Anda di halaman 1dari 29

Bagian I Kelengahan inilah yang menjadikan kekuatan lama Orde Baru kembali mampu

mengkonsolidasikan kekuatan, sehingga mereka memiliki ruang lebih bebas untuk kembali mengontrol
Potret Buram Gerakan PMII jalannya perubahan menurut model dan langgam otoritarianisme seperti yang telah mereka pertontonkan
selama 32 tahun lamanya. Divestasi Indosat, kebijakan pemerintah mengeluarkan Release & Discharge
(R&D), kegagalan menarik capital flight para konglomerat, lepasnya Sipadan-Ligitan, hingga kehendak
Distorsi Reformasi dan Macetnya Transisi Demokrasi pemerintah untuk menalangi dana rekap obligasi para konglomerat hitam sebesar Rp. 60 trilyun dengan
Indonesia kolaps, denyut perubahan di negeri seribu pulau ini mengarah pada gerak mundur, menghapus subsidi kepada rakyat sembari menaikkan harga BBM, TDL dan tarif telepon adalah wujud
menyimpang dari cita-cita perjuangan kemerdekaan dan reformasi. Krisis multidimensional yang telah ketidakmampuan penyelenggara negara mengemban amanat reformasi.
menghinggapi bangsa Indonesia sejak krisis ekonomi 1997 (6 tahun lampau) semakin hari kian parah Peta politik dalam negeri semakin terpuruk dalam kondisi kekacauan, sehingga bangsa ini
dan diprekdisikan akan berubah menjadi tragedi nasional. Indikator nyata dari itu semua sangat tampak tampak gagap menyikapi perkembangan mutakhir dunia internasional. Apalagi dalam merumuskan
di permukaan kehidupan masyarakat Indonesia. Fenomena ini terjadi sejak reformasi mengalami kebijakan politik luar negeri agar Indonesia memperoleh dukungan internasional agar segera dapat keluar
pendarahan (bleeding), yakni sejak mahasiswa sebagai bintang lapangan penjatuhan rezim Orde Baru dari krisis mutidimensional yang mengancam integritas nasional bangsa Indonesia. Bom Bali, deportasi
mulai tergeserkan posisinya oleh para elit-elit politik baru (elit lama berganti baju?), sampai reformasi TKI, lepasnya Sipadan-Ligitan, serta ketidakmengertian pemerintah Indonesia bahwa setelah era cold war
menjadi saksi bisu jatuh bangunnya kepemimpinan sipil mulai dari Habibie, Gus Dur hingga Megawati berakhir, maka terorisme internasional telah menggantikan konflik ideologi dalam perang dingin. Isu ini
(?) sekarang ini. sekarang sangat menentukan jatuh bangunnya sebuah pemerintahan serta pemulihan ekonomi negara-
Kegagalan recovery ekonomi dan membangun kembali kepercayaan dunia internasional negara yang bergantung pada bantuan keuangan Negara Industri Maju (NIM) ataupun International
(international trust) akibat tidak ada kata sepakat dari seluruh stake holder perekonomian nasional atas Monetery Fund (IMF). Para pemegang / pelaksana kebijakan di Indonesia kurang menyadari situasi dan
konsep, strategi dan solusi pemulihan ekonomi model apa yang mesti diterapkan di Indonesia turut struktur internasional di atas, sehingga gagal merumuskan dan memainkan diplomasi internasional yang
memperparah keadaan. Dua persoalan di atas berkelindan dengan remuknya sistem hukum dan peradilan tepat dan strategis agar peristiwa semcam deportasi TKI dan tragedi bom Bali mampu dihindarkan
serta bobroknya moral attitude aparatur hukum nasional, akibatnya berbagai tindak KKN, kejahatan Transisi demokrasi yang mestinya dilakukan masyarakat Indonesia pasca lengsernya rezim
politik, ekonomi, sosial, dan HAM tidak mampu dijerat dengan sistem hukum yang berlaku di otoriterianistik Orde Baru, dengan realitas negara seperti di atas, dipastikan tak kunjung terjadi. Gerak
Indonesia. demokratisasi di Indonesia justru menjadi tak beraturan dan berjalan sangat lamban menuju terciptanya
Dalam konteks politik, sejak reformasi digelar, Indonesia kembali dicekoki oleh kembalinya tatanan pemerintahan dan politik demokratis seperti yang dikehendaki oleh bangsa ini dalam preambule
ideologi politik lama ke pasar politik baru. Euphoria reformasi telah menghilangkan kesadaran kritis UUD NKRI. Pembangunan institusi demokrasi, konstitusionalisme sebagai prasyarat terbentuknya negara
para elit-elit politik baru dan lama dalam mengusung simbol politik aliran masa lalu ke pusaran politik demokrasi, konsolidasi kekuatan sipil, dan kultur demokrasi, terutama kalah oleh nafsu berkuasa para
pasca berhentinya Soeharto. Kelompok nasionalis dan Islam paling banyak melahirkan partai-partai penumpang gelap reformasi yang selama ini tertindas oleh proses rezimentasi kekuasaan Orde Baru.
politik. Sedangkan yang mencoba kembali dengan aliran sosialisme (dari klasik hingga modern) Minimal ada lima indikator yang dapat diketengahkan untuk membuktikan bahwa transisi
terkapar tanpa pendukung dalam Pemilu 1999 lalu. demokrasi di Indonesia tidak berjalan ke arah terciptanya negara demokrasi yang sesungguhnya. Transisi
Akibatnya, bangsa ini melahirkan parados tampilnya elit penguasa sipil yang not in touch with demokrasi di Indonesia justru melahirkan rezimentasi elit gaya baru dengan memakai selubung
people, tak tersentuh oleh rakyat. Tidak saja dalam domain sistem politik dan pemerintahannya saja demokrasi. Pertama, rapuhnya sistem perekonomian pemerintahan Mega-Hamzah. Hal ini ditandai dengan
yang mengalami trial and error, detak tumbuhnya kekuatan sipil yang mampu mengontrol jalannya tingginya ketergantungan ekonomi Indonesia atas bantuan asing dan ketidaksungguhan pemerintah
kekuasaan juga tak kunjung terbentuk. Semua gagasan-gagasan luhur tentang demokrasi, civil society, mengoptimalkan mobilisasi dana dari dalam negeri sendiri, pertumbuhan ekonomi kita masih sangat
civilian supremacy, ekonomi kerakyatan, dan law enforcement hanya berhenti ditingkat kata-kata, turats bergantung pada konsumsi, belum lagi kebocoran APBN yang mencapai 20% lebih serta kegagalan
perundangan, dan seminar-seminar belaka. menarik investasi langsung (direct investation) dan menghidupkan sektor riil. Faktor lain yang membuat
rapuhnya sistem perekonomian adalah tidak adanya kata sepakat antara pemerintah, parlemen dan seluruh
pihak di luar pemerintah yang memiliki kekuatan mengendalikan dan mempengaruhi tentang sistem dan
kebijakan ekonomi yang mesti dijalankan pemerintah dan didukung bersama-sama.
Kedua, polarisasi di seluruh kekuatan politik sipil tak bisa diatasi pemerintahan Mega-Hamzah.
Pengkotak-kotakan ideologi politik di masyarakat menjadi kekuatan politik yang sulit diatasi. Hal inilah
yang menjadi salah satu pemicu destabilitasi politik nasional, padahal stabilitas politik menjadi syarat
utama proses recovery ekonomi Indonesia. Menguatnya gerakan Islam politik, tribalisme dan fungsi dan peran kesejarahannya. Lihat saja, dalam setiap perbincangan para kader PMII di semua lini
sektarianisme politik adalah beban tersendiri transisi demokrasi di Indonesia. organisasi selalu diwarnai dengan ketidakpuasan atas kondisi dan kinerja PMII yang semakin rigid dan
Ketiga, lumpuhnya sistem hukum, sehingga ratusan persoalan hukum tak mampu gamang terhadap perkembangan kontemporer maupun sulitnya para pengurus menjawab pertanyaan kader-
terselesaikan. Diskriminasi dan manipulasi hukum justru kerapkali terjadi karena hukum tidak mampu kader (mahasiswa) baru, semisal PMII itu sebetulnya mahkluk apa?
berdiri secara independen. Belum tertangkapnya beberapa obligor besar/konglomerat hitam, tidak Hampir semua para pengurus dan aktivis PMII akan berbicara tentang sisi normatif idealistis
adanya jerat hukum atas white collar crime, serta kebobrokan moral para aparatus hukum Indonesia bahwa PMII itu adalah sebuah organisasi mahasiswa pejuang demokrasi, HAM dan ke Islaman yang
merupakan indikasi kongkrit ruwetnya reformasi hukum dan peradilan Indonesia. berkeindonesiaan dengan pola gerakan yang dilandasi paradigma kritis transformatif, bersumber dari
Keempat, tidak adanya transparansi dalam penyelenggaraan negara dan diterimanya partisipasi ajaran Islam Aswaja yang lebih liberal, inklusif, tidak literal dan anti ortodoksi. Namun, ketika mereka
politik warga secara penuh. Sebab, tanpa transparansi regulasi politik, hukum, ekonomi dan budaya, melanjutkan pertanyaannya, apa bentuk riil (prakis) dari semua itu yang bisa dirasakan nyata seluruh umat
maka dukungan penuh rakyat atas berbagai kebijakan yang diambil para elit pemerintahan ataupun dan banga Indonesia? Barulah kemudian para aktivis (pengurus PMII) berusaha mencari pembenar
parlemen hanya akan berbalik menjadi bumerang bagi kelangsungan pemerintahan itu sendiri. (bahkan truth claim) tentang apa yang telah PMII perjuangkan dan peran sertanya dalam membumikan
Demonstrasi besar-besaran mahasiswa dan kekuatan sipil lain, serta tidak adanya satu suara para sekeranjang idealisme, nilai-nilai dan paradigma PMII itu sendiri.
pembantu presiden (kabinet) adalah salah satu contoh nyata tidak adanya transparansi tersebut. Apalagi jika mereka menyoal berapa jumlah kader PMII yang menjadi pejabat negara? ahli
Kelima, lemahnya diplomasi internasional Indonesia, deportas ratusan ribu TKI, tragedi bom ekonomi, ahli lingkungan, iptek dan hukum? Yang terjadi selanjutnya adalah kegagapan aktivis PMII untuk
Bali, dan ketentuan wajib lapor warga Indonesia di AS sebenarnya tidak akan terjadi, jika pemerintah menyebutkan siapa sih alumni PMII yang ahli di berbagai bidang itu? Meski hal ini tidak menjadi ukuran
memiliki kecanggihan diplomasi internasional yang mampu meyakinkan publik internasional tentang utama out put pergerakan kita, namun tetap saja pertanyaan seperti ini muncul dari para mahasiswa baru.
posisi dan kesungguhan bangsa Indonesia dalam melakukan reformasi menyeluruh di segala bidang Gambaran di atas adalah sekelumit dari kegelisahan-kegelisahan kader PMII hampir di semua
demi tegaknya demokrasi. lini organisasi mulai dari Pengurus Besar (PB) hingga komisariat dan rayon. Belum lagi, jika PMII ditanya
masalah peran kesejarahan PMII yang kongkrit disumbangkan untuk bangsa dan agama? Maka dipastikan
kegelisahan ini menjadi lautan kegalauan dan kekecewaan yang menjadikan diri kita kadang-kadang
PMII : Student Movement yang a-historis ?
gamang melihat realitas gerakan PMII itu sendiri.
Adagium teori sosial menyatakan, sesuatu akan tetap ada kalau dia berfungsi, kalau sampai
Para founding fathers PMII mendirikan organisasi ini tidak pada ruang kosong dan terpisah dari
hari ini PMII ada, maka berarti ia berfungsi. Kemudian banyak pihak menggugat, fungsi apa yang
realitas sejarah. Para sahabat-sahabat kita yang lebih dahulu menjadi kader dan pengurus PMII juga telah
sedang dilakoni PMII? Apa sumbangsih kongkritnya bagi bangsa ini? Bagi demokrasi, pluralisme, dan
memberikan landasan idiil dan paradigmatik apa dan bagaimana sebenarnya PMII itu serta model gerakan
kemanusiaan? Jangan-jangan PMII tak lebih sekedar wadah berekspresi dari anak muda NU yang
apa yang akan dilahirkannya. Namun tetap saja organisasi ini dinilai oleh banyak kalangan masih saja
sedang mengenyam pendidikan di perguruan tinggi yang memang umatnya memiliki kecenderungan
dianggap belum begitu jelas dan bahkan akhir-akhir ini dianggap semakin kehilangan konteks dan
komunalisme, bergerombol pada organisasi yang memiliki ikatan historis dan kultural yang sangat lekat
urgensinya. Sebuah kecenderungan yang tidak boleh dibiarkan terus menggelembung menjadi kenyataan
dengan NU.
organisasi.
Tepisan bahwa PMII bukanlah lahan reproduksi kader bagi NU (maupun PKB), PMII adalah
Beberapa tahun lampau, setidaknya pada era 1990-an, organisasi ini dinilai oleh banyak pihak
sebuah organisasi kemahasiswaan yang berdiri dengan segebok idealisme, nilai-nilai dan paradigma
sebagai organisasi mahasiswa paling dinamis, liberal dan berani. PMII dinilai sebagai salah satu motor
gerakan tersendiri, yang kehadirannya diabdikan untuk perjuangan tanpa henti pada terwujudnya
utama anti kemapanan, pejuang demokrasi dan pembela wong cilik. Para kadernya adalah mereka-mereka
keadilan sosial, demokrasi, dan kemanusiaan mungkin hanya akan menjadi tanda tanya besar?.
yang sangat gila wacana. Pemikiran Arkoun, Hasan Hanafi, Ahmed An-Naim, Marx, Gramsci, Tan
Usaha berkali-kali untuk meyakinkan publik, bahwa PMII bukanlah underbouw NU,
Malaka, Foucoult, Derrida, hingga Che Guevara, menjadi santapan dan menu sehari-hari aktivis PMII.
melalui berbagai statemen, landasan hukum organisasi maupun wacana dan model gerakan, hingga hari
Hampir tidak ada aksi jalanan yang tidak menyertakan PMII, bermacam advokasi dan kerja pemberdayaan
ini belum mampu juga menggoyahkan opini umum bahwa PMII itu tidak bisa dipisahkan dengan NU.
masyarakat tertindas terjadi di berbagai daerah hingga mampu membawa organisasi ini menjadi salah satu
Realitas ini kemudian menjadi semacam beban kultural PMII terutama dalam merekrut anggota baru.
most wanted rezim Orde Baru.
Apalagi kecenderungan mahasiswa baru hari ini tidak lagi mempedulikan lagi apa itu NU,
Realitas sosial di atas menjadi fakta tak tergugat disebabkan kemampuan PMII dengan seluruh
Muhammadiyah, nasionalis dan sebagainya, kecuali di beberapa daerah yang memang menjadi basis
resources yang dimilikinya mampu berdialog secara kreatif dengan konteks dan historisitas sosial saat itu,
(umat) NU, Muhammadiyah ataupun lainnya.
sehingga elan vital gerakan begitu tampak menggeliat dalam kerja-kerja kongkrit demokrasi, kemanusiaan
Dus, tatkala PMII saat ini gerakannya terpolarisasi ke dalam berbagai bentuk, dan ditingkat
dan perjuangan mewujudkan keadilan. Meskipun pada zaman ini, kekurangan di sana-sini masih terlihat,
nasional-nya sedang mengalami fragmentasi kepentingan antar pengurus, bahkan menjadi berbilang
siapapun bisa menilai bahwa organisasi kader ini telah sanggup menyatukan dirinya dengan realitas
(pecah) kepengurusannya, PMII semakin kesulitan memberikan jawaban yang pasti terhadap publik atas
historis dan menjadi anak zamannya. Antara gerakan pemikiran dan gerakan jalanan bisa berpadu, lain, yudikatif sendiri belum mampu menjadi panutan. Hal ini ditunjukkan oleh semakin maraknya kasus
bergerak kreatif dan dinamis menjawab berbagai keruwetan dan persoalan hidup masyarakat dan bangsa korupsi yang justru juga dilakukan penegak hukum sendiri. Kasus kebohongan Kejagung MA. Rahman
Indonesia. ketika menyampaikan laporan kekayaan kepada KPKN, adalah bukti nyata dari masih suburnya KKN di
Indonesia.
Sadarkah kita, para aktivis PMII, bahwa bangsa ini sedang pingsan, erosi nasionalisme,
PMII dan Potret untouchable dinamika zaman impotensi pemerintahan, krisis kepemimpinan nasional, kecamuk ancaman desintegrasi, mandulnya hukum
Hari ini, PMII tidaklah seperti dulu lagi. Berbagai gerakan yang bernas dan mampu dan sistem peradilan. Parlemen lebih getol mengurusi agenda politik para anggotanya daripada
mempengaruhi jalannya sejarah kebangsaan dan keindonesiaan yang kerapkali dilakukan oleh aktivis menyelesaikan ratusan RUU dan berbagai produk regulasi, dunia intelijen Indonesia kacau, tingginya
PMII, tampaknya kini sudah mulai luntur seiring dengan semakin kuatnya tarikan pragmatisme jumlah pengangguran akibat deportasi TKI ataupun PHK telah membawa Indonesia hingga kini belum
kepentingan, konsumerisme dan semakin kecilnya semangat idealisme aktivis PMII. Bahkan, sinisme mampu mempetakan (melihat) masa depannya.
dari teman-teman gerakan mahasiswa lain mulai menerpa PMII (khususnya) tingkat nasional. Tuduhan, Di tengah-tengah makin kompleksnya persoalan-persoalan di atas, muncul pertanyaan sederhana,
bahwa organisasi ini lebih concern dengan urusan-urusan parpol dan kekuasan serta melupakan habitat di mana PMII dan apa yang dilakukan PMII ? Pertanyaan ini menjadi rasional, karena PMII yang men-
aslinya sebagai pejuang anti kemapanan yang sangat pro rakyat (mustadlafin) dan anti hegemoni, sudah deklarasi-kan dirinya sebagai entitas tak terpisahkan gerakan mahasiswa, justru tidak kelihatan. Meski
menjadi hal yang biasa. tidak semua aktivis PMII seperti itu, namun respon sosial PMII terhadap realitas di atas selama ini tampak
Terlepas tuduhan ini benar atau tidak, namun harus diakui bahwa tudingan ini sangatlah sporadis dengan gerakan yang patah-patah. PMII bergerak dengan isu, bukan pembuat isu, sehingga
menyesakkan dada kita semua. Apalagi, sampai hari ini belum ada upaya untuk mengcounter dengan gerakannya dinilai sebagian pihak sebagai bentuk gerakan reaktif dan counter isu belaka yang tak mampu
tindakan. Yang justru dilakukan hanyalah apologi dengan sejumlah pernyataan kering. Trend baru ini memberi sumbangsih kongkrit pada perubahan. PMII belum mampu mencandra teori dan konsep dari
berimplikasi pada kader-kader dan aktivis PMII di bawah. Di banyak daerah misalnya, aktifitas PMII pelontar isu itu sendiri. Dengan demikian, plat form gerakan PMII tidak menjadi muncul dan menjadi
seakan lebih banyak berhenti pada ritus-ritus strukturalistik organisasi, semenjak jatuhnya Soeharto, naik bahan pertimbangan oleh para stake holder negara (rakyat) maupun kekuasaan.
dan turunnya Gus Dur sebagai Presiden RI ke-4 hingga era Orde Baru jilid II pemerintahan Mega- PMII dianggap tidak mampu membumikan peran mahasiswa (seperti Arbi Sanit nyatakan)
Hamzah, gerbong PMII lebih terseret dalam dinamika politik praktis yang jauh dari dimensi moral sebagai intelektual dan intelektual-teknokrat, yakni; pertama, sebagai kekuatan korektif terhadap
gerakan. penyimpangan yang terjadi di dalam seluruh aspek kehidupan masyarakat dan pemerintahan. Kedua, PMII
Hiruk-pikuk reformasi yang diwarnai membludaknya jumlah parpol dan penetrasi kapitalisme belum mampu menjadi penerus kesadaran masyarakat luas akan problema yang ada dan menumbuhkan
global menuju one world telah sanggup meninabobokkan PMII untuk ikut terlibat bermain merasakan kesadaran kitis untuk menerima alternatif perubahan yang dikemukakan atau didukung oleh mahasiswa itu
enaknya kue kekuasaan. Gerakan PMII menjadi lebih politis (elit) dan kehilangan ruh gerakan sendiri, sehingga masyarakat berubah ke arah kemajuan.
(populis) serta semakin jauh dari rakyat yang mestinya dibela hak dan kepentingannya. PMII tak mampu
mengingatkan para mahasiswa dan elemen demokrasi pro reformasi, tatkala di tikungan jalan perubahan
Memudarnya Tradisi gila wacana
tiba-tiba muncul banyak penumpang yang seolah-olah telah diberi tongkat amanat oleh mahasiswa untuk
Salah satu keluhan yang menghinggapi aktifis PMII selama perjalanan saya ke berbagai daerah
melanjutkan perubahan dan reformasi. Pada gilirannya, situasi sekarang telah menunjukkan adanya
adalah menurunnya tradisi pergumulan intelektual. Tradisi baca yang seharusnya menjadi habit dan kultur
distorsi arah perjalanan reformasi dan tampilnya rezim otoriterianistik gaya baru a la Mega-Hamzah.
PMII lambat laun memudar terkalahkan oleh glamour dan hedonisnya penetrasi globalisasi, pragmatisme,
Lihat saja, Indonesia hari ini menjadi cerminan nyata dari lemahnya koordinasi untuk
konsumerisme dan budaya instan. Euphoria reformasi dan tajamnya laju teknologi serta informasi justru
menanggulangi berbagai bentuk konflik, krisis dan ancaman disintegrasi. Para elit eksekutif tidak satu
menjadi penyandera sikap kristis kader yang berakibat pada menurunnya semangat gila wacana kader
suara dan tampak berjalan sendiri-sendiri, tanpa payung kepemimpinan yang jelas dan terarah. Saat
PMII. Aktivis PMII justru dihinggapi budaya tulalit, gandrung akan berbagai produk-produk
bangsa membutuhkan kekompakan untuk menepis ancaman desintegrasi, aparat pengawal keamanan
modernisme dan teknologi informasi, semisal handphone dan sejenisnya.
seperti tentara dan polisi justru terjebak dalam persoalan pasca separasi TNI-Polri, baik soal anggaran,
PMII belum mampu lagi mereproduksi berbagai wacana aktual yang sangat dibutuhkan publik
rebutan lahan ataupun lainnya. Sementara itu, para politisi sibuk mempertahankan posisi dan makin
dalam merajut masa depan bersama. Berbagai proyek pemikiran cemerlang yang dulu digagas oleh
tidak peduli pada hukum. Ancaman terorisme yang ada cenderung ditutup-tutupi dan dijadikan bahan
sahabat-sahabat PMII seperti wacana demokratisasi, civil society, open society, post-tradionalisme Islam,
polemik. Padahal secara nyata, terorisme telah banyak memakan korban rakyatnya sendiri.
hingga liberalisasi pemahaman dan pemikiran keagamaan (keislaman) a la Indonesia yang mampu
Ini masih ditambah oleh persoalan yang menurut banyak pihak semakin terkontaminasi oleh
menghantarkan masyarakat keluar dari kejumudan, taqdisun al-afkar al-diniyah, tak lagi mengemuka
suburnya politik uang, padahal kekuasaan dan otoritas legislatif sekarang ini jauh lebih besar daripada
menjadi mainstream pergumulan wacana publik PMII.
era monolitik Orde Baru. Akibatnya, legislatifpun dianggap praktis memasung gerak eksekutif. Di ujung
Di beberapa tempat, justru banyak kader PMII yang tidak suka lagi dengan buku. Aktivis Kegagapan PMII atas Menjamurnya Organ Semi Legal
PMII justru seringkali terjebak pada ritus organisasional yang sangat mendewakan struktur saja, bahkan Perkembangan mutakhir gerakan mahasiswa semenjak reformasi digelar adalah munculnya
ada pula sebuah cabang yang kehilangan komisariatnya hanya karena tidak mampu menawarkan aroma berbagai organ semi legal yang mengklaim sebagai motor dan garda terdepan dalam melawan dan
intelektualisme kepada para mahasiswa universitas tersebut. Kenyataan ini memilukan, apalagi PMII meruntuhkan rezim otoriterianistik Orde Baru (etatisme negara). Kecenderungan yang mengemuka pasca
dikenal sebagai organisasi kader, di mana intelektualisme menjadi jargon utamanya. lengsernnya Soeharto adalah menguatnya semacam keyakinan dari kalangan mahasiswa bahwa gerakan
PMII mestinya menjadi garda terdepan dalam menangkal perkembangan pesat menguatnya aksi turun jalan (demonstrasi) merupakan satu-satunya bentuk kritisisme sebuah organisasi mahasiswa.
kecenderungan memperjuangkan Islam secara politik, normatif, konservatif dan milenarian. Apalagi Turun jalan dianggap sebagai media paling ampuh untuk menunjukkan eksistensi gerakan dan cara mudah
gerakan radikal kanan ini menjadikan kampus sebagai basis utama perkembangbiakan lahirnya wacana- memperoleh (simpati) massa guna merengguk anggota baru. Bentrok dengan aparat dan para pendukung
wacana Islam yang ortodok-literal, berwajah keras dan serba anti barat. Padahal, PMII merupakan institusi/kelompok/penguasa yang didemo akan semakin menjadi bumbu penyegar kristalisasi loyalitas
motor dalam upaya mewujudkan Islam rahmatan lil-alamin yang mengedepankan pemahaman Islam massa (mahasiswa) atas institusinya.
konstektual, kultural, humanis, pluralis dalam wajah keindonesiaan. Ekstra parlementer kemudian ditahbiskan sebagai satu-satunya parameter idealisme mahasiswa,
Apa yang menimpa sahabat Ulil Absar Abdalla (akhir tahun 2002) yang diancam hukuman apapun pertimbangannya. Gerakan ekstraparlementer dengan radikalisme hingga pada stadium tertentu
mati oleh para ulama kelompok Islam kanan Indonesia karena pikiran-pikiran cemerlangnya (meski dianggap akan menyuarakan pada publik luas bahwa mahasiswa memang benar-benar tampil sebagai
pemikiran itu sebenarnya biasa saja bagi aktifis PMII yang selama ini karib dengan wacana yang seperti kekuatan pendobrak, anti kemapanan dan penjaga moral sejati. Hal ini kemudian menumbuhkan ruang
Ulil lontarkan), tak juga mendapatkan pembelaan intelektual maupun gerakan dari PMII, padahal Ulil bagi mahasiswa untuk segera mengelompok pada organisasi semi legal-semi legal yang beragam bendera
adalah kader PMII. Kemana suara-suara pencerahan para kader PMII, apakah memang ini indikator ideologi dan corak gerakannya. Fenomena ini beriringan dengan menggeliatnya kembali organisasi intra
bahwa kader PMII semakin asing dengan pergumulan pemikiran Islam yang dulu menjadi salah satu instituter dengan format keorganisasian yang lebih variatif ketimbang era Orde Baru dan lebih bebas dari
kebanggaan organisasi ini? Ataukah memang PMII sekarang sedang mematikan mata dan telinga kungkungan birokratis perguruan tinggi yang rigid dan kooptatif.
intelektualnya, sehingga tak sempat (tertarik) lagi mengupas ilmu, pemikiran dan wacana-wacana Kecenderungan di atas, diakui atau tidak, telah menggiring eksistensi, posisi dan peran OKP
mencerdaskan seperti dulu lagi? Semoga penilaian ini salah. seperti PMII mulai dijauhi (terpinggirkan) oleh mahasiswa-mahasiswa. Organisasi semi legal dianggap
Dalam diskursus ilmu sosial (filsafat dan humaniora), PMII sebenarnya memiliki silabus lebih laku dan menarik gelora muda para mahasiswa. OKP dianggap tidak lebih sebagai organisasi
pengkaderan yang cukup komplit. Namun tetap saja ghirah kader PMII bergulat lebih intens dan total di kaderisasi parpol-parpol dan Ormas keagamaan. Apalagi ikatan historis dan kultural OKP-OKP yang ada
dalamnya serta menjadikannya sebagai salah satu pisau analisis membedah ketimpangan sosial, memang menyiratkan bahwa mereka memiliki kaitan yang cukup kental dengan parpol yang ada (baru
kekuasaan yang tak bernurani, dan hegemoni kapitalisme global yang anti tradisi dan nilai-nilai ataupun lama), baik itu dikarenakan ikatan senioritas-yunioritas, kesamaan ideologi, maupun kesamaan
universal tak kunjung muncul. Kalau toh ada sebagian kecil kader PMII yang melek sosial, biasanya resources manusianya.
itu bersifat individualistik, sporadis, dan bukan berasal dari kinerja sistem pengkaderan yang paten khas Berapa banyak kader PMII yang beringsut lari dan lebih asyik menjadi aktifis semi legal
PMII. Belum lagi merebaknya dunia maya (internet) sebagai salah satu ekses kemajuan teknologi semacam, Forkot, Famred, FPPI, FKSMJ, FRONKOT (di Jakarta), P3Y, KMPD dan Fampera di Jogya,
informasi, juga belum mampu secara optimal dan efektif digunakan untuk menggalang komunikasi, Forkom, FKMM, SMID, di Malang, FKMS di Surabaya, dan dibelahan daerah lainnya. Di semua
merapatkan barisan dan sosialisasi (tukar) wacana dan pengetahuan serta aksi-sksi real PMII di seluruh organisasi tersebut, betapa banyak aktifis PMII yang lebih kerasan. Beragam alasan yang diajukan, namun
daerah. diantaranya yang paling menghenyak dari sekian alasan adalah PMII dilihat dari namanya saja sudah hebat
Semua itu bermuara pada tak kunjung terbentuknya image building PMII sebagai organisasi yakni ada kata pergerakan, namun nyatanya selama proses reformasi hingga era Mega-Hamzah, PMII
mahasiswa yang paling dinamis, progresif dan kaya akan kader yang haus diskursus di berbagai disiplin tidak banyak melakukan apa-apa, layaknya macan ompong.
ilmu, baik agama, sosial, ekonomi, budaya, iptek, politik ataupun lainnya. Minat baca para kader PMII memang memiliki jaringan di berbagai daerah, memiliki buku panduan aksi sosial,
mungkin tidak begitu parah degradasinya, mungkin yang lebih sering adalah kurangnya kader PMII paradigma gerakan yang cukup kritis, namun itu semua hanyalah catatan di atas kertas belaka. Sosialisasi
keluar kandang untuk melakukan dialog dan berdialektika dengan kelompok mahasiswa, intelektual dan dan aplikasi kongkrit dari itu semua tidak pernah sungguh-sungguh dilakukan. Bahkan yang lebih sadis,
cendekiawan lain. Situasi telah menjadikan kader PMII layaknya katak dalam tempurung yang hanya mereka menyatakan bahwa PMII tidak pernah mampu menampung para kadernya yang berkehendak turun
cukup puas bisa sedikit paham tentang sebuah diskursus keilmuan dan menularkannya pada kader-kader ke tengah-tengah masyarakat dan bergelut dengan rakyat memperjuangkan kepentingan mereka. Jadi
dibawahnya melalui MAPABA, PKD, PKL maupun forum-forum ilmiah lain di PMII. jangan salahkan kami, jika kemudian lebih memilih organisasi semi legal yang memang lebih kongkrit dan
jelas dari pada PMII, kira-kira begitu jawabannya.
Pernyataan di atas jelas menyesakkan, terlepas pandangan itu agak subyektif dan tidak
seluruhnya benar. Namun, harus diakui, bahwa akhir-akhir ini PMII seakan-akan kehilangan radikalitas
gerakan jalanan, kultural dan transformasinya. PMII seperti lebih terlena untuk membicarakan reformasi tanah air bertambah panas, keruh dan rawan konflik yang bisa membawa pada pergantian kekuasaan
dan politik-kekuasaan, tanpa mau berpikir bagaimana cara mengubahnya dan menjadikannya lebih maupun krisis multidimensional tahap kedua yang lebih parah.
demokratis, humanis serta langkah kongkrit apa yang mesti dilakukan PMII guna mewujudkan agar PMII dipastikan akan dijadikan salah satu organ yang ditarik kesana-kemari oleh berbagai
reformasi benar-benar terjadi di Indonesia. kekuatan politik nasional agar mau berpihak pada agenda dan kepentingan sempit mereka. Dan sekali lagi,
Harus ada lompatan besar agar PMII tidak larut dalam distorsi gerakan berkepanjangan. Saya kondisi PMII beberapa tahun terakhir ini (sejak reformasi digelar) mendatangkan rasa pesimis para kader
meyakini bahwa cukup bahan di PMII untuk mampu membuat kadernya progresif, dan radikal di bidang dan pejuang demokrasi bahwa PMII tidak akan tergoda / terseret dalam blok-blok kepentingan pragmatis
pemikiran, humanis dan pluralis dalam bersikap, radikal dan transformatif dalam berkiprah. Hanya di atas.
kemudian, PMII belum mampu mengejawantahkan payung agung ideologi dan gerakan yang dapat Mestinya, pada tahun 2003 dan 2004 ini adalah tahun pembuktian bagi PMII untuk bangkit dari
menggerakkan seluruh potensi dan resources PMII dalam satu gerak dan satu kata terciptanya kader prejudice minor yang selama ini tersandang dipundaknya. Pembuktian ke publik luas bahwa komitmen dan
perubah, kritis, kaya akan disiplin ilmu, melek wacana sosial serta independen. Baik itu berupa strategi, konsistensi PMII dalam memperjuangkan nilai-nilai kebenaran, keadilan dan kejujuran tak pernah lekang
sistem, maupun kulturnya. dimakan situasi semacam di atas, ataupun kritisisme dan gerakan transformatif PMII akan dimandulkan
oleh paternalisme, pragmatisme, konsumerisme dan hedonisme otoritarianisme maupun globalisasi.
Pernyataan di atas jelas menyesakkan, terlepas pandangan itu agak subyektif dan tidak
Kuatnya Patronase PMII dengan NU dan Parpol
seluruhnya benar. Namun, harus diakui, bahwa akhir-akhir ini PMII seakan-akan kehilangan radikalitas
Salah satu problem yang cukup melilit kelincahan gerak PMII adalah kuatnya patronase kader
gerakan jalanan, kultural dan transformasinya. PMII seperti lebih terlena untuk membicarakan reformasi
PMII dengan NU maupun Parpol. Persoalan ini tidak hanya menimpa kader-kader PMII di tingkat
dan politik-kekuasaan, tanpa mau berpikir bagaimana cara mengubahnya dan menjadikannya lebih
nasional, di wilayah propensional maupun Kotamadya/Kabupaten tak kalah peliknya. Tarik-menarik
demokratis, humanis serta langkah kongkrit apa yang mesti dilakukan PMII guna mewujudkan agar
antara ketiganya, meski masing-masing organ itu memiliki sandaran hukum dan keorganisasian, bahwa
reformasi benar-benar terjadi di Indonesia.
hubungan diantara ketiganya adalah independen dan hanya ikatan kultural serta kesejarahan saja yang
Harus ada lompatan besar agar PMII tidak larut dalam distorsi gerakan berkepanjangan. Saya
mengikat mereka, tetap saja terkalahkan oleh kepentingan personal/kelompok dan politik (yang
meyakini bahwa cukup bahan di PMII untuk mampu membuat kadernya progresif, dan radikal di bidang
terkadang pragmatis) dari para elit ketiganya.
pemikiran, humanis dan pluralis dalam bersikap, radikal dan transformatif dalam berkiprah. Hanya
Pola hubungan mendekat dan menjauh antara PMII dengan kedua organisasi (NU & Parpol)
kemudian, PMII belum mampu mengejawantahkan payung agung ideologi dan gerakan yang dapat
itu, akan sangat banyak ditentukan oleh seberapa banyak kader / pengurus PMII yang terlibat aktif di
menggerakkan seluruh potensi dan resources PMII dalam satu gerak dan satu kata terciptanya kader
kedua institusi tersebut. Bukti nyatanya adalah masih terdapat banyak pengurus PMII mulai nasional,
perubah, kritis, kaya akan disiplin ilmu, melek wacana sosial serta independen. Baik itu berupa strategi,
propensional hingga lokal yang merangkap jabatan di NU maupun di Parpol (terutama di PKB, PPP dan
sistem, maupun kulturnya.
sebagian di Golkar). Inilah blunder organisasi yang kemudian menyulitkan PMII menentukan
independensi dan obyektivasi gerakan dan kepentingannya sendiri.
Siapapun tidak bisa mengelak, bahwa di tubuh NU maupun Parpol kader PMII bercokol
hingga pada elit-elitnya. Secara yuridis PMII memang memiliki ruang untuk terjadinya pencampur
adukan keaktifan anggotanya di kedua institusi tersebut, sebab dalam ART PMII pasal 3 ayat c
dinyatakan bahwa anggota yang belum melewati batas usia 33 tahun merupakan anggota biasa PMII.
Padahal dalam usia 30 tahunan itu seorang kader biasanya sudah melewati masa studi di perguruan
tinggi yang cukup lama (yakni antara 23-25 tahun), kecuali bagi mereka yang melanjutkan studi S-2
maupun S-3. Pada rentang usia antara 25 hingga 33 tahun inilah, kader-kader PMII kebanyakan sudah
mulai merambah dunia baru di Ormas seperti NU, di domain politik seperti Parpol ataupun institusi
sosial dan profesional lainnya.
Apalagi Pemilu sebentar lagi digelar 2004 (kalau tepat waktu) dan tensi politik semakin tinggi,
dimana resistensi dari mahasiswa, buruh, masyarakat dan para politisi atas beberapa kebijakan
pemerintah seperti menaikkan BBM, TDL, tarif telepon, Release and Discharge (R&D) atas beberapa
konglomerat hitam, divestasi Indosat pada STT, lepasnya Sipadan dan Ligitan ke tangan Malaysia,
diyakini akan semakin menggelembung dan dimungkinkan membawa situasi politik dan keamanan
akan dimandulkan oleh paternalisme, pragmatisme, konsumerisme dan hedonisme otoritarianisme maupun
globalisasi.
Kuatnya Patronase PMII dengan NU dan Parpol
Salah satu problem yang cukup melilit kelincahan gerak PMII adalah kuatnya patronase kader
PMII dengan NU maupun Parpol. Persoalan ini tidak hanya menimpa kader-kader PMII di tingkat
nasional, di wilayah propensional maupun Kotamadya/Kabupaten tak kalah peliknya. Tarik-menarik
antara ketiganya, meski masing-masing organ itu memiliki sandaran hukum dan keorganisasian, bahwa
hubungan diantara ketiganya adalah independen dan hanya ikatan kultural serta kesejarahan saja yang
mengikat mereka, tetap saja terkalahkan oleh kepentingan personal/kelompok dan politik (yang
terkadang pragmatis) dari para elit ketiganya.
Pola hubungan mendekat dan menjauh antara PMII dengan kedua organisasi (NU & Parpol)
itu, akan sangat banyak ditentukan oleh seberapa banyak kader / pengurus PMII yang terlibat aktif di
kedua institusi tersebut. Bukti nyatanya adalah masih terdapat banyak pengurus PMII mulai nasional,
propensional hingga lokal yang merangkap jabatan di NU maupun di Parpol (terutama di PKB, PPP dan
sebagian di Golkar). Inilah blunder organisasi yang kemudian menyulitkan PMII menentukan
independensi dan obyektivasi gerakan dan kepentingannya sendiri.
Siapapun tidak bisa mengelak, bahwa di tubuh NU maupun Parpol kader PMII bercokol
hingga pada elit-elitnya. Secara yuridis PMII memang memiliki ruang untuk terjadinya pencampur
adukan keaktifan anggotanya di kedua institusi tersebut, sebab dalam ART PMII pasal 3 ayat c
dinyatakan bahwa anggota yang belum melewati batas usia 33 tahun merupakan anggota biasa PMII.
Padahal dalam usia 30 tahunan itu seorang kader biasanya sudah melewati masa studi di perguruan
tinggi yang cukup lama (yakni antara 23-25 tahun), kecuali bagi mereka yang melanjutkan studi S-2
maupun S-3. Pada rentang usia antara 25 hingga 33 tahun inilah, kader-kader PMII kebanyakan sudah
mulai merambah dunia baru di Ormas seperti NU, di domain politik seperti Parpol ataupun institusi
sosial dan profesional lainnya.
Apalagi Pemilu sebentar lagi digelar 2004 (kalau tepat waktu) dan tensi politik semakin tinggi,
dimana resistensi dari mahasiswa, buruh, masyarakat dan para politisi atas beberapa kebijakan Bagian II
pemerintah seperti menaikkan BBM, TDL, tarif telepon, Release and Discharge (R&D) atas beberapa
konglomerat hitam, divestasi Indosat pada STT, lepasnya Sipadan dan Ligitan ke tangan Malaysia, Kritik-Otokritik Gerakan PMII
diyakini akan semakin menggelembung dan dimungkinkan membawa situasi politik dan keamanan
tanah air bertambah panas, keruh dan rawan konflik yang bisa membawa pada pergantian kekuasaan
maupun krisis multidimensional tahap kedua yang lebih parah. Kritik atas Ideologi dan Paradigma Gerakan PMII
PMII dipastikan akan dijadikan salah satu organ yang ditarik kesana-kemari oleh berbagai Tak satupun di antara kader PMII yang menghendaki PMII menua, memfosil dan kehilangan
kekuatan politik nasional agar mau berpihak pada agenda dan kepentingan sempit mereka. Dan sekali peran kesejarahannya. Tudingan negatif di atas sebaiknya menjadi cambuk bagi PMII untuk kembali
lagi, kondisi PMII beberapa tahun terakhir ini (sejak reformasi digelar) mendatangkan rasa pesimis para melakukan kritik dan otokritik terhadap eksistensi dan kiprahnya selama ini. Dalam tradisi keilmuan dan
kader dan pejuang demokrasi bahwa PMII tidak akan tergoda / terseret dalam blok-blok kepentingan gerakan, kritisisme adalah conditio sine qua none yang mampu menjadikan organisasi tersebut dinamis,
pragmatis di atas. peka sosial dan menjadi anak zamannya. Kritisime dalam berpikir, bersikap dan berprilaku inilah yang
Mestinya, pada tahun 2003 dan 2004 ini adalah tahun pembuktian bagi PMII untuk bangkit akan mampu menghantarkan PMII beserta kader-kadernya melek sosial dan peradaban dimana ia tidak
dari prejudice minor yang selama ini tersandang dipundaknya. Pembuktian ke publik luas bahwa hanya menjadikan kader PMII kembali kritis dan pejuang perubahan. Lebih dari itu, kritisisme itu akan
komitmen dan konsistensi PMII dalam memperjuangkan nilai-nilai kebenaran, keadilan dan kejujuran menjadi salah satu takaran penting mengejawantahkan berbagai nilai-nilai ideologis-paradigmatis PMII
tak pernah lekang dimakan situasi semacam di atas, ataupun kritisisme dan gerakan transformatif PMII dalam menjawab persoalan kekinian maupun akan datang.
Kritik-Otokritik gerakan PMII meliputi dua hal utama, antara lain, Pertama, berkaitan dengan Perumusan ideologi PMII sangat dipengaruhi oleh 3 (tiga) momentum penting ; 1). Kembalinya
tatanan internal keorganisasian, yang bertumpu pada lima (5) fakta organisasi ; 1). Ideologi dan NU kepada khittah 1926 ; 2). Diterimanya Pancasila sebagai satu-satunya azaz tunggal dalam praktik
paradigma gerakan ; 2).Sistem organisasi ; 3). Sistem pengkaderan ; 4). Strategi organisasi dan ; 5). kehidupan berbangsa dan bernegara ; 3). Serta dirumuskannya NDP PMII dalam Konggres ke-8 tahun
Logistik organisasi. Kedua, platform dan pola relasi PMII dengan institusi, kekuatan dan realitas 1985. Bersamaan dengan itu kader PMII telah mulai menyebar di berbagai kampus umum dan aktif
sekelilingnya, yang meliputi ; 1). Relasi PMII - negara ; 2). Relasi PMII - rakyat serta kekuatan sipil bergerak di berbagai LSM untuk melakukan gerakan pemberdayaan masyarakat serta terlibat intens dalam
lainnya ; 3), Relasi PMII - kampus, gerakan mahasiswa dan pro demokrasi ; 4). Relasi PMII - kekuatan aksi-aksi jalanan melawan hegemoni negara.
kapitalisme global. Akhirnya pada paruh pertama dasa warsa 90-an, berbagai rumusan ideologi dan paradigma
Tak satupun organisasi bergerak tanpa payung idologi yang jelas. Ideologi berfungsi ibarat gerakan PMII terbentuk. Ideologi gerakan PMII bukanlah bangunan ideologi sekuler, melainkan ideologi
obor penerang jalan kiprah sebuah organisasi. Ideologi yang kerap dimaknai sebagai a set of closely berbasis agama. Sebab, ideologi yang dibangun oleh PMII menggambarkan susunan kehidupan
related belief, or ideas, or even attitudes, characteristics of a group or community (Plamenatz; 1970), bermasyarakat dan bernegara yang dicita-citakan, dalam keterkaitan di antara hubungan kekuasaan sesama
akan menjadi titik pembeda antara PMII dengan organisasi kemahasiswaan lainnya. manusia didalam masyarakatnya dengan pengabdian manusia kepada Tuhan sebagai penguasa tertinggi
Dalam wilayah ideal, PMII diandaikan (mesti) mampu memerankan dirinya pada kerja-kerja berasal tradisi pemahaman ke-Islaman bersumber dari nilai-nilai Aswaja (yang dipandang sebagai manhaj
besar ideologi, mulai dari; pertama, PMII mampu menjadi penggagas ideologi bagi diri dan al-fikr).
masyarakatnya, dengan ini characteristic building PMII mewujud kukuh dalam setiap gerakannya. Ini Sedangkan paradigma gerakan PMII di bangun atas postulasi-postulasi dan nilai-nilai universal
berarti PMII harus mampu menyusun dan mengembangkan ideologinya, mulai dari postulasi pemikiran Islam serta hasil dialog kreatif tradisi pemahaman Islam tradisional dengan background sosial dan historis
yang terkait dengan seluruh aspek kehidupan masyarakat, hingga tafsir dan detail pengembangan dan (tradisonal dan rural-agraris) aktifis PMII dan realitas sosial-politik khas Indonesia. Paradigma gerakan ini
penggunaannya. Kalau hal ini tak tercapai, maka kedua, PMI berfungsi menjadi pendukung dan sangat dipengaruhi oleh pemikiran Thomas S. Kuhn yang memandang pradigma sebagai serangkaian
mufassir ideologi tertentu sebagai pembenar dalam setiap sikap dan tindakannya. Dan ketiga, konstelasi teori, pertanyaan, pendekatan serta prosedur yang dikembangkan dalam rangka memahami
menggiring PMII sebagai pengemban ideologi, dimana PMII menggerakkan diri dan masyarakatnya kondisi sejarah, dan realitas sosial untuk memberikan konsepsi dalam menafsirkan realitas sosial (Kuhn,
untuk mencapai arah akhir dari ideologi anutannya. (bandingkan dengan Hanief & Zaini; 2000). 1962).
Dalam intensitas dan spektrum yang berbeda, PMII pernah mengoperasikan ketiga bentuk Dengan ideologi yang bersumber dari agama, watak paradigma PMII pun tak lepas dari landasan
peran tersebut, selama 4 (empat) dasa warsa lebih. Tatkala negara terkotak-kotak dalam politik aliran era teologis yang dianutnya. Corak pemahaman teologis yang mempengaruhi cara pandang dan etos gerakan
Orde Lama Soekarno, yang menempatkan politik sebagai panglima, PMII memainkan peran pendukung PMII inilah yang nantinya menjadi pembeda dengan berbagai paradigma gerakan mahasiswa atau kekuatan
sekaligus ideologi politik Islam tradisionalis. Peran ini menjebak PMII tercebur dalam kerja-kerja politik sipil lainnya. Akhirnya, PMII memilih paradigma kritis transformatif sebagai paradigma gerakannya,
praktis yang menghilangkan watak radikal dan independensinya sebagai sebuah organisasi bahkan rumusan ini termaktub dengan jelas dalam Bab V pasal 6 Anggaran Dasar PMII hasil Kongres
kemahasiswaan. PMII Medan tahun 2000 lalu.
Begitu pula pada awal Orde Baru ditegakkan, PMII masih berkutat dengan pergulatan Islam Namun, harus disadari bahwa masih banyak kelemahan dan kesimpangsiuran konsep maupun
sebagai ideologi politik dan tawaran developmentalisme yang memaksakan depolitisasi aliran dan aplikasi praktis dari bangunan ideologi dan paradigma gerakan PMII. Kritik atas ideologi dan paradigma
dealiranisasi politik. Titik balik terjadi, ketika PMII kemudian mentahbiskan dirinya independen tidak PMII menjadi sangat penting diungkapkan di sini, sebab ada beberapa hal yang mesti dituntaskan berkaitan
terkait dengan organisasi politik manapun melalu Deklarasi Murnajati 1972 di Malang. Independensi dengan persoalan tersebut. Pertama, rumusan teologis paradigma PMII selama ini didasarkan pada
PMII ini bermakna hilangnya keterikatan organisasi dari sikap dan tindakan siapapun dan hanya setia rumusan Aswaja dan NDP yang masih normatif. Padahal proyek dekonstruksi Aswaja sampai hari ini
dengan perjuangan PMII sendiri serta cita-cita perjuangan nasional berlandaskan Pancasila. masih terus berlangsung dan belum menemukan konsepsi otoritatifnya. Bagaimana PMII kemudian berani
Puncaknya, independensi PMII itu menjadi entry point upaya pencarian (merumuskan) jati diri mendasarkan landasan teologisnya pada sebuah diskursus dekonstruksi dan rekonstruksi Aswaja yang
organisasi yang sesungguhnya. Artinya, PMII mulai harus mengurus dirinya sendiri tanpa belum usai, menyimpan kontradiksi di sana-sini, belum ada bangunan epistimologisnya, dan dipenuhi
menggantungkan dirinya dengan orang (kekuatan) lain, sambil terus berpegang pada landasan yang perdebatan teologis dari pemikir Islam tradisional ?. Jangan-jangan ini hanya menjadi semacam
berasal dari dalam tradisinya sendiri serta kekuatan yang dibangunnya sendiri. Sikap ini telah mampu kegenitan intelektual para aktifis PMII yang kemudian menjadikan rumusan teologis PMII sebagai
mencairkan berbagai trauma-trauma politik dan gerakan PMII di masa sebelumnya, hingga PMII media uji coba dalam mencari konsepsi teologis Islam tradisional yang paling sesui dengan gerak
memiliki keleluasaan gerak lebih lugas memilih peran-peran intelekual, kemasyarakatan dan kritisisme dinamika sosial dan sejarah?.
terhadap agama maupun negara tanpa terbebani oleh kejumudan tradisi (ortodoksi pemahaman Sekitar tahun 1996-1997 an, PMII mengangkat tema teologi antroposentrisme-transendental
keagamaan) ataupun terbatasi oleh keterikatan politik dengan kekuatan manapun. sebagai landasan paradigma gerakannya. Konstatasi ini menempatkan manusia sebagai subyek utama yang
melakukan tugas dan fungsi Tuhan di muka bumi (khalifatullah fil ardl), dimana manusia tidak diletakkan
pada dua kutub yang diametral dan kontradiktif, yakni di satu sisi sebagai khalifatullah yang memiliki Secara legal-formal PMII memiliki berbagai produk hukum yang diputuskan di berbagai forum-
tugas memakmurkan bumi dan menyelesaikan persoalan kemanusiaan dengan keadilan, dan di sisi lain forum permusyawaratan. Seperti Kongres sebagai forum tertinggi di PMII yang memiliki hak paling
sebagai abdullah yang mempunyai tugas mengabdi dan menyembah Allah dengan penuh kepasrahan. otoritatif menetapkan/merubah AD dan ART, kemudian dilanjutkan dengan Muspim hingga RTAR. Tetapi,
Namun, sebagai totalitas kesatuan kekhalifahan dan abdullah sekaligus, yakni menempatkan manusia praksis dari sistem keorganisasian itu bukannya tanpa kelemahan, masih terdapat beberapa hal yang belum
sebagai makhluk yang paling tinggi, sebagai khalifah Allah di muka bumi dan sebagai makhluk yang di atur secara jelas dan rinci di PMII mengenai beberapa hal berikut ini ; Pertama, mekanisme kontrol.
mempunyai kemampuan fitri dan akali (PB PMII, 1997). AD-ART PMII sebenarnya memberikan kewenangan yang sangat luas kepada pemegang amanat
Postulasi pandangan teologis seperti ini memang lebih maju sebagai upaya penafsiran atas (mandataris) kongres, dimana mandataris kongres ini hanya bisa dilengserkan kalau ia benar-benar telah
normatifitas NDP PMII, namun sebenarnya belum memberikan jawaban apapun atas berbagai persoalan melanggar AD-ART, itupun harus melalui mekanisme Kongres Luar Biasa (KLB) berdasarkan usulan 50 +
dekonstruksi teologi Aswaja yang sudah hampir satu dasa warsa ini diperdebatkan. Apalagi kalau 1 dari seluruh jumlah cabang yang ada. Belum lagi, AD-ART belum menjelaskan juga apa saja jenis
kemudian konsepsi ini digugat dengan realitas di lapangan, bahwa tidak ada korelasi positif antara pelanggaran terhadap AD/ART itu, seperti jika kemudian Ketua Umum PB PMII dituding menerima
pandangan teologis PMII ini dengan seluruh etos dan pola gerakan PMII hari ini. Sementara itu PMII sejumlah uang untuk sebuah kegiatan dengan konsesi politik tertentu, maka kemudian PMII tidak memiliki
telah memilih transformasi sebagai pilihan paradigmanya, padahal pandangan teologis payung hukum yang jelas, seperti apakah cabang melakukan pembuktian itu dan bagaimana hak PB untuk
antroposentrisme-transendental PMII masih belum mampu menjawab apa bangunan epistimologisnya, (membela diri) mengklarifikasinya.
realitas wujudnya dan corak serta watak teologi apa yang sebenarnya dihasilkan, apakah revolusioner? Bukan hanya itu, banyak pasal yang ada di AD-ART yang masih terlalu umum, perlu penjabaran
Transformatif ? Normatif ? Atau bahkan malah fundamentalis-formalistik ? Sungguh masih sangat yang lebih rinci, teknis dan operasionalnya, baik dalam bentuk PO (peraturan organisasi) ataupun lainnya.
banyak pertanyaan dan problema yang muncul dari berbagai rumusan teologis yang telah PMII klaim Namun, hingga saat ini upaya ke dalam itu masih belum optimal, kalaupun sudah ada, maka sosialisasi dari
sebagai basis ideologi dan paradigmanya. berbagai ketetapan itu tidak juga terlaksana secara optimal dan menjadi kesadaran bersama dari seluruh
Kedua, rumusan sebuah paradima gerakan itu sangat terikat dengan ruang dan waktu ( space pengurus serta kader PMII di semua tingkatan.
and time) serta harus bersifat terbuka atas perubahan (open ended). Artinya, paradigma PMII ini akan Kedua, masih banyaknya pengurus yang melakukan perangkapan jabatan. AD/ART secara jelas
mengalami deviasi atau shifting paradigm yang akan melahirkan sebuah community consensus baru, hal dalam Bab III bagian V pasal 8 dimana anggota biasa dan atau pengurus tidak boleh merangkap jabatan di
ini akan berlangung terus menerus. Karena itu, watak paradigma PMII adalah temporal/ tidak permanen, semua partai politik. Konsistensi kader/pengurus PMII akan hal ini patut dipertanyakan, sebab di beberapa
dan akan terus mengalami perubahan sebagai bentuk tuntutan penyesuaian atas watak dinamis gerak Koorcab dan Cabang PMII realitas perangkapan jabatan ini cukup tinggi, namun pengurus PMII (baik itu
sejarah kemanusiaan yang terus berkembang dan berubah-ubah. PB ataupun PKC/Cabangnya) tidak begitu mempersoalkan hal tersebut (bahkan mentolerirnya). Mestinya
Persoalan menjadi muncul, tatkala PMII membakukan konsepsi paradigma kritis transformatif hal ini dibutuhkan tindakan tegas dari PB PMII sebagai institusi tertinggi yang memiliki kewenangan dan
tersebut dalam Anggaran Dasarnya. Sebab, dengan memasukkan paradigma tersebut dalam AD PMII, kewajiban menegakkan aturan main organisasi PMII.
seakan-akan menyiratkan bahwa rumuan paradigma itu digiring untuk dipermanenkan di PMII. Ini Kedua masalah di atas, sebenarnya adalah sekelumit beberapa kelemahan perundang-undangan
adalah kontradiktif dengan watak sebuah paradigma itu sendiri yang sangat terikat oleh relatifitas space dan peraturan di PMII, masih banyak kelemahan-kelemahan lain yang mesti mendapatkan perhatian
and time, dan itu artinya tidak permanen dan sangat mungkin dirubah, sesuai dengan konteks dimana sungguh-sungguh dari seluruh pengurus dan kader PMII. Bukan rahasia lagi, kalau PMII tidak begitu
serta kapan paradigma itu diterapkan. mempedulikan aturan hukum yang ada dalam menyikapi berbagai persoalan yang menimpa organisasi.
Sangat wajar, jika kemudian 2 tahun terakhir ini mulai dipertanyakan kembali rumusan Kalau toh ada proses penyelesaiannya, biasanya pengurus lebih menyukai memutuskan hal itu dengan cara
teologis dan paradigma gerakan PMII itu oleh beberapa aktifis PMII sendiri? Sebab kenyataannya, tidak kekeluargaan, meski itu berarti menafikan aturan main organisasinya.
ada relasi timbal-balik antara rumusan teologis dan paradigma itu dengan seluruh aktifitas yang Model penyelesaian seperti ini memang sangat dipengaruhi oleh background sosial kader PMII
dilakukan oleh PMII di seluruh tingkatan? Sulit menyimpulkan apakah kalau PMII itu melakukan aksi yang mayoritas berasal dari massa tradisional agraris dengan ciri komunalisme yang tinggi, dimana proses
jalanan ataupun pemikiran itu dijiwai / disemangati oleh landasan teologis dan paradigma PMII sendiri. penyelesaian persoalan bagi salah satu warganya yang melanggar peraturan dengan konvensi yang tidak
rigid dan cenderung menggunakan cara-cara kultural (alergi atas pendekatan formal). Namun, bukan
berarti itu kemudian juga diberlakukan dalam konteks PMII, sebab penegakan aturan organisasi sesuai
Kritik-Otokritik Sistem Keorganisasian PMII
dengan kaidah serta mekanisme yang ada di PMII akan menjadi salah satu paramater utama, jalan tidaknya
PMII selama ini dinilai oleh banyak kalangan sebagai organisasi yang paling dinamis dalam
sistem di PMII, serta sebagai ukuran tingkat disiplin kader dan konsistensi PMII menjalankan aturan main
berwacana, namun sangat lemah dalam hal penegakan sistem (aturan main) organisasinya. Tak sedikit
yang dibuatnya sendiri.
dari mereka yang menyatakan bahwa kader-kader PMII itu jagoan ngomong, tetapi tidak memiliki
disiplin organisasi yang baik. Belum tentu cibiran itu sepenuhnya benar, namun kita bisa menilainya
dengan melakukan retrospeksi atas perjalanan keorganisasian PMII selama ini.
Kritik-Otokritik Sistem Pengkaderan PMII pengurus atau kader PMII mulai dari PB hingga rayon bahwa apa yang mereka lakukan selama ini, lebih
Indikator termudah dan seringkali dijadikan ukuran keberhasilan dari sebuah organisasi adalah banyak merupakan reaksi spontan atas realitas yang terjadi, bukan berdasarkan implementasi proses
seberapa banyak (kuantitas)dan seberapa hebat (kualitas) integritas dan kapabilitas out put (alumni) yang (hasil) pengkaderan sistemik dari PMII. Artinya, PMII hanya mampu memberikan wadah saja untuk
dihasilkannya. Miskinnya sebuah oragnisasi dalam me-reproduksi intelektual, tokoh/pemimpin yang berkiprah, tetapi gagal memberikan atmosfir kondusif yang mampu mendorong terciptanya proses dan
memiliki kecakapan di bidangnya (profesional), kritis, visioner dan berkarakter akan menunjukkan hasil kaderisasi yang terbaik sesuai dengan mekanisme / pola pengkaderan yang ada di PMII.
macetnya sebuah organisasi berarti pula kegagalan kaderisasi di tubuh organisasi tersebut. Pemahaman Kalau toh kemudian ada beberapa kader PMII yang kritis, piawai dalam gerakan aksi jalanan dan
publik yang seperti ini sedikit banyak juga berpengaruh pada sistem dan pola pengkaderan PMII. pemberdayaan, serta melek wacana (intelek), itu lebih dikarenakan kuatnya kemauan dan kerja keras
PMII menjadikan dirinya sebagai organisasi massa sekaligus organisasi kader dengan basis individu kader itu sendiri, bukan imbas nyata dari proses pengkaderan terencana dan sistemik dari PMII.
massa terbesar di Indonesia. Beban berat tersandang dipundak PMII, sebab besarnya massa yang Bahkan, di beberapa daerah justru ada kecenderungan besar, bahwa kalau mereka ingin mengasah dan
dimiliki, menuntut PMII harus mampu mengantarkan warganya memahami realitas dirinya sendiri dan menambah kemampuan intelektual serta menemukan habitat yang kondusif bagi pergulatan dengan segala
dunia sekitarnya melalui proses pembebasan (liberasi) dan pemanusiaan (humanisasi). Oleh karena itu, discursus keilmuan, keislaman, social-hmaniora ataupun filsafat, harus mencarinya di tempat lain di luar
sistem pengkaderan di PMII, bukan untuk mengarahkan kadernya sebagai individu-individu yang PMII. Mereka lebih banyak bergabung dengan kelompok kajian-kelompok kajian yang didirikan oleh para
terasing (alienasi) dan tercerabut dari realitas dirinya sendiri dan dunia sekitarnya, yang menghantarkan mantan alumni PMII, komunitas NU lainnya ataupun oleh kelompok di luar tradisi PMII atau NU sendiri.
para kader PMII hanya mampu menjadi penonton gerak sejarah dan perubahan, bukan pencipta sejarah Begitu pula dengan sahabat-sahabat kita yang sangat getol dengan gerakan jalanan, lebih merasa punya
serta perubah itu sendiri. Namun, sistem pengkaderan di PMII diarahkan pada terciptanya individu- eksistensi dan terakomodasi di berbagai organisasi semi legal, bukan di PMII.
individu yang merdeka, otonom, independen, baik dalam bepikir, bersikap maupun berperilaku serta Fenomena di atas, sungguh meresahkan, sebab PMII tidak lagi diyakini mampu mewadahi
memiliki kapasitas dan kepedulian berpartisipasi secara kritis dalam setiap aksi perubahan menuju segebok idealisme mahasiswa, baik dalam ranah pemikiran ataupun gerakan, justru kelompok kajian dan
tatanan masyarakat, negara dan dunia yang PMII cita-citakan. organisasi semi legal yang tidak memiliki kaitan struktural apapun dengan PMII yang mampu memberikan
Kader merupakan roh organisasi, karena itu pengkaderan di PMII diformulasikan secara apa yang mereka butuhkan. Memang hal ini tidak bisa digeneralisir sedemikian rupa, tetapi sekecil apapun
sistemik dan terencana dengan baik, sehingga menjadi ujung tombak keberlangsungan dan kadar kecenderungan di atas, tetap harus menjadi concern bersama dari seluruh pengurus dan aktifis PMII
kesinambungan dinamika organisasi. Tersistem artinya, pola pengkaderan di PMII mengandung esensi dimanapun saja, agar fenomena ini tidak semakin menggelinding membentuk bola salju yang kian
dalam rangka memformulasikan tahapan jenjang kader yang dibangun di atas kerangka pijakan yang membesar, dan pada satu saat nanti benar-benar mencerabut tradisi kritisisme yang selama ini telah dengan
jelas, dalam bingkai ideologi dan paradigma gerakan, serta menyangkut muatan yang harus dipunyai susah payah, apalagi sampai membahayakan eksistensi PMII sendiri.
oleh kader. Dasar teologis, filosofis maupun paradigmatik sistem dan pola pengkaderan di PMII sebenarnya
Terencana, artinya pengkaderan di PMII diproyeksikan bagi terlaksananya pola kaderisasi sudah cukup baik, bahkan oleh beberapa kalangan di luar PMII diakui cukup komplit, terpadu, berbobot,
yang disusun secara reguler, berjenjang dan sesuai dengan visi serta misi organisasi. Oleh karena itu, dan dalam sisi metodologi cukup sistematis daripada yang ada di organisasi kemahasiswaan lainnya.
gerak pengkaderan di PMII diarahkan bagi tersedinya human resources penopang utama bagi Namun, harus diakui bahwa persoalannya kemudian adalah bagaimana mendialogkan sistem dan panduan
keberlangsungan organisasi yang disandarkan pada klasifikasi dan kualifikasi kader sesuai dengan pengkaderan tersebut dengan beban tradisi dari resources PMII yang kebanyakan berasal dari latar sosial
tingkatannya demi mengemban amanat, nilai-nilai, serta ide-ide besar PMII. rural-agraris, tradisional, komunal dan cenderung agak kolot ditambah mainstream dinamika
Namun, problem mendasar PMII hari ini adalah sulitnya mencari kader ideologis, yang perkembangan masyarakat yang begitu cepat dan sulit dikontrol.
sesuai dengan idealisasi paradigma pengkaderan di atas. Harus diakui, pragmatisme yang dibangun (baik Sejumlah persoalan di atas merupakan realitas obyektif sebagai implikasi dari persentuhan PMII
sengaja atau tidak, disadari atau tidak) oleh beberapa kader atau alumni PMII yang mencoba dengan berbagai kondisi obyektif internal organisasi, kampus, dan lingkungan sekitarnya. Tidak adil
membangun loyalitas kader dengan setumpuk tawaran pragmatisme, telah mengakibatkan kader-kader tentunya, membandingkan pola pengkaderan antara cabang yang satu dengan lainnya. Sebab, hal itu akan
PMII mengalami deviasi (erosi idealisme dan moral) dari tujuan semula sebagai organisasi kader. sangat dipengaruhi oleh basis material (resources) serta kondisi sosio-kultural daerahnya masing-masing.
Kentalnya pragmatisme, membawa runtuhnya nilai-nilai ideologis kader akan sistem nilai, keyakinan Apalagi kemudian membuat penilaian cabang mana yang paling berhasil melaksanakan pengkaderan di
dan sikap yang selalu menjunjung tinggi kebenaran, keadilan, dan kejujuran, apapun taruhannya. Hal ini PMII. Apakah Jogyakarta bisa dinilai sebagai cabang yang paling sukses melakukan pengkaderan dalam
berimplikasi pada menurunnya kadar kritisisme pemikiran dan gerakan yang membuat PMII mengalami hal pendigdayaan intelektual kadernya, cabang Malang yang dianggap konsisten dalam melakukan
degradasi cukup tajam di sanasini. pengkaderan reguler dan tertata organisasinya, ataukah cabang Salatiga yang dianggap paling mampu
Indikator termudah adalah sulitnya kita mencari korelasi nyata antara sepak-terjang kader menciptakan kader yang ahli dalam advokasi, cabang-cabang di Sulawesi Selatan sebagai penghasil kader-
dengan basis ideologi, dan paradigma yang dimiliki PMII miliki. Dari beberapa penglihatan sederhana kader tingkat nasional, Jakarta sebagai penghasil tokoh-tokoh gerakan yang kritis dan berani dan lain
yang pernah saya lakukan dengan beberapa sahabat lainnya, ada kecenderungan besar dari para
sebagainya. Semua itu belum bisa menjadi ukuran, perlu pembuktian lebih lanjut dan mesti dibarengi liberasi dan independensi serta menghilangkan tabu intelektual (intelectual taboo), baik di internal PMII
pengakuan dari seluruh cabang yang PMII miliki. maupun komunitas Islam tradisional dan masyarakat luas pada umumnya.
Meski begitu, kita semua harus mengakui bahwa jumlah kader PMII yang mampu meneruskan (2) melepaskan diri dari beban sejarah. Selama ini perjalanan dunia Islam selalu diramaikan
studinya hingga S-2 dan S-3 semakin banyak, tidak hanya didominasi oleh para mahasiswa dari dengan pertarungan antara normatifitas wahyu dan historisitas pemikiran. Namun, pertarungan ini
fakultas/jurusan agama saja, tetapi tak sedikit yang berasal dar fakultas/jurusan ilmu-ilmu social- dimenangkan kelompok fundamentalis-skripturalis, sehingga menimbulkan alergi umat Islam terhadap
humaniora bahkan eksakta. Sekarang ini tidak sulit mencari kader PMII yang menempuh magister atau filsafat dan disiplin ilmu pengetahuan umum lainnya. Hal ini kemudian melahirkan pola pikir dan prilaku
doktoral di UI, IPB, ITB, UGM ataukah perguruan tinggi bergensi lainnya. Tidak hanya itu, sudah yang menghendaki Islam diberlakukan seperti di zaman Nabi, terpisah dari kehidupan umat/kelompok
puluhan jumlahnya kader-kader PMII yang mendapatkan bea siswa bersekolah di luar negeri. masyarakat lain dan cenderung menghindari pluralisme. Dalam konteks ini, Islam di pahami oleh para
Kemudian sejak paruh terakhir dasa warsa 90 an hingga sekarang, para alumni PMII mulai aktifis PMII sebagai sesuatu yang berdimensi historis, dimana produk pemahaman masyarakat Islam
tersebar di berbagai sektor kehidupan kemasyarakatan dan kenegaraan Indonesia. Tidak seperti dahulu, terhadap ajarannya selalu berdialektika dengan dimensi space and time. Sehingga, berbagai produk
dimana mayoritas alumni PMII itu kebanyakan berprofesi kyai, dosen agama, politisi, dan aktifis LSM pemikiran klasik, tidak lagi sebagai beban berat dan mesti dilaksanakan secara taken for granted oleh umat
saja. Realitas ini tentunya cukup menggembirakan, namun, hal itu masih belum bisa dipakai sebagai Islam era abad informasi ini. Aktifis PMII yang secara sosiologis rmarginal (ditepikan?) dan
satu-satunya parameter bahwa pengkaderan di PMII telah berhasil dan sesuai dengan sistem dikelompokkan dalam masyarakat tradisional (sulit tersentuh modernisasi), mampu melepaskan beban
pengkaderan yang ada?. sejarah dan justru menjadikan posisi marginalnya itu sebagai sumber pelecut dirinya untuk melakukan
lompatan besar intelektual ke depan meninggalkan kelompok masyarakat lainnya.
(3) menghindarkan diri dari keterjebakan pada ikatan harfiyah teks. Cara berfikir dan bersikap
Kritik-Otokritik Strategi Gerakan PMII
kader PMII sekarang ini lebih bercorak substansial-transformatif, ketimbang simbolik dan formal,
PMII mendasarkan dirinya sebagai komunitas intelektual, dimana pemahaman konsepsiaonal
karenanya setiap persoalan lebih dilihat pada substansinya. Sebab dalam pengalaman selama ini
atas sesuatunya sangat ditekankan sebelum mentransformasikan konstatasi intelektual itu dalam gerakan
pendekatan formalistik telah banyak mengabaikan substansi. Semangat untuk berfikir verbalistik dengan
sosial, kebudayaan dan politiknya. Bagi PMII, gerakan pemberdayaan, jalanan dan praktis lainnya
selalu mengutip ayat dalam setiap pernyataan tidak lagi lazim di kalangan intelektual PMII. Jadi dalam
merupakan derivasi dari kerja-kerja intelektual. Artinya, seluruh gagasan dan konsep yang diproduksi
berfikir dan bertindak tidak perlu melihat persoalan Islami atau tidak, tetapi lebih pada apa yang dikerjakan
PMII harus berdaya guna dan menguatkan proses social engineering dalam bentuk kongkrit melalui
itu membawa maslahat bagi kepentingan humanisme universal.
kerja-kerja sosial, politik strategis dan peretasan kebudayaan baru. Pemikiran ini diilhami (diperkuat)
Implikasi strategis dari gerakan pemikiran di atas adalah terciptanya kader-kader pergerakan
oleh proposisi Ben Agger (1992), yang menghendaki transformasi kehidupan intelektual (individu
yang tidak hanya memiliki loyalitas sangat tinggi kepada visi dan misi PMII, lebih dari itu, mereka
ataupun kelompok) sebagai investasi sosial, politik dan kebudayaan, (transforming intelectual life for a
kemudian memiliki keberanian keluar kandang untuk mengasah intelektualitasnya dengan banyak
social, political, and cultural investment).
elemen pergerakan lainnya. Oleh karena itu, geliat sebaran pasar bebas pemikiran di PMII menjadi entry
Oleh karena itu, strategi gerakan PMII merambah dan ditransformasikan ke dalam 4 (empat)
point akan keharusan PMII mentransformasikan kematangan intelektualitasnya ke dalam 3 wilayah
wilayah gerakan. Pertama, strategi gerakan intelektual. PMII pernah mengalami booming pemikiran di
gerakan selanjutnya, yakni;
era paruh kedua 80-an dan selama dasawarsa 90-an. Pada saat itu muncul diskursus dekonstruksi atas
Kedua, strategi gerakan sosial. PMII memanifestasikan dirinya sebagai komunitas (kelas
Aswaja, open society, civil society, FMI (free market of ideas), pribumisasi Islam, teologi
menengah) intelektual yang merupakan bagian tak terpisahkan dari masyarakat, dan karenanya harus
pembangunan, masyarakat komunikasi, dan beberapa diskursus lainnya. Para aktifis PMII (atau
terlibat dalam problem-problem dasar yang dihadapi masyarakat (intelektual organik, Gramsci-red.).
alumninya) mampu mengangkat berbagai wacana tadi ke publik luas dan mampu mempengaruhi
Realitas sosial dan komunitas-komunitas rakyat merupakan tempat kerja (sosial) dan belajar sekaligus,
mainstream wacana publik yang lebih didominasi oleh formalisme dan politisasi Islam kelompok Islam
bagi sekuruh aktifis PMII. Implikasi kongkritnya adalah terbebasnya PMII dari eksklusifisme kelompok
modernis, developmentalisme dan nasionalisme semu rezim Orde Baru.
yang menyebabkannya ter-alienasi dari konteks sosio-kultural dan politik masyarakat. Meminjam
Liberalisasi pemikiran di tubuh PMII itu sebagai imbas pilihan strategi gerakan intelektualnya
istilahnya Paulo Freire, PMII bukan saja harus ada di dalam masyarakat, tetapi lebih dari itu harus
yang menurut sahabat Munim DZ. (2000) bertumpu pada 3 (tiga) hal, yakni; (1) membebaskan diri dari
bersama dengan masyarakat. Keterlibatan PMII dalam setiap problematika masyarakat melalui gerakan
kungkungan tradisi; dalam konteks ini tradisi bukanlah sesuatu yang harus ditolak mentah-mentah,
sosial berdimensi liberasi dan transformasi, berarti meneguhkan eksistensi PMII bagi perjuangan
bukan juga mesti dipegang teguh tanpa reserve, melainkan mesti ditolak secara proposional dan kreatif,
humanisasi masyarakat.
serta dikembangkan dengan pendekatan liberal-transformatif. Akibatnya, konservatisme kyai,
Gerakan sosial PMII sepanjang tahun 1980 hingga akhir 90 an berlangsung secara operatif dan
kejumudan tradisi, dan sakralisasi terhadap berbagai produk pemikiran lama di gugat habis. Sebagai
terasa nyata pembumiannya, sebab diuntungkan dengan basis sosial aktifisnya yang memang mayoritas
gantinya, para aktifis PMII lebih mengedapankan budaya pemikiran yang bertumpu pada semangat
berasal dari masyarakat rural-agraris dan kelompok marginal lainnya. Dus, jika PMII melakukan kerja-
kerja sosial sama saja dengan membebaskan diri, keluarga dan masyarakatnya dari marginalisasi sosial, masyarakat melalui kekuatan struktur birokrasi (aparat negara) dan kekuatan modal yang mereka miliki.
ekonomi dan politik. Dalam konteks gerakan sosial, Gus Dur di tahun 1991 pernah mengingatkan PMII, Hal ini kemudian meminggirkan perjuangan struktural dari elemen-elemen masyarakat. Oleh karena itu,
agar organisasi kemahasiswaan berbasis Islam tradisional ini bersedia terlibat langsung dan intens secara sungguh tepat, jika kemudian PMII lebih memusatkan pilihan gerakannya kepada wilayah gerakan
simultan dalam membangun infra-struktur masyarakat tradisional. PMII janganlah hanya terfokus kultural dalam memperjuangkan nilai-nilai keislaman, keindonesiaan, HAM, demokrasi, keadilan
mempersoalkan hal yang terlalu muluk dan melangit saja, melainkan harus mampu menangkap ekonomi, keadilan sosial dan sebagainya. Bentuk-bentuk perlawanan kultural itu tercermin dalam upaya
keinginan terdalam masyarakat, yang sebenarnya tidak neko-neko, tidak jauh dari kebutuhan mereka PMII untuk menceburkan dirinya ke setiap komunitas-komunitas kultural, baik yang berbasiskan agama,
akan hal-hal yang kongkrit. Masyarakat Indonesia hanya butuh keadilan berekonomi, kelancaran etnik maupun lainnya. Dalam konteks keberagamaan hal itu berwujud dengan membudayakan sikap hidup
berusaha, baru kemudian membutuhkan nalar budaya dan politik. Gus Dur mengharapkan PMII toleran, humanis dan pluralis. Dalam konteks etnik adalah mendorong akulturasi budaya antar etnik
memulainya dengan melakukan hal-hal kongkrit yang mengarah pada pemberdayaan ekonomi lemah, melalui gerakan penyadaran bahwa mereka selama ini dijadikan kambing hitam konflik sosial dan
petani kecil, pengusaha kecil, lalu ciptakan kemandirian basis masyarakat sebagai ladang potensial yang pelanggengan etatisme negara, dan lain sebagainya.
dapat memasok kesejahteraan bagi semua rakyat. Kalau hal ini masih dirasa berat oleh PMII, Gus Dur Keempat, strategi gerakan politik. PMII dituntut mampu mengolah gerakan kultural dan
menawarkan agar PMII melakukan pembinaan / pendidikan terhadap anak-anak yang orang tuanya tak sosialnya untuk bermain pada level politik strategis dan bukan politik praktis. Politik strategis bermakna
mampu membiayai sekolah, meski tidak dilakukan secara show of force, asalkan telaten dan disiplin, kecerdasan dan kecakapan PMII dalam mencipta serta memainkan momentum sejarah secara tepat.
maka dengan sendirinya akan membuktikan implementasi gerakan sosial PMII. Dengan begitu PMII bisa menjadi creator sejarah bangsa (sembari melakukan investasi saham politik).
Karena itu, kemudian PMII terjangkiti demam advokasi. Program-program kerja PMII mulai Dalam konteks ini, PMII tidak hanya cukup bangga atas keterlibatannya dalam usaha penjatuhan sebuah
dari PB hingga Komisariat, bahkan Rayon selalu mencantumkan advokasi masyarakat sebagai salah satu rezim. Lebih dari itu, PMII mesti terlibat secara intens dalam usaha mewujudkan praktik dan budaya
program wajib, begitu juga dengan pelatihan advokasi, Ansos, kursus hukum, kewarganegaraan dan politik yang beradab, moralis, demokratis dengan keterlibatan tinggi dari seluruh rakyat serta menyediakan
sebagainya menjadi program-program favorit setiap kepengurusan yang baru menjabat menggantikan dirinya dalam upaya pendidikan politik bagi rakyat.
para pengurus lama. Meski, fenomena itu tidak merata di seluruh cabang PMII se-Indonesia, harus
diakui bahwa fenomena tersebut semakin menguatkan stigma Orde Baru bahwa organisasi Wujud dari gerpol PMII tampak jelas dalam berbagai gerakan jalanan PMII, baik melalui aksi
kemahasiswaan berbasis massa tradisional ini mesti dieliminasi dan dijinakkan geraknya. massa, advokasi maupun bentuk-bentuk civil disobidience lainnya, hal ini terus-menerus
dilakukan serta meningkat radikalitas dan intensitasnya sepanjang dasa warsa terakhir
Ketiga, strategi gerakan kebudayaan. PMII mendeklarasikan dirinya sebagai (salah satu) kekuasaan Orde Baru. Peristiwa kerusuhan Tasikmalaya dan UMI Makasar hanyalah sedikit dari
kekuatan peretas kebudayaan baru masyarakat, untuk menyingkirkan budaya monolitik produk Orde imbas radikalisasi gerakan politik kultural PMII. Pikiran dan gerakan melawan semakin
Baru yang dipaksakan agar mengakar dalam pola sikap dan hidup masyarakat. Orde Baru tidak hanya menguat ketika krisis ekonomi di Indonesia semakin memuncak di tahun 1997 hingga 1998
melakukan pembatasan gerakan kebudayaan, bahkan penghancuran kebudayaan masyarakat, yang yang lalu. Siapapun tidak akan menyangkal, bahwa tidak sedikit kader-kader PMII menjadi
hingga saat ini menyisakan trauma cukup mendalam bagi para pekerja budaya. PMII berperan tokoh-tokoh mahasiswa yang memimpin berbagai demonstrasi penurunan Soeharto. Bahkan
membuka ruang artikulasi dan kreasi diri dari masyarakat agar tercipta sentrum-sentrum kebudayaan hingga kini, beberapa pentolan organisasi semi legal yang besar di Indonesia juga dipimpin oleh para
yang plural, pembebas, dinamis dan mencerahkan. Pada saat yang sama PMII juga total dalam aktifis (mantan) PMII.
membongkar kesadaran naif masyarakat yang tercermin dalam pola berfikir, bersikap dan bertindak
mereka yang monolitik, pasif, penuh was-was, dan anti (alergi) perubahan. Oleh karena itu, gerakan
kebudayaan PMII terkonsentrasikan pada upaya pembudayaan diri dan masyarakat, sehingga individu
dan kolektif masyarakat menjadi otonom, bebas, kreatif dan dapat merealisasikan diri sebagaimana
mestinya.
Sasaran penciptaan kebudayaan baru yang membebaskan dan mampu menjawab tuntutan
zaman (modernitas) adalah pada kebudayaan masyarakat (Islam) tradisional dan kelompok marginal
lain. Protes PMII atas tradisi kehidupan, keberagamaan masyarakat tradisional, sekaligus sikap nrimo
mereka atas peminggiran struktural dari rezim Orde Baru merupakan salah satu upaya PMII dalam
merangsang tumbuhnya budaya baru yang lebih memanusiakan manusia.
PMII mencoba mengangkat tema-tema penaklukan kultural (cultural imposition) oleh rezim
penguasa otoriter dan kekuatan global atas kebebasan, hak (asasi) politik dan living tradition
Karenanya, PMII harus memiliki kemampuan menggerakkan setiap resources pergerakan se- era titik balik berupa pudarnya gerakan PMII akan semakin mengemuka, menghalangi segenap
efektif mungkin bagi upaya pengembangan (akumulasi) jaringan organisasi, baik yang bersifat kritisisme, liberasi, dan independensi PMII di semua lini organisasi dan gerakannya.
intelektual, kultural, sosial maupun politik, demi penciptaan situasi produktif pada level makro maupun
mikro politik organisasi. Terciptanya situasi produktif itu akan membuka ruang bagi PMII untuk
Kritik-Otokritik Logistik Organisasi
merebut kepemimpinan politik di berbagai level gerakan. Tujuan yang terpenting adalah segala
Salah satu hal paling sulit untuk diungkapkan ke permukaan selama ini adalah masalah logistik
gerakan politik PMII mesti harus mampu mempengaruhi policy maker, agar selalu berpihak pada
organisasi PMII. Padahal, semuanya juga mafhum, bahwa logistik merupakan persoalan yang cukup pokok
rakyat. Oleh karena itu, efektifitas gerakan politik PMII bukanlah di ukur dari sejauh mana keuntungan
dan krusial. Tidak ada satupun organisasi yang tidak membutuhkan biaya, begitu pula PMII. AD-ART
politis yang PMII dapatkan, melainkan apakah gerakan itu mampu mendorong terciptanya sebuah
PMII sebenarnya telah mengatur aturan main penggalangan dan mekanisme pengelolaan pendanaan
sistem politik dan pemerintahan demokratis yang dicirikan dengan adanya supremacy of law,
tersebut, tetapi masih bersifat general, karena itu perlu diturunkan lebih detail. AD-ART hanya
dihormatinya hak-hak politik rakyat, menjunjung tinggi nilai-nilai universal demokrasi, civilian
mengandalkan pemasukan pendanaan PMII bertumpu pada iuran anggota, yang itu dalam pelaksanaannya
supremacy, dan konstitusionalisme.
dari dulu hingga sekarang, sulit diterapkan. Ini penting dikemukakan, meski sebagian besar kader PMII
Paparan-paparan di atas, sebenarnya menunjukkan kepada kita, bahwa strategi gerakan PMII menganggap persoalan logistik itu masalah teknis, bukan pokok, tetapi kita juga tidak bisa mengingkari
tidaklah mengawang dan kehilangan relevansinya dengan persoalan zaman ataupun problematika dasar bahwa kemandirian (independensi) organisasi maupun jaminan keberlangsungan aktifitas (program) PMII
dari masyarakat Indonesia. Namun, bukan berarti strategi gerakan PMII yang meliputi banyak dimensi salah satunya sangat ditentukan oleh tersedia tidaknya dana. Jika dalam masalah pendanaan ini PMII bisa
itu kemudian menjadi sebuah strategi paling ideal. Masih sangat terasa kekurangannya di sana-sini, mandiri, maka itu akan menjadi salah satu garantie utama, kader-kader PMII tidak mudah terbeli oleh
seiring percepatan perubahan masyarakat akibat globalisasi teknologi, informasi dan ekonomi. kelompok kepentingan (politik) manapun.
Apalagi, dalam setiap melakukan proses social enlightment, PMII dituntut merumuskan Seluruh kader PMII mesti sudah tahu betul (bahkan sebagian telah merasakan sendiri), bahwa
sebuah master plan sebagai panduan dalam melakukan gerakan kulturalnya. Namun, harus diakui, telah berapa ratus pengurus PMII di semua tingkatan yang diakhir kepengurusannya bisa jatuh (ditolak
bahwa hal ini hingga sekarang belum juga ditemui di PMII, kalau toh ada, itupun baru terbatas pada LPJ atau bahkan diganti ditengah jalan) hanya gara-gara persoalan logistik ? Betapa kemudian forum-
diskursus dan percikan konseptual saja, belum sampai pada terbentuknya sebuah formulasi strategik forum Kongres, Konkorcab, Konfercab, RTK dan RTAR berubah laksana killing field bagi para pengurus
gerakan kebudayaan PMII yang holistik dan terpadu, jelas bangunan epistimologi dan aksiologinya serta yang telah berjibaku mengemban amanat dalam satu periode kepengurusan, tanpa dibayar, bahkan
operable. Terlebih jika rancang bangun gerakan kultural itu diarahkan untuk, meminjam istilahnya seringkali harus tekor untuk mengurusi PMII, dan pontang-panting meminta sumbangan alumni untuk
Almond, the civic culture, maka harus diakui bahwa PMII masih belum serius mempersiapkan dirinya sebuah kegiatan, bahkan seringkali dimarahi atau malah dicaci oleh alumni, hanya karena terlalu sering
menuju ke sana. meminta bantuan mereka. Meski, kita tidak bisa menafikan, tak sedikit para pengurus menyalahgunakan
Artinya, PMII sejak sekarang dan ke depan sudah harus mulai kembali merajut blue print kewenangannya untuk kepentingan pribadi, ataupun yang membawa-bawa nama organisasi dijual
strategi gerakan PMII yang mampu menjawab tuntutan perubahan zaman. Hal ini sangat penting, keberbagai pihak demi keuntungan pribadi. Namun, apapun persoalannya, masalah yang satu ini hingga
apalagi belakangan ini PMII diliputi oleh kegamangan dan ketidakjelasan arah pergerakannya. Parsial, hari ini masih belum terpecahkan juga jalan keluarnya yang paling rasional, efektif , dan mampu menjaga
sporadis, dan reaksioner gerakan PMII kian hari kian tampak membesar saja frekuensinya. Bahkan integritas organisasi. Disinilah kemudian, mulai beberapa tahun terakhir ini tuntutan untuk menciptakan
seringkali pengurus PMII melakukan aktifitas (membuat kebijakan) yang tidak jelas pijakan (konsep) mekanisme kontrol yang paling efektif dalam hal penggalangan dan penggunaan dana organisasi mulai
strateginya, yang paling banyak justru tidak adanya korelasi antara gerakan yang dijalankan oleh santer didengungkan.
pengurus (kader) dengan strategi gerakan yang telah PMII rumuskan dalam paradigma (kritis- Sebenarnya ada kemajuan menarik di PMII dalam Kongres ke-XIII di Medan tahun 2000 lalu,
transformatis)gerakannya sendiri. Sikap dan tindakan PMII terhadap negara (penguasa), parpol ataupun dimana dalam salah satu ketetapannya, diputuskannya Garis-Garis Besar Rancangan Anggaran Pendapatan
kekuatan-kekuatan pro demokrasi (reformasi) menjadi tidak jelas ataupun terkonsep secara benar sesuai dan Belanja Organisasi, dimana PB PMII direkomendasikan segera menindaklanjutinya menjadi sebuah
dengan ideologi dan paradigma gerakan yang telah dibangun PMII dengan susah-payah di tahun-tahun APBO PMII. Di dalamnya termaktub jelas 2 fungsi utama dari APBO itu, yakni (1) fungsi budgeting,
sebelumnya. Sangat wajar, jika hari ini, suara-suara ketidakpuasan atas PMII semakin menggelembung mengatur sirkulasi pemasukan dan pengeluaran pendanaan PMII, dan (2) fungsi controling, dimaksudkan
tidak hanya dari para aktifis PMII sendiri, atau alumninya. Bahkan, para kelompok pro demokrasi pun sebagai pagar organisasi, dimana hal ini akan menjaga adanya penyelewengan personal atas logistik
mulai mempertanyakan eksistensi dan konsistensi PMII dalam perjuangan melawan segala bentuk organisasi.
otoriterianisme, penegakan demokrasi, HAM dan civil society di Indonesia. Namun, apakah hal itu telah mampu (mau) diterapkan oleh seluruh jajaran pengurus PMII mulai
Karena itu, PMII mesti melakukan reorientasi, reaktualisi, redefinisi dan rekonstruksi strategi PB hingga Rayon ?, andaikan hal itu sudah diterapkan, lantas paramater apa yang paling memungkinkan
gerakannya agar kemudian PMII tidak semakin terasing dari komunitas pejuang demokrasi, dijadikan sebagai ukuran bahwa pemasukan dan pengeluaran logistik organisasi (pengurus) sudah senafas
kemanusiaan, dan para pembela kebenaran serta keadilan. Tanpa itu, maka kekhawatiran akan datangnya dengan AD-ART?. Hal-hal seperti ini, dari mula PMII lahir hingga sekarang selalu jadi persoalan, sebab
ada semacam organization taboo, untuk mempersoalkan hal tersebut. Alasan yang mendasari ini mengambil pilihan gerakan di era Habibie, berupa tidak adanya agenda politik yang jelas dan sikap politik
biasanya adalah ontologi PMII sebagai organisasi nir-laba dan bukan perusahaan yang profit oriented, yang tegas. Artinya, PMII terseret arus besar perebutan kekuasaan dan tidak lagi memperjuangkan
sehingga harus ada neraca keuangan dengan penghitungan debet-kredit, ataupun rugi-laba yang bisa kepentingan politik rakyat.
diaudit oleh akuntan publik secara transparan. Padahal selama ini, akuntan publik PMII itu berupa Terakhir, adalah keterlibatan PMII dalam program pemantauan Pemilu 1999, meski ada sisi
forum-forum musyawarah, seperti arena-arena kongres, konferensi, dan rapat tahunan. Disanalah (imbas) positif yang didapat, namun dampak negatif yang diakibatkannya kurang memperoleh perhatian
mekanisme kontrol organisasi dilakukan, tetapi kesempatan ini biasanya lebih bermuatan politis, jauh serius dari PMII secara kelembagaan. Siapapun juga kesulitan menyangkal, imbas dari keterlibatan PMII
dari persoalan sesungguhnya, yakni demi menegakkan integritas dan independensi organisasi. tersebut berujung tersedotnya seluruh energi dan resources PMII pada program ini, dan nyaris meniadakan
Oleh karena itu, sungguh elok jika dalam Kongres mendatang, PMII memberi ruang dan program-program lain yang mestinya dilakukan PMII.
waktu yang agak spesial kepada seluruh cabang untuk membicarakan masalah pendanaan ini sampai Sepanjang fase ini PMII bisa dinilai terjebak (terseret arus) euforia reformasi. PMII dianggap
tuntas, mulai dari dasar hukum organisasinya, mekanisme dan bentuk-bentuk penggalangan dana itu gagal mengubah kecenderungan saat itu, yakni kuatnya fenomena mobilisasi dan konfigurasi politik baru
sendiri, hingga merumuskan mekanisme kontrol yang transparan, kondusif, dapat yang melupakan nasib rakyat. Daya kritis organisasi memudar, sehingga idealitas politik PMII terpasung
dipertanggungjawabkan dan sesuai dengan ideologi serta nilai-nilai ke-PMII-an. Tanpa itu, berbagai oleh berbagai manuver organisasi yang berubah-ubah setiap saat. Pada saat ini, PMII kesulitan memilahkan
bentuk praktik pragmatisme pengurus ataupun kader akan tetap memiliki ruang gerak dan perlindungan antara ambisi personal pengurusnya dengan kehendak untuk tetap survive (diakui eksistensinya) dalam
kultural-nya. Apalagi, belakangan ini PMII didera dengan persoalan-persoalan mengerasnya isu barisan pro demokrasi dan pejuang rakyat. Apa yang kemudian terjadi di Kongres Medan, berupa
money politics yang dilakukan oleh beberapa orang pengurus PMII di berbagai tingkatan. kentaranya permainan money politics (politik uang) merupakan implikasi langsung kegagapan PMII dalam
memperjuangkan ideologi dan paradigma pergerakannya yang anti pragmatisme dan strukturalisme.
Kritik-Otokritik Relasi PMII - Negara Kedua, pasca Pemilu 1999 Abdurrahman Wahid (Gus Dur) terpilih menjadi Presiden. Figur yang
selama ini sangat karib dengan PMII. Diakui atau tidak, Gus Dur merupakan salah satu sumber inspirasi
Mulai setahun menjelang pergantian abad hingga saat ini, PMII diliputi dengan ketidak jelasan
kritisisme PMII. Selama masa kepemimpinan Gus Dur, PMII kemudian tidak serta merta masuk ke negara,
model relasi yang dikembangkannya terhadap negara. Kalau di era Orde Baru sikap PMII terhadap
namun juga tidak secara ketat menjaga jarak (menarik diri) dengan negara. Fase ini merupakan masa yang
negara (penguasa) begitu jelas, yakni non-kooperatif. Namun di era reformasi sekarang ini, pola relasi
paling sulit bagi PMII untuk mengambil sikap posisi dan perannya terhadap negara. Beragam kegamangan
yang dibangun PMII terhadap negara menjadi tidak jelas dan kadang-kadang lebih sering pada posisi
itu lahir akibat PMII masih dihinggapi ketidakpercayaan (tidak memprediksi) atas realitas menegaranya
abu-abu. Memang ada beberapa hal yang kemudian menyebabkan ambivalensi dalam setiap langkah
Gus Dur beserta seluruh komponen pendukungnya (NU & PKB dimana banyak alumni PMII berkiprah di
organisasi yang diambil PMII dalam menyikapi realitas negara dan segala kebijakannya. Sejumlah
dalamnya).
faktor itu diantaranya adalah : Pertama, masa Habibie hingga Pemilu 1999. Banyak pihak menilai
Kecenderungan yang mengemuka saat itu adalah menyeruaknya fenomena mobilitas vertikal,
bahwa PMII tidak begitu total men-support gerakan mahasiswa lainnya dalam pelengseran Soeharto.
dimana PMII kemudian menjadi kendaraan politik para elit dan alumninya untuk memasuki gerbong-
PMII sebagai anak kultural NU dirasa oleh kelompok radikal gerakan pro demokrasi sebagai
gerbong kekuasaan. Realitas itu merupakan anti klimaks kritisisme PMII yang selalu digaungkan secara
salah satu entitas yang memberi ruang besar pada Habibie dalam menggantikan Soeharto. Indikatornya
ajeg sejak kekuasaan Orde Baru. PMII yang selama Orde Baru diidentikkan sebagai kelas marginal
adalah perubahan sikap PMII 180 derajat, yang semula menolak Habibie sebagai presiden, beberapa
beringsut menjadi quasi kelas menengah yang memiliki agenda, karakteristik dan tujuan yang berbeda
bulan kemudian PB PMII justru melakukan audensi dengan Habibie. Inilah yang mengakibatkan
dengan sebelumnya. Kemudian banyak pihak mempertanyakan ke mana elan vital gerakan kultural PMII
datangnya kecaman bertubi-tubi pada PMII. Terlepas audensi itu strategis atau tidak, namun image
yang selama ini menjadi trade mark perjuangan PMII. Aksi jalanan, advokasi, penyadaran politik kepada
publik yang terbangun jelas sekali menyiratkan bahwa PMII masih belum mampu bersikap independen
rakyat, dan berbagai gerakan populis PMII lainnya, seakan mampat (terhenti) di hampir seluruh lini
(mengekor) terhadap NU. Karena kemudian terbukti bahwa sikap penerimaan atas kepresidenan Habibie
organisasinya. Inilah saat-saat paling menggelisahkan selama PMII berdiri, yakni keterlibatan PMII
itu lebih didasari statemen PBNU yang juga menerima Habibie sebagai presiden pemerintahan
sebagai kelas penguasa (the rulling class). Apalagi, menjelang kejatuhan pemerintahan Abdurrahman
transisional untuk segera menyelenggarakan Pemilu secepat mungkin.
Wahid, PMII terbetot pada kecendrungan mempertahankan kekuasaan dan melupakan agenda pokok
Indikator selanjutnya adalah keterlibatan beberapa Pengurus Besar hingga beberapa pengurus
gerakan, yakni pejuang kritis penegakan kedaulatan rakyat dan transformis merubah masyarakat menuju
Korcab dan Cabang PMII yang ditarik menjadi pengurus Parpol (terutama di PKB dan PPP).
terciptanya civil society.
Perangkapan jabatan itu tidak segera disikapi secara cepat oleh PMII, meski kemudian PB menegaskan
Ketiga, di masa kepemimpinan Megawati Taufik Kiemas, shock yang hebat atas kejatuhan Gus
bahwa para pengurus PMII yang merangkap jabatan di PKB atau partai manapun untuk segera melepas
Dur dari kursi kepresidenannya, tak juga menghilangkan mobilitas vertikal para elit PMII di pusat
kepengurusannya di PMII. Namun, PMII kurang menyadari imbas di bawah, yakni betapa PMII
maupun daerah. Perbedaannya mungkin hanyalah saaat ini PMII bukan lagi menjadi bagian dari kekuasaan
kemudian kehilangan kepeloporan di bawah dalam mensikapi fenomena menjamurnya partai baru
itu sendiri. Dus, jika pada masa Gus Dur berkuasa PMII masuk dalam kelas penguasa yang
berupa pengikisan independensi PMII dari kekuatan politik manapun, dan kegamangan dalam
mengakibatkan PMII tidak mengambil jarak dengan kekuasaaan, maka di era Mega, PMII masih dibius peradilan, menguatnya kembali formalisme agama, serta ketidaksepakatan para elit politik atas konsep
oleh aroma mengejar akses kekuasaan. Peristiwa jalan sehat PMII dengan Wapres Hamzah Haz, dan recovery ekonomi apa yang mesti diambil.
isu keterlibatan orang-orang istana yang melingkungi pertemuan Indonesian Student Asembly (ISA) di Benar tesa Hungtinton (1962) beberapa tahun sebelum Orde Baru mampu menancapkan
Bali akhir Desmber 2002 yang lalu, serta tidak adanya keterlibatan aktif PMII di tingkat pusat dalam keangkuhannya, bahwa perubahan melalui jalur reformasi jauh lebih sulit dibanding melalui revolusi.
berbagai aksi penolakan atas kenaikan BBM, TDL, dan telephon serta penyeruan penurunan harga, Revolusi dinilai lebih menjamin terjadinya perubahan dengan cepat dalam menyingkirkan semua elemen
dibaca oleh beberapa kalangan PMII di bawah dalam kerangka dukung-mendukung kekuasaan demi lama, sedangkan reformasi karena wataknya yang gradual, perubahan mesti dilalui dengan jalan negosiasi
kepentingan beberapa elit (alumni) PMII. antara kekuatan lama (status quo) dan baru (reformis). Akibatnya, setumpuk persoalan bangsa sebagai
Andaikan kita ber-khusnudlon, bahwa apa yang terjadi di atas sebenarnya adalah wujud social, politic and economic heritage dari Orde Baru sangat sulit dipecahkan, bahkan semakin bertambah
konsistensi PMII atas petuah Gus Dur yang disampaikan kepada elit PMII sebelum reformasi terjadi, parah saja. Disamping itu, kontestasi (kompromi) antara kekuatan (sistem) penguasa lama dengan kekuatan
bahwa janganlah PMII terlibat dalam konflik dan masuk kedalam blok tertentu, PMII harus menjadi reformasi yang cenderung dimenangkan oleh kekuatan Orde Baru semakin menyulitkan konsolidasi
perekat dari konflik-konflik dan blok yang ada. Namun, rasanya tidak pas juga, bahkan mungkin malah demokrasi di Indonesia. Amat wajar, jika hari ini muncul tuntutan dari berbagai pihak akan mendesaknya
tidak ada hubungannya sama sekali. Sebab, fenomena yang terjadi di atas justru kontraproduktif, yakni dilakukan revolusi sosial guna menghentikan seluruh proses perubahan yang berbandulkan politik dagang
PMII sudah ikut dalam blok-blok politik tertentu. sapi.
Benar tidaknya penilaian di atas, memang berpulang kepada aktifis PMII di seluruh tingkatan. Sekali lagi, rakyat harus kembali menjadi korban dari perubahan besar yang terjadi. Hilangnya
Namun, fakta bahwa PMII hari ini semakin tidak populis, tercerabut dari agenda basis, kader dan rezim otoriter Orde Baru ternyata tidak juga mampu membawa rakyat kepada kehidupan ekonomi, sosial
gerakan akar rumput harus menjadi bahan untuk melakukan kritik dan oto kritik atas organisasi. Konflik dan politik yang mampu mengangkat harkat dan martabat mereka. Penetrasi terhadap rakyat tidak hanya
internal yang berujung didirikannya PMII tandingan (PB PMII Tandingan), juga mesti dilihat dalam dilakukan oleh negara (kebijakan negara hari ini sangat menyengsarakan rakyat dan menguntungkan kelas
kerangka disorientasi PMII atas Negara, kekuasaan dan realitas sosial. Meski, ada juga yang menilai atas saja), namun juga oleh globalisasi (kapitalisme global). Penetrasi kedua kekuatan itu dalam wilayah-
bahwa konflik internal itu didorong oleh pihak luar, namun faktanya lebih memperlihatkan adanya wilayah private, seperti agama dan keluarga sangat berperan besar bagi sirnanya kemandirian dan rasa
benturan kepentingan politik internal organisasi. Jadi, apa yang terjadi selama era reformasi ini lebih percaya pada institusi publik. Politisasi agama dan kelompok keagamaan juga ikut menciptakan suasana
merupakan kegagalan sistemik, dan tidak bisa ditimpakan pada orang-perorang aktifis PMII. Artinya, ketakutan bagi sementara anggota masyarakat yang merasa tidak didalamnya. Tak pelak kecenderungan
kedakjelasan PMII merupakan kesalahan bersama dari seluruh bangunan kepengurusan dan aktifis alienasi, atomisasi, dan apatisme anggota masyarakat telah memperkeruh jalannya reformasi dan usaha
bahkan alumni PMII sendiri yang kemudian gagal mengawasi tatanan ideologi dan paradigma gerakan kearah penciptaan pemerintahan demokratik. Distorsi reformasi tidak hanya mengakibatkan luka baru
yang selama ini telah dibangun dan bahkan termaktub dalam AD-ART PMII. ditubuh bangsa ini, namun masa depan civil society, demokrasi, dan kemandirian ekonomi bangsa semakin
Artinya, relasi PMII dengan negara selama reformasi ini bergerak dalam frame yang tidak suram, terancam dan berubah menjadi mitos sosial. Lantas, apa peran PMII dalam situasi seperti ini?
jelas, mungkin secara konsepsional jelas, namun itu hanyalah di atas kertas (korpus AD-ART saja), Dimanakah PMII berada dikala rakyat membutuhkan kehadirannya dalam memperjuangkan nasib
tetapi secara faktual PMII kemudian seperti kehilangan pijakan, model relasi apa yang sesungguhnya mereka?. Tak sulit dijawab, sebab PMII sendiri juga diliputi persoalan yang sama dengan rakyat, apa yang
diinginkan oleh PMII atas realitas negara hari ini. Hal inilah yang kemudian, membawa gerbong PMII bisa PMII perbuat hari ini dan kemanakah perubahan besar ini mesti diarahkan.
berdiri dalam situasi antara, yakni tidak berada (bersama) di kelompok tertindas, dan tidak juga di Mesti diakui, bahwa selama reformasi berlangsung, pertama, PMII kehilangan ruang kritisisme
kelompok (bergabung dengan) kelas penguasa. Untuk itu, perlu pembacaan ulang (restropeksi) yang subtansial, sebab diskursus kritisisme, liberasi, transformasi sosial, civil society, pluralisme, demokrasi
serius untuk mengembalikan PMII kembali menjadi sosok gerakan yang populis, kritis, independen, maupun advokasi masyarakat tertindas yang selama ini menjadi denyut utama gerakan rakyat, LSM,
transformis. mahasiswa sudah menjadi klaim semua pihak, termasuk para penumpang gelap reformasi, partai politik
dan penguasa baru. Kedua, PMII mengalami gagap politik dan kepincut untuk meneguk keuntungan
pragmatis di tengah luapan euforia politik yang diumbar oleh semua kekuatan. Ketiga, pada tataran
Kritik-Otokritik Relasi PMII - Rakyat serta Kekuatan sipil lainnya
ideologi, visi, dan paradigma organisasi, PMII tidak mendapatkan panduan kepemimpinan dalam
Reformasi yang telah berlangsung lebih dari 4 (empat) tahun ternyata bukan merupakan jalan
menyikapi perubahan, sehingga seluruh elemen PMII bergerak sendiri-sendiri, parsial, dan kehilangan
keluar dari krisis multidimensional bangsa. Transisi demokrasi tak lebih merupakan imajinasi kolektif
karakter aslinya sebagai kekuatan di luar negara yang efektif melakukan kerja-kerja transformasi sosial,
bangsa yang dipenuhi dengan ketidakpastian. Reformasi menyeluruh yang diharapkan tak kunjung
ekonomi, politik dan budaya.
terwujud, ketertatihan meniti jalan transisi malah memberi ruang yang cukup luas kepada para kekuatan
Dalam pada itulah, tak heran jika PMII kehilangan kontak dengan rakyat, PMII kehilangan
status quo untuk melakukan konsolidasi merebut kekuasaan yang hilang beberapa tahun lalu. Fenomena
fungsi kontrolnya atas negara dan kekuasaan. Elitisme gerakan PMII juga turut menjauhkan PMII dengan
ini beriringan dengan fragmentasi elit sipil, maraknya politik aliran, kacaunya sistem hukum dan
rakyat dan kekuatan sipil lainnya. Yang paling menyedihkan, adalah kegagalan PMII secara nasional
mengapresiasikan segebok idealismenya yang tertuang diberbagai dokumen organisasi untuk menjadi barang tentu, kita sangat tidak menghendaki, tragedi ini berlangsung. Karena itu, diperlukan kesediaan dari
aktual, memperoleh ruang publik dan membumi. Lihat saja, dikala rakyat dihimpit oleh kebijakan para elit PMII yang ada untuk segera menggelar karpet pergerakan dimana seluruh komponen PMII
pemerintah seperti kenaikan BBM, listrik, telephon dan harga-harga barang serta jasa, PMII tidak begitu memperoleh ruang yang sama, hak yang sama serta kesempatan yang sama dalam rangka menakar kembali
meresponnya, serta langsung berdiri di tengah-tengah rakyat untuk menyuarakan ketidakadilan ini. posisi dan peran PMII dalam perjuangan demokrasi dan civil society di Indonesia. Dari situlah, diharapkan
Bahkan PMII lebih disibukkan dengan program-program mercu suar yang sangat jauh dari rakyat keluar pikiran-pikiran serta rumusan-rumusan cerdas yang berorientasi pada terapan, praksis sosial dan
wong cilik yang selama ini dibelanya. bukan sekedar rumusan konsepsional yang terlalu melangit, serta sukar untuk diimplementasikan.
Secara konsepsional, PMII menyediakan dirinya sebagai kekuatan penggerak terciptanya
demokrasi, kemandirian rakyat, dan keadilan sosial untuk menuju masyarakat terbuka dan setara
Kritik-Otokritik Relasi PMII - Kampus, Gerakan Mahasiswa dan Pro demokrasi
(toward open and equal society). Paradigma kritis-transformatif sendiri juga mengisyaratkan bahwa
Sejak paruh kedua dasa warsa 80 an hingga awal 2000 an, basis massa PMII tidak lagi tersentral
PMII mesti menjadi bagian tak terpisahkan dari masyarakat, karena itu akan menjadi modal sosial
di perguruan tinggi agama saja, tetapi telah mengalami pemendaran ke berbagai kampus umum. Fenomena
(social capital) pergerakan bagi proses-proses penyadaran dan pemberdayaan rakyat seluruhnya. Kalau
ini cukup menggembirakan, sebab sudah sangat lama PMII memang merindukan hal ini terjadi. Bukan
hari ini, PMII tampak jauh dari rakyat, maka hal itu lebih dikarenakan kegagalan PMII keluar dari
hanya itu, sepanjang Orde Baru berkuasa, PMII bisa dianggap sebagai bagian tak terpisahkan (pelopor)
himpitan euforis reformasi, pragmatisme politik, inkonsistensi aktifis PMII sendiri atas cita-cita
gerakan pro demokrasi di kampus ataupun negara. Dimana ada demonstarasi, advokasi maupun kerja-kerja
ideologis dan sosial organisasinya, serta lunturnya kepemimpinan ideologis, visioner yang tahan lapar
pemberdayaan, maka di situlah PMII selalu berada di tengah-tengahnya. Perkembangan tersebut lebih
di hampir banyak strata kepengurusan PMII. Dorongan dari pihak luar (parpol, militer, penguasa ataupu
dikarenakan, para aktifis PMII telah mencapai kematangan konsepsional lewat strategi gerakan
pemilik modal) tak lebih hanya menjadi stimulus sampingan bukan yang utama, bagi degradasi
pemikirannya, yang bersandarkan pada liberasi dan independensi kader. Pada fase ini PMII cukup berhasil
kritisisme dan kepedulian PMII akan nasib rakyat.
menyandarkan dirinya pada adagium bahwa perubahan sosial yang bergerak melalui social engineering
Dalam konteks penegakan masyarakat sipil yang berdaulat, tidak hanya PMII yang kemudian
mesti dimulai dengan perubahan cara berfikir, mustahil ada perubahan ke arah yang benar, kalau kesalahan
kehilangan ruang publik menjalankan fungsi-fungsinya sebagai pendobrak hegemoniknya kekuasaan
berfikir masih menjebak benak PMII.
dan kuatnya pengaruh modal (kapitalisme global), banyak organisasi sejenis juga mengalami hal yang
Tak dapat disangkal, PMII telah cukup efektif menempatkan kampus sebagai sumber raw
sama. Beberapa hal yang menjadikan fenomena ini mengeras diantaranya adalah terjadinya pemiskinan
material organisasi dimana setiap denyut perubahan mesti dimulai dari sana melalui tersedianya resources
diskursus civil society tergantikan oleh menggemuruhnya perdebatan (discourse), bahkan pertentangan
PMII yang cakap, kritis, dengan integritas moral yang tinggi. Strategi operasional yang terus
antar kelompok (kekuatan politik) tentang sistem politik dan pemerintahan apa yang paling kondusif
dikembangkan PMII adalah seperti yang diungkapkan oleh sahabat Muhyidin Arubusman (Ketua Umum
diterapkan di Indonesia dalam masa transisional ini. Lebih lanjut, deraan berbagai persoalan konflik
PB PMII 1981-1985), pertama, setiap kader PMII harus merebut indeks prestasi tertinggi, kedua, harus
horisontal maupun vertikal yang terjadi selama kepemimpinan sipil juga turut memperparah
mampu merebut jabatan-jabatan strategis di lembaga-lembaga kemahasiswaan, dan ketiga, setiap kader
tenggelamnya wacana serta gerakan pemberdayaan sipil yang sistemik, menyentuh akar persoalan, dan
PMII harus merebut simpati mahasiswa dengan menghiasai dirinya dengan integritas moral yang tinggi,
konsisten dari seluruh kekuatan penggerak civil society.
perangai yang baik dan melek sosial.
Apalagi, PMII sekarang ini dihadapkan kepada realitas dalamnya kedukaan masyarakat Islam
Meski penguasa memberlakukan NKK/BKK atau depolitisasi gerakan mahasiswa dengan
tradisional (NU) yang hanya sebentar menikmati enaknya dipimpin oleh presiden RI yang berasal dari
menghapus Dewan Mahasiswa, hal itu justru memberi ruang yang cukup luas bagi PMII untuk
dalam tradisinya sendiri (Gus Dur), untuk kemudian dijatuhkan secara inkonstitusional melalui kudeta
mengembangkan sayap pergerakannya. Bertebarannya kantong-kantong massa PMII diberbagai perguruan
parlementer. Beban sosial ini cukup mengganggu PMII karena fenomena tersebut berujung pada
tinggi, semakin menambah ghirah perjuangan PMII dalam menegakkan kebenaran, kejujuran dan keadilan.
menipisnya kepercayaan masyarakat luas akan otoritas kepemimpinan ulama. Jika, tesa ini benar, lantas
Pergerakan mahasiswa yang sulit dipisahkan secara kultural oleh masyarakat tradisional ini hingga kini
apalagi yang bisa men-drive rakyat (baca ; umat NU) selain dari kedalaman ilmu dan keagungan akhlak
telah mampu berdiri di 160 lebih kota/kabupaten di seluruh Indonesia. Namun, ada masalah yang
ulama?. Yang paling ditakutkan kemudian adalah munculnya materi (uang) sebagai driver politik dan
menggelayut dan segera memerlukan perhatian serius dari seluruh pengurus dan insan pergerakan.
sosial dari rakyat menggantikan keunggulan ilmu (agama maupun umum) dan ketinggan akhlak
Diantaranya adalah mulai menguatnya gerakan semi legal dan favoritnya gerakan kemahasiswaan yang
tersebut.
mengedepankan formalisme Islam (semacam usrah, LDK, KAMMI, Hizbut Tahrir).
Bila ini benar-benar terjadi, maka tugas PMII menjadi semakin berat dan kompleks dalam
Pertumbuhan organ mahasiswa ini, belakangan sangat massif dan lebih mampu menawarkan
menggerakkan kembali masyarakat Islam tradisional (NU) sebagai salah satu lokomotif civil society di
ideologi gerakan mereka kepada mahasiswa. Hampir seluruh jabatan ketua senat (presiden mahasiswa) di
Indonesia. Dus, kegagalan PMII memperoleh ruang publiknya kembali, berarti pula kegagalan proyek
kampus-kampus ternama di kota-kota besar dan selama ini menjadi parameter pergerakan telah mereka
pemberdayaan sipil secara luas di kalangan masyarakat marginal. Jika tidak, maka sebenarnya PMII
kuasai. Aliansi taktis maupun strategis antara organisasi ekstra-instituter dengan intra-instituter ini di era
memang benar-benar telah terpinggirkan dalam arus besar kekuatan pro demokrasi, dan rakyat. Sudah
Megawati malah semakin sering dilakukan. Sementara itu, PMII seakan ditinggal oleh mereka. Terlepas
ada perbedaan ideologi yang cukup besar antara PMII dengan kedua organisasi tersebut, namun harus memungkinkan dunia kemahasiswaan bisa terus berkembang searah dengan kepentingan bangsa ke depan.
diakui mereka lebih berhasil menjajakan gagasannya di kampus-kampus. Bahkan, PMII sudah mulai Untuk itu, PMII mesti mampu menyadari beberapa hal, pertama, mahasiswa merupakan kelas menengah
kehilangan kendalinya atas kampus, ini tercermin dengan semakin menipisnya jumlah (kuantitas) intelektual yang memiliki karakteristik berbeda dengan angkatan pendidikan lainnya. Intelek, independen,
kader yang siap berjibaku, berjuang bersama PMII dalam meneriakkan ketidakadilan, lepasnya beberapa disiplin, dinamis, peka sosial, gandrung akan ilmu dan kemajuan merupakan ciri uatamnya. Kedua, dunia
posisi strategis di kampus dari tangan PMII dan ketersumbatan komunikasi PMII dengan kelompok pro kemahasiswaan merupakan tahapan akhir penggodokan calon pemimpin bangsa melalui jalur pendidikan
demokrasi lainnya. formal, dalam konteks ini sepatutnya PMII merebut ruang gerak dalam mengaktualisasi dan mematangkan
Disamping itu, hambatan komunikasi antara PMII dengan organisasi intra-instituter di diri dalam kehidupan bernegara, berbangsa dan bermasyarakat. Ketiga, kualitas komunikasi dan suasana
beberapa daerah juga tengah mengkristal, mereka lebih suka menjaga jarak dari pengaruh (hegemoni) dialogis serta penempatan posisi mereka sebagai orang dewasa, hendaknya menjadi acuan dasar bagi PMII
organisasi ekstra kampus, seperti PMII, yang dianggap selama ini masih belum terbebaskan dari dalam melakukan proses pendigdayaan mahasiswa tersebut. Keempat, hendaklah mesti disadari bahwa
selubung kepentingan-kepentingan politik praktis dari para alumninya, disamping organisasi ekstra hakikat jati diri mahasiswa adalah sebagai insan religius, insan akademis, insan sosial, dan insan mandiri,
kampus tersebut tidak mampu ditarik untuk memperjuangkan perbaikan kebijakan internal kampus karena itu PMII harus mampu menghantarkan mahasiswa untuk menemukan jati diri mereka.
mereka. Kemandirian akan logistik gerakan dari gerakan organisasi ekstra kampus, serta ketergantungan Jika beberapa hal di atas tak mampu juga dilakukan PMII, maka keprihatinan Gus Dur atas
organisasi intra kampus yang masih menggantungkan pendanaan aktifitas mereka kepada pihak kampus, degradasi PMII semakin nyata, menurutnya PMII saat ini dalam posisi yang ngambang dengan kreatifitas
juga turut menyebabkan mereka mempertimbangkan dirinya berkolaborasi dengan organisasi ekstra serta langkah-langkah yang berkembang, PMII hampir tidak peduli dengan persoalan-persoalan yang
kampus. Perkecualian terjadi, pada kampus-kampus yang para pemegang jabatan strategisnya berasal menyangkut rakyat kecil, sebab melulu berorientasi ke atas. Mestinya, PMII memerankan dirinya sebagai
dari (anggota) organisasi ekstra kampus. pengontrol efektif para pemegang kendali pemerintahan ataupun legislatif dalam menjalankan tugasnya,
Kalau kemudian realitas di atas kita rujukkan dengan strategi penguasaan kampus yang ataupun mempelopori gerakan oposisional non-permisive atas negara. Jika ini telah dilakukan, maka PMII
sahabat Muhyidin paparkan di atas, apakah itu berarti terjadinya degradasi intelektual, idealisme dan tidak boleh meninggalkan tugas-tugas kemanusiaan dan kemasyarakatannya, serta meninggalkan tradisi
moral para aktifis PMII ? Tidak mudah menjawabnya, sebab generalisir atas fenomena tersebut justru sebagai organisasi yang hanya terkonsentrasi pada pembinaan kader-kader politik semata.
akan menjebak kita pada sikap fallacy of dramatic instance. Hal ini bermula dari dari kecenderungan
kita untuk melakukan over-generalization, yakni penggunaan satu dua kasus untuk mendukung hujjah
yang bersifat umum. Akibatnya, kecenderungan yang over-generalized itu semakin sulit dipatahkan, Kritik-Otokritik Relasi PMII - Kekuatan Kapitalisme Global
karena satu dua kasus rujukan itu kebanyakn diambil dari penilain pribadi orang-perorang ( individuals Abad 21 dianggap sebagai abad perang ekonomi. Perang ini semula mengacu pada kebijakan
personal experience). Apalagi jika kita terjebak pada fallacy of restropective determinism, yang menilai ekonomi yang digunakan sebagai satu barang tambahan bagi operasi militer selama masa perang.
bahwa apa yang menimpa PMII hari ini tidak lebih sebagai sesuatu yang secara historis memang selalu Tujuannya adalah unuk menguasai atau menaklukkan sumber daya strategis sehingga kekuatan
ada, tak terhindarkan, dan akibat dari perjalanan sejarah yang cukup panjang. militer dapat beroperasi dengan daya maksimum, atau untuk membuat musuh kehilangan sumber
Tidak etis memang, menilai keadaan PMII hari ini dengan menggeneralisirnya secara nasional daya sehingga kemampuan tempurnya melemah. Blokade, black list, pembelian mendahului, imbalan
di seluruh tingkatan mulai dari PB hingga Cabang atau dengan menimpakan pada determinisme historis (reward) dan hukuman (punishment) merupakan beberapa teknik yang sering dipakai dalam perang
bahwa peristiwa melunturnya basis-basis gerakan PMII sebagai siklus historis (pasang surut) biasa yang dunia II. Sedangkan dalam konteks hari ini, perang ekonomi adalah tindak lanjut dari kebijakan
lumrah terjadi sejak puluhan lampau. Namun apapun penilaiannya, patut kita kritisi bahwa PMII hari ini internasional dari NIM kepada negara dunia ketiga (seperti Indonesia) di sepanjang perang dingin
memang kalah bersaing dengan organisasi mahasiswa lain dalam mendapatkan simpati kampus, maupun (cold war) dalam rangka menjaga keamanan mereka sendiri dengan jalan memperkuat kemampuan
gerakan pro demokrasi lainnya. Keterpisahan PMII dari kampus dan kelompok pro demokrasi lainnya, militer negara sekutu, kepentingan politik Negara Industri Maju (NIM), pengendalian tetap atas
lebih disebabkan pada kegagalan PMII menjual ide atau gagasannya. PMII ibarat sebuah komoditi, Negara Dunia Ketiga (terutama negara-negara yang memiliki sumber daya alam yang melimpah,
gagal ditawarkan oleh para aktifisnya kepada publik, daya saing sebagai comparative advantage tidak seperti minyak bumi, baja, emas, dan lain sebagainya), dan kelangsungan serta kejayaan ekonomi
dimiliki PMII lagi. Daya saing itu adalah kritisisme, kecemerlangan pemikiran, progresifitas gerakan ataupun ideologi negara-negara maju itu sendiri.
dan integritas moral yang tinggi. Kesemua hal tersebut, seakan telah menjadi barang langka di PMII. Imperialisme ekonomi sebagai perang tak langsung (indirect war) itu biasanya berbentuk,
Meski begitu, kita tidak bisa menggeneralisir hal ini, sebab masih banyak juga aktifis PMII yang masih pertama, bantuan militer, yang digunakan untuk melakukan pengendalian tetap, dimana pengendalian itu
memegang teguh prinsip-prinsip di atas dan mampu menjajakannya secara jitu di kampus-kampus dan memberikan garansi partial bahwa negara penerima akan menggunakan kekuatan militernya dengan pola
kelompok pro demokrasinya, sehingga PMII tidak mengalami self-alienating. dan tujuan yang sesuai dengan kepentingan negara donor. Kedua, bantuan teknis, dirancang untuk lebih
Dalam konteks ini, kita bisa menoleh kepada proposisi sahabat Iqbal Assegaf, yang menyebarkan pengetahuan dan keahlian, bukan pangan ataupun uang. Ketiga, program hibah dan impor
menghendaki PMII mampu membuat terobosan-terobosan kreatif, inovatif, visioner dan aktual yang komoditi, yang biasanya diberikan dalam kondisi darurat, seperti bantuan AS terhadap program pemulihan
Eropa dan program Keamanan Bersama. Keempat, pinjaman pembangunan, yang diembel-embeli keuangan dan perdagangan internasional lainnya. Apabila ini terjadi, maka dipastikan pasar dalam negeri
syarat-sayarat yang mengikat, bahkan banyak negara peminjam harus membayar jumlah bunga pinjaman akan lesu, pengangguran menggunung dan akhirnya, dapat memicu konflik sosial dan politik atau
masa lampau yang jauh lebih besar daripada jumlah pinjaman baru yang mereka peroleh. Dengan ketidakpuasan rakyat atas pemerintahnya. Ketidakberdayaan pemerintah Indonesia di depan IMF
demikian, pinjaman akhirnya menggambarkan pengaliran bersih dana dari negara yang sedang merupakan cerminan tingginya ketergantungan bangsa ini ke sumber daya keuangan ke atas, sembari
berkembang kepada pihak kreditor (negara donor dan rezim moneter internasional). mengacuhkan (menganggap terlalu lamban dan remeh) upaya eksplorasi potensi basis dalam negeri. Apa
Rezim Orde Baru sendiri adalah pihak yang patut dipersalahkan dan bertanggungjawab penuh yang terjadi hari ini pada rezim Mega-Hamzah merupakan contok kongkrit penyerahan bangsa yang
atas terpuruknya bangsa ini ke dalam krisis multidimensional di segala bidang akibat kolonialisme besar ini ke pangkuan kekuatan global, sementara itu para pejuang negeri tertunduk tak kuasa melawannya.
kapitalis tersebut. Apa yang selama ini dipahami dan diterapkan di Indonesia sebagai Sungguh ini ironi reformasi, bangsa kita seakan selalu ditimpa kemalangan tak berkesudahan, keluar dari
developmentalisme, pertumbuhan ekonomi berorientasi trickle down effect, stabilitas politik dan mulut otoritarianisme.
keamanan, serta pemberlakukan kebijakan floating mass ternyata tak lebih dari produk kebijakan rezim Sangat wajar, jika dalam menghadapi WTO dengan konvensi perdagangan bebasnya yang
komprador kapitalis di Indonesia. Oleh karena itu, ketergantungan Indonesia yang sangat besar kepada diberlakukan mulai tahun 2003 ini, persiapan-persiapan ke arah sana belum sepenuhnya disiapkan oleh
bantuan luar negeri (menggunungnya huang luar negeri), rendahnya kemampuan daya saing bangsa bangsa kita. Secara formal, mungkin pemerintah telah melakukan berbagai persiapan, atau berusaha untuk
Indonesia, terjerambabnya bangsa kita pada politik aliran, dan pertentangan tak berkesudahan bentuk ikut mempengaruhi berbagai pertemuan WTO seperti yang telah diselenggarakan di Qatar kemarin, tetapi
dan dasar ideologi negara, diberlakukannya pasar bebas regional dan internasional mulai saat ini dan hal ini tak menghilangkan kekhawatiran publik bahwa, persiapan-persiapan formal itu, seperti yang sudah
beberapa tahun mendatang merupakan bukti kongkrit kemenangan NIM atas negara berkembang terjadi selama ini hanya akan berhenti pada formalitas belaka. Dus, sejumlah aturan baru akan diadakan
(Indonesia). atau deregulasi akan dibuat, namun kurang berorientasi (berdampak) pada penguatan ekonomi yang
Globalisasi ekonomi dan globalisasi demokrasi adalah dua hal yang sampai kini memiliki berbasis masyarakat dalam menghadapi pelaksanaan konvensi pasar bebas WTO. Hal ini terjadi karena
perbedaan mencolok. Globalisasi ekonomi hampir identik dengan modal, produksi, jasa pelayanan dan basis policy maker mengabaikan kepentingan publik dan seperangkat aturan baru itu dibuat dan
keuntungan, yang dijaman sekarang semuanya tak dapat dilepaskan dengan kapital. Sedangkan dilaksanakan tanpa melalui sosialisasi kepada publik terlebih dahulu.Kini, tak ada lagi alasan bagi PMII
globalisasi demokrasi lebih banyak mengusung dengan nilai-nilai kemanusiaan, keadilan, feminisme, untuk tidak bergerak, merumuskan konsep-strategi, mengabarkannya kepada semua rakyat, menggugah
HAM serta perlindungan lingkungan hidup dan ekologi, yang pada saat ini lebih banyak bersentuhan kesadaran bersama serta mengajak seluruh elemen bangsa membangun semua potensi (SDA dan SDM)
dengan pemberdayaan rakyat, dimanapun ia berada, meski dibalik itu semua tetap saja menyimpan yang dimiliki, menuju pada kemandirian ekonomi bangsa agar memilki daya saing dan nilai tawar yang
watak halus imperialisnya. tinggi atas seluruh kekuatan-kekuatan global itu. Sehingga, bangsa ini mampu berdiri tegak sejajar dengan
Globalisasi ekonomi paska cold war mengalami kemajuan yang luar biasa cepatnya dan bangsa-bangsa lain dan diakui sebagai warga dunia.
mempunyai daya tekan semakin besar. Globalisasi ekonomi, tak lagi monopoli negara-negara industri, Padahal, hampir tidak ada satupun dari gerakan mahasiswa yang tidak mengusung wacana anti
yang konotasinya sebagai sarang kapital. Tetapi pada saat ini kapital tidak lagi mengenal negara, artinya, kapitalisme global sebagai kredo dan isu perjuangannya. Kesadaran bahwa kapitalisme merupakan musuh
korban dari globalisasi ekonomi paska runtuhnya tembok Berlin, jatuhnya komunisme di Eropa Timur bersama setelah etatisme negara begitu kuat tertanam di benak organisasi kemahasiswaan (baik intra
dan pecahnya Soviet, tidak lagi masyarakat di negara-negara dunia ketiga, melainkan sudah ataupun ekstra instituter). Perbedaan yang mencolok di antara mereka biasanya hanya pada cara pandang
merengsek pada masyarakat di negara-negara industri juga. Seperti adanya capital flight dari negara- dan model strategi perlawanan praksisnya saja atas hegemoni kekuatan global. Sedangkan persamaan dari
negara industri ke negara lain yang lebih menguntungkan, yang kemudian dapat berakibat semakin semua gerakan mahasiswa, adalah menjadikan forum ilmiah, demonstrasi, penerbitan tulisan (makalah,
banyaknya pengangguran, dan merosotnya tingkat kesejahteraan serta semakin berkurangnya rasa aman jurnal, buletin dan buku) dan advokasi sebagai bentuk perlawanan atas hantaman kapitalisme.
masyarakat disana. Lebih jauh, bangunan welfare state yang banyak diterapkan di negara-negara Eropa Kecenderungan 4 (empat) tahun terakhir malah menunjukkan bahwa PMII terlalu asyik
tinggal menjadi kenangan masa lalu saja. membincangkan kapitalisme internasional, sembari membiarkan gurita capital, MNC/TNC, IMF, World
Pergeseran aktor secara massif mulai terjadi, motor-motor globalisasi ekonomi bukan lagi Bank, GATT, WTO terus menancapkan kukunya dalam dimensi ekonomi-politik bangsa. Indikator
negara-negara industri yang mampu mengerahkan kekuatan militer dengan persenjataan dan peralatan termudahnya adalah sedikitnya peran PMII (mahasiswa secara keseluruhan) dalam proses transformasi
super canggihnya, melainkan lembaga-lembaga keuangan dan lembaga perdagangan internasional, sosial politik, sosial budaya, dan sosial ekonomi. Sungguh tak patut menyalahkan PMII, sebab hal ini
pelaku ekonomi kelas dunia, para ahli ekonomi kelas wahid, politisi yang tersohor di dunia, media- sebenarnya kesalahan bersama dari para elit bangsa yang gagal membawa bangsa Indonesia menciptakan
media massa raksasa dan para pialang bursa bersama institusinya. sistem politik dan pemerintahan demokratis, pengetahuan dan kesadaran rakyatnya akan ekonomi politik
Negara dunia ketiga, seperti Indonesia ternyata takluk berhadapan dengan IMF. Menolak internasional (EPI), dan kemandirian ekonomi. Sebab itu semua merupakan modal dasar bangsa ini untuk
usulan IMF berarti terhentinya kucuran dana dari mereka, dan lebih jauh, penolakan saran IMF berarti menghadapi globalisasi, disamping melimpahnya SDA dan SDM, serta posisi geografis, geo-strategik, dan
membuka trend negatif bisnis dan investasi serta membuka permusuhan terhadap lembaga-lembaga geo-politik nusantara.
Memang tidak mudah, merumuskan pola perlawanan yang cukup efektif dan komprehensif. PMII : Organisasi Protes
Beberapa tahun yang silam di PMII sendiri lahir beberapa tawaran yang bisa diperankan oleh PMII
dalam menghadapi kapitalisme, seperti; pertama, tawaran partnership; yang dimaksudkan melahirkan
daya bargain bangsa atas kekuatan asing, kedua, PMII berusaha merebut pusat peradaban, dan ketiga, Sejarah Tumbuhnya Kritisisme di PMII
melakukan isolasi besar-besaran seperti yang dilakukan oleh Jepang di masa lalu atau seperti yang Keberanian aktifis PMII untuk mempertanyakan segala yang tersisa dari tradisi, sangat
dipraktikkan oleh negara komunis-sosialis dengan socialist revolution development (SRD). dipengaruhi oleh sosok Gus Dur. Pola pikir seperti ini kemudian jika ditarik garis ke belakang, akan
Model pilihan gerakan manapun yang PMII pilih dari ketiganya, rasanya terlalu gegabah kalau menemukan akar kritisisme PMII dalam wilayah pemikiran dimulai pada saat Gus Dur hijrah ke Jakarta
kemudian PMII melakukan hal itu sendirian. Tanpa adanya kesadaran bersama seluruh elemen bangsa dan mulai aktif menulis di berbagai media (sekitar awal 80-an). Keberhasilan Gus Dur mengangkat
akan ancaman global, mulai berlakukanya perdagangan bebas AFTA, APEC (1 Januari 2003), NAFTA berbagai persoalan Islam tradisionalis Indonesia (NU) dalam belantara diskursus kebudayaan, kebangsaan
dan perdagangan bebas dunia 2010 nanti, serta kemandirian rakyat, dipastikan perlawanan terhadap dan kepolitikan Indonesia melalui tulisan-tulisan dan pikiran-pikiran menggugahnya di berbagai forum
kapitalisme global hanya akan berhenti ditingkatan discourse saja. Paling optimal, PMII hanya ilmiah (diskusi) telah mampu mengangkat kepercayaan diri para aktifis PMII saat itu (yang massanya
sanggup mengemukakan efek-efek negatif kapitalisme global tidak lebih dari itu. Meski begitu, mulai tersebar juga di kampus-kampus umum dan negeri, tak lagi terkonsentrasi di IAIN atau perguruan
betapapun beratnya tugas itu, PMII harus tetap serius menjalankan peran-peran penyadarannya ke tinggi Islam swasta lainnya).
seluruh elemen bangsa, sambil merangsang mereka untuk segera melakukan upaya-upaya antisipatif Sejak itulah, lembaran baru kritisisme PMII tertoreh. Sebab, sebelumnya, pada awal dasa warsa
terhadap kolonialisme model baru tersebut. 70-an, PMII lebih disibukkan oleh pergulatan internal (penataan organisasi) dalam usahanya melepaskan
Minimal, kedepan PMII mesti mulai membedah secara serius dan intens bermacam wacana diri dari kungkungan historis, kultural dan ideologis dengan partai NU maupun PPP. Sementara itu HMI
ancaman global berkaitan dengan penuhanan pasar, rezimentasi (moneter dunia) kekuatan global, telah memiliki seorang pemikir seperti Noercholis Madjid, dengan pemikiran neo-modernisnya mampu
politik internasional, militer internasional, degradasi lingkungan sebagai isu global, dan hukum serta mengangkat ghirah kawan-kawan HMI dalam perambahan intelektual mereka yang memang anggotanya
perjanjian internasional, dalam berbagai ladang-ladang kajian dan dalam kancah-kancah perjuangan telah tersebar di berbagai kampus negeri dan umum. Jargon Cak Nur Islam yes partai Islam no, sekaligus
pemberdayaan rakyat yang dilakukan PMII dimanapun ia berada. Disamping itu, PMII harus melakukan mengusung pemikiran Fazlur Rahman (serta pemikir muslim modern lainnya) dalam wacana Islam
pengkajian betul dan mencari solusi alternatif terbaik akan bahaya melemahnya nation-state di abad Indonesia di paruh kedua dekade 70-an membawa inspirasi pada HMI mengklaim dirinya dalam barisan
XXI, seperti yang Peter Drucker (1993) nyatakan dalam bukunya Post-capitalist Society, bahwa apa kelompok Islam neo-modernis di Indonesia. Kebanggaan HMI terhadap Cak Nur di akhir 70-an akhirnya
yang diramalkan oleh Naisbitt dengan menghilangnya negara-bangsa tidak akan pernah terjadi, justru tertandingi juga oleh PMII yang tidak rikuh malah agak bangga dituding sebagai penganut dan
yang terjadi adalah rusaknya dasar-dasar negara-bangsa oleh apa yang disebutnya dengan penyebar pemikiran tradisonalisme radikal (meminjam istilah Nakamura) dan ide gerakan kulturalnya Gus
transnasionalisme, regionalisme, dan tribalisme. Negara-bangsa lantas hanya menjadi unit-unit Dur di awal 80-an.
administratif, tidak lagi unit politik, nation-state akan hidup berdampingan dengan mega-state. Gejala- Apalagi semenjak Gus Dur memegang jabatan ketua umum PBNU, dimana sepak terjangnya
gejala munculnya transnasionalisme ataupun internasionalisasi dalam berbagai kehidupan sosial ini mampu mengelakkan segala hal yang berbau serba negara (peretas budaya perlawanan dan oposan Orde
sudah mulai terasa di Indonesia, perkembangannya yang semakin menggila akibat globalisasi ekonomi, Baru). Radikalitas pemikiran aktifis PMII semakin berkembang pesat dan memperoleh payung
teknologi dan informasi sungguh mengancam eksistensi integritas Negara Kesatuan Republik Indonesia perlindungan dari keberatan para kyai konservatif NU yang menganggap bahwa radikalitas pemikiran
(NKRI). Apalagi, disintegrasi bangsa merupakan peristiwa menakutkan bagi bangsa Indonesia. PMII yang mulai mempersoalkan dogma dan cara berpikir masyarakat NU yang jumud dan diwarnai
Bila hal di atas tidak segera dilakukan, maka PMII tidak akan pernah menjadi sang perekayasa dengan penerimaan penuh atas tradisi tanpa reserve itu sudah keluar dari pakem Islam tradisional. Mahbub
(the social engineer), bahkan sesat pikir atau yang seringkali disebut dengan intellectual cul-de-sacs Djunaidi dan Masdar Farid Masudi adalah produk dari dasa warsa 80-an ini.
para aktifis PMII atas kapitalisme internasional, justru akan membawa PMII mengalami self-alienating Radikalitas pemikiran PMII semakin menjamur seperti cendawan di musim hujan pada awal
dari sejarah kebangsaan Indonesia. Sebab, penulis yakin, bahwa dengan membebaskan diri dari dekade 90-an. Liberalisasi pemikiran itu tidak hanya terbatas pada pembaharuan pemikiran ke-Islaman
intellectual cul-de-sacs bangsa Indonesia atas realitas dunia global itulah yang akan mampu menjadi semata, bahkan hingga pada corak pemikiran kebangsaan dan cara pandang mereka atas negara dan realitas
modal awal bagi kita dalam melakukan social engineering guna mempersiapkan bangsa ini menghadapi sosial. Pada saat itulah kemudian mulai berkibar LKiS di Jogya dan kelompok kajian 164 di Jakarta,
globalisasi yang mampu berdiri tegak dan terhormat di mata dunia internasional. sebagai motor kritisisme intelektual PMII. Dasa warsa ini melahirkan sosok intelekual PMII seperti Ulil
Absar Abdalla, Munim Dz, Ahmad Baso dan lain sebagainya
Pergulatan intens aktifis PMII dengan (pemikiran) Gus Dur dan berbagai pemikiran-pemikiran
baru Islam di luar mainstream pemikiran Islam modernis (neo-modernis) seperti Jamaluddin Al Afghani,
Bagian III Abduh, Rasyid Ridha, Sayyid Muhammad Khan hingga Al-Maududi telah mampu meletakkan organisasi
kader berbasis massa tradisional ini mengalami loncatan yang jauh daripada organisasi kemahasiswaan Islam mesti terintegrasi kedalam perjuangan kebangsaan. Ini bukan berarti sub-ordinasi Islam pada negara,
atau kepemudaan di Indonesia. melainkan menempatkan nilai-nilai ke-Islaman sebagai roh dari nilai-nilai kebangsaan dengan
Pemikiran ke-Islaman Indonesia yang selama ini lebih diwarnai dengan corak pemikiran menitikberatkan corak lokal pemahaman ke-Islaman dengan karakter keindonesiaan. Resultante-nya, PMII
modernisme Islam, lambat laun mulai tersaingi dengan lahirnya generasi baru pemikir muda NU (yang menerima pluralisme dan demokrasi sebagai prasyarat bagi penerimaannya logika nation-state NKRI tanpa
dimotori oleh PMII) yang mengusung corak pemikiran pembaharuan pemahaman ke-Islaman liberal terjebak ikut-ikutan gerakan memperjuangkan masuknya Islam sebagai konstitusi negara seperti yang
yang banyak dipengaruhi oleh pemikiran-pemikiran Kiri Islam-nya Hassan Hanafi, Kritik Nalar Islam- dilakukan oleh kelompok Islam modernis.
nya Arkoun, Syariah demokratik-nya Mahmoud Thoha, Dekonstruksi Syariah-nya Ahmed An-Naim, Dalam hal gerakan sosial-politiknya, PMII mengkonsentrasikan dirinya pada gerakan kultural-
Teologi pembebasan-nya Ali Asghar, Kritik Ushul Figh-nya Nasr Abu Zayd, hingga post-tradisionalis- transformatif melalui proses penyadaran dan empowering masyarakat dan warganya sekaligus menolak
nya Abed Al-Jabiri. hegemoni negara sebagai bentuk komitmen PMII terhadap demokrasi dan terbentuknya masyarakat sipil.
Sejak itu, PMII bisa dinyatakan telah mampu melakukan peramuan tradisinya dengan corak Pandangan ini membawa PMII menjadi entitas yang non-permisif atas kekuatan negara. Artinya, PMII tak
pemahaman yang terbuka (tidak saklek) bagi masuknya perspektif di luar Islam, anti ortodoksi dan hanya memposisikan dirinya sebagai motor counter atas hegemoni negara (pemerintah), namun juga bisa
progresif sehingga mampu menghasilkan pemahaman yang lebih inklusif dan toleran. Pemahaman ke- menerima kebijakan-kebijakan mereka yang dirasa menguntungkan tegaknya civil society, supremasi sipil
Islaman PMII tak lagi terbatas pada koridor Aswaja melainkan mengalami lompatan jauh melampaui dan demokrasi. Akhirnya, keberhasilan PMII mewujudkan paradigma kritis-transformatif sebagai landasan
batas tradisionalismenya bahkan pada batas sangat liberal. gerakannya, banyak dinilai sebagai magnum opus organisasi di dalam mengemban fungsi
Geliat corak pemikiran itu menjadikan PMII avant garde penolakan atas realitas ortodoksi kekhalifahannya di muka bumi.
para kyai yang memegang otoritas pemahaman keagamaan masyarakat Islam tradisional, mengatasi
standar lama dalam memandang al-Quran dan al-Hadits sebagai sumber pemahaman, menghindari
Anomali Demokrasi dan Civil Society
keterjebakan klaim otoritatif pemahaman terhadap teks-teks nash sekaligus menafikan corak
Bangsa Indonesia akhir-akhir ini dipenuhi dengan problem-problem kontekstual yang menjurus
fundamentalisme pemikiran kaum modernis Islam Indonesia yang menjadikan Islam sebagai sumber
ke arah macetnya transisi demokrasi menuju konsolidasi demokrasi. Minimal ada lima fenomena besar
pressure secara superior terhadap masyarakat Indonesia lainnya, utamanya yang bukan Islam.
yang menghalangi capaian demokratisasi di Indonesia, pertama, menguatnya kembali anarkhisme sosial
Corak pemikiran ke-Islaman PMII di atas merupakan (respon) antitesa pola pembaharuan
yang dilakukan oleh individu, kelas sosial, kelompok komunal, etnis, dan sebagainya. Kedua, re-
pemikiran Islam kelompok modernis yang mengusung simbolisme dan formalisme pemahaman Islam
sentralisme dan elitisme dalam sistem politik, sosial dan kebudayaan. Ketiga, pelecehan institusi negara,
ataupun jargon ijtihad dan kembali kepada al-Quran dan al-Hadits. Akibatnya, PMII menjadi sangat
konstitusi dan hukum. Keempat, para elit dan tokoh sipil terjebak sebagai tahanan kota dan budaya
lekat dengan tema-tema pribumisasi Islam, penganjur pluralitas, toleransi, Islam sebagai etika sosial,
populer. Kelima, menguatnya kembali politik aliran dan kecenderungan mengemukanya politik etnis.
Islam liberal, Islam emansipatoris dan sangat anti dengan formalisme Islam yang berorientasi pada
Kelima hal di atas, yang membebani upaya konsolidasi demokrasi di Indonesia, dan merupakan
penegakan syariat Islam sebagai dasar hidup berbangsa dan bernegara.
kondisi khas sosio-struktural domestik Indonesia. Kondisi struktural ini sangat dipengaruhi oleh pra
Dalam konteks kebangsaan (sosial-politik) dan sosial-budaya, persentuhan kreatif aktifis PMII
kondisi sebelum tercipta akselerasi demokrasi tahun 1998-1999, yakni krisis ekonomi akibat kegagalan
dengan berbagai pemikiran Islam yang dianggap kiri di atas ditambah pergulatan dengan kelompok
developmentalisme, pola distribusi pendapatan (bangunan struktur ekonomi) dan pola mobilitas sosial
pemikir post-strukturalis, dan postmodernisme Perancis, ataupun Habermas, Ritzer, Karl Popper, hingga
(bangunan struktur sosial). Bangunan struktur ekonomi turut mempengaruhi (bahkan menentukan) ruang
para pemikir sekuler kiri, semacam Karl Marx, Gramsci, Freire hingga Che Geuvara telah membawa
gerak dan orientasi mobilitas sebagian masyarakat yang hidup dalam struktur khas Indonesia di atas.
liberalisasi pemikiran sosial-kebangsaan Islam tradisionalis khususnya. Situasi ini membawa PMII
Persoalan pertama, anarkhisme sosial yang akhir-akhir ini telah menjadi problem pokok
sangat karib dengan diskursus tentang civil society, open society, free market ideas, masyarakat
kehidupan kebangsaan Indonesia, tidak perlu ditelusuri akar muasalnya ke belakang (sejarah
komunikatif, dan demokratisasi. Hal mana dengan ini PMII mencoba membongkar dan menafsirkan
keindonesiaan), sebab sejak periodisasi zaman kerajaan, perlawanan terhadap kolonialisme, pergerakan
kembali realitas sosial, kebangsaan dan keindonesiaan.
nasional, Orde Lama, hingga Orde Baru kemarin, anarkhisme sosial selalu menghiasi babakan perjalanan
Akibatnya, wacana dan praksis sosial yang dibangun PMII menekankan pada perjuangan
sejarah Indonesia tersebut, meski dengan spektrum yang berbeda-beda. Namun, anarkhisme sosial yang
perwujudan demokratisasi, anti kemapanan, pemberdayaan masyarakat, kemanusiaan universal, keadilan
menghalangi demokratisasi di Indonesia sejak lima tahun terakhir, metampakkan spektrum dan pola yang
sosial dan menolak penyeragaman (de-politisasi), etatisme negara, menolak politisasi Islam maupun ide
tampak berbeda dengan hal sama yang terjadi di era-era sebelumnya.
pendirian negara Islam Indonesia. PMII sejak era itu lebih tertarik pada pemikiran-pemikiran gerakan
Anarkhisme sosial hari ini, tidak hanya memangsa korban di jalanan, tetapi juga rumah-rumah,
kerakyatan, liberasi, dan perjuangan kultural yang mengandung etos revolusioner dan transformatif.
aset-aset produktif (ekonomi maupun industri), kantor pelayanan publik, fasilitas umum, fasilitas sosial,
Dalam konteks hubungan Islam dan negara dalam frame keindonesiaan, PMII berpandangan
hingga tempat-tempat ibadah. Akar-akar dari beban demokrasi yang satu ini dalam konteks Indonesia
bahwa Islam mesti diletakkan sebagai bagian tak terpisahkan dengan wawasan kebangsaan. Perjuangan
sangat dipengaruhi oleh budaya politik tradisional dan merupakan produk dari mekanisme sosial-ekonomi
dari suatu kondisi bangunan struktural. Namun, sebagian kalangan menolak bahwa anarkhisme sosial Reformasi hukum di bawah tiga presiden -Habibie, Gus Dur dan Megawatibelum menemukan
yang terjadi (diciptakan?) sejak reformasi digelar ini sebagai warisan budaya politik tradisional. aktualitas dan akurasinya dalam menegakkan supremasi hukum. Kemerosotan penegakan hukum justru
Andrinof A. Chaniago (2002), menilai asal-usul budaya yang sedang berkembang itu dari, (1) terjadi di era Habibie, ketika Kejaksaan mengeluarkan SP3 dalam kasus KKN mantan presiden Soeharto,
kuatnya moral politik di kalangan sebagian elit politik nasional, yang cenderung menjadikan kaum kasus Marsinah, korupsi BLBI, tragdedi Kudatuli, pelanggaran HAM Aceh, Papua, Lampung, dan
miskin kota (serta kelompok marginal lainnya) sebagai aset untuk mempertahankan kekuasaan dan Tanjungpriok belum juga tuntas. Sedangkan di era Gus Dur, masyarakat yang sebelumnya yakin
kekuatan politik mereka (status quo). Fenomena para elit, berikut para broker-nya, untuk memaksakan pemerintah dapat berbuat banyak untuk law enforcement menjadi runtuh dengan kesimpulan DPR yang
kehendak dengan memobilisasi massa, berimplikasi pada terbentuknya profesi baru di dunia politik menilai bahwa Tragedi Trisakti dan Semanggi bukan pelanggaran HAM berat, pembebasan Djoko S.
praktis dengan berkembangnya pekerjaan para preman politik serta kaum miskin kota dan kelompok Tjandra dan Pande Lubis dari kasus korupsi Bank Bali, terjadinya kudeta inkonstitusional parlemen atas
marginal lain menjadi mandor dan buruh politik yang dengan enteng-nya bersedia memamerkan otot dan presiden, dan masih belum diadilinya para obligor besar. Begitu pula pada era Megawati, selama lebih dari
senjata tajam di muka umum. (2) populasi kaum miskin kota, pengangguran dan kelompok marginal di 1,5 tahun kekuasaannya, kasus-kasus besar hukum belum juga mampu terungkap, bahkan para
kota-kota dalam politik ekstra parlementer di Jawa (khususnya) tidak terpisahkan dari kondisi struktur penyelenggara negara justru didera dengan kasus-kasus pelanggaran hukum seperti penjualan Indosat,
ekonomi nasional yang sangat developmentalistik, dan meninggalkan kesenjangan sosial cukup tinggi di kasus KKN-nya Jaksa Agung M.A Rahman, hingga penolakan para perwira tinggi TNI atas pemanggilan
Indonesia. Apalagi dalam era pemerintahan sipil sekarang ini lebih dari 40 juta penduduk Indonesia KPP HAM dalam kasus Tragedi Trisakti dan Semanggi.
menjadi pengangguran, yang sebagian besar dari mereka adalah angkatan muda dengan pendidikan yang Ini hanya sekelumit kegagalan penegakan hukum di Indonesia, masih banyak persoalan-
relatif rendah dan berasal dari pedesaan. persoalan hukum yang masih compang-camping proses pembenahan ataupun pemberlakuannya. Artinya,
Situasi perekonomian Indonesia yang belum juga berorientasi pada penyerapan besar-besaran hingga hari ini negara telah gagal mewujudkan rasa aman dan jaminan hukum warga negara sebagai salah
tenaga kerja, dan lebih bertumpu pada sektor konsumtif semakin menyuburkan mobilitas urbanisasi satu prasyarat tegaknya sistem demokrasi dan civil society di Indonesia.
penduduk pedesaan ke kota menjadi urban poor. Kehadiran mereka semakin mempermudah para elit Keempat, para elit dan tokoh sipil terjebak sebagai tahanan kota dan budaya populer. Pola pikir
poltik pragmatis dan preman politik untuk selalu menggunakan mereka sebagai bahan bakar utama dan perilaku tokoh masyarakat sipil masih terlalu bias pusat (Jakarta) dalam membuat agenda
politik jalanan memaksakan kepentingan politik mereka. Akibatnya, tidak hanya proses pemulihan demokratisasi, sebagai akibat kombinasi faktor mentalitas dan struktur ekonomi yang saling berkelindan.
ekonomi nasional semakin terpuruk, atau melanggengkan kesenjangan sosial. Lebih dari itu fenomena Hal ini tercermin dari terkonsentrasinya para tokoh masyarakat sipil di Jakarta dan beberapa kota besar
ini justru sangat kontra produktif dengan proyek pembangunan sistem politik demokratis seperti telah lainnya, sebagai imbas tekanan struktural (ekonomi, sosial dan politik). Harus diakui, bahwa eksistensi
diamanatkan oleh mahasiswa dalam reformasi kemarin. ketokohan mereka sangat tergantung dari lokasi mereka yang berbasis di centra-centra aktifitas ekonomi
Re-sentralisasi dan elitisme yang muncul bagaikan arus balik yang bergerak diam-diam dalam dan politik nasional. Sementara para tokoh masyarakat sipil di daerah kesulitan meluaskan kekuatan
beberapa pengambilan keputusan yang memerlukan proses politik semenjak tahun 1998 kemarin, dirinya untuk melakukan gerakan deomkratisasi dan penegakan civil society, dikarenakan lemahnya
merupakan kendala kedua demokratisasi di Indonesia. Dalam pengisian jabatan-jabatan politik di dukungan sumber-sumber ekonomi (logistik) yang masih saja terpusat di Jakarta, sehingga mereka
daerah, para elit di Jakarta selalu saja tak kenal lelah untuk berebut berbagai jabatan yang seringkali terbentur oleh kekurangan resources untuk memperjuangkan reformasi, demokrasi dan civil
dikompetisikan di berbagai daerah. Lihat saja dalam kasus pemilihan gubernur di Sumatera Barat, society.
Kalimantan Selatan di tahun 2000, Aceh, Maluku Utara, dan Gorontalo di tahun 2001, serta Lampung, Ada beberapa hal yang menyebabkan para tokoh masyarakat sipil menjadi tawanan kota
Kalimantan Selatan, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Selatan, Jawa Timur dan Jawa Tengah di tahun 2003 Jakarta dan kepapaan mereka melawan budaya populer serba pusat, diantaranya, (1) struktur ekonomi
ini. Belum lagi intervensi (keterlibatan) mereka dalam berbagai pemilihan Bupati dan Walikota yang masih terpusat di Jakarta, telah membuat mereka lebih tergoda menangani masalah-masalah yang
sepanjang tahun 2000 hingga 2003 ini, sungguh menunjukkan sikap anti-demokrasi. melanda para elit nasional, baik yang berada di dalam maupun di luar sistem, serta problem sosial yang
Meski tidak semuanya dimenangkan oleh para elit Jakarta, namun para elit politik yang telah bisa mengangkat popularitas para tokoh masyarakat sipil tersebut, dan (2) tersedotnya para tokoh
mapan di Jakarta tidak bisa memungkiri akan maksud menguasai dan memperluas kekuasaan politik masyarakat sipil ke dalam lembaga politik dan pemerintahan, akibat absorsi lembaga-lembaga politik
mereka di daerah. Di tengah euforia reformasi, fenomena re-sentralisasi dan elitisme di atas merupakan formal yang sangat membutuhkan kehadiran mereka dalam jumlah yang cukup besar. Akibatnya, mereka
paradoks demokratisasi. Para elit ini tak segan-segan menggunakan terminologi demokrasi, untuk yang selama ini vokal menyuarakan demokrasi dan civil society lebih disibukkan dengan urusan-urusan
menutupi proses konglomerasi kekuasaan politik mereka dengan mengirimkan duta-duta politik mereka politik, pemerintahan dan parlemen.
untuk menjadi pemimpin di daerah-daerah dengan berusaha mengalahkan para pemimpin lokal yang Belum lagi, para penggerak demokrasi dan reformasi tidak bisa melepaskan dirinya dari
memiliki basis kuat dan dukungan moral dari masyarakat lokal yang besar. kungkungan budaya serba pusat, sehingga tidak memiliki cukup energi untuk menyelesaikan persoalan
Ketiga, pelecehan institusi negara, konstitusi dan hukum. Terlanjur bobrok, begitu para pakar demokratisasi di berbagai daerah, dan itu artinya sama juga dengan menghendaki tetap terkonsentrasinya
hukum ternama menggambarkan penegakan hukum di Indonesia lima tahun sejak Soeharto tumbang. infrastruktur perekonomian negara di Jakarta. Akibatnya, kita tidak boleh menyesal jika kemudian di
berbagai daerah semakin marak munculnya perilaku anti demokrasi, tumbuhnya pusat-pusat KKN baru Sekalipun kehidupan kampus di Indonesia telah berlangsung lebih dari 13 dekade, namun
di daerah, dan politisasi demokrasi. pandangan di atas telah menggiring dialektika intelektual kampus dengan lingkungannya (masyarakat dan
Kelima, menguatnya kembali politik aliran dan kecenderungan mengemukanya politik etnis. pihak-pihak yang berkepentingan atasnya) pada dua kemungkinan pokok. Pertama, kampus mengambil
Perubahan terpenting dalam lima tahun terakhir ini adalah terus dilestarikannya konsep politik aliran, prakarsa lewat penawaran karya, gerakan reformasi dan restorasi kondisi masyarakat hingga pada gerakan
baik dalam bentuknya yang paling sloganistik di zaman Soekarno maupun dalam bentuk yang tertutup di politik. Dan kedua, kampus bersikap pasif, menunggu stimulus dari luar, tempat penampungan dan
era rezimentasi Soeharto. Sejumlah penelitian telah membuktikan bahwa semenjak Pemilu 1999 lalu memberikan reaksi atas inisiatif pihak luar dengan konsekuensi kampus dijadikan arena pertarungan
hingga sekarang, basis pertarungan antar kekuatan politik mengikuti garis primordial, rakyat memilih kekuatan politik atau partner tak sederajat oleh birokrasi negara dalam bingkai etatisme negara.
bukan atas persetujuan mereka terhadap proram partai secara rasional, tetapi lebih berlandaskan pada Keduanya membawa implikasi dan konsekuensi tersendiri. Kemungkinan pertama akan
loyalitas dan identitas agama, daerah, dan suku. Begitu pula dalam hal mobilisasi politik, legitimasi dan meletakkan kampus sebagai salah satu lokomotif perubahan, penyedia resources bagi masyarakat dalam
kekuasaan, peran agama dan identitas keagamaan serta kesukuan dan kedaerahan tetap menjadi basis membangun bangsa. Gerak nafas kampus akan selalu mewarnai laju perubahan yang diinginkan.
gerakan para elit politik sipil. Konsekuensinya, semua pihak harus mengakui peran politik mahasiswa dan para akedemikus. Politik
Sedangkan, masuknya pemikiran etnik dalam arus pemikiran politik kontemporer, dan kampus adalah politik moral yang sangat berbeda dengan kekuatan politik praktis lainnya. Arief Budiman
menguatnya identitas politik etnik dapat diukur dengan beberapa fenomena di bawah ini, seperti ; (1) mempersonifikasikan peran itu dengan sosok resi, yakni sebagai pihak yang selalu mengabarkan kepada
pemboikotan pemilu 1999 di Aceh, praktis yang memilih, khususnya di Aceh Utara, hanya sedikit rakyat banyak adanya ketidakadilan, kesewenang-wenangan serta meng-influence rakyat untuk bergerak
penduduk yang dekat dengan barak-barak militer. Entitas nasional yang selama Orde Baru dipaksakan bersama melakukan pengatasan, dan ketika huru-hara tersebut tertangani, maka segenap elemen kampus
oleh Jakarta tenggelam ditelan entitas lokal, sehingga solidaritas lokal dibangun untuk menentukan masa tersebut kembali lagi ke pertapaannya (kampus) untuk melanjutkan tugas utamanya menuntut ilmu dan
depan Aceh sendiri ; (2) gejolak politik dan keinginan pemisahan diri dari Papua, sebagai bentuk memperoduksi agen-agen perubahan yang siap bertarung di tengah masyarakat.
resistensi atas prilaku elit politik Jakarta yang menafikan kekuatan politik lokal ; (3) dukungan rakyat Sedangkan kemungkinan kedua akan mengakibatkan kampus harus bersedia memberikan
Sulawei Selatan kepada Habibie, dukungan terhadap Megawati oleh masyarakat Bali, dan dukungan sebagian ruang dirinya untuk diintervensi oleh berbagai kekuatan politik yang ada. Besar kecilnya
rakyat Jawa Timur kepada Gus Dur, meskipun bersifat temporer, tetapi identitas etnik ini mampu pengaruh politik itu akan sangat tergantung dengan kekuatan kampus dalam menanamkan paradigma dan
memobilisasi kesetiaan politik massa ; (4) pecahnya konflik etnik di Kalimantan Tengah dan Barat, etos kepada seluruh civitas akademika agar tidak mudah terprovokasi oleh tipu-daya politik.
antara suku Dayak dengan Madura ; (5) terbentuknya propinsi baru berdasarkan etnik, seperti Banten, Realitas kampus seperti di atas itulah, menurut saya mesti diperhatikan benar oleh PMII, sebab
Maluku Utara, Gorontalo Kepulauan Riau dan mengerasnya tuntutan agar putra daerah memegang tanpa kampus, PMII juga akan kehilangan eksistensi dan perannya. Oleh karena itu, menjadikan kampus
kendali politik di daerahnya masing-masing, dan ; (6) kebijakan politik nasional terhadap kelompok sebagai kantong perjuangan adalah sebuah keharusan yang tak terbantahkan. Seluruh aktifis PMII mesti
minoritas, khususnya etnik Tionghoa tak lagi menjadi WNI keturunan, bahkan diakui menjadi etnik mengingat benar bahwa masa depan sebagian besar rakyat Indonesia belum menjadi bagian yang pasti,
resmi di Indonesia. (Indra J. Piliang : 2001). tetapi tanpa melalui jalan menjadi mahasiswa jauh lebih parah. Hal ini melukiskan betapa sangat
Fenomena ini jika tidak segera diantisipasi secara tepat oleh seluruh elemen bangsa, justru strategisnya posisi menjadi mahasiswa.
akan menjadi sumber konflik sosial-politik baru yang akan mengancam demokratisasi civil society, dan Minimal ada tiga alasan, mengapa PMII harus menjadikan kampus sebaga basis gerakannya,
integritas NKRI itu sendiri. Oleh karena itu, sangat mendesak dilakukannya lagi reinterpretasi pertama, kampus senantiasa berupaya merealisasikan peranannya sebagai pembaharu dan pelopor
nasionalisme Indonesia, jika tidak, maka kita semua mesti bersiap-siap menjadi generasi pasca (perangsang) bagi perbaikan kondisi kehidupan masyarakat. Siapapun tidak akan menyangkal, jika
Indonesia. gagasan-gagasan perubahan di Indonesia (hampir) selalu dimotori atau lahir dari dalam kampus, baik mulai
zaman pergerakan nasional, hingga reformasi kemarin. Inilah yang menyebabkan keterlibatan kampus
dalam kehidupan politik, karena berbagai tawaran / usaha-usaha pembaharuan tersebut selalu terkait
dengan struktur kekuasaan.
Kedua, realitas bahwa kampus merupakan resources politik, di kampus tersedia banyak sekali
Menjadikan Kampus sebagai Kantong Perubahan tersedia stock potensi kepemimpinan dan keahlian. Ratusan tokoh dan pemimpin bangsa Indonesia lahir
Pandangan konservatif tentang kampus selalu menempatkan kampus sebagai rumah dari kawah candradimuka kampus. Bahkan, beberapa pentolan angkatan 66 dan 98 mengatakan hal yang
kehidupan ilmiah dengan karakteristik utama liberasi pemikiran, bergagas, kreatifitas, argumentatif, sama, bahwa perubahan besar bangsa ini selalu dimulai dari kampus. Lebih lanjut mereka meyakini, bahwa
dan melihat jauh ke depan sembari mencari manfaat praktis dari suatu ide ataupun penemuan. Gambaran kematian kehidupan kampus adalah awal kehancuran bangsa. Agak berlebihan memang, namun
klasik ini mewakili kehidupan kampus di negara berkembang khususnya di Indonesia yang sangat pernyataan itu lahir dari salah satu sebuah paradigma pedagogik yang cukup mencengangkan, bahwa jika
bertumpu pada kehidupan akademik.
sebuah masyarakat menginginkan kemajuan, kesejahteraan, keadilan bahkan kejayaan, maka dirikanlah perannya dalam bangunan besar Indonesia Raya, eksistensi dan urgensinya terhadap kapitalisme global,
kampus. serta relasinya dengan kekuasaan dan demokrasi. Salah satu hal yang cukup menggelisahkan banyak
Ketiga, watak kemandirian kampus yang tumbuh dari budaya ilmiah dan cara berfikir kritis, mahasiswa adalah tumbuhnya kesadaran baru bahwa kampus tidak lebih hanyalah menjadi alat (media)
memberi energi besar warga kampus untuk menilai realitas di sekitanya. Sementara itu pemerintah bagi negara dan kekuatan global untuk menyediakan tenaga terdidik (ahli) bagi seribu proyek buatan
(state) sebagai centrum aktifitas kehidupan masyarakat, juga tak lepas dari perhatian kampus. Kondisi mereka. Namun, hampir mayoritas masyarakat kampus juga mengerti, bahwa kampus juga merupakan
inilah yang kemudian menjadikan kampus seringkali mesti berhadapan dengan kebijakan pemerintah, kantong utama pencipta tokoh yang sanggup merubah bangsa ini menjemput keadilan, kemakmuran dan
karenanya birokrasi (khususnya di negara berkembang) cenderung melakukan intervensi ke dalam kesejahteraan senafas dengan cita-cita perjuangan nasional yang termaktub dalam preambule UUD negara
kampus. Intervensi itu akan semakin membesar dan kadangkala memasung kehidupan kampus, jika kita.
kemudian kampus melahirkan gerakan kritis yang berusaha memperbaiki kehidupan masyarakat, akibat Oleh karena itu, jika PMII mampu melakukan gerakan massal untuk menggelorakan ontologi
keteledoran kebijakan pemerintah. Bahkan, mulai dari Orde Lama, Orde Baru hingga sekarang ini, kampus seperti pemikiran yang terakhir, dengan kembali membuka free public sphere dimana seluruh
kampus belum pernah bebas dari intervensi politik, baik dari kelas penguasa ataupun dari kelompok masyarakat kampus khususnya dan rakyat Indonesia pada umumnya memposisikan kampus sebagai pusat
kepentingan lainnya. pembebasan, perubahan, transformasi dan demokratisasi dan bukan sebagai budak negara ataupun
Posisi dan peran strategis kampus inilah yang oleh PMII mesti tidak boleh sia-siakan, bukan kekuasaan modal. Langkah sederhana untuk memulainya adalah membangun kritisisme kampus dengan
sekedar papan nama PMII tercantum di depan nama sebuah kampus, PMII Komisariat mengintegrasikan kepentingan serta kebutuhan kampus dengan kepentingan dan kebutuhan masyarakat.
Universitas/Sekolah Tinggi/Institut swasta ataupun negeri. Lebih dari itu, para kadernya, Strategi-taktis operasionalnya adalah dengan menginstruksikan pengurus komisariat di sebuah kampus
idealismenya, program perjuangannya harus bisa menjadi nafas kehidupan kampus di manapun ia dimana PMII didirikan, untuk membuka dialog intensif yang kualitatif dengan segenap civitas akademika.
berada. Tak mudah mewujudkan hal itu, perlu usaha keras, yang sistemik dan terorganisir serta Baik itu untuk membedah muatan kurikulumnya, model pengajaran, peningkatan skill mahasiswa, hingga
kerjasama sehati mulai dari para alumninya, PB, Cabang hingga Rayon PMII. Tulisan berikut juga master plan kampus itu ke depan.Sembari PMII mendekatkan masyarakat sekitar kampus dengan kampus,
tidak dimaksudkan menawarkan solusi ideal untuk permasalahan di atas, namun mungkin cukup penting sehingga ini akan melunturkan prejudice mitos menara gading.
untuk diungkapkan di sini sebagai salah satu bentuk kepedulian penulis yang selama ini merasa di Contoh lainnya adalah, ada sebagian dari masyarakat yang mengais keuntungan ekonomi dari
besarkan oleh PMII kampus (baik itu berjualan makanan dan minuman, usaha fotocopy dan sebagainya), PMII memposisikan
dirinya sebagai mediator antara keduanya dalam membuat rancangan ekonomi subsistens, yang dalam
Strategi operasional pengembangan PMII di kampus memang selama ini cukup beragam, jangka panjang akan menyiapkan kemampuan bangsa Indonesia memasuki perekonomian global.
tergantung local condition dan local culture dimana perguruan tinggi tersebut berada. Di Jawa Timur, Hambatan lain dari perguruan tinggi adalah rendahnya semangat research (penelitian) apapun jenisnya,
Jawa Tengah, mungkin juga Jogya serta di kampus yang sebagian besar masyarakatnya adalah NU, tidak jika PMII menyediakan resources peneliti muda yang bekerja sama dengan pihak kampus dalam
punya kesulitan cukup berarti dalam merekrut anggota baru, biasanya mereka tinggal menawarkan melakukan penelitian-penelitian kecil, maka hal ini akan semakin merekatkan hubungan (image building)
bahwa PMII itu merupakan satu-satunya organisasi kemahasiswaan yang paling dekat (historis maupun PMII dengan kampus.
kultural) dengan NU. Bahkan, di beberapa perguruan tinggi yang milik (orang) NU, PMII justru menjadi Kedua, PMII mesti merebut ruang publik di kampus dengan melakukan pembongkaran beban
satu-satunya penguasa kampus, ekstra maupun intra instituter. Namun, hal ini tidak berlaku di daerah- historis, kejumudan tradisi, dan konservatisme perguruan tinggi. Kemandirian kampus dalam era otonomi
daerah yang bukan basis NU. daerah dan perdagangan global merupakan prasyarat utama tegaknya integritas kampus dalam upaya
Tradisi yang berkembang selama ini di tubuh PMII dalam upaya memperoleh simpati pemanusiaan manusia (humanisasi). Jika, PMII di tingkatan komisariat mampu mengkonsolidasikan
mahasiswa dan mewarnai kehidupan kampus, tidak beda jauh dari apa yang di- pattern-kan Bang segenap potensi yang dimiliki, termasuk para alumninya, untuk mulai membuka selubung konservatisme,
Muhyiddin di atas, yakni (1) keharusan kader PMII ber-indeks prestasi tinggi, (2) setiap kader harus beban sejarah dan tradisi yang menghinggapi kampus, maka hal ini menjadi pintu masuk PMII untuk
berperangai santun dan berbudi pekerti luhur, dan (3) setiap kader harus berprestasi dan menduduki pos- memperoleh simpati dari mahasiswa. Untuk ini, PMII bisa berangkat dari hal-hal kecil yang mampu
pos strategis di lembaga kemahasiswaan. Disamping itu, PMII juga mesti meningkatkan intensitas dalam mengurai satu-persatu problematik kampus, tanpa bermaksud mengintervensi kedaulatan dan kebijakan
melakukan dialog-dialog kualitatif dengan lembaga kemahasiswaan intra-instituer, serta secara rutin kampus. Hal kecil ini bisa berupa partisipasi aktif kader kampus di seluruh kegiatan kampus, disiplin
menyajikan kegiatan-kegitan kreatif yang mampu mengundang simpati mahasiswa. Strategi operasional dalam kuliah, memanfaatkan (memenuhi) perpustakaan, menjaga kebersihan (keasrian) kampus hingga
ini bagus, namun belum cukup, sebab dinamika perubahan masyarakat semakin mengalami percepatan kampus merasa bahwa PMII adalah bagian tidak terpisahkan dari kampus. Karena itu, pemahaman
seiring dengan ledakan kemajuan teknologi dan informasi dunia. (apresiasi) yang tinggi atas local historis maupun local culture kampus akan memudahkan PMII
Oleh karena itu, disamping terus konsisten menerapkan strategi pengembangan di atas, PMII memerankan hal-hal kecil yang sederhana, bukan dengan hal-hal besar yang terlalu makro dan tidak ada
harus mulai memperhatikan dan menimbang beberapa hal berikut ini. Pertama, yang mesti dilakukan hubungannya (dampak kongkrit) sama sekali dengan kampus.
PMII adalah men-dekonstruksi kembali ontologi (hakikat) perguruan tinggi di Indonesia, posisi dan
Ketiga, PMII menyiapkan kelompok strategis sebagai pelopor dan pengobar semangat Menyulam Tradisi Merenda Transformasi
perubahan di kampus, sekaligus melakukan pembenahan aspek kognitif, mental dan perilaku kader serta Perubahan sosial yang dicanangkan PMII ke depan perlu dibaca ulang. Pembacaan ulang atas
alumni demi memperluas sayap gerakan di seluruh perguruan tinggi. Apa yang telah terurai di atas, tidak seluruh bangunan konsep ideologi dan paradigma organisasi merupakan syarat pokok, jika PMII kembali
akan pernah bisa dilakukan, jika PMII tidak menciptakan terlebih dahulu sebuah kelompok strategis masuk ke dalam pusat percaturan perubahan. Tanpa hal ini, maka PMII berarti menghilangkan kesempatan
yang terdiri dari kader yang memiliki intelektualitas tinggi dengan jumlah yang disesuaikan dengan emas menata skill kader dan progresifitas organisasi, sebab banyak pihak menilai bahwa semenjak
rasio mahasiswa di kampus. Kader-kader yang terpilih itu di-diklat secara khusus, dengan waktu dan reformasi di gelar, PMII mengalami degradasi di beberapa aspek penting organisasi. Banyak pihak menilai
metode khusus (agak eksklusif) oleh komisariat sehingga memiliki kualifikasi sebagai kader yang bahwa kritisisme pemikiran, dan idealisme gerakan, sekarang ini seperti menjadi barang langka di PMII.
ideologis, bermental baja, selalu haus akan ilmu dan pengetahuan, progresif serta memiliki integritas Dalam konteks eksternal organisasi, PMII seperti ditinggal oleh pejuang demokrasi lainnya, bahwa
moral tinggi. Setelah itu mereka diarahkan untuk mulai terjun aktif di berbagai aktifitas kampus beserta sekarang PMII lebih meng-elit dan melupakan gerakan populisnya, para pengurusnya lebih asyik
seluruh pergulatan apapun yang terjadi di dalamnya dengan membawa segenap idealisme, paradigma menyiapkan diri dan kadernya untuk memiliki kemampuan bertarung diruang-ruang politik praktis,
dan program-program PMII menjadi bagian yang karib dengan dinamika kampus. Mereka inilah yang sembari melupakan pemberdayaan rakyat. Reproduksi wacana di PMII seakan mampat, reformasi yang
akan menjadi motor PMII untuk melakukan kerja-kerja di atas, sehingga mereka akan menarik banyak seharusnya memberi ruang publik untuk lebih memendarkan sayap perjuangan organisasi serta pembumian
mahasiswa untuk turut mengusung paradigma PMII tersebut dengan tanpa beban lagi. ideologi PMII justru menjerumuskan PMII pada ketakberdayaan organisasional untuk tetap eksis mewarnai
Logika penciptaan kelompok strategis di atas bertumpu pada strategi kaderisasi dari bawah perubahan. Karena itulah, maka pembacaan ulang atas tradisi, ideologi, paradigma dan seluruh konteks
ke atas (bottom up). Dengan terciptanya kelompok strategis di setiap komisariat dengan jumlah satu social-historis dan sosio-kultur yang melingkupinya menjadi keniscayaan tak terelakkan, bila PMII
kelompoknya 10 orang, maka kalau kemudian di sebuah cabang kita ambil rata-rata memiliki 4 menginginkan bangkit lagi seperti apa yang diidealkan dalam paradigma kritis-transformatif.
komisariat, maka disetiap 1 cabang akan terdapat 40 orang kader ideologis dan pejuang tangguh PMII. Hal pertama yang dipertanyakan ulang adalah bangunan konsepsional paradigma gerakan. Ada
Kalau jumlah cabang PMII jumlahnya ada 150-an, maka PMII sudah mempunyai 6000 orang kader sejumlah persoalan yang mesti kita diskusikan lagi, diantaranya adalah ancangan tentang paradigma kritis-
ideologis. Bayangkan, kalau PB ke depan melakukan model pengkaderan seperti ini, maka di tubuh transformatif sebagai payung organisasi dalam melakukan social engineering. Istilah rekayasa sosial
PMII akan tersedia motor-motor penggerak organisasi yang mampu menyuarakan dan pembumian sendiri menurut Kang Jalal (1999) diambil dari Less dan Presley, sedangkan M.N. Ross, lebih senang
segenap nilai-nilai, ideologi dan paradigma PMII tanpa harus berpikir reward yang mesti diterimanya, menyebutnya dengan social planning (perencanaan sosial), sementara itu Ira Kaufman lebih cenderung
sebab konsepsi reward bagi kader ideologis itu adalah kebanggaan yang tersematkan oleh publik sebagai menamainya dengan change management (majemen perubahan). Tetapi apapun istilah yang dipakai,
the director of change para pengarah (penentu) perubahan, bukan lagi sekedar agent of change, agen rekayasa sosial selalu berisi tentang berbagai strategi serta seperangkat kiat (perencanaan) untuk mengubah
perubahan yang setelah usai tugasnya, kemudian dilupakan orang (ditinggal) dalam proses perubahan realitas masyarakat. Karena itu, rekayasa sosial itu disebut juga planned social change (perubahan sosial
yang lebih besar selanjutnya. yang didesain secara sengaja).
Model pengkaderan semacam ini bukannya tanpa resiko, sebab pola pengaturan yang salah Rekayasa sosial yang diangankan oleh PMII adalah sekumpulan metode dan arah pergerakan
akan mengakibatkan kelompok strategis ini akan menjadi kelompok eksklusif, merasa paling intelek, dalam upaya mencapai tujuan, dengan menggunakan pendekatan, metode dan wahana yang kondusif,
ideologis, dan berjasa kepada organisasi. eksklusifsme harus dihilangkan dari tubuh organisasi dan ditujukan untuk membebaskan manusia dari segala bentuk penjajahan yang terwujud pada penghapusan
mind setiap kader PMII, sebab sikap inilah yang justru akan mengkerdilkan PMII. Oleh karena itu, PMII sistem sosial-kemasyarakatan yang pincang, sebagai akibat dari kegagalan manusia menggagas dan
harus benar-benar melakukan penyaringan yang ketat dan tidak asal pilih kader, kemudian mereka mencipta kebudayaan, sentralisasi kekuasaan dan pembangunan serta usaha ekonomi finansial
bersedia dibaiat untuk selalu patuh pada nilai-nilai dan ideologi PMII, bukan pada person-person transnasional (PB PMII : 1997). Formulasi ideasional-konsepsional dari upaya tersebut adalah Paradigma
pimpinannya. Kalaupun mereka harus patuh pada pimpinannya, itu sudah barang tentu keluar dari Kritis-Transformatif itu sendiri. Rekayasa sosial yang digagas PMII itu bergerak pada 3 wilayah pokok;
kesadaran mereka akan amanat konstitusi, bukan karena patron-clien. pertama, wilayah kebangsaan, PMII menyediakan dirinya terlibat aktif pada upaya perebutan kembali
Selanjutnya, keberadaan kelompok strategis ini bukan untuk menomorduakan kader-kader kedaulatan rakyat yang selama ini dirampas oleh negara (penguasa), sekaligus memperkuat demokratisasi,
yang lain, justru keberadaan mereka diperuntukkan men-stimulus kritisisme, progresifitas dan politik, ekonomi dan sosial. Kedua, wilayah budaya, rekayasa sosial ditujukan untuk menciptakan
pendigdayaan kader, bukan malah sebaliknya untuk menjadikan organisasi dan kader-kader PMII kemandirian dan memperkuat kebudayaan rakyat yang kering dan hampir mati oleh arus modernisasi dan
lainnya sebagai tangga bagi mereka memperoleh keuntungan politis. Kalau seluruh proposisi di atas tak globalisasi. Tidak hanya membebaskan kebudayaan itu dari intervensi kekuasaan negara, yang lebih
tercapai, maka keberadaan kelompok strategis ini patut dipertimbangkan. penting penghidupan kebudayaan dijadikan alat humanisasi, perjuangan penegakan keadilan dan
perlwanan atas penyelewengan kekuasaan. Ketiga, wilayah keagamaan, membongkar dan mendobrak
segala bentuk kejumudan tradisi, taqdisun al-alfkar al-diniyyat (pensakralan atas pemikiran keagamaan),
formalisme agama, politisasi agama serta upaya membumikan ajaran Islam yang rahman lil alamin, Dalam konteks aksi sosial, gerakan transformasi PMII diancangkan sebagai sebuah tindakan
dan mewujudkan nilai-nilai Islam sebagai etika sosial dalam konteks kebangsaan dan ke-Indonesia-an. kolektif, terencana, dan terus-menerus untuk mengatasi (mengurangi) masalah sosial, bertumpu pada 5
Persoalannya kemudian adalah sejauh mana bangunan paradigma di atas compatible dan (lima) unsur pokok aksi sosial, seperti yang dinyatakan Philip Kotler (1978), yakni; pertama, cause
memiliki efektifitas serta ruang publik yang sesuai dengan situasi dan kondisi keindonesiaan hari ini ? (sebab), upaya (misi) atau tujuan (visi) sosial yang dipercayai oleh PMII dapat memberikan jawaban atas
Pertanyaan ini patut dikemukakan, sebab paradigma itu sangat tergantung kepada ruang dan waktu, problem sosial yang terjadi di Indonesia. Masyarakat terbuka, terciptanya sistem pemerintahan dan politik
dimana serta kapan ia diterapkan. Padahal, percepatan perubahan yang luar biasa telah terjadi di demokratis, Islam sebagai etika sosial merupakan beberapa tujuan dan misi dari aksi sosisl PMII. Oleh
nusantara akibat semakin canggihnya teknologi informasi dan globalisasi ekonomi. Sedangkan pilihan karena itu, PMIi mesti mampu mempetakan, apa dan siapa saja yang telah menghambat itu semua,
paradigma kritis-transformatif itu sendiri cenderung berkarakteristik evolusioner, bukan revolusioner. kemudian segera melakukan treatment strategisnya terhadap seluruh faktor penghambat itu, artinya apakah
Sedangkan, berbagai dasar teologis, filosofis dan sosiologis yang PMII ambil sebagai sumber inspirasi diganti (reform), dicangkok (transplantasi) ataukan disembuhkan (recovery), berdasarkan ideologi,
dari paradigma tersebut hampir semuanya bersifat kritis-revolusioner. Bagaimana mungkin berbagai paradigma dan nilai-nilai yang PMII yakini.
pemikiran yang revolusioner itu diolah menjadi sebuah paradigma yang bersifat evolusioner ? Seperti Kedua, change agency (pelaku perubahan), yakni eksistensi PMII sebagai the social engineer,
apakah bangunan epistimologisnya yang mampu men-derivasi persoalan itu ? Hal inilah yang mesti leaders, directors, advocates, administrators, technicians, organizers, supporters perubahan dengan
PMII kupas lebih jauh lagi, sebab tanpa ini penulis khawatir PMII akan terjebak pada situasi segenap resources yang dimilikinya. Transformasi sosial, ekonomi, politik, maupun budaya tidak akan
intellectual cul-de-sacs (kesesatan berpikir). mampu PMII wujudkan, kalau dalam tubuh PMII sendiri masih penuh dengan banyak kelemahan, ataupun
Jika hal di atas dianggap sudah tuntas, maka kita beringsut pada persoalan kedua, yakni persoalan internal, seperti memudarnya kritisisme, kentalnya pragmatisme, terlelapnya PMII pada
gagalnya proses pembumian paradigma gerakan itu dalam setiap aksi kongkrit warga pergerakan. Hal ini kesadaran naif, dan menurunnya daya juang serta elan liberatif dan independisi kader PMII. Disamping
untuk menjawab tudingan banyak pihak terhadap PMII, bahwa apa saja yang telah dilakukan para kader itu, PMII mesti hadir dan eksis di tengah-tengah persoalan, dan rakyat, kalau ini tidak ditemui di PMII,
PMII, sebenarnya tidak ada korelasinya sama sekali dengan paradigma gerakan yang dimiliki. Itu maka itu akan menyulitkan PMII dalam melakukan berbagai aksi sosialnya.
artinya, PMII telah gagal melakukan proses internalisasi ideologi dan paradigma gerakan itu ke dalam Ketiga, change target (sasaran perubahan), individu, kelompok, dan lembaga yang
setiap otak kader, sehingga mereka juga kehilangan irama, panduan dan tauladan riil, seperti apakah diklasifikasikan sebagai sasaran upaya perubahan. PMII menteapkan para individu yang menjadi sasaran
gerak pikir, sikap dan prilaku kader yang sejiwa dengan paradigma itu ?. transformasinya, adalah aktifis PMII sendiri, semua rakyat (obligor nakal, pelaku KKN dan sebagainya)
Oleh karena itu, persoalan apapun masih mengitari paradigma kritis-transformatif, seluruh Indonesia, serta umat dunia seluruhnya yang masih pingsan kesadarannya, konservatif, dan anti
kader PMII mesti mulai lagi melakukan kerja-kerja serius berupa penelusuran lebih dalam dan intens perubahan. Sedangkan, segenap institusi yang menjadi sasarannya, dikelompokkan dalam offending
tentang bangunan tradisi Islam yang telah dihamparkan oleh Nabi Muhammad sejak abad 7 masehi institutions, yakni institusi-institusi yang mengganggu, menghambat, berdosa dan penyebab masalah sosial
hingga sekarang ini, begitu pula halnya dengan basis filosofis dan sosiologisnya. Saya masih cukup di Indonesia. Lembaga-lembaga itu mulai Ormas (seperti FPI, Laskar Jihad, MMI, dan lainnya), parpol
yakin, masih banyak kearifan tradisi yang terselip dan belum dikupas tuntas di PMII. Ada jalan lebar (Golkar, , dan sebagainya), pemerintah, legislatif, yudikatif, TNIPolri hingga MNC (muli-national
yang terpentang kalau PMII meneruskan proyek penelusuran tradisi itu, kalau NU memiliki halaqah corporation) dan TNC (trans-national corporation).
Bahtsul Masail sebagai arena untuk membedah seluruh bangunan hukum Islam, maka PMII bisa Keempat, channel (saluran), media untuk menyampaikan pengaruh dan respon dari setiap pelaku
membuat forum sejenis, tetapi lebih ditekankan dalam aspek pemikiran. Hal ini bisa dilakukan oleh PB perubahan ke sasaran perubahan. Beberapa saluran yang bisa menyampaikan gagasan PMII tentang
beserta cabang-cabang yang memiliki tradisi keilmuan-keagamaan yang progresif, semacam Ciputat, perubahan mesti digeluti dan dimanfaatkan dengan se-efektif dan se-maksimal mungkin, seperti; forum-
Bandung, Cirebon, Jombang, dan Semarang. Halaqah keilmuan ini diselenggarakan secara ajeg, berkala, forum ilmiah, public hearing, debat publik, halaqah-halaqah intelektual, politik dan budaya, media massa,
dan terstruktur meski tidak ketat. Kemudian, pada satu waktu yang telah ditetapkan, halaqah itu penerbit-(an) buku, jurnal, buletin ataupun pamflet, spanduk, baliho, forum-form pengajian, kegiatan
dibuatkan pusat edarnya, yakni PMII mendirikan laboratorium tradisi, yang tidak harus ditempatkan di kemahasiswaan (BEM dan sejenisnya), aksi jalanan, pers conferencee, parlemen dan sebagainya.
Jakarta, tetapi bisa di salah satu cabang yang paling siap secara infrastruktur, resources dan atmosfirnya. Kelima, change strategy (strategi perubahan), meliputi seperangkat cara dan teknik PMII dalam
Begitu pula halnya dengan halaqah filsafat dan ilmu-ilmu sosial, serta disiplin ilmu lainnya, mempengaruhi dan menimbulkan dampak positif bagi sasaran perubahan. PMII dalam melakukan aksi
PB memfasilitasi berbagai pengembaraan keilmuan itu yang pada satu titik juga akan mendirikan sosial harus meliputi 3 (tiga) strategi pokok, yang bersifat: (1) memaksa (ko-ersif atau power strategy), ini
semacam laboratorium filsafat dan ilmu sosial, dimana kader PMII dari penjuru tanah air bisa dilakukan PMII untuk memaksakan kehendak pada institusi yang telah jelas-jelas mencerabut
mendapatkan pencerahan-pencerahan intelektual dari sini. Model-model pengkajian seperti ini akan kemerdekaan dan hak rakyat, sepert rezim Orde Baru, Golkar, ABRI dan sebagainya. (2) persuasif,
memakan biaya yang sedikit, efektif dan lebih kongkrit dalam rangka pembumian paradigma di otak dan digunakan PMII dalam meng-influence sasaran perubahan melalui bahasa, tradisi, budaya, media
benak seluruh kader pergerakan. komunikasi ataupun inter-personal lainnya. Hal ini biasanya efektif ketika itu digunakan untuk melakukan
perubahan di tubuh PMII sendiri, kelas menengah intelektual, agama, ekonomi dan sosial Indonesia, dan
(3) mendidik (educatif), sebuah cara yang tidak hanya mengubah prilaku yang tampak, melainkan juga masyarakat hanya tahu bahwa mahasiswalah (PMII include didalamnya) yang telah mengawali semuanya
keyakinan, pandangan hidup dan nilai sasaran perubahan. Hal ini akan lebih cocok kalu PMII terapkan (reformasi). Sementara itu, di sisi lain, PMII masih terdisorientasi dalam memposisikan diri di tengah-
dalam merubah pola dan pandangan hidup masyarakat marginal, akar rumput, dan kaum miskin kota. tengah gelanggang yang sekarang ini sudah sangat politis dengan kekhawatiran akan dipolitisir menjadi
helen of troy berbagai kekuatan politik, baik nasional, regional maupun internasional.
Jika, PMII terus menerus dalam kondisi demam yang tak berkesudahan di antara dua pilihan
tersebut dengan reasoning bahwa PMII mesti belajar dari para pendahulunya, dari angkatan 66, 74, 77-
PMII dan Tradisi Protes 78, 98, bisa jadi PMII akan terjebak pada situasi lebih buruk, seperti yang menimpa semua angkatan
Adalah Hariman Siregar (2001), salah seorang tokoh Malari (Malapetaka 15 Januari 1974), tersebut. Oleh karena itu, ke depan, PMII harus selalu memerankan 2 karakter gerakan dalam konstelasi
menyatakan bahwa gerakan mahasiswa merupakan pilar ke-5 demokrasi setelah, eksekutif, legislatif, lokal ataupun nasional, yakni; sebagai agent of change, sebagai kekuatan pelopor perubahan, atupun
yudikatif, dan media massa (institusi pers sebagai pencipta opini publik). Salah satu alasan yang peruntuhan otoriterianisme kekuasaan dan director of change, sebagai salah satu pengendali utama
diajukannya adalah, realitas bahwa mahasiswa di dunia ketiga (khususnya Indonesia) yang selalu tampil perubahan. Dus, demi menjamin konsistensi dan keberlangasungan untuk memerankan hal itu, maka PMII
menjadi benteng terakhir demokrasi. Ketika otoritarianisme negara memuncak, dan lembaga-lembaga harus selalu berdiri di atas kepentingan rakyat, ditengah-tengah rakyat, dan menjadi pusat keluh kesah
demokrasi di atas tak lagi efektif memainkan perannya, maka mahasiswa mampu tampil sebagai rakyat, sehingga hal ini akan memudahkan PMII menyuarakan hal tersebut kepada para elit politik dan
kekuatan pendobrak yang menyedikan dirinya menjadi bumper perubahan. Apa yang terjadi pada tokoh bangsa yang memiliki peran membentuk wajah negeri. Oleh karena itu, posisi antara, merupakan
angkatan 66, 74, dan 98 kemarin adalah bukti tak terbantahkan. pilihan paling strategis (balancing of power) yang akan terus bisa PMII mainkan, agar tetap dalam centrum
Apa yang diungkapkan Hariman di atas, memang nyata adanya, dan sudah sering diungkapkan percaturan dan perubahan nasional. Disamping itu, PMII harus tetap meneguhkan jati dirnya sebagai
pula oleh para cendekia ataupun para tokoh gerakan mahasiswa itu sendiri. Namun, semuanya juga organisasi protes dan student movement sesuai dengan apa yang selama 43 tahun telah dilakoni PMII.
mengakui bahwa gerakan mahasiswa itu berhenti pada tataran pendobrakan saja, selebihnya selalu di Akar dan tradisi protes di PMII bisa kita telusuri dari sejak tahun 17 April 1960 hingga
take over oleh para politisi, parpol ataupun kekuatan politik-strategis lainnya, karena itu mahasiswa akan sekarang. PMII lahir dari sebuah keyakinan bahwa kekuatan mahasiswa itu pada kekuatan daya
selalu ditinggalkan begitu saja. Puja-puji atas kiprah mahasiswa itu cukup dihadiahi dengan sanjungan penalarannya (student power of the reason), namun bukan berarti mahasiswa hanya menjadi pekerja otak
bahwa mahasiswa adalah agent of change, suaranya mewakili jeritan hati terdalam dari masyarakat (knowledge worker) semata, atau terjerumus pada aksi-aksi temporer (berorientasi kekuasaan dan vested
tertindas dan independen serta tidak memiliki tendensi politik (gerakan mahasiswa identik dengan interest) tanpa konsepsi yang jelas menjangkau ke depan, melainkan harus memiliki keteguhan untuk tidak
gerakan moral). Ada juga yang kemudian memposisikan mahasiswa sebaiknya menjalankan fungsi pernah bosan mengabdikan dirinya kepada masyarakat langsung, demi tegaknya keadilan, kebenaran,
kontrol saja atas sistem, karena itu posisi terbaik mahasiswa terhadap negara adalah oposisi, tak lebih kejujuran, kemakmuran, penegakan hak asasi manusia, dan demokrasi. Karena itu, PMII dilahirkan untuk
dari itu. Jika kemudian mereka ingin terlibat lebih jauh dalam proses-proses pengambilan keputusan, menerapkan prinsip; ilmu untuk diamalkan bukan ilmu untuk ilmu itu sendiri. Tak heran jika diawal
maka cukuplah bagi mahasiswa ini menggabungkan diri dengan parpol-parpol yang ada, itupun kalau kelahirannya, PMII memprotes keras keangkuhan gelar kesarjanaan sebagai ukuran superiortas mahasiswa
mahasiswa mau, kalau tidak ya kembali saja ke kampus, atau tetap aktif dalam pergerakan dengan atas kelas sosial lainnya
melakukan advokasi serta terlibat kembali dalam proses pemberdayaan masyarakat, sudah sampai disitu penguasaan lmu apa saja yang berfaedah nyata bagi peradaban dan kemanusiaan, baik ilmu
saja diskursus tentang gerakan mahasiswa. Kalau masih saja penasaran, lalu apalagi kemudian yang agama, filsafat, eksakta, sosial maupun ekonomi. Kesarjanaan belumlah dengan sendirinya
menarik untuk diperbincangkan tentang mahasiswa, selain dari semua hal di atas ?. merupakan nilai yang selesai, bilamana tidak disertai dengan tindakan-tindakan riil bagi
Bagi mahasiswa, tentunya masih banyak hal-hal yang menarik diperbincangkan selain kepentingan kemajuan rakyat banyak sebagai pengabdian yang tak henti-hentinya pada
beberapa hal di atas, begitu pula dengan PMII. Ketika mahasiswa tak lagi dibutuhkan perannya untuk masyarakat (Effendi Choiri; 1991).
menangani persoalan besar berskala nasional, maka gerakan mahasiswa hanya akan disibukkan dengan Implementasi PMII sebagai organisasi protes akan semakin terlihat dalam beberapa kebijakan
isu yang case by case, bernuansa lokal dan tidak ada lagi isu sentral yang sanggup mengerakkkan organisasi di bawah ini. Pertama, Deklarasi Tawang Mangu, Desember 1961, tentang sosialisme religius,
seluruh elemen mahasiswa kembali turun jalan. Sehingga, aksi-aksi mahasiswa itu hanya bersifat nasionalisme dan sosialisme Indonesia. Menurut PMII Islam tidak berseberangan dengan sosialisme dan
melempar persoalan itu ke permukaan agar menjadi opini publik tanpa ada upaya serius untuk revolusi Indonesia, sebab sosialisme bagi PMII merupakan :
menindaklanjuti hal tersebut. Lihat saja, demo mahasiswa masalah dugaan KKN-nya Jaksa Agung M.A tidak lain daripada sosialisme yang berdiri secara khidmat di atas Pancasila, berikap dan bertindak
Rahman, Demo kasus BPPN, dan lain sebagainya. menurut garis tuntutan Allah SWT., dan cenderung pada pembagian kenikmatan hidup secara adil dan
Ada kegamangan dalam diri PMII, antara turun gelanggang dan berdiam diri, sembari merata serta meninggalkan taraf hidup rakyat miskin, sebagai suatu kewajiban moral yang amat tinggi
menyibukkan diri dengan urusan rumah tangga (internal) organisasi, padahal masyarakat tidak ada nilainya dan tidak mungkin ditangguhkan lagi PMII insyaf dan yakin pula bahwasannya keadilan
hentinya menuntut pertanggungjawaban atas sebuah perjuangan yang belum usai. Ini terjadi, karena hanya bisa dicapai dengan berpegang teguh kepada moral agama Islam, mengganti segala rupa
penipuan dengan kebenaran, kejujuran dan keadilan.PMII dengan sifat patriotisme nasional yang menjadi pertanggungjawab PMII untuk menjaga kesatuan nasional, mempertahankan
dituntunkan oleh ajaran agama Islam dan sifat taqwa kepada Allah SWT., dan keharusan cinta kemerdekaan Indonesia dari ancaman imperialisme-kolonialisme dalam segala bentuknya,
kepada tanah air, telah bertekad dan berdaya upaya membangun sosialisme Indonesia membela hak asasi dan demokrasi yang luhur, menyokong pengembangan persahabatan dengan
pengejawantahan UUD 1945 yang dijiwai oleh Piagam Jakarta di atas runtuhan kemiskinan rakyat negara-negara dan bangsa-bangsa lain demi untuk perdamaian dunia, berusaha keras tidak
yang tak terhingga, di atas runtuhan daripada kebohongan-kebohongan dan penipuan, di atas jatuhnya dunia ke kancah peperangan, melawan penindasan terhadap rakyat Indonesia dengan
runtuhan daripada ketakutan dan ketidak adaan jaminan hukum, di atas runtuhan daripada dalih apapun dan oleh siapapun, mendukung gerakan kemerdekaan tanah air oleh bangsa-
kebohongan dan dekadensi moral. bangsa yang masih terjajah di dunia.
Tak heran, jika para aktifis PMII di era 80 dan 90 an tidak begitu tertarik dengan wacana Islam
Sosialisme religius yang dikembangkan PMII dalam konteks struktur (Deklarasi Tawang modernis seperti, pemikir-pemikir Pan-Islamisme, Jamaluddin Al Afghani, Bduh, Rasyid Ridha, ataupun
Mangu, point ke-3 tentang Sosialisme Indonesia), tak lain dan tak bukan adalah Sayyid Qutb. Justru PMII malah menceburkan dirinya dengan pergulatan Hassan Hanafie, Abed Al Jabiri,
.sosialisme Indonesia dalam artian struktur tidak bisa lain daripada adanya Mahmoud Toha dan pemikir Islam yang agak ke-kiri-kiri-an. Akar radikalitas pemikiran aktifis PMII sudah
pemerintahan yang stabil dan berwibawa sebagai pemimpin segala kerja dan daya cipta tertanam benar di tubuh PMII bahkan telah menjadi kultur intelektualnya. Oleh karena itu, PMII hampir
seluruh rakyat Indonesia dengan berpedoman kepada pengabdian rakyat banyak, berpegang tidak mengalami kesulitan cukup berarti mengadaptasikan dirinya dengan perubahan kehidupan
teguh pada penghormatan mutlak hak-hak asasi manusia, demokrasi dalam bentuk hikmah kemasyarakatan, kebangsaan, kenegaraan dan internasionalisasi.
kebijaksanaan musyawarah, tidaklah bisa lain daripada penyusunan tata perekonomian Kedua, Sepuluh Kesimpulan Ponorogo, Pernyataan dan Penegasan Yogyakarta pada Kongres II
berdasarkan asas kekeluargaan gotong-royong atau taawun, dimana cabang produksi yang dibulan Desember tahun 1963. PMII menginstruksikan kepada para kadernya harus berjiwa sosialis,
menyangkut hajat hidup rakyat banyak, termasuk bumi, air dan kekayaan alam dikuasai oleh demokratis, nasionalis, pejuang anti penindasan, dan revolusioner, serta mengharamkan kadernya apatis,
negara untuk kepentingan rakyat itu sendiri, sedangkan cabang produksi dan ekonomi yang isolasionis, kompromistik murahan, cepat puas, dan cepat putus asa. Implikasinya, kader PMII tidak boleh
bersifat menengah ringan diserahkan kepada pihak masyarakat sendiriuntuk menyerahkan dirinya mentah-mentah kepada kehendak penguasa, sekaligus tidak juga terseret pada sikap
melaksanakannya sambil dibebani pertanggungjawab sosial yang maksimum. ekstrim yang mampu menggoyahkan sendi-sendi keutuhan NKRI. Keputusan ini diambil sebagai bentuk
Jauh sebelum kader PMII bersentuhan dengan pemikiran Hasan Hanafi, Asghar Ali Engineer, counter represifitas rezim Orla pada saat itu yang akan membabat para mahasiswa kontra (tak sepahaman
Arkoun, dan beberapa kelompok pemikir kiri dalam dunia Islam lainnya, sosialisme Indonesia yang dan menentang) revolusi serta menguatnya manufer-manufer politik PKI yang semakin tidak memberi
berbasiskan religiusitas Islam telah diterima di PMII dan diperjuangkan dalam ranah struktur ataupun ruang bagi kelompok agamis.
kultur. Sementara itu, organisasi kemahasiswaan sejenis masih berkutat dalam politisasi Islam dan Dalam ranah eknomi, segala bentuk hegemoni negara atas pos-pos ekonomi (produksi) ditolak
kecenderungan menolak Pancasila sebagai dasar negara, serta kehendak menggantikannya dengan oleh PMII, padahal ketika itu presiden Soekarno semakin yakin dengan konsep NASAKOM-nya dan
Piagam Jakarta. Ini sungguh sikap protes yang luar biasa PMII atas kehendak Islamisasi negara, begitu membuka ruang yang sangat lebar buat PKI untuk menguasai posisi-posisi strategis di berbagai
Sebagai angkatan baru, PMII insaf dan yakin sepenuhnya akan pertanggungjawab terhaap agama departemen penting negara. PMII menyerukan bahwa penumpukan bahan pokok kebutuhan rakyat sangat
Islam, Negara dan Bangsa serta kesetiaan kepada Undang-Undang Dasar 1945 yang dijiwai dan bertentangan dengan Islam, monopoli perekonomian, pemerasan dan mengingatkan negara bahwa cabang
merupakan rangkaian kesatuan dengan Piagam Jakarta. PMII bahkan mengklaim dirinya sebagai dan sektor produksi yang dikuasainya harus digunakan untuk kemakmuran (sepenuhnya) rakyat, bukan
nasionalisme sejati dan pembela kaum mustadlafin, jauh sebelum masalah nasionalisme dan sebaliknya. (lihat hasil Kongres Ke-II PMII di Yogyakarta pada tahun 1963). Rupanya hal ini juga
keberpihakan pada rakyat tertindas di gugat habis oleh banyak kelompok Islam modernis ataupun merupakan sebuah kritik atas beberapa elit partai NU yang memiliki previlige-previlige tertentu di
kelompok lainnya di Indonesia, adalah sifat dan tanggung jawab terpuji bertindak menurut dan kekuasaan untuk menumpuk kekayaan pribadi.
mengembangkan ajaran agama Islam, memiliki sifat nasionalisme sejati dan berpihak kepada nasib dan
penderitaan bangsa Indonesia serta pembelaan terhadap mereka Dalam konteks internasional, PMII telah mengajukan kepada pemerintah Indonesia untuk
Sikap non-kooperatif anti dengan kekuatan global (internasional) yang kerap sekarang ini menyelenggarakan Konperensi Islam Internasional Asia-Afrika (KIAA). Artinya, PMII tidak sepenuhnya
disebut sebagai imperialisme ekonomi, justru telah PMII tetapkan sejak 1961, bukan saja sekuler dalam memandang agama dalam korelasinya dengan negara dan dunia. Hal ini semakin
imperialisme-kolonialisme fisik (militer) saja yang PMII tolak, bahkan imperialisme ekonomi, sosial menunjukkan, bahwa PMII tidak hanya memprotes ketidakadilan yang terjadi di Indonesia, tetapi juga
dan budaya juga tidak PMII tolerir terjadi seluruh dunia. Jauh sebelum, para organisasi kemasyarakatan, memiliki perhatian tinggi atas internasionalisme, khususnya keterbelakangan umat Islam di dunia,
kemahasiswaan, kepemudaan, dan parpol-parpol Islam hari ini begitu kencang melakukan aksi sosial- dimana kebanyakan mereka adalah warga masyarakat dunia ketiga.
jalanan menolak penghancuran Afghanistan dan penyerangan AS atas Irak ataupun dunia Islam lainnya, Ketiga, Gelora Mega Mendung bulan April 1965, yang meliputi gelora pemikiran dan gerakan
PMII justru telah menyuarakan hal itu sejak tahun 60 an, PMII mengenai 5 (lima) butir masalah, yakni : ukhuwwah Islamiyyah, watak umum organisasi,
berpengetahuan dan berkesadaran politik, partisipasi organisasi dalam tahap-tahap revolusioner dan
tentang pondok pesantren. Disini kita bisa menilai radikalitas pemikiran organisasi kemahasiswaan yang ini akan diselesaikan kalau tugas-tugas dan bentuk-bentuk kegiatan-kegiatan masyarakat itu
katanya kelas intelektual masyarakat tradisional itu, bahwa watak umum organisasi mahasiswa itu semata-mata mengarah kepada kepentingan agama, nusa, bangsa dan revolusi...
adalah kecuali harus berpihak kepada ke-Tuhan-an, kepada sosialisme, membela buruh dan tani, PMII putri juga menyerukan kepada seluruh civitas akademika diseluruh Indonesia, agar jurang
mengganyang habis kemiskinan, kebodohan dan kezaliman, memihak kepada perjuangan melawan pemisah antara perkuliahan dan masyarakat mutlak ditolak, dan menempatkan organisasi kemahasiswaan
Nekolim dan penghisapan manusia atas manusia dalam segala bentuk manifestasinya. sebagai jembatan emas penghubung antara keduanya. Bahkan secara kongkrit PMII putri akan
Begitupula dengan masalah pondok pesantren, PMII memandang bahwa pondok pesantren mendharmabaktikan dirinya dalam seluruh bentuk kehidupan, baik dalam bidang politik, sosial ekonomi,
merupakan basis gerakan anti kolonialisme, dan tempat penggemblengan serta pendidikan untuk pendidikan maupun dalam perkembangan kebudayaan.
mensukseskan usaha nation and character building. Sosialisme Indonesia yang dimaksud PMII di era Keenam, Deklarasi Murnajati ditahun 1972, sebagai tonggak Independensi PMII terhadap partai
Orde Lama, tidaklah sama, berbeda dengansosialisme yang orang nasionalis, komunis ataupun aliran dan organisasi apapun. Ini mungkin bentuk protes paling besar PMII terhadap NU, ataupun dunia
politik lain definisikan. Sosialisme Indonesia bagi PMII adalah tidak ada lain daripada masyarakat perpolitikan nasional di era Orde Baru. Sejak itu, PMII menyatakan diri sebagai organisasi independent,
adil dan makmur, materiil dan spirituil dan diridlai Allah SWT., selian dia merupakan tujuan agama tidak terikat, baik sikap maupun tindakan kepada siapapun, dan hanya commited dengan perjuangan
Islam.. pengejawantahan daripada UUD 1945 yang dijiwai oleh Piagam Jakarta. Apa yang organisasi dan cita-cita perjuangan nasional yang berlandaskan Pancasila. Polemik cukup tajam terjadi
diputuskan NU di tahun 1982 untuk menjadikan Pancasila sebagai dasar negara yang final, harus diakui antara aktifis PMII yang membela mati-matian independensi (karena tidak semua aktifis PMII setuju
ada andilnya (terinspirasi) oleh pemikiran PMII di atas. independensi) dan alumni PMII atau elit NU yang menyayangkan PMII keluar dari NU. Pendewasaan
Keempat, PMII menjadi motor gerakan mahasiswa, pencetus perjuangan Ampera, dan Tritura dan dinamika organisasi merupakan alasan utama, diambilnya kebijakan teresbut, tetapi saya melihat
di sepnajang tahun 1966 dan 1967. Dimulai dengan terpilihnya Zamroni (salah satu ketua PB PMII) bahwa independesi PMII dalam konteks dimana NU masih menjadi partai, sebenarnya tidak lebih dari
sebagai ketua presidium KAMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia), PMII terlibat aktif dan menjadi rekayasa Ali Moertopo (Opsus), yang bertujuan melemahkan kekuatan NU, sebab dengan memisahkan
motor gerakan mahasiswa membubarkan PKI, meminta penurunan harga, bubarkan kabinet, bersihkan PMII dari partai NU, maka partai NU kehilangan resources dan salah satu kaki politik yang cukup bisa
serta parlemen dari unsur/gerakan PKI. Dari pusat hingga daerah, aktifis PMII menduduki posisi diandalkan untuk mengemban amanat, nilai-nilai, dan membesarkan partai NU. Namun, terlepas pro-
pertama di KAMI. Salah satu kredo terkenal KAMI yang banyak disitir oleh gerakan mahasiswa setelah kontra yang melingkupinya, independensi PMII itu telah terasa benar manfaatnya bagi PMII dewasa ini,
itu adalah Hitam kata rakyat, hitam kata PMII. Putih kata rakyat, putih kata KAMI. Sebuah prestasi berbagai capaian strategis dan kemajuan organisasi justru terjadi secara massif dan progresif dengan PMII
spektakuler bagi organisasi yang masih belia (lahir 1960), PMII mampu menjadi motor penumbangan independen dari organisasi manapun.
Orde Lama untuk digantikan Orde Baru. Ketujuh, Pernyataan Ciloto tahun 1973. Ada beberapa hal yang cukup berani disuarakan PMII
Organisasi kemahasiswaan ekstra instituter, kepemudaan, Ormas ataupun partai politik, sebagai kritik atas Orde Baru. Dalam ranah ekonomi, PMII meminta agar kebijakan pemerintah
bahkan Soekarno sendiri tentunya sangat mengenal siapakah Zamroni (Salah satu ketua PB PMII) yang mengundang modal asing untuk masuk ke dalam negeri harus berorientasi pada penciptaan (memperluas)
dengan kekuatan orasinya mampu menggerakkan mahasiswa, pelajar dan masyarakat kecil untuk segera lapangan kerja bagi pribumi dan bukan sebaliknya, perlindungan bagi pengusaha pengecer pribumi di
memaksa pemerintah membubarkan PKI, menuntut perubahan besar-besaran pada tatanan sistem pelosok-pelosok daerah, serta perlunya membatasi modal asing agar tidak bersifat subtansial, melainkan
pemerintahan dan politik Indonesia agar sesuai dengan UUD 1945. Tak salah pak Subhan (politisi ulung bersifat komplementer saja. Sedangkan dalam ranah politik, PMII memprotes perombakan struktur politik
NU) memilih Zamroni menjadi ketua KAMI, yang saat itu diamini oleh Mahbub Djunaidi (Ketua yang dijalankan pemerintah masih jauh (menyimpang) dan belum mencerminkan sepenuhnya asas-asas
Umum PB PMII), Ridwan Saidi (Ketua Umum PB HMI) dan kawan-kawan. yang terkanung dalam UUD 1945. PMII juga mendesak pemerintah menjamin kebebasan mimbar di
Kelima, pengakuan akan kesetaraan gender, yang selama ini sangat digandrungi dan perguruan tinggi se-konsekwen mungkin, menghilangkan kecurigaan berlebihan terhadap aktifitas
diperjuangkan oleh hampir seluruh organisasi perempuan di Indonesia, sudah terlebih dahulu PMII (mahasiswa) perguran tinggi dan menghindari penggunaan security approach terhadap setiap masalah
suarakan pada tahun 1966 melalui Panca Norma PMII Putri, hanya saja PMII menamakan gerakan (sosial-politik) yang muncul.
kesetaraan itu dengan emansipasi bukan perjuangan gender, Meletusnya kerusuhan Malari 1974, bukanlah sesuatu yang tidak diprediksikan oleh PMII. Apa
emansipasi wanita berarti memberikan hak-hak dan kesempatan kepada kaum wanita yang dimaksud dengan Statement Ciloto, akhir Desember 1973, adalah bentuk antisipasi PMII atas
sederajat, setingkat dan seirama dengan kaum pria.tuntutan akan hak-hak wanita, meliputi kebijakan negara yang semakin melupakan nasib pribumi, serta kecenderungan menguatnya konsolidasi
segala segi kehidupan, baik politik, sosial-ekonomi, maupun kebudayaan. Hak-hak ini para aktifis mahasiswa untuk melakukan gerakan besar menentang kebijakan itu dalam bentuk aksi-aksi
diberikan adalah merupakan tuntutan nurani yang mendorong manusia berkeinginan, jalanan seperti di tahun 1966 yang lalu. Apa yang dikhawatirkan PMII di Ciloto menjadi kenyataan,
berkehendak, dan berbuat sebagai realisasi dan manifestasi daripada ajaran IslamPMII dengan meletusnya peristiwa Malari yang melahirkan Hariman Siregar sebagai salah satu tokoh utamanya.
sebagai wanita realistik, mampu menyelesaikan tugas-tugas kemasyarakatan, dan tugas-tugas Kedelapan, Protes PMII atas tradisi berpikir (sebagian) orang NU yang masih kolot, menolak
diberlakukannya SK Menteri P dan K No. 028, yang berisi keharusan agar dalam melaksanakan
kegiatannya, mahasiswa harus meminta izin rektor terlebih dahulu, memfasilitasi berbagai pertemuan Dalam konteks gerakan pemikiran, booming intelektual PMII mulai terjadi sejak tahun 1980
almuni PMII untuk mengawali Kebangkitan NU dengan melakukan pribumisasi Islam, penyebar akhir sampai sekitar akhir 1990- an, dan patut dicatat bahwa, kebangkitan pemikir muda PMII itu tidak lagi
pluralisme dan toleransi, mengembalikan NU pada khittah-nya, motor menerima Pancasila sebagai dimonopoli oleh lulusan IAIN semata. Inilah yang oleh banyak kalangan disebut sebagai era kebangkitan
asas tunggal, serta memprotes hutang luar negeri pemerintah yang semakin menggunung,. Di era 80 an kelas santri terpelajar, bahkan Cak Nur (dedengkotnya HMI) meyakini bahwa Indonesia 2025 adalah milik
memang tidak banyak gerakan mahasiswa yang mampu bersinar terang dalam panggung-panggung NU (baca; PMII), ia memprediksikan bahwa saat itu, anak muda NU telah mampu menduduki pos-pos
mitologi politik nasional. Sebab, sepanjang dasa warsa ini, Orde Baru telah mampu mencengkeramkan strategis bangsa, baik politik, ekonomi, maupun dalam institusi-institusi pendidikan tinggi di Indonesia.
kuku kekuasaannya dengan kuat, hampir di seluruh entias politik dan sosial (masyarakat). Pada fase inilah, PMII mampu merumuskan sebuah paradigma gerakan (sekitar akhir 1997), yang akhirnya
Namun, PMII masih melakukan hal-hal strategis yang sangat penting bagi proses radikalisasi- dibakukan di Kongres Medan (2000) menjadi Paradigma Kritis-Transformatif. Dekonstruksi dan
liberasi pemikiran dan gerakan di sepanjang dasa warsa 90 an. Beberapa hal di atas merupakan rekonstruksi pemahaman ajaran Islam, Aswaja sebagai manhajul fikr, pribumisasi Islam, pluralisme, kritik
cerminan agar PMII mulai lagi membangun kritisisme, dan mulai menjadi corong perluasan ide-ide wacana agama, perjuangan keislaman dan kebangsaan melalui jalur sosio-kultural, open society,
besar Gus Dur, baik ke dalam masyarakat Islam tradisional sendiri, ataupun bangsa Indonesia secara masyarakat komunikasi, post-tradisionalisme Islam Indonesia, Islam sebagai etika sosial, Islam liberal,
keseluruhan. Pada paruh terakhir dasa warsa 80 an, radikalisasi pemikiran aktifis PMII sudah semakin Islam emansipatoris, merupakan beberapa produk pemikiran yang tumbuh subur (terlahir) dari para
berkembang jauh, tidak hanya terbatas pada domain pemikiran keagamaan saja, tetapi semakin luas ke pemikir muda (ataupun alumni) PMII.
dalam pemikiran filsafat, dan social humaniora. Hal ini salah satunya didorong oleh semakin banyaknya Awal 1997, PMII menilai bahwa Kelompok Cipayung sudah tidak relevan lagi dipertahankan
kader PMII yang berasal dari perguruan tinggi umum (tak lagi terpusat di IAIN atau perguruan tinggi eksistensinya, sebab HMI sebagai salah satu anggotanya telah menjadi bagian terpenting dari kekuasaan
Islam lainnya). Begitu pula, kehadiran LkiS di akhir era 80 an, turut mendorong liberalisasi pemikiran rezim Orde Baru. Oleh karena itu, PMII bersama dengan GMNI, PMKRI, GMKI, GAMKI, Pemuda
aktifis PMII. Demokrat, IPNU dan IPPNU membentuk Forum Kebangsaan Pemuda Indonesia (FKPI). FKPI menilai
Kesembilan, di sepanjang dasa warsa 90 an, PMII meneguhkan dirinya sebagai organisasi bahwa Kelompok Cipayung telah ditinggalkan sejarah, dan tak lagi mampu mengkritisi (melakukan
protes. Sejak kepemimpinan sahabat Iqbal, jumlah pemikir muda di PMII semakin bertambah banyak. counter gerakan) atas etatisme negara dan politisasi agama. FKPI lahir sebagai jawaban atas kehendak
Gerakan aksi jalanan sebagai bentuk kritik atas jalannya kekuasaan mulai sering dilakukan. Aksi jalanan bersama dalam upaya menciptakan (mendorong terbentuknya iklim kondusif) revitalisasi wacana dan
ini dimulai dengan gerakan sahabat Effendy Choiri (waktu itu masih menjabat Ketua Umum PMII DKI wawasan kebangsaan Indonesia yang selama ini telah dimonopoli oleh rezim Orde Baru. Tafsir tunggal
Jakarta), di bulan Juli, tahun 1990, bersama 30 aktifis PMII lainnya, melakukan demo menuntut penguasa Orde Baru atas rasa, semangat dan wawasan kebangsaan Indonesia inilah yang dinilai oleh FKPI
pemerintah Arab Saudi bertanggung jawab atas terjadinya Tragedi Mina, di Kedutaan Besar Arab sebagai biang kerok terjadinya konflik SARA di beberapa daerah (Situbondo, Tasik dan Sambas)
Saudi. Aksi ini sebagai tindak lanjut dari pernyataan dan sikap terbuka PB PMII yang menuntut Indonesia, mandulnya gerakan demokrasi politik dan ekonomi, hilangnya kepastian hukum, dan
Menteri Agama RI, Munawir Sadzali mengundurkan diri dari jabatannya, karena Menag dianggap sebagainya.
terlalu pasif, tidak responsif, tidak tegas dan terlalu lamban dalam mengambil keputuan mengenai Begitu pula dalam ranah pluralitas kehidupan keagamaan Indonesia, PMII dinilai berperan
kecelakaan yang menimpa ribuan umat Islam Indonesia itu. Keberanian berdemonstrasi PMII ini penting bagi pembumian teologi toleransi yang memayungi keharmonisan hubungan antar agama dalam
ditunjukkan kembali saat PMII bersama Kelompok Cipayung mendatangi Kedutaan Besar Amerika, kaitannya mengikis hegemoni negara atas agama. Hampir di seluruh forum komunikasi antar agama di
untuk menentang kebrutalan AS dalam Perang Teluk (1991). Bahkan, Amien Rais (Ketua PP Indonesia, selalu terdapat didalamnya aktifis PMII yang terlibat intens di berbagai pertemuan, aktifitas
Muhammadiyah pada saat itu) mengomentari gerakan jalanan PMII itu dengan sebutan Halilintar kemanusiaan, dan dalam setiap upaya pencarian model keberagamaan yang paling ideal (sesuai) dalam
PMII. konteks keindonesiaan. Tak terbilang jumlahnya kader PMII yang begitu karib dengan para romo, pendeta,
Di paruh awal dasa warsa 90 an ini PMII mulai menceburkan dirinya secara aktif dalam bunsu, biksu serta para tokoh agama lain untuk bersama-sama menyuarakan keadilan, toleransi,
gerakan pemberdayaan wong cilik dan perlawanan atas rezimentasi Orde Baru, misalnya, keterbukaan, demokrasi, pemberdayaan civil society, dan sebagainya diberbagai kesempatan dan aktifitas
mendemonstrasi kesewenang-wenangan birokrat kampus, penggusuran tempat tinggal rakyat, bersama.
pembebasan tanah, upah buruh yang minim, tuntutan hak asasi manusia, pembubaran SDSB, tuntutan Akhirnya, paparan di atas sebenarnya sudah cukup modal bagi PMII untuk mendeklarasikan
demokratisasi, keadilan, dan sebagainya. Gerakan jalanan PMII ini semakin bersinar, apa yang menimpa dirinysa sebagai organisasi protes. Tidak hanya protes sosial, melainkan juga seluruh bangunan
sahabat kita di UMI Ujung Pandang, kerusuhan Tasik, kasus Situbondo, kerusuhan etnik di Kalimantan pemikiran, kebudayaan, ekonomi, keagamaan, sisem kenegaraan, maupun kapitalisme global yang tidak
Barat, semuanya itu tidak luput dari perhatian PMII dan disuarakan secara terus-menerus lewat aksi-aksi humanis, menindas, membungkam kebebasan (kemerdekaan) individu, mengingkari nilai-nilai kebenaran
jalanan. Puncaknya, ketika terjadi pelengseran Soeharto dari kekuasaannya di pertengahan tahun 1998, dan keadilan universal, anti perubahan (jumud), dan terlalu mendewakan materi (capital). Oleh karena itu,
dan lahirnya reformasi, PMII menjadi bagian tak terpisahkan dari gerakan mahasiswa tersebut. semuanya diserahkan kepada publik luas, apakah kritisisme (pemikiran maupun gerakan), dan tradisi
protes itu masih terus menyala di PMII ataukah justru telah mengalami titik balik menuju degradasi
besar-besaran ?. wallahu alam.

Anda mungkin juga menyukai