TUJUAN
1. untuk memenuhi tugas mata kuliah dasar dasar sains
2. untuk mengetahuai sumber sumber ilmu pengetahuan alam serta berbagai
macam paradigma dalama ilmu pengetahuan
3. untuk mengetahui cara berinteraksi manusia dan alam
4. untuk mengetahuai berbagai cara berfikir ilmiah manusia
5. untuk mengetahui sikap manusia sebagai pengamat yang berfikir
PENDAHULUAN
a. Idialisme
Idialisme adalah suatu aliran yang mengajarkan bahwa hakikat fisik hanya
dapat dipahami dalam kaitannya dengan jiwa dan roh. Istilah idialisme
dipahami dari kata idea yaitu sesuatu yang hadir dalam jiwa.Idialisme atau
nasionalisme menitik beratkan pada pentingnya peranan ide, kategori atau
bentuk-bentuk yang terdapat pada akal sebagai sumber ilmu pengetahuan.
Plato (427-347 M), seorang bidan bagi lahirnya janin idialisme ini,
menegaskan bahwa hasil pengamatan inderawi tidak dapat memberikan
pengetahuan yang kokoh karena sifatnya yang selalu berubah-ubah. Sesuatu
yang berubah-ubah tidak dapat dipercayai kebenarannya. Karena itu suatu ilmu
pengetahuan agar dapat memberikan kebenaran yang kokoh, maka ia mesti
bersumber dari hasil pengamatan yang tepat dan tidak berubah-ubah. Hail
pengamatan yang seperti ini hanya bisa datang dari suatu alam yang tetap dan
kekal. Alam seperti inilah yang disebut oleh guru Aristoteles itu sebagai :alam
ide”, suatu alam dimana manusia sebelum ialahir telah mendapatkan ide
bawaannya. Dengan ide bawaan ini manusia dapat mengenal dan memahami
segala sesuatu sehingga lahirlah ilmu pengetahuan. Orang tinggal mengingat
kembali saja ide ide bawaan itu jika ia ingin memahami segala sesuatu. Karena
itu, Plato alam ide inilah alam realitas, sedangkan yang tampak dalam wujud
nyata alam inderawi bukanlah alam yang sesungguhnya.
b. Empirisme
Kata ini berasal dari kata Yunani empeirisko ,artinya pengalaman.
Menurut aliran ini manusia memperoleh pengetahuan melalui pengalamannya.
Dan bila dikembalikan kepada kata Yunaninya, pengalaman yang dimaksud
adalah pengalaman inderawi. Pengetahuan inderawi bersifat parsial . Itu
disebabkan oleh adanya perbedaan antara indera yang satu dengan yang
lainnya, berhubungan dengan sifat khas fisiologis indera dan dengan objek
yang dapat ditangkap sesuai dengannya. Masing-masing indera menangkap
aspek yang berbeda mengenai barang atau makhluk yang menjadi objeknya.
Jadi pengetahuan inderawi berada menurut perbedaan indera dan terbatas pada
sensibilitas organ-organ tertentu.
John Locke(1632-1704), bapak empiris Britania mengemukakan teori
tabula rasa (sejenis buku catatan kosong). Maksudnya ialah bahwa manusia itu
pada mulanya kosong dari pengetahuan, lantas pengalamannya mengisi jiwa
yang kosong itu, lantas ia memiliki pengetahuan. Mula-mula tangkapan indera
yang masuk itu sederhana, lama-kelamaan menjadi kompleks, lalu tersusunlah
pengetahuan berarti. Jadi, bagaimanapun kompleks pengetahuan manusia, ia
selalu dapat dicari ujungnya pada pengalaman indera. Sesuatu yang tidak dapat
diamati dengan indera bukanlah pengetahuan yang benar. Jadi, pengalaman
indera itulah sumber pengetahuan yang benar. David Hume, salah satu tokoh
empirisme mengatakan bahwa manusia tidak membawa pengetahuan bawaan
dalam hidupnya. Sumber pengetahuan adalah pengamatan. Pengamatan
memberikan dua hal, yaitu:
1) Kesan-kesan (impression)
Yang dimaksud kesan-kesan adalah pengamatan langsung yang diterima
dari pengalaman, seperti merasakan tangan terbakar.
2) Ide-ide(ideas)
Yang dimaksud dengan ide adalah gambaran tentang pengamatan yang
samar-samar yang dihasilkan dengan merenungkan kembali atau
terefleksikan dalam kesan-kesan yang diterima dari pengalaman. Jadi,
gejala-gejala alamiah menurut anggapan kaum empiris adalah bersifat
konkret dan dapat dinyatakan lewat pancaindera.
d. Kritisisme
Immanul Kant adalah peletak dasar dari aliran kritisisme. Dalam arti luas,
kritisisme merupakan sebuah epistemologi yang menempatkan akal budi sebagai
nilai yang amat tinggi tetapi akal budi memiliki keterbatasan. Oleh karena itu
Kant mencoba mendamaikan rasionalisme dengan empirisme dengan berpendapat
bahwa pengetahuan bersifat sintesis. Pengetahuan inderawi atau empirisme
merupakan sintesis dari pengamatan ruang dan waktu. Kemudian pengetahuan
akal merupakan sintesis pengetahuan. Implikasinya yang dihasilkan bukanlah
pengetahuan das ding an sich, untuk itu rasio dan akal budi memberi arah kepada
akal ketika tidak mampu mengetahuinya. Kant menyebutnya sebagai idealisme
transdental atau idealiseme kritis (Hadiwiyono, 1980, 2; 63-82).
e. Positivisme
Abad ke-19 dapat diakatakan sebagai abad positivisme – dengan tokohnya
Auguste Comte (1798-1857), karena pengaruh aliran ini demikian kuatnya dalam
dunia modern. Filsafat menjadi praktis bagi tingkah laku manusia sehingga tidak
lagi memandang penting berfikir yang bersifat abstrak (Wibisono, 1996;1).
Positivisme kata kuncinya terletak pada kata positif itu sendiri yaitu lawan
dari kahayal, merupakan sesuatu yang riil dan objek penyelidikannya didasarkan
pada kemampuan akal (Wibisono, 1996; 37). Kata positif juga lawan dari sesuatu
yang tidak bermanfaat dan disinilah terjadi progress (kemajuan). Positif juga
berarti jelas dan tepat. Disinilah diperlukan filsafat yang mampu memberi atau
mebeberkan fenomena dengan tepat dan jelas. Positif juga lawan dari kata negatif
dan ada keterkaitan selalu dengan masalah yang menuju kepada penataan atau
penertiban.
Penggolongan ilmu pengetahuan oleh Comte didasarkan kepada sejarah
ilmu itu sendiri yang menunjuk adanya gejala yang umum yang mempunyai sifat
sederhana menuju kepada gejala yang kompleks dan semakin konkret. Ilmu-ilmu
yang dimaksud adalah ilmu pasti (matematika) dan secara berturut-turut
astronomi, fisika, kimia, biologi, dan akhirnya fisika sosial atau sosiologi
(Wibisono, 1996; 25). Penggolongan tersbut mensyaratkan adanya perkembangan
ilmu yang lambat dan cepat. Yang paling cepat perkembangannya adalah yang
sederhana dan umum objeknya. Dan ada yang paling lambat perkembangannya
adalah yang paling kompleks objek permasalahannya, misalnya fisika sosial.
Sejarah manusia berkembang menurut tiga tahap yaitu tahap teologi atau
fiktif, tahap metafisik atau abstrak, dan tahap positif atau riil (Wibisono, 1996;
11). Tahap teologi atau fiktif merupakan tahap dimana manusia menggambarkan
fenomena alam sebagai produk dari tindakan langsung, hal yang berifat
supranatural. Pada tahap ini manusia mencari dan menemukan sebab yang
pertama dan tujuan akhir segala sesuatu yang ada dengan selalu
mengkontekstualisasikan dengan hal yang sifatnya mutlak.
Tahap metafisik merupakan tahap dimana kekuatan-kekuatan supranatural
digantikan oleh kekuatan yang bersifat abstrak, yang dipercaya mampu
mengungkapkan rahasia fenomena yang dapat diamati. Dogma-dogma telah
ditinggalkan dan kemampuan akal budi manusia dikembangkan secara maksimal
sehingga kekuatan yang bersifat magis digantikan dengan analisis berfikir untuk
membedakan yang natural dan supranatural, yang fisik dan metafisik sehingga
manusia berperan sebagai subjek yang berjarak dengan objek. Comte
menggambarkan sebagai tahap perkembangan manusia dari sifat ketergantungan
menuju sifat mandiri atau dewasa. Tahap ini merupakan masa peralihan yang
penuh konflik dan merupakan tahap yang menentukan menuju tahap positivisme.
Tahap ketiga adalah postivisme yaitu orang mulai menoleh, mencari
sebab-sebab terakhir dari kejadian alam, kemudian berubah kepada penemuan
hukum-hukum yang menyelimuti dengan menggunakan pengamatan dan
pemikiran. Tahap ini merupakan tahap science dengan tugas pokok memprediksi
fenomena alam dalam rangka memanfaatkannya. Manusia telah sampai pada
pengetahuan yang positif yang dapat dicapai melalui observasi, eksperimen,
komparasi dan hukum-hukum umum. Pengetahuan yang demikian menunjuk pada
pengetahuan yang pasti, riil, jelas dan bermanfaat.
Comte dengan ilmu pengetahuan positifnya, yang pada tahap akhir
perkembangan akal budi manusia menjadi pedoman hidup dan landasan kultural,
institusional dan kenegaraan untuk menuju masyarakat yang maju dan tertib,
merdeka dan sejahtera. Bangunan ilmu pengetahuan positif itu adalah sebagai
berikut.
Asumsi pertama, ilmu pengetahuan harus bersifat objektif (bebas nilai dan
netral). Objektivitas pengetahuan berlangsung dari dua pihak, pihak subjek dan
objek. Pada pihak subjek seorang ilmuwan tidak boleh membiarkan dirinya
dipengaruhi oleh faktor-faktor yang berasal dari dalam dirinya sendiri misalnya
sentimen, penilaian etnis, kepentingan pribadi atau kelompok, kepercayaan
agama, filsafat dan lain sebagainya yang bisa mempengaruhi objektivitas dari
objek yang sedang diamati. Pada pihak objek, aspek-aspek dan dimensi-dimensi
lain yang tidak bisa diukur dalam observasi misalnya roh atau jiwa, tidak dapat
ditolerir keberadannya. Laporan atau teori-teori ilmiah hanya menjelaskan fakta-
fakta dan kejadian-kejadian yang dapat diobservasi saja.
Asumsi kedua, ilmu pengetahuan hanya berurusan dengan hal-hal yang
berulangkali terjadi. Andaikata ilmu pengetahuan hanya diarahkan kepada hal-hal
unik, yang hanya sekali saja terjadi, maka pengetahuan itu tidak dapat membantu
kita untuk meramalkan atau memastikan hal-hal yang akan terjadi. Padahal
ramalan atau prediksi merupakan suatu tujuan terpenting ilmu pengetahuan.
Asumsi ketiga, ilmu pengetahuan menyoroti setiap fenomena atau
kejadian alam dari saling ketergantungan antar hubungannya dengan fenomena-
fenomena lain. Mereka diandaikan saling berhubungan satu sama lain dan
membentuk suatu sistem yang bersifat mekanis. Perhatian ilmuwan bukan
diarahkan kepada hakekat dari gejala-gejala melainkan pada relasi-relasi luar
khususnya relasi sebab akibat, antara benda-benda, gejala-gejala atau kejadian-
kejadian.
Usaha Comte untuk merumuskan suatu ilmu pengetahuan yang bersifat
positif, objektif, ilmiah, dan universal pada akhirnya membawa dirinya pada ilmu
pasti, dan studinya yang mendalam tentang hal ini mendorong dia pada
kesimpulan bahwa ilmu pasti mempunyai tingkat kebenaran yang tertinggi, bebas
dari penilaian-penilaian subjektif dan berlaku universal. Oleh sebab itu suatu
penjelasan tentang fenomena tanpa disertai dengan pertimbangan ilmu pasti
(matematika dan statistika) adalah non-sense belaka. Tanpa ilmu pasti ilmu
pengetahuan akan kembali menjadi metafisika.
Alam ini merupakan sumber pengetahuan yang terbuka luas bagi setiap manusia.
Alam yang memiliki hukum yang pasti dan konstan akan membentuk pengetahuan
manusia. Karena hukum alam itulah manusia secara bertahap dapat mengendalikan alam
dan mengadakan perkembangan melalui eksperimen dan riset secara berulang. Berbagai
persoalan yang berkaitan dengan struktur, kondisi dan kualitas alam, secara bertahap
dapat dikuasai dan diatasi manusia.
Hukum alam dan Al-Qur’an bersumber dari sumber yang sama, yakni Allah
SWT. Oleh karena itu, alam mempunyai kaitan erat dengan ayat-ayat Al-Qur’an. Diantara
kaitan tersebut, Al-Qur’an memberikan informasi tentang keadaan alam pada masa yang
akan datang. Yang belum bisa diramalkan oleh ilmu pengetahuan. Al-Qur’an juga
memberikan informasi peristiwa masa lampau yanghanya diketahui oleh kalangan yang
sangat terbatas. Terkadang Al-Qur’an mempertegas penemuan para ahli para ahli dan
terkadang memberi isyarat untuk dilakukan penyelidikan secara akurat, Al-Qur’an juga
memberikan motivasi kepada para ilmuwan untuk melakukan kajian atau pembahasan
suatu persoalan dan memerintahkan agar mendiamkannya ( tawakuf ) serta menyerahkan
segala urusan kepada Allah SWT. Ilmu pengetahuan yang diperoleh melalui kajian dan
penelitian terhadap alam ini pada akhirnya akan menunjukkan kebesaran Yang Maha
Pencipta, yaitu Allah SWT.
Berfikir dan pengetahuan merupakan dua hal yang menjadi ciri keutamaan
manusia, tanpa pengetahuan manusia akan sulit berfikir dan tanpa berfikir
pengetahuan lebih lanjut tidak mungkin dapat dicapai, oleh karena itu nampaknya
berfikir dan pengetahuan mempunyai hubungan yang sifatnya siklikal.
Gerak sirkuler antara berfikir dan pengetahuan akan terus membesar mengingat
pengetahuan pada dasarnya bersifat akumulatit, semakin banyak pengetahuan
yang dimiliki seseorang semakin rumit aktivitas berfikir, demikian juga semakin
rumit aktivitas berfikir semakin kaya akumulasi pengetahuan. Semakin akumulatif
pengetahuan manusia semakin rumit, namun semakin memungkinkan untuk
melihat pola umum serta mensistimatisirnya dalam suatu kerangka tertentu,
sehingga lahirlah pengetahuan ilmiah (ilmu), disamping itu terdapat pula orang-
orang yang tidak hanya puas dengan mengetahui, mereka ini mencoba
memikirkan hakekat dan kebenaran yang diketahuinya secara radikal dan
mendalam, maka lahirlah pengetahuan filsafat, oleh karena itu berfikir dan
pengetahuan dilihat dari ciri prosesnya dapat dibagi ke dalam :
Berfikir biasa dan sederhana menghasilkan pengetahuan biasa (pengetahuan
eksistensial)
Berfikir sistematis faktual tentang objek tertentu menghasilkan pengetahuan
ilmiah (ilmu)
Berfikir radikal tentang hakekat sesuatu menghasilkan pengetahuan filosofis
(filsafat)
Semua jenis berfikir dan pengetahuan tersebut di atas mempunyai poisisi dan
manfaatnya masing-masing, perbedaan hanyalah bersifat gradual, sebab semuanya
tetap merupakan sifat yang inheren dengan manusia. Sifat inheren berfikir dan
berpengetahuan pada manusia telah menjadi pendorong bagi upaya-upaya untuk
lebih memahami kaidah-kaidah berfikir benar (logika), dan semua ini makin
memerlukan keakhlian, sehingga makin rumit tingkatan berfikir dan pengetahuan
makin sedikit yang mempunyai kemampuan tersebut, namun serendah apapun
gradasi berpikir dan berpengetahuan yang dimiliki seseorang tetap saja mereka
bisa menggunakan akalnya untuk berfikir untuk memperoleh pengetahuan,
terutama dalam menghadapi masalah-masalah kehidupan, sehingga manusia dapat
mempertahankan hidupnya (pengetahuan macam ini disebut pengetahuan
eksistensial).
Berpengetahuan merupakan syarat mutlak bagi manusia untuk mempertahankan
hidupnya, dan untuk itu dalam diri manusia telah terdapat akal yang dapat
dipergunakan berfikir untuk lebih mendalami dan memperluas pengetahuan.
Paling tidak terdapat dua alasan mengapa manusia memerlukan pengetahuan/ilmu
yaitu:
1. manusia tidak bisa hidup dalam alam yang belum terolah, sementara
binatang siap hidup di alam asli dengan berbagai kemampuan bawaannya.
2. manusia merupakan makhluk yang selalu bertanya baik implisit maupun
eksplisit dan kemampuan berfikir serta pengetahuan merupakan sarana untuk
menjawabnya.
Dengan demikian berfikir dan pengetahuan bagi manusia merupakan instrumen
penting untuk mengatasi berbagai persoalah yang dihadapi dalam hidupnya di
dunia, tanpa itu mungkin yang akan terlihat hanya kemusnahan manusia (meski
kenyataan menunjukan bahwa dengan berfikir dan pengetahuan manusia lebih
mampu membuat kerusakan dan memusnahkan diri sendiri lebih cepat)
RINGKASAN
Proses pencarian kebenaran yang dilakukan oleh beberapa tokoh telah mengahasil
kan kebenaran agama (wahyu) dan kebenaran filsafat (akal). Dalam perkembanga
nnya kedua pengetahuan tersebut saling bersitegang sebagai kebenaran yang palin
g esensi paling tinggi.Perbedaan tersebut disebabkan karena sumber dari kedua pe
ngetahuan itu yang berbeda. Dominasi antara agama dan filsafat silih berganti. Ap
alagi ketika filsafat telah menghasilkan ilmu pengetahuan. Untuk itu tugas
manusia sebagai manusia yang diberikan Allah akal dan pikiran dapat menjadi
pengamat yang nantinya bertejuan untuk dapat menggunakan pengetahuannya
dengan baik dan benar.
Semoga dengan mempelajari sumber sumber ilmu pengetahuan ini, kita dapat
meningkatkan kualitas ilmu kita dan dapat menerapkannya dalam kehidupan
sehari hari
DAFTAR PUSTAKA
http://makalah-perkuliah.blogspot.com/2010/12/sumber-sumber-
pengetahuan.html
https://media.neliti.com/media/publications/62207-ID-paradigma-dan-konsep-
ilmu-pengetahuan-da.pdf
https://sumberbelajar.belajar.kemdikbud.go.id/sumberbelajar/tampil/Dinamika-
Interaksi-Manusia-dengan-Lingkungan-Alam-/konten3.html
https://www.google.co,id/amp/s/afidburhanudin.wordpress.com/2014/05/07/saran
a-berfiki-ilmiah-12/amp
https://www.artikelsiana.com/2020/01/11-contoh-interaksi-manusia-dengan-
lingkungan-alam-sekitar.html
https://www.academia.edu/9329253/Tugas_Mata_Kuliah_Filsafat_Pendidikan_Su
mber_Sumber_Ilmu_Pengetahuan_