Anda di halaman 1dari 7

pengkaderan yang baik

Pengkaderan Ideal

Pengkaderan adalah suatu proses pembentukan karakter seseorang agar sepaham dengan
ideologi suatu (wadah) kelompok, menumbuhkan aspek-aspek kepribadian seseorang menuju
arah yang lebih bijak, penanaman nilai-nilai kemanusiaan agar tercipta regenerasi yang kelak
akan berjalan bersama untuk mencapai tujuan kelompok tersebut. Ideal adalah keadaan dimana
sesuatu berjalan sebagaimana mestinya.

Keadaaan yang ideal suatu pengkaderan sampai sekarang masih sebuah pencarian dan akan tetap
seperti itu, konsep ataupun sistem akan terbentuk dan menyesuaikan dengan keadaan masa kini.
Barangkali seperti itulah hakikat manusia yang terus mencari dan berusaha untuk mencapai
kesempurnaan.
Tujuan pengkaderan dari definisi diatas jelas, untuk membentuk sebuah karakter dan
menumbuhkan kearah yang lebih bijak. Sejalan dengan itu kader-kader yang terbentuk akan
secara otomatis mengemban tanggung jawab, baik itu dalam kelompok ataupun sebuah tanggung
jawab sosial. Karena seorang kader adalah gambaran dari sebuah wadah. Hakikatnya kemana
seorang kader berada, disitu ia bawa nilai-nilai kelompok yang mewadahinya.
Bagaimanapun sebuah pengkaderan dilaksanakan, seideal apapun hal itu diusahakan, kelak
hasilnya akan kembali lagi kepada sang kader, sukses atau tidaknya pengkaderan akan tercermin
dari perilaku sang kader. Apakah kemudian nilai-nilai mulia yang disampaikan dalam
pengkaderan itu mampu diaplikasikan dengan konsisten.

Hidup ini adalah pengkaderan, setiap orang disekitar kita adalah guru, tiap waktu dan tiap tempat
adalah untuk belajar. Setidaknya bagaimana menjalani hidup dan bagaimana proses dalam
berinteraksi dengan orang yang lain juga merupakan sebuah nilai kunci dalam sebuah
pengkaderan.
Realitas
Ada manfaat yang dapat diperoleh dari sebuah kelompok ataupun organisasi resmi (wadah) jika
menjadi bagian didalamnya. Pribadi-pribadi yang menjadi bagian dari suatu kelompok, dalam
hal ini seperti institusi pendidikan misalnya universitas (mahasiswa baru), dihadapkan dalam
sebuah pilihan. Pilihan untuk menjadi bagian dari keluarga mahasiswa, tentu dengan mengikuti
prosesi pengkaderan bertahap yang diadakan. Yang diperlukan selanjutnya adalah kesadaran
Maba (Mahasiswa Baru) dalam menentukan pilihan. Hal-hal diluar kesadaran pribadi misalnya
pengaruh orang lain kemudian menjadi sebuah pilihan juga, entah kemudian tercipta sebuah
kesadaran yang entah juga kemudian tercipta sebuah tanggungjawab.

Mengikuti dan menyadari pentingnya proses pengkaderan bertahap tentu sangat bermanfaat bagi
seorang Maba, selain untuk perkenalan universitas yang akan menjadi tempat bagi mereka untuk
menuntut ilmu, juga sebagai salah satu bentuk perkenalan dan pengakraban dengan Maba lain
yang tentunya akan menjadi teman berinteraksi dalam beberapa tahun kedepan.
Namun tidak sedikit juga pribadi-pribadi yang kemudian menjadi was-was dan bertanya-tanya
dengan bagaimanakah pengkaderan itu. Pengalaman-pengalaman masa SMA ataupun gambaran-
gambaran media mengenai pengkaderan, kemudian menciptakan rasa enggan untuk mengikuti
pengkaderan dan mengabaikan manfaat-manfaat yang dapat diperoleh.Pengetahuan Maba
mengenai sejarah-sejarah pengkaderan di universitas tertentu bahkan menciptakan rasa takut,
takut terhadap senior dan pengkaderannya dan bayangan-bayangan intimidasi yang menghantui.
Sehingga Maba yang terlanjur seperti itu kemudian menghindari senior.

Bahkan timbul perasaan tidak nyaman berada dikampus sendiri karena perasaan-perasaan
didiskriminasikan antara keluarga (ikut pengkaderan) dan bukan keluarga. Hal ini terus berlanjut,
walaupun seperti kita ketahui antara kedua kelompok tersebut tentu memiliki hak-hak yang
berbeda karena proses yang dilalui berbeda pula. Disini letak kekeliruannya, perbedaan-
perbedaan karakter seseorang tidak kita sikapi dengan bersahabat.

Sampai pada proses pengakaderan tingkat awal, hal yang ditanamkan berupa perkenalan yang
bersifat akademis ataupun lifeskill. Kemudian berlanjut dengan hakikat mahasiswa yang
semestinya. Pembentukan pola pikir secara bertanggung jawab dilakukan dengan penyampaian
materi-materi bersangkutan.

Tidak hanya sampai dengan penyampaian-penyampaian materi, dengan menjadi pelaksana suatu
kegiatan pun mahasiswa dapat belajar dengan efektif dengan kegiatan-kegitan turun kejalan
bersama bahkan akan lebih mudah mencerna nilai-nilai hakikat mahasiswa.
Adapun penyimpangan-penyimpangan yang terjadi bukan diakibatkan dari sistem ataupun
konsep yang diterapkan. Melainkan ulah segelintir oknum yang tidak memahami nilai-nilai
bahkan arah pengkaderan tersebut. Sangatlah mulia orang-orang yang berusaha membentuk
sebuah konsep yang ideal, memahami hendak di bawa kemana arah pengkaderan serta
menjalankannya dengan niat yang baik semata-mata untuk memanusiakan manusia tanpa
ditunggangi oleh nilai-nilai yang lain. Tentu saja, kita tidak ingin melihat nilai-nilai yang murni
dicemari dengan hal-hal yang kurang terpuji. Sampai kapan hal tersebut akan berlanjut dalam
sebuah proses pembentukan karakter, yang tentunya hanya akan mencemari dan kelak akan
menjadi sebuah budaya yang tidak bertanggung jawab.
Idealnya
Permasalahan yang biasa/sering terjadi dalam realita adalah terjadinya perbedaan antara nilai-
nilai kader dengan nilai-nilai kemanusiaan. sebagai seorang warga negara yang baik; Sesuai
dengan yang tersirat dalam UUD 1945 yang kurang lebih maknanya dapat kita simpulkan adalah
mencerdaskan kehidupan bangsa bukanlah sebuah isapan jempol belaka. Cita-cita bangsa yang
diamanahkan dalam UUD 1945 merupakan sebuah tonggak bagi lahirnya pola pengkaderan yang
ideal bagi setiap manusia dalam NKRI.

Namun, dalam konsep hukum dan hak asasi manusia yang dapat kita simpulkan bahwa setiap
manusia berhak untuk memiliki pandangan tanpa adanya tekanan maupun intervensi dari
manusia lainnya. Dari sini terjadi sebuah pertentangan dalam pola pengkaderan. Sering pula
budaya-budaya kekerasan telah di klaim menjadi ciri organisasi sehingga hal yang demikian
menjadi suatu hal yang berkesinambungan dan betul-betul telah menjadi ciri serta karakter
organisasi, walaupun sebenarnya kita tahu bersama bahwa hal itu tidaklah sedemikian benarnya.
Saya sepakat sekali dengan sebuah peribahasa: satu kebohongan yang berulang-ulang akan
menjelma menjadi sebuah kebenaran yang mutlak.
Maka terjadilah proses kembali untuk mencari dan menemukan konsep yang ideal dalam pola
pengkaderan. Bagaimana pun, berbeda wadah maka dengan sendirinya berbeda pula pola
konsepsi dalam menanggapi pola pengkaderan. Dengan sendirinya, pola pengkaderan dalam
suatu wadah tentu saja akan diarahkan sesuai dengan cita-cita, visi dan misi dari wadah tersebut.
Maka yang kemudian terjadi adalah pemaksaan karakter kepada setiap anggota baru yang ingin
memasuki wadah tersebut. Pemaksaan yang dimaksudkan adalah sebuah kekerasan, maka yang
kemudian terjadi adalah kekerasan Fisik dan kekerasan Psikis bagi setiap anggota baru.
Ada satu hal yang (mungkin) dilupakan dalam hal ini, bahwa berbeda kepala, maka berbeda
pula ciri, watak, serta karakter..jikalau pola pengkaderan yang dimaksudkan ideal adalah
mencetak kader-kader yang sesuai dengan visi dan misi dalam suatu wadah, maka tak ubahnya
wadah tersebut adalah sebuah wadah yang mencetak robot-robot berbentuk manusia yang
dijalankan sesuai dengan keinginan pembuatnya!!!!

Menurut saya, pengkaderan yang ideal adalah memanusiakan manusia dan bukan mencetak
sebuah robot. Tentu saja manusia dicetak melalui proses pengalaman serta pengamalan yang
mulia dan bertanggung jawab dan bukan melalui sebuah program yang di doktrinkan oleh
segelintir oknum. Seandainya saja, dalam sebuah wadah bisa memahami perbedaan-perbedaan
watak serta karakter yang ada di dalam sebuah wadah tersebut maka bukan tidak mungkin cita-
cita tentang sebuah konsep pengkaderan yang ideal bisa terwujudkan.

Sebuah organisasi tidaklah menciptakan sebuah robot melainkan mencetak manusia yang betul-
betul manusia. Sedikit merefleksikan sebuah Film (3 Idiots) yang mungkin bisa jadi sedikit
rujukan; jadilah dirimu seperti apa yang kau maudan proses membentuk kepribadian adalah
pengkaderan bagi setiap diri manusia. Setiap jejak langkah menuju kesana adalah setiap keringat
yang mengucur menuju ke arah yang ideal, walaupun kita tahu tak ada yang betul-betul ideal di
muka bumi ini.

Diposkan 10th July 2012 oleh Affan Setiawan

http://affan-setiawan.blogspot.co.id/2012/07/pengkaderan-ideal-pengkaderan-adalah.html

Prosesi pengaderan mahasiswa merupakan serangkaian proses pembentukan karakter


mahasiswa yang sadar akan tanggung jawab dan perannya dalam masyarakat, dengan
pemberian bekal paradigma untuk mencari jalan keluar dari sebuah masalah, menemukan
solusi atas persoalan-persoalan sosial yang ada disekitarnya.

Pengaderan, Pengkaderan atau Perkaderan?


Secara etimologis, kata kader berasal dari akar kata en cadre yang diserap kedalam bahasa
Indonesia. Kata ini jika dibentuk menjadi kata benda dalam struktur tatabahasa Indonesia akan
menjadi kata pengaderan yang berarti proses, cara, perbuatan mendidik atau membentuk
seseorang menjadi kader[1]. Jika kita mencari asal kata tersebut, kata kader berakar pada kata
en cadre berarti a French expression originally denoting either the complement of
commissioned officers of a regiment or the permanent skeleton establishment of a unit, around
which the unit could be built if needed.[2] Sebuah ungkapan dari bahasa Perancis yang merujuk
kepada orang atau individu yang bakal menduduki posisi penting ataupun sebagai pelengkap
dalam tataran organisasi militer, baik pada unit kerja yang sudah ada atau unit kerja yang akan
dibentuk. Hal ini jika dikaji baik-baik maka akan didapatkan kenyataan bahwa kata kader
ternyata ditujukan untuk menyebut calon pengisi posisi struktural dalam ruang lingkup
ketentaraan. Namun hal ini tidak mengamini bahwa pengaderan adalah proses yang keras dari
segi fisik, karena berbeda dari sisi konteksnya. Dalam konteks kemahasiswaan yang notabene
kaum akademisi, maka pola kaderisasi dapat diakulturasikan sesuai dengan tujuannya. Hal ini
berarti prosesi pengaderan boleh keras, asalkan dalam tataran pemikiran.

Sebuah gerakan sosial sangat membutuhkan kader, terutama lembaga kemahasiswaan. Fungsi-
fungsi mahasiswa sebagai agen perubahan, agen kontrol sosial, dan moral force bisa dijalankan
dengan baik hanya jika individu atau mahasiswa yang bersangkutan telah melalui prosesi
pengaderan yang betul-betul mengarahkan dan mendidik mahasiswa untuk menuju hal tersebut.
Maka pengaderan menjadi hal yang sangat penting untuk menjadikan mahasiswa benar-benar
menjadi individu yang posisi dan kapasitasnya sebagai mahasiswa. Bukannya menjadi
mahasiswa yang apatis dan tidak peka terhadap fenomena-fenomena sosial yang ada
disekitarnya. Ketidaktahuan akan menimbulkan kebuntuan berpikir dan bertindak. Hal ini
tentunya tidak terlepas dari siapa yang menjalankan proses tersebut dan apa saja yang dilakukan
didalamnya.

Dunia kampus yang penuh dengan hal-hal baru untuk mahasiswa baru mungkin bisa menjadi
jawaban paling masuk akal untuk pertanyaan mengapa seorang mahasiswa baru mesti
mengikuti prosesi pengaderan?. Hal ini tak lepas dari dinamika posisi mahasiswa yang selama
ini sering dicitrakan buruk melalui pembentukan opini publik dan dijadikan bulan-bulanan oleh
media dengan munculnya pemberitaan-pemberitaan tentang tawuran mahasiswa, demonstrasi
anarkis, bentrok, dan hal-hal lainnya, yang menjadi kenyataan yang mungkin sulit untuk diterima
publik mengingat bahwa mahasiswa adalah orang-orang yang dianggap tingkat intelektualitasnya
sudah berada di atas masyarakat awam.

Pencitraan buruk inilah yang biasanya ditelan mentah-mentah oleh mahasiswa baru tanpa
mencoba mengklarifikasi kebenarannya, sehingga membuat mereka enggan untuk mengikuti
proses pengaderan yang dilaksanakan oleh lembaga kemahasiswaan. Oleh karena itu, untuk
menghilangkan citra buruk tersebut mahasiswa baru perlu diberi seperangkat alat analisa agar
bisa membedah persoalan-persoalan yang kemudian muncul, berkiprah, dan mempertahankan
eksistensinya sebagai mahasiswa yang benar-benar mahasiswa. Bukan hanya sekedar anak
kuliahan yang berkedok mahasiswa. Disinilah kaderisasi itu menjadi kebutuhan yang sangat vital
bagi mahasiswa baru.
Mahasiswa baru atau kerap disingkat maba, merupakan objek utama dalam proses pengaderan.
Pasalnya, mahasiswa yang baru mengenal dunia kampus sangat berpotensi dan memiliki
kesempatan serta waktu yang cukup panjang dalam dunia kemahasiswaan sehingga perlu
dikembangkan kemampuannya dalam berlembaga. Namun bukan berarti bahwa mahasiswa baru
datang dalam keadaan kosong sehingga harus diisi, tetapi hanya butuh pengarahan pemikiran.
Calon kader-kader potensial ini harus ditatar sedemikian rupa sehingga dapat menjadi
mahasiswa-mahasiswa yang mampu menjalankan perannya sekaligus sebagai media
pembelajarannya tentang dinamika keorganisasian yang tidak mereka dapatkan di ruang-ruang
kuliah.

Prosesi pengaderan ini biasanya disesuaikan dengan kultur organisasi untuk meminimalisir
adanya pergesekan-pergesekan ideologi antar aliran pemikiran. Nantinya setelah mahasiswa baru
memiliki paradigmanya sendiri, maka dengan sendirinya pola-pola pemikiran tersebut akan
berkembang menjadi lebih maju. Untuk itu kerjasama dari pihak birokrasi pun sangat diperlukan
untuk bahu-membahu dengan lembaga kemahasiswaan dalam proses pengaderan mahasiswa
baru.

Peran Mahasiswa

Perbedaan jenjang pendidikan menimbulkan perbedaan sebutan untuk individunya. Individu


yang sedang menjalani pendidikan ditingkat sekolah dasar disebut murid SD, sekolah menengah
pertama disebut pelajar SMP, sekolah menengah atas disebut siswa SMA, dan ketika telah duduk
di bangku kuliah, maka sebutannya berubah menjadi mahasiswa. Hal ini berarti juga adanya
perubahan peran, dari murid menjadi mahasiswa.

Seringkali hal ini tidak dipahami secara gamblang oleh orang-orang yang mengaku dirinya
mahasiswa. Mereka hanya menggunakan label mahasiswa untuk menunjukkan bahwa telah
terjadi perpindahan tingkat pendidikan dari sekolah menengah ke tingkat diatasnya, yakni
tingkatan universitas. Alasan lain yang mungkin diterima adalah bahwa sebenarnya mereka
memiliki pengetahuan tentang peran dan fungsinya, hanya saja ideologi pragmatis-hedonis
membuatnya berpaling dan menjadikan hal itu hanya sebatas wacana yang menarik untuk
diperbincangkan. Hal ini menimbulkan sikap apatis alias tak acuh terhadap penyimpangan-
penyimpangan yang terjadi dan perlu untuk diadvokasi.

Seorang mahasiswa dituntut peka terhadap fenomena sosial yang terjadi disekitarnya, sesuai
dengan perannya sebagai agent of change, social control, dan moral force. Dalam kelas sosial,
mahasiswa ditempatkan dalam kelas peri-peri, yang olehnya titik perubahan dipicu. Ketika
terjadi ketimpangan yang diakibatkan oleh pengambilan kebijakan yang tidak berpihak kepada
rakyat, maka mahasiswa sebagai representasi dari rakyat yang intelek seharusnya bergerak
menentang kebijakan tersebut sebagai konsekuensi dari sebuah negara yang menganut sistem
demokrasi. Oleh karena iu, maka mahasiswa perlu disadarkan perannya melalui mekanisme
pengaderan.

Tahap-Tahap Pengaderan

1. Tahap Penerimaan
Tahap penerimaan dimaksudkan agar seluruh mahasiswa baru atau calon kader dapat diterima
secara resmi sebagai bagian dari keluarga mahasiswa (KEMA) dengan mekanisme penerimaan
yang telah disusun oleh pihak lembaga kemahasiswaan fakultas masing-masing. Hal ini
bertujuan agar terjadi ikatan kekeluargaan yang hangat antar anggota KEMA yang baru dengan
anggota KEMA yang lama. Tahap ini menjadi semacam tahap perkenalan dengan lingkungan
sosial, kultur, dan fakultas tempat mahasiswa itu akan berproses.

2. Tahap Pengaderan Awal

Pada tahap ini, mahasiswa baru diarahkan untuk mengikuti kegiatan-kegiatan latihan
kepemimpinan pemula untuk melatih jiwa-jiwa pemimpin serta menjadi awal pembentukan
karakter mahasiswa baru. Calon kader mulai dilibatkan sebagai peserta dalam berbagai pelatihan,
pendidikan, diskusi, dan kegiatan-kegiatan lain yang sifatnya mendidik, tentunya dengan tetap
memperhatikan prioritas utama, yakni mendukung proses transformasi ilmu pengetahuan.

3. Tahap Pengaderan Lanjutan

Latihan kepemimpinan yang lebih intens dan progresif, pelibatan langsung mahasiswa baru atau
calon kader dalam kegiatan-kegiatan kepanitiaan, serta menjadi penggerak kegiatan
kemahasiswaan dimulai pada tahap ini. Pengenalan filsafat, pengajaran pola-pola kerja
organisasi, dan pergerakan sosial serta metode pemecahan masalah pun diajarkan.

4. Tahap Pengukuhan dan Regenerasi

Pada tahap pengukuhan dan regenerasi, secara seremonial dilakukan pengukuhan dari calon
kader menjadi kader yang siap mengisi posisi-posisi struktural dan fungsional organisasi. Hal ini
ditandai dengan adanya pengalihan kekuasaan dalam lembaga kemahasiswaan dari pengurus
lama ke pengurus baru, yang berarti berakhirnya masa jabatan pengurus lama.

Tahap-tahap diatas mungkin telah dilalui seluruhnya, namun pengaderan tetap berlangsung
selama menjadi mahasiswa. Baik itu untuk calon kader, kader baru, ataupun kader lama.
Transformasi ilmu pengetahuan tidak berhenti hanya karena proses tersebut diatas telah dilewati,
karena ilmu pengetahuan akan terus berkembang mengikuti zaman, dan pendidikan harus terus
berjalan.

[1] Kamus Bahasa Indonesia: Apollo Surabaya hal.314

[2] http://en.wikipedia.org/wiki/En_cadre

KADERISASI IDEAL: PROSESI PEMAHASISWAAN MAHASISWA


Oktober 8, 2012 oleh la_enal

Anda mungkin juga menyukai