Anda di halaman 1dari 4

Nyaleg, Bikin, dan Gabung Partai: Dilema Gerakan

Politik vs Gerakan Moral Mahasiswa

Salman Al-Farisiy

Formulasi model gerakan boleh saja berubah menyesuaikan iklim yang ada. Dari segi
politik, selama lebih dari 50 tahun mayoritas gerakan Mahasiswa berkomitmen memilih
model gerakan moral. Akan tetapi melihat sikap beberapa Mahasiswa juga Pengurus KAMMI
yang masuk dalam gerakan politik menimbulkan satu tanda tanya, perlukah kader KAMMI
mengakomodir gerakan politik sekaligus gerakan moral?

Sebelum masuk bahasan inti kita tarik dulu pembicaraan ke soalan yang lebih mendasar
untuk memastikan bahwa kita sepakat di awal tentang fungsi Mahasiswa. Kita ketahui bahwa
Mahasiswa tidak hanya bagian dari rakyat, ia pun juga merupakan rakyat sendiri. Selain itu,
ia mempunyai privilege sebagai seorang intelektual yang mampu membaca persoalan dan
punya akses vertikal ke kekuasaan. Dengan statusnya yang 'rakyat' dan privilege pengetahuan
serta aksesnya maka Mahasiswa dituntut melakukan aksi dan advokasi yang bersinggungan
dengan kebathilan dan kuasa (Kusumah: 2007). Inilah fungsi sosial politik dari Mahasiswa,
yang kemudian berkonsekuensi melahirkan gerakan Mahasiswa.

Gerakan Mahasiswa ini sebenarnya terbilang unik, ia sulit didapati di negara-negara


Barat yang digadang-gadang sebagai lumbungnya demokrasi. Gerakan ini biasanya muncul
di negara-negara berkembang yang mana situasi politiknya masih pincang sehingga
masyarakat sipil masih dibutuhkan untuk menangani situasi politik (Kusumah: 2007). Wakil
rakyat yang harusnya mewakili rakyat justru masih harus dibantu oleh rakyat untuk mengurus
negara. Pada kondisi inilah Mahasiswa sebagai elemen rakyat turut ikut campur menangani
masalah politik.

Dalam menangani soalan politik ini ijtihad Mahasiswa terbagi menjadi dua. Meski
punya istilah yang berbeda-beda, namun Sunyoto menyebut kedua model ini sebagai model
gerakan moral dan model gerakan politik. Gerakan moral merupakan model gerakan yang
mengedepankan pembenahan kondisi perpolitikan dari luar. Dengan menjaga jarak dari
kekuasaan maka secara otomatis ia lebih dekat dengan rakyat. Dengan ini dapat disimpulkan
bahwa fokus utama Gerakan moral Mahasiswa ialah rakyat (Sunyoto: 1999).

Karena kedekatannya dengan rakyat, diharapkan Mahasiswa mampu akrab dengan


pahit getir yang dialami rakyat. Setelah faham bahkan merasakan langsung penderitaannya,
gerakan Mahasiswa dituntut untuk membangun atensi melalui media, menggalang kekuatan
rakyat, dan menggelar parlemen jalanan yang akan mengubah kebijakan rakyat. Dengan ini
gerakan moral menjadikan mahasiswa sebagai komunikator yang menjembatani kebijakan
pemerintah dan kemauan rakyat. Inilah model gerakan yang selama ini KAMMI jalani dan
kader-kader rasakan.

Di kubu lain terdapat model gerakan politik. Model ini mempunyai anggapan bahwa
tidak cukup menjadi komunikator, Mahasiswa juga harus mampu merebut kekuasaan.
Dengan menjadi gerakan politik Mahasiswa dituntut untuk mempertahankan, mendukung,
serta menggalang kekuatan suatu kelompok politik tertentu. Ini kemudian menjadikan
Mahasiswa secara aktif terjun dalam percaturan politik, termasuk ikut, bikin, dan nyaleg di
partai (Sunyoto: 1999).

Dalam model gerakan politik rakyat tidak menjadi tujuan utama. Mereka yakin bahwa
dengan mendukung kepentingan politik maka kepentingan rakyat akan terakomodir. Karena
itulah dalam aksinya tidak jarang mereka menggunakan rakyat sebagai alat untuk
memobilisir tujuan politik tertentu.

Secara historis seteru dua gerakan ini telah eksis pada medio 60-an pasca runtuhnya
rezim orde lama. Waktu itu, 13 perwakilan KAMI diundang untuk ikut serta dalam DPR-GR
mewakili elemen Mahasiswa. Salah satu pelakunya ialah Fahmi Idris yang berusaha
perjuangkan UU anti korupsi dan PTUN (Aurora: 2011). Tentu, perjuangan ini berakhir gagal
dan ia didepak kembali ke jalanan.

Di sisi gerakan moral ada Soe Hok Gie yang menolak ajakan pemerintah untuk masuk
DPR-GR. Ia menganggap bahwa mereka yang bergabung merupakan pengkhianat rakyat.
Sebagai bentuk protesnya, Gie mengirimkan lipstik dan kaca kepada kawannya supaya dapat
berdandan lebih cantik di depan penguasa. Gie beranggapan bahwa KAMI tidak hanya
sekedar kelompok kumpul demo saja, perjuangan KAMI ialah perjuangan untuk menjawab
dilema Mahasiswa: sebagai kekuatan moral atau kekuatan politik? Pada kenyataannya KAMI
terpecah menjadi dua madzhab, lalu bubar tanpa mampu menjawab pertanyaan itu (Gie:
1989).

Sunyoto memang berpendapat bahwa dua model ini boleh-boleh saja dipilih oleh
Mahasiswa. Kendati demikian, dua buku ‘lawas’ KAMMI (yakni IMBG dan Gerakan
Perlawanan dari Masjid Kampus) menyatakan bahwa gerakan moral merupakan jalan yang
perlu ditempuh oleh seorang kader. Bang Andi Rahmat menyinggung kegagalan dan label
pengkhianat atas gerakan politik yang dipilih oleh mahasiswa angkatan ‘66. Bang Amin juga
memberikan kesimpulan bahwa:

“Cara berpolitiknya mahasiswa, sebetulnya bukan politik praktis, namun politik moral
(etik). Di sini dipahami, bahwa gerakan mahasiswa senantiasa berangkat dari kesadaran
moral, di mana mereka tidak perlu masuk dalam wilayah politik kekuasaan.”

Lalu bagaimana jika ada kader yang hendak nyaleg, bikin, atau bergabung dalam
gerakan politik? Jawaban dari Sunyoto adalah, kader gerakan Mahasiswa secara besar hati
harus meletakkan atribut kemahasiswaannya, lalu menjalani karir politik intraparlementer
sama seperti yang dilakukan oleh politisi profesional lainnya.

Apakah ada jalan untuk mengikuti keduanya tanpa harus menyakiti salah satunya?
Kusumah, dalam "Risalah Pergerakan Mahasiswa" menambahkan bahwa kepentingan atas
kuasa (sebagai konsekuensi atas gerakan politik) akan membuat Mahasiswa tidak lagi
independen dan bias kelompok. Kita dapat menengok contohnya dari mahasiswa CGMI yang
membela PKI, berusaha membubarkan HMI, dan memasukkan PPMI ke Blok Timur di era
Orde lama.

Kembali pada pertanyaan praktis, "boleh atau tidak". jika dibilang begitu, AD/ART
tidak membahas adanya kader yang nyaleg, bikin, ataupun masuk partai. Jikapun ada
mungkin dapat dimasukkan dalam bagian 6 pasal 9, yakni dapat merangkap anggota
organisasi lain atas persetujuan PP, PW, PD, atau PK KAMMI terkait.

Tentu tulisan ini bukanlah 'fatwa' yang menyatakan boleh atau tidak. Adanya tulisan ini
dibuat lebih mengarah sebagai pengingat, bahwa sebuah gerakan -sekaligus mahasiswanya-
patutnya mengikuti salah satu model gerakan. Kendati demikian, saya lumayan husnudzan
bahwa kawan kita yang berdiri di dua model rasanya cukup mempunyai bekal untuk terhindar
dari bias maupun vested interest yang dulu telah menjangkiti angkatan '66.

Wallahu'alam bisshawab...

Daftar Pustaka:

AD/ART KAMMI

Darmayadi, Andrias. Pergerakan mahasiswa dalam Perspektif Partisipasi Politik:


Partisipasi Otonom atau Mobilisasi? Majalah ilmiah UNIKOM, Vol. 9, No. 1, -.

Kusumah, Indra. 2007. Risalah Pergerakan Mahasiswa. Bandung: Percik Press.

Maulana, yusuf. 2014. Aktivis Bingung Eksis. Yogyakarta: -

Rahmat, Andi & Najib, Mukhammad. 2015. Gerakan Perlawanan dari Masjid
Kampus. Surabaya: Pustaka SAGA.

Soe Hok Gie. 1997. Catatan Seorang Demonstran. Jakarta: LP3ES.

Sudarsono, Amin. 2010. Ijtihad Membangun Basis Gerakan. Jakarta timur: Muda
Cendekia.

Tambunan, Aurora. 2011. Pengumpulan Sumber Sejarah Lisan: Gerakan Mahasiswa


1966 dan 1988. Jakarta: Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif dan Purbakala
Direktorat Nilai Sejarah.

Usman, Sunyoto. Arah Gerakan Mahasiswa: Gerakan Politik ataukah Gerakan


Moral? Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Vol. 3, No. 2, 1999.

Anda mungkin juga menyukai