Anda di halaman 1dari 9

Sebuah Sintesa,

Kritisisme Immanuel Kant


oleh Muhammad Zhilal

Pendahuluan
Setelah kita memahami perdebatan yang sengit antara dua mazhab filsafat besar
di zaman modern, yaitu Rasionalisme dan Empirisme, yang keduanya menahbiskan
dirinya kepada pembahasan epistimologi dalam menentukan sumber pengetahuan yang
valid, diajukanlah sebuah sintesa untuk mendamaikan dua mazhab tersebut. Sintesa ini
dipimpin oleh Immanuel Kant. Dia datang dengan memiliki porsi yang sangat penting
dalam sejarah filsafat Barat dengan dipisahkannya dia dalam satu mazhab tersendiri dan
tidak ada selain dia yang berhak berada di bawah bendera Kritisisme. Sebabnya, karena
ia mengkritik keras beberapa pendapat kedua mazhab sebelumnya dan mencoba
mendamaikan antara keduanya dengan mengajukan sintesa yang apik dalam mengambil
pendapat antar keduanya yang menurutnya dapat dipertanggungjawabkan. Dan dengan
kritiknya itu, menjadi pijakan penting bagi para Filsuf sesudahnya dalam membangun
mazhab mereka masing-masing di kemudian hari.

Biografi Singkat
Dari Leibniz hingga Hume, begitulah kira-kira judul sub-bab yang ditulis oleh Yusuf
Karam dalam buku Sejarah Filsafat Modern ketika memulai menulis sejarah tentangnya.
Pernyataan tersebut datang dengan alasan memang begitulah bagaimana fragmen kehidupan
seorang Kant dalam membangun proyek filosofisnya. Ia lahir di Jerman di sebuah kota bernama
Königsberg. Dia lahir dalam sebuah keluarga saleh yang dipengaruhi oleh ajaran pietisme1. Ajaran
ini yang nantinya akan memberi pengaruh besar terhadap pandangan Kant tentang etika yang
menjunjung tinggi kewajiban. Dimulai dari Leibniz karena pada awal masa belajarnya, ia sangat
terpengaruh dengan pendapat-pendapatnya Wolf yang merupakan salah satu penerus ajaran
Leibniz terbesar. Dan pada tahun 1746M ia membuat suatu risalah dalam usaha mendamaikan
antara Descartes dan Leibniz dalam masalah hukum gerak2. Lalu pada tahun 1755M ia membuat
disertasi tentang Api dan disertasi berjudul A New Elucidation of the First Principles of Metaphysical

1 Gerakan gereja Lutherian di awal Protestan muncul. Memiliki ajaran inti dimana keimanan dapat menjamin
seseorang serta titik fokus agama bukan pada rasio tetapi berada pada kehendak (maksim).
2 Thoughts on the True Estimation of Living Forces, Kant mengkritik pandangan Leibniz tentang Vis Activa.
Cognition yang berisi kritikan atas pendapat Wolf dan berakhir dengan kesimpulannya tentang
interaksi kausal bisa terjadi sebab adanya koordinasi yang diciptakan oleh Tuhan yang dengannya
berimplikasi juga akan keberadaan Tuhan itu sendiri. Pada tahun yang sama dia menulis risalah
kembali yg berisi kritikan atas Wolf tentang kehendak bebas. Sampai tahun ini-lah Kant akhirnya
bisa melepaskan diri dari pengaruh Rasionalisme yang dibawa oleh Wolf dan Leibniz. Kemudian
akhirnya ia membaca Shaftesybury, Hume, dll yang memiliki pandangan akan adanya indra keenam
dalam diri manusia yang bertugas untuk menentukan nilai moralitas atau etika yang mana indra ini
berbeda dengan rasio maupun sumber agama. Dan pada akhirnya pengaruh Hume merupakan
pengaruh yang paling kuat yang pernah diterima oleh Kant. Sampai ia berkata bahwa Hume telah
membangunkannya dari tidur dogmatisnya. Kant terbangun sebab pandangan Hume tentang
prinsip Kausalitas yang ia bawa. Hingga pada periode 1760-1770M dianggap sebagai periode kritis
Kant terhadap metafisika secara khusus dan Rasionalisme secara umum. Terhitung dengan
dibuatnya masterpiece Kant pada tahun 1781M yang berjudul Kritik atas Rasio Murni, lalu pada
tahun 1788M, Kritik atas Rasio Praktis dan pada tahun 1790M, Kritik atas Daya Penilaian maka
terbentuklah mazhab Kritisisme yang ia pimpin.

Paradigma Filosofis
Kerangka berfikir filosofisnya Kant dapat kita ekstrak dari ketiga literatur inti yang sudah
disebutkan sebelumnya, KARM mewakili pertanyaan akan apa yang dapat kita ketahui, KARP
mewakili pertanyaan akan apa yang hendaknya kita lakukan dan KADP mewakili pertanyaan akan
estetika. Dari ketiga karya tersebut pertama-pertama Kant ingin menyatakan bahwa hal yang
harusnya pertama dilakukan bukanlah meragukan sesuatu, tetapi yang perlu dilakukan pertama kali
adalah kita harus mengkritisi dulu perangkat yang kita gunakan dalam mencari pengetahuan akan
sesuatu. Kita harus menginvestigasi dengan ketat apakah perangkat yang familiar kita gunakan
tersebut dapat memvalidasi kebenaran atau tidak. Maka dari itu kita perlu mengerti dengan baik
dan komprehensif serta membatasi apa saja yang dapat dilakukan oleh perangkat diri kita dalam
mencari kebenaran. Dengan kritiknya akhirnya Kant dapat mengetahui apa saja asas-asas apriori
yang memang sudah tertanam dalam rasio kita dan dapat diyakini kebenarannya tanpa memerlukan
uji empiris. Yang mana dengan adanya asas-asas apriori tersebut menjadi syarat kemungkinan (die
Bedingung der Moeglichkeit) terhasilnya pengetahuan dari objek-objek di luar rasio. Dari sini bisa kita
lihat peranan kritis Kant dalam membuat sintesis antara dua mazhab Rasionalisme dan Empirisme.
Dimana Rasionalisme menolak penuh adanya kemungkinan terhasil pengetahuan dari objek luar
dan Empirisme menolak penuh adanya idea bawaan dalam rasio kita. Dan para filsuf sebelum Kant
disebut Dogmatisme sebab mereka menerima begitu saja perangkat-perangkat pengetahuan yang
mereka gunakan tanpa mengkritisinya terlebih dahulu.3

Lalu filsafat Kant terkadang disebut sebagai filsafat Transendetal, dengan makna bahwa
disebut transendental bila memusatkan pada kondisi murni subjek pengetahuan. Dan objek luar
bisa diketahui bila ia menyesuaikan kondisi pada subjek tersebut, bukan sebaliknya. Dengan kata
lain, Kant ingin mencari terlebih dahulu syarat-syarat kemungkinan terhasilnya pengetahuan.
Disinilah letak transendental yang dimaksud oleh Kant. Bahwa ia melewati pengalaman empiris
dengan mencari tahu dulu syarat-syarat kemungkinan pengetahuan.

Kritik atas Rasio Murni


Dalam buku ini Kant mempersoalkan bagaimana validitas pengetahuan kita dan juga
mempersoalkan kemungkinan metafisika lain apakah dapat dikatakan sebagai pengetahuan atau
tidak. Sebab metafisika itu tidak seperti fisika yang memang memiliki metode terpecaya dalam
memecahkan masalahnya. Sedangkan Kant ingin menentukan mana pengetahuan apriori yang
tidak terhasil daripada pengalaman atau empiris. Jadi dalam hal ini, maka Kant menolak metafisika
dapat terhasil kemungkinannya dengan pengetahuan apriori. Akan tetapi tidaklah ia mengatakan
bahwa metafisika itu tidak eksis/ada, sebab menurutnya (akan dibahas nanti) kemungkinan
metafisika dapat dihasilkan melalui jalur lain, yaitu dari pandangannya tentang etika yang akan
dibahas pada Kritik atas Rasio Praktis.

Kant membagi 2 putusan dalam sebuah pernyataan, Putusan Analitis4 dan Putusan Sintetis.
Putusan Analitis adalah proposisi dimana predikat (mahmul) terkandung atau bagian daripada
subjek (maudhu’) itu sendiri. Seperti contoh “Manusia itu berfikir”. Befikir merupakan bagian
penyusun inti daripada pengertian manusia (mabda’ dzatiyah). Oleh karenanya putusan dalam
proposisi ini disebut pengetahuan Apriori karena pengetahuan berfikir kita dapati tanpa bantuan
empiris. Sedangkan Putusan Sintetis adalah kebalikan dari Analitis, dimana predikat bukan bagian
daripada subjek. Misalnya “Manusia itu pasti mati”, “Semua benda itu berat”. Mati dan berat
merupakan pengetahuan baru yang tidak terkandung di dalam subjek dan kita mengetahui adanya
mati dan berat itu butuh kepada proses empiris, maka putusan ini bersifat aposteriori (sintetis
aposteriori).

Dari kedua putusan ini Kant akhirnya menemukan bahwa adanya putusan ketiga yang tidak
cocok bila diletakan pada 2 kategori sebelumnya. Misalkan pada contoh “Tubuh orang dewasa itu

3 Lihat F.Budi Hardiman, Pemikiran Modern, hlm 132.


4 ‫ األحكام التحليلية‬/ Analytic Proposition, ‫ األحكام التركيبية‬/ Synthetic Proposition
berat”, “Panas matahari memanaskan batu”. Berat dan batu menjadi panas merupakan predikat
yang tidak terkandung dalam subjeknya akan tetapi kita semua dapat mengetahui itu tanpa kita
perlu mengujinya. Hingga akhirnya pengetahuan menjadi universal dan dapat diterima siapapun.
Maka putusan ketiga ini bersifat apriori tapi sintetis. Inilah yang dicoba dicari jawabannya dalam
buku ini oleh Kant dari pertanyaan bagaimana putusan Sintetis Apriori ini mungkin bisa terhasil.

Buku ini dapat dibagi menjadi dua pembahasan pokok, dimana bagian pertama berbicara
tentang unsur-unsur apriori pengetahuan. Bagian pertama ini memiliki 2 sub-bagian yang disebut
Estetika Transendental, membahas bagaimana bentuk-bentuk apriori dari indra ataupun hasil
empiris dapat mungkin menjadi pengetahuan. Sub-bagian kedua, Logika Transendental dibagi
menjadi dua lagi, Analitika Transendental membicarakan tentang kategori-kategori apriori dan
Dialektika Transendental membahas kemungkinan metafisika menjadi sebuah pengetahuan. Lalu
bagian kedua berbicara mengenai metode transcendental yang intinya dapat disimpulkan bahwa
objek haruslah mengenalkan diri kepada subjek lalu subjek menerima secara pasif dan akhirnya
subjek yang akan mensintesiskan kategori kategori tersebut menjadi pengetahuan yang mungkin
diterima. Pengenalan pada subjek ini yang ia sebut sebagai revolusi Kopernikan5.

Estetika Transendental
Kant menerima pandangan para filsuf Empriris bahwa pengetahuan dapat diketahui
melalui pengalaman indrawi tetapi tidak mutlak. Tidak seperti para Empiris, Kant tetap menerima
kemungkinan pengetahuan dari sumber lain. Pengalaman indrawi tersebut dapat terhubung dengan
kita melalui perangkat yang disebut intuisi indrawi. Intuisi ini dapat dikatakan sebagai kondisi
apriori keindrawian (Sinnlichkeit) dan juga menjadi syarat kemungkinan pengetahuan indrawi itu
mungkin. Intuisi tersebut terwujud di luar dikarenakan bersinggungan dengan Ruang dan Waktu.
Dengan suatu objek berada dalam ruang dan waktu, maka pengetahuan indrawi menjadi mungkin.
Alasan kedua intuisi ini bersifat apriori karena segala benda yang kita gambarkan/resepsikan selalu
terandaikan berada dalam ruang sedangkan konsep waktu sudah tertanam di dalam diri kita dan
juga keduanya tidaklah muncul dari pengalaman empiris. Objek dari pengindraan ini nantinya oleh
Kant disebut sebagai ‘penampakan’ (Erscheinung). Letak perbedaan Kant dengan para filsuf Empiris
dapat terlihat dalam masalah objek penampakan ini. Para Empiris mengatakan bahwa pengetahuan
indrawi bersifat murni aposteriori, sedangkan Kant menolak hal ini. Menurut Kant, penampakan
memiliki dua unsur, unsur materi (materia/‫ )مادة‬dan unsur bentuk (forma/‫)صورة‬. Unsur materi itu
layaknya bahan yang memang terlihat dan menjadi sasaran atau objek daripada penampakan.

5 Lihat F.Budi Hardiman, Pemikiran Modern, hlm 135.


Sedangkan unsur forma adalah sesuatu yang dapat menghubungkan penampakan dengan kategori-
kategori dalam rasio kita yang bersifat apriori. Sebagaimana kaidah akal mengatakan lazim dari
sesuatu maka menerima hukum yang sama sesuai asalnya, maka unsur forma ini juga bersifat
apriori. Dan unsur forma yang apriori ini adalah Ruang dan Waktu yang sudah dijelaskan.

Lalu Kant menjelaskan bahwa ‘penampakan’ bukanlah objek hakiki itu sendiri. Objek
hakiki menurut Kant tidaklah bisa kita ketahui kemungkinannya. Ia menyebutnya dengan istilah
das Ding an sich / benda pada dirinya. Das Ding an sich ini tidak bis akita ketahui sebab pengetahuan
kita akan dunia luar hanya merupakan interpretasi akan penampakan objek, bukan interpretasi
langsung terhadap objek tersebut. Dan penampakan objek yang akan selalu dapat kita ketahui ini
disebut sebagai phenomena dan objek itu sendiri yg tidak bisa ketahui disebut noumena. Phenomena
ini dapat mungkin diketahui sebab ia terkena ruang dan waktu hingga memumngkinkan diketahui.
Kita bisa menyimpulkan darinya bahwa kenyataan selalulah terdiri dari sintesis antara apriori
(dengan adanya pengindraan internal melalui waktu) dan aposteriori (dengan adanya pengindraan
eksternal melalui ruang). Lalu Noumena tidak dapat kita ketahui dikarenakan penampakan objek
akan selalu terinterpretasi dalam rasio kita dengan kategori-kategori yang ada. Layaknya kita
mengandaikan bahwa kita hanya bisa memandang dunia luar menggunakan kacamata biru, maka
kita akan otomatis berintrepertasi bahwa semua dunia luar adalah biru. Akan tetapi hakikat warna
dunia luar itu biru atau bukan tidak dapat diketahui karena perangkat yg kita gunakan hanya
terbatas pada kacamata biru itu saja. Kacamata biru ini yang akan dikatakan sebagai kategori-
kategori putusan atau kategori-kategori apriori yang akan dibahas pada bagian selanjutnya.

Analitika Transendental
Setelah kita tahu bahwa pengetahuan indrawi sudah merupakan sintesis, selanjutnya Kant
akan mencoba membuktikan bagaimana pengetahuan indrawi menjadi mungkin. Kant di awal
sudah mengatakan bahwa di dalam diri subjek dikenal akan adanya intuisi atau disebut juga
sensibilitas dalam menangkap data indrawi dan yang kedua ada pikiran itu sendiri (verstand) yang
bertugas untuk memproses data menjadi pengetahuan. Keduanya memiliki hubungan saling
melengkapi, sebab tanpa sensibilitas kita tidak bisa menangkap penampakan objek luar lalu tanpa
pikiran itu sendiri tidak dapat memproses pengetahuan apapun. Disinilah titik temu sesunnguhnya
yg coba diutarakan Kant antara mazhab Rasionalisme dan Empirisme.

Bila di bagian sebelum ini sudah disebutkan asas-asas intuisi (ruang dan waktu), maka
selanjutnya perlu kita bahas asas-asas pikiran itu sendiri. Asas-asas pikiran itu adalah logika itu
sendiri akan tetapi berbeda maknanya dengan logika formal yang memang betul-betul lepas dari
pengalaman empiris. Sebab logika disini tetap dapat menjaga kaitannya dengan objek empiris, maka
disebut sebagai Logika Transendental. Ia bersifat apriori dan murni dari pikiran itu sendiri. Karena
ia merupakan pikiran murni, maka ia menjadi forma apriori (sebagaimana sudah disinggung dalam
dua unsur penampakan objek). Asas-asas pikiran ini nanti disebut Kant sebagai kategori-kategori
apriori. Yang mana kategori ini tidak lain merupakan kategori-kategori putusan sebagaimana
dikenal dalam ilmu Logika.

Ketika pikiran memproses data menjadi pengetahuan, prosesnya itu berdasarkan kategori-
kategori apriori yang memang sudah tertanam dalam pikiran. Tanpa kategori tersebut kita tidak
bisa menghasilkan pengetahuan. Maka ia pun menjadi syarat kemungkinan pengetahuan. Ini semua
disebut Kant sebagai revolusi Kopernikan dalam filsafat. Gambaran sederhana akan prosesnya
sama dengan analogi kacamata biru yang ada dalam pembahasan noumena, bahwa kacamata biru
itulah kategori-kategori apriori yang diusung Kant. Mungkin akan muncul pertanyaan apakah objek
berwarna biru itu tidaklah nyata? Tentu Kant menjawab tidak. Karena itu hanyalah penampakan
objek atau phenomena daripada das Ding an sich dan objek tersebut tetap ada.
Dialektika Transendental
Setelah mengetahui bahwa Kant membedakan antara pikiran (Verstand) dengan sensibilitas
inderawi (Sinnlichkeit), Kant menambahkan satu lagi akan adanya perangkat yang berbeda dengan
pikiran, yaitu rasio (Vernunft). Bila pikiran bersinergi langsung dengan phenomena, maka rasio
tidaklah berhubungan langsung. Dan juga walaupun rasio tidak bisa memperluas pengetahuan kita,
ia bertugas menyatukan semua persepsi atau gambaran yang terjadi pada pikiran dan sensibilitas
menjadi sebuah argumentasi 6 . Akhirnya Kant menjelaskan bahwa melalui Vernunft kita bisa
menemukan 3 idea bawaan rasio, Idea Subject, Idea of the World, The Conception of God.

Idea Subject menurut Kant adalah ketika subjek dapat berhasil melakukan proses berfikir
dan subjek sadar bahwa ia berfikir dan dengan berfikirnya ia dapat mengakomodir semua proses
itu maka dari penjelasan itu semua akhirnya muncul ide bahwa Subjek itu sendiri merupakan
sintesis apriori dalam rasio. Idea of the World dimulai ketika kita sadar akan adanya hubungan
penggambaran dengan penampakan objek. Kita sadar bahwa disana ada hubungan kausalitas antar
phenomena. Dan kausalitas ini tidaklah kita temukan melalui pengalaman empiris hingga akhirnya
bersifat apriori. The Conception of God berkaitan dengan penggambaran apapun secara umum,
baik ia tampak ataupun pada dirinya sendiri. Akhirnya rasio berusaha mensintesiskan akan adanya
sebuah entitas yang sangat maha sempurna. Sebab kemahasempurnaan bagi rasio itu dapat
terfikirkan. Tapi hasil akan adanya fikiran itu tidaklah didapat dari pengalaman empiris apapun.

Setelah kita membahas 3 ide tadi, kita bisa mempertanyakan kembali tentang kemungkinan
metafisika menjadi sebuah pengetahuan. Ketiga ide itu semuanya sama-sama tidaklah berkaitan
dengan objek empiris apapun. Sedangkan menurut Kant, sesuatu valid dikatakan sebagai
pengetahuan bila pengetahuan itu memiliki objek-objek yang memiliki sensibilitas agar dapat
ditangkap oleh pikiran dengan kategori-kategorinya dan akhirnya disentiskan oleh Rasio menjadi
sebuah pengetahuan baru. Dengan kata lain objek tersebut harus trasenden dengan pikiran serta
kategori-kategorinya. Sedangkan Metafisika tidaklah memiliki syarat yang pertama, yaitu tidak
memiliki objek-objek empiris. Dengan demikian menurutnya, metafisika tidak mungkin menjadi
pengetahuan. Berdasarkan argumen yang sama pun, Kant menyimpulkan bahwa ada tidaknya Allah
dan jiwa mustahil dibuktikan sebagai pengetahuan. Akan tetapi, sebagaimana disinggung
sebelumnya, bahwa pertemuan kita dengan pembuktian Allah akan didapat melalui pandangan
etikanya.

6 F.Copleston, History of Philosophy, Volume 6, h.280.


Pandangan Etika
Ich musste also das Wissen aufheben, um zum Glauben Platz zu bekommen, perkataan Kant dalam
bukunya yang kedua Kritik atas Rasio Praktis. Ia bermaksud bahwa permasalahan adanya tuhan
atau tidak, itu bukanlah masalah ilmu pengetahuan. Akan tetapi itu ranahnya iman. Oleh karenanya
ia mencoba menghubungkan iman dengan rasio praktis atau etika. Dengan kata lain, pengetahuan
akan tuhan bukanlah perkara teoritis, akan tetapi itu iman yang dilandasi oleh moralitas atau etika.
Disini Kant tidak lagi mengandaikan Tuhan sebagai ide transcendental sebagaimana ada dalam ide
bawaan rasio, tetapi ia mencoba mengandaikan sebagai postulat atau pengandaian hipotetis.

Menurut Kant, etika itu harus berdasarkan kewajiban. Kewajiban moralitas dalam etika itu
bersifat imperatif (ilzamiy) yang berarti mutlak. Dan Kant membagi imperative kepada 2 macam,
Imperatif Hipotetis dan Imperatif Kategoris. Macam yang kedua ini lah yang bermoral
menurutnya. Karena menurutnya Imperatif ini memerintah bukan utk mencapai tujuan, akan tetapi
memerintah sebab perintah itu baik pada dirinya. Bunyi Imperatif Kategoris itu sebagai berikut.

“Bertindaklah seolah-olah maksim7 tindakan anda melalui keinginan dapat menjadi sebuah Hukum
Alam yang Universal.”

Dalam bunyi imperatif ini, mengandung makna sebuah kewajiban. Tindakan dianggap bermoral
bila mewajibkan pada akhirnya sebuah hukum alam yang universal. Dan tujuan tertingginya itu
adalah Kebaikan Tertinggi. Dengan berusaha memenuhi kebaikan tertinggi ini, maka kita bisa
mempostulatkan 3 hal , kebebasan, imortalitas jiwa dan keberadaan tuhan.

Suatu kewajiban pasti mengandaikan kebebasan. Sebab sesuatu tidak bebas tidaklah bisa
dikenakan kewajiban karena mereka tidak memiliki kemampuan apapun (tidak bebas) untuk bisa
melakukan kewajiban. Maka dari postulat ini dapat mengandaikan kebebasan pada manusia.

Imortalitas jiwa pun dapat diandaikan. Dijelaskan dengan kita berusaha mencapai kebaikan
tertinggi. Kebaikan Tertinggi ini kita anggap sebagai keutamaan. Sedangkan bila manusia ingin
terus mencapai keutamaan maka ia tidaklah boleh berakhir (mati) supaya bisa mendapat kebaikan
tertinggi tiada akhir. Dari sini dapat diandaikan bila manusia ingi terus mencapai kebaikan tertinggi,
ia bisa diandaikan abadi.

Kembali ke tujuan awal masuk kedalam pembahasan etika ini, Dari terealisasinya kebaikan
tertinggi itu pasti manusia akan mendapatkan kebahagiaan. Dengan kebebasan tadi, subjek dapat

7Asas kehendak yang menurut Kant menjadi tolak ukur moralitas. (Seperti pendapat Hume akan adanya indera
keenam dalam menilai etika)
menciptakan apapun yang diingikan dan dikehendakinya dan oleh karenanya ia pun dapat
merealisasikan kebahagiaannya sesuai kehendak yang ia mau. Sedangkan dalam kenyataan, kita
tidak bisa merealisasikan itu semua secara pasti. Hingga berimplikasi bahwa haruslah ada Subjek
yang dapat terus menjaga manusia dalam merealisasikan kewajibannya dalam mencapai tujuan
kebaikan tertinggi itu. Subjek yang menjaga dan dapat memenuhi semua keinginan itulah disebut
dengan Tuhan. Dengan kata lain Kant ingin menegaskan bahwa bila kita mengatakan bahwa Tuhan
itu tidak ada, maka sama saja kita menolak hukum-hukum etika ataupun moral. Karena kita dengan
menolak adanya Tuhan, menolak juga akan tercapainya Kebaikan Tertinggi. Saya bermoral maka
saya akan sampai kepada Tuhan.

Penutup
Berakhir sudah rangkaian perjalanan kita dalam mendalami bagaimana paradigma
Immanuel Kant dalam usahanya mensintesiskan dua mazhab yang berseberangan pandangannya.
Dari sini bis akita lihat bagaimana usaha Kant sungguh merupakan bagian paling penting daripada
fragmen sejarah filsafat modern. Bila mengutip kembali pembahasan awal tentang faktor utama
dari diklasifikasikannya fase ini sebagai fase modern yaitu kesadaran. Menurut hemat penulis
puncak dari kesadaran tertinggi di fase modern ini berada dalam diri Immanuel Kant. Karena
melalui nalar kritis lah kita mencapai kesadaran tertinggi kita. Karena pentingnya nalar kritis yang
diusung Kant, akhirnya itu menjadi faktor pemisah besar antara fase sebelum Kant dan sesudahnya.
Yang mana dengan nalar kritis nya menjadi pegangan yang sangat penting bagi filsuf sesudahnya.

Anda mungkin juga menyukai