Anda di halaman 1dari 11

Melawan Konstruksi Kecantikan : Konsep Tazkiyatun Nafs Sebagai Alat

Bantu Membaca Akar Kecantikan

Salman Al Farisiy

Makalah dibuat dalam rangka memenuhi penugasan seleksi PKU (Program Kaderisasi Ulama) Gontor Angkatan
XVI

5 Mei 2022

Abstract

Beauty Construction is an reality that is experienced by ordinary people. with this reality, some research
have a views about origins of Beauty construction. from the statement above, it can be concluded that the
construction of Beauty is based on at least two things; 1. human instinc, 2. society agreement. The Nafs has several
foundations about human soul, that is mind, spirit, and heart. This paper is a library research using descriptive
analytical method. from the results of the study, it can be seen that the reading of the origin of Beauty is not
comprehensive because it is not based one a complete soul element. The concept of the nafs has several levels, the
higher of level, the higher the human know of the Beauty.

Keywords : Beauty Constuction, Human Instinc, Society Agreements, Nafs

Abstrak
Konstruksi kecantikan merupakan realita yang sekarang ini dialami oleh masyarakat awam. Dalam
menghadapi realita ini beberapa kalangan mempunyai pandangan mengenai asal-usul konstruksi kecantikan. Dari
pernyataan di atas maka dapat disimpulkan bahwa konstruksi kecantikan setidaknya dilandasi oleh dua hal; 1. Naluri
hewani Manusia, 2. Kesepakatan Kelompok. Dari dua hal tersebut nafs mempunyai beberapa landasan yakni
pemahaman manusia yang terdiri dari jiwa yakni akal, ruh, dan hati. Makalah ini merupakan penelitian pustaka,
dengan menggunakan metode deskriptif analitis. Dari hasil penelitian dapat diketahui bahwa pembacaan asal-usul
kecantikan kurang komprehensif karena tidak mendasarkan pada unsur kejiwaan (akal-ruh-hati) yang utuh. Konsep
nafs mempunyai beberapa tingkatan, semakin tinggi tingkatan semakin tinggi kesadaran manusia atas kecantikan.

Kata Kunci : Konstruksi Kecantikan, Hewani, Kesepakatan Kelompok, Nafs

Latar Belakang
Kecantikan merupakan konsep yang mewakili kata keindahan, ketakjuban akan sebuah
objek, dan kualitas visual yang tinggi. Kecantikan merupakan kata yang mampu mewakili
kualitas visual seorang perempuan. Dalam dunia perempuan, kualitas ini dikaitkan dalam
kualitas tubuh dan paras perempuan.1

1
Dini Apriliata & Refti Handini Listyani, “Representasi Kecantikan Perempuan dalam Media Sosial Instagram”,
Jurnal Paradigma, Vol. 4 No. 3 (2016), hlm 1.
Kualitas tubuh dan paras perempuan –selanjutnya dibahasakan sebagai kecantikan-
merupakan objek yang mempunyai dampak dalam kehidupan manusia. Secara naluriah manusia
terdorong untuk tertarik pada keindahan, tak terkecuali pada sesama manusia. kecantikan
menurut Dayaksini dan Hudaniah akan membawa daya tarik yang mempengaruhi cara orang lain
menilai dan memperlakukan individu.2
Ketertarikan ini berpengaruh pada prasangka sosial pengambilan-pengambilan keputusan
yang seharusnya tidak perlu variabel cantik di dalamnya. Dalam pemberitaan olahraga oleh
beberapa media, sorotan lebih kepada kecantikan atlet-atlet yang sedang bertandang daripada
prestasi yang mereka miliki. Akhirnya, dalam pemberitaan media, atlet cantiklah yang
mendapatkan porsi lebih banyak daripada atlet lainnya.3
Kecantikan berpengaruh pada perspektif sosial sehingga orang yang memiliki kecantikan
bisa memperoleh perlakuan berbeda. Dalam dunia kerja orang yang memiliki penampilan cantik
kesalahannya lebih banyak dimaklumi dibandingkan yang tidak cantik. Dalam kasus dunia kerja
hal ini menyebabkan diskriminasi kepada kalangan yang tidak cantik. 4 Kecantikan juga menjadi
variabel seseorang untuk ikut andil dalam urusan publik. Pramugari, Teller, Resepsionis, dan
Presenter mempunyai syarat penampilan tertentu agar seseorang dapat masuk dalam instansinya.
Keelokan lahiriah mampu menjadi variabel yang berhubungan dengan pekerjaan umum.
Fenomena keuntungan menjadi cantik ini dapat disebut sebagai Beauty privilege.
Menurut Judhita, dalam Women and Communication Alternatives, Beauty privilege merupakan
istilah untuk hak istimewa manusia yang diperoleh karena kecantikan/ketampanan sejak lahir
hingga dewasa yang cukup mempengaruhi karier dan pandangan orang lain terhadap mereka. 5
Permasalahan ini diawali dengan pembedahan mengenai asal-usul kecantikan. Dari pengetahuan
mengenai asal-usul kecantikan ini media dan perusahaan global mengembangkannya menjadi
konstruksi kecantikan yang kemudian digunakan untuk menjawab kebutuhan zaman. Makalah
ini berusaha membahas mengenai asal-muasal teori kecantikan ini dan dampaknya terhadap

2
Mirantih Rasyid dkk, “Social Prejudice and Discriminatory Behavior Experienced in Individuals Who Have Beauty
Privilege”, BIRCI Journal, Vol. 4 No. 4 (2021), hlm 9241.

3
MD Universe, “Male Gaze dan Objektifikasi Atlet Perempuan oleh Media”, MD Universe, diakses dari
https://lcganks.blogspot.com/2015/05/cara-menulis-footnote-dari-website.html?m=1 , pada tanggal 8 Mei pukul
10:50.

4
Mirantih Rasyid dkk, “Social Prejudice and Discriminatory Behavior Experienced in Individuals Who Have Beauty
Privilege”, BIRCI Journal, Vol. 4 No. 4 (2021), hlm 9241.

5
Naomi Ardhiarisa, “Representasi Kecantikan Perempuan dan Isu Beauty Privilege dalam Film”, Jurnal Program
Studi Ilmu Komunikasi Universitas Sebelas Maret, - (2021), hlm 3.

2
berbagai subjek yang terlibat. Dari fenomena tersebut, akan dihadirkan konsep nafs dalam Islam
sebagai alat bantu untuk melengkapi pembacaan mengenai kecantikan agar lebih manusiawi.

Asal Muasal Konstruksi Kecantikan dan Pengaruhnya Terhadap Realita


Beberapa pemahaman mengenai kecantikan dapat dilihat dari perkembangannya dari masa
ke masa. Tiap masa mempunyai pemahamannya masing-masing mengenai asal muasal
kecantikan. dari beberapa tokoh dari masa ke masa itu dapat disimpulkan bahwa kecantikan
berasal dari dua segi, yakni dari segi lahiriah manusia (biologis) dan konstruk sosial yang
berlaku pada masyarakat.
Dari segi biologisnya, kehadiran kecantikan pada pemahaman manusia tertanam dalam
Default Mode Network (DMN). DMN merupakan kondisi istimewa dimana seseorang sedang
tidak terfokus pada lingkungan eksternal. DMN aktif dari medial prefontak cortex, angular
gyrus, precunes, dan middle frontal gyrus6. Aktifitas DMN membuat juga yang membuat kita
mampu melamun, tertegun pada sesuatu yang membuat fokus tertuju pada sesuatu yang terkait
pada pengalaman kita. Otak kita merespon kecantikan karena kita menyukainya. menuryt Anjan
Chatterjee, Neurolog dari University of Pennsylvania, aktivasi korteks visual bersamaan dengan
korteks orbitofrontal, dann nucleus accumber merupakan tanda biologis dari respon kita terhadap
kecantikan, hasrat dan keinginan.7
Pemahaman atas kecantikan ini tidak hanya dijelaskan pada acara kerja otak manusia saja,
namun juga dapat dijelaskan mengenai bagaimana unsur hewani kita bekerja. Manusia yang
mempunyai unsur hewani di dalamnya juga membawa naluri kehewanan yang dibawa oleh
seluruh makhluk yang berkembang biak. Sebagai makhluk hidup, Manusia tentu mempunyai
mekanisme pertahanan diri untuk melanggengkan keturunannya. mekanisme ini merupakan
system yang sudah tertanam pada diri Manusia sejak awal kelahirannya. salah satu
mekanismenya pertahanan diri ialah melakukan seleksi dalam memilih pasangan dalam
melanjutkan keturunan.
Sebuah pendekatan evolusioner berusaha menjelaskan mengenai apa itu kecantikan, dalam
perspektif evolusioner daya Tarik genetik dijelaskan sebagai status kesehatan serta potensi dan

6
“default-mode network” Psychology Binus University, diakses dari https://psychology.binus.ac.id/kamus-
psikologi/kamus-psikologi-d/default-mode-network-dmn/ , pada tanggal 8 Mei pukul 10:59.

7
Afkar Aristoteles Mukhaer, “Charles Darwin Ungkap Bagaimana ‘Kecantikan’ Dapat Terbentuk” National
Geographic Indonesia, diakses dari https://nationalgeographic.grid.id/read/132685863/charles-darwin-ungkap-
bagaimana-kecantikan-dapat-terbentuk?page=all , pada tanggal 8 Mei pukul 11:02.
kualitas reproduksi. daya Tarik ini biasanya mempunyai beberapa variabel seperti simetri, rata-
rata, dan sifat dimorfik seksual. Pemahaman mengenai kecantikan juga muncul pada masa
kanak-kanak, yang merupakan masa dimana pemahaman mengenai budaya setempat belum
terwujud. Dengan demikian, pendekatan evolusioner ini menyimpulkan bahwa mengenai
kecantikan, ada kesamaan lintas budaya yang mengikat seluruh manusia.8
Dalam perkembangannya pernyataan tentang kecantikan sebagai tolak ukur evolusioner
perlahan mendapatkan beberapa bantahan. Memang dalam keberlanjutan meneruskan keturunan
kecantikan mempunyai pengaruh, namun hanya dalam hal peluang mendapatkan pasangan.
Keberlanjutan meneruskan keturunan yang berhubungan dengan kualitas fisik masih termasuk
diragukan. dalam buku The Evolution of Beauty Richard Prum menganggap bahwa kecantikan
sebagiannya bersifat bebas dan tidak berguna. Artinya, kecantikan hanya bersifat subjektif dan
estetik saja.
Pemaparan tentang ketidak relevansian evolusionarisme ini dapat dilihat melalui perilaku
hewan. Burung Merak Jantan yang mempunyai bulu-bulu yang lebar, mereka mempunyai daya
tarik yang lebih namun di satu sisi juga rentan terhadap serangan predator akibat ekor yang
terlalu berat membuatnya susah berlari. pada kasus burung Cikalang dengan tembolok merahnya
yang mengembung, dan burung Namdru Api dengan bulunya. Tidak jauh dari itu, ketertarikan
manusia pada fisik juga dianggap tidak berkaitan dengan kualitas genetic. pernyataan mengenai
simetri, golden ratio, payudara besar, pinggul melengkung, nyatanya sama sekali tidak berkaitan
dengan kesuburan dan kualitas genetik. kesemuanya menandakan bahwa kecantikan merupakan
kesenangan subjektif belaka.9
Pada akhirnya, sifat hewaniah yang menentukan tentang kecantikan tersebut bersifat
subjektif dan bebas. Artinya, meskipun dalam pernyataan sebelumnya terdapat gambaran lintas
budaya tentang kecantikan, tetap saja tiap masyarakat mempunyai perspektif yang berbeda-beda.
di Amerika Serikat pada tahun 1950-an, Marlyin Monroe dengan rambut bergelombang dan
tubuh berisi menjadi daya tarik, lepas pada tahun 1960-an, Twiggy yang kurus dan berambut
lurus menjadi standar kecantikan pada waktu itu. Pada suku Dayak, standar wanita cantik ialah

8
Andrei C Holman, “Psychology of Beauty: An Overview of the Contemporary Research Lines”, Social Psychology
Journal, Vol. - No. 28 (2011), hlm 81.

9
Afkar Aristoteles Mukhaer, “Charles Darwin Ungkap Bagaimana ‘Kecantikan’ Dapat Terbentuk” National
Geographic Indonesia, diakses dari https://nationalgeographic.grid.id/read/132685863/charles-darwin-ungkap-
bagaimana-kecantikan-dapat-terbentuk?page=all , pada tanggal 8 Mei pukul 11:02.

4
bertelinga panjang, sedang bagi suku Mentawai kecantikan digambarkan sebagai tattoo dan gigi
yang runcing.10

Konstruksi Kecantikan dan Dampaknya


Dari kesekian banyaknya standar yang ada, kecantikan yang konstruknya sesuai dengan
kesepakatan tiap-tiap masyarakat kini berubah menjadi kesepakatan universal lintas budaya.
Media mempunyai peran penuh dalam hal universalitas kecantikan pada dekade ini. Kecantikan,
cenderung memiliki gambaran yang sama, yakni tubuh kurus langsing, tinggi semampai, kulit
putih bersih, rambut panjang, mata besar, dan hidung mancung. 11 Pandangan ini kemudian
muncul menjadi pandangan yyang diterima oleh masyarakat diakibatkan terpaan media yang
hadir berkali-kali di masyarakat, hal tersebut dikarenakan oleh budaya populer (pop culture).
Budaya pop membutuhkan tenaga besar untuk persebarannya, akibatnya diperlukan sebuah
standarisasi untuk memudahkan persebaran budaya pop ini. Standarisasi ini kemudian yang
menjadi patokan-patokan kecantikan universal di seluruh dunia.12
Patokan-patokan dari kecantikan dan Beauty privilege memberikan perubahan budaya yang
signifikan di berbagai belahan dunia. Untuk membahas dampak ini penulis membagi dampaknya
menjadi beberapa subjek, yang pertama ialah ia yang mendapatkan Beauty privilege, subjek yang
mendapatkan privilege tidak kemudian mendapatkan keuntungan, mereka yang mendapatkan
Beauty privilege dapat dieksploitasi oleh media untuk melanggengkan standar yang dimiliki.
Iklan pada make up, produk kecantikan, dan produk perawatan wajah dengan memakai model
dengan standar kecantikan yang sama merupakan salah satu contoh pengeksploitasian terhadap
mereka yang mendapat Beauty privilege. Selain itu eksploitasi dari kecantikan universal ini
mereduksi perkembangan kualitas hidup manusia, karena persaingan produk sudah tidak hanya
disandarkan pada kualitasnya, namun juga pada daya tarik visual yang menumbuhkan ilustrasi
semu dari kualitas produk.
Mereka yang mendapatkan berkah dari kecantikan juga pada akhirnya hanya menjadi objek
seksual yang dikontrol oleh kuasa media dan kapitalisme. Terlebih kepada kaum Perempuan,

10
Herry Hermawan & Radja Erland Hamzah, “Objektifikasi Perempuan dalam Iklan Televisi: Analisis Lintas Budaya
terhadap Iklan Parfume Axe yang Tayang di Televisi Indonesia dan Amerika Serikat”, Jurnal Kajian Media, Vol. 1 No.
2 (2017), hlm 166-167.

11
Ibid

12
Dini Apriliata & Refti Handini Listyani, “Representasi Kecantikan Perempuan dalam Media Sosial Instagram”,
Jurnal Paradigma, Vol. 4 No. 3 (2016), hlm 2.
mereka yang masuk dalam media, dikontrol untuk menggunakan pakaian minim, menampilkan
bagian-bagian tertentu seperti kaki atau dada, bahkan tidak memakai apapun sama sekali. 13
Lelaki menjadi subjek yang superior dan perempuan menjadi subjek inferior karena dalam
berbagai media perempuan dikontrol sedemikian rupa hanya untuk kesenangan laki-laki.14
Bagi yang tidak sesuai dengan standar kecantikan, tentu akan menjadi kelompok yang
termarjinalkan karena tidak sesuai dengan setting media. Naluri perempuan meningkatkan taraf
ketertarikannya tidak hanya agar dapat menarik pasangan, namun juga menganggapnya sebagai
kompetisi antar perempuan. Dari kompetisi ini akhirnya membuat banyak perempuan merasa
harus memenuhi standar-standar tersebut.15 Upaya-upaya yang dihasilkan ini kadangkala tidak
membuahkan hasil yang sesuai, apabila sesuai belum tentu sesuai dengan ideal tubuh tiap-tiap
perempuan. Bentuk tubuh yang kemudian dipaksakan untuk sesuai dengan standar inilah yang
akhirnya mengakibatkan masalah biologis baru. Seperti pada contoh perempuan yang memaksa
diri untuk langsing sehingga mengurangi asupan makan, ketakutan pada bentuk tubuh dan lain
sebagainya akhirnya mengakibatkan penyakit anorexia nervosa dan bulimia.16
Dari pihak penikmat kecantikan, mereka akan terbelenggu dalam nafsu hewaninya.
Nafsunya akan terus membelenggunya dan merampas kemerdekaan manusiawinya. Selain itu,
mereka pada akhirnya tidak akan dapat memahami hakikat sebenarnya dari kecantikan. Standar
kecantikannya akan berubah-ubah seiring dengan konstruksi sosial yang sudah diatur sedemikian
rupa. bagi orang yang menikmati konstruk ini, ia tidak akan pernah puas, karena dinamisasi yang
diberikan tidak akan pernah menuju pada konsep kecantikan yang mutlak.

Konsep Nafs Sebagai Kritik Atas Pembacaan Asal Muasal Kecantikan

13
Herry Hermawan & Radja Erland Hamzah, “Objektifikasi Perempuan dalam Iklan Televisi: Analisis Lintas Budaya
terhadap Iklan Parfume Axe yang Tayang di Televisi Indonesia dan Amerika Serikat”, Jurnal Kajian Media, Vol. 1 No.
2 (2017), hlm 167.

14
Annisa Arum Putri, “Objektivikasi Perempuan dalam Majalah Pria Dewasa”, -. hlm 10

15
Dini Apriliata & Refti Handini Listyani, “Representasi Kecantikan Perempuan dalam Media Sosial Instagram”,
Jurnal Paradigma, Vol. 4 No. 3 (2016), hlm 2.

16
Gabriella Devi Benedicta, “Dinamika Otonomi Tubuh Perempuan: Antara Kuasa dan Negoisasi atas Tubuh”,
Jurnal MASYARAKAT, Vol. 16, No. 2, (2011), hlm 154.

6
Tazkiyatun Nafs (Penyucian Jiwa) merupakan suatu cara mendekatkan diri pada Allah
melalui pensucian diri dari berbagai kemaksiatan, sehingga dapat mencapai derajat ihsan.17 Nafs
dalam bahasa Indonesia berarti nafsu syahwat, sebuah keinginan yang menujupada kemaksiatan.
Dalam bahasa Arab Nafs diakitkan pada tiga unsur yakni akal, ruh, dan hati, ketiga unsur
tersebut merupakan jiwa. Pemahaman An-Nafs sebagai jiwa manusia merupakan kunci untuk
membaca mengenai bagaimana keterbatasan peneliti dalam memahami asal-muasal kecantikan
yang berdampak pada terbentuknya konstruksi kecantikan.
Nafs dibangun atas 7 pondasi; Nafsu Amarah, Nafsu Lawwamah, Nafsu Mulhimah, Nafsu
Muthmainah, Nafsu Mardliyah, Nafsu Kamilah, Nafsu Radliah. dari 7 tingkatan, dua tingkatan
terbawah (Amarah, Lawwamah) ialah tingkatan nafs yang mewakili nafsu martabat rendah yang
mengarah pada hal menyimpang, sesat, keji, dan munkar. Tiap tingkatan diatas mempunyai
cabang-cabang kecenderungan nafsu, nafsu yang terkait pada konstruksi kecantikan ini berada
pada Nafs Al- Hirst (Ambisi), dan Syahwat.18
Nafsu ambisi ini mengarahkan manusia pada persaingan yang tidak berlandaskan pada
fastabiqul khairat, yang mengarah pada persaingan dengan cara yang munkar, seperti persaingan
antar perusahaan kosmetik atau fashion yang menjadikan perempuan sebagai objek belaka.
Syahwat mendorong kita untuk menelusuri hal-hal yang sudah secara jelas dilarang oleh Allah,
akibatnya penyimpangan sosial seperti pornoaksi , pornografi dan perbuatan terlarang lainnya
yang melibatkan kualitas visual juga ikut dieksploitasi guna memenuhi Nafsu Syahwat. Dari
tujuh tingkatan nafsu, pembacaan mengenai kecantikan hanya terbatas pada dua tingkatan nafsu,
terdapat 5 tingkatan lain yang sebenarnya dapat diambil sebagai asal-usul kecantikan. Nafsu ar-
radliah yang mampu menjauh dari hal bersifat materi yang dapat mengarahkan pada kecantikan
akhlak dan perilaku. Nafsu Al Mulhimah yang mempunyai sifat menerima apa adanya, yang
mengarahkan pada pemahaman atas tubuh manusia yang seluruhnya sama derajatnya.
Hati Manusia diibaratkan sebagai benteng, dan setan adalah tentara yang berusaha untuk
masuk melalui celah-celahnya. Apabila setan dapat masuk dari celah-celah itu maka setan akan
mengendalikan nafsu manusia menuju nafs al-syaithaniyyah yakni nafsu setan yang bersemayam
dalam jiwa manusia. celah-celah setan ini merupakan celah-celah yang diwajibkan untuk ditutup
oleh manusia. Sa’id Hawwa menjelaskan bahwa ada 11 pintu yang dapat dimasuki setan,

17
Sri Hartati dkk, “Penurunan Perilaku Seksual Pranikah melalui Tazkiyatun Nafs berbasis REBT”, Counsellia, Vol. 8
No. 2 (2018), hlm 126.

18
Taufik Hasyim, “Nafs dalam Perspektif Insaniah dan Tahapan-tahapan Penyuciannya”, Jurnal Ullumuna, Vol. 1
No. 2 (2015), hlm 269-270.
diantara celah-celah setan yang berpotensi menciptakan konstruksi kecantikan ialah nafsu
syahwat yang dapat membius akal. Jika akal lemah maka setan akan memainkannya seperti anak
kecil mempermainkan bola, termasuk salah satu pintu yang dapat memperkuat syahwat ialah
kenyang.19
Dari pintu-pintu dan pondasi nafsu, terdapat tingkatan nafsu lain yang dimiliki manusia.
Dalam hal ini ia mempunyai hubungan dengan pembacaan para peneliti terkait pendekatan
evolusioner. Nafsu dalam perkspektif kekuatan geraknya dibagi menjadi 3. yakni Nafsu
Nabatiyah, Nafsu Hayawaniyah, dan Nafsu Insaniyah.
Nafsu Nabatiyah merupakan gerak manusia atas sifatnya sebagai makhluk yang bertumbuh.
Layaknya tumbuhan, ia tidak mempunyai naluri berfikir atau mengembangkan potensi dalam
dirinya. Nafsu nabatiyah hanya bergerak untuk menjadi lebih tinggi dan lebih besar. Nafsu
Hayawaniyah merupakan tingkatan naluri yang berada di atas nafsu nabatiyah. Nafsu
Hayawaniyah mempunyai banyak naluri gerak diantaranya naluri pendorong, dan naluri
persepsi. Naluri pendorong ialah naluri yang mendorong manusia untuk melakukan sesuatu
tanpa ada kesadaran yang perlu berkembang atas dirinya. Naluri ini berkaitan dengan dorongan-
dorongan hewani berupa dorongan seksual, kenikmatan, amarah, murka, dan dendam. Naluri
persepsi merupakan nafsu yang berkaitan dengan penginderaan dan alam bawah sadar. Naluri
persepsi merupakan naluri yang dapat dikembangkan menurut tingkat kesadarannya, ia bisa
dilatih untuk menuju kesadaran tertinggi sebagai manusia.
Nafsu Insaniyah merupakan nafsu tertinggi, yang berkaitan dengan 5 pondasi nafsu teratas
manusia. Nafsu insaniyah ini merupakan nafsu yang dapat diraih apabila seorang manusia
mempunyai kesadaran untuk melaksanakan perintah dan menjauhi larangan Tuhan. Seseorang
yang sudah menguasai nafsu ini akan mempunyai potensi kekuatan fisik, bakat, keilmuan, dan
potensi sebagai insan ulul albab.20

Ketiga pondasi ini tidak dimanfaatkan secara baik sebagai kacamata untuk melihat
fenomena kecantikan manusia. Konstruksi kecantikan bisa muncul akibat pandangan yang
sempit, terbatas pada dua tingkatan nafsu yakni nafsu nabatiyah dan hayawaniyah dalam
tingkatan naluri pendorong. Potensi manusia dalam membaca kecantikan juga dapat dilihat dari
19
Sa’id Hawwa, “Tazkiyatun Nafs: konsep dan kajian komprehensif dalam aplikasi menyucikan jiwa”, Era Adicitra
Intermedia, Surakarta, (2014), hlm 173-174.

20
Taufik Hasyim, “Nafs dalam Perspektif Insaniah dan Tahapan-tahapan Penyuciannya”, Jurnal Ullumuna, Vol. 1
No. 2 (2015), hlm 269-270.

8
segi naluri persepsi. Kesadarannya akan kecantikan akan meningkat apabila manusia dapat
mengembangkan akalnya. Kesadaran akan kecantikan akan lebih tinggi lagi apabila ia sudah
mencapai nafsu insaniyah yang akan membedakan ia dengan hewan serta makhluk lainnya.

Penutup
Berdasarkan dari uraian di atas, dapat diketahui bahwa pemikiran mengenai asal-muasal
kecantikan selalu dikaitkan dengan wujud manusia sebagai hewan. Perbedaan manusia dengan
hewan hanya dikaitkan pada penekanan bahwa manusia adalah hewan yang berfikir. Pengertian
ini kemudian mengantarkan bahwa tidak ada unsur lain yang meliputi manusia selain nalurinya
sebagai hewan dan kegunaan otaknya yang lebih canggih. Konsep ini kemudian dipakai dalam
pembacaan mengenai asal-usul kecantikan yang hasilnya dibagi menjadi dua; naluri manusia
sebagai hewan dan kesepakatan persepsi masyarakat mengenai kecantikan. Persepsi itu
kemudian mengantarkan manusia terhadap masalah yang serius yakni konstruksi kecantikan.
Konsep nafs dalam Islam mengantarkan kepada pembaca bahwa manusia tidak hanya terdiri
dari sesuatu yang nampak saja. Nafs atau Jiwa, adalah unsur yang melekat pada diri manusia
yang terdiri atas hati, akal, dan ruh. Ketiga unsur jiwa tersebut memiliki tingkatannya masing-
masing. Semakin tinggi tingkatan jiwa maka kesadarannya akan kecantikan semakin meningkat.
Ketika kesadaran manusia akan kecantikan disandarkan tidak hanya pada bagian hewani dan
kesepakatan kelompok saja maka konstruksi kecantikan tidak akan berlaku di masyarakat.

Daftar Pustaka

Ardhiansa, Naomi. (2021). “Representasi Kecantikan Perempuan dan Isu Beauty Privilege dalam
Film”. –
Aprilita, Dini & Handini Listiyani, Refti. (2016). “Representasi Kecantikan Perempuan dalam
Media Sosial Instagram (Analisis Semiotika Roland Barthes pada Akun @mostBeautyindo,
@Bidadarisurga, dan @papuan_girl)”. Paradigma, Vol 4, No 3.

Aristoteles Mukhaer, Afkar. 2021. Charles Darwin Ungkap Bagaimana Kecantikan Dapat
Terbentuk. Melalui https://nationalgeographic.grid.id/read/132685863/charles-darwin-
ungkap-bagaimana-kecantikan-dapat-terbentuk?page=all

Aurum Putri, Annisa. “Objektivikasi Perempuan dalam Majalah Dewasa”. –

default-mode network (DMN). Melalui https://psychology.binus.ac.id/kamus-psikologi/kamus-


psikologi-d/default-mode-network-dmn/

Devi Benedicta, Gabriella. (2011). “Dinamika Otonomi Tubuh Perempuan: Antara Kuasa dan
Negosiasi atas Tubuh”. Jurnal Masyarakat, Vol 16, No 2, 141-156.

Hartati, Sri, dkk. (2018). “Penurunan Perilaku Seksual Pranikah melalui Tazkiyatun Nafs Berbasis
REBT”. Counsellia, Vol 8, No 2, 122-134.

Hasyim, Taufik. (2015). “Nafs dalam Perspektif Insaniah dan Tahapan-tahapan Penyuciannya”.
Ullumuna, Vol 1, No 2, 266-290.

Hawwa, Sa’id. (2014). Tazkiyatun Nafs: konsep dan kajian komprehensif dalam aplikasi
menyucikan jiwa. Era Adicitra Intermedia, Surakarta.

Hermawan, Herry & Erland Hamzah, Radja. (2017). “Objektifikasi Perempuan dalamIklan
Televisi : Analisis Lintas Budaya terhadap Iklan Parfum Axe yang Tayang di Televisi
Indonesia dan Amerika Serikat”. Jurnal Kajian Media, Vol 1, No 2, 166-176.

Holman C, Andrei. (2011). “Psychology of Beauty: An Overview of the Contemporary Research


Lines”. Psihologia sociala, Vol 1, No 28, 81-94.

Marson M, Stephen & Hessmiller M, Joanne. (2016). “The Dark Side of Being Pretty”. Journal of
Sociology and Social Work, Vol 4, No1, 58-67.

Nur Fitriani, Hamidah, dkk. (2022). “Representasi Sensualitas Perempuan dalam Iklan AXE Effect
Call Me versi Sauce”. Audiens, Vol 3, No 1, 116-124.

Rasyid, Mirantih. dkk. (2021). “Social Prejudice dan Discriminatory Behavior Experienced in
Individuals Who Have Beauty Privilege”. BIRCI Journal, Vol 4. No 4, 9241-9252.

10
Saptandari, Pinky. (2013). “Beberapa Pemikiran tentang Perempuan dalam Tubuh dan
Eksistensi”. Jurnal BioKultur, Vol 11, No 1, 53-71.

Anda mungkin juga menyukai