Anda di halaman 1dari 5

Dinamika Politik Lokal di Era Reformasi

Desentralisasi dianggap sebagai gejala yang wajar dari sebuah negara yang menerapkan sistem
demokrasi. Proses semacam itu merupakan kecenderungan yang tak terhindarkan dari demokrasi
politik yang menghendaki adanya perluasan partisipasi dan pemberian otonomi bagi masyarakat
lokal. Dalam konteks Indonesia pascapemerintahan Suharto, desentralisasi—yang muncul
bersamaan dengan Reformasi 1998 itu—menjadi salah satu unsur pembeda paling elementer
dibanding era Orde Baru. Struktur ekonomipolitik Orde Baru yang tertutup dan terpusat segera
berubah dan berganti menjadi lebih terbuka dan terdesentralisasi. Desentralisasi tidak saja telah
menjadi “kata kunci” dalam perumusan kebijakan publik saat ini, tetapi juga menjadi “mantra suci”
dalam dunia politik. Agaknya, terdapat semacam kesamaan cara pandang di kalangan mereka yang
menamakan diri “kaum reformis” bahwa upaya mewujudkan demokrasi pasca-Suharto memerlukan
pembukaan ruang lebih luas bagi tumbuhnya prakarsa masyarakat lokal untuk berpartisipasi dalam
proses pengambilan keputusan.

Penting untuk digarisbawahi bahwa proses demokratisasi di Indonesia pasca-Suharto, yang diikuti
desentralisasi, memperoleh dukungan kuat dari berbagai lembaga pembangunan internasional.
Kuatnya dukungan itu didasarkan pada kenyataan bahwa konsep desentralisasi memang merupakan
salah satu core terpenting dalam aliran pemikiran neointitusionalis yang dianut oleh berbagai
lembaga pembangunan internasional, khususnya Bank Dunia. Runtuhnya tembok Berlin di tahun
1989 membuat lembaga-lembaga pembangunan internasional penganjur pasar bebas seolah
menemukan “bukti” yang meyakinkan tentang kebangkrutan sistem komunis. Oleh karenanya, pasar
bebas dan demokrasi liberal — dengan desentralisasi sebagai salah satu unsur penopangnya —
segera diproklamisasikan sebagai satu-satu jalan yang dapat menjamin kemaslahatan publik.

Sistem ini tidak saja dipandang lebih favorable bagi kepentingan masyarakat, tetapi juga lebih
menjamin tegaknya demokrasi “sejati”. Pentingnya tema desentralisasi dalam buku ini terletak pada
kenyataan bahwa fenomena yang memberikan ruang partisipasi bagi warga lokal, termasuk dalam
pemilihan umum kepala daerah, merupakan praktik politik yang relatif baru di Indonesia. Di sisi lain,
berbagai lembaga pembangunan internasional secara aktif juga turut serta memberi dukungan
terhadap kebijakan ini. Sejak reformasi bergulir pada 1998, sejumlah dana dari berbagai lembaga
pembangunan internasional secara khusus dialokasikan dalam rangka mempercepat proses
desentralisasi.

Tidak diragukan lagi bahwa upayaupaya yang dilakukan oleh berbagai lembaga pembangunan
internasional itu memang sungguh- sungguh menghendaki sebuah Indonesia yang tidak lagi dikelola
secara terpusat. Secara khusus buku karya Vedi R Hadiz ini menyoroti desentralisasi sebagai
fenomena politik pasca-Orde Baru. Dalam mengangkat tema ini, Vedi juga menyertakan beberapa
kasus desentralisasi di sejumlah negara Asia Tenggara yang memiliki beberapa karakteristik agak
serupa dengan Indonesia. Salah satu dasar pertimbangan Vedi dalam menulis buku ini terletak pada
keinginannya untuk memeriksa sejauh mana kesahihan klaim kelompok-kelompok pendukung aliran
pemikiran neoinstitusionalis yang mengambil posisi membela desentralisasi tidak saja melalui
penyajian fakta empiris, tetapi juga lewat review teoretis.
Dalam pandangan Vedi, model penjelasan teori neo-institusionalis yang menjadi pijakan konsep
desentralisasi itu pada dasarnya merupakan varian dari teori-teori modernisasi dan struktural-
fungsional. Aliran pemikiran ini umumnya memahami perubahan dengan tekanan kuat pada peran
aktor dan kemampuan teknokrasi. Oleh karenanya, perspektif pemikiran ini sengaja mengabaikan
analisis yang menekankan kekuatan-kekuatan sosial (social forces) serta pentingnya dimensi sejarah.
Padahal,di hampir semua proses pengambilan keputusan, termasuk pilihan terhadap desentralisasi,
sesungguhnya memperlihatkan berbagai bentuk pertarungan politik. Desentralisasi sendiri pada
dasarnya bukanlah sejenis instrumen netral yang secara tiba-tiba dapat mengantarkan kemaslahatan
publik, sebagaimana yang dibayangkan oleh para pendukung aliran pemikiran neo-institusionalis.

Sebagaimana diamati Vedi, suasana pada masa-masa awal Indonesia pasca-Suharto memang cukup
memberikan keyakinan bahwa terwujudnya desentralisasi sejati hanyalah soal waktu. Namun
demikian, bersamaan dengan tahun-tahun reformasi yang terus berjalan, indikasi yang mengarah
pada terwujudnya desentralisasi dalam arti sesungguhnya tak kunjung menjadi kenyataan,
setidaknya hingga lebih dari dari satu dasawarsa ini.

Fakta-fakta yang diungkap Vedi dalam buku ini memperlihatkan bahwa meskipun era pasca-Suharto
ditandai oleh liberalisasi politik yang disertai dengan desentralisasi, namun kecenderungan
semacam itu tidak dengan sendirinya mampu mengubah relasi kekuasaan politik secara signifikan.
Hal ini terutama dapat diamati pada kelompok-kelompok masyarakat yang selama ini berada di
lapisan paling bawah dalam struktur piramida sosial di Indonesia.

Kelompok-kelompok semacam ini — yakni, buruh, petani, nelayan, dan kaum miskin kota — pada
dasarnya tetap sulit untuk mengartikulasikan kepentingannya sekalipun terdapat ruang politik relatif
lebih terbuka dibanding era Suharto. Pertanyaannya tentu saja adalah mengapa dan bagaimana hal
itu dapat terjadi?

Jatuhnya Suharto di pertengahan tahun 1998 yang dianggap merupakan momentum awal memasuki
era reformasi oleh kebanyakan analis diyakini sebagai motor penggerak yang akan membawa
Indonesia mengakhiri politik terpusatnya menuju terwujudnya desentralisasi dan partisipasi
masyarakat lokal dalam pengambilan keputusan. Secara ideal dapat diasumsikan bahwa terbukanya
ruang politik di era pasca-Suharto yang, antara lain, dimungkinkan berkat desentralisasi tentu akan
memberi kesempatan kepada kelompok-kelompok yang selama ini termarjinalkan untuk
mendesakkan kepentingannya. Namun, asumsi semacam itu terbukti keliru. Fakta memperlihatkan
bahwa proses ekonomi-politik yang terjadi umumnya tidak berada pada posisi berpihak pada
kelompok-kelompok lapis bawah, terutama di tingkat lokal.

Sebaliknya, kelompok-kelompok dominan yang awalnya diperkirakan akan mengalami pukulan telak
sebagai akibat gerakan reformasi terbukti tetap memegang kendali jalannya kekuasaan ekonomi
dan politik di tingkat lokal.
Kelompok-kelompok dominan yang mengendalikan jalannya proses ekonomi-politik di tingkat lokal
ternyata bukan “pendatang baru”. Pada era sebelum reformasi, kelompok-kelompok itu merupakan
mata rantai tingkat lokal dari rezim neofasis Orde Baru. Jika pada masa sebelum reformasi mereka
sepenuhnya bekerja untuk kepentingan rezim Orde Baru sambil sesekali mencuri kesempatan untuk
mengamankan kepentingan sendiri, pada era Reformasi kelompok-kelompok ini dapat sepenuhnya
mengambil keuntungan yang diberikan oleh desentralisasi sambil tetap memelihara hubungan
kepentingan dengan rekan-rekan mereka di Jakarta.

Era desentralisasi juga membuka kesempatan baru untuk melakukan aliansi politik. Ideologi atau
aliran politik saat ini ternyata bukan merupakan sekat yang mampu menghalangi aliansi-aliansi
kepentingan di tingkat lokal. Demikianlah, melalui kesempatan yang diberikan lewat pemilihan
umum kepala daerah, sebagai konsekuensi tak terelakkan dari desentralisasi, berbagai kelompok
kepentingan yang umumnya merupakan bekas pendukung rezim Orde Baru dengan cepat
mengambil peluang itu untuk tetap mempertahankan kepentingan ekonomi-politiknya. Di sisi lain,
dalam rangka memobilisasi dukungan politik, kelompok- kelompok dominan tidak mengajukan
tawaran rasional-kritis yang berisi rancangan hari depan yang berkeadilan bagi masyarakat
setempat.

Hal yang menjadi barang “dagangan” kelompok-kelompok dominan di tingkat lokal untuk meraih
dukungan adalah uang dan kekerasan, yang kadang kala diimbuhi dengan upaya mempercantik
wajah di media massa. Dominasi kelompok-kelompok lama dalam proses-proses ekonomi-politik di
tingkat lokal pasca-Suharto di satu sisi serta lemahnya kelompok-kelompok masyarakat lapis bawah
di sisi lain, menurut pengamatan Vedi, merupakan sebuah warisan historis yang akar-akarnya dapat
ditelusuri pada periode Orde Baru. Tidak diragukan lagi, pengalaman disorganisasi dan
deideologisasi sistematik terhadap berbagai kekuatan masyarakat sipil di bawah kediktatoran Orde
Baru yang berlangsung selama lebih dari tiga dasawarsa itu memiliki konsekuensi politik cukup
serius. Oleh sebab itu, tidaklah mengherankan apabila berbagai kelompok masyarakat sipil,
terutama kalangan masyarakat lapis bawah, tidak terlalu siap dengan agenda-agenda transformatif
ketika peluang mulai terbuka bersamaan dengan lengsernya Suharto dari kekuasaan.

Sementara itu, terbukti pula bahwa gelombang reformasi ternyata tidak cukup memiliki kemampuan
untuk menyapu bersih kelompok-kelompok dominan “bekas” pendukung rezim Orde Baru, termasuk
mereka yang berada di tingkat lokal. Bahkan, kelompok-kelompok ini mampu menyesuaikan diri
terhadap logika reformasi. Melalui kerangka kelembagaan baru di era reformasi — yakni, partai
politik, pemilu lokal, parlemen dan desentralisasi pemerintahan — kelompok-kelompok dominan
dengan cepat melakukan penataan-diri kembali dan tetap memiliki akses sangat kuat terhadap
proses ekonomi-politik di berbagai wilayah di Indonesia.

Dengan demikian, bentuk-bentuk perubahan kelembagaan politik pasca-Suharto yang tampaknya


memberi semacam isyarat awal bahwa Indonesia tengah memasuki gerbang demokrasi yang lebih
terdesentralisasi dan partisipatif, ternyata bergerak ke arah “lain”.
Hingga hari ini, lembaga-lembaga demokrasi hasil reformasi tetap kebal dari kepentingan mayoritas
masyarakat lapis bawah — sekalipun telah tersedia ruang artikulasi yang relatif lebih terbuka dan
lebih terdesentralisasi. Di samping itu, kehadiran lembaga-lembaga demokrasi tidak serta-merta
diiringi dengan munculnya praktik politik yang lebih beradab, melainkan ditandai oleh merajalelanya
praktik politik uang, eksploitasi simbol-simbol identitas melalui jalur etnis dan agama, serta
kekerasan dan premanisme. Penting pula untuk dicatat bahwa penerapan desentralisasi
menyuburkan sentimen kedaerahan yang terkadang meletup melalui cara-cara kekerasan.
Sementara itu, “perubahan” di bidang ekonomi pasca-Suharto juga tidak disertai munculnya rule of
law, transparansi, dan akuntabilitas publik, sebagaimana layaknya sistem ekonomi pasar bebas,
melainkan justru menyuburkan praktik korupsi kolusi dan nepotisme (KKN) gaya baru. Kesemuanya,
menurut pengamatan Vedi, ditengarai telah dilakukan oleh pelaku-pelaku lama beserta segelintir
sekutu baru mereka yang datang belakangan. Ini berarti arah perubahan ekonomi-politik pasca-
Suharto sama sekali tidak bergerak ke arah model pasar bebas beserta kembaran alamiahnya:
demokrasi liberal.

Dari berbagai gejala yang dapat diamati secara kritis dapat disimpulkan bahwa perubahan ekonomi-
politik pada era pasca-Suharto sesungguhnya hanya terjadi pada tingkat kelembagaan dan bentuk.
Partai politik, pemilihan umum, parlemen, dan desentralisasi pemerintahan telah menjadi sarana
baru untuk melanggengkan dominasi kekuasaan ekonomi-politik.

Kenyataan semacam ini jelas merupakan sebuah ironi yang menyakitkan: lembaga-lembaga
demokrasi hasil reformasi itu ternyata tidak berada di tangan kaum reformis, melainkan berada
dalam genggaman kelompok-kelompok yang kepentingannya justru berseberangan dengan cita-cita
reformasi.

Walaupun Vedi mengakui bahwa kekuasaan tersentralisasi tak lagi menjadi ciri politik era sekarang,
hal itu tidak dengan sendirinya merupakan keruntuhan bagi kelompok-kelompok eks rezim Orde
Baru. Kelompok yang oleh Vedi dijuluki sebagai “predator” itu merupakan pewaris utama yang
sesungguhnya dari reformasi ekonomi-politik pasca-Suharto. Perbedaannya dengan era Orde Baru
hanya terletak pada bentuk kekuasaan yang relatif lebih cair, terbuka, dan terdesentralisasi.

Dengan latar fakta semacam itu, tidak terlalu berlebihan kiranya jika dikatakan bahwa lembaga-
lembaga demokrasi, termasuk desentralisasi, bukan merupakan senjata ampuh yang dapat mengikis
atau bahkan melenyapkan kepentingan ekonomi-politik kelompok-kelompok dominan —
sebagaimana yang telanjur diyakini oleh kebanyakan analis dan para penganut perspektif pemikiran
neo-institusionalis. Sebaliknya, lembaga-lembaga semacam itu justru menjadi instrumen yang cukup
efektif, meski sedikit mahal dari segi ongkos sosial, untuk tetap mempertahankan sebuah dominasi
kekuasaan ekonomi-politik.

Dengan demikian, iklim politik yang terdesentralisasi, terbuka yang disertai dengan sistem
multipartai ternyata bukan sesuatu yang menakutkan bagi kelompok-kelompok dominan. Di masa
lalu, saat kaum reformis memperjuangkan soal ini, kelompok-kelompok dominan boleh jadi merasa
terancam. Namun, ketika terjadi proses perubahan sebagai akibat jatuhnya Suharto, iklim politik
yang terbuka dan sistem multipartai justru beralih menjadi sarana yang dapat digunakan untuk
melanggengkan kekuasaan kelompok-kelompok dominan. Intisari yang ingin disampaikan Vedi
dalam berbagai kajiannya tentang perubahan ekonomi-politik pasca-Suharto melalui buku ini adalah
bahwa dominasi segelintir orang terhadap mayoritas lainnya compatible dengan lembaga dan
prosedur demokrasi dan desentralisasi.

Pada sisi lain, keniscayaan akan terjadinya transformasi besar-besaran ekonomi-politik pasca-
Suharto, sebagaimana dianut oleh para pendukung teori neo-institusionalis, semata-mata hanya
karena didasarkan pada gejala perubahan di tingkat kelembagaan jelas merupakan kenaifan
tersendiri.

Sumber : https://prismajurnal.com/issues1.php?id=bf308512-56bf-11e3-a6cc-429e1b0bc2fa

Anda mungkin juga menyukai