Anda di halaman 1dari 11

Samuji – Persoalan Epistemologi

PERSOALAN-PERSOALAN POKOK DALAM EPISTEMOLOGI


Samuji
Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) Ma’arif Magetan
(Mujis60@yahoo.co.id)

Abstrak
Epistemologi atau filsafat pengetahuan adalah cabang filsafat yang
mempelajari dan mencoba menentukan kodrat dan skope
pengetahuan, pengandaian-pengandaian dan dasarnya, serta
pertanggungjawaban atas pertanyaan menganai pengetahuan yang
dimiliki. Sikap skeptis mengawali munculnya epistemologi.
Sebelum Plato, Demokritus dan para filusuf yunani telah
membedakan antara sifat-sifat yang benar-benar melekat pada
benda, misalnya ukuran dan bentuk, dari sifat-sifat yang
merupakan buah darri persetujuan manusia atau sebagai hasil budi,
misalnya warna. Tetapi Platolah yang dapat dikatakan sebagai
pencetus epistemologi, karena dia mencoba mengeloah masalah-
masalah dasar ; Apa itu pengetahuan? Dimanakah umumnya
pengetahuan ditemukan? Dan sejauhmanakah apa yang biasanya
kita anggap sebagai pengetahuan benar-benar merupakan
pengetahuan? Apakah indra memberi pengetahuan? Dapatkah Budi
memberi pengetahuan? Apakah hubunngan antara pengetahuan dan
keyakinan yang benar.
Persoalan-persoalan itulah yang antara lain digulati oleh
epistemologi. Dalam artikel ini dikupas mengenai persoalan-
persoalan pokok dalam Epistemologi diantaranya : (1) Soal
Pengetahuan; Kekaguman sebagai awal munculnya Epistemologi,
(2) Soal Common Sense (Anggapan Umum/Akal Sehat), (3)
Skeptisisme, (4) Aspek Eksistensial, (5) Analogi Pengetahuan dan
(6) Methode di dalam Epistemologi.
Kata kunci: Persoalan, Pokok, Epistemologi

Volume 7. Nomor 1 , April 2019 | ISSN 2406-9787 | 29


Samuji – Persoalan Epistemologi
A. Soal Pengetahuan; Kekaguman sebagai awal munculnya
Epistemologi
Aristoteles mengawali metafisikanya dengan pertanyaaan
“setiap manusia dari kodratnya ingin tahu”. Ia begitu yakin mengenai
hal itu, sehingga dorongan untuk tahu itu tidak dapat disadari tetapi
benar-benar diwujudkan dalam karyanya sendiri. Bukannya tanpa
alasan bahwa dia disebut “master” dari mereka yang tahu.
Akan tetapi generasi sebelumnya, Socrates telah meniti karir
filosofisnya sendiri berdasarkan pada suatu dasar yang agak berbeda,
yaitu keyakinan bahwa tak seorang manusia pun yang mempunyai
pengetahuan. Pernyataan membuat Delphi bahwa : Tidak ada manusia
hidup yang lebih bijaksana dari pada Socrates”. Diinterprestasikan
sebagai berikut : Tidak ada manusia yang mempunyai pengetahuan,
tetapi sementara orang-orang lain mengira bahwa mereka mempunyai
pengetahuan, Socrates sendiri yang tahu bahwa dia tidak tahu.
Sepintas terlihat dua pandangan yang saling bertentangan
mengenai keadaan manusia, disatu pihak, suatu afirmasi atau penegasan
atas keinginan umum untuk tahu dan keinginan itu dapat diwujudkan.
Dilain pihak, suatu pernyataan menengaskan mengenai ketidaktahuan
umum sebagai kenyataan kodrati manusia. Namun kita bisa
menemukan titik temuu antara keduanya. Dari sudut pandang itu dapat
dikatakan bahwa filsafat pengetahuan sama luasnya dengan filsafat.
Usaha menyelidikan dan mengungkapkan kenyataan selalu seiring
dengan usaha untuk menentukan apa yang saya ketahui dibidang
tertentu. Filsafat terutama merupakan refleksi. Dan refleksi selalu

30 | JURNAL PARADIGMA
Samuji – Persoalan Epistemologi
bersifat kritis. Maka saya tidak mungkin mempunyai suatu metafisika
yang tidak sekaligus merupakan epistemeologi dari metafisika, atau
psikologi yang tidak sekaligus epistemologi dari psikologi atau bahkan
suatu sains yang bukan epistemologi dari sains.
Dalam pengertian lain, terdapat pokok tertentu yang menjadi
objek epistemologi sendiri sebagai suatu manifestasi dari penyelidikan
filosofis. Dalam pengertian ini, usaha Decrastes benar-benar membuka
suatu zaman yang sama sekali baru di dalam pemikiran. Sebab usaha
Descrates ini merintis tahap dimana kekaguman filosofis sendirilah
yang dijadikan objek penyelidikannya. Dari sekedar mengagumi
kenyataan perubahan atau waktu atau diri, filsafat mengagumi penge-
tahu-an sendiri. Pertanyaan manusia kembali kepada dirinya sendiri.
Zaman baru mulai sewaktu Descrates menjadikan usahanya untuk
mengetahui sendiri sebagai objek penyelidikan lebih lanjut: Bagaimana
saya tahu bahwa saya dapat tahu? Apa hak saya untuk bertanya?
Mungkin rasa kekagumanku tidak mempunyai hak untuk ada –
mungkin tidak ada gunanya, dan saya selamanya tertutup dari
kenyataan yang saya usahakan untuk saya pahami. Dengan pernyataan
ini, Filsafat dianggap telah sampai kepada penguasaan terhadap esensi
dirinya, sebab akan jelas bahwa ia tidak bisa bergerak maju lagi.
Pada zaman Yunani dan abad pertengahan, budi telah terentang
melewaati bidang pengandaian atas objek menuju kepada yang benar-
benar nyata (the really real). Bersama Descrates dan filosuf-filosuf
modern, budi berusaha untuk mengatasi pengandaian yang mungkin
menjadi bagian dari budi sendiri, sehingga sinar yang sangat terang bisa

Volume 7. Nomor 1 , April 2019 | ISSN 2406-9787 | 31


Samuji – Persoalan Epistemologi
memancarkan diri. Pada tingkat ini masalah umum dari pengetahuan
muncul sebagai objek kesibukannya sendiri: pengetahuan menjadi
problematik bagi dirinya sendiri.

B. Soal Common Sense ( Anggapan Umum / Akal Sehat


Secara Historis gerakan pemikiran reflektif yang memuncak di
dalam munculnya masalah pengetahuan secara terpisah dapat di telusuri
secara analitis.pada tahap awal dari proses historis dan analitis
merupakan keadaan dimana anggapan umum (comomon sense)
menemukan dirinya. Orang pada umumnya menyadari diri memiliki
sejumlah pengetahuan, yang dianggapnya pasti dan tidak boleh di
anggap remeh. Maritain tentu saja benar ketika dia menyatakan bahwa
perbendaharaan anggapan umum (common sense) ini merupakan
campuran, yang terdiri pada tingkatan tertentu dari”insight-insight”
utama sebagai prinsip non-kontradiksi, melalui banyak keyakinan yang
lebih meragukan, sampai kepada suatu kumpulan pengetahuanmengenai
hal-hal yang remeh. Secara umum pengetahuan dari macam-macam
tingkat tersebut mempunyai pokok-pokok pengetahuah yang di anggap
sebagai tujuan akhir dari pikiran pemiliknya.
Anggapan umum benar-benar sadar bahwa seoran sering tertipu,
bahwa kesalahan mungkin terjadi. Ilusi optis, kesalahan dalam
menentukan jarak atau warna , halusinasi, dst., merupakan hal yang
umum terjadi, tetepi anggapan umum tidak menggunakan keyakinan-
kenyakinan salah ini dengan menyelidikinya untuk mempertanyakan
kedudukandari keyakinan-kenyakinannya yang benar.

32 | JURNAL PARADIGMA
Samuji – Persoalan Epistemologi
Itulah sebabnya mengapa orang moderen tidak begitu merasa
teneng untuk tetap tinggal didalam sikap anggapan umum ini. Sebab
penemuan sains tidak mau di damaikan dengan keyakinan- kenyakinan
mengenai kenyataan daridunia harian. Sekali dia belajar dari sains
bahwa dunia terdiri dari sekumpulan atom, ia mau tidak mau
mempertanyakan mengapa dunia ini bisa cocok dengan gambaranya
sendiri. Ia melihat warna,mendengar suara, merasa hangat dan dingin
tetaoi rupanya di semesta yang diselidiki sains hal-hal itu tidak ada.
Mau tidak mau dia menjadi heran dan mulai mempertanyakan keadaan
benda-benda yang dipersepsikanya. Apakah persepsi-persepsinya itu
berada di dalam kepalanya sebagai suatu semesta yang bersifat privat,
yang sangat berbeda dengan keadaan senyatanya?
Begitu perbedaan antarakesan dan kenyataan tertanamkan
didalam kesadaran, maka kesadaran tidak berhenti pada kesulitan-
kesulitan faktual. Sebab di dalam menangkap perbedaan ini, kesadaran
menangkap dirinya sebagai subjek yang berada dari objek
pengetahuanya, dan kemudian terjerumus kedalam seluruh kesulitan
mendasar mengenai bagaimana mungkin dia bisa yakin bahwa dirinya
telah mencapai objek sebenarnya dan bukan objek menurut
anggapanya. Kalau pengetahuan bermaksud memahami benda
sebagaimana adanya, bagaimana kita tahu bahwa kita telah
mencapainya sebagai mana adanya? Bagai mana saya tahu bahwa saya
tidak seluruhnya terbatas pada kesan-kesan , dan bahwa ada sesuatu
yang sama sekali mengatai kesan?

Volume 7. Nomor 1 , April 2019 | ISSN 2406-9787 | 33


Samuji – Persoalan Epistemologi
Di sinilah epistemologi bukan hanya mungkin tetapi mutlak
perlu. Suatu pikiran yang telah mencapai tingkat refleksi tidak dapat
dipuaskan dengan kembali kepada jaminan- jaminan anggapan umum,
tetapi justru semakin mendesak maju ketingkat yang baru. Kepastian
yang skarang yang dicari oleh epistemologi di mungkinkan oleh suatu
keraguan. Terhadap keraguan ini epistemologi merupakan obatnya.
Maka epistemologi pada dasarnya bersifat reflektif. Setiap anggapan
umum dapat di jadikan pertanyaan reflektif. Bila epistemologi berhasil
mengusir keraguan ini, kita mungkin menemukan kepastian reflektif
yang lebih pantas dianggap sebagai pengetahuan.
C. Skeptisme
Keberatan yang biasanya diajukan pada tahap ini adalah bahwa
di dalam pelaksanaannya epistemologi dianggap mengusulkan suatu
tujuan khayal bagi dirinya sendiri. Sebab, bila kita harus
mendemonstrasikan validitas pengetahun kita, berarti kita telah
menggunakan pengetahuan kita dan akibatnya telah mengandaikan
validitasnya.
Maka, beberapa pemikiran seperti Etienne Gilson beranggapan
bahwa tidak ada masalah mengenai pengetahuan, sebab pertanyaan
kritis tidak dapat diajukan secara konsisten: bagi mereka realisme
adalah suatu pengandaian pemikiran yang bersifat absolut, dan setiap
usaha untuk membenarkan realisme telah memberikan konsesi atau
menyerah. Bagi mereka, pengertian menempatkan kita pada posisi yang
bersentuha dengan kenyataan , dan hal ini merupakan akhir semua
jawaban.

34 | JURNAL PARADIGMA
Samuji – Persoalan Epistemologi
Terhadap keberatan ini ada beberapa jawaban. Kita bisa
mengakui segi positif yang terdapat di dalam keberatan tersebut. Apa
yang di tekankan ialah kelekatan tanpa syarat antara pikiran dan
kenyataan, dan hal ini tentu saja perlu ditekankan. Adanya pengetahuan
merupakan suatu hal yang pokok dan tak dapat direduksikan . pikiran
ada, dan adanya pikiran merupakan kesaksian bagi dirinya sendiri
mengenai keteerbukaanya terhadap ada. Tidak ada keraguan atau
penyangkalan terhadap keterbukaan ini yang dapat di pertahankan.
Itulah sebabnya posisi dari seorang skeptik absolut merupakan
hal yang paling rapuh di dalam seluruh bidang filsafat. Menurut
seorang skeptik absolut, pikiran manusia tidak dapat mencapai
kebenaran objektif. Namun, sayang bagi orang itu, sebab justru
usahanya untuk menyatakan kenyakinanaya sendiri melibatkan
penyangkalan terhadap kenyakinan itu. Sebab sesungguhnya ia
berpendapat bahwa sekurang-kurangnya ada satu pertimbangan yang
pasti benar secara objektif, yaitu pertimbanganya. Menurutnya, secara
objektif manusia tidak dapat mengetahui kebenaran objektif; ia yakin
bahwa dia tidak dapat yakin. Kedudukan skeptik merupakan
penyangkalan diri dan secara harfiah telah terbukti sepenuhnya absurd.
Betapa pun si skeptif berkelit, ia tidak dapat menyangkal secara
emplisif. Misalnya ia merasa puas dengan meragukan apakah pikiran
kita bisa menyentuh kenyaataan. Toh ia tidak dapat menghindar dari
sikap inkonsisten, sebab keraguannnya ini bukan budi yang
ditemukannya begitu saja. . .

Volume 7. Nomor 1 , April 2019 | ISSN 2406-9787 | 35


Samuji – Persoalan Epistemologi
D. Aspek Eksistensial
Menurut pendapat Maritain tujuan epistimologi bukanlah
terutama untuk menjawab pertanyaan apakah saya dapat tahu, tetapi
untuk menemukan syarat-syarat yang memungkinkan saya dapat tahu,
jangkauan dan batas-batas pengetahuan saya. Pernyataan ini merupakan
definisi memadai dari tujuan dan jangkauan filsafat pengetahuan dan
tidak melibatkan kita pada ketidak konsistenan. Dalam hal ini
epistimologi tidak menyatakan hak saya untuk menyaatakan sesuatu,
tetapi membuat peta dan melukiskan jangkauan hak itu.
Namun Epistemologi tidak boleh dibatasi untuk berhenti disini,
seperti yang dikehendaki Martin itu. Memang ada benarnya pernyataan
bahwa realisme merupakan pengandaian pikiran dan tidak dapat
dipertanyakan terus menerus. Tetapi juga ada sesuatu yang lebih berarti
di dalam kenyataan bahwa manusia telah memikirkan kemungkinan
untuk menanyakan “yang tak tertanyakan” ini. Kemungkinan positif
yang bisa dipetik dari skiptissisme ialah menjawab pertanyaan
bagaimana manusia bisa mengetahui.
Keprihatinan dari eksistensi manusia terletak di dalam
perjuangnya untuk melewati ketiadaan di dalam dirinya dan untuk
menegakkan dirinya didalam keberadaan yang teguh. Demikian juga
perjuangannyauntuk menegakkan dirinya di dalam kepastian yang tak
tergoyahkan. Maksudnya ialah bahwa epistemologi harus mulai dengan
penngakuuan kember ;npengetahuan manusia ada, tetapi keberadaannya
di bawah syarat-syarat dari eksistensi manusia.

36 | JURNAL PARADIGMA
Samuji – Persoalan Epistemologi
E. Analogi Pengetahuan
Kita bicara mengenai apa arti mengetahui? Yang jelas tidak ada
pertanyaan mengenai definisi pengetahuan, sebab mendefinisikan
sesuatu berarti meletakkan sesuatu di dalam istilah-istilah lain yang
lebih dimengerti. Hal ini tidak mungkin karena “pengetahuan” adalah
“sui generis” artinya berhubungan dengan apa yang paling sederhana
dan paling mendasar. Sebab mengetahui merupakan peristiwa yang
paling dasar dan tidak dapat direduksikan, tidak dapat dijelaskan
dengan istilah yang lebih dasar dari padanya. Sinonim seperti
“kesadaran” berguna untuk maksud penjelasan tetapi tidak dapat
menghantarkan kita cukup jauh. Apa yang diperlukan adalah
menunjukkan jangkauan yang mungkin dimiliki kata ini, sebab hal ini
akan menghindarkan kita dari usaha mengidentikkan pengetahuan
dengan suatu bentuk pengetahuan khusus.
Kita bicara mengenai “mengetahui caranya” melakukan sesuatu;
“mengetahui bahwa” kenyataan tertentu benar; dan “mengetahui”
karena kenal. Penggunaan umum ini hanya mulai menunjukkan
beragamnya kemungkinan arti dari kata “mengetahui”.
Banyak pihak akhirnya memutuskan bahwa hanya jenis
pengetahuan tertentu “benar-benar” pantas disebut pengetahuan. Inilah
yang dilakukan Bertrand Russel sewaktu ia mengkhususkaan kata ini
untuk jenis pengetahuan yang dimiliki para saintis, sementara jenis
pengetahuan yang lain hanya dianggap sebagai mendekati kkedudukan
“ilmiah” ini. Memang betul bahwa menganggap pengetahuan kita
mengenai manusia berbeda dari pengetahuan kita menganai hal lain

Volume 7. Nomor 1 , April 2019 | ISSN 2406-9787 | 37


Samuji – Persoalan Epistemologi
adalah sesuatu yang kurang memuaskan bagi saintis yang cenderung
memperlakukan manusia dan objek ilmiah sebagai penganda univok.
Saintis mengira bahwa bisa ditemukan dasar-dasar yang dapat
ditemukan oleh pengamat netral untuk menerangkan setiap kenyataan,
namun perkiraan ini merupakan perkiraan yang tanpa dasar.

F. Methode di dalam Epistemologi


Menurut filusuf Skolatif untuk melihat pengkajian pengetahuan
hanya di dalam penafsiran pernyataan bisa salah arah. Kesesusian
terletak di dalam kenyataan bahwa anggapan mengenai “pengetahuan”
dihubungkan secara erat dengan kenyataan dari pernyataan atau
penyangkalan.kita mungkin merasa bahwa kita hanya benar-benar tahu
mengenai apa yang dapat kita nyatakan; dan persoalan mengenai
kebenaaran hanya muncul dalam kaitannya dengan pertimbangan yang
kita pakai untuk menyatakan bahwa situasi peristiwa tertentu ternyata
baik didalam kenyataan.
Perlu diingat bahwa apa yang dikatakan disini masih bersifat
sementara. Pada tahap ini barulah merupakan antisipasi yang masih
perlu ditelaah dengan kritis lebih lanjut. Tentu saja beralasan untuk
menganggap bahwa pertimbangan mempunyai kedudukan khusus di
dalam pengetahuan manusia. Dan memang selayaknyalah kalau
epistemologi memberi perhatian khusus kepadanya. Tetapi hal itu harus
dilihat dalam kerangka persosalan evidensi. Selanjutnya pertimbangan
tidak boleh dilihat hanya dengan cara ahli logika atau ahli tata bahasa
melihanya. Pertimbangan merupakan ungkapan dari asimillasi diri atas

38 | JURNAL PARADIGMA
Samuji – Persoalan Epistemologi
kenyataan. Pertimbangan tidak boleh dipisahkan dari seluruh
dinamisme subjek yang menangkap pernyataan diri.
Persoalan methode ini merupakan pokok terakhir pendhuluan
dan tidak boleh terlalu detil. Filsafat pengetahuan, sebagai usaha untuk
menafsirkan nilai kognitif pengalaman, tidak boleh terlalu dibebani oleh
masalah-masalah terminologi teknis atau oleh pengandaian-
pengandaian suatu sistem filosofis tertentu. Epistemologi harus
menatap pengalaman selangsung mungkin dan harus menggunakan
bahasa sehari-hari.

Daftar Pustaka

Bakry, Hasbullah.1992. Sistematik Filsafat. Cet. IX; Jakarta: Penerbit


Wijaya.
Gie, The Liang. 2007. Pengantar Filsafat Ilmu. Liberty, Yogyakarta.
Hadi Hardono,1994. Epistemologi (Filsafat Pengetahuan) Kanisius,
Yogyakarta.
Mustofa.A. 2007 Fislasat Islam. Bandung : pustaka setia.
Mundiri, H. 2008. Logika. Raja Grafindo Persada, Jakarta.
Poespoprodjo, W. 1999 Logika Scientifika: Pengantar Dialektika dan Ilmu.
Cet. I; Bandung: Pustaka Grafika.

Volume 7. Nomor 1 , April 2019 | ISSN 2406-9787 | 39

Anda mungkin juga menyukai