Anda di halaman 1dari 16

Warisan Pemikiran Roy Bhaskar

indoprogress.com/2014/12/warisan-pemikiran-roy-bhaskar/

December 2, 2014

19 NOVEMBER yang lalu, Roy Bhaskar meninggal karena serangan jantung. Ia adalah
seorang filsuf Marxis keturunan Inggris-India yang mengajar di University of London. Ram
Roy Bhaskar dilahirkan sebagai anak dari seorang dokter India yang pindah ke Inggris
dan ibu Inggris yang menghabiskan masa kecilnya di Afrika Selatan. Keduanya adalah
penganut teosofi. Bhaskar sendiri menempuh perjalanan hidup yang lumayan unik.
Andrew Colliers memaparkan beberapa rincian menarik dari hidupnya dalam buku
pengantar yang ia tulis tentang filsafat Bhaskar (Colliers 1994: 262-263). Sewaktu kuliah
filsafat di Oxford, Bhaskar mencari penghasilan tambahan dengan menjadi penjaga
keamanan (bouncer) di sebuah kelab malam di Brighton. Ia mengalami radikalisasi (baca:
menjadi Kiri) setelah mengalami masa-masa gejolak perlawanan 1968. Pada tahun 1971,
ia menikah dengan Hillary Wainwright, seorang aktivis Kiri yang kemudian aktif mengelola
jurnal Red Pepper. Masa bulan madu keduanya dihabiskan di ‘wilayah-wilayah yang
terbebaskan’ (liberated zones) di Mozambik dan Angola dalam lindungan Front
Pembebasan Mozambik (Frelimo) dan Gerakan Rakyat Pembebasan Angola (MPLA).

Pada tahun 1975, terbit karya pertamanya—saya melihatnya sebagai karya terbaik
Bhaskar—yang merupakan olahan dari disertasi doktoralnya dengan judul A Realist
Theory of Science. Dalam buku ini, kita mengenali gaya berfilsafat Analitik yang serupa
dengan gaya pembimbing disertasinya, Rom Harré, seorang filsuf Analitik yang mengkaji
filsafat ilmu (philosophy of science). Gaya bahasanya ringkas, sistematis, tidak bertele-
tele. Kepustakaannya dipenuhi acuan ke berbagai perdebatan terkini dalam filsafat ilmu
Analitik. Uniknya, di buku itu kita tak akan temukan satu acuan pun ke Marx atau corpus
teoretik Marxisme. Buku itu mencetuskan pandangan realisme kritis—yang akan kita
bahas nanti—sebagai suatu konsepsi filsafat ilmu yang sebetulnya, kalau dibaca teliti,
bisa dijadikan dasar bagi kerangka analisis Marxian. Posisi epistemologi realis yang
diangkatnya sepenuhnya selaras dengan filsafat Marxis. Begitulah memang cara Bhaskar
berfilsafat: ia membenarkan Marxisme tanpa berargumen secara dogmatik dari otoritas
tekstual Marxisme. Berbeda dari Althusser yang cenderung berangkat dari analisis
tekstual atas Marxisme untuk menjustifkasi Marxisme, Bhaskar berangkat dari analisis
logis atas masalah-masalah filsafat yang ujungnya membuat Marxisme benar adanya,
membuat Marxisme masuk akal. Cara dia membahas filsafat ilmu alam dan ilmu sosial,
kendati tidak bertopang pada teks-teks Marxis, tetapi menggenapi Marxisme. Inilah yang
bisa kita saksikan dalam karya keduanya yang juga bagus, The Possibility of Naturalism:
A Philosophical Critique of the Contemporary Human Sciences (1979). Di sana—seperti
juga akan kita bahas nanti—Bhaskar mengetengahkan suatu ontologi tentang
masyarakat (soal struktur-agensi, determinisme-voluntarisme, fakta-nilai) yang klop
dengan Marxisme tetapi diargumentasikan tanpa menyeret-nyeret teks-teks kanonik
Marxisme. Ia juga mengisi beberapa entri yang sangat jernih tentang pokok-pokok filsafat
Marxis (misalnya, dialektika, determinisme, dll) dalam kamus pemikiran Marxis yang
disunting oleh Tom Bottomore (2001).

1/16
Pendekatan Realis dalam Ilmu Pengetahuan

Kemunculan Bhaskar dalam panorama filsafat kontemporer dapat dilihat sebagai


perlawanan terhadap dua posisi ekstrem yang saling menegasi dalam sejarah filsafat
kontemporer: positivisme dan pascamodernisme. Sementara yang pertama mereduksi
realitas objektif ke realitas yang teramati (sebagai fakta empirik), yang kedua mereduksi
realitas objektif ke wilayah yang berkorelasi secara konstitutif dengan manusia (entah
bahasa, ketaksadaran, tubuh, kesadaran intensional, pengalaman faktis-eksistensial).
Keduanya sama-sama mereduksi realitas ke realitas dimana keberadaan pengamat
sentral di dalamnya—keduanya tidak berhasil memahami realitas tanpa mengasumsikan
adanya manusia. Keduanya, dengan demikian, menggambarkan kecenderungan umum
epistemologi kontemporer: antirealisme. Setiap antirealisme, pada analisis terakhir, akan
terjatuh pada solipsisme: tidak berbicara tentang apapun selain mengenai apa-apa saja
sejauh berkorelasi dengan diri. Akibatnya, sains menjadi tidak dimungkinkan.

Bhaskar berangkat dengan sebuah pertanyaan dasar: apakah syarat kemungkinan bagi
adanya sains? Ada dua syarat kemungkinan pokok (Bhaskar 1976:21).

Pertama, sains dimungkinkan sejauh sains merupakan produk sosial dari sejarah
perdebatan dalam masyarakat. Inilah yang disebut sebagai dimensi transitif dari
ilmu pengetahuan. Pengetahuan kita tentang sesuatu hari ini dibentuk oleh konsep-
konsep yang diturunkan dalam sejarah pengetahuan manusia. Misalnya, teori
relativitas Einstein dirumuskan dalam dialog kritis dengan teori gravitasi Newton.
Dalam arti inilah Bhaskar menulis tentang suatu proses “produksi pengetahuan dari
dan melalui pengetahuan” (Bhaskar 1976:24).
Kedua, sains dimungkinkan sejauh sains merupakan sains-tentang-sesuatu dan
sesuatu itu dapat ada dengan atau tanpa sains. Inilah yang disebut sebagai dimensi
intransitif ilmu pengetahuan. Agar pengetahuan tentang sesuatu mungkin, sesuatu
itu harus dapat ada tanpa adanya pengetahuan tentangnya. Adanya sesuatu tidak
mensyaratkan pengetahuan tentang sesuatu itu—pengetahuan tentang x tidak
bersifat konstitutif terhadap adanya x. Kendati Newtonlah yang menemukan hukum
gravitasi, namun gravitasi itu sendiri sudah ada tanpa perlu dirumuskan oleh
Newton. Dengan mengakui kedua syarat kemungkinan pengetahuan ini, Bhaskar
sejatinya ingin mengafirmasi pengertian bahwa pengetahuan adalah konstruksi
sosial sekaligus pengertian bahwa pengetahuan adalah tentang objektivitas.

Bagaimana Bhaskar mendamaikan dua syarat kemungkinan yang nampak paradoksal


itu? Sementara dimensi transitif pengetahuan cenderung menarik kita pada pengertian
tentang pengetahuan sebagai aktivitas subjektif dan korelatif terhadap pengamat,
dimensi intransitifnya menarik kita pada pengertian tentang pengetahuan sebagai
aktivitas yang tertuju pada objektivitas yang a-korelatif terhadap pengamat. Bhaskar
menyelesaikan paradoks ini dengan mengajukan sebuah pertanyaan transendental:
mesti seperti apakah dunia agar pengetahuan tentangnya dimungkinkan? Dengan
pertanyaan ini, Bhaskar membasiskan epistemologi pada ontologi.[1] Kalau pengetahuan
ada dan pengetahuan adalah selalu pengetahuan tentang sesuatu di luar pengetahuan
itu sendiri, maka adanya dunia niscaya independen terhadap adanya pengetahuan.
“Karena ada sains,” demikian Bhaskar, “pastilah ada dunia yang tertentu” (Bhaskar

2/16
1976:29). Artinya, justru karena ada dimensi intransitif dalam pengetahuan, maka
pengetahuan itu sendiri dimungkinkan, berikut dengan dimensi transitifnya. Intransitivitas
pengetahuan mendeterminasi transitivitasnya. Sejarah perdebatan saintifik bisa ada
justru karena ada objek yang agar ada tidak memerlukan tautan dengan (pengetahuan)
manusia. Dengan kata lain, agar ada sains samasekali, sains mestilah realis. Dimensi
historis dan sosial dari sains dimungkinkan oleh dimensi realisnya.

Bhaskar mengkontraskan pandangannya ini dengan dua pandangan yang dominan


dalam filsafat ilmu pengetahuan. Yang pertama adalah empirisisme klasik Hume dan
derivat kontemporernya, yakni positivisme Ernst Mach dan Lingkaran Wina. Pandangan
ini memahami realitas sebagai kesan indrawi atau data yang terberi lewat observasi
langsung. Realitas, bagi mereka, tersusun oleh atom-atom yang teramati dan seluruh
peristiwa dalam alam dapat diterangkan berdasarkan penjelasan atas interaksi elementer
antar atom yang dapat diobservasi itu. Yang kedua adalah idealisme transendental Kant
dan derivat kontemporernya seperti fenomenologi Husserl dan pascamodernisme.
Pandangan ini memahami realitas sebagai efek dari medium pengetahuan manusia.
Dunia adalah hasil mediasi manusia sehingga adanya manusia bersifat konstitutif
terhadap adanya dunia. Dalam pandangan ini, adanya dunia dijelaskan oleh adanya
‘dunia-kehidupan yang dialami secara subjektif’, ‘diskursus’, tentang dunia. Kedua
pandangan ini sama-sama problematisnya. Keduanya bergantung pada realisme empiris,
yakni pandangan yang menyamakan apa yang ada dengan apa yang nampak atau apa
yang berkorelasi dengan subjek. Bagi Bhaskar, problem utama realisme empiris adalah
bahwa pandangan ini terjatuh ke dalam kekeliruan epistemik (epistemic fallacy), yakni
ilusi bahwa proposisi tentang apa yang ada dapat direduksi ke dalam proposisi tentang
pengetahuan kita mengenai apa yang ada.[2] Dengan kata lain, realisme empiris telah
mereduksi ontologi pada epistemologi, mereduksi pertanyaan “apa itu kenyataan”
menjadi pertanyaan “siapakah aku”.[3]

Mengatasi kedua pandangan tersebut, Bhaskar mengajukan posisisnya sendiri yang ia


sebut sebagai realisme transendental. Realisme artinya mengakui sentralitas dimensi
intransitif pengetahuan dan transendental berarti berangkat dari pertanyaan tentang
syarat kemungkinan ontologis bagi adanya pengetahuan. Melawan empirisisme, Bhaskar
menyatakan bahwa objek pengetahuan tidak berhenti pada benda-benda empirik sebagai
atom dan peristiwa sebagai interaksi antar atom tersebut, melainkan mesti juga mencapai
penjelasan tentang struktur, tendensi atau mekanisme yang inheren dalam realitas
kendati tak teramati secara empirik samasekali. Melawan idealisme, Bhaskar
menyatakan bahwa ada dimensi intransitif yang konstitutif terhadap adanya
pengetahuan. Kendati pengetahuan dibentuk oleh pengalaman intersubjektif, tetapi objek
pengetahuan itu dapat ada tanpa adanya subjektivitas dan intersubjektivitas samasekali.

Realisme transendental adalah sebuah filsafat ilmu realis yang ditopang oleh ontologi
yang terstratifikasi. Artinya, realitas dipandang tersusun oleh lapisan-lapisan yang
hirarkis. Dalam kerangka inilah Bhaskar merumuskan pemilahannya atas tiga domain
realitas berikut dengan elemen spesifiknya (Bhaskar 1976:13).

3/16
Domain riil adalah wilayah mekanisme dan struktur yang imanen dalam realitas, yang
tidak menampak langsung pada observasi empirik namun sekaligus disyaratkan bagi
adanya aktualitas peristiwa, objek empiris dan pengalaman atasnya. Inilah domain esensi
realitas yang menjadi objek sesungguhnya dari pengetahuan yang benar. Domain aktual
adalah wilayah peristiwa-peristiwa yang merupakan efek dari mekanisme riil yang inheren
dalam benda. Peristiwa-peristiwa ini dapat diamati. Domain empiris adalah wilayah objek-
objek yang dapat diobservasi. Kalau domain riil, aktual dan empiris dinotasikan secara
berturut-turut sebagai Dr, Da dan De, maka hubungan di antara ketiga domain tersebut
dapat dirumuskan sebagai berikut: Dr ≥ Da ≥ De (Bhaskar 1976:56). Tiga domain realitas
ini dapat kita pahami lebih jelas dalam contoh sederhana berikut ini:

Melalui contoh tersebut, terlihat bahwa kendati apa yang disebut gravitasi tak pernah
dipersepsi secara langsung namun keberadaannya disyaratkan agar kita dapat
memikirkan sebab bagi peristiwa empirik jatuhnya apel dari pohon. Epistemologi
empirisis tidak akan mencapai pengertian tentang gravitasi semacam itu, karena apa
yang tidak menampak melalui observasi kemudian dengan cepat dilabeli sebagai
‘metafisika’ dan tak digubris samasekali. Epistemologi idealis, kendati mungkin saja
mempostulatkan adanya gravitasi, akan mereduksi gravitasi itu pada kerangka subjektif,
misalnya, sebagai efek diskursif atau sebagai konvensi intersubjektif. Hanya realisme
transendentallah yang mampu menangkap gravitasi pada dirinya: memahaminya sebagai
realitas yang ada di seberang yang-indrawi (contra empirisisme klasik) sekaligus
mengakui independensinya terhadap keberadaan subjek (contra idealisme
transendental).

Realisme empiris mampu menjelaskan realitas sejauh realitas itu dimengerti sebagai
totalitas yang tertutup, dengan kata lain, sebagai sistem yang tertutup dimana ‘konjungsi
konstan’ di antara peristiwa terjadi. Sistem yang tertutup (closed system) ialah kondisi
dimana berlaku proposisi “jika x maka y”. Dengan kata lain, sistem yang tertutup adalah
suatu kondisi dimana sebuah peristiwa dapat diderivasikan dari sebuah sebab elementer
secara niscaya. Misalnya, arah sinar matahari menyebabkan arah perkembangan
dedaunan sebuah tanaman (fototropi), sejauh kita menempatkan semua faktor lain dalam
asumsi ceteris paribus. Kondisi ‘ceteris paribus’ ini bersifat esensial dalam perumusan
setiap sistem tertutup. Apabila kausalitas tersebut ditentukan juga oleh faktor-faktor lain,
dan faktor penentu ini dimasukkan dalam analisis maka kesimpulan yang diperoleh tentu
berbeda.

4/16
Problem dari ketergantungan realisme empiris pada sistem yang tertutup terletak pada
konsepnya tentang penjelasan (explanation). Teori tentang penjelasan yang terdapat
dalam realisme empiris dirumuskan oleh Karl Popper dan Carl G. Hempel. Bagi Popper-
Hempel, menyatakan ‘x menjelaskan y’ berarti berkata tentang dua hal: pertama, x
merupakan hukum dari y (deduktif-nomologis); kedua, ‘x menjelaskan y’ adalah
regularitas empirik atau hal yang terus-menerus terjadi sebagaimana diamati (induktif-
statistis) (Bhaskar 1976:66). Hempel menyatakan bahwa karena penjelasan adalah
proses derivasi, maka penjelasan identik dengan prediksi (Manicas 1987:250). Dengan
teori penjelasan ini, realisme empiris terjatuh ke dalam kekeliruan mendasar yang disebut
Bhaskar sebagai aktualisme, yakni menyamakan domain riil dengan domain aktual. Ini
terlihat dari cara Popper-Hempel menempatkan hukum pada aras peristiwa yang teramati
secara empirik. Padahal regularitas empirik atau konjungsi konstan di antara peristiwa
bukanlah fakta elementer realitas. Regularitas atau konjungsi itu, bagi Bhaskar, tak lain
adalah hasil dari fabrikasi artifisial sains yang dilakukan lewat eksperimen.

Proses eksperimen adalah proses produksi prakondisi-prakondisi yang diduga memicu


munculnya peristiwa tertentu dan memilah-milah prakondisi mana yang memiliki tautan
positif-kausal terhadap peristiwa itu melalui uji-coba. Oleh karenanya, regularitas empirik
yang muncul dalam eksperimen selalu merupakan regularitas yang difabrikasi oleh
ilmuwan. Dalam arti inilah Bhaskar menulis bahwa “konjungsi-konjungsi antar fenomena
tidak terberi pada kita, melainkan kita ciptakan” (Bhaskar 1976:54). Kondisi eksperimental
inilah yang disebut Bhaskar sebagai ‘penutupan’ (closure) atas sebuah sistem. Dengan
demikian, sistem yang tertutup bukanlah sesuatu yang ada dalam realitas, melainkan
hasil laku penutupan yang dijalankan ilmuwan dalam mengisolasi prakondisi tertentu
yang memiliki tautan positif-kausal terhadap peristiwa.[4] Oleh karena sistem yang
tertutup adalah hasil konstruksi eksperimental dan kemungkinan bagi ditutupnya sesuatu
mensyaratkan keterbukaannya, maka realitas adalah sistem yang terbuka dan mencakup
sesuatu yang lebih dari sekedar yang-empiris. “Agar sains mungkin dunia mesti terbuka;
manusialah yang menutupnya secara eksperimental. Dan mereka melakukannya untuk
menemukan struktur, bukan untuk mencatat pola peristiwa” (Bhaskar 1976:126). Dalam
sistem yang terbuka—totalitas kenyataan itu sendiri—ada keragaman mekanisme atau
struktur yang non-empirik dan inheren dalam setiap benda serta peristiwa. Tugas sains
yang realis adalah menutup keterbukaan ini dan mencari dimensi intransitif dalam
fenomena kausal yang ditemukannya dalam sistem tertutup itu—bukan hanya regularitas
empirik tetapi juga struktur implisit yang bisa ada tanpa eksperimen dan pengamat.
“Sains,” tulis Bhaskar, “adalah upaya sistematis untuk mengekspresikan dalam pikiran
struktur dan modus tindakan benda-benda yang ada dan berlaku secara independen
terhadap pikiran” (Bhaskar 1976:250)

Di luar persoalan intransitivitas ilmu pengetahuan, Bhaskar juga mengingatkan kita


bahwa realisme transendental tidak dapat dimengerti sebagai sejenis ‘absolutisme
epistemologis’ atau pengertian bahwa semua keyakinan kita tentang dunia pasti benar
seratus persen. Absolutisme semacam ini justru mengantarkan kita pada idealisme yang
mereduksi dunia pada pengetahuan tentang dunia. Dalam kaitan dengan itu, ia mengritik
konsepsi tentang pengalaman sebagai sesuatu yang ‘bebas-teori’ (Bhaskar 1976:248).
Konsepsi semacam inilah yang melandasi teori korespondensi tentang kebenaran, yakni

5/16
pengertian bahwa kebenaran adalah kecocokan antara proposisi dan ‘hal-ikhwal’ (state of
affair) yang dideskripsikan oleh proposisi tersebut. Bhaskar menulis: “Tidak ada jalan
dimana kita dapat melihat dunia lalu melihat sebuah kalimat dan kemudian bertanya
apakah keduanya cocok” (Bhaskar 1976:249). Kecocokan ini tidak dimungkinkan karena
kalimat observasi dasar (atau ‘kalimat protokol’) telah selalu membawa suatu teori
tertentu (theory-laden)—sebagaimana ditunjukkan, misalnya, oleh Otto Neurath. Oleh
karenanya, menurut Bhaskar, realisme mesti menerima relativitas epistemologis.
Relativitas epistemologis adalah pengertian bahwa semua kepercayaan dan
pengetahuan adalah produk sosio-historis (dimensi transitif sains) dan, oleh karenanya,
dapat keliru. Ini mesti dibedakan dari jenis relativisme yang merusak sains, yakni
relativisme putusan (judgemental relativism) yang menyatakan bahwa semua
kepercayaan/pengetahuan sama benarnya sebab tak ada kriteria dasar-universal yang
dapat memilah pengetahuan yang benar dari yang keliru (Bhaskar 1989:57). Relativisme
epistemologis dapat menjaga realisme dari bahaya terjatuh pada sikap ideologis yang
menganggap bahwa proposisi elementer dalam pengetahuan niscaya transparan
terhadap paradigma teoretik yang kita gunakan. Dalam arti itu, Bhaskar menyebut
relativitas epistemologis sebagai ‘tangan kanan’ realisme (Bhaskar 1976:249).

Persoalan Naturalisme: Ilmu Alam dan Ilmu Sosial

Dalam ranah ilmu alam, realisme transendental Bhaskar dengan mudah dapat
dipertahankan. Lantas apakah realisme tersebut dapat diberlakukan juga pada ranah
ilmu sosial? Pertanyaan ini sudah coba dijawab Bhaskar dalam bagian akhir buku Realist
Theory of Science. Di sana ia segera mengakui bahwa persoalannya tidak semudah
kelihatannya. Problem dasarnya adalah bahwa ‘penutupan’ secara eksperimental tidak
dapat dijalankan dalam kajian sosial.[5] Sementara dalam ilmu alam, kita dapat
memanipulasi kondisi penelitian demi tujuan mengisolasi mekanisme kausal yang bekerja
dalam sebuah sistem, dalam ilmu sosial kita tidak mungkin melakukannya karena terlalu
banyak variabel yang berperan dalam realitas sosial. Metode isolasi variabel tidak dapat
dijalankan dalam ilmu yang objek kajiannya adalah manusia—yang pada dirinya
mengandung banyak sekali variabel yang tidak dapat disingkirkan lewat isolasi tanpa
menghapuskan kekhasan manusia itu sendiri. Tantangan ilmu sosial terhadap realisme
transendental inilah yang dijawab Bhaskar dalam buku keduanya, The Possibility of
Naturalism, dengan suatu pengertian tentang naturalisme kritis.

Tesis dasar naturalisme adalah kesatuan metodologis di antara seluruh ilmu


pengetahuan. Artinya, seorang naturalis adalah ia yang meyakini bahwa masyarakat
dapat diteliti dengan cara yang sama seperti alam. Tidak ada separasi metodologis yang
hakiki antara ilmu sosial dan ilmu alam. Sebaliknya, antinaturalisme adalah kepercayaan
tentang adanya separasi metodologis yang hakiki di antara kedua kelompok ilmu
tersebut. Dalam pemetaan Bhaskar, kedua kubu ini dapat dipilah sebagai berikut
(Bhaskar 1989:1):

6/16
Berhadapan dengan kedua tradisi besar dalam filsafat ilmu sosial ini, Bhaskar tidak
memilih berpihak pada salah satu dari antara keduanya. Bhaskar memilih untuk
mengkritik keduanya dan merumuskan sebuah pendekatan baru yang merupakan
sintesis dari oposisi tersebut.

Kritik Bhaskar atas kedua posisi itu sebangun dengan kritiknya atas empirisisme klasik
(sebagai basis dari naturalisme) dan idealisme transendental (sebagai basis dari
antinaturalisme). Apabila yang pertama (empirisisme-naturalisme) hanya mengakui
objektivitas sejauh terberikan secara empirik lewat observasi, yang kedua (idealisme-
antinaturalisme) mereduksi objektivitas secara langsung pada kategori subjektif. Apabila
yang pertama, mereduksi makna pada fakta empiris, yang kedua mereduksi fakta empiris
pada makna. Dengan kata lain, keduanya sama-sama bergantung pada fakta empiris itu
sendiri, yakni pada realisme empiris. Sejauh kesan indrawi hanya ada jika ada proses
pengindraan dan subjek pengindraan, maka kedua posisi itu, pada analisis terakhir,
sama-sama subjektivisnya (dan, dengan kata lain, relativis-antroposentrik). Keduanya
sama-sama tidak mengakui stratifikasi realitas yang meniscayakan adanya ‘fakta’ dasar
yang non-empiris, yakni mekanisme, struktur atau tendensi yang bersifat intransitif
(domain riil).

Jenis naturalisme yang hendak diupayakan Bhaskar tidak sama dengan naturalisme
empiris di muka. Naturalisme yang dikembangkan Bhaskar menyatakan adanya
‘kesatuan metode yang esensial’ (essential unity of method) di antara kedua ilmu
tersebut, sembari mengakui perbedaan isi atau objek kajiannya dan karenanya juga
mengakui perbedaan dalam metodenya. Yang mau diupayakan Bhaskar adalah
memberikan justifikasi pada ilmu sosial sebagai sains—dan tidak hanya sebagai
spekulasi liar tentang masyarakat—sekaligus mengafirmasi perbedaan ilmu sosial dan
alam sebagai sains. Upaya ini ia jalankan dengan bersetia pada prosedur realisnya:
berangkat dari penampakan untuk mencapai esensi dari penampakan, atau langkah dari
domain empirik, domain aktual dan akhirnya mencapai domain riil (Bhaskar 1989:19).

Naturalisme kritis adalah sebuah naturalisme yang sadar akan batas-batasnya sendiri.
Kata ‘kritis’ di sini, tentu saja, mengacu pada Kant. Naturalisme mesti berangkat dengan
pertanyaan tentang syarat kemungkinan bagi keberadaannya sendiri dan, dengan
demikian, juga tentang prakondisi yang membatasi naturalisme tersebut. Prosedur
pertanyaan dalam naturalisme kritis, seperti dalam realismenya, diwujudkan secara
transendental: mesti seperti apakah realitas sosial agar apa yang disebut ilmu sosial
sebagai sains dimungkinkan? Dengan kata lain, epistemologi tentang masyarakat
mensyaratkan ontologi sosial. Inilah yang diterangkan Bhaskar lewat teorinya tentang

7/16
masyarakat yang ia sebut sebagai ‘Model Aktivitas Sosial Transformasional’
(Transformational Model of Social Activity—disingkat TMSA). Teori ini merupakan hasil
rekonstruksi Bhaskar atas pandangan sosiologis Marx.

Model Aktivitas Sosial Transformasional: Struktur dan Agensi

Terdapat dua penjelasan umum tentang ada-nya masyarakat. Yang pertama melihat
masyarakat sebagai himpunan yang tersusun oleh individu-individu, sementara yang
kedua melihatnya sebagai tersusun oleh kelompok sosial yang tak bisa direduksi pada
individu. Apabila yang pertama direpresentasikan dalam sosiologi Max Weber, yang
kedua dalam sosiologi Emile Durkheim. Keduanya juga merepresentasikan metodologi
yang berbeda: individualisme metodologis yang agregatif versus holisme metodologis
yang organisis. Keduanya merefleksikan dua posisi filsafat yang berbeda: interpretivisme
Weber berakar dari neokantianisme yang dianutnya, sementara positivisme Durkheim
berakar dari empirisismenya. Selain itu, keduanya juga menggambarkan arah
determinasi yang berbeda dalam masyarakat. Bhaskar menggambarkannya sebagai
berikut (Bhaskar 1989:32):

Sementara Weber melihat masyarakat sebagai entitas agregatif yang ditentukan oleh
sifat-sifat atom/individu yang menyusunnya, Durkheim melihatnya sebagai entitas organik
yang menentukan sifat-sifat individu di dalamnya. Oleh karena itu, Weber cenderung
mereduksi masyarakat pada kehendak individual (voluntarisme), sementara Durkheim
mereduksi individu pada struktur sosial seperti grup (reifikasi). Perbedaan di antara
kedua paradigma ini dapat dirangkum dalam tabel berikut:

Selain itu, dapat ditambahkan pula bahwa sementara dalam model Weberian ‘ada
tindakan, tetapi tidak ada prakondisi’, dalam model Durkheimian ‘ada prakondisi, tetapi
tidak ada tindakan’ (Bhaskar 1989:37). Dalam keduanya, oleh karena itu, tidak

8/16
dimungkinkan konsep perubahan sosial yang berarti—dan karenanya juga tidak ada
sejarah. Kedua pandangan tersebut ditolak oleh Bhaskar demi suatu sintesis ontologi
sosial yang lebih seimbang.

Melawan Weber, Bhaskar menyatakan bahwa “masyarakat adalah prakondisi yang


niscaya bagi adanya tindakan intensional manusia samasekali” (Bhaskar 1989:34).
Artinya, individualitas hanya dimungkinkan sejauh ada struktur sosial. Melawan
Durkheim, Bhaskar menyatakan bahwa struktur sosial bukanlah makhluk yang otonom
terhadap kehendak individu sebab tidak ada masyarakat tanpa tindakan individual
manusia. Dalam pandangan Bhaskar, kendati individu tidak menciptakan masyarakat,
tetapi masyarakat tak akan ada tanpa interaksi individual. “Masyarakat tidak ada secara
independen terhadap aktivitas manusia (kekeliruan reifikasi). Namun, masyarakat juga
bukan produk dari aktivitas manusia (kekeliruan voluntarisme)” (Bhaskar 1989:36). Bagi
Bhaskar, di satu sisi, struktur sosial telah selalu mendahului adanya individu dan tindakan
sosial karena tanpa struktur tersebut perilaku individu dan tindakan sosial akan
kehilangan signifikansinya, tetapi di sisi lain, struktur sosial hanya mengemuka melalui
individu dan tindakan sosial sebab apabila tidak ada manusia maka struktur sosial pun
akan lenyap. Contoh sederhana yang diajukan Bhaskar ialah aturan tatabahasa
(grammar). Di satu sisi, tatabahasa Indonesia dapat dianggap mendahului pemakaian
bahasa individual karena pemakaian bahasa tersebut sudah selalu mensyaratkan adanya
tatabahasa, tetapi di sisi lain, apabila semua orang Indonesia berbicara dengan bahasa
Inggris maka tatabahasa Indonesia itupun lenyap.

Berangkat dari refleksi tersebut, Bhaskar menarik kesimpulan tentang kespesifikan


struktur sosial. Berbeda dengan ilmu alam, struktur intransitif yang digali dalam ilmu
sosial tidak bisa ada tanpa adanya manusia. Struktur sosial adalah sesuatu yang “tidak
dapat direduksikan pada, tetapi hanya hadir dalam, laku intensional manusia” (Bhaskar
1976:248). Pandangan ini diperoleh dari konsep kausalitas struktural Althusser (struktur
yang tidak identik dengan, tetapi hanya ada dalam, efek-efeknya). Bhaskar mencatat tiga
hal yang khas dalam struktur sosial dan membedakannya dengan struktur alam (Bhaskar
1989:38):

Struktur sosial tidak ada secara independen terhadap aktivitas sosial yang
dikondisikannya
Struktur sosial tidak ada secara independen terhadap konsepsi agen tentang apa
yang mereka lakukan dalam tindakannya
Struktur sosial mungkin hanya dapat bertahan secara relatif (mekanisme yang
internal dalam masyarakat tidak invarian secara spasio-temporal)

Dengan demikian, kita dapat melihat bahwa intransitivitas dalam ilmu sosial berbeda dari
intransitivitas dalam ilmu alam. Pengertian yang khas tentang intransitivitas sosial inilah
yang memungkinkan teoretisasi tentang konsep ideologi dan perubahan sosial.
Intransitivitas struktur sosial terhadap agen merupakan dimensi ideologis yang membuat
tatanan sosial yang ada nampak alamiah, sementara transitivitasnya terhadap agen
menandai potensi perubahan sosial yang dilakukan oleh agen dalam masyarakat. TMSA,
yang direkonstruksi Bhaskar dari Marx, memungkinkan teori tentang ideologi sekaligus

9/16
emansipasi. Agen dikondisikan oleh struktur sosial tetapi sekaligus juga dapat
mentransformasi struktur tersebut karena struktur tersebut bukanlah ‘hukum kodrat’ yang
alamiah.

Dengan mengkaji ontologi sosial seperti ini, kita dapat menyimpulkan syarat
kemungkinan bagi adanya pengetahuan tentang masyarakat. Struktur sosial adalah
dimensi intransitif dalam ilmu sosial yang membuat sains tentang masyarakat
dimungkinkan—karena sains hanya mungkin sejauh ia mengacu pada struktur intransitif
yang non-empirik. Akan tetapi, intransitivitas struktur sosial tersebut memiliki arti yang
berbeda dari yang terdapat dalam ilmu alam sehinggga ilmu sosial dan ilmu alam adalah
sama-sama sains namun dengan objek kajian yang berbeda. Pertanyaan transendental
di muka telah terjawab: mesti seperti apakah realitas sosial agar filsafat tentang ilmu
sosial dimungkinkan? Jawabnya: realitas sosial mestilah dibentuk secara mendasar oleh
struktur sosial yang intransitif terhadap sebagian tindakan sosial sekaligus transitif
terhadap sebagian lain tindakan sosial. Dengan demikian, naturalisme kritis dapat
dicapai: ilmu sosial dimungkinkan sebagai sains karena memiliki dimensi intransitif, tetapi
juga tak dapat direduksi pada ilmu alam karena objek kajiannya (intransitivitasnya)
berbeda. ‘Kesatuan metodologis yang esensial’ di antara keduanya terletak pada
prosedur penalaran yang berangkat dari yang empirik untuk kemudian mencapai yang riil,
yakni struktur intransitif.

Kritik Emansipatoris: Fakta dan Nilai

Pandangan naturalisme kritis ini kemudian digunakan Bhaskar untuk membongkar salah
satu ‘skandal’ besar dalam perdebatan naturalisme versus antinaturalisme, yakni problem
transisi dari ‘adalah’ ke ‘seharusnya’ (Is and Ought Problem). Dalam sejarah filsafat sejak
era Modern, transisi tersebut terlarang. Larangan ini dimulai secara implisit dalam
perumusan Problem Induksi oleh Hume. Problem Induksi menyatakan bahwa tidak ada
penyimpulan umum-universal dari deskripsi partikular karena universalitas kesimpulan
tidak dapat dibasiskan pada kumpulan observasi yang terbatas (Bonjour 1996:391-392).
Dalam contohnya yang terkenal, Hume mengatakan bahwa dari fakta partikular bahwa
selama ini matahari terbit dari timur, kita tidak bisa menyimpulkan secara universal bahwa
matahari akan selalu terbit dari timur. Tidak ada transisi dari partikularitas ke
universalitas. Dalam contoh tersebut, kita dapat menyaksikan secara implisit problem
transisi dari ‘adalah’ (“selama ini matahari terbit dari timur) ke ‘seharusnya’ (“matahari
akan selalu terbit dari timur”). Transisi is ke ought, dengan kata lain, melibatkan lompatan
logika yang tidak dapat dijustifikasi dan, karenanya, tidak sah. Dengan itu, bagi Bhaskar,
muncullah sebuah ayat kepercayaan dasar dalam ilmu-ilmu sosial bahwa transisi dari
proposisi faktual ke proposisi nilai, dari deskripsi ke imperatif, adalah terlarang (Bhaskar
1989:54).

Kaum antinaturalis akan menolak transisi fakta ke nilai, sementara kaum naturalis akan
mengakuinya. Sebaliknya juga, kaum antinaturalis akan menerima transisi nilai ke fakta,
sementara kaum naturalis akan menolaknya. Apabila kita notasikan relasi penjelasan
sebagai ‘→’ dan bentuk negatif dengan ‘¬’, maka kita akan memperoleh pemetaan
Bhaskar dalam tabel berikut (Bhaskar 1987:174):

10/16
Yang hendak dibuktikan Bhaskar dalam argumentasinya ada dua hal: menolak
pandangan antinaturalis bahwa tak ada transisi dari fakta ke nilai (menolak ¬ (fakta →
nilai)) dan menolak pandangan naturalis bahwa tak ada transisi dari nilai ke fakta
(menolak ¬ (nilai → fakta)).

Bhaskar berangkat dari penolakannya yang kedua. Argumen yang mengafirmasi adanya
pengaruh normatif dalam penyimpulan atas fakta dapat diajukan pada beberapa level
dan memiliki akar historisnya dalam tradisi antinaturalis jauh sebelum Bhaskar. Berikut
adalah tabel yang menunjukkan titik-titik pengaruh tersebut:[6]

Melalui tabel di muka terlihat bahwa nilai dapat ikut mempengaruhi penyimpulan atas
fakta dalam ilmu sosial. Tidak semua skenario pengaruh normatif ini diterima oleh
Bhaskar. Hanya pengaruh nilai melalui ‘standar penelitian’ yang diterima oleh Bhaskar
tanpa kritik, yakni bahwa nilai ikut mempengaruhi pemakaian kriteria analisis yang
tertentu (misalnya, tentunya ada motivasi etis yang mendorong peneliti untuk memilih
Marxisme sebagai metode analisis). Kita tidak akan mengikut alasan penolakan Bhaskar
atas ketiga bentuk pengaruh yang lain karena keterbatasan waktu dan tempat.

Pembuktian yang lebih krusial, bagi Bhaskar, adalah pembuktian akan validitas transisi
dari fakta ke nilai. Apabila transisi ini tidak dapat dijamin, maka ilmu sosial secara niscaya
akan terceraikan dari dimensi emansipatorisnya (sebab dengan tiadanya transisi
tersebut, tidak ada tuntutan emansipatoris yang mungkin muncul dari pengertian yang

11/16
akurat tentang realitas sosial). Dengan kata lain, apabila transisi itu tidak sah, maka
persoalan emansipasi sosial adalah perkara yang sepenuhnya ekstra-teoretik,
sepenuhnya emotif-retoris-sentimentil, sebab diputuskan secara ad hoc tanpa basis
faktual yang terjustifikasi secara ilmiah. Potensi emansipatoris ilmu sosial hanya mungkin
jika transisi dari fakta ke nilai, dari deskripsi ke imperatif, dari proposisi objektif ke formula
subjektif bagi tindakan, dimungkinkan.

Jalan yang ditempuh Bhaskar untuk membuktikan transisi tersebut relatif sederhana.[7]
Solusi Bhaskar hanya bertumpu pada sebuah asumsi fundamental, yakni bahwa apa
yang benar sama dengan apa yang baik. Kalau asumsi ini diterima, maka transisi fakta
ke nilai dapat diterangkan sebagai berikut. Apabila proposisi faktual tentang masyarakat
mengindikasikan adanya kontradiksi dalam masyarakat yang dianalisis, maka kontradiksi
atau kekeliruan ini dengan sendirinya merupakan sebuah pertanda bagi perlunya
perubahan sosial untuk mengatasinya. Di sini dapat kita lihat bahwa sementara premis
kalimat di muka menangkap faktualitas, kesimpulannya justru memuat imperatif etis.
Silogisme ‘fakta → nilai’ seperti ini dimungkinkan karena bila apa yang benar itu baik dan
apa yang keliru itu buruk, maka apa yang keliru harus ditransformasi/dikoreksi menjadi
benar, dan karenanya juga baik. Demikianlah Bhaskar mengkritik kaum naturalis
(positivis). Implikasi logisnya, kalau laku transformasi (praxis emansipasi) yang dilandasi
silogisme ‘fakta → nilai’ ini dimungkinkan, maka yang silogisme ‘nilai → fakta’ juga
dimungkinkan: oleh karena praxis emansipasi dilandasi oleh nilai (yang dilandasi oleh
proposisi faktual), dan emansipasi menciptakan tatanan baru atau fakta baru, maka ada
transisi dari nilai ke fakta. Demikianlah Bhaskar mengkritik kaum antinaturalis (kaum
hermeneut). Kita dapat memformalisasikan argumen sentral Bhaskar ini:

Bhaskar kemudian mengantisipasi sanggahan yang mungkin muncul. Tidakkah dengan


mengasumsikan identitas antara kebenaran dan kebaikan sebetulnya kita tengah
membuat fakta menjadi nilai sehingga distingsi fakta-nilai, serta transisinya, sudah

12/16
terjawab bahkan sebelum solusinya dirumuskan? Bhaskar menjawabnya dengan
mengatakan: tesis bahwa “kebenaran adalah apa yang baik … bukanlah sebuah
persyaratan bagi diskursus moral saja, melainkan juga persyaratan bagi adanya semua
diskursus samasekali. Komitmen pada kebenaran dan konsistensi berlaku dalam
diskursus moral maupun faktual” (Bhaskar 1989: 63). Artinya, asumsinya bahwa apa
yang benar itu baik adalah sesuatu yang secara implisit berlaku juga dalam kajian faktual
sebab tanpanya tak akan ada kajian faktual samasekali (sejauh kajian faktual juga
mensyaratkan diterimanya kriteria objektivitas sebagai sesuatu yang mesti diupayakan
dalam laku saintifik).

Oleh karena asumsi tersebut valid, maka transisi dari fakta ke nilai dapat dijalankan.
Transisi ini mengemuka dalam keperluan normatif bagi perubahan sosial yang timbul
sebagai konsekuensi logis dari kebutuhan untuk koreksi atas kekeliruan/kontradiksi yang
ada dalam objek analisis. Karenanya, imperatif emansipasi tidak timbul secara ad hoc
dari ketergantungan pada kerangka normatif tertentu, melainkan merupakan bagian dari
keperluan analisis yang logis, atau dengan kata lain, merupakan hasil deduksi langsung
dari fakta adanya kontradiksi yang mesti dipecahkan dalam objek analisis. Dengan
menjamin validitas transisi fakta ke nilai, naturalisme kritis telah membukakan jalan bagi
dimensi emansipatoris ilmu sosial.

Filsafat Menjelang Tutup Usia

Melalui karya-karya awalnya, Bhaskar telah memberikan sumbangan yang berharga bagi
filsafat kontemporer. Ia memberikan jalan keluar dari dilema relativisme pascamodern
dan dogmatisme modern. Ia menjernihkan perdebatan-perdebatan penting dalam ilmu
sosial dan ilmu alam. Ia menunjukkan bahwa kita bisa jadi realis tanpa jadi dogmatis.
Maka itu, pantas lah bila kemudian muncul gerakan filsafat baru yang membawa bendera
realisme kritis Bhaskar: International Association for Critical Realism (IACR). Ada juga
jurnal khusus yang mengkaji realisme kritis atau menerapkannya sebagai pendekatan
dalam kajian empiris: Journal of Critical Realism. Pemikiran Bhaskar kemudian
berkembang di mana-mana. Ada Tony Lawson yang membangun pendekatan realisme
kritis untuk filsafat ekonomi. Ada Margaret Archer yang mengembangkannya dalam
disiplin sosiologi. Dalam kajian hubungan internasional, ada Bob Jessop yang kemudian
menggunakan secara sistematis pokok-pokok realisme kritis. Di lingkaran Marxis sendiri,
ada sosiolog seperti Alex Callinicos yang mengakui hutang budi teoretisnya pada
Bhaskar dan mengakui alternatif yang ditawarkan realisme kritis, khususnya di hadapan
relativisme posmo yang membuat lesu pemikiran sosial Marxis.

Namun tidak semua karya yang dihasilkan Bhaskar adalah emas. Menjelang dekade
1990-an, buku-bukunya—seperti Dialectic (1993) dan Plato etc (1994)—kian dipenuhi
dengan rumusan yang demikian berbelit-belit. Gaya berfilsafatnya jadi semakin mirip
sebagian filsuf Kontinental yang buruk: begitu sibuk dengan dramatisasi, begitu mudah
melemparkan nama dan rentetan konsep yang tak dijelaskan artinya—menjadi ceroboh
dan kurang ketat. Orang Analitik akan menyebut gaya berfilsafat macam itu sebagai over-
solemnity—dengan kata lain, sok khidmat (lebih tepatnya: terobsesi membuat kalimat
yang enigmatik, sublim dan subtil, sehingga mencerminkan betapa ia merasa diri patut
dikhidmati). Inilah yang kemudian membuat Bhaskar diganjar sebagai juara pertama

13/16
dalam Bad Writing Contest yang diselenggarakan oleh jurnal Philosophy and Literature
pada tahun 1996. Teks yang dimenangkan dalam sayembara olok-olok itu adalah satu
kalimat dari buku Plato etc yang panjangnya setara dengan satu paragraf.[8] (Dua tahun
sesudahnya, kalimat Judith Butler lah yang memenangkan kontes tersebut. Kalimat
Bhaskar itu, tentu saja, bukanlah kalimat filsafat paling panjang dan ruwet. Setahu saya
belum ada yang melebihi keruwetan sebuah kalimat Maurice Merleau-Ponty, dalam The
Visible and the Invisible, yang panjangnya sampai satu setengah halaman.) Karya-karya
Bhaskar kemudian jadi tak seterang A Realist Theory of Science.

Gaya berfilsafat yang sok khidmat itu diperparah dengan balikan Bhaskar di era 2000-an
ke arah mistisisme. Karya-karya seperti From East to West: Odyssey of a Soul (2000)
dan Beyond East and West (2003) membuat Bhaskar banyak ditinggalkan pengikut
setianya. Nyaris semua filsuf beraliran realisme kritis menolak terlibat dalam balikan
teosofis itu. Dengan berbalik seperti itu, Bhaskar memang tidak membantah filsafat
lamanya—realisme dan naturalisme kritis—tetapi ia menyatakan bahwa yang dibahas
dalam filsafat lamanya itu hanyalah dunia fisik yang dualistis, sementara yang
dibahasnya dalam filsafat barunya adalah dunia meta-fisik yang non-dualistis. Kemudian
ia sibuk memberikan seminar-seminar pencerahan spiritual à la New Age bagi jiwa-jiwa
yang resah atau hipster-hipster yang tengah dirundung kegalauan spiritual akibat gagal
move on. Para pengikutnya, seperti Tony Lawson, Margaret Archer dan Alex Callinicos,
segera menarik garis batas: mereka hanya mengikuti realisme dan naturalisme kritis
Bhaskar awal, bukan spiritualisme Bhaskar akhir.

Sejak kematiannya hingga hari ini (sekitar dua minggu kemudian), saya belum
menemukan satu artikel pun yang berisi obituari tentang Bhaskar. Ini agak ganjil.
Biasanya, kematian filsuf yang terkenal segera dibungkus dengan obituari panjang di
koran atau setidaknya situs filsafat terkenal. Dalam kasus Bhaskar, kematiannya hanya
dikabarkan singkat lewat twitter dan milis-milis filsafat oleh teman-teman dekatnya,
seperti Alex Callinicos atau David Graeber. Tentunya ini patut disayangkan. Pemikiran
Bhaskar, walau bagaimanapun, telah memberikan sumbangan penting bagi filsafat
Marxis dan filsafat pada umumnya. Ia menjernihkan perbedaan antara struktur dan
agensi, antara realisme dan relativisme, antara fakta dan nilai, untuk kemudian
menemukan titik tengah yang paling masuk akal yang merupakan sintesis dari kedua
posisi yang bertentangan sembari membuang hal-hal yang tak bisa dipertanggung-
jawabkan akal dalam kedua posisi tersebut. Ia gemar membelah rambut—tak pelak lagi
kerja tersulit bagi setiap filsuf, apalagi di zaman sekarang ini ketika berbagai konsep dan
neologisme baru yang bertentangan satu sama lain dengan ekstrem beterbangan seperti
lalat di Bantar Gebang.***

Kepustakaan:

Bhaskar, Roy. 1976. A Realist Theory of Science. Leeds: Leeds Books Ltd.

——– . 1987. Scientific Realism and Human Emancipation. London: Verso. .

——– . 1989. The Possibility of Naturalism: A Philosophical Critique of the Contemporary


Human Sciences. London: Harvester Wheatsheaf.

14/16
Bonjour, Laurence. 1996. “Problem of Induction” dalam Jonathan Dancy dan Ernest
Sosa, ed. A Companion to Epistemology. Oxford: Basil Blackwell.

Bottomore, Tom, ed. 2001. A Dictionary of Marxist Thought, Second Edition. Oxford:
Blackwell.

Collier, Andrew. 1994. Critical Realism: An Introduction to Roy Bhaskar’s Philosophy.


London: Verso.

——– . 1998. “Explanation and Emancipation” dalam Margaret Archer, et.al., ed. Critical
Realism: Essential Readings. London: Routledge.

Manicas, Peter T. 1987. A History and Philosophy of the Social Sciences. Oxford: Basil
Blackwell.

———–

[1] “The sense in which every account of science presupposes an ontology is the sense in
which it presupposes a schematic answer to the question of what the world must be like
for science to be possible.” (Bhaskar 1976:28-29).

[2] “Empirical realism is underpinned by a metaphysical dogma, which I call the epistemic
fallacy, that statements about being can always be transposed into statements about our
knowledge of being.” (Bhaskar 1976:16)

[3] Ketika membahas kekeliruan epistemik, Bhaskar menulis: “Behind this state of affairs
there ran a strong anthropocentric current in classical and subsequent philosophy, which
sought to rephrase questions about the world as questions about the nature or behaviour
of men.” (Bhaskar 1976:44)

[4] Bhaskar menerangkan tiga aspek yang dilibatkan dalam setiap ‘penutupan’ sistem.
Pada level sistem, terjadi isolasi sistem dari faktor-faktor yang eksternal terhadapnya.
Pada level individual, terjadi reduksi atas unit analisis menjadi atom agar mengecualikan
faktor-faktor internal yang mengganggu eksperimen. Pada ranah prinsip
pengorganisasian atas data, dipakai kerangka penjumlahan (additive) berbasis atom-
atom sebagai unit analisis. (Bhaskar 1976:76)

[5] “[I]t is clear that experimental activity is impossible in the social sciences and at the
very least devoid of the same significance in psychology as it possesses in physics and
chemistry”. (Bhaskar 1976:244)

[6] Disarikan dari Collier (1998:449-452). Sebetulnya Bhaskar menambahkan variabel


lain setelah subjek dan objek penelitian, yakni relasi di antara keduanya. Namun, karena
Bhaskar sendiri hanya menyebutkan hal itu tanpa mengelaborasinya, maka dalam tabel
berikut saya tidak menyertakannya.

[7] Bagian berikut ini pernah saya uraikan dalam buku Asal-Usul Kekayaan (Resist Book,
2013).

15/16
[8] Satu kalimat itu berbunyi: “Indeed dialectical critical realism may be seen under the
aspect of Foucauldian strategic reversal—of the unholy trinity of
Parmenidean/Platonic/Aristotelean provenance; of the Cartesian-Lockean-Humean-
Kantian paradigm, of foundationalisms (in practice, fideistic foundationalisms) and
irrationalisms (in practice, capricious exercises of the will-to-power or some other
ideologically and/or psycho-somatically buried source) new and old alike; of the primordial
failing of western philosophy, ontological monovalence, and its close ally, the epistemic
fallacy with its ontic dual; of the analytic problematic laid down by Plato, which Hegel
served only to replicate in his actualist monovalent analytic reinstatement in
transfigurative reconciling dialectical connection, while in his hubristic claims for absolute
idealism he inaugurated the Comtean, Kierkegaardian and Nietzschean eclipses of
reason, replicating the fundaments of positivism through its transmutation route to the
superidealism of a Baudrillard.” Sumber: http://denisdutton.com/bad_writing.htm.

16/16

Anda mungkin juga menyukai