuhan Poso III. 16 Mei 15 Juni 2000. Dan puncaknya terjadi pada jilid ke 3, konflik menggunakan senjata api, dimana komunitas Muslim berada di atas angin. Hal tersebut terbukti dari kehebatan serangan kilat di lima desa kecamatan Poso Pesisir. Padahal, akar konflik itu, seperti yang adalah upaya komunitas-komunitas pribumi Poso khususnya sukusuku Lore, Pamona, dan Mori untuk memperjuangkan kedaulatan mereka di kampung halaman mereka sendiri. Kedaulatan yang mereka rasa sudah terancam oleh dominasi para migran dari Sulawesi Utara dan Sulawesi Selatan di bidang ekonomi, politik, dan budaya. Terutama setelah pembangunan jalan raya TransSulawesi mempermudah arus migrasi dari Selatan ke Kabupaten Poso yang kaya dengan berbagai sumber daya alam. Paradigma konflik agama sudah harus diganti dengan paradigma ketergusuran komunitas-komunitas pribumi Kabupaten Poso. Makalah ini lebih menyoroti komunitas-komunitas pribumi yang beragama Kristen, sebab merekalah yang kini paling tergusur dari pusat-pusat kekuasaan politik, ekonomi, dan budaya. 4.2.3 Akar Permasalahan Dari data yang didapatkan, bahwa umumnya konflik ini terjadi karena dipengaruhi oleh isu identitas (etnis dan agama) dan isu distribusi. Sebesar 26,4 % responden di lima wilayah konflik menyatakan bahwa penyebab konflik dan keretakan hubungan antar warga adalah karena perbuatan atau sikap kelompok identitas (etnis/agama) tertentu yang menyinggung harga diri dan rasa keadilan kelompok identitas (etnis/agama) lainnya. Penghinaan atas keyakinan (agama) dan suku tertentu juga menjadi penyebab konflik yang cukup dominan, terlihat dari jawaban responden sebesar 19,4 % dan 16,5 %. Sementara itu, penguasaan lapangan pekerjaan juga turut menjadi faktor utama yang menyebabkan terjadinya konflik, sebsar 15,6%. Penyebab konflik kerusuhan poso dibagi menjadi 2 faktor yaitu faktor-faktor lokal dan kepentingan-kepentingan nasional 4.2.4 Solusi dari konflik di poso

57

Mungkin saja salah satunya yaitu kalangan pengusaha hingga tingkat mahasiswa harus ikut berperan menangani konflik yang terjadi di Poso dengan melakukan tindakan nyata agar masyarakat setempat tidak hanya terfokus pada masalah politik. Jangan hanya bergantung pada aparat keamanan. Tetapi pengusaha, ekonom, budayawan, anggota masyarakat, mahasiswa harus bersatu membangun secara paralel. Seluruh kalangan itu harus bekerja sama agar kerusuhan di Poso segera berakhir, termasuk antara ulama dengan umaro juga harus bersatu. Mereka harus bersanding, bukannya bertanding,. Tindakan represif yang dilakukan oleh aparat tidak menyalahi aturan, meskipun upaya penegakan hukum telah menimbulkan korban jiwa dari warga sipil serta anggota Polri , karena memang kejadian itu sulit dihindari. kerusuhan yang menimpa di Poso merupakan rekayasa dan berasal dari luar Poso yakni dari pihak asing. Ia mengingatkan, kelompok sipil bersenjata yang berada di tengah-tengah masyarakat Poso perlu mendapat perlakukan khusus, karena dalam keadaan seperti ini, masyarakat akan menjadi tameng bagi mereka. Jika diamati secara jujur, apa yang sedang dialami di Poso tidak saja aneh tapi juga tak masuk di akal sehat. Sebab, semua orang tahu bahwa soal penggunaan senjata bagi warga sipil bukankah aturannya cukup ketat. Artinya tidak sembarang orang bisa membawa atau memiliki senjata apalagi yang mematikan. Anehnya, kenapa justru warga sipil khususnya di Poso begitu bebas memiliki senjata Nah, untuk memecahkan sebuah permasalahan seperti yang sedang terjadi di Poso sebenarnya tidaklah terlalu sulit bila semua pihak mau berikrar secara serius dan tulus. Artinya, semua kepentingan sepihak dan sepotong-potong yang

menghimpitnya selain kepentingan bersama harus dihilangkan terlebih dahulu. Pencegahan sedini mungkin tindakan provokasi dan intimidasi diantara masyarakat harus diutamakan. Terutama, perlunya kewaspadaan terhadap gerakgerik seseorang atau sekelompok orang yang berusaha bermain api dalam sekam. Barulah kemudian upaya penegakkan hukum harus benar-benar dilaksanakan. Harapan kita masyarakat Poso akan kembali dapat hidup dengan tenang dan damai.

58

BAB 5. KERUSUHAN SOSIAL KARENA AGAMA

5.1 Konflik Ambon-Lease Dilihat pada tipologisnya, maka konflik sosial bernuansa agama di AmbonLease sebagai konflik horisontal, akan tetapi jika dilihat dari intensitas keterlibatan pelakunya, dapat juga konflik vertikal. 1. Pra konflik Sebelum terjadinya Tragedi Idul Firti Berdarah 19 Januari 1999, lebih dahulu adanya penyerangan yang dilakukan oleh warga Kristiani terhadap perkampungan masyarakat Muslim Bugis, Buton dan Makassar (BBM) tanggal 12 November 1998 di Wailette. Penyerangan terjadi lagi tanggal 27 Desenber 1998 di kampung Bak Air, dan juga terjadi serangan terhadap warga Muslim di DoboAru pada tanggal 14 Januari 1999. Melihat tiga peristiwa tersebut (dan menghubungkannya dengan tragedi 19 Januari 1999 dan seterusnya) dapat dipahami, bahwa umat Islam setempat sedang atau telah dijadikan target uji-coba terhadap rencana dan konspirasi serangan yang lebih besar lagi oleh pihak

penyerang. Keadaan tersebut menunjukkan juga bahwa umat Islam telah menjadi korban serangan pihak Kristiani, jika peristiwa ini berdiri sendiri dan tidak

merupakan kaitan dengan kasus-kasus yang sama dan dalam skala yang lebih luas dan besar. Dan ternyata menjadi jelas ketika pada awal bulan Ramadhan 1419 H terdengar isu akan ada gerakan pengusiran suku BBM dari Maluku, khususnya pulau Ambon, serta tersiar berita akan adanya orang-orang kiriman dari Jakarta yang sangat menggelisahkan masyarakat. 2. Tragedi Idul Fitri Berdarah Pada tanggal 1 Syawal 1419 H bertepatan dengan tanggal 19 Januari 1999 kota Ambon yang seharusnya menjadi wadah silaturrahmi antar mayarakat, hari kemenangan umat Islam setelah sebulan penuh menunaikan ibadah puasa, dikotori oleh kelompok Kristiani. Suasana kota Ambon pun mencekam karena terjadi

59

serangan secara frontal dari berbagai penjuru. Setelah peristiwa adumulut antara Nursalim dan Yopy pukul 14.00 WIT berlanjut terjadinya perkelahian dan Mardika serta

pembakaran dua rumah yang terletak antara Batumerah dan terlibatkannya orang-orang misterius, di sini

alat picu konflik telah disulut.

Menyusul pukul 16.30 sampai pukul 21.00 saling menyerang dan membakar rumah dan rumah ibadah. Jika diperhatikan dengan seksama, peristiwa-peristiwa tersebut

menandakan bahwa posisi umat Islam sebagai korban sedangkan kaum Kristiani sebagai pelakunya. Di sisi lain tragedi berdarah ini terkoordinir dengan rapi dan baik sekali, karena mampu memanfaatkan suasana di mana banyak dari umat Islam di kota Ambon yang pulang ke kampung untuk merayakan Idul Fitri

bersama keluarganya. Di sini tampak benang-merah antara peristiwa-peristiwa pra konflik dengan Tragedi Idul Fitri Berdarah, yakni terdapat adanya konspirasi besar untuk menghancurkan umat Islam. Sementara di pihak lain, menganggap tindakan seperti ini merupakan sesuatu yang sangat kondisional yang dilakukan karena semata-mata dorongan fakta di masyarakat adanya dominasi umat Islam, utamanaya BBM dalam berbagai bidang kehidupan, yang semula berada di pihak kaum Kristiani, terutama adanya tuantanah-tuantanah jatuh ke tangan para Ambon-Lease secara besar-besaran dan dengan

transmigran, yang masuk ke

kecepatan yang amat tintggi mulai tahun 1970-an. Jika ada yang mengatakan bahwa pada tahapan-tahapan konflik tersebut sering terjadi apa yang disebut kedahsyatan konflik atau kanflik luar biasa, dan industri konflik, comudity conflik. Kedahsyatan konflik karena meningkatnya tensi konflik melebihi kejadian-kejadian yang sama di mana pun di dunia ini, dilihat dari jumlah korban harta dan nyawa manusia dalam waktu yang singkat. Ditambah lagi dengan lama waktu terjadinya konflik dan berlarut-larut tak kunjung selesai. Demikian pula pada proses pengambilan solusi, yang semestinya mengarah kepada penurunan suhu konflik, akan tetapi yang didapat adalah penambahan muatan terhadap terjadinya konflik, diibaratkan jika mematikan api adalah menyiramnya dengan air yang banyak, tetapi yang terjadi bukannya air

60

yang disiramkan melainkan bensin dan bensol, yang otomatis daya bakar dan nyalanya lebih dahsyat dari sebelumnya. Demikian pula situasi konflik mengarah ke tingkat industri konflik, sebagai alat komuditas, karena kelompok-kelompok atau individu tertentu yang pada kenyataannya lebih menginginkan hidup serba konflik karena mereka mampu memanfaatkan atau merekayasa situasi konflik demi meraih keuntung besar darinya. Bisa terjadi bagi mereka manusia yang tidak bertanggungjawab, bahwa dengan adanya konflik justeri mendapatkan sumber kehidupan baru, jadi arena konflik dijadikan sumber mata pencaharian. Konflik Ambon-Lease telah menelan banyak korban banyak baik harta dan nyawa, serta menghancurkan pula sendi-sendi kehidupan manusia yang tidak mungkin pulih dalam waktu singkat, terutama sakit hati dan trauma yang dalam dan panjang. Semoga Tuhan mau menunjukkan jalan kebaikkan dan kebenaran kepada hamba-hamba-Nya di Ambon-Lease, terutama anak-anak negeri untuk bangkit bersama menghadapi tantangan apa pun dan sebesar apa saja guna menuju hari esok yang lebih baik bagi semuanya. Kembalikan Ambon-Manise. Berangkat dari uraian-uraian sebelumnya, maka dapat dikatakan bahwa peristiwa yang terjadi di kampung Batumerah - Islam dan Mardika Kristen tanggal 19 Januari 1999 sebagai pemicu konflik. Dan benar, bahwa sebesar dan setinggi apapun potensi konflik, namun hal itu masih amat ditentukan oleh faktor pemicunya yang walau sekecil apa pun, namun jika sudah terjadi maka sulit untuk menghindarkannya. Bahwa akar-akar masalah konflik sudah ada sejauh perjalanan kehidupan rakyat Ambon-Lease dari masa kehadiran Portugis sampai pasca Orde Baru. Potensi konflik amat lah besar, dan bukan tidak pernah pecah, akan tetapi sudah sejak lama juga katup konfliknya pelagandong yang selalu berfungsi meredakannya (bila terjadi konflik), selama ini selalu menyertainya. Lalu timbul pertanyaan, di mana keberadaan pelagandung pada saat terjadinya konflik satu dasawara yang lalu itu? Oleh karena itu jika terjadi kontroversi tentang siapa yang benar dan siapa yang salah antara Nursalim dan Yopy, lain lagi masalahnya, dan bukan lagi

61

semata-mata untuk mencari mana yang benar dan mana yang salah. Memang ada dua versi yang muncul, pertama, versi Tim Pengacara Gereja yang diyakini kebenarannya oleh umat Kristiani, dan kedua, versi Tim Pencari Fakta Muslim Ambon yang diyakini kebenarannya oleh umat Islam. Masingmasing dari kedua belah pihak mengklaim bahwa versinya lah yang benar dan ketika The Human Right Watch mengkonfirmasi ke polisi, ternyata versi kedua lah yang diterima. Dan ternyata yang kemudian muncul adalah orang misterius yang bukan dari Batumerah dan bukan pula dari Mardika akan tetapi ada dugaan kuat bahwa yang banyak terlibat konflik adalah preman-preman Ambon Jakarta yang sengaja dipulangkan dan dimobilisasi untuk menyulut kerusuhan di Ambon. Sepertinya yang amat penting bagi mereka (para misterius) adalah tersulutnya alat pemicu konflik. Maka benarlah argumen Smelser, yakni adanya faktor pemercepat atau pemicu, suatu peristiwa dramatis atau desas-desus mempercepat munculnya perilaku kekerasan kolektif.

5.2 Konflik Agama Papua Seperti yang tertera di laporan International Crisis Group (ICG). Menurut Thaha Muhammad Alhamid, Sekjen Presidium Dewan Papua, di Papua belakangan ini berdatangan apa yang disebut orang (sebagai) Kristen Baru dan Muslim Baru. Mereka ini beraliran keras dan bisa menyulut konflikseperti yang pernah terjadi di Maluku. Thaha Mohammad Alhamid [TMA]: Secara terbuka, memang konflik itu belumkelihatan. Tapi bahwa potensi itu ada, saya percaya. Karena memang terakhir ini, atau paling tidak dalam sepuluh tahun terakhir, kita kenal, mungkin istilah yang pas adalah Islam Baru dan Kristen Baru, yang ada di Papua memang menunjukkan gejala-gejala atau tanda-tanda yang jelas, bahwa ruang perbedaan itu semakin tajam, semakin terbuka.

62

Konflik agama yang terjadi di papua ini berkaitan erat dengan perda yang menyulitkan pendirian tempat beribadah salah satu keyakinan (muslim.red). hal inilah yang akhirnya menjadi pusat perhatian publik. Namun seharusnya hal seperti ini tidak perlu terjadi apabila pemerintah dengan tegas melindungi kebebasan agama bagi setiap individu. Seperti yang tertera pada sila satu pancasila yang notabene menjadi acuan pemerintah dalam menyikapi masalah. Sebenarnya, akar masalah antara konflik Ambon dan Papua tidaklah berbeda, yakni prasangka yang buruk dari agama yang satu terhadap agama yang lain.

5.3 Akar-Akar Permasalahan Konflik 1. Pemahaman miring terhadap agama lain Pertama, pandangan umat Islam. Semangat yang diajarkan dalam system of beliefs umat Islam Ambon-Lease ini adalah sebuah perilaku dalam interaksi sosial yang senantiasa harus dibatasi dengan sekat-sekat keimanan. Sementara, larangan bergaul secara intensif dengan orang Kristen juga dimaksudkan untuk melindungi keimanan anak-anak muslim. Dimaksud agar dengan cara tersebut anak-anak akan selalu terjaga ketetapan imannya, dan tidak disusupi pemahaman dan keyakinan dari agama lainnya. Jika dikatakan bahwa sebagai konsekwensi dari hal tersebut di atas, maka umat Islam memberikan simbol orang Kristen dengan anjing dan babi, maka hal ini tidak ada pada mereka yang memilki hubungan pela-gandong. Secara devakto, yang tidak memiliki pela-gandong adalah penduduk non-Ambon-Lease, yakni BBM, Cina, Arab, Madura, Jawa dan lainnhya. Sehubungan dengan temuan-temuan di atas, maka setelah dikaitkan dengan sistem kekerabatan yang dianut sejak dahulu, pela-gandong misalnya, yang dapat memansuhkan beberapa pandangan dari yang tersebut. Tiada sedidkit yang baru muncul ketika terjadi interaksi sosial

63

antara etnis pendatang dengan penduduk asli. Kenyataan menunjukkan bahwa etnis pendatang (BBM, Arab, Cina, Jawa, Madura, Sumatera dan lain-lain) tidak atau belum memiliki hubungan pela-gandong, terutama mereka yang menghuni kampung-kampung baru, apalagi BBM. Biasanya aman-aman saja, manakala berdampingan dengan penduduk dan tuan tanah Muslim, akan tetapi ketika yang ditempati itu adalah penduduk asli dan tuan tanah Kristiani maka di saat mereka hadir itu justeru terlihat suatu awal yang buruk, kontradiktif dalam hal keyakinan beragama yang pasti berdampak pada segi-segi kehidupan lainnya. Pada sisi yang lain, jika pandangan umat Islam seperti di atas memang dimiliki oleh penduduk asli yang pasti telah memiliki pela-gandung

dengan salah satu (atau lebih) penduduk Kristiani, maka kondisi ini menunjukkan bahwa di Ambon-Lease telah terjadi kelunturan nilai-nilai pela-gandong pada generasi muda sekarang, lalu bagaimana dengan masa yang akan datang? Atau pandangan seperti di atas bukan bersumber pada umat Islam anak-anak negeri asli Ambon-Lease, akan tetapi bersumber pada etnis lain yang memang tidak memiliki budaya yang sama? Apakah para penduduk beragama Islam non-Ambon-Loease? 2. Kedua, pandangan umat Kristiani. Lain pandangan dan semangat umat Islam, lain pula semangat yang diajarkan dalam system of beliefs umat Kristen Ambon-Lease ini adalah sebuah perilaku dalam interaksi sosial yang senantiasa harus dibatasi dengan sekat-sekat keimanan menghadapi umat Islam, namun apakah juga terdapat sesuatu yang telah hilang dimakan modernitas. Secara kontekstual, ajaran absolutisme dan calvinisme cocok jika

diterapkan di Barat, akan tetapi sangat tidak relevan jika diterapkan di AmbonLease, sebab realitas di Barat memiliki titik interaksi

keberagamaannya lebih bersifat homogen, sedangkan di Ambon-Lease mempunyai nilai heterogenitas yang sangat tinggi. lnilah yang merupakan titik kelemahan dalam mengadopsi ajaran dan menginterpretasikan nilainilai ajaran Kristen secara tekstual tanpa melihat segi kontekstualnya.

64

Begitu pula pemahaman sebagai umat terpilih di kalangan Kristiani, di mana hal ini juga diiringi dengan perilaku kompensasional kolonialis Belanda secara politik kekuasaan, juga terbentuk dalam perekrutan anakanak sekolah dan pegawai-pegawai pada masa kolonialis Betanda, di mana faktor agama para calon (murid dan pegawai) menjadi pertimbangan utama, yang sudah barangtentu didominasi oleh umat Nasrani.

Pemahaman sebagai umat terpilih ini, secara psikologis sangat memberi warna tersendiri bagi perilaku masyarakat Kristiani di Ambon-Lease, layaknya seperti pandangan umat Israel terhadap bangsa dan agama lainnya dibumi ini. Di kala pemahaman sebagai umat terbaik maka sah-sah saja jika itu menjadi pandangan dan bahkan keyakinan seseorang atau suatu umat beragama, akan tetapi harus pula diimani bahwa kebenaran itu tidak hanya berada pada pihaknya saja, melainkan di sana-sini ada juga kebenaran yang tidak bisa dikatakan salah oleh siapa pun. Pemahaman terakhir disebut ini merupakan sumbangan pemikiran terhadap realitas kehidupan dalam tataran heterogenitas agama, yang tidak bisa digeser begitu saja oleh ajaran tekstual agama-agama. Tuhan ada di mana-mana, ya Tuhan kaum Muslimin, ya Tuhan kaum Kistiani, Tuhan kita semua. Lagi-lagi sesungguhnya dapat dikatakan bahwa ajaran dalam sistem pelagandong pada hakekatnya nenek-moyang, para leluhur masyarakat AmbonLease telah mengajarakan dan mempraktekkan pola kehidupan yang pluralis dan heterogenis. Melihat perkembangan kehidupan bermasyarakat dan beragama di Ambon-Lease, seperti telah mengalami perubahan dan pelunturan terhadap budayanya sendiri pela-gandong yang dicanangkan para pendahulu negeri-negeri Ambon-Lease. Realita sejarah menunjukkan pula (apakah tidak disadari) bahwa Ambon-Lease bisa aman dan damai selalu selama kurang lebih lima abad (hingga paristiwa Tragedi Idul Fitri Berdarah ini terjadi) adalah justru karena kontribusi pela-

gandong itu sendiri? Anak-anak negeri harus dan wajib kiranya untuk mengembalikan budaya pela-gandong, merevitalisasi pela-gandong plus

65

kreatifitas kemajuan anak-anak negeri Ambon-Lease di era kontemporer ini, dengan semangat katong basudara. 3. Bias Sejarah Secara historis, kepulauan Ambon-Lease telah lama menjadi sentra kunjungan berbagai bangsa di dunia, baik dari Timur-Tengah maupun dari Barat, ikut pula mencatat sejarah masuk dan berkembangnya agama Islam dan Kristen di negeri-negeri penghasil cengkeh-pala ini. Sebagaimana dikemukakan sebelumnya, bahwa pada zaman Portugis, Ambon-Lease telah menjadi sasaran incaran mereka sejak jatuhnya Konstantinopel ketangan bangsa Turki tahun 1453 dan kemudian diperkuat pada program operasional penguasaan dunia oleh Portugis dan Spanyol, maka sampailah Portugis di obyek sasaran tahun 1511 M. Jika Kruger mengemukakan apa yang dikatakan seorang raja muda dari Goa, bahwa orangorang Portugis telah memasuki India dengan pedang di tangan kanan dan salib di tangan kiri, akan tetapi ketika mereka menemui terlampau banyak emas, maka salib itu pun dilepaskan supaya tangan mereka dapat mengisi saku-saku mereka. Ucapan ini menjelaskan fakta sejarah bahwa memang pada mulanya yang betul-betul memainkan peranan ialah tujuan agama, akan tetapi tujuan ekonomi dan politik makin lama semakin mendesak tujuan ini. Dan sudah barangtentu problematika historis perjuangan rakyat Ambon-Lease dalam mengahadpi tantangan si penjajah tidak akan pernah terlupakan, berupa penderitaan, kesengsaraan dan trauma yang berkepanjangan. Pada zaman kehadiran Belanda, bukan kepentingan agama menjadi tujuan utama, melainkan politik dan ekonomi, maka VOC didirikan tahun 1605, kemudian tujuan agama diikutkan setelah diberlakkan semboyan di mana VOC datang di situ lah Gereja dibawa serta. Cengkeh dan pala telah membuat sejarah bangsa penuh rupa macam peristiwa berabad-abad lamanya. Secara historis, cengkeh dan pala juga telah berpengaruh

66

terhadap proses masuknya agama Islam dan Kristen serta penjajah ke daerah ini. Memang amat menguntungkan pihak penjajah, akan tetapi tiada sedikit membawa adzab dan sengsara bagi rakyat masyarakat AmbonLease dan Maluku pada umumnya. Rupanya berlaku semacam hukum rimba, bahwa siapa yang baerkuasa maka dia lah yang dapat menentukan segala sesuatu menurut kehendaknya, dianggapnya sebagai hal yang lumrah, karena jika di zaman Portugis rakyat dipaksa menganut Rum Katholik, maka ketika Belanda berkuasa, oang-orang Islam dan sebagian yang sudah menganut Rum Katholik diharuskan pula menganut Protestan. Hal-hal yang demikian telah merupakan pahatan sejarah pahit bagi rakyat tertindas, kaum Muslmin, harta mereka, hargadiri mereka, HAM mereka. Dan tidak seberapa demikian halnya bagi saudaranya umat Kristianai, walaupun sejarah Perang Pattimura telah menampakkan adanya

kekompakan dan kerjasama Islam-Kristen untuk melepaskan diri dari penindasan Belanda di bumi Ambon-Lease. Keadaan demikian tentu berbias terhadap kehidupan sekarang, dan yang sudah barangtentu timbul dalam aplikasi yang berbeda antara kedua umat beragama di Ambon-Lease. Bagi kaum Muslimin, masa lalu merupakan kenangan pahit dan trauma yang dalam dan tidak pernah

mengharapkannya kembali terjadi, sementara bagi sebagian umat Kristiani hal tersebut lebih banyak merupakan kenangan indah dan kerinduan kembali kepadanya, termasuk hal yang manusiawi, namun juga sebagai sesuatu yang masih dipertanyakan.

4. Etnisitas Sebagaimana tersebut sebelumnya, bahwa penduduk Ambon-Lease kini terdiri dari beberapa etnis, Ambon-Lease asal-asli Ali Furu, Nusa Ina (artinya Pulau Ibu), Seram, Maluku, Key-Tanimbar (Maluku), Arab, Cina, BBM (Buton, Bugis dan Makassar), Jawa, Madura, Sumatera, Bali,

67

Kalimantan dan lain-lain. Dari sekian etnis yang menghuni Ambon-Lease, maka BBM lah yang merupakan etnis yang banyak mendapat sorotan lawan konflik pada kasus kerusuhan Ambon-Lease satu dasawarsa lalu itu. Kemungkinan kehadiran BBM di mata umat Islam tidak seberapa mendapat sorotan dan penilaian yang sama karena ada hubungan emosional-tinggi, yakni terdapat persamaan pada dasar ideologi, yakni Islam, akan nbtetapi harus diperhatikan bahwa secara teritorial telah banyak tuantanah-tuantanah beralih ke tangan mereka. Itu lah sebabnya mengapa umat Kristiani melancarkan upaya besarbesaran dalam pengusiran BBM, karena dinamika sosial menunjukkan fakta bahwa kemajuan yang dicapai gilang-gemilang orang-orang BBM baik secara kuantitatif maupun kualitatif adalah merupakan ancaman terhadap

dominasi kaum Kristiani di sini. Semestinya seluruh anak-anak negeri Salam-Sarani dengan para raja-rajanya mengambil hikmah dari konflik

dahsyat ini untuk menghidupkan kembali sistem pemerintahan raja dan latu pati (kalau memang sudah dicabut pemerintah, atau kalau belum dicabut minta dicabut dengan pertimbangan kemaslahatan anak-anak negeri Ambon-Lease dan Maluku), sekaligus masalah pertanahan yang sudah sering menjadi sentra penyebab konflik di sini

5. Karakteristik Sosial Memang secara tidak langsung dapat dikatakan bahwa kekayaan alam Ambon-Lease telah membentuk sifat dan karakter SDM yang lemah. Padahal di satu pihak dikatakan bahwa pada hakekatnya pola berpikir anak-anak adat, anak-anak negeri Ambon-Lease adalah kooperatif antara faktor alam dan faktor sosial, sebagai ruh dari pela-gandong. Maka jika pada umumnya anakanak negeri Ambon-Lease memiliki kondisi dan karakter-sosial seperti ini, justru merupakan kontradiksi terhadap semanagat pela-gandong. Semestinya sistem pela-gandong juga memberi

68

kontribusi besar terhadap etoskerja dan kraetifitas anak-anak negeri Ambon-Lease, namun mengapa hal tersebut tidak dilakukan, mungkin ada faktor-faktor lain yang merintangi mereka. Dan tentu hal tersebut berbeda dengan etnis pendatang, terutama BBM yang memang datang dan mencari pekerjaan dengan memilki etoskerja yang tinggi dan ketrampilan serta kreatifitas yang cukup, maka tidak mengherankan sesungguhnya jika pada titik perjalanan tertentu dapat membuahkan hasil, mereka dapat menguasai roda perekonomian di Ambon-Lease. Dan lagi-lagi pemahaman dan

penilaian bahwa keberhasilan para pendatang ini justeru dinilai anak-anak negeri merupakan suatu ancaman serius bagi kehidupan perekonomian mereka. Semestinya anak-anak negeri harus mau dan mampu

mengintrospeksi diri, meninggalkan kebiasaan buruknya yang selama ini membunuh kretifitas dan etoskerja mereka, mengapa tidak mau jualan di pasar, jadi tukang becak, buruh, PK5 dan lainnya, kemudian lalu menyalahkan dan membumihanguskan mereka yang mendudukinya. Memang kondisi seperti ini memberi peluang bagi tejadinya konflik sosial antara pihak pendatang dengan pribumi.

6. Kepentingan Dengan adanya daya tarik dan rayuan magnitnya, kepulauan AmbonLease telah lama menjadi tujuan kehadiran dan kepentingan berbagai bangsa, baik tujuan politik dan ekonomi serta agama. Sebagaimana dikemukakan sebelumnya bahwa memang pada mulanya yang betul-betul memainkan peranan ialah tujuan perang salib (Portugis), akan tetapi tujuan-tujuan ekonomi dan politik makin lama semakin mendesak tujuan ini. Lain lagi bagi Belanda yang semula bukan tujuan salib atau agama, melaikan tujuan politik dan ekonomi, baru menyusul kepentingan agama atau Injil, sebagaimana identitas perjuangan mereka G3. Mereka meraih keuntungan dan sukses dengan meninggalkan luka dan

69

trauma panjang bagi kaum Muslimin Ambon-Lease, serta menarik kaum Kristiani Ambon-Lease keluar dari rasa-cinta budaya sendiri pela-gandong digantikan budaya Barat. Di masa Orde Baru, pemerintah dan penguasa telah melakukan berbagai kebijakan, baik dalam bidang politik maupun ekonomi. Dalam bidang politik, misalnya, yang berdampak pada sisitem pemerintahan lokal: raja, latu-pati digantikan kepala desa, demikian pula kebijakan dalam bidang ekonomi yang dengan LKMD-nya menyebabkan sebegitu banyaknya rakyat yang menderita karena pohon uang rakyat, cengkeh yang harganya merosot tajam sehingga Gubernur Maluku saat itu Muhammad Akip Latuconsina mengapresiasikannya dengan tangisan, menangisi nasib rakyatnya. Kondisi ini tidak hanya menimpa salah satu kelompok agama tertentu, Islam atau Kristen, akan tetapi kedua-duanya sama-sama merasakan penderitaan akibat kebijakan tersebut. Dan memang benar kata orangtua-orangtua negeri, mengapa sebutan Bunga Raja untuk cengkeh berubah menjadi Po Lawanatau Po Rawanno yang artinya bunga atau buah yang menimbulkan perlawanan dan peperangan. Tidak hanya oleh kepentingan penjajah, akan tetapi juga atas kepentingan pemerintah Orde Baru, yang lebih menambah sempurnanya penderitaan rakyat. Hal-hal demikian telah mengkondisikan masyarakat tidak stabil ekonomi dan politiknya, menciptakan wilayah rawan terjadinya konflik vertikal dan horizontal, yang pada titik perjalanan tertentu dapat meledakkan sendisendi kehidupan masyarakat korban.

5.4 Pola Penyelesaian Konflik Perspektif Masyarakat Upaya integrasi atau rekonsiliasi untuk meredakan konflik Ambon-Lease dan Maluku umumnya sudah beberapa kali dilaksanakan oleh berbagai pihak (pemerintah pusat, pemerintah daerah, DPR, Pakar Akademisi Perguruan Tinggi, Komnas HAM, LSM-LSM, dan lainnya). Dan hampir semuanya belum atau tidak

70

dapat diketahui oleh masyarakat luas, apa hasil dari kurang lebih sepuluh kali perdamaian atau perjanjian atau kesepakatan yang dilakukan itu, kecuali sedikit yang tampak seperti implementasi hasil Perdamaian Maluku di Malino yang berdampak positif terhadap perubahan, perbaikan dan peningkatan sistem keamanan di medan konflik. Dari sepuluh kali, dan khususnya ketiga upaya rekonsiliasi di atas, Ikrar Perdamaian, Penugasan Tim TNI 19, dan Perjanjian Maluku Malino II, pada hakekatnya telah melibatkan perwakilan-perwakilan kedua belah pihak yang bertikai (Islam dan Kristen) yakni anak-anak negeri Ambon-Lease yang terbaik dan terpilih untuk tugas mulia mendamaikan konflik. Bahkan mereka pun tahu bahwa tiga resolusi yang melibatkan mereka belum sepenuhnya menyentuh caracara damai yang agamis dan adatis. Di sini belum tampak adanya upaya

memasukkan budaya pela-gandong untuk dijadikan referensi dalam perdamaian di tanah kelahirannya sendiri, karena masih terdapat adanya kendala-kendala yang telah terbangun sejak lama, baik secara eksternal maupun internal.

Berangkat dari keprihatinan yang dalam terhadap konflik dahsyat tersebut banyak pihak-pihak yang bertanya, baik dari para sosiolog, pengamat sosial dan akademisi, juga anak-anak negeri Ambon-Lease di negerinya atau yang tinggal di luar daerah dan luar negeri: kalau begitu, lalu di mana pela-gandung selamna ini? Keresahan akademisi penulis pun timbul, lalu membuat pertanyaan, mangapa pela-gandong tidak berfungsi justru pada saat-saat ia dibutuhkan? Sakitkah, atau lumpuhkah, atau terhimpitkah ia, dan sudah studium berapakah sakitnya? Ada apa dengnya? Mengapa bisa terjadi seperti ini? Pola penyelesaian konflik perspektif masyarakat Ambon-Lease dimaksud adalah proses penyelesaian konflik dengan menggunakan pendekatan dan sistem kekerabatan atau istiadat orang Maluku umumnya an anak-anak negeri AmbonLease pada khususnya yang dikenal dengan pela-gandong. Cara-cara seperti ini telah dimiliki dan dilaksanakan masyarakat di sini sejak ratusan tahun silam, diawali para leluhur, kemudian secara turun-temurun berlaku sampai sekarang. Kehadiran dan perkembangan sistem pela-gandung telah teruji ketika

71

mengalami gelombang dinamika kehidupan sosial yang kental dengan perubahan. Realita sejarah menunjukkan bahwa sistem pela-gandong selain mampu

mendamaikan problematika kehidupan masyarakat, akan tetapi pernah juga jatuh dalam himpitan modernisasi sosial politik, ekonomi dan agama di negeri ini baik secara internal maupun eksternal. Pertama, pela-gandong pernah menghiasi sidang-sidang kongres

pemukapemuka ahli ilmu perbandingan agama dunia, di mana ia dijadikan sebagai salah satu referensi dalam pembahasan tentang toleransi kehidupan antar umat beragama di dunia. Dengan adat pela-gandong, maka selama kurang lebih lima abad Ambon-Lease tidak pernah tergoncang konflik hebat, sekalipun memiliki potensi konflik yang tinggi. Dan di kala cara-cara damai menurut berbagai versi tak juga mampu mendamaikan maka yang amat sangat dinanti adalah kehadiran dan kemujarabannya pela-gandong. Sebagai contoh dalam menghadapi penyelesaian kasus konflik terdahsyat dunia, kasus Ambon-Lease, dan dengan keadaan terseok-seok akibat himpitan modernitas, ternyata ia, pelagandong,tetap eksis dan mampu berperan walau hanya dengan tenaga sisanya, ia bisa. Kedua, pela gandung pernah jatuh dalam himpitan modernitas

sosialpolitik, ekonomi dan agama. Bahwa dengan alasan demi persatuan dan kesatuan bangsa serta stabilitas nasional maka segala perkara harus di bawah pengawasan dan pengendalian pihak yang berwajib, dalam hal ini pemerintah atau penguasa Tiada sedikit pengorbanan rakyat akibat dari implementasi peraturan pemerintah seperti ini. Demikian pula PP no. 5 tahun 1975, yang secara nyata walau tak langsung menghapus sistem pemerinatahan raja dan latu-pati dengan kepala desayang sesungguhnya merupakan kaitan, satu paket dengan sistem kekerabatan pela-gandong (sebagai faktor eksternal, dari luar anak-anak negeri AmbonLease). Secara internal, pela-gandong pun dalam perjalanannya pernah mendapat gangguan berat justru dari dalam anak-anak negeri Ambon-Lease sendiri karena dianggapnya menghalangi jalannya ekspansi agama yang diamanatkan pada mereka, sebagaimana dikeluhkan Muller Kruger.

72

Dan memang benar, bahwa jika ditelaah

secara cermat maka

sesungguhnya pada satu sisi tradisi pela-gandong dapat memihara kegerejaan ratusan tahun lamanya, namun pada sisi lain pela-gandong pula lah yang tidak memungkinkan berkembangnya kegerejaan di dalam suatu usahan yang hidup. Menurut kaum Kristiani atau sebagian mereka, bahwa secara sosiologispsikologis adat pela-gandung dianggap sebagai sesuatu yang menghambat jalan dan lancarnya Kristenisasi di Ambon-Lease dan sekitarnya, tetapi hampir tak terpikirkan bahwa jika selama ini tidak terjadi konflik antara umat Islam dan Kristen (yang sesungguhnya berpotensi tinggi untuk konflik) justeru berkat adanya sistem pela-gandong itu sendiri yang telah menghindarkan serta

melindungi mereka. Memang ada pihak-pihak yang tidak setuju dengan pendekatan sistem pela-gandong demi kelancaran dan kemurnian misi yang

diembannya. Demikian pula dari pihak kaum Muslimin yang menganggap bahwa sistem pela-gandong bukan produk Nabi dan Allah SWT, dan dianggapnya suatu yang berindikasi bidah sebagai sesuatu yang harus dihindari, sementara tidak ada pemikiran guna menemukan proposisi lain yang lebih produktif dan efektif dalam proses perdamaian guna mengangkat harkat dan martabat Islam dan kaum Muslimin sebagai Rahmatan lil Alamin, sebagai Rahmat bagi Semesta Alam (linkungannya, flora dan faunanya, dan terutama bagi manusianya). Semestinya setiap insan Muslim, baik itu dirinya, al-Quran dan Hadits Nabi-nya, selalu diangkat dan difungsikannya dalam realita kehidupan demi kemaslahatan umat manusia di muka bumi ini. Demikian pula sifat cinta-kasih dan kasih-sayang di dalam Kristiani hendaknya lebih meningkat kepada upaya membumikannya di Ambon-Lease tanah tumpah darah, dan di mana pun anak-anak negeri berada. Terpetik dari berbagai informasi yang diperoleh menimbulkan optimisme, bahwa sistem pela-gandong saat ini masih berperan penting terutama di daerah Maluku Tengah. Karena rasa persatuan dan identitas bersama disadari dan dihayati dengan kuat upacara-upacara pembaharuan pela (dengan upacara panas pela) masih serintg berlangsung. Sejak perantg Dunia II sejumlah pela baru, kebanyakan diadakan dengan sadar untuk menguatkan hubungan antara dua

73

golongan itu. Dapat dkatakan bahwa berkat sistem

pela-gandong itu,

pertentangan antara Muslim dan Kristen yang terjadi pada tahu 1998-2002 dapat diredakan.

74

BAB 6. KERUSUHAN SOSIAL KARENA PANCASILA

6.1 Kerusuhan Sape, Bima Kerusuhan adalah keseluruhan bentuk dan rangkaian tindak kekerasan yang meluas, kompleks, mendadak dan eskalatif dengan dimensi-dimensi kuantitatif dan kualitatif. Kerusuhan mempunyai pola umum yang dimulai dengan berkumpulnya massa pasif yang terdiri dari massa lokal dan massa pendatang (tak dikenal), kemudian muncul sekelompok provokator yang memancing massa dengan berbagai modus tindakan seperti membakar ban atau memancing perkelahian, meneriakkan yel-yel yang memanasi situasi, merusak rambu-ratnbu lalu lintas, dan sebagainya. Setelah itu, provokator mendorong massa untuk mulai melakukan pengrusakan barang dan bangunan, disusul dengan tindakan menjarah barang, dan di beberapa tempat diakhiri dengan membakar gedung atau barangbarang lain. Di beberapa lokasi ditemukan juga variasi, di mana kelompok provokator secara langsung melakukan perusakan, baru kemudian mengajak massa untuk ikut merusak lebih lanjut. Masyarakat Indonesia yang multikultur, multiras, dan multiagama memiliki potensi yang besar untuk terjadinya konflik antarkelompok, ras, agama serta suku bangsa. Beberapa peristiwa amuk massa pada beberapa daerah di Indonesia terlihat jelas pemicunya adalah perbedaan-perbedaan tersebut. Salah satunya perbedaan agama. Seperti, kerusuhan di Lampung pada 1989, Timor Timur (1985), Makassar (1997), dan Ambon (1998). Kerusuhan ini dapat terjadi karena masyarakat yang terlibat kurang mendalami makana pancasila kemausiaan yang adil dan beradab, setidaknya meskipun berbeda adat, kita tetap harus memperlakukan anggota kelompok lain dengan perlakuan yang sama dan setara, sehingga tidak akan terjadi kerusuhan melainkan adanya persatuan. Pendewasaan kebangsaan ini memuncak ketika bangsa ini mulai dijajah dan dihadapkan pada perbedaan kepentingan ideologi (awal Abad XIX) antara Liberalisme, Nasionalisme, Islamisme, Sosialisme-Indonesia, dan Komunisme,
75

yang diakhiri secara yuridis ketatanegaraan (18 Agustus 1945) dengan ditetapkannya Pancasila oleh Panitia Persiapan Kemerdekan Indonesia (PPKI) sebagai Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Dalam

perkembangan selanjutnya ideologi Pancasila diuji semakin berat terutama pada tataran penerapannya dalam kehidupan kemasyarakatan, kebangsaan, dan kenegaraan. Ujian ini berlangsung sejak ditetapkannya sampai dengan saat ini di era reformasi. Salah satu isu sentral dan strategis yang melatarbelakangi adanya pergantian kepemimpinan nasional di Indonesia (dari Orde Revolusi Fisik, Orde Lama, Orde Baru, sampai ke Era Reformasi) adalah berkaitan dengan penerapan Pancasila. Sejak munculnya krisis moneter (1997) yang berdampak pada krisis nasional yang bermultidimensi dan dimulainya Era Reformasi (1998), kritikan dan hujatan terhadap penerapan Pancasila begitu menguat. Krisis itu ditunjukkan dengan adanya berbagai permasalahan kemasyarakatan, kebangsaan, dan kenegaraan. Di antaranya seperti pergantian kepemimpinan nasional yang tidak normal, kerusuhan sosial, perilaku anarki, dayabeli masyarakat terpuruk, norma moral bangsa dilanggar, norma hukum negara tidak dipatuhi, norma kebijakan pembangunan disiasati, dan hutang luar negeri melonjak tinggi. Perilaku ini semua berpangkal pada tatakelola negara yang kurang bertanggungjawab dengan korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) yang merajalela sebagai wujud dari penerapan Pancasila yang keliru. Karenanya, banyak kalangan yang menjadi sinis dan menggugat efektivitas penerapan Pancasila. Indonesia adalah bangsa yang besar karena memiliki falsafah dan ideologi Pancasila. Keluhuran nilai-nilai Pancasila tampak pada sikap yang religius, jujur, toleran, cinta damai, disiplin, kerja keras, kreatif, mandiri, demokratis, rasa ingin tahu, semangat kebangsaan, cinta tanah air, menghargai prestasi, bersahabat/komunikatif, serta peduli sosial dan lingkungan. Dewasa ini akibat kemajuan ilmu dan teknologi, khususnya komunikasi, terjadilah perubahan pola hidup masyarakat yang begitu cepat. Tidak satu pun bangsa dan

76

negara mampu mengisolisasi diri dan menutup rapat dari pengaruh budaya asing. Demikian juga terhadap masalah ideologi. Pergeseran dan perubahan nilai-nilai akan menimbulkan kebimbangan, terutama didukung oleh kenyataan masuknya arus budaya asing dengan berbagai aspeknya. Kemajuan di bidang ilmu pengetahuan, teknologi komunikasi, dan transportasi ikut mendorong hubungan antar bangsa semakin erat dan luas. Kondisi ini di satu pihak akan menyadarkan bahwa kehidupan yang mengikat kepentingan nasional tidak luput dari pengaruhnya dan dapat menyinggung kepentingan bangsa lain. (M. Habib Mustopo 1992: 11 -12). Adanya pancasila ini diharapkan dapat memfilter apa yang baik dan yang buruk bagi bangsa Indonesia. Selain itu, landasan nilai dalam pancasila juga mengajarkan tentang kesamaan kedudukan antara satu dan yang lain, mengajarkan untuk menghormati satu sama lain dan akhirnya akan tercipta suatu persatuan, bukan kerusuhan yang mengakibatkan perpecahan. Sebagaimana kenyataan, kemajemukan masyarakat Indonesia itu tidak hanya terwujud dalam berbagai struktur sosial, melainkan dalam keanekaragaman kebudayaan yang dikembangkan oleh penduduk di kepulauan sebagai perwujudan adaptasi mereka terhadap lingkungannya secara aktif. Oleh karena itulah keanekaragaman kebudayaan yang mereka kembangkan itu tidak hanya bersifat mendatar yang mencerminkan pola-pola adaptasi setempat yang berbeda, melainkan juga bersifat tegak lurus karena perbedaan pengalaman sejarah. Kenyataan sosial dan kebudayaan tersebut sangat besar pengaruhnya dalam pembangunan bangsa yang dirintis sejak awal kebangkitan kebangsaan. Sungguhpun semangat kebangsaan telah ditanamkan oleh para pelopor jauh sebelum proklamasi kemerdekaan, namun dalam kenyataan tidaklah mudah untuk mempersatukan masyarakat majemuk yang semula telah mengembangkan aneka ragam kebudayaan itu menjadi satu bangsa yang besar. Lebih dari 25 tahun pertama sejak kemerdekaan, masyarakat Indonesia mengalami pergolakan untuk

77

memperkuat persatuan dan kesatuan bangsa yang oleh Geertz (1965) disebut sebagai Intergrative revolution. Sesungguhnya banyak kendala yang menghambat pembangunan bangsa yang baru merdeka, sekalipun ia merupakan cita-cita yang melandasi perjuangan kemerdekaan. Sebagaimana diungkap oleh R. Harris (1964), kebanyakan negara yang baru merdeka sejak berakhirnya perang dunia yang selalu menghadapi berbagai persoalan dalam membangun bangsanya. Mereka harus menghadapi pergolakan yang timbul dalam perjuangan untuk mengembangkan kesejahteraan dengan negara-negara lain. Pergolakan nasional yang dinamakan oleh Harris sebagai Revolution of Equality atau revolusi kesetaraan meliputi : Pertama, perjuangan kemerdekaan penuh (Total Independence); Kedua, Pengembangan Administrasi Pemerintahan (Administrative Equality); Ketiga, Perjuangan kesetaraan budaya (Cultur Equality). Beragam kelompok adakalanya secara sosial menyebabkan tumbuh dan berkembangnya nilai-nilai baru melalui berbagai proses yang menuntut adanya institusionalisasi kepentingan. Tapi juga dapat berupa munculnya konflik-konflik baru karena kelompok, golongan, dan agama lain merasa bahwa kehadiran mereka menjadi ancaman bagi tatanan masyarakat yang sudah ada dan ajeg serta kepentingan dari kelompok lainnya. Akhirnya yang akan berkembang adalah sikap etnosentrisme, yang menganggap hanya kelompoknya saja, golongannya saja yang paling baik dan sempurna, sementara yang lain jelek, salah, dan berbagai kekurangan lainnya (Zastrow, 2000, h. 157). Seiring dengan modernisasi, globalisasi, dan reformasi, sebagian budaya positif mulai tercemar dengan budaya luar yang tidak sesuai dengan jati diri bangsa kita. Persoalan budaya dan karakter bangsa yang mendesak untuk dihadapi dan dipikirkan alternatif pemecahannya. Terutama kasus korupsi, penggunaan

78

kekerasan fisik, kejahatan seksual, perusakan, kehidupan ekonomi yang konsumtif, serta kehidupan politik yang tidak produktif. Pancasila perlu diaktualisasikan oleh dan bagi bangsa Indonesia karena banyaknya dampak negatif kebijakan otonomi daerah (seperti timbul ego daerah, primordialisme sempit) sebagai akibat dari sempitnya pemahaman Pancasila, terjadinya degradasi nilai-nilai kekeluargaan dan tenggang-rasa di masyarakat, serta disalahgunakan implementasinya oleh penguasa sehingga legitimasinya sudah pada titik nadir (antiklimaks). Dimensi sosial ekonomi memandang perlunya diaktualisasikan oleh dan bagi bangsa Indonesia karena Pancasila sebagai falsafah negara yang mewujudkan sistem ekonomi Pancasila serta sebagai sumber sistem ekonomi kerakyatan. Pandangan ini diperkuat oleh realita tentang keadaan negara yang labil yang telah berdampak pada efektifnya pengaruh globalisasi terhadap penguatan campur tangan asing (badanbadan internasional) terhadap perekonomian nasional. Sebagai suatu negara dengan budaya yang beragam dan tersebar di beribu-ribu pulau, persoalan sosial yang akan dihadapi Bangsa Indonesia tentunya akan silih berganti. Masih belum hilang dalam ingatan kita pada peristiwa di Mesuji bahkan belum tuntas dibicarakan, kini muncul persoalan baru di Sape Bima Nusa Tenggara Barat. Pada umumnya kerusuhan sosial terjadi karena didasari oleh adanya prasangka terhadap perorangan maupun terhadap kelompok (prejudice). Prejudice

merupakan sebuah sikap (biasanya mengarah pada pikiran negatif) dan salah satu fenomena yang hanya bisa ditemui dalam kehidupan sosial. Munculnya prasangka sebagai akibat adanya kontak-kontak sosial antara berbagai individu di dalam masyarakat. Seseorang tidak mungkin berprasangka bila tidak pernah mengalami kontak sosial dengan individu lain. Dengan demikian fenomena sosial di Kabupaten Bima dipengaruhi oleh adanya prasangka negatif yang terus menerus dari kelompok

79

masyarakat terhadap kelompok tertentu (pemerintah Kabupaten Bima dan aparat Kepolisian) sebelum terjadi kerusuhan, sehingga akumulasi dari prasangka negatif ini sekaligus menjadi pencetus muncul perilaku agresi masyarakat. Sebaliknya oknum aparat Kepolisian yang menembaki, mengejar, memukul, dan mengeluarkan perkataan yang bertujuan menyakiti kelompok masyarakat yang terlibat kerusuhan termasuk kategori agresi. Dalam psikologi dan ilmu sosial lainnya, pengertian agresi merujuk pada perilaku yang membuat objeknya mengalami bahaya atau kesakitan. Agresi dapat dilakukan secara verbal atau fisik. Kerusuhan yang terjadi menyisakan kepedihan mendalam pada dua kubu, terlebih lagi masyarakat Bima. Semua komponen mulai Pemerintah Kabupaten Bima, Pemerintah Provinsi NTB, Pemerintah pusat, aparat Polri baik pusat maupun daerah, aparat TNI, tokoh masyarakat, tokoh adat, dan tokoh pemuda Kabupaten Bima berupaya menemukan benang merah permasalahan sehingga dapat dicarikan solusi yang cepat dan tepat guna mengembalikan situasi Kabupaten Bima menjadi kondusif. Sampai saat ini banyak pihak mengatakan suasana di Bima sudah kondusif. Tetapi dalam perspektif psikologis, kedua pihak yang bertikai belum sepenuhnya berada dalam kondisi psikologis yang nyaman sehingga setiap kelompok masih bersikap siaga. Polisi bersikap siaga dengan menambah kekuatan personel, sedangkan warga yang tidak terlihat berkumpul untuk menyerang sebenarnya selalu waspada karena takut kejadian akan terulang kepada keluarga mereka. Hal ini menunjukkan adanya bahaya laten (stimulus emosional yang tersembunyi) dimana jika terjadi satu sentilan kecil dapat membuat keadaan menjadi lebih membara. Berbagai bidang kehidupan yang hancur akibat kerusuhan sosial seyogyanya dapat dipulihkan kembali dengan cepat dan tepat. Upaya untuk pemulihan akan terhambat bila dukungan terhadap kesehatan jiwa dan psikososial tidak mendapat perhatian. Dipandang dari segi kesehatan jiwa, peristiwa Sape Bima yang tidak

80

teratasi secara sehat dapat menimbulkan gangguan trauma psikologis bagi masyarakat. Namun apabila dapat diatasi secara sehat dan efektif, trauma psikologis selain dapat dihindari juga membuka kemungkinan untuk tumbuhnya kemampuan individu dalam meminimalisasi dan mengatasi dampak buruk suatu kerusuhan. Kasus Sape Bima, tidaklah serta merta terjadi begitu saja. Sudah ada permulaannya sejak lama, dan ini terjadi karena lemahnya daya tawar masyarakat terhadap pola kepemimpinan yang absolut dan tak memihak kepada rakyat. Pola kepimpinan yang terjadi saat ini seolah-olah membenarkan apa yang terjadi ketika keputusan sudah diambil, menjadi harga mati untuk ditinjau kembali. Entah apa sebabnya Bupati Bima begitu kekeh mempertahankan dan tidak mengindahkan keinginan rakyat untuk mencabut izin eksplorasi emas yang terjadi diwilayahnya. Apakah terjadi sesuatu dibelakang kekeh-nya Bupati Bima, ataukah ada alasan lainnya. Hal ini tentunya perlu diinformasikan secara gamblang kepada masyarakat Bima. Salah satu efek dari otonomi daerah adalah tidak jelasnya intervensi yang harus diambil oleh Pemerintah Provinsi kepada Pemerintah Kota dan Kabupaten bila terjadi hal-hal seperti ini. Jajaran pemerintah provinsi seolah-olah hanya menunggu apa yang akan terjadi, kemudian baru merumuskan langkah-langkah pascakejadian, belum bisa lebih jauh melakukan intervensi sebelum kasus terjadi padahal seharusnya dengan perangkat yang ada bisa dioptimalkan peran intelijen dan arapat yang ada untuk megantisipati segala musibah dan kerusuhan yang terjadi. Dalam ranah sorotan kepemimpinan ini ada beberapa hal yang harus diperhatikan: Pertama, kepemimpinan Bupati, seolah-olah menjadi kepemimpinan yang absolut tanpa mau dan tidak peduli dengan semua masukan yang telah diberikan kepadanya untuk menjada kondosivitas masyarakat. Hal ini tampak dari rekomendasi dari KOMNAS HAM, yang diabaikan oleh Bupati Bima sebelum

81

kejadian berlangsung. Dan seolah-olah bupati menjadi raja kecil yang semua keputusannya menjadi titah yang haram untuk ditinjau ulang bahkan dicabut. Bupati kurang melakukan antisipasi psikologis dan sosial dan hanya mengedepankan kepentingan ekonomi sesaat yang tentu hal ini berpihak pada perusahaan yang tentu akan hanya memperkaya individu-individu tertentu. Bupati ralut dalam permainan ekonomi para corporat. Kedua, kepemimpinan provinsi yang hanya bisa wait and see terhadap persoalan yang terjadi di Kabupaten Bima, hal ini karena efek dari otonomi daerah, pemerintah provinsi dan jajarannya hanya mampu melakukan sebuah langkahlangkah pasca kerusuhan karena khawatir dikatakan ikut mengintervensi kebijakan yang diambil oleh pemerintah kabupaten Ketiga, kepemimpinan masyarakat. Bila terjadi kerusuhan seperti di Bima akan efektif dilakukan cara alternatif pencegahan bila yang melakukan aksi adalah memang dikoordinir oleh pimpinan non formal yang memang sudah terbentuk dari tatanan sosial yang ada. Namun dalam kenyataannya kegiatan demo masyarakat di Bima dikoordinir (korlap: menurut beberapa sumber) adalah orang yang dengan tiba-tiba menggerakkan massa. Sehingga hal ini memicu hilangnya kontrol pimpinan formal dan non formal terhadap perilaku anarkis yang akan terjadi. Keempat, sistem kepemimpinan Polri yang masih sangat identrik dengan kekerasan dan kekuasaan senjata ketika menyelesaikan persoalan. Dengan alasan demo masyarakat telah melumpuhkan kegiatan perekonomian, tidak peduli lagi dengan efek psikologis, sosial bahkan nyawa melayang dengan tindakan represif yang dilakukan dengan dalih demi memulihkan perekonomian dan keamanan. Pola kepimpinan yang masih sangat dekat dengan kekuasaan dan ekonomi menjadikan polisi hanya sebagai alat kekuasaan dan ekonomi semata hanya berpikir bagaimana sebagai pengayom masyarakat.

82

Dalam kasus ini perlu diperhatikan pengambilan keputusan yang efektif. Menurut Thorndike (1938), pengambilan keputusan dan pemecahan masalah oleh kelompok lebih baik dibandingkan oleh individu. Karena dalam kelompok, individu lebih banyak belajar, membuat lebih sedikit kesalahan, membuat keputusan yang terbaik dan produktif dengan kualitas yang lebih tinggi dari yang dihasilkan individu. Dalam hal ini pengambilan keputusan akan lebih efektif jika anggota masyarakat yang bersangkutan (keluarga korban), tokoh masyarakat, tokoh agama, tokoh pemuda, para pimpinan Polri, pimpinan TNI, serta pemerintah pusat dan daerah, berunding untuk menentukan keputusan yang tepat. Oleh sebab itu jalur diskusi yang telah dilakukan antar elemen masyarakat dinilai tepat sebagai salah satu upaya psikologis untuk mengembalikan situasi kondusif. Kelompok masyarakat akan lebih terbuka mengungkapkan pikiran, perasaan, pendapat, informasi dan ide-ide mereka jika tingkat kepercayaan tinggi. Diharapkan jalur diskusi yang mempertemukan dua kubu tersebut dapat berlangsung secara periodik. Penyelesaian dengan cara tersebut sebagai salah satu implikasi nyata yang menunjukkan diterapkannya sila Pancasila ke empat yakni kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan. Seorang pemimpin seharusnya mengutamakan musyawarah untuk mencapai mufakat, seperti yang terkandung dalam nilai pancasila tersebut. Selain itu, nilai pancasila pada sila ke lima, yakni keadilan bagi seluruh rakyat, juga tetap harus ditegakkan, maksudnya adalah kalaupun negosiasi tidak dapat dilakukan, setidaknya pemimpin harus mengambil keputusan yang memberi kebaikan kepada kedua pihak, supaya masyarakat merasa diperlakukan adil.

6.2 Pelanggaran HAM Bentrokan antarkelompok dan fenomena kriminalitas, pelanggaran HAM, dan sebagian rakyat mempraktikkan budaya anarkis. Degradasi wawasan nasional
83

sebagian rakyat Indonesia. Bahkan juga degradasi kepercayaan atas keunggulan dasar negara Pancasila sebagai sistem ideologi nasional. Rakyat dan bangsa Indonesia mengalami erosi jati diri secara nasional. Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) sebagai negara hukum yang ditegaskan pada pasal 1 ayat (3) UUD 1945 ternyata dalam praktiknya justru menjadi negara yang belum mampu menegakkan kebenaran dan keadilan berdasarkan Pancasila dan UUD 45. Angka kemiskinan dan pengangguran yang tetap menggunung belum ada konsepsi alternatif strategis pemecahannya. Kondisi demikian dapat melahirkan konflik horizontal dan vertikal. Bahkan, anarkisme sebagai fenomena sosial ekonomi dan psikologis rakyat dalam wujud stres massal dan tandakan anarkisme. Pemujaan demokrasi liberal atas nama kebebasan dan perlindungan hak asasi manusia (HAM) telah mendorong bangkitnya primordialisme kesukuan dan kedaerahan. Fenomena ini membuktikan degradasi nasional telah makin parah dan mengancam integritas mental ideologi Pancasila, serta integritas nasional atau NKRI dan moral. Persoalan budaya dan karakter bangsa kini menjadi sorotan tajam masyarakat. Sorotan itu mengenai berbagai aspek kehidupan, tertuang dalam berbagai tulisan di media cetak, wawancara, dialog, dan gelar wicara di media elektronik. Selain di media massa, pemuka masyarakat, para ahli, serta pengamat pendidikan dan sosial berbicara mengenai persoalan budaya dan karakter bangsa di berbagai forum seminar. Baik pada tingkat lokal, nasional, maupun internasional. Manusia hidup dalam lingkungan sosial dan budaya tertentu, maka pengembangan karakter individu seseorang hanya dapat dilakukan dalam lingkungan sosial dan budaya yang bersangkutan.

84

Artinya, pengembangan budaya dan karakter bangsa hanya dapat dilakukan dalam suatu proses pendidikan yang tidak melepaskan peserta didik dari lingkungan sosial serta budaya masyarakat dan bangsa. Lingkungan sosial dan budaya bangsa Indonesia adalah Pancasila, jadi pendidikan budaya dan karakter bangsa haruslah berdasarkan nilai-nilai Pancasila. Dengan kata lain, mendidik budaya dan karakter bangsa adalah mengembangkan nilainilai Pancasila pada diri peserta didik melalui pendidikan hati, otak, dan fisik. Atas dasar pemikiran itu, pengembangan pendidikan budaya dan karakter sangat strategis bagi keberlangsungan dan keunggulan bangsa di masa mendatang. Pengembangan itu harus dilakukan melalui perencanaan yang baik, pendekatan yang sesuai, dan metode belajar serta pembelajaran yang efektif. Sesuai dengan sifat suatu nilai, pendidikan budaya dan karakter bangsa adalah usaha bersama sekolah, oleh karenanya harus dilakukan secara bersama oleh semua guru dan pemimpin sekolah, melalui semua mata pelajaran, dan menjadi bagian yang tak terpisahkan dari budaya sekolah serta dukungan penuh dari masyarakat. Karakter adalah watak, tabiat, akhlak, atau kepribadian seseorang yang terbentuk dari hasil internalisasi berbagai kebajikan (virtues) yang diyakini dan digunakan sebagai landasan untuk cara pandang, berpikir, bersikap, dan bertindak. Kebajikan terdiri atas sejumlah nilai, moral, dan norma, seperti jujur, berani bertindak, dapat dipercaya, dan hormat kepada orang lain. Interaksi seseorang dengan orang lain menumbuhkan karakter masyarakat dan karakter bangsa. Oleh karena itu, pengembangan karakter bangsa hanya dapat dilakukan melalui pengembangan karakter individu seseorang. Karakter sebagai suatu moral excellence atau akhlak dibangun di atas berbagai kebajikan (virtues) yang pada gilirannya hanya memiliki makna ketika dilandasi atas nilai-nilai yang berlaku dalam budaya (bangsa). Karakter bangsa Indonesia

85

adalah karakter yang dimiliki warga negara bangsa Indonesia berdasarkan tindakan-tindakan yang dinilai sebagai suatu kebajikan berdasarkan nilai yang berlaku di masyarakat dan bangsa Indonesia. Oleh karena itu, pendidikan budaya dan karakter bangsa diarahkan pada upaya mengembangkan nilai-nilai yang mendasari suatu kebajikan sehingga menjadi suatu kepribadian diri warga negara. Menyelamatkan bangsa dan NKRI dari tantangan, maka bangsa Indonesia wajib meningkatkan kewaspadaan nasional dan ketahanan mental dan ideologi Pancasila. Visi-misi demikian terutama meningkatkan wawasan nasional dan kepercayaan nasional (kepercayaan diri) agar sumber daya manusia (SDM) warganegara kita mampu mewaspadai tantangan globalisasi dan liberalisasi. Kemampuan menghadapi tantangan yang amat mendasar akan melanda kehidupan nasional, sosial, ekonomi, politik, bahkan mental dan moral bangsa, maka benteng terakhir yang diharapkan untuk mampu bertahan ialah keyakinan nasional atas kebenaran dan kebaikan/keunggulan dasar negara Pancasila baik sebagai jati diri bangsa dan filsafat hidup bangsa (Volksgeist, Weltanschauung), sekaligus sebagai dasar negara (ideologi negara, ideologi nasional). Dinamika dalam mengaktualisasikan nilai Pancasila dalam kehidupan

bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara adalah suatu keniscayaan agar Pancasila tetap selalu relevan dalam fungsinya memberikan pedoman bagi pengambilan kebijaksanaan dan pemecahan masalah dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Agar loyalitas warga masyarakat dan warga negara terhadap Pancasila tetap tinggi. Di lain pihak, apatisme dan resistensi terhadap Pancasila bisa diminimalisasi. Substansi dari adanya dinamika dalam aktualisasi nilai Pancasila dalam kehidupan praktis adalah selalu terjadinya perubahan dan pembaharuan dalam mentransformasikan nilai Pancasila ke dalam norma dan praktik hidup dengan menjaga konsistensi, relevansi, dan kontekstualisasinya.
86

Sedangkan perubahan dan pembaharuan yang berkesinambungan terjadi apabila ada dinamika internal (self renewal) dan penyerapan terhadap nilai-nilai asing yang relevan untuk pengembangan dan penggayaan ideologi Pancasila. Muara dari semua upaya perubahan dan pembaharuan dalam mengaktualisasikan nilai Pancasila adalah terjaganya akseptabilitas dan kredibilitas Pancasila oleh warga negara dan masyarakat Indonesia. Sebagai warga negara yang baik selayaknya peka dan segera mengakhiri masalah-masalah besar sebagai indikator tercemarnya karakter bangsa. Seperti, kasus korupsi, penggunaan kekerasan fisik, kejahatan seksual, perusakan, kehidupan ekonomi yang konsumtif, kehidupan politik yang tidak produktif, bentrok antarkelompok, fenomena kriminalitas, pelanggaran HAM dan budaya anarki, dan pemaksaan kehendak. Semua pihak harus mendukung program pemerintah dalam mengatasi masalah tercemarnya budaya dan karakter bangsa. Yakni dengan kebijakan

mengimplementasikan pendidikan karakter dan budaya bangsa pada semua mata pelajaran di sekolah. Selain itu, mempraktikkannya pada kehidupan

bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Seperti orang tua, guru, tokoh masyarakat dan agama, serta politisi harus memberi teladan yang baik kepada anak-anak, peserta didik, juga masyarakat dalam mengamalkan nilai-nilai Pancasila. Sehingga, tidak ada alasan bagi bangsa Indonesia untuk tidak mengamalkan nilai-nilai Pancasila. Kukuhnya Negara Kesatuan Republik Indonesia sejak Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945 merupakan berkat dan rahmat Tuhan Yang Mahakuasa bagi rakyat Indonesia secara keseluruhan menjadi dasar dilaksanakannya pembangunan di segala bidang. 6.2.1 Latar Belakang Hambatan dalam Menegakkan Idiologi Pancasila Sekalipun seluruh rakyat dan penyelenggara negara serta segenap potensi bangsa telah berusaha menegakkan dan melestarikan Negara Kesatuan Republik

87

Indonesia, namun masih ada ancaman, hambatan, dan gangguan terhadap keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Kemajemukan yang rentan konflik, otonomi daerah yang belum terwujud, kebijakan yang terpusat, otoriter, serta tindakan ketidakadilan pemerintah yang dipicu oleh hasutan serta pengaruh gejolak politik internasional dapat mendorong terjadinya disintegrasi bangsa. Penyelenggaraan negara yang menyimpang dari ideologi Pancasila dan mekanisme Undang-Undang Dasar 1945 telah mengakibatkan ketidakseimbangan kekuasaan di antara lembaga-lembaga negara dan makin jauh dari cita demokrasi dan kemerdekaan yang ditandai dengan berlangsungnya sistem kekuasaan yang bercorak absolut karena wewenang dan kekuasaan Presiden berlebihan yang melahirkan budaya korupsi, kolusi, dan nepotisme sehingga terjadi krisis multidimensional pada hampir seluruh aspek kehidupan. Ketidakpekaan penyelenggara negara terhadap kondisi dan situasi tersebut telah membangkitkan gerakan reformasi di seluruh tanah air yang ditandai dengan tumbangnya rezim otoriter. Gerakan reformasi telah mendorong secara relatif terjadinya kemajuan-kemajuan di bidang politik, usaha penegakan kedaulatan rakyat, peningkatan peran masyarakat disertai dengan pengurangan dominasi peran pemerintah dalam kehidupan politik, antara lain dengan terselenggaranya Sidang Istimewa MPR 1998; Pemilu 1999 yang diikuti banyak partai, netralitas pegawai negeri, serta TNI dan Polri; peningkatan partisipasi politik, pers yang bebas serta Sidang Umum MPR 1999. Namun, perkembangan demokrasi belum terarah secara baik dan aspirasi masyarakat belum terpenuhi. Konflik sosial dan menguatnya gejala disintegrasi di berbagai daerah seperti di Maluku merupakan gangguan bagi keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang kalau tidak segera ditanggulangi akan dapat mengancam keberadaan dan kelangsungan hidup bangsa dan negara. Khusus bagi Daerah Istimewa Aceh dan Irian Jaya hal-hal cepat dan tepat.

88

Di bidang hukum terjadi perkembangan yang kontroversial, disatu pihak produk materi hukum, pembinaan aparatur, sarana dan prasarana hukum menunjukkan peningkatan. Namun, di pihak lain tidak diimbangi dengan peningkatan integritas moral dan profesionalisme aparat hukum, kesadaran hukum, mutu pelayanan serta tidak adanya kepastian dan keadilan hukum sehingga mengakibatkan supremasi hukum belum dapat diwujudkan. Tekad untuk memberantas segala bentuk penyelewengan sesuai tuntutan reformasi seperti korupsi, kolusi, nepotisme, serta kejahatan ekonomi keuangan dan penyalahgunaan kekuasaan belum diikuti langkah-langkah nyata dan kesungguhan pemerintah serta aparat penegak hukum dalam menerapkan dan menegakkan hukum, terjadinya campur tangan dalam proses peradilan, serta tumpang tindih dan kerancuan hukum mengakibatkan terjadinya krisis hukum. 6.2.2 Dampak Krisis Hukum Kondisi hukum yang demikian mengakibatkan perlindungan dan penghormatan hak asasi manusia di Indonesia masih memprihatinkan yang terlihat dari berbagai pelanggaran hak asasi manusia, antara lain dalam bentuk tindak kekerasan, diskriminasi, dan kesewenang-wenangan. Seperti beberapa kasus yang terjadi berikut : a. Kasus Pelanggaran HAM Masa Lalu yang Belum Tersentuh Proses Hukum

N o 1

Nama Kasus Pembantaian massal 1965

Th

Jumlah Korban

Keterangan Korban sebagian besar merupakan anggota PKI, atau ormas yang dianggap berafiliasi dengannya seperti SOBSI, BTI, Gerwani, PR, Lekra, dll. Sebagian besar dilakukan di luar proses hukum yang sah

1965-1970 1.500.000

Penembakkan

1982-1985 1.678

Korban sebagian besar merupakan tokoh

89

misterius Petrus

kriminal, residivis, atau mantan kriminal. Operasi militer ini bersifat illegal dan dilakukan tanpa identitas institusi yang jelas

Kasus Timor pra Referendum

di 1974-1999 Ratusan Timur ribu

Dimulai dari agresi militer TNI (Operasi Seroja) terhadap pemerintahan Fretilin yang sah di Timor Timur. Sejak itu TimTim selalu menjadi daerah operasi militer rutin yang rawan terhadap tindak kekerasan aparat RI.

Kasus-kasus di 1976-1989 Ribuan Aceh DOM pra

Semenjak

dideklarasikannya

GAM

oleh

Hasan Di Tiro, Aceh selalu menjadi daerah operasi militer dengan intensitas kekerasan yang tinggi.

Kasus-kasus di 1966-2007 Ribuan Papua

Operasi militer intensif dilakukan oleh TNI untuk menghadapi OPM. Sebagian lagi berkaitan dengan masalah penguasaan sumber daya alam, antara aparat perusahaan negara, tambang

internasional,

berhadapan

dengan penduduk local 6 Kasus Santet Banyuwangi 7 Kasus Marsinah 1995 1 Pelaku utamanya tidak tersentuh, sementara orang lain dijadikan kambing hitam. Bukti keterlibatan perburuhan. 8 Kasus Bulukumba 2003 2 orang Insiden ini terjadi karena keinginan PT London Sumatera untuk melakukan perluasan area perkebunan mereka, namun masyarakat menolak upaya tersebut (represi) militer di bidang Dukun 1998 puluhan Adanya pembantaian terhadap tokoh

masyarakat yang dituduh dukun santet.

tewas, puluhan orang ditahan

90

dan lukaluka.

b. Kasus Pelanggaran HAM yang Macet di Komnas HAM dan Jaksa Agung
N o 1 Kasus Talangsari Lampung Th 1989 Korban 803 Konteks Represi terhadap sekelompok komunitas Muslim di Lampung Tengah yang dituduh sebagai GPK ekstrim kanan 2 Penembakan mahasiswa Trisakti 1998 685 Penembakkan aparat terhadap mahasiswa Trisakti yang sedang berdemonstrasi. Merupakan titik tolak peralihan kekuasaan politik dan pemicu kerusuhan sosial di Jakarta dan kota besar Indonesia lainnya. Komnas HAM membentuk KPP dan hasilnya telah diserahkan ke Jaksa Agung pada 2002 Penyelesaian Komnas HAM membentuk KPP tahun 2001, tim pengkajian di tahun 2004 dan 2005 Keterangan Salah seorang yang diduga paling bertanggungjawab menjabat Kepala BIN sehingga sulit tersentuh. onis terlalu ringan, terdakwa hanya aparat rendah di lapangan, tidak menyentuh pelaku utama. Komnas HAM telah membuat KPP (TSS) dan telah dimajukan ke Kejaksaan Agung (2003), namun sampai sekarang belum beranjak maju. DPR menyatakan tidak terjadi pelanggaran HAM berat. 3 Mei 1998 1998 1.308 Kerusuhan sosial di Jakarta yang menjadi momentum peralihakekuasaan Komnas HAM membentuk KPP dan hasilnya telah diserahkan ke Jaksa Jaksa Agung mengembalikan lagi berkas ke Komnas HAM dengan alasan

91

Agung pada 2003

tidak lengkap. Tidak ada perkembangan lebih lanjut

Semanggi I

1998

127

Represi TNI atas mahasiswa yang menolak Sidang Istimewa MPR

Komnas HAM membentuk KPP dan hasilnya telah diserahkan ke Jaksa Agung pada 2002

Jaksa Agung mengembalikan lagi berkas ke Komnas HAM dengan alasan tidak lengkap. Tidak ada perkembangan lebih lanjut. DPR menyatakan tidak terjadi pelanggaran HAM berat.

Semanggi II

1999

228

Represi TNI atas mahasiswa yang menolak UU Negara

Komnas HAM membentuk KPP dan hasilnya telah

Jaksa Agung mengembalikan lagi berkas ke Komnas HAM dengan alasan tidak lengkap. Tidak ada perkembangan lebih lanjut. DPR menyatakan tidak terjadi pelanggaran HAM berat.

dalam Keadaan Bahaya diserahkan ke Jaksa Agung pada 2002

Penculikan Aktivis 1998

1998

23

Penculikkan dan penghilangan paksa bagi aktivis pro demokrasi oleh TNI

Komnas HAM membentuk KPP dan hasilnya telah diserahkan ke Jaksa Agung, November 2006

Jaksa Agung menyatakan tidak akan melakukan penyidikan atas kasus ini karena belum ada pengadilan HAM Adhoc.

Wasior

April -

117 orang

Masyarakat menuntut ganti rugi atas tanah

Berkas KPP HAM telah diserahkan ke-

92

Okto ber 2001

adat termasuk kayukayunya- yang dikuasai perusahaan penebangan kayu PT Dharma Mukti Persada. Tuntutan masyarakat tidak dipedulikan oleh pihak perusahaan yang di backup oleh anggota brimob. - Operasi Tumpas 2001

kejaksaan Agung 2004

Sumber Litbang kontras

Pembangunan di bidang pertahanan keamanan telah menunjukkan kemajuan meskipun masih mengandung kelemahan. Kepercayaan masyarakat terhadap aparatur TNI dan Polri melemah, antara lain, karena digunakan sebagai alat kekuasaan; rasa aman dan ketenteraman masyarakat berkurang; meningkatnya gangguan keamanan dan ketertiban; terjadinya kerusuhan massal dan berbagai pelanggaran hukum serta pelanggaran hak asasi manusia. Upaya mengatasi krisis ekonomi beserta dampak yang ditimbulkannya telah dilakukan melalui proses reformasi di bidang ekonomi, tetapi hasilnya belum memadai karena (1) penyelenggaraan negara di bidang ekonomi selama ini pada kenyataannya dilakukan atas dasar kekuasaan yang terpusat dengan campur tangan pemerintah yang terlalu besar, sehingga kedaulatan ekonomi tidak berada di tangan rakyat dan mekanisme pasar tidak berfungsi secara efektif; dan (2) kesenjangan ekonomi yang meliputi kesenjangan antara pusat dan daerah, antardaerah, antarpelaku, dan antargolongan pendapatan, telah meluas ke seluruh aspek kehidupan sehingga struktur ekonomi tidak kuat yang ditandai dengan

93

berkembangnya monopoli serta pemusatan kekuatan ekonomi di tangan sekelompok kecil masyarakat dan daerah tertentu. Pengangguran makin meningkat dan meluas, hak dan perlindungan tenaga kerja belum terwujud, jumlah penduduk miskin semakin membengkak, dan derajat kesehatan masyarakat juga menurun drastis. Gejala itu bahkan menguat dengan terdapatnya indikasi kasus-kasus kurang gizi di kalangan kelompok penduduk usia bawah lima tahun, yang dapat mengakibatkan timbulnya generasi yang kualitas fisik dan inteleknya rendah. Konsep pembangunan berkelanjutan telah diletakkan sebagai kebijaksanaan. Namun, didalam pengalaman praktik selama ini, justru terjadi pengolahan sumber daya alam yang tidak terkendali dengan akibat kerusakan lingkungan yang mengganggu kelestarian alam. Di bidang pendidikan masalah yang dihadapi adalah berlangsungnya pendidikan yang kurang bermakna bagi pengembangan pribadi dan watak peserta didik, yang berakibat hilangnya kepribadian dan kesadaran akan makna hakiki kehidupan. Mata pelajaran yang berorientasi akhlak dan moralitas serta pendidikan agama kurang diberikan dalam bentuk latihan-latihan pengamalan untuk menjadi corak kehidupan sehari-hari. Karenanya masyarakat cenderung tidak memiliki kepekaan yang cukup untuk membangun toleransi, kebersamaan, khususnya dengan menyadari keberadaan masyarakat yang majemuk. Pengembangan dan penerapan ilmu pengetahuan dan teknologi belum dimanfaatkan secara berarti dalam kegiatan ekonomi, sosial dan budaya, sehingga belum memperkuat kemampuan Indonesia dalam menghadapi kerjasama dan persaingan global. Kehidupan beragama belum memberikan jaminan akan peningkatan kualitas keimanan dan ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa bagi masyarakat. Merebaknya penyakit sosial, korupsi dan sejenisnya, kriminalitas, pemakaian obat terlarang, perilaku menyimpang yang melanggar moralitas, etika dan kepatutan,

94

memberikan gambaran terjadinya kesenjangan antara perilaku formal kehidupan keagamaan dengan perilaku realitas nyata kehidupan keseharian. Status dan peranan perempuan dalam masyarakat masih bersifat subordinatif dan belum sebagai mitra sejajar dengan laki-laki, yang tercermin pada sedikitnya jumlah perempuan yang menempati posisi penting dalam pemerintahan, dalam badan legislatif dan yudikatif, serta dalam masyarakat. Penurunan peranan dan kualitas diri terjadi juga di kalangan generasi muda. Kreativitas, kemauan, dan kemampuan mengembangkan pemikiran dan

melakukan kegiatan eksploratif, melakukan aksi sosial untuk berani coba ralat pada generasi muda mengalami hambatan sehingga pada akhirnya menghambat proses kaderisasi bangsa. Luasnya ruang lingkup pembangunan daerah terutama dalam rangka pelaksanaan otonomi daerah belum didukung oleh kesiapan dan kemampuan sumber daya manusia dan aparatur pemerintah daerah yang memadai serta belum adanya perangkat peraturan bagi pengelolaan sumber daya alam di daerah. Pelaksanaan politik luar negeri yang lemah, antara lain karena tingginya ketergantungan pada utang luar negeri mengakibatkan turunnya posisi-tawar Indonesia dalam percaturan internasional. Keseluruhan gambaran tersebut menunjukkan kecenderungan menurunnya kualitas kehidupan dan jati diri bangsa. Kondisi itu menuntut bangsa Indonesia, terutama penyelenggara negara, para elite politik dan pemuka masyarakat, agar bersatu dan bekerja keras melaksanakan reformasi dalam segala bidang kehidupan untuk meningkatkan harkat, martabat, dan kesejahteraan bangsa Indonesia.

95

BAB 7 KESIMPULAN

Dari penjelasan-penjelasan pada bab-bab sebelumnya maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut : 1. Ketahanan Nasional Indonesia adalah : Kondisi dinamik bangsa Indonesia yang meliputi segenap aspek kehidupan nasional yang terintegrasi berisi keuletan dan ketangguhan yang mengandung kemampuan mengembangkan kekuatan nasional dalam menghadapi dan mengatasi Ancaman, Gangguan, Hambatan, Tantangan (AGHT) baik yang dating dari dalam maupun dari luar negeri untuk menjamin identitas, integritas dan kelangsungan hidup bangsa dan negara dalam mencapai tujuan nasionalnya. Dalam pengertian tersebut, ketahanan nasional adalah kondisi kehidupan nasional yang harus diwujudkan, dengan pembinaan sejak dini, sinergik dan kontinue, secara pribadi, keluarga, daerah dan nasional. Dengan bermodalkan, keuletan dan ketangguhan yang mengandung kemampuan mengembangkan kekuatan nasional, berdasarkan pemikiran geostrategis berupa: konsepsi yang dirancang dan dirumuskan dengan memperhatikan kondisi dan konstelasi geografis Indonesia. Konsepsi tersebut dinamakan Konsepsi Ketahanan Nasional Indonesia. 2. Pengertian konsepsi ketahanan nasional indonesia. Konsepsi pengembangan kekuatan nasional melalui pengaturan dan penyelenggaraan kesejahteraan dan keamanan yang seimbang, serasi dan selaras dalam seluruh aspek kehidupan secara utuh dan menyeluruh dan terpadu berdasarkan Pancasila, UUD 1945 dan Wawasan Nusantara. Konsepsi Ketahanan Nasional merupakan pedoman (sarana) untuk meningkatkan (metode) keuletan dan ketangguhan bangsa yang mengandung kemampuan mengembangkan kekuatan nasional dengan pendekatan kesejahteraan dan keamanan. Kesejahteraan digambarkan sebagai kemampuan bangsa dalam

96

menumbuhkan

dan

mengembangkan

nilai-nilai

nasionalnya

demi

kemakmuran yang adil dan merata, rohaniah dan jasmaniah. Keamanan digambarkan sebagai kemampuan bangsa dalam melindungi nilai-nilai nasionalnya terhadap ancaman baik dari dalam maupun dari luar negeri. 3. Hakikat ketahanan nasional & konsepsi ketahanan nasional Indonesia Hakikat Ketahanan Nasional Indonesia adalah Keuletan dan ketangguhan bangsa yang mengandung kemampuan mengembangkan kekuatan nasional, untuk dapat menjamin kelangsungan hidup bangsa dan negara dalam mencapai tujuan nasionalnya. Hakikat Konsepsi Ketahanan Nasional Indonesia adalah pengaturan dan penyelenggaraan kesejahteraan dan keamanan secara seimbang, serasi, selaras dalam seluruh aspek kehidupan nasional.

97

DISKUSI MAKALAH A. Indikator Hankam (pertanyaan dari kelompok A2) Pertanyaan : 1. Mengapa bangsa Indonesia gagal mempertahankan pulau Sipadan dan Ligitan sehingga akhirnya pulau tersebut jatuh ke tangan Malaysia? 2. Sebelumnya, usaha apa yang dilakukan Indnesia untuk mempertahankan kedua pulau tersebut? 3. Faktor apa yang menyebabkan kedua pulau tersebut diperebutkan oleh kedua Negara? Jawaban : 1. Mahkamah Internasional telah memutuskan bahwa Malaysia memiliki kedaulatan atas Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan berdasarkan pertimbangan effectivitee, yaitu bahwa Pemerintah Inggris telah melakukan tindakan administratif secara nyata sebagai wujud

kedaulatannya berupa penerbitan ordonansi perlindungan satwa burung, pungutan pajak terhadap pengumpulan telur penyu sejak 1930-an, dan operasi mercu suar sejak awal 1960-an. Sementara itu kegiatan pariwisata yang dilakukan Malaysia hampir 15 tahun terakhir tidak menjadi faktor pertimbangan. Pada pihak lain, Mahkamah menolak argumentasi Indonesia yang bersandar pada Konvensi 1891 yang dinilai hanya mengatur perbatasan darat dari kedua negara di Kalimantan. Garis paralel 4 10' Lintang Utara ditafsirkan hanya menjorok ke laut sejauh 3 mil dari titik pantai timur Pulau Sebatik sesuai ketentuan hukum laut internasional pada waktu itu yang menetapkan laut wilayah sejauh 3 mil. Sebaliknya, Mahkamah juga menolaak argumentasi Malaysia mengenai perolehan kepemilikan atas kedua pulau tersebut berdasarkan chain of title (rangkaian kepemilikan dari Sultan Sulu).

98

2. 1967: Indonesia-Malaysia melakukan pertemuan baik formal maupun informal secara bilateral dan regional (ASEAN) dalam rangka

penyelesaian sengketa Sipadan-Ligitan secara damai. 1969: Tim Teknis Landas Kontinen Indonesia-Malaysia membicarakan batas dasar laut antara kedua negara. 1974 Malaysia mulai membangun infrastruktur Sipadan-Ligitan lengkap dengan resort wisata. 21 Desember 1979: Malaysia mengukuhkan Peta zaman Belanda yang mencakup landas laut dan perairannya hingga Laut Sulawesi sejauh 200 mil dari perbatasan maritime Malaysia. 21 Maret 1980: Pemerintah Indonesia mengumumkan ZEE sejauh 200 mil diukur dari garis dasar pantai. 26 Maret 1980: Pertemuan Soeharto dan Dato Hussen Onn di Kuantan memutuskan untuk menyelesaikan masalah melalui rundingan, namun usaha tersebut gagal. 1989: Pembicaraan kembali Presiden Soeharto dan P.M Mahathir Muhammad masalah Sipadan dan Ligitan. 1990: Malaysia menempatkan satu regu polisi hutan untuk menjaga kepentingan warga Sipadan dari gangguan mundu bajak laut dari Filipina Selatan 1992: Pertemuan pejabat tinggi kedua negara menghasilkan kesepakatan pembentukan Komisi Bersama (Joint Commission/JC) dan Kelompok Kerja Bersama (Joint Working Groups/JWG). Tetapi dari serangkaian pertemuan JC dan JWG tidak membawa hasil. Indonesia menunjuk Mensesneg Moerdiono dan Malaysia menunjuk Wakil PM Datok Anwar Ibrahim sebagai Wakil Khusus pemerintah untuk mencairkan kebuntuan

99

forum JC/JWG. Namun dari empat kali pertemuan di Jakarta dan di Kuala Lumpur tidak pernah mencapai kesepakatan. 6-7 Oktober 1996: Presiden Soeharto dan PM Mahathir menyetujui rekomendasi wakil khusus. 31 Mei 1997: disepakati Special Agreement for the Submission to the International Court of Justice the Dispute between Indonesia & Malaysia Concerning the Sovereignty over Pulau Sipadan and Pulau Ligitan. 2 November 1998: Special Agreement disampaikan secara resmi ke Mahkamah Internasional (ICJ) dan mulai diproses di ICJ. 2 Novenber 1999: Kedua negara menyampaikan posisi masing-masing melalui Written Pleading kepada Mahkamah Memorial 2 Agustus 2000: Counter Memorial 2 Maret 2001: Reply 3-12 Juni 2002: Oral Hearing dari kedua negara bersengketa. Wakil Malaysia dan Indonesia saling mempertahankan hak kedaulatan atas pulau-pulau tersebut di edpan MAhkamah Internasional. 17 Desember 2002: Putusan Mahkamah Internasional (ICJ) memberi hak kedaulatan terhadap wilayah Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan terhadap Malaysia. 3. Pengakuan Malaysia atas Sipadan dan Ligitan merupakan upaya Malaysia dalam power seeking. Dengan mengambil alih P.Sipadan dan Ligitan berarti wilayahnya bertambah luas dan tentunya Malaysia berhak mengelola segala sesuatu (sumber daya alam) yang ada di kedua pulau maupun yang terkandung di dalam lautnya. Bahkan ada kemungkinan untuk mengakui wilayah lain di Indonesia sebagai miliknya. Padahal Malaysia tahu bahwa kedua pulau tersebut merupakan wilayah Indonesia, hal ini terbukti melalui peta zaman belanda yang dikukuhkan Malaysia
100

pada tahun 1979 di mana tertera Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan merupakan bagian dari wilayah Indonesia.

B. Indikator Budaya ( pertanyaan dari kelompok A3 ) Pertanyaan : 1. Dari sudut pandang sosial dan budaya, apakah kerusuhan poso merupakan faktor terhambatnya pluralistik ? 2. Berikan contoh nyata dari solusi konflik Poso tentang pencegahan sedini mungkin, terutama kewaspadaan terhadap gerak gerik seseorang atau sekelompok orang yang berusaha bermain api dalam sekam, maksudnya bagaimana ? 3. Pada kasus poso apakah dengan adanya deklarasi maluku kasus itu benar selesai ? Upaya apa saja yang bisa dilakukan untuk menghindari kerusuhan sosial akibat beragamnya budaya ? Jawaban : 1. Iya, karena dalam kerusuhan poso ini penyebabnya adalah pertikaian suku dan pemeluk agama islam dan kristen. Yaitu konflik yang bernuansa SARA. Antar suku dan agama yang berbeda saja dapat menjadi

penghambat dan sampai menimbulkan kerusuhan, yang seharusnya sebagai masyarakat yang mempunyai perbedaan harus saling

menghormati. Tapi dalam kasus Poso rasa menghargai dan menerima antar sesama dan saling menghormati itu tidak ada. Masyarakat hanya hidup dengan kelompoknya sendiri, tidak ingin membaur dan bersatu. Sehingga kehidupan kebersamaan yang sebenarnya bisa mereka lakukan tapi tidak akan tercapai, karena tiap individu hanya mementingkan ego mereka. Sehingga sulit untuk mencapai kerukunan dan kebersamaan. Jadi dapat dikatakan kerusuhan poso ini merupakan faktor terhambatnya pluralistik.

101

2. Pencegahan sedini mungkin maksudnya masayarakat disemua kalangan, baik kalangan pengusaha dan mahasiswa harus turut serta dalam dalam penyelesaian konflik poso. Dan juga harus ditanamkan sejak kecil pada Masyarakat poso, agar tidak menimbulkan pertikaian. Karena dengan ditanamkannya sejak kecil maka masyarakat akan dapat hidup dengan masyarakat yang mempunyai perbedaan dengan dirinya. Contoh dari kewaspadan terhadap gerak gerik seseorang adalah di penduduk poso jika ada pemilihan umum itu dulu dengan pemilihan hanya satu target. Seperti pemilihan bupati, bupati A yang terpilih yang mempunyai agama Kristen, namun dalam peraturan jika bupati A terpilih, maka bupati tersebut harus memilih wakil bupati yang beragama lain, misalnya beragama islam. Namun faktanya bupati memilih masyarakatnya sendiri yang beragama kristen, dan satu orang yang beragama islam yang sangat menginginkan untuk menjadi bupati atau wakil bupati justru tidak terpilih. Sehingga karena umat kristen tidak adil dalam pembagian jabaatan, yang akhirnya berubah menjadi pertikaian dan kerusuhan. 3. Tidak bisa, karena bukan hanya dengan deklarasi maluku saja, tapi dari kesadaran mereka sendiri, dan dari orang lain yang memberi pencerahan kepada mereka. Dan dari kalangan pengusaha hingga tingkat mahasiswa harus ikut berperan menangani konflik yang terjadi di Poso dengan melakukan tindakan nyata agar masyarakat setempat tidak hanya terfokus pada masalah politik. Dan harus bersatu membangun secara paralel.

Seluruh kalangan itu harus bekerja sama agar kerusuhan di Poso segera berakhir. bila semua pihak mau berikrar secara serius dan tulus. Artinya, semua kepentingan sepihak dan sepotong-potong yang menghimpitnya selain kepentingan bersama harus dihilangkan terlebih dahulu. Pencegahan sedini mungkin tindakan provokasi dan intimidasi diantara masyarakat harus diutamakan. Terutama, perlunya kewaspadaan terhadap gerak-gerik seseorang atau sekelompok orang yang berusaha bermain api dalam sekam. Barulah kemudian upaya penegakkan hukum harus benar-benar dilaksanakan.
102

C. Indicator agama (pertanyaan dari kelompok A1) Pertanyaan : 1. Apa faktor yang memicu terjadinya kerusuhan sosial dengan indicator agama, contoh kasus ambon? Jawaban : 1. Faktor yang memicu terjadinya kerusuhan social dengan indicator agama pada kasus ambon antara lain : a. Kekerasan atas nama agama yang terjadi di (ex: Ambon) adalah sebuah bentuk kekerasan sosial yang menggunakan agama, baik sebagai subyek maupun obyek yang memicu terjadinya kekerasan. Kekerasan atas nama agama menyebar dengan cepat dan berlaku komunal karena dipicu tiga faktor, yaitu kesalahan memahami doktrin agama yang dilakukan pemeluk agama, kesalahan memahami komunikasi agama dan kesalahan menggunakan sentimen agama. b. Kesalahan yang berakar pada doktrin agama menyebabkan doktrin agama yang memberikan peluang berbuat kekerasan dipahami secara serampangan dan dianggap sebagai konstruksi kuat melegalkan kekerasan. Kesalahan komunikasi agama memicu perbedaan doktrin agama yang dipahamipemeluknya bersifat eksklusif dan menganggap agama lain sebagai saingan, penghalang dan musuh yang harus dilenyapkan.

D. Indikator Pancasila (pertanyaan dari kelompok A4) Pertanyaan : 1. Berdasarkan dari pernyataan yang telah dijelaskan, dapat diartikan bahwa sebenarnya akar dari permasalahan bermula dari kesalahan para pemimpin Negara yang akhirnya menyebabkan kerusuhan di berbagai aspek kehidupan. Padahal bila ditelusuri lagi seharusnya para pemimpin sudah
103

berideologi Pancasila. Bagaimana menurut kelompok anda dan bagaimana cara menyikapinya? Jawaban : 1. Seiring dengan modernisasi, globalisasi, dan reformasi, sebagian budaya positif mulai tercemar dengan budaya luar yang tidak sesuai dengan jati diri bangsa kita. Persoalan budaya dan karakter bangsa yang mendesak untuk dihadapi dan dipikirkan alternatif pemecahannya. Terutama kasus korupsi, penggunaan kekerasan fisik, kejahatan seksual, perusakan, kehidupan ekonomi yang konsumtif, serta kehidupan politik yang tidak produktif. Pancasila perlu diaktualisasikan oleh dan bagi bangsa Indonesia karena banyaknya dampak negatif kebijakan otonomi daerah (seperti timbul ego daerah, primordialisme sempit) sebagai akibat dari sempitnya pemahaman Pancasila, terjadinya degradasi nilai-nilai kekeluargaan dan tenggang-rasa di masyarakat, serta disalahgunakan implementasinya oleh penguasa sehingga legitimasinya sudah pada titik nadir (antiklimaks). Pancasila perlu diaktualisasikan oleh dan bagi bangsa Indonesia karena banyaknya dampak negatif kebijakan otonomi daerah (seperti timbul ego daerah, primordialisme sempit) sebagai akibat dari sempitnya pemahaman Pancasila, terjadinya degradasi nilai-nilai kekeluargaan dan tenggang-rasa di masyarakat, serta disalahgunakan implementasinya oleh penguasa sehingga legitimasinya sudah pada titik nadir (antiklimaks). Seperti pada kasus Sape, Bima, salah satu efek dari otonomi daerah adalah tidak jelasnya intervensi yang harus diambil oleh Pemerintah Provinsi kepada Pemerintah Kota dan Kabupaten bila terjadi hal-hal seperti ini. Jajaran pemerintah provinsi seolah-olah hanya menunggu apa yang akan terjadi, kemudian baru merumuskan langkah-langkah pascakejadian, belum bisa lebih jauh melakukan intervensi sebelum kasus terjadi padahal seharusnya dengan perangkat yang ada bisa dioptimalkan peran intelijen
104

dan arapat yang ada untuk megantisipati segala musibah dan kerusuhan yang terjadi. Dalam ranah sorotan kepemimpinan ini ada beberapa hal yang harus diperhatikan yaitu kepemimpinan Bupati, seolah-olah menjadi kepemimpinan yang absolut tanpa mau dan tidak peduli dengan semua masukan yang telah diberikan kepadanya untuk menjada kondosivitas masyarakat. Hal ini tampak dari rekomendasi dari KOMNAS HAM, yang diabaikan oleh Bupati Bima sebelum kejadian berlangsung. Dan seolaholah bupati menjadi raja kecil yang semua keputusannya menjadi titah yang haram untuk ditinjau ulang bahkan dicabut. Bupati kurang melakukan antisipasi psikologis dan sosial dan hanya mengedepankan kepentingan ekonomi sesaat yang tentu hal ini berpihak pada perusahaan yang tentu akan hanya memperkaya individu-individu tertentu. Kedua, kepemimpinan provinsi yang hanya bisa wait and see terhadap persoalan yang terjadi di Kabupaten Bima, hal ini karena efek dari otonomi daerah, pemerintah provinsi dan jajarannya hanya mampu melakukan sebuah langkah-langkah pasca kerusuhan karena khawatir dikatakan ikut mengintervensi kebijakan yang diambil oleh pemerintah kabupaten Dalam hal ini pengambilan keputusan akan lebih efektif jika anggota masyarakat yang bersangkutan (keluarga korban), tokoh masyarakat, tokoh agama, tokoh pemuda, para pimpinan Polri, pimpinan TNI, serta pemerintah pusat dan daerah, berunding untuk menentukan keputusan yang tepat. Oleh sebab itu jalur diskusi yang telah dilakukan antar elemen masyarakat dinilai tepat sebagai salah satu upaya psikologis untuk mengembalikan situasi kondusif. Kelompok masyarakat akan lebih terbuka mengungkapkan pikiran, perasaan, pendapat, informasi dan ideide mereka jika tingkat kepercayaan tinggi. Diharapkan jalur diskusi yang mempertemukan dua kubu tersebut dapat berlangsung secara periodik. Penyelesaian dengan cara tersebut sebagai salah satu implikasi nyata yang menunjukkan diterapkannya sila Pancasila ke empat yakni kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan
105

perwakilan. Seorang pemimpin seharusnya mengutamakan musyawarah untuk mencapai mufakat, seperti yang terkandung dalam nilai pancasila tersebut. Selain itu, nilai pancasila pada sila ke lima, yakni keadilan bagi seluruh rakyat, juga tetap harus ditegakkan, maksudnya adalah kalaupun negosiasi tidak dapat dilakukan, setidaknya pemimpin harus mengambil keputusan yang memberi kebaikan kepada kedua pihak, supaya masyarakat merasa diperlakukan adil. Apabila dengan cara tersebut tidak dapat dilakukan, maka penyelesaiannya adalah dengan melaporkan ketidakadilan tersebut pada aparat yang lebih berkuasa dan lebih berwenang untuk menyelesaikan masalah tersebut. Jika memang dirasa tidak bisa dilakukan lagi, maka demonstrasi bisa menjadi salah satu alternatif untuk mengutarakan suara. Hal ini sah-sah saja dilakukan selama para demonstran masih bisa mengendalikan diri dan mau mentaati peraturan dalam melakukan demonstrasi dan tidak berlaku anarkis. Sesungguhnya, demonstrasi tidak selalu berdampak buruk, tetapi juga ada sisi positifnya, seperti pada masa Soeharto, disamping dampak buruknya terhadap perekonomian maupun kalangan etnis tertentu, demonstrasi besar tersebut mampu menngakhiri masa pemerintahan kalut presiden Seharto dan menjadi awal dimulainya masa demokrasi yang sebenarnya.

106

DAFTAR PUSTAKA

Budhisantoso, S. 2012. Pancasila sebagai Paradigma Pembangunan Kebudayaan Bangsa. Available at http://lppkb.wordpress.com/2008/06/19/pancasilaparadigma-bangsa/ Edison, S. 2012. Rusuh Bima Karena Aparat Ragu. Available at

http://www.wartasemesta.com/priyo-rusuh-bima-karena-aparat-ragu/ Habibi, Muazar. 2012. Upaya Psikologis Mewujudkan Situasi Kondusif Pascakerusuhan di Pelabuhan Sape . Available at

www.suarantb.com/2012/01/12/Sosial/detil5%201.html Prawidya, Annisa. 2010. Era Globalisasi dan Ketahanan Nasional. Available at http://annisaprawidya1991.blogspot.com/2010/04/era-globalisasi-danketahanan-nasional.htm Primoraharahap. 2009. Strategi Pertahanan Nasonal Bangkit dari Krisis. Avialable at http://umum.kompasiana.com/2009/04/23/strategi-ketahanannasional-bangkit-dari-krisis/ Salmony, Rooy John. Kerusuhan Ambon sebagai Konflik Sosial, (10 Agustus

http://www.suaramerdeka.com/harian/9908/11/kha2.htm 2009) Satori, Akhmad.

Konsep Ibn Khaldun tentang Pemerintahan dan Negara,

htp//politepress. Blogsport.com/2007/N//new-artcle 2-25.htmi (5 Pebruari 2009)

107

Tunny, Aziz. Nadi Toleransi di Lumbung Konflik, Pela-Gandong Salam-Sarane, source: 2006) http://www.geocities.com/lokkie2005/rvp070306.htm (5 Maret

108

Anda mungkin juga menyukai