Anda di halaman 1dari 24

BAB I

TUJUAN DAN SASARAN EPISTEMOLOGI

1. Tujuan
Membentuk struktur berfikir Filsafat Islam guna membangun kesadaran manusia.
2. Sasaran
Peserta mampu memahami landasan struktur berfikir filsafat Islam

BAB II
PERMASALAHAN POKOK

Manusia mempunyai kecenderungan untuk mengetahui dan mengenal hakekat realitas,


Kecenderungan ini disebut dengan fitrah.Artinya, ia merupakan sesuatu yang melekat dalam
diri manusia (bawaan), dan bukan sesuatu yang diperoleh melalui usaha. Fitrah mirip dengan
dengan kesadaran. Sebab, manusia mengetahui bahwa dirinya mengetahui apa yang dia
ketahui.1Selama manusia masih berfikir, kecenderungan ini tak pernah lepas dari
kehidupannya. Sejauh manakah titik akhir perjalanan pengetahuan manusia? Berdasarkan
kecenderungan fitrahwi manusia, jawabnya adalah pengetahuan yang hakiki. Mungkinkah
manusia mencapai pengetahuan hakiki tersebut dan bagaimanakah manusia dapat mencapai
pengetahuan yang hakiki? Ada sebagian orang secara total menolak adanya kemungkinan
pengetahuan dan manusia tidak mungkin memiliki pengetahuan, dengan argumentasi bahwa
pada diri manusia tidak ada suatu bentuk pengetahuan yang dapat dijadikan sebagai sandaran
yang dapat dipercaya. Anggapan ini pun kemudian menimbulkan keragu-raguan pada diri
manusia dalam mencapai sebuah pengetahuan yang hakiki.

Permasalahan keraguan diatas yang menafikan urgensi dan keniscayaan pengetahuan akan
berdampak langsung pada pandangan dunia seseorang dalam mengenal dan memahami alam,
yang selanjutnya mempengaruhi dirinya dalam memilih ideology yang benar dan
layak.Untuk menjawab permasalahan keraguan ini, yang perlu pertama kali dibahas adalah
alat dan sumber pengetahuan yang digunakan manusia dalam memperoleh pengetahuan.

Pengenalan manusia terhadap alam semesta bermula dari indera lahiriahnya (persepsi
inderawi) dan interaksi anggota badannya dengan segala sesuatu (yang merupakan alam
eksternal) yang berada dihadapannya.2Akan tetapi, apakah cukup hanya dengan persepsi
inderawi sehingga manusia dapat mengetahui dan menyingkap hakekat realitas? Tentu
manusia masih memiliki media lain selain persepsi inderawi yang disebut dengan rasio dalam
memuaskan tendensi fitri manusia untuk memahami hakekat realitas. Bagaimanakah posisi
panca indera dan rasio sebagai alat dan sumber pengetahuan manusia? Adakah alat dan
sumber lain pengetahuan manusia selain panca indera dan rasio?
Panca indera dan rasio sebagai alat maupun sumber pengetahuan dalam sejarah pemikiran
menimbulkan perdebatan yang rumit, sehingga melahirkan pandangan-pandangan yang
saling bertentangan.Sebagian pemikir hanya menerima peran panca indera sebagai alat dan

1
Murthada Muthahhari, Fitrah, terj. H. Afif Muhammad (PT Lentera Basritama, Jakarta, 2001), hal 20.
2
Muhammad Taqi Mishbah Yazdi, Jagad Diri, terj. Ali Ampenan, (Al-Huda; Jakarta, 2006) hal. 35.

1
sekaligus sebagai sumber pengetahuan dengan menafikan peran rasio yang dapat
mengantarkan manusia pada pengetahuan yang hakiki. Begitupun sebaliknya, sebagian
pemikir yang lain hanya menerima rasio dengan menolak peran panca indera sebagai alat dan
sumber pengetahuan manusia. Jika demikian halnya, maka persepsi panca indera dan rasio
adalah dua hal yang bertentangan.Untuk memahami persoalan ini, apakah panca indera dan
rasio benar-benar bertentangan dan terpisah secara mandiri?ataukah keduannya saling
berhubungan dan masing-masing memiliki peranan penting dalam teori pengetahuan?
Pertanyaan ini akan mengantarkan kita pada pembahasan tahapan pengetahuan.

Pandangan yang hanya menerima satu pengetahuan dengan tidak mengakui pengetahuan
yang lain disebut dengan pandangan yang berlandaskan pengetahuan satu tahap, sebagai
contoh, mereka yang berpendapat bahwa sumber pengetahuan itu hanya rasio, mereka tidak
mengakui nilai indera. Sedangkan sebagian yang lain memiliki sebuah pandangan yang
merupakan kebalikan dari pandangan tersebut. yakni mereka meyakini bahwa esensi
pengetahuan adalah indera murni dan mereka tidak mengakui peran rasio.

Di samping pengetahuan satu tahap, terdapat juga pandangan yang berlandaskan beberapa
tahapan (lebih dari satu tahap). Namun, walaupun mereka sama-sama sepakat terdapat
beberapa tahapan pengetahuan bukan berarti mereka sama dalam menjelaskan hadirnya
gagasan dalam pengetahuan manusia. Sebagian mereka berpendapat bahwa pencerapan
inderawi inderawi diubah dan dialih-bentuk oleh rasio menjadi cerapan intelektual, persis
seperti tukang kayu mengolah kayu logo menjadi meja, kursi, pintu, dan jendela. Jadi konsep-
konsep mental adalah bentuk-bentuk inderawi yang telah terolah, dengan kata lain bahwa
materi yang tidak memiliki bentuk dan gambar adalah bukanlah pengetahuan. Penjelasan ini
ditolak oleh pandangan yang berlandaskan pada pengetahuan tiga tahapan, mereka meyakini
bahwa diperlukan tahap eksperimen yang merupakan tahap terakhir pengetahuan. Mereka
menganggap bahwa gagasan yang terdapat pada rasio tidah lain hanyalah file yang tersusun
rapi di dalam otak yang selanjutnya melahirkan suatu hipotesa, karena itu diperlukan tahap
eksprimen untuk memilah gagasan-gagasan tersebut untuk membedakan dan memisahkannya
dari pengetahuan yang hakiki.

Penjelasan dari pandangan terakhir diatas yang meyakini pengetahuan tiga tahap (panca
indera, rasio, dan eksprimental) kembali memunculkan keraguan pada diri manusia,
dikarenakan pada diri subjek yang mengetahui terdapat pengetahuan hakiki yang tidak
memerlukan tahap eksprimental untuk meyakininya, seperti gagasan kemustahilan dan
gagasan keseluruhan yang tidak mungkin bisa dieskprimenkan di alam. Berdasarkan ini,
bagaimanakah kita dapat membuktikan perubahan dari tahapan pengetahuan panca indera
menjadi pengetahuan rasio dalam menggeneralisasi pengetahuan inderawi?Pertanyaan ini
adalah permasalahan yang lain dalam bab epistemology, setelah kita telah mamahami
persoalan peran panca indera dan rasio dalam tahapan pengetahuan manusia. Selanjutnya
permasalahan yang muncul berikutnya adalah permasalahan dalam epistemology tanda dalam
menjelaskan peranan rasio mengungkap pengetahuan metafisika, bagaimanakah rasio dapat
mencapai pengetahuan yang mendalam terhadap gagasan-gagasan yang dipantulkan dari
persepsi panca inderawi yang berhubungan langsung dengan alam?

2
Seluruh permasalahan pokok yang telah dijelaskan sebelumnya adalah salah satu
pembahasan dalam epistemology, yakni bagaimana sebab munculnya konsep/ide pada diri
manusia. Selain itu, permasalahan penting yang lain dalam pembahasan epistemologi adalah
landasan dan neraca penilaian. Setiap orang dari kita mengetahui kebenaran dan kesalahan
suatu argumentasi yang diyakini seseorang. Misalnya, kita membenarkan pernyataan
“matahari terbit dari timur dan matahari terbenam di barat”, begitupun kita dapat
menyalahkan suatu pernyataan, “sebagian lebih besar dari keseluruhannya”. Permasalahan
yang muncul adalahapadefinisi kebenaran yang lawan katanya adalah salah? Tatkala kita
mengatakan bahwa ini adalah kebenaran, bagaimanakah kita mesti mendefinisikan hal ini?
Setelah kita selesai mendefinisikan kenbenaran – dalam bentuk apa pun – lalu apa landasan
dan neraca yang akan digunakan untuk membedakan antara kebenaran suatu epistemologi
dan kesalahan suatu epistemologi (dengan kata lain, neraca dan alat uji) untuk menentukan
berbagai epistemologi yang benar dan epistemologi yang salah? Dengan menggunakan
neraca apa, dapat diperoleh pengetahuan bahwa epistemologi ini benar atau salah?
Demikianlah seluruh rumusan masalah dalam epistemologi yang harus dipecahkan pada
pembahasan ini. Oleh karena itu, pembahasan epistemologi adalah suatu yang niscaya dalam
membangun kesadaran manusia, untuk mengantarkan manusia pada kesempurnaannya
sebagai manusia.

3
BAB III
ARGUMENTASI POKOK

Sandaran dan dasar dari berbagai ideology adalah pada pandangan dunianya.Pandangan
dunia ialah bentuk dari sebuah kesimpulan, penafsiran, hasil kajian, yang ada pada seseorang
berkenaan dengan alam semesta, manusia masyarakat dan sejarah.Kriteria pandangan dunia
yang baik dan luhur adalah ketika memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:

1. Dapatdidedukksikan dan dibuktikan (didukung oleh nalar dan logika), sehingga


melicinkan jalan bagi diterimanya pandangan dunia tersebut secara rasional serta dapat
dijadikan petunjuk dan menghilangkan kebingungan dan ketidaktahuan.
2. Memberi makna kepada kehidupan; menghapuskan, dari pikiran, gagasan yang
mengatakan bahwa hidup itu sia-sia, bahwa seluruh perjalanan manusia menuju ketidak
berartian.
3. Membangkitkan ideal-ideal, antusiasme dan aspirasi, sehingga membuatnya memiliki
daya tarik, semangat dan kekuatan.
4. Dapat memperkuat dan menyucikan maksud-maksud dan tujuan-tujuan social manusia,
sehingga membuat orang mudah berkorban dan mempertaruhkan diri demi maksud tujuan
ini. suatu pemikiran yang tidak dapat menyucikan tujuan-tujuannya, tidak dapat
menanamkan rasa mengabdi berkorban, dan idealism berkenaan dengan tujuan jalur itu,
tentu tidak memiliki jaminan bahwa tujuan-tujuannya akan dilaksanakan.
5. Membangkitkan komitmen dan tanggung jawab, sehingga membuat orang bertanggung
jawab pda dirinya dan masyarakat.3

Dengan dimikian, berdasarkan kriteria dari pandangan dunia diatas, maka epistemologi yang
membahas teori dan nilai pengetahuan memiliki arti dan peran penting dalam membentuk dan
mengarahkan kehidupan manusia ke depan.

Dalam sejarah perjalanan pemikiran manusia, tak jarang banyak pemikir yang kemudian
menolak kemungkinan manusia untuk mencapai pengetahuan yang hakiki.Dasar penolakan
ini tidak lain disebabkan oleh keraguan tentang sarana-sarana mencapai pengetahuan dan
metode untuk membedakan benar dan yang salah, serta hal-hal semacamnya. Keraguan itu
sendiri identik dengan ketidaktahuan seseorang terhadap sesuatu, jika tidak terdapat
sedikitpun keraguan pada sesuatu yang diketahuinya, maka pengetahuan itu disebut dengan
pengetahuan yang hakiki.

Dengan demikian, bentuk keraguan seseorang terhadap sesuatu karena ketidaktahuaannya


tidak bisa menjadi bukti untuk menolak ketidakmungkinan manusia untuk mencapai
pengetahuan yang hakiki. Justru, semestinya dengan keraguan tersebut akan mengantarkan
mengantarkan pada suatu keyakinan yang pasti, atau dengan kata lain ketidaktahuan yang
berbentuk keraguan itu sendiri adalah bukti kemungkinan manusia untuk mencapai
pengetahuan hakiki tersebut. Dan tentu keraguan ini lebih baik, dari pada pengetahuan yang
kita yakini tanpa melalui proses penalaran yang sifatnya taklik buta atau dogma.
3
Murthada Muthahhari, Pandangan-Dunia Tauhid, terj. Agus Efendi, (Yayasan Muthahhari; Bandung, 1994), hal. 18-19.

4
Secara umum ada dua insrument pengetahuan yang dimiliki manusia yakni panca indera dan
rasio, masing-masing kedua istrument pengetahuan ini memiliki fungsi yang berbeda satu
sama lain dalam menghasilkan pengetahuan pada diri manusia. Panca indera dalam perolehan
pengetahuannya berhubungan langsung secara lahiriah dengan realitas material, yang dimana
alam sebagai sumber pengkonsepsiannya.Sedangkan akal sebagai instrument pengetahuan
mengurai, memilah, dan melepas gagasan-gagasan yang di peroleh panca indera sehingga
menghasilkan bentuk pengetahuan hubungan yang tidak dapat disentuh dan dirasakan oleh
panca indera, jadi sumber pengkopsepsian rasio adalah rasio itu sendiri melalui hasil inovasi
berfikirnya.

Posisi panca indera dan rasio bukanlah dua hal bertentangan yang saling menafikan satu sama
lain. Dalam proses tahapan pengetahuan manusia, panca indera memiliki karakteristik
tersendiri dan rasio pun memiliki karakteristik tersendiri dalam menjelaskan bentuk-bentuk
pengetahuan yang hadir. Keterhubungan panca indera dan rasio dapat dijelaskan sebagai
berikut bahwa penginderaan berperan menyediakan landasan primer bagi pembentukan
konsep-konsep particular, yang selajutnya rasio memainkan peranan utama dalam
menurunkan konsep-konsep sekunder berupa konsep-konsep universal.Selain peranan rasio
dalam memperluas atau menggeneralisasi pengetahuan, rasio juga mampu memperdalam
gagasan-gagasan tersebut sehingga manusia memperoleh keyakinan yang sempurna terhadap
hal-hal metafisika.

Pengetahuan yang telah diyakini tentunya memiliki landasan penilaian sebelumnya, suatu
pengetahuan yang menunjukkan kesesuaiannya dengan realitas akan dinilai sebagai
kebenaran, begitupun sebaliknya jika suatu pengetahuan tidak menunjukkan kesesuaian
dengan realitas disebut dengan kesalahan. Jadi, defenisi kebenaran adalah kesesuaian ide
dengan realitas sedangkan kesalahan adalah ketidaksesuaian yang terjadi antara ide dengan
realitas. Kita mengetahui dan mengenal sebagian kesalahan yang dilakukan oleh indra;
pendengaran, penglihatan, penciuman, perasa, peraba, kesemuanya dapat melakukan
kesalahan dan kekeliruan. Dalam pada itu, sebagian besar persepsi indrawi kita benar dan
nyata. Dengan berbagai indra yang kita miliki, kita mampu mengetahui siang dan malam,
jauh dan dekat, besar dan kecil, lembut dan kasar, panas dan dingin, dan tidak diragukan lagi
bahwa kesemuanya itu adalah kebenaran, hakekat, dan sama sekali tidak keliru.4

Demikian pula akal kita pun dapat melakukan kesalahan.Olehnya itu, ilmu logika menyusun
berbagai metode berargumentasi rasional untuk menjaga agar tidak terjadi kesalahan pada
akal.Sebagian besar argumentasi rasional kita adalah hakekat dan kebenaran. Misalnya, saat
kita menjual atau membeli pena dalam jumlah besar, maka kita akan memisah-misahkan
antara yang baik dan yang buruk lalu masing-masing akan kita kumpulkan pada suatu tempat,
di sini kita tengah melakukan aktivitas rasio dan pemikiran..Dan sekiranya dalam melakukan
pemilah-pemilahan ini kita benar-benar teliti, maka hasil dari penggambungan dan pemisahan
tersebut adalah benar dan sesuai dengan hakekat dan kenyataan.5
4
Murthada Muthahhari, Pengantar filsafat Islam: Filsafat teoritis dan filsafat teoritis, terj. Ilyas Hasan, Ibrahim Husain al-Habsyi, Muhsin
Ali, Abdullah Ali, Muhammad Jawad, (Kerjasama RausyanFikr dengan Yayasan Fatimah; Yogyakarta, 2010), hal 60.

5
(ibid)

5
Berdasarkan penjelasan dari defenisi kebenaran diatas, disini kita membedakan antara
landasan dan neraca pengetahuan.Landasan adalah dasar bagi pengetahuan, sedangkan neraca
adalah sesuatu yang digunakan untuk mengukur ketepatan atau benar salahnya
(kehakikiannya).Yang dapat menjadi pijakan dalam pengetahuan (benar dan salah) adalah
adalah defenisi.Dengan defenisi, kita memiliki sebuah landasan bagi pengetahuan dan
keyakinan kita terhadap suatu hal yang telah kita peroleh, yaitu keseuaian ide dengan
realitasnya. Setelah kita memperoleh sebuah landasan, selanjutnya yang menjadi kebutuhan
kita adalah sebuah neraca agar dapat menilai, memutuskan, menghukumi, dan mengungkap
manakah yang akan kita kebenaran dan kesalahan. Dengan demikian, sebuah neraca untuk
membuktikan hubungan ide dengan realitas tidak lain adalah pengetahuan itu sendiri.
Penjelasan landasan dan pembuktian neraca pengetahuan ini menjadi penting agar seseorang
tidak terjebak dalam relativisme kebenaran.

BAB IV
ALUR PEMBAHASAN EPISTEMOLOGI

1. Kemungkian Epistemologi

6
Epistemology bukan pembahasan yang baru, melainkan pembahasan yang telah ada
sejak dulu. Karena epistemology membahas persoalan yang berkenan dengan pengetahuan
manusia, atau dengan kata lain ia adalah kerangka dari pemikiran manusia,maka perlu untuk
didudukkan sejak awal sebelum masuk pada pembahasan yang lain. Perlu diketahui
pembahasan yang menjadi perdebatan panjang antar filosof adalah yang berkenan dengan
kemungkinan pengetahuan.

Di Yunani pada abad ke-5 SM terdapat orang-orang yang ahli dalam retorika, dan
kemudian menjadi skeptis akibat argumen yang dibangun dengan tujuan memenangkan suatu
perkara atau perdebatan,mereka diantaranya adalah Gorgiasdan Pyrho. Mereka dikenal
dengan kaum Sofis. Selain, itu di dunia Islam pun terdapat pemikir yang juga mengalami hal
yang sama – dengan meragukan pengetahuan dan bahkan dirinya sendiri – seperti al-Gazali,
yang juga menerpa pemikir barat Descartes. Dinamika terus berlanjut, dengan berjalan diatas
keyakian rasionalitas, namun pada saat kemudian gelombang skeptisime kembali muncul.
Peristiwa yang belakangan tersebut dikenal dengan skeptisisme gelombang ke-2, dan
tokohnya adalah David Hume, sebagai akibat dari filsafat Barkley.

Sebelum kita menjabarkan argument berkenan dengan kemungkinan pengetahuan, ada


baiknya dikemukakan penjelasan keniscayaan, kemungkinan dan kemustahilan pengetahuan.6

Pertama, yang kami maksud dengan keniscayaan pengetahuan adalah kemestian


manusia memperoleh pengetahuan,karena hubungan manusia dan pengetahuan adalah
hubungan eksistensi.8(Orang yang tidak memiliki kemampuan menggunakan akal pikirannya secara benar berarti telah
kehilangan kebermaknaan atau peran eksistensinya, Murthada Muthahhari, Dasar-Dasar Epistemologi Pendidikan Islam, terj. Muhammad
Bahruddin (Shadra Press; Jakarta, 2011) hal 203.Jika
ia merupakan suatu kemestian, dan kemestian menegasi
ketidakpastian dan segala keraguan, maka keniscayaan merupakan kemutlakan pengetahuan
pada dirimanusia, terlepas apakah ia benar atau salah. Lalu bagaimana dengan pengetahuan
yang salah dalam hubungannya dengan kepastian? Jawabannya adalah, kesalahan pun
merupakan salah satu dari kepastian, yang artinya kesalahannya adalah benar dan itu bersifat
pasti. Jika tidak, maka ia dikatakan benar.

Kedua, kemungkinan pengetahuan adalah kesiapan yang ada pada diri manusia untuk
mengetahui, yang bergantung pada beberapa syarat. Jika syaratnya tidak terpenuhi, maka
tidak dapat menjadi ada, begitupun sebaliknya, jika syaratnya terpenuhi maka ia menjadi

6
Para ahli logika mengatakan bahwa bahwa bila kita menyandarkan satu predikat ke satu subjek, misalnya jika kita katakana bahwa A
adalah B, maka penyandaran dan hubungan ini akan memiliki salah satu dari tiga bentuk:

1. Hubungan antara keduanya adalah niscaya, yakni pasti dan tidak bisa tidak. Dengan kata lain, akal menolak mengakui kebenaran
kebalikannya.
2. Hubungan antar keduanya adalah mustahil, yalni mustahil predikat menjadi aksiden bagi subjek. Dengan kata lain, akal menolak
penyandaran dan hubungan antar keduanya itu.
3. Hubungan antar keduanya itu adalah keserbamungkinan, boleh terjadi dan juga tidak terjadi. Dengan kata lain, akal tidak menolak
bentuk penyandaran dan hubungan tersebut, dan tidakpula menolak kebalikannya.

(Murthada Muthahhari, Pengantar filsafat Islam: Filsafat teoritis dan filsafat teoritis, terj. Ilyas Hasan, Ibrahim Husain al-Habsyi, Muhsin
Ali, Abdullah Ali, Muhammad Jawad, (Kerjasama RausyanFikr dengan Yayasan Fatimah; Yogyakarta, 2010), hal 88.

7
ada.Adapun syarat kemungkinan pengetahuan untuk mengaktual adalah penalaran. Jika
seseorang meragukan kemungkinan pengetahuan, melalui penalarannya sendiri, ia dapat
mengetahui dengan pasti bahwa dirinya memiliki keraguan. Ini berarti bahwa ia tidak hanya
telah mengakui kemungkinan pengetahuan, tetapi juga mengakui keaktualan pengetahuan itu
dalam dirinya.

Ketiga,kemustahilan pengetahuan adalah ketidakmungkinan manusia memperoleh


pengetahuan pasti.Kemustahilan merupakan ketiadaan hubungan eksistensi, Jika kita
mengakui secara mutlak mengingkari kemungkinan pengetahuan, maka bisa dikatakan bahwa
kita sedang menderita penyakit kejiwaan yang akut, atau dengan kata lain kita tidak memiliki
kesadaran sebagai manusia. Tanggapan pada keyakinan ini haruslah menggunakan tanggapan
non-teoritis untuk membuktikan adanya pengetahuan pasti pada dirinya.Dengan demikian
kemustahilan pengetahuan pada manusia adalah suatu hal mustahil, yang tentunya juga tidak
perlu menggunakan tanggapan teoritis apalagi tanggapan non-teoritis untuk
membuktikannya.

Demikianlah, yang kami maksud dengan keniscayaan, kemungkinan dan kemustahilan


dalam pengetahuan.

Argumen Kaum Sofis


Kaum sofis mengatakan, dalam hal ini Gorgias bahwa, (1) tidak ada yang eksis. Jika
eksis, pasti bukan dari apa-apa atau dari luar sesuatu. (2) jika apa pun eksis, tidak bisa
diketahui karena pikiran dan sesuatu (realitas) itu berbeda.(3) jika apa pun dapat diketahui,
tidak bisa dimengkomunikasikan karena niat dan pemahaman itu berbeda. Adapun Pyrho,
mempertanyakan apakah indra sebagai salah satu instrument untuk mendapatkan
pengetahuan itu dapat memberikan suatu pengetahuan yang pasti atau objektif? Ia
menjelaskan bahwa manusia tidak dapat mengetahui, kalaupun dapat mengetahui, dengan alat
(instrumen) apa yang kita gunakan selain indra dan rasio. Sebagaimana diketahui, indra kita
dapat melakukan kesalahan. Misalnya, ketika berada dalam kereta, kita melihat pohon atau
tiang listrik disekitar kita berjalan. Begitupun fatamorgana yang dilihat di padang pasir. Lagi-
lagi rasio, ia lebih banyak melakukan kesalahan. Betapa banyak kesimpulan ilmuan dan
filusufyang diyakini namun pada saat tertenut diketahui kenyataannya tidak demikian.
Demikian, kita tidak dapat menjadikan indra dan rasio, sebab sesuatu yang salah atau keliru
tidak dapat dijadikan sandaran. S elain dua alat tersebut, tidak ada sesuatu yang lain untuk
memperoleh pengetahuan.

Di dunia Islam terdapat al-Gazali (seperti yang disebutkan di atas), yang juga
meragukan pengetahuan. Keberatannya adalah, dengan alasan apa kita mengatakan kita yang
sekarang ini benar-benar mengatahui. Tidak ubahnya suatu mimpi, dalam mimpi pun kita
menyaksikan relitas dan tidak meragukannya. Apakah tidak mungkin jika ini adalah mimpi
panjang? Bersesuaian dengan itu, Descartes pun mengajukan keberatannya sebagai suatu
keraguan atas peran rasio dan indra.

Kembali ia memeriksa segala pengetahuan yang dimilikinya, namun ia mendapati,


dengan alasan apa kita katakan apa yang kita ketahui ada. Saat ia ingin bersandar pada indra,
didapati indra dapat melakukan kesalahan, untuk berpaling ke rasio, ia pun mendapi indra
8
tidak dapat dipercaya. Pada akhirnya, dia tidak memiliki landasan untuk membenarkan apa
yang diketahuinya dan berada pada keraguan. Selanjutnya, Descartes mengajukan argumen
atas keraguannya dan mengakui adanya keraguan pada dirnya. Walaupun merasa ragu, akan
tetapi ia tidak mungkin meragukan keraguan tersebut. Walhasil, keraguan menjadi pijakan
keyakinannya, “karna ragu adalah ada, dan aku yang merasa ragu, maka aku adalah ada.”

Kemudian selanjutnya yang meragukan bahwa manusia tidak mampu mendapatkan


pengetahuan yang pasti itu adalah Rene Descartes. Descartes mirip dengan Al-Gazali yang
meragukan pengetahuan pasti. Descartes juga seperti itu, Descartes meragukan pengetahuan
yang didapatkan dengan melalui indera maupun pengetahuan yang didapatkan melalui rasio,
tetapi satu hal yang descartes tidak bisa nafikkan, yakni keraguan itu sendiri. Sehingga dia
mengatakan, “meskipun saya meragukan segala yang ada, tetapi saya tidak ragu bahwa saya
sedang ragu”.

Argumen Kemungkinan Pengetahuan


Demikian, penjelasan yang dikemukakan orang-orang yang mengingkari atau paling
tidak, meragukan pengetahuan. Berbeda dengan itu, Para tokoh yang mendukung kepastian
atau keniscayaan pengetahuan pun memberikan penjelasan sebagai tanggapan atas keraguan
tersebut. Mereka diantaranya para filusuf muslim. Sebagaimana yang disebutkan diatas,
pyrho menyampaikan keberatannya terkait instrument pengetahuan, dengan mengatakan
indra dan rasio dapat melakukan kesalahan sehingga mustahil manusia untuk memperoleh
pengetahuan. Begitu pun al-Gazali dengan gagasannya tentang mimpi panjang dan
kehilangan sandaran yang dialami Descartes.

Dikatakan yakin jika tidak terdapat keraguan di dalamnya. Jika tidak demikian, maka
hal itu adalah apakah (yang berarti ketidaktahuan). Pertanyaan berikut dapat diajukan, apakah
saat merasa ragu, kita benar-benar menyadari dan menyakini keraguan tersebut atau tidak?
Jika tidak, mengapa kita dapat menjadi ragu dengan keraguan yang sebenarnya adalah sebuah
keranguna (bukan keyakinan)? Pertanyaan lain, apakah indra telah melakukan kesalahan
karena ia telah ,menilai ataukah indra tidak lebih hanya sebagai sebuah kamera, atau kaca
mata bagi seorang rabun? Lalu bagaimana dikatan rasio melakukan kesalahan, apakah saat
rasio mengatakan kita telah melakukan kesalahan, adalah sebuah kesalahan atau tidak
demikian?

Tak diragukan lagi, saat dikatakan ragu dan kita menyadarinya, maka saat itu juga kita
telah memperoleh pengetahuan yang yakin. Adapun indra tidak melakukan penilain, yang
melakukan penilaian adalah rasio. Namun, saat rasio melakukan penilaian yang tidak sesuai
dengan realitas, dan rasio menyadarinya, maka itu adalah suatu pengetahuan yang pasti pula
– sebagaimana yang dijelaskan pada keniscayaan pengetahuan. Pendapat yang diajukan
tentang kesalahan tersebut, bahwa kesalahan pada satu keadaan atau perkara, tidak
mengahruskan kesalahan yang lain. Analoginya, jika si Aji yang melakukan kesalahan, tidak
dibenarkan jika si Amir yang dikenai hukuman. Sumber lain dari kesalahan tersebut yaitu
tidak mampu membedakan konsepsi dan penilaian. Dengan penjelasan tersebut, dapat
dikatakan pengetahuan terbagi atas pengetahuan yang salah dan pengetahuan yang benar.
Untuk memahami bagaimana peran atau kerja indra dan alat, akan dijelaskan pada

9
pembahasan berikutnya. Jelaslah, apa yang menjadi keberatan dan pengakuan para pemikir
tersebut terkait kemungkinan pengetahuan manusia.

Bagan Pembahasan Kemungkinan Pengetahuan

Deskripsi Contoh
Semua yang meragukan segala sesuatu Kesadaran tentang
tidak akan dapat meragukan keberadaan takut yang
Keniscayaan diri mereka, keberadaan keraguan mereka, menghadir dalam
Pengetahuan maupun keberadaan pelbagai kemampuan diri manusia.
persepsi , seperti kemampuan melihat,
mendengar, keberadaan bentuk-bentuk
mental, dan keadaan-keadaan jiwa mereka.
Panca indera dan rasiotidak dapat Melihat sesuatu yang
dijadikan sebagai sandaran dan dapat ternyata penglihatan
dipercaya untuk memperoleh pengetahuan itu salah, seperti
karena meragukan, kecuali jika keraguan fatamorgana. Rasio
Kemungkinan
ini disandarkan pada penalaran haruslah dapat melakukan
Pengetahuan
diterima secara mutlak sebagai bukti kesalahan dalam
pengetahuan yang niscaya. menyimpulkan,
seperti teori
geosentris.
Tidak ada sesuatu pun yang eksis; jika ada Panas yang
yang eksis, siapa pun tidak bisa dirasakan dari api,
mengetahuinya; jika kita mengasumsikan menjelaskan bahwa
siapa pun bisa mengetahuinya, ia tidak api menjadi eksis
bisa mengomunikasikannya kepada orang dan diketahui karena
Kemustahilan
lain. persepsi tentang
Pengetahuan
panas, dengan
demikian
pengetahuan tentang
api diluar adalah
ketiadaan.

2. ALAT DAN SUMBER PENGETAHUAN.


Alat pengetahuan adalah sesuatu yang digunakan untuk memperoleh
pengetahuan. Sebagaimana halnya alat sekedar berfungsi sebagai perantara atau media
dengan sumber pengetahuan. Adapun yang dimaksud dengan sumber pengetahuan adalah
yang darinya diperoleh pengetahuan. Jadi perbedaannya alat dan sumber pengetahuan
terletak pada fungsinya masing-masing.

Di antara alat atau instrumen yang dimiliki manusia untuk memperoleh


pengetahuan adalah “indra”. Indra sebagai alat yaitu mempersepsi setiap fenomena yang

10
terjadi di alam, atau dengan kata lain indra berbicara hubungan langsung dengan alam.
Manusia memiliki berbagai macam indra (penglihatan, pendengaran, perabaan dan lain-
lain). Andaikan manusia kehilangan semua indra itu maka ia akan kehilangan semua
bentuk pengetahuan. Ada sebuah ungkapan yang amat populer sejak dahulu, dan
kemungkinannya itu adalah ungkapan yang datang dari Aristoteles, “Barangsiapa yang
kehilangan satu indra maka dia kehilangan satu pengetahuan”.

Jika seseorang dilahirkan dalam keadaan buta ia tidak mungkin dapat


membayangkan warna-warna, berbagai bentuk dan jarak, sehingga seseorang tidak
mungkin dapat menjelaskan mengenai putih, merah, segitiga, dan kilometer kepada
seorang yang buta sejak lahir. Juga kepada seorang yang tuli sejak lahir tidak dapat
mengetahui tentang suara, musik ataupun lagu, hal ini juga berlaku kepada seseorang
yang kehilangan indra yang lainnya. Oleh karena itu tidak diragukan lagi bahwa indra
merupakan salah satu alat untuk memperoleh pengetahuan. Namun apakah memperoleh
pengetahuan cukup hanya dengan indra saja?
Disamping indra, manusia juga masih memiliki alat atau instrumen lain yaitu
“rasio”. Pertama-tama, kerja rasio adalah menerima gambaran dari alam luar. Rasio
berhubungan dengan hal-hal di alam luar dari jalur panca indra dan mengumpulkan
gambaran dari hal-hal tersebut. Kemudian, rasio kita, setelah mengumpulkan serangkaian
gambaran dari jalur panca indra, tidak tinggal diam. Rasio kita tidak hanya menimbun
“bundelan-bundelan” gambaran saja, tetapi terkadang juga pada kesempatan-kesempatan
tertentu, menampakkan gambaran yang tersimpan tersebut pada sebuah layar yang jelas di
pikiran kita. Kerja ini adalah “mengingat”.Kerja dari rasio ini sifatnya aktif, yaitu
berdasarkan serangkaian aturan psikologis dan mengingat gambaran-gambaran yang
tersimpan padanya.Kerja mengingat ini terjadi tanpa perubahan (penambahan atau
pengurangan) pada gambaran-gambaran tersebut.7
Kerja rasio selanjutnya sebagai instrument pengetahuan adalah penguraian dan
penyusunan.Yaitu menguraikan suatu gambaran tertentu yang tertangkap dari dunia luar,
membagi, dan menguraikan gambaran saat di alam luar tidak ada penguraian atau
pembagian tersebut. Penguraian suatu gambaran dapat terjadi dengan dua cara. Pertama,
dengan menguraikan suatu gambaran menjadi beberapa gambaran.Misalnya, penguraian
suatu badan yang memiliki serangkaian anggota.Kedua, dengan menguraikan suatu
gambaran menjadi beberapa arti.Seperti ketika rasio mendefinisikan garis sebagai
“kuantitas berdimensi tunggal yang bersambung”, padahal di alam luar hanya terdapat
satu hal saja, yaitu garis.
Berikutnya adalah generalisasi yang membentuk sejumlah gambaran universal dari
sejumlah gambaran particular yang didapatkannya. Misalnya, melalui panca indra, pikiran
mengenali pribadi mengenali pribadi-pribadi Zaid, Ahmad, hasan, dan sebagainya,
kemudian ia membentuk suatu pengertian universal yang general, yaitu “manusia”. Hal
ini menjelaskan bahwa pengertian “manusia” tak dapat dikenal melalui pancaindra,

7
(Murthada Muthahhari, belajar konsep logika, terj. Ibrahim Husain Al Habsyi, Ilyas Hasan, Muhsin Ali, Abdullah Ali, Muhammad
Jawad (RausyanFikr Institute; Yogyakarta, 2012), hal 106-107.

11
melainkan terbentuk dari sekian pengalaman particular pada pribadi-pribadi Hasan,
Mahmud, dan sebagainya.
Diantara aktvitas rasio manusia yang amat luar biasa adalah proses “tajrid”
(melepas). Adapun yang dimaksud dengan melepas ialah dalam rasio kita tengah
berlangsung proses melepas dua perkara yang mana pada alam objek ini hanya berupa
satu perkara, yang tidak mungkin bisa dilepas dan dipisah-pisahkan serta tidak mungkin
dapat berpisah. Sebagai contoh dalam alam eksternal kita tidak menemukan suatu
bilangan yang berdiri sendiri sebagaimana bilangan tersebut misalnya kita tidak
menemukan bilangan satu, dua dan tiga di alam eksternal terkecuali dia melekat pada
bentuk dan materi diluar, seperti satu pada spidol, dua pada gelas, dan sebagainya. Tetapi
di alam rasio kita dapat melakukan perhitungan dan penjumlahan bilangan misalnya 5X5
= 25. Hal ini bisa terjadi di rasio kita tanpa melibatkan atau menggambarkan dengan
materi dan bentuk diluar.
Oleh karena itu, berdasarkan penjelasan intrumen pengetahuan panca indra dan
rasio diatas, dapat disimpulkan bahwa memang benar indra merupakan salah satu alat
tetapi ada suatu alat yang lain yaitu rasio. Dalam usaha memahami dan mengetahui
sesuatu, keduanya itu mesti ada, dan kita selalu perlu pada keduanya.
Pembahasan selanjutnya yang penting dalam epistemologi adalah sumber-sumber
pengetahuan. Sebagian filsuf mengakui bahwa alam adalah sumber pengetahuan. Yang
dimaksud dengan alam disini adalah alam materi, alam ruang dan waktu, alam gerakan,
alam yang kita hidup di dalamnya. Dimana kita mempersepsi alam dengan indra yang kita
miliki. Sangat sedikit ilmuwan yang tidak mengakui alam sebagai sumber pengetahuan,
seperti plato tidak mengakui alam sebagai sumber pengetahuan, karena hubungan
manusia dengan alam dengan perantara indera dan sifatnya partikular tak termasuk
hakikat. Bagi plato sumber pengetahuan adalah alam ide. Begitu juga hal nya dengan
Descartes tidak mengakui alam sebagai sumber pengetahuan dan tidak mengakui indra
sebagai alat pengetahuan. Descartes menyatakan “ alam meski dikaji dan di pahami
dengan menggunakan indera, tetapi hal ini tidak akan mengantarkan kita pada suatu
hakikat’’. Kebanyakan ilmuan di dunia sebagian besar dari mereka meyakini bahwa alam
ini sebagai sumber pengetahuan, khususnya para kaum materialisme mereka sangat
mengakui alam sebagai sumber pengetahuan.
Dari penjelasan di atas kita bisa melihat dua corak atau bentuk pemikiran kaitannya
dengan pandangan mereka mengenai alam sebagai sumber, yang dimana kaum idealis
seperti Plato menolak alam sebagai sumber, sementara kaum Materialisme menyatakan
alam sebagai sumber pengetahuan dan menganggap alam lah sebagai sumber satu-satunya
atau yang hakiki dalam memperoleh pengetahuan. Sekarang kita melihat bagaimana
pandangan para filosof muslim melihat kedudukan alam kaitannya dengan sumber
pengetahuan, menurut filosof muslim pandangan mereka mengenai alam yaitu bahwa
alam memiliki kedudukan yang sangat penting sebagai sumber pengetahuan yang dimana
alam memberikan informasi kepada manusia yang dikatakan sebagai informasi primer,
alam sebagai sumber pengetahuan berhubungan secara langsung dengan persepsi indrawi,
disini kita melihat bahwa menurut pandangan filsafat islam tidak menolak alam sebagai
sumber pengetahuan dengan mengatakan alam sebagai sumber eksternal tetapi tidak
sampai disitu saja bahwa ada sumber yang lain selain alam.

12
Sebagaimana pada penjelasan sebelumnya bahwa ada beberapa ilmuwan yang
menolak alam sebagai sumber pengetahuan. Dari proposisi ini kita dapat mengambil
kesimpulan bahwa ada sumber lain yang menjadi sumber pengetahuan selain alam.
Seperti Descartes yang tidak mengakui alam sebagai sumber pengetahuan. Bagi Descartes
rasiolah yang menjadi sumber pengetahuan dan ini lah satu-satunya sumber pengetahuan
menurutnya. Namun para ilmuan materialisme murni menolak rasio sebagai sumber
pengetahuan dengan mengatakan bahwa rasio sekedar berfungsi sebagai alat
penyimpanan atau memory.
Kita melihat pandangan yang berbeda dengan para pemikir islam, yang dimana
filsafat islam tidak menolak alam dan rasio sebagai sumber tetapi mampu mendudukkan
peranan dan fungsi keduannya. Bahwa rasio sebagai sumber yaitu mampu menciptakan
pengetahuan baru tanpa berhubungan langsung dengan persepsi indrawi. Misalnya konsep
kausalitas, non-kontradiksi dan konsep universal lainnya. Konsep tersebut tidak
didapatkan secara persepsi indrawi. Disini filsafat islam memberikan sebuah pengertian
baru mengenai kedudukan rasio sebagai sumber, yang lebih jelas akan dibahas pada bab
pembahasan selanjutnya.

Bagan PembahasanAlat dan Sumber Pengetahuan

Deskripsi
Contoh
Alat Sumber
mempersepsi hal – Alam yang memberikan Mata mempersepsi
Panca
hal yang bersifat informasi primer pada warna,bentuk, dan
Indera
materi dan manusia. materi pada fenomena
penghubung alam
langsung dengan
realitas eksternal
Memilah dan Rasio sebagai Sumber Penjumlahan,
menyusun, yang mandiri mampu pengurangan, dan
mengurai, dan menciptakan pembagian dalam
Rasio
melepas konsep- pengetahuan baru tanpa ilmu matematika.
konsep yang berhubungan langsung
didapatkan dari dengan alam.
persepsi inderawi.

3. Tahapan Epistemologi

Proses hadirnya pengetahuan dalam diri subjek yang mengetahui menjelaskan


tentang adanya tahapan-tahapan yang mesti dilalui sehingga pengetahuan pada diri subjek
terbentuk. Pembahasan mengenai tahapan epistemologi memunculkan beberapa
pandangan, diantaranya adalah pandangan yang berlandaskan pengetahuan satu tahap dan
pandangan yang berlandaskan pada banyak tahap.

13
Salah satu filosof yang berpendapat bahwa epistemologi hanya satu tahap adalah
plato. Plato meyakini bahwa jiwa pernah ada dialam immaterial yang dinamakan alam
arcetype. Dialam ini jiwa mengetahui sejumlah pengetahuan konsep universal.Ketika
jiwa melakukan proses penyatuan dari alam immaterial ke alam material maka jiwa
membutuh bentuk materi yang berwujud jasad. Ketika terjadi proses penyatuan,
pengetahuan yang pernah diketahuinya telah terhalangi dengan jasad.Untuk dapat
mengembalikan pengetahuan yang pernah diketahuinya maka manusia mesti melakukan
pengindraan untuk dapat mengingat kembali apa yang pernah diketahuinya. Inilah yang
plato namakan proses berfikir.

Akhirnya plato beranggapan bahwa semua pengetahuan itu berasal dari


pengetahuan rasio mengingat kembali atas pengetahuan sebelumnya yang terlupakan,
karena plato menganggap indra itu tidak memiliki suatu nilai apapun dalam memberikan
suatu pengetahuan, dan yang dapat dianggap sebagai pengetahuan hanyalah yang
rasional. Jadi dengan memperhatikan tentang tahapan pada epistemologi yang diyakini
plato bahwa tahapan epistemologi hanya satu tahap yaitu mengingat kembali apa yang
pernah diketahuinya.

Pandangan yang sama juga dilontarkan oleh Rene Descartes yang tidak mengakui
nilai tahapan indera dan pengetahuan itu hanya satu tahap saja yaitu tahap rasional.
Pengertian rasional menurut Descartes adalah pengetahuan intuitif atau pengetahuan
bawaan yang tidak berasal dari sebab eksternal. Diktum cogito ergo sum adalah dasar
pengetahuan dan merupakan tonggak filsafat modern yang beraliran Cartesianis.
Beberapa ciri Cartesianisme Descartes; Pertama, sangat kritis dalam mempertanyakan
segala sesuatu yang masuk ke dalam relung pengalaman dan pemikiran kita.Kedua,
memiliki suatu “ketakutan filosofis” (baca pula: “kecermatan filosofis”) yang demikian
kuat terhadap seluruh pemahaman kita akan realitas, bahkan pandangan mata kita sendiri
diragukan sebelum dianalisa pikiran kita. Ketiga, mencari nilai dari seluruh realitas
pengalaman manusia dari “keberfikirannya”.Artinya suatu pengalaman sebagaimana
pengalaman itu sendiri tidak dianggap memiliki nilai kenyataan sebelum diverivikasi oleh
pemikiran.8

Pandangan penganut yang lain dari kaum rasionalis yang meyakini satu tahapan
pengetahuan adalah Immanuel Kant. Menurut kant pengetahuan pengetahuan itu memiliki
satu hakekat yang terdiri dari dua tahapan.(dua tahapan yang dimaksud adalah tahapan
pengetahuan rasional yakni intuitif ruang dan waktu, serta intuitif 12 kategori)Ia sama
sekali tidak menganggap inderawi sebagai satu tahapan bagi pengetahuan, dan ia
meyakini bahwa indera memberikan kepada manusia suatu materi pengetahuan yang
tanpa bentuk dan tanpa gambar, sedangkan materi yang tidak memiliki bentuk dan
gambar adalah bukanlah pengetahuan. Untuk pertama kali alam mental itu sendiri yang
akan memberikan sebauah gambar (ruang dan waktu) pada suatu materi yang telah masuk

8
Dimitri Mahayana, Kesadaran Uniter Ilahi: Melepaskan Diri dari Keraguan Cartesianis, (Al-Huda: Jurnal Kajian Imu-ilmu Islam,
vol. 1 no. 3; Jakarta selatan, 2001) hal 62.

14
dalam alam mental tersebut, merupakan satu tahapan dari pengetahuan. Misalnya sebuah
benda yang terdiri dari sisi atas dan bawah, saat ruangan tersebut kita putar 180 derajat
maka yang atas adalah bawah, bawah adalah atas. Ruang atas dan bawah pada suatu
materi tidak memiliki wujud yang nyata, dan merupakan gambaran dalam ingatan saja.
Demikian pula waktu kemarin dan saat ini adalah hasil ciptaan mental kita.Tahap
selanjutnya yang lebih tinggi adalah tahapan dua belas kategori9untuk memahami realitas
alam sebagai pengalaman dunia ilmiah.Sebagai contoh “panas memuaikan partikel-
partikel bendawi”, “Dua tambah dua sama dengan empat”. Contoh ini adalah
pengetahuan sintesis yang memberikan manusia pengetahuan baru pada manusia, hal ini
tidak akan dapat dipahami tanpa pemahaman intuitif dua belas kategori.

Sebaliknya, Jhon locke memiliki sebuah ungkapan yang popular, “Tidak ada
sesuatu pun dalam rasio kita terkecuali sebelumnya telah masuk melalui indrawi.”
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa menurut pendapat mereka dalam
memperoleh pengetahuan itu – dari awal sampai akhir – mesti menggunakan alat-alat
inderawi dan tentunya ini hanya terdiri dari satu tahapan serta satu peringkat saja.

Selanjutnya pandangan yang menolak seluruh pandangan satu tahap


pengetahuandiatas adalah penganut materialisme dialektika yang berpandangan bahwa
epistemologi memiliki tiga tahapan, yakni tahap inderawi, tahap penggunaan rasio, dan
tahap praktik.(Sebelumnya terdapat pandangan yang berlandaskan tiga tahapan
pengetahuan yang dikemukakan oleh spencer, yakni tahap inderawi, tahap ilmiah dan
tahap filsafat. tapi menurutnya persoalan filsafat tidak berbeda dengan persoalan ilmiah,
atau persoalan filsafat berada diluar lingkup persoalan ilmiah.Tetapi mengatakan,
“persoalan ilmiah ini, pada peringkat yang lebih tinggi, disebut dengan persoalan
filsafat.dengan demikian pandangan ini tidak dapat dikategorikan sebagai landasan
pengetahuan tiga tahap karena tidak terdapat perbedaan mendasar antara pengetahuan
ilmiah dan filsafat)Teori ini berkeyakinan bahwa panca indera sebagai tahapan pertama
dalam epistemologi adalah melakukan pengamatan terhadap alam ataupun sosial yang
akan dikaji. Dari hasil pengamatan itu, selanjutnya tahap pertama beralih dalam tahap
kedua yakni tahap rasio. Pada tahap kedua ini, rasio menjadi seperti file yang tersusun
yang selanjutnya mengeluarkan suatu hipotesa dan menemukan sebab dari permasalahan
yang dikaji. Hipotesa yang dihasilkan pada tahap kedua pengetahuan selanjutnya diuji
dan diteliti dalam tahap praktik guna menemukan kesesuaiannya dengan realitas. Tahap
praktik ini disebut dengan eksprimen yang merupakan tahap terakhir dari tahapan
epistemologi.

Pandangan Filosof Muslim dalam menjelaskan tahapan epistemologi meyakini


pengetahuan terdiri dari dua tahapan saja. Yakni pengetahuan dengan menggunakan rasio
yang bukan eksprimental. Jenis pengetahuan ini berawal dari indera, dan berakhir dengan
penggunaan rasio, serta tidak perlu pada tahap praktik dan uji coba seperti yang diyakini
oleh materialisme dialektika.
9
(Dua belas kategori menurut Kant adalah, yang di dalamnya ada: a) unitas b) pluralitas c) totalitas; (2) kualitas, didalamnya ada d) realitas
e) negasi f) pembatasan. (3) relasi, yang di dalamnya ada g) inheren dan penghidupan (substansi dan aksiden) h) kausalitas dan
ketergantungan (sebab dan akibat) i) pertukaran komunitas antara agen dan pasien;’ n(4) modalitas, yang di dalamnya ada; j) kemungkinan-
kemustahilan, k) eksistensi-noneksistensi l) penedelegasian kepentingan)

15
Untuk lebih memahami panca indera sebagai tahap pertama epistemologi, dan
rasio sebagai tahap kedua epistemologi, filosof muslim menjelaskan karakteriktik dari
penggunaan panca indra dan rasio dalam membentuk pengetahuan manusia.

Karakteristik pengetahuan inderawi adalah bentuk pengetahuan yang dihasilkan


merupakan suatu bentuk yang sifatnya partikular (individual/bagian-bagian), hanya
menyaksikan hal – hal yang aksiden (material) atau merupakan hal – hal yang tampak
secara indrawi sedangkan substansi dari sesuatu itu tidak dapat ditangkap oleh indra,
pengetahuan indrawi bersifat “sekarang” dalam artian kita hanya mempersepsi sesuatu
yang terjadi pada saat ini sehingga dengan begitu kita tidak dapat meyakini hal yang masa
lampau dan tidak dapat merencanakan hal yang akan datang dikarenakan sesuatu itu
belum aktual, dan karakteristik terakhir adalah pengetahuan inderawi terbatasi oleh
“ruang” yang dimana jika kita melihat objek dikawasan tertentu, setelah kita
meninggalkan kawasan tersebut maka kita tidak akan meyakini keberadaan kawasan
tersebut.

Sedangkan ruang lingkup pengetahuan rasio adalah rasio dapat mengetahui


hubungan dari hal – hal yang aksiden seperti hubungan dua orang yang mampu ditangkap
oleh rasio adalah hubungan “pertemanan”, hubungan “pertemanan” ini tidak dapat
ditangkap oleh pengetahuan inderawi. Kita mengambil perumpamaan ruangan A, B dan C
yang telah kita contohkan sebelumnya. Yang dimana rasio dapat menyimpulkan bahwa B
“lebih besar dari A” serta “lebih kecil dari C”. Pada pengetahuan inderawi kita hanya
mempersepsi hal – hal yang sifatnya aksidental yaitu “ruangan A ukurannya seperti ini”,
“ruangan B ukurannya seperti ini”, dan “ruangan C ukurannya seperti ini”, sedangkan
hubungan “lebih besar dari” merupakan sebuah kesimpulan yang dibentuk oleh akal.

Ruang lingkup rasio juga dapat mengukuhkan hal – hal yang berada dimasa
lampau. Seperti keberadaan presiden soekarno yang dimana kita meyakini keberadaannya
dari berbagai informasi serta tanda – tanda yang ditinggalkan semasa presiden soekarno,
ketika kita mengindrai berbagai informasi dan tanda, segala informasi dan tanda yang kita
dapat bukan menunjukkan keragaman keberadaan sosok, melainkan akan merujuk kepada
satu sosok yaitu soekarno, sehingga keberagaman konsep tidak serta merta akan
menunjukkan keragaman realitas, begitupun jika keberagaman realitas tidak serta – merta
menunjukkan keragaman konsep yang ada dalam benak. Ruang lingkup rasio yang lain
adalah rasio dapat mengenali hal – hal yang sifatnya substansi dari sesuatu.

Dengan demikian, dari seluruh penjelasan pandangan mengenai tahapan


pengetahuan ketika dihubungkan dengan permasalahan peran panca indera dan rasio
dalam tahapan pengetahuan manusia, maka teori yang memahami peran panca indera dan
rasio tidak bertentangan adalah pandangan filosof Muslim. Pada penjelasan materialisme
dialektika mengenai tahapan pengetahuan manusia, mungkin kita pun akan beranggapan
bahwa pandangan ini pun tidak mempertentangkan panca indera dan rasio, tapi jika kita
mengkaji pengertian dan kedudukan rasio dalam pandangan materialisme dialektika, akan
terlihat bahwa pandangan ini menolak sepenuhnya bentuk pengetahuan yang dihasilkan
oleh rasio sehingga harus di eksprimenkan jika demikian halnya, maka terjadi

16
pertentangan pengetahuan yang dihasilkan oleh rasio melalui panca indera dengan
pengetahuan yang dihasilkan oleh eksprimental melalui praktik.

Bagan Pembahasan Tahapan Pengetahuan

Deskriptif Contoh
Menyaksikan dan menerima Citra pemandangan yang kita lihat
Tahap I (Panca
gambaran dari segala yang dengan mata atau suara yang kita
Indera)
sifatnya lahiriah (material) dengar dengan telinga yang sifatnya
terbatas dan dangkal.
Inovasi akal dalam Mengenali perbedaan matahari
menangkap hubungan yang sebagai keberadaan yang nyata
tidak dapat disentuh dan dengan sesuatu keberadaan yang
Tahap II (Rasio) dirasakan. menyerupai matahariseperti sebuah
bom yang dilepaskan ke udara yang
memancarkan sinar seperti sinar
matahari

4. Penyamarataan Pengetahuan
Setelah selesai dengan tahapan pengetahuan, dimana sebelumnya kita telah memahami
dan mencapai kesimpulan bahwa kedudukan panca indera dan rasio tidaklah bertentangan
dalam proses hadirnya pengetahuan dalam diri subjek yang mengetahui. Pada pembahasan
kali ini kita sampai pada pembahasan penyamaratan pengetahuan. Masalah penyemarataan
pengetahuan menimbulkan perdebatan antara kalangan filosof muslim dan barat dalam
menjawab dan membuktikanhubungan antara rasio dan indera yang dengannya hubungan itu
mengantarkan pengetahuan sederhana sampai pada pengetahuan logikal.
Manusia memiliki hubungan/kontak langsung dengan realitas objektif (alam), hubungan
ini merupakan hubungan inderawi. Kebenarannya tidak membutuhkan proses yang panjang,
yang dapat dibuktikan oleh inderawi misalnya orang yang banyak hutang akan susah
hidupnya, ruangan ini berbentuk persegi panjang sungguh tidak diragukan, pengetahuan
semacam ini disebut pengetahuan dangkal. Sedangkan rasio mengalami pengembangan,
perluasaan, catatan criteria pada pengetahuan ini lebih luas dari pengetahuan inderawi,
pengetahuan ini disebut pengetahuan logika.Perumpamaan antara pengetahuan indrawi dan
rasio agar kita mampu membedakannya walaupun singkatyakni pengetahuan indrawi
dimisalkan seperti kamera yang hanya menangkap objek sedangkan pengetahuan logical
dirupakan seperti penambahan objek dalam kamar gelap jika kamera menangkap 10 orang
kamar gelap menjadikan 20 orang.
Kaum Marxis dalam menjelaskan penyemarataan pengetahuan menyadari bahwa
pengetahuan inderawi adalah sederhana yang merupakan akibat dari langsung antara indera
dan alam nyata dan dalam alam rasio, otak dengan perantaraan hukum “melintas dari
kuantitas menuju kualitas”, kemudian berubah menjadi pengetahuan logical.11(Murthada Muthahhari,
Pengantar Epistemologi Islam, (Shadra Press; Jakarta, 2010) hal. 145.pandangan ini tidak dapat diterima sebagai

17
suatu hukum penyemarataan pengetahuan, karena perubahan itu sendiri meniscayakan suatu
perubahan yang lain. Jika sesuatu itu telah berubah, maka tentulah sesuatu itu terputus secara
total dengan sesuatu sebelumnya. Sebagai contoh air yang dipanaskan sampai suhu tertentu
kemudian berubah menjadi uap, pada aktualitas uap itu sendiri sudah tak memiliki lagi
hubungan dengan air. Ini bukanlah perubahan kuantitas menjadi kualitas, tapi perubahan
esensi air tersebut menjadi esensi uap. Dengan demikian, pengetahuan sederhana tidak akan
pernah menjadi pengetahuan logical, dikarenakan perubahan kuantitas dari pengetahuan
sederhana akan hilang menjadi kualitas yang bukan pengetahuan karena perubahan esensi
dari pengetahuan tersebut. Jika tetap dikatakan bahwa pengetahuan sederhana tetap berubah
menjadi pengetahuan logical, maka hukumnya adalah bukan melintas dari kuantitas menuju
kualitas.
Pandangan lain yang menjelaskan penyemarataan pengetahuan yang dilakukan rasio tidak
lain adalah hasil dari hokum eksperimen. Penyemarataan metode ini mengatakan bahwa
segala sesuatu ingin digeneralisasi pertama tama haruslah dilakukan eksperimen, penelitian
terhadap objek atau kasus terkait agar menemukan hukum universalnya misalnya besi
memuai karena dipanaskan dengan syarat ciri cirinya berhasil ditemukan.Jadi, mustahil rasio
dapat melakukan penyemarataan pengetahuan tanpa menggunakan metode eksperimental
sebelumnya.Sebagai kesimpulan dari pandangan ini, maka sebab terjadinya perkembangan
pengetahuan sederhana menjadi pengetahuan logikal adalah melalui tahapan-tahapan dalam
hukum eksprimental. Alhasil, konsep-konsep universal yang dihasilkan rasio tidak lain adalah
konsep-konsep particular yang samar, melalui ekperimental konsep-konsep particular yang
samar tersebut kemudian menjadi jelas, sehingga apa yang disebut dengan konsep universal
tidak lain adalah kosong atau hampa.

SANGGAHAN

Salah satu cara untuk menanggapi pandangan diatas ialah dengan menarik perhatian
mereka pada konsep-konsep yang sama sekali tidak mempunyai contoh-contoh nyata di alam
luaran semisal “tiada” atau “mustahil”. Jika seluruh penyemarataan pengetahuan haruslah
melalui metode eksprimental untuk menghasilkan konsep universal, bukankah konsep
mustahil tidak memiliki keberadaan di alam untuk dieksprimenkan, lalu dari mana
kesimpulan penyemarataan pengetahuan ini mengenai konsep kemustahilan. Begitu juga
contoh konsep universal warna yang partikularnya saling bertentangan satu sama lain, seperti
putih dan hitam adalah dua warna yang bertentangan padahal keduanya adalah sama-sama
warna. Dengan demikian, penyamarataan pengetahuan yang dilakukan oleh rasio tidaklah
melalui metode eksprimental dan melintas dari kuantitas menuju kualitas, karena itu hadirnya
pengetahuan mengenai konsep universal dalam proses penyemarataan pengetahuan didasari
oleh hukum-hukum logical pada rasio itu sendiri.

Penyemarataan pengetahuan yang dilakukan oleh rasio dilandasi oleh prinsip-prinsip


niscaya, misalnya setiap hal yang bertentangan tidak mungkin berkumpul menjadi satu.Hal
ini diungkapkan oleh ibn Dina dan Khajah Nashiruddin ath-Thusi, “pada setiap eksperimen
terdapat suatu qiyas (silogisme)yang tersembunyi, ”yakni terdapat suatu bentuk penggunaan
rasio dan penyimpulan langsung yang sama sekali tidak berlandaskan pada indera dan

18
eksperimen, dan itu adalah dasar pertama yang jelas (badihi, aksioma) serta yang terdapat
pada rasio manusia, dan disebut bil fitrah (secara fitrah). (bil fitah, bukan berartitelah ada
sejaklahir, tetapi artinya ialah pada saat berlansungnya aktivitas rasio, dimana rasio
mengambil energy dari indera, lalu dasar yang ada dalam diri manusia ini menjadi tumbuh
dan berkembang).10Itulah mengapa, orang tidak bisa memberikan kepastian sepenuhnya pada
suatu teori saintifik, kecuali kalau eksperimen tersebut meliputi semua objek yang mungkin
relevan dengan persolan yang sedang dibahas dan cukup luas serta tepat untuk
memungkinkannya menerapkan prinsip niscaya pada objek-objek yang mungkin tersebut
guna menetapkan suatu hasil sains yang tersatukan berdasarkan penerapan ini.11
Berarti antara eksperimental dan rasio (istiqra) tidak bertentangan seperti klaim para
filosof barat. Indikasi dari sini ialah bahwa rasio yang melakukan penyemarataan karena
eksperimental merupakan bagian induksi atau tuntutan rasio misalnya besi memuai jika
dipanaskan kemudian eksperimental membuktikan hal tersebut namun pertama kali secara
rasional sudah dipahami tanpa harus mempraktikkan seluruh besi memuai di alam.
Kesimpulannya, penginderaan berperan menyediakan landasan bagi pembentukan konsep-
konsep universal, sedasngkan akal memainkan peran utama dalam pembentukan semua
konsep universal.
Dengan demikian, berdasarkan dari seluruh penjelasan diatas, Persepsi oleh indera tidak
bisa dijadikan kesimpulan umum, pengertian tentang penyamarataan ingin menemukan
pengertian yang umum yang memungkinkan kita melakukan perluasan. Segala apa-apa bisa
disama ratakan dirasio dengan mengembangkan, menganalisis objek yang ada di fakta ini
disamakan pada posisi yang satu. Penyamaratan pengetahuan merupakan penyimpulan semua
tahapan epistemologi.

Bagan Struktur Penyemarataan Pengetahuan

Pengetahuan Deskripsi Contoh


Inderawi Hubungan langsung dengan realitas objektif Ruangan ini berbentuk
atau hubungan subjek dan objek terhadap empat persegi panjang
alam. Pengetahuan inderawi ini berkaitan pada
partikular realitas objektif, apa adanya yang
ditangkap oleh pengetahuan inderawi tanpa
10
Murthada Muthahhari, Pengantar Epistemologi Islam, (Shadra Press; Jakarta, 2010) hal. 155.
11
(Ayatullah Muhammad Baqir Shadr, terj. Arif Maulawi (RausyanFikr Institute; Yogyakarta, 2013) hal. 122.

19
perluasan sedikitpun, sesuai yang ditangkap
dalam panca indera,disamping itu
kebenarannya proses ini merupakan kebenaran
hakiki.
Pengetahuanrasio memperluas, memperlebar, Besi bila dipanaskan
dan mengembangkan apa – apa yang akan memuai.
Pengetahuan ditangkap oleh inderawi. Dalam pengetahuan
Logika (Rasio) logika ini terdapat bentuk aktifitas akal untuk
menciptakan perubahan pengetahuan dangkal
menjadi pengetahuan dalam.

5. Epistemologi Tanda
   Salah satu tugas penting dari rasio sebagai sumber, selain mampu menyingkap konsep-
konsep universal dengan memperluas pengetahuan sederhana yang didapatkan dari persepsi
inderawi, rasio juga mampu memperoleh pengetahuan melalui tanda yang disebut dengan
dimensi kelima rasio. Pengetahuan jenis ini disebut dengan epistemologi tanda yang hanya
dapat di pahami jika kita telah pahami epistemologi penyamarataan, yang mana alam yang
menjadi objek dan telah melalui proses penyamaratan itu kemudian menjadi tanda buat kita
untuk mengetahui pengetahuan metafisik
Dari alam di tangkap oleh inderawi lalu di teruskan ke rasio di sini merupakan proses
penyamarataan terjadi melihat segalanya satu esensi setelah mengalami penyamarataan di
kembalikan lagi ke alam, tapi bukan lagi sebagai alam yang pertama melihatnya alam disini
sudah berubah atau kita sebut sebagai alam dua yang di jadikan tanda. Tanda disini seperti
sebuah pengetahuan kita melihat relevansi antara apa yang dipikirkan dan realitasnya.
Pentingnya epistemologi tanda untuk menarik hal-hal yang ada pada ide kita untuk
dimasukan di alam untuk mencari kesempurnaan. Sesuatu objek yang didapat di alam dan
kemudian mengikat kita untuk menjadikan objek tersebut sebagai tanda dan juga objek yang
telah tersimpan pada rasio dua yang telah mempunyai nilai, yang mana mempunyai acuan
difakta yang kemudian objek itu menjadi epistemology tanda.
Tanda memberikan santiran dan rasio menilai, menurut alqur’an alam merupakan tanda
yang membentuk pengetahuan metafisik. Mimpi alam sadar dengan indera batin untuk
menghasilkan pengetahuan metafisik .dan sejarah merupakan tanda yang menghasilkan
pengetahuan.

Bagan Pembahasan Epistemologi Tanda

Epistemologi Tanda Desksipsi Contoh


Epistemologi tanda menarik hal – Pengetahuan Metafisika,
hal yang ada pada ide kita untuk sejarah,dan alam bawah
dimasukkan di alam untuk sadar.
mencari kesempurnaan sesuatu
objek yang didapat di alam dan

20
kemudian mengikat kita untuk
menjadikan objek tersebut sebagai
tanda dan juga objek yang telah
tersimpan pada rasio yang telah
mempunyai acuan di fakta yang
kemudian objek itu menjadi
epistemologi tanda yang
mengantarkan pengetahuan
manusia kepada ke pengetahuan
yang lain.

6. Pengetahuan Hakiki dan Neraca Kebenaran

Salah satu problem mendasar menyangkut pengetahuan hakiki ialah terkait dengan
pembuktian akan defenisi pengetahuan itu sendiri serta kesalahan pengetahuan. Di banyak
kalangan – pemikir – sebagian mendefenisikan pengetahuan hakiki sebagai kesesuaian
konsep mental dengan realitas, dan sebaliknya suatu kesalahan adalah ketidak sesuaian apa
yang di konsepsi oleh mental dengan apa yang terjadi di realitasnya. Selain pendapat ini,
kalangan (Barat) juga banyak berbeda pendapat terkait dengan pengetahuan hakiki.

Sejumlah defenisi lain terkait soal kebenaran atau pengetahuan hakiki, berpendapat
bahwa; pengetahuan yang benar adalah yang darinya dapat memberikan asas manfaat –
praktis – bagi manusia, kalangan ini meyakini bahwa apa yang manusia anggap benar harus
memberi nilai guna dalam kehidupannya, praktis material. Dan sebagai efek dari pendapat
ini, jika di tarik dalam sisi agama, maka akan melihat agama sebagai alat manusia dalam
kehidupan sehari-hari, yang terkait sisi material semata. Defenisi yang lain, apa yang telah
terbangun dalam suatu masyarakat, apa yang telah di sepakati oleh banyak orang. Contoh dari
defenisi ini bisa di lihat dari sejarah dunia eropa, selama seribu tahun setelah Ptolemaios, para
ahli astronot berkeyakinan bahwa bumi sebagai pusat alam, dan planet yang berjumlah
sembilan itu berputar mengililingi bumi.

Hal ini lah menjadi acuan, kebenaran dari pendapat yang beranggapan, bahwa kebenaran;
apa yang di sepakati oleh banyakan orang, karena kesepakatan di zaman (setelah
Ptolemaisos) kebenaran inilah yang di anutnya. Setelah di zaman, Copernicus dan Galileo
keyakinan akan di atas terbantahkan dengan menyatakan bahwa, bumilah yang mengililingi
matahari, tidak sebaliknya, matahari yang berputar mengeililngi bumi. Dengan berdasar
contoh ini, maka kebenarannya telah berubah menjadi kebenaran yang baru. Dengan kata
lain, sebelum dan setelah Copernicus dan Galileo merupakan kebenaran. Dan banyak lagi
yang mencoba mendefenisikan akan hakikat kebenaran, namun kita tidak berkepentingan
untuk membahasnya lebih jauh. Di sini kami bersependapat dengan defenisi kaum Ulama dan
filosof kuno Islam, yang menyatakan bahwa kebenaran adalah kesesuaian antara apa yang di
persepsi dengan objek persepsinya.

21
Apa yang di maksud dengan pengetahuan hakiki, jika kita mengacu pada kalangan ulama
dan filosof Islam, maka pengetahuan hakiki dan tidak hakikinya suatu pengetahuan ialah
kesesuain dan ketidak sesuaian antara konsep mental dengan objek mental. Namun, selain
dari hal tersebut, masalah yang mendasar dalam filosof Islam ialah bagaimana membuktikan
bahwa pengetahuan kita sesuai atau tidak dengan objek pengetahuan? Dan masalah ini
muncul dengan akibat adanya penengah antara subjek yang mengetahuai dengan objek yang
di ketahuai, sehingga di sini kita memahami bahwa objek pengetahuan dengan subjek yang
mengetahui itu berbeda, mengakibatkan adanya pemisah.

Dalam hal pembuktian pengetahuan hakiki – subjek yang terpisah dengan objek – menjadi
suatu pembahsan, yang di sebut sebagai perantaraan. Adapun terkait dengan subjek yang
mengetahui dengan objek pengetahuan yang tidak terpisah, adalah pembahasan di luar dari
kajian kali ini, di sini kami menfokuskan diri pembahasan; subjek dan objek yang terpisah
dengan perantaraan mental sebagai pembuktian kerespondensinya atau tidaknya subjek
dengan objek pengetahuan.

Selain terkait dengan pengetahuan hakiki, hal yang lain ialah kriteria atau neraca dari
suatu pengetahuan hakiki itu sendiri. Karena dalam hal ini juga menjadi permasalahan besar
dalam dunia pemikiran, karena disebabkan dua pandangan yang melihat ukuran dan kriteria
atau neraca pengetahuan hakiki adalah apa yang di klaim oleh kaum rasionalitas, ia
menyatakan ukuran atau neraca pengetahuan hakiki adalah “watak-dasar atau fitrah akal ”.
mereka menganggap semua proposisi yang di turunkan dengan benar dari proposisi swabukti,
yang pada dasarnya merupakan bagian-bagian kecilnya sebagai kebenaran atau hakiki. Dan
pengetahuan yang di ambil dari indrawi dan hasil pengalaman, hanya di anggap sahih sejauh
sudah di buktikan dengan dalil-dalil intelektual.

Selain dari pendapat di atas, terdapat pemahaman terkait dengan neraca pengetahuan.
Pendapat ini berkeyakinan bahwa sesuatu itu di katakan benar atau hakiki selama ia bisa di
buktikan dan dengan melalui pengalaman, dan bahkan sebagian lagi berpendapat bahwa ia
harus dapat di buktikan melalui pengalaman praktis. Dengan berdasar pandangan ini, tolak
ukur dan kriterianya hanya sebatas pada benda-benda kasat-mata dan perkara-perkara secara
praktis, sedangkan soal logika dan matimatika murni tidak akan bisa menggunakan neraca
atau tolak ukurannya.

Maksud dari neraca kebenaran itu sendiri adalah untuk membuktikan mana pengetahuan yang
benar atau valid dan mana pengetahuan yang salah. Salah satu tujuan dari neraca kebenaran
ini adalah untuk membuktikan bahwa ada pengetahuan yang bersifat niscaya. Oleh karena itu,
maka neraca kebenaran itu dibagi menjadi dua bagian:

a. Eksprimen adalah suatu pengetahuan yang melalui pengujian yang pada dasarnya untuk
membuktikan suatu kebenaran pengetahuan. Namun pengetahuan dalam pembuktian ini,
tidak bersifat niscaya tetapi bersifat kesebentaraanv(relatif), sebab neraca ini hanya terjadi
pada kondisi-kondisi tertentu. Oleh karena itu eksperimen merupakan salah satu indikator
pengujian atau pembuktian suatu kebenaran pengetahuan, akan tetapi eksperimen itu
sendiri bukan satu-satunya neraca kebenaran.

22
b. Rasio sebagai neraca kebenaran karena rasio pada satu sisi mampu menggeneralisasi,
mengabstraksi bahkan mengurai apa-apa yang dipersepsi secara indrawi. Disisi lain rasio
juga mempunyai kemampuan untuk menghasilkan (inovatif) pengetahuan baru yang
bersifat niscaya. Dengan perkataan lain rasio mampu menangkap hubungan dari berbagai
fenomena-fenomena yang terjadi di alam eksternal.

Dari pembahasan di atas, kita dapat mengambil sebuah kesimpulan yang di mana
pengetahuan hakiki dan neraca kebenaran tidak dapat dipisahkan, karena pengetahuan hakiki
yang biasa disebut dengan sebuah kebenaran, yakni korespondensi alam mental (ide) dengan
realitas eksternal, maka untuk membuktikan kebenaran (pengetahuan hakiki) kita harus
mengeksplorasikanya dengan dua cara sebagaimana neraca kebenaran tersebut; yakni, dengan
melakukan eksperimen dan dengan metode rasionalitas. Metode eksperimen ini hanya
sebagai pemicu atau penangkapan realitas eksternal untuk alam mental (jiwa yang
mempersepsi) yang berhubungan langsung dengan alam material, dan karena pengetahuan
dengan metode eksperimen hanya bersifat sementara, maka dengan metode ini saja tidak
cukup untuk membuktikan pengetahuan hakiki. karena itu dalam hal ini, kita secara
epistemologi tidak menolak metode eksperimen.

Berdasarkan penjelasan di atas, untuk membuktikan pengetahuan hakiki tidak hanya


menggunakan metode eksperimen saja, melainkan melanjutkan proses pembuktiannya
dengan metode rasional. Karena, metode rasional menggunakan rasio yang fungsinya mampu
menggeneralisasi, mengabstraksi bahkan mengurai apa-apa yang dipersepsi secara indrawi
(eksperimen). Dan disisi lain rasio mampu menghasilkan pengetahuan baru yang bersifat
niscaya, dengan menangkap hubungan antara fenomena-fenomena yang terjadi pada realitas
eksternal.

Bagan Pembahasan Pengetahuan Hakiki dan Neraca Kebenaran

Pengetahuan Deskripsi Karakteristik Contoh


Hakiki Korespondensi Subyek yang Konsep ada dan
(kesesuaian) antara mengetahui dan obyek fakta ada
pengetahuan (ide) yang diketahui

23
dengan realitas
(fakta)
 Eksperimen:  Relatif, berubah-  Logam yang
Neraca berubah dan bersifat dipanaskan
pengetahuan yang terbatas dan hanya akan memuai
bersifat empirik terjadi pada kondisi- sangat
atau inderawi kondisi tertentu bergantung
yang pada kepada syarat-
dasarnya selalu syaratnya.
bersandarkan
pada pengetahuan  Silogisme, yang
dan penelitian meyakini bahwa  Dua sesuatu
Neraca Kebenaran
 Rasio: seluruh ilmu yang dengan
Pengetahuan pengetahuan yang sesuatu yang
menjadi neraca ada di alam ini, ketiga, maka
bagi pengetahuan mesti berakhir pada ketiganya
yang lain suatu pengetahuan adalah sama.
yang pengetahuan
itu merupakan
sebuah landasan
asasi yantg
swabukti.

24

Anda mungkin juga menyukai