Anda di halaman 1dari 6

STRATEGI MENGUASAI

KEPEMIMPINAN GERAKAN

A. Refleksi Gerakan Mahasiswa

Membahas mengenai gerakan mahasiswa, tidak lepas dari beberapa


angkatan heroik yang mendahuluinya seperti angkatan ‘66 yang ikut mendorong
terbentuknya orde baru dan angkatan ‘98 yang menumbangkannya. Selang waktu
selama 32 tahun tersebut tidaklah berarti kekosongan gerakan, melainkan karena
gerakan yang terjadi bukanlah gerakan yang monumental dan sedikit
keberhasilan. Mengapa gerakan mahasiswa 1998 berhasil?

Untuk menjawab pertanyaan tersebut, penulis mengangkat 3 kemungkinan


secara teori. Pertama, gerakan sosial dapat terjadi dalam kondisi yang
memungkinkan (political opportunity). Dalam konteks orde baru, maka hal ini
dapat dijelaskan bahwa pemerintahan represif orde baru berubah menjadi lebih
moderat terhadap oposisi. Hal ini terjadi karena tekanan organisasi dan
komunikasi internasional. Pemberitaan pelanggaran HAM seringkali dimuat di
media-media internasional, dan bahkan membuat organisasi internasional di
bidang hak asasi bereaksi. Mengingat juga pengaruh IMF di Indonesia yang
begitu besar serta semakin canggihnya media komunikasi, maka tekanan terhadap
pemerintahan orde baru semakin besar. Dengan keterbukaan terhadap oposisi ini
mengakibatkan berbagai gerakan sosial yang selama ini terpendam akan muncul
ke permukaan.

Kedua, gerakan sosial muncul karena ketidakpuasan atas situasi yang ada.
Munculnya krisis ekonomi di Asia, transisi modernisasi, serta isu KKN
menimbulkan gejolak pihak-pihak yang dirugikan dan kemudian meluas menjadi
gerakan sosial. Dan yang terakhir adalah, bahwa gerakan sosial muncul semata-
mata karena masalah kemampuan dari tokoh penggeraknya (leadership
capability). Institusi yang berperan pada aksi besar tahun 1966 adalah adanya
senat mahasiswa dan dewan mahasiswa yang menaungi satu universitas. Dalam
gerakan 1998, jaringan informal antar universitas yang telah dibangun pada aksi-
aksi sebelumnya inilah yang memungkinkan aktivis mahasiswa untuk saling
berhubungan, seperti halnya LSM dan Intelektual Kritis.

Dengan kata lain, kondisi yang mendukung adanya gerakan adalah


political opportunity, kondisi dan situasi masyarakat, dan yang terakhir adalah
kemampuan aktor penggerak. Di era kebebasan teknologi informasi dan
komunikasi seperti sekarang, tentu political opportunity masyarakat semakin luas.
Gerakan ekstra parlementer bisa bebas dilakukan kapanpun dan oleh siapapun.
Atas nama demokrasi ala reformasi, semua orang memiliki kesempatan untuk
mengeluarkan aspirasi politik dan keresahannya. Hal ini kemudian menyebabkan
banyak kelompok gerakan muncul, mulai dari gerakan berbasis ideologi, gerakan
berbasis kelompok, atau bahkan gerakan pragmatis untuk keuntungan tertentu.
Dengan munculnya berbagai gerakan tersebut, maka PMII sebagai organisasi
kaderisasi memiliki lebih banyak kompetitor. Kompetitor yang dimaksud
bukanlah organisasi lain yang memperjuangkan keadilan dan kesejahteraan sosial,
melainkan gerakan pragmatis yang ingin memanfaatkan demokrasi untuk
kepentingan diri sendiri dan kelompoknya.

Selain itu, konteks zaman juga mempengaruhi gerakan mahasiswa.


Masyarakat digital seperti sekarang tentu sudah tidak lagi membutuhkan
“penyambung lidah rakyat” seperti zaman dulu. Semua masyarakat sudah bisa
menyambung lidahnya sendiri. Semua masyarakat bisa langsung memberi pesan
dan masalah yang dialaminya kepada wakilnya di pemerintahan melalui media
sosial. Eksistensi gerakan mahasiswa yang sejatinya sebagai penyalur aspirasi dari
masyarakat ke pemerintahan menjadi tidak memiliki nilai kebermanfaatan.
Masyarakat sudah tidak memerlukan lagi “perantara” dalam menyampaikan
aspirasinya.

Dari segi kemampuan aktor penggerak, yang dijadikan sebagai “tokoh”


sudah minim, bahkan tidak ada. Dulu ada Mahbub Djunaidi yang mengkritik
pemerintah melalui seni menulisnya. Selain kemampuan menulis, jaringan antar
organisasi yang dimilikinya luas, mulai dari LSM, pers, hingga jaringan di
pemerintahan. Namun sekarang jaringan organisasi PMII hanya terbatas kepada
PKB.

B. Gerakan Moral vs Gerakan Politik

Dibalik keberhasilan gerakan mahasiswa di masa lalu, terdapat fakta lain


yang hampir semua orang tahu, tapi enggan untuk membicarakannya. Menjelang
pemilu 1999 gerakan mahasiswa menjadi semakin ekstrim. Mahasiswa sulit
dikatakan sebagai kekuatan konsisten atas arus reformasi dan demokratisasi.
Terdapat dua contoh dalam menggambarkan hal ini. Pertama, isu gerakan
mahasiswa yang menuntut Golkar dibubarkan dan didiskualifikasi sebagai peserta
pemilu. Yang mana dengan menghalangi Golkar mengikuti pemilu dapat berarti
mencederai semangat demokrasi. Hak Golkar untuk menyatakan pendapat dan
untuk ikut pemilu tetap harus dihormati demi demokrasi. Dan isu kedua adalah
adanya penolakan Pemilu 1999. Sarasehan nasional mahasiswa di Bali
memutuskan untuk menolak pemilu. Sebagai gantinya, gerakan mahasiswa
menginginkan dibentuknya pemerintahan transisi atau Komite Rakyat Indonesia.
Hal ini tentu tidak sesuai dengan prinsip representasi. Gerakan mahasiswa tentu
belum bisa merepresentasikan keragaman yang ada di Indonesia, dan juga orang-
orang yang nantinya masuk dalam pemerintahan transisi tersebut juga perlu
kembali dipertanyakan. Setelah pemilu pun, transisi belum selesai. Kerusuhan
kembali terjadi sebagai akibat dari berbagai manuver partai politik. Dalam kondisi
seperti itu, politisasi dikalangan mahasiswa meningkat. Berbagai kelompok
mahasiswa terfragmentasi dan terpecah belah. Manuver yang dilakukan oleh
mahasiswa pun semakin terampil, perbedaan dalam visi politik dan metode aksi
memungkinkan kelompok mahasiswa terlibat konflik antar mereka sendiri.

Kemunduran gerakan mahasiswa secara ideologi ini kemungkinan


disebabkan karena berubahnya kelamin gerakan. Gerakan yang awalnya berupa
kekuatan moral perlahan berubah menjadi gerakan politik. gerakan mahasiswa
mulai bersifat partisan dan memihak golongan tertentu. Selain itu, alasan lainnya
adalah karena gerakan mahasiswa tidak benar-benar menghayati ideologi yang
mereka perjuangkan. Dalam artian, terdapat sebagai mahasiswa yang tidak benar-
benar paham detail dari reformasi maupun demokrasi. Namun, masih terdapat
berbagai gerakan mahasiswa yang tetap sesuai dengan semangat awal reformasi
dan demokrasi yang diperjuangkan tersebut.

C. Strategi Kepemimpinan Gerakan Mahasiswa

Menguasai kepemimpinan gerakan bukanlah inti dari sebuah gerakan


mahasiswa. Menjadi pemimpin gerakan adalah salah satu fitur untuk terwujudnya
perubahan sosial. Perubahan sosial dapat dilakukan tanpa harus menguasai
gerakan mahasiswa. Fokus dari gerakan mahasiswa haruslah pengabdian. Prinsip
kolaborasi harus lebih diutamakan di era sekarang dibandingkan dengan
kompetisi. Keberhasilan gerakan mahasiswa angkatan ‘66 dan ‘98 adalah bukti
bagaimana kolaborasi antar kelompok gerakan dapat mewujudkan perubahan
sosial. Selain itu, terbukanya political opportunity seperti sekarang akan menjadi
sulit jika fokus dari gerakan adalah kompetisi. Organisasi gerakan mahasiswa saat
ini sudah sangat banyak dan akan semakin bertambah banyak karena iklim
demokrasi yang terjadi sekarang. Akan sangat melelahkan jika terlalu berfokus
untuk menguasai, alih-alih berkolaborasi.

Selain itu, dengan konteks zaman dimana eksistensi gerakan mahasiswa


sebagai penyambung aspirasi masyarakat kembali dipertanyakan, maka perlu
disusun adanya paradigma baru PMII. Paradigma kritis transformatif sudah kuno
untuk dipakai di zaman dimana semua orang mulai bersikap kritis. Orang bisa
mendapat informasi kapanpun dan dimanapun dengan adanya teknologi informasi
dan komunikasi. Selain itu, aspirasi politik seseorang bisa langsung menjangkau
pemerintahan baik daerah maupun pusat. Hal paling relevan yang menjadi fokus
dari PMII sekarang adalah pemberdayaan. Pemberdayaan secara singkat
dimaksudkan agar masyarakat bisa mandiri. Arus informasi yang sangat cepat dan
tanpa batas, perlu diterima oleh masyarakat dengan pemikiran “dewasa” dalam
menyikapinya. Pemberdayaan berbasis teknologi inilah yang seharusnya menjadi
fokus gerakan di era sekarang.
Meski begitu, menguasai kepemimpinan gerakan bukanlah hal yang
mustahil jika memiliki aktor penggerak atau tokoh. Yakni mahasiswa yang
mampu menguasai dengan baik intelektualitas, moralitas, religiusitas, kepekaan
sosial, konsolidasi gerakan, dan cita-cita luhur kaum terpelajar. Selain itu,
menguasai kepemimpinan gerakan juga dapat terjadi jika sistem organisasi
berjalan dengan baik. Unit-unit abstrak seperti ideologi dan tujuan organisasi
perlu diperjelas. Selain itu, kemampuan kader perlu ditingkatkan. Oleh karena itu
perlu adanya sistem kaderisasi yang lebih sistematik dan adaptif. Diharapkan
dengan adanya sistem kaderisasi yang lebih baik dapat menghasilkan SDM PMII
yang lebih baik juga. Ketika organisasi memiliki kader yang berkualitas, maka
menguasai kepemimpinan gerakan akan secara otomatis didapatkan.

\
DAFTAR PUSTAKA

Ali, Denny Januar. 2006. Jatuhnya Soeharto dan Transisi Demokrasi Indonesia.
LKIS Yogyakarta

Anda mungkin juga menyukai