1
Prof. Mohsen Gharawiyan menjelaskan bahwa pertanyaan-pertanyaan yang bersifat mendasar
sangat penting bagi manusia dan kemanusiaan. Pertanyaan-pertanyaan itu tidak dibatasi oleh
ruang dan waktu, sebab semua pertanyaan itu telah inheren dalam diri manusia. Selama manusia
masih hidup di bumi maka pertanyaan-pertanyaan tersebut akan senantiasa hadir bersamanya.
Jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan tersebut akan membentuk perjalanan manusia dan
menentukan sikapnya terhadap alam ini.
bagaimana cara untuk memahami diri sendiri, yang perlu dilakukan adalah
mempertanyakan segala sesuatu yang dilakukan. Setiap langkah yang kita tempuh
dan setiap keputusan yang kita ambil senantiasa diawali dengan pertanyaan:
“Mengapa?” Para filosof menjelaskan bahwa “mengapa” termasuk salah satu dari
tiga pertanyaan mendasar tentang sesuatu. Oleh sebab itu, untuk setiap pengetahuan
yang akan dilakukan, kita mesti mengajukan pertanyaan seperti ini : Mengapa kita
harus melakukan pengetahuan tersebut?. Dengan pertanyaan itu akan memberikan
motivasi dalam menimbah suatu pengetahuan, bukan sekedar melakukan sesuatu.
Mereka yang mencari ilmu dengan penuh gairah dan kecintaan tidak akan
pernah bosan dan tidak akan meninggalkannya, karena ia memasuki pengetahuan
tersebut dengan penuh kesadaran. Tentang apa itu pengetahuan para ahli logika
muslim mengatakan bahwa pengetahuan adalah adanya gambar-gambar atau
makna-makna dalam pikiran kita tentang sesuatu-sesuatu. Gambar-gambar atau
makna-makna inilah yang kemudian menjadi alasan bagi bentuk keyakinan atau
pandangan dunia seseorang, yaitu ketika ia menilainya sebagai benar (realistis)2. Di
dalam menjawab seluruh pertanyaan yang mendasar atau fundamental dibutuhkan
pemikiran dan perenungan filosofis melalui akal manusia. Hakikat kemanusiaan
bergantung pada bagaimana bangunan filsafatnya, sebagaimana kita ketahui
bersama seluruh hewan memiliki ciri yang sama yaitu mereka melakukan perbuatan
mereka dengan kesadaran dan kehendak yang bersumber dari insting. Oleh karena
itu, keberadaan yang tidak memiliki kesadaran sama sekali maka keberadaan
tersebut telah keluar dari sifat kehewaniannya. Akan tetapi, diantara hewan yang
ada, manusia memiliki keunggulan tertentu. Manusia bukan saja memilik persepsi
indrawi dan memiliki kehendak tapi juga memiliki persepsi lain yang disebut
dengan akal.
2
Arianto Achmad menjelaskan bahwa ketika pengetahuan tersebut ternilaikan atau terbenarkan
maka pengetahuan tersebut akan berubah menjadi apa yang dimaksud keyakinan, pengetahuan
itulah dasar bagi keyakinan atau pandangan dunia seseorang. Jika tidak ada pengetahuan maka
tidak ada bentuk keyakinan apapun atau bila tidak ada pengetahuan maka tidak akan ada
pandangan dunia apapun.
dan pemberontakan3. Oleh sebab itu, jika seseorang hanya memanfaatkan persepsi
indrawinya namun tidak menggunakan persepsi akalnya, kemudian gerak dan
diamnya hanya dikeranakan oleh insting hewaniahnya semata, maka nilai dirinya
tak lebih dari hewan.
3
Michael Bakunin menjelaskan bahwa jika Adam dan Hawa taat kepada Yang Mahakuasa ketika
Dia melarang mendekati pohon pengetahuan, maka manusia akan dikutuk untuk terus-menerus
menjalani perbudakan. Namun, Setan (pemberontak abadi, pemikir bebas pertama dan pembebas
dunia) membujuk mereka untuk mencicipi buah pengetahuan dan kebebasan. Senjata-senjata
yang sama yaitu nalar dan pemberontak untuk menyingsing fajar surgawi yang baru bagi umat
manusia, zaman baru, kebebasan dan kebahagiaan.
4
Prof. M.T. Mishbah Yazdi menjelaskan bahwa masalah tersebut muncul akibat adanya penengah
antara subjek yang mengetahui dan objek pengetahuannya (atau ilmu). Penengah inilah yang
menyebabkan subjek disebut dengan orang yang mengetahui dan objek disebut dengan
pengetahuan.
Istilah lain yang dipakai sebagai lawan “ilmu” adalah “metafisika” istilah
ini sendiri berakar dari kata Yunani, metataphysica. Dengan membuang ta
tambahan dan mengubah physica ke fisika (physics) jadilah istilah metafisika. Kata
ini di-Arab-kan menjadi ma bada al-thabi’ah (sesuatu setelah fisika). Filsafat ini
dikenal dengan nama metafisika islam yang dikemukakan oleh Mulla Sadra, filsafat
dalam pemikiran Mulla Sadra bersumber dari sesuatu yang melampaui aspek-aspek
material. Akan tetapi, apa yang dianggap jauh di atas langit sana dapat disandingkan
dengan bahasa yang sesuai dengan ranah kefilsafatan dan dapat tampil didalamnya.
Dalam hal ini, Sadra berhasil “menyilang” bahasa filosofis dengan pengalaman
batin. Adapun “menyilang” di sini bukan berarti suatu upaya menjadikan sekuler
pengalaman batin Sadra, bukan pula menggagas sejumlah konsep imanensi dengan
melepaskan aspek-aspek transenden, tetapi lebih kepada bagaimana pengalaman
batin (pengalaman spiritual) dapat berperan di “ranah pembuktian”5. Metafisika
Islam ini menyatakan bahwa : (1) Prinsip Niscaya Lagi Rasional merupakan
Landasan penilaian manusia terhadap segala sesuatu; (2) Prinsip ini dikatakan
Niscaya Lagi Rasional lantaran ia merupakan watak dasar segala realitas; dan,
terkakhir, (3) Prinsip ini dikatakan Niscaya Lagi Rasional lantaran ia merupakan
watak wujud itu sendiri.
5
Mulla Sadra menjelaskan bahwa hal tersebut pada akhirnya berujung pada bentuk: (1)
menguatkan sekaligus mengadopsi sejumlah pandangan filsafat sebelumnya; (2) mengkritisi total
suatu pandangan filsafat sebelumnya; dan, terakhir, (3) mengkreasi bentuk baru dalam filsafat.
organisasi tersebut tidak menggambarkan terhadap apa yang dicita-citakan atau
yang diinginkan dalam organisasi tersebut.