Anda di halaman 1dari 8

Mata Kuliah : Filsafat

Fakultas : Kedokteran
Materi Perkuliahan : Apa itu Filsafat
Pengajar : Yanny Yeski Mokorowu, M. Hum

Tujuan Belajar :
1. Mahasiswa dapat membedakan Rasionalisme dan Empirisisme, dan Kritisisme
Immanuel Kant
2. Mahasiswa dapat memahami Apa itu Positivisme, Verifikasi, dan Falsifikasi
3. Mahasiswa dapat mengetahui perbedaan antara Metode kerja Ilmu empiris
{Positivisme Logis dan Falsifikasi Popperian}

A. Pendahuluan
Revolusi ilmu pengetahuan dalam abad XVII menjungkirbalikkan cara pandang
metafisika dan menggantikannya dengan cara pandang baru yang dikuasai oleh ilmu
pengetahuan empiris. Puncak kekuasaan ilmu pengetahuan empiris tercapai dalam abad 19
dan 20 yakni positivisme yang menekankan bahwa kebenaran pengetahuan didefinisikan
berdasarkan pengalaman nyata (a posteriori), bukan menurut pikiran yang abstrak (a priori).

Penolakan terhadap metafisika sebagai cara pandang dunia yang menguasai percaturan
ilmiah sepanjang abad pertengahan khusunya abad 13 sampai 17 disempurnakan oleh aliran
positivisme yang dikembangkan dalam Lingkaran Wina (Vienna Circle) pada abad 20 sebagai
positivisme logis atau empirisme logis. Positivisme logis menegaskan bahwa hanya
pengalaman empiris yang dapat dijadikan titik tolak untuk memperoleh pengetahuan yang
benar dan ilmiah karena sesuai dengan kenyataan dan dapat dibuktikan. Karena itu
metafisika ditolak sebab titik tolaknya abstrak, ambigu, tidak jelas, dan tidak dapat
dibuktikan sebagai pengetahuan yang benar dan ilmiah.

B. Revolusi Ilmu Pengetahuan Abad XVII sebagai Latar Belakang Pengetahuan


Ilmiah dan Dampaknya Terhadap Filsafat Ilmu
Nicolaus Copernicus (1473 -1543) ahli astronomi dan matematika yang hidup di Royal
Prussia wilayah Kerajaan Polandia adalah tokoh terpenting dalam revolusi ilmu sejak ia
mempertahankan pandangannya tentang heliosentrisme yang merevisi pandangan Claudius
Ptolemy yang tertuang dalam tulisannya Almagest. Ptolemy menyebutkan Earth as a
stationary center of the universe. Pandangan Copernicus menjadi awal revolusi ilmu
pengetahuan karena ia mengatakan The earth is not a stationary center of the universe but
the sun.. Akan tetapi, apakah Copernicus adalah seorang ilmuwan empiris? Copernicus
mengembangkan heliosentrisme bukan berdasarkan fakta empiris melainkan berdasarkan
pada pembuktian kebenaran realitas melalui hipotesis atau asumsi yang diyakininya (a
priori). Oleh karena itu Copernicus digolongkan sebagai konseptualis bukan empirisist.
Galileo Galilei (1564 1642) ahli astronomi Italia merupakan penerus Copernicus.
Akan tetapi, sama saperti Copernicus, Gallieo adalah seorang konseptualis bukan sebagai
empiris murni sebagaimana dipahami secara salah sampai sekarang. Sebagai seorang
konseptualis, Galileo menganjurkan pembedaan antara aspek primer dalam praksis ilmu
pengetahuan yang meliputi: bentuk, ukuran, gerak, dan jumlah; dan aspek sekunder dalam
praksis ilmu pengetahuan yang meliputi: warna, rasa, dan bunyi. Yang pertama hanyalah
konsep dan yang kedua adalah pengalaman. Dengan mempertimbangkan dua aspek ini,
Galileo membuktikan bahwa kebenaran ilmiah bukan hanya konsep melainkan realitas.
Dengan kata lain, ilmu pengetahuan menyangkut sesuatu yang riil dan dapat diamati, bukan
sekedar kemungkinan yang diolah secara konseptual di dalam pikiran.

C. Dua Sistem Filsafat: Rasionalisme dan Empirisme


Rasionalisme muncul sebagai sistem filsafat yang bertujuan membangun metodologi
ilmu pengetahuan berdasarkan kekuatan pikiran atau nalar (reason) manusia. Akibatnya,
kemandirian manusia dalam berpikir dipacu oleh kesadarannya, dan tanggung jawab
terhadap tindakannya berada di dalam tangannya sendiri. Otonomi subyek menjadi titik
pangkal rasionalisme. Segala bentuk pemaksaan dari pihak luar melalui hukum-hukum
dogmatis misalnya keyakinan agama digugat, dan jika tidak berhasil memberikan fondasi
rasioanal segera ditinggalkan sebagai metafisika. Tokoh utama dalam aliran ini adalah Rene
Descartes (1596-1650). Empirisme merupakan sistem filsafat yang mengajarkan bahwa
pengalaman (empiris) merupakan satu-satunya sumber pengetahuan manusia yang menjadi
dasar pembuktian kebenaran. Pembenaran adalah pembuktian berdasarkan pengalaman.
Tokoh utama dalam gerakan empirisme adalah David Hume (1711-1776).
Dua sistem filsafat ini Rasionalisme dan Empirisme menandai peralihan dari era
klasik, yaitu metafisika ke ilmu pengetahuan modern. Akan tetapi, dua sistem filsafat ini
bukanlah ilmu pengetahuan itu sendiri karena Rasionalisme dan Descartes mengatakan
bahwa filsafat dapat bertahan di era modern apabila metodenya dapat mengakomodasi cara
kerja ilmu pengetahuan modern, khususnya cara kerja matematika. Alasan penolakan
Descartes terhadap filsafat atau metafisika ialah bahwa pernyataan metafisika tidak memiliki
kepastian. Metode yang dikemukakan oleh Descartes adalah metode kesangsian/keraguan.
Metode ini mengandaikan sikap rasional dari manusia untuk meragukan segala sesuatu yang
dialaminya sampai ia bisa membuktikan sesuatu sebagai kepastian yang tidak diragukan lagi
sebagaimana axioma yang berlaku dalam ilmu pasti. Kepastian yang tidak dapat diragukan
lagi dalam pengujian pernyataan-pernyataan metafisika mengikuti adagium cogito ergo sum
{saya berpikir, maka saya ada}. Rasio pada rasionalisme adalah otonomi subyek dalam
menentukan apa yang benar menurut kesadaran, bukan mengikuti penginderaan belaka.
Empirisme merupakan pandangan filsafat mengenai ilmu pengetahuan dan bagaimana
filsafat dapat dipertahankan menurut sistem yang berlaku dalam ilmu pengetahuan.
Sebaliknya, empirisme mengatakan bahwa tidak ada kesadaran mengenai apa yang kita tahu
karena pengetahuan itu hanyalah kesan atas apa yang kita tangkap melalui penginderaan.
Tanpa pengalaman inderawi, tidak ada pengetahuan. Pengetahuan bersifat inderawi karena
bisa dibuktikan. Maka, rasio universal atau penalaran universal tidak bisa dipakai sebagai
pembuktian pengetahuan.

D. Kritisisme Immanuel Kant


Immanuel Kant (1724-1804) memulai kritik terhadap persoalan metafisika tradisional
yang tidak dapat diselesaikan baik oleh Rasionalisme maupun Empirisme. Ia membangun
sistem filsafatnya sebagai kritik, yaitu pertimbangan mengenai sebuah konstruksi atas
rasionalisme dan empirisme dengan tujuan mendamaikan rasio dan pengalaman sekaligus
mengintegrasikan rasionalisme dan empirisme dalam sistem filsafat yang baru yang disebut
Kritisisme. Immanuel Kant membagi pemikirannya dalam empat kategori:
1. Apa yang dapat aku ketahui?
2. Apa yang harus aku lakukan?
3. Apa yang dapat saya harapkan? dan
4. Apa itu makhluk manusia
Kant menulis pengantar bagi uraiannya tentang hubungan filsafat atau metafisika dan ilmu
pengetahuan dalam tulisannya Prologomena to Any Future of Metaphysics Which Will be
Able to Come Forth as Science (1783). Di dalam tulisan ini Kant memberikan solusi terhadap
masalah metafisika dan perlakuan kita terhadap ilmu pengetahuan agar tidak melulu sebagai
pengalaman empiris (a posteriori) atau kesadaran (a priori). Kebenaran harus mengatasi
dikotomi antara akal budi dan pengalaman, yakni sintesis antara rasio dan pengalaman
(sintesis a priori).
Dalam paradigma konstruktif Kant, pengalaman empiris diolah dan dirangkum oleh
rasio menurut kategori-kategori yang menghasilkan pengetahuan rasional. Dengan demikian,
Kant mengatasi dikotomi pengetahuan yang dibatasi secara a priori oleh rasionalisme
maupun yang dibatasi secara a posteriori oleh empirisme. Kritisisme adalah sistem filsafat
yang menggunakan rasio secara kritis dengan terlebih dahulu mempertanyakan batas-
batasnya berdasarkan pengalaman.
Dengan demikian, Kant berusaha melampaui rasionalisme dan empirisme dengan
membangun sebuah filsafat ilmu pengetahuan sebagai kritik yang mempertimbangkan secara
saksama pengalaman mengenai apa yang bisa diketahui, apa yang harus dilakukan, dan
apa yang boleh diharapkan. Teori Kant tentang filsafat ilmu pengetahuan menyatakan
bahwa pengetahuan dimungkinkan oleh konstruksi akal budi atas pengalaman sehingga
tidak ada filsafat atau ilmu pengetahuan murni. Kesatuan dan filsafat dan ilmu pengetahuan
ditentukan oleh manusia sebagai subyek yang memiliki kehendak bebas dalam menentukan
apa yang benar, baik, dan dapat diharapkan. Dengan kata lain, Kant membangun filsafat ilmu
pengetahuan dalam ranah otonomi subyek, yaitu kehendak bebas, dan bukan heteronomi dari
luar subyek, yaitu hukum alam. Pandangan mengenai kehendak bebas sebagai hukum
universal merupakan cikal bakal lahirnya Positivisme, yaitu pandangan bahwa pengetahuan
merupakan hasil dari keputusan bebas manusia. Istilah positif itu sendiri berasal dari kata
Latin ponere yang berarti meletakkan atau menempatkan. Positivisme merupakan aliran
filsafat yang meyakini pengetahuan sebagai konstruksi pengalaman yang didasari oleh
kehendak bebas sebagai aktivitas manusia dan bukan aktivitas yang berkenaan dengan
metafisika.
Kant juga memiliki pandangan bahwa obyek pengetahuan pada dirinya sendiri (Das
Ding an sich) ada, tetapi tidak dapat dikenal. Yang dikenal ialah hanya apa yang terjadi dalam
diri subyek. Dari sini kemudian muncul Idealisme dalam aneka bentuknya. Dengan
menghapus Das Ding an sich yang dikonsepkan oleh Kant, maka kenyataan obyek
pengetahuan diubah menjadi hasil pengetahuan atau pikiran dan penalaran si subyek yang
sedang berkembang sambil menyatakan diri dan mewujudkan diri. Dengan demikian, cara
kerja filsafat menurut anggapan idealisme dapat dirumuskan sebagai usaha secara aktif
mengikuti atau ambil bagian dalam perkembangan subyek pengetahuan dalam segala
bentuknya. Menurut Hegel, bentuk perkembangan itu dialektis, sambil menelusuri
perkembangan roh dalam sejarah. Di sini unsur a priori dan a posteriori juga diwakili tetapi
dengan penekanan pada unsur a priori.

E. Positivisme August Comte


Menurut Comte (1798-1857) perkembangan kesadaran manusia mengikuti tiga tahap
yang secara linear bergerak dari tahap teologis, metafisis, dan mencapai puncaknya pada
tahap positif. Pada tahap positif, manusia mencapai taraf kedewasaan berpikir secara obyektif
berdasarkan gejala-gejala alam yang nyata. Untuk memiliki pengetahuan obyektif tersebut,
manusia harus mempelajari dan menguasai hukum-hukum alam dan melepaskan hukum
teologis dan metafisis yang abstrak, karena hanya dengan itu, manusia dapat menguasai alam
dan memanfaatannya untuk memnuhi kebutuhan hidupnya.
Positivisme Comte mempengaruhi sosiologi, antropologi, dan ilmu-ilmu sosial sebagai
studi empiris tentang relasi antar gejala yang tampak. Untuk itu, observasi atas gejala sosial
harus diperlakukan sama dengan pengamatan atas gejala-gejala alam supaya apa yang
dirumuskan sebagai pengetahuan sosial bersifat obyektif sebagaimana pengetahuan ilmu
alam yang mengikuti hukum-hukum universal. Dengan demikian, teori ilmu sosial bersifat
netral dan bebas nilai sebagaimana ilmu alam yang tidak terkait dengan penilaian etis dan
tidak terpengaruh oleh kondisi politik. Pada perkembangannya, positivisme berkembang ke
arah neo-positivisme yang mencita-citakan perpaduan antara ilmu-ilmu empiris dan ilmu-
ilmu pasti.
F. Lingkaran Wina Positivisme atau Empirisme Logis
Lingkaran Wina (Vienna Circle) adalah kelompok yang terdiri dari sarjana-sarjana ilmu-
ilmu pasti dan alam di Wina, ibukota Austria. Kelompok ini didirikan oleh Moritz Schlick
pada tahun 1924, namun pertemuannya sudah berlangsung sejak tahun 1922, dan
berlangsung terus sampai tahun 1938. Anggota-anggota dari kelompok ini antara lain: Moritz
Schlick (1882-1936), Hans Han (1980-1934), Otto Neurath (1882-1945), Hans Reichenbach
(1891-1955), dan Victor Kraft (1880-1975).
Mereka ini mendapat pengaruh dari tiga arah. Pertama, dari empirisme dan positivisme,
terutama Hume, Mill, dan Ernest Mach (1838-1916). Kedua, dari metodologi ilmu empiris
yang dikembangkan oleh para ilmuwan sejak abad ke-19, misalnya: Helmholtz, Mach,
Poincare, Duhem, Boltzmann, dan Einstein. Ketiga, perkembangan logika simbolik dan
analisis logis yang dikembangkan terutama oleh Frege, Whitehead, dan Russel, serta
Wittgenstein. Salah satu maksud gerakan ini ialah memperbaharui positivisme klasik ciptaan
Comte, sekaligus memperbaiki kekurangan-kekurangannya.
Pokok-pokok Pemikiran
Pandangan yang dikembangkan lingkaran Wina disebut neo-positivisme, atau sering
disebut positivisme logis, atau empirisme logis. Secara umum mereka berpendapat bahwa
hanya ada satu sumber pengalaman saja, yaitu pengalaman. Yang dimaksud ialah
pengalaman yang mengenal data-data inderawi. Selain pengalaman itu, mereka mengakui
adanya dalil-dalil logika dan matematika yang tidak dihasilkan lewat pengalaman. Dalil-
dalil itu hanya memuat sederetan tautologis subyek dan predikat saja, yang berguna
untuk mengolah data pengalaman (inderawi) menjadi suatu keseluruhan yang meliputi
segala data itu.
Mereka mempunyai minat besar untuk mencari garis batas atau demarkasi antara
pernyataan bermakna (meaningful) dan yang tidak bermakna (meaningless) berdasarkan
kemungkinan untuk di-Verifikasi. Dalam rangka itu, hanya ada dua pernyataan yang
berarti: 1). How do you know? lebih dalam yang dimaksud adalah Howdo you verify?
dan 2). What do you mean? lebih dalam yang dimaksud adalah berikan uraian atau
analisa logis dari pernyataan anda.
Sebagai akibat dari prinsip ini, filsafat tradisional haruslah ditolak karena ungkapan-
ungkapan yang dipakainya melampaui pengalaman. Semua ungkapan dalam teologi pun
seperti misalnya tentang adanya Allah, penciptaan, kekekalan jiwa, dan lain yang seperti
itu dianggap tidak bermakna sama sekali. Hal ini disebabkan oleh karena positivisme logis
mendasarkan pengetahuan mereka pada aturan-aturan persesuaian (correspondence
rules) bahwa argumen yang dibuat harus korespond dengan kenyataan yang ditangkap
indera.
Filsafat Ilmu Dalam Pandangan Positivisme Logis
Dalam kerangka pemikiran semcam itu, filsafat ilmu pengetahuan mereka pandang
semata-mata sebagai logika ilmu (The Logic of Science). Sebagai implikasinya, filsafat ilmu
harus disusun berdasarkan analogi logika formal. Filsafat tidak lagi menyibukkan dirinya
dengan isi (forma) dari proposisi atau argumen atau hipotesis, melainkan bentuk-bentuk
logis pernyataan ilmiah. Oleh karena itu, kerja seorang filsuf ilmu pengetahuan hanyalah
melakukan konstruksi representasi formal dari ungkapan-ungkapan ilmiah. Filsuf ilmu
tidak lagi berurusan dengan bagaimana metode kerja ilmu-ilmu tetapi sekedar
memberikan penilaian terhadap ilmu dalam bentuknya yang sudah jadi.

G. Karl Raimund Popper Falsifikasi


Popper lahir di kota Wina pada tahun 1902. Ia belajar ilmu alam dan filsafat, sambil
mengajar di SMU (senior high school) pada masa itu. Pada masa mudanya ia berkenalan
dengan beberapa tokoh Lingkaran Wina, namun tidak pernah menjadi anggota. Lagi pula,
sepanjang hidupnya ia merasa enggan, bahkan jengkel, bahwa setiap kali anggapan-
anggapannya dihubungkan dengan positivisme logis. Seperti banyak sarjana Eropa sebelum
perang dunia II, Popper juga seorang Yahudi. Pada waktu itu, kebanyakan sarjana juga para
sarjana Lingkaran Wina mengungsi ke Amerika dan Inggris. Popper sendiri mengungsi ke
Selandia Baru dan mengajar di Christchucrh. Sejak kembali ke Eropa, ia menetap di London
dan mengajar di London School of Economic, bagian universitas London.
Pokok-pokok Pemikiran Popper
- Dasar Logis cara kerja ilmu empiris
Popper menentang beberapa gagasan dasar Lingkaran Wina. Pertama-tama, ia
menentang pembedaan antara ungkpan yang disebut bermakna (meaningful) dari yang tidak
bermakna (meaningless) berdasarkan kriteria dapat tidaknya dibenarkan secara empiris.
Pembedaan itu digantinya dengan apa yang disebutnya garis batas atau
demarkasi antara ungkapan ilmiah dan tidak ilmiah. Pokok demarkasi terletak
pada ada tidaknya dasar empiris bagi ungkapan bersangkutan. Ungkapan yang tidak bersifat
ilmiah mungkin sekali amat bermakna menurut Popper.
Apakah suatu ungkapan bersifat empiris atau tidak, atau dimanakah letak ungkapan itu
dari garis batas menurut Popper tidak dapat ditentukan berdasarkan asas pembenaran yang
dianut positivisme logis. Sebab utama yang diajukannya untuk memperlihatkan hal itu ialah
mustahilnya pembenaran atau proses induksi. Dalam hal ini Popper setuju dengan
Hume, bahwa peralihan dari yang partikular (khusus) ke yang universal
(umum) secara logis tidak sah. Popper tidak mengikuti model verifikasi ala Lingkaran
Wina, dia mengemukakan prinsip falsifiabiltas. Artinya, ciri khas pengetahuan ilmiah
ialah bahwa dapat dibuktikan salah (it can be falsified).
Untuk mencapai pandangan ini Popper menggunakan kebenaran logis yang sederhana
sekali. Dalam tuturan Popper sendiri: melalui pengamatan terhadap angsa-angsa putih,
betapa pun besar jumlahnya, orang tidak dapat sampai pada kesimpulan bahwa semua
angsa putih, tetapi sementara itu cukup satu kali pengamatan terhadap seekor angsa hitam
untuk menyangkal pendapat tadi.
Menurut Popper, dengan cara itulah hukum-hukum ilmiah berlaku: bahwa bukan
supaya dapat dibenarkan melainkan dapat dibuktikan salah. Dengan cara yang
sama inilah ilmu pengetahuan berkembang maju. Apabila suatu hipotesa sudah dibuktikan
salah, maka hipotesa ituditinggalkan dan digantikan oleh hipotesa baru. Kemungkinan lain
adalah bahwa hanya salah satu unsur hipotesa yang dibuktikan salah, sedangkan inti hipotesa
dapat dipertahankan, maka unsur tadi ditinggalkan dan digantikan dengan unsur baru.
Dengan demikian, hipotesa tersebut disempurnakan, walaupun tetap terbuka untuk
dibuktikan salah.
Popper beranggapan bahwa suatu teori baru akan diterima kalau sudah ternyata bahwa
ia dapat meruntuhkan teori lama yang ada sebelumnya. Pengujian terhadap kekuatan dari dua
teori tersebut dilakukan melalui suatu uji empiris, yaitu pengujian yang direncanakan untuk
membuktikan salah hal/apa yang diujinya (memfalsifikasi). Kalau dalam tes tersebut sebuah
teori terbukti salah, maka teori tersebut akan dianggap batal, sedangkan teori yang berhasil
lolos akan diterima sampai ditemukan cara pengujian yang lebih ketat untuk
menfalsifikasinya. Melalui metode falsifikasi, pengetahuan maju bukan karena akumulasi
pengetahuan, melainkan lewat proses eliminasi yang semakin keras terhadap kemungkinan
kekliruan dan kesalahan. Yang bisa dilakukan hanya mengurangi kadar kesalahan sampai
sejauh dan sebanyak mungkin hingga makin mendekati kebenaran obyektif. Maka ilmu
pengetahuan maju dengan cara kian mendekati. Ini berarti menyangkut error elimination
terus menerus.
Kerapkali epistemologi Popper dijuluki epistemologi pemecahan masalah. Ini karena
menurut Popper, sebuah pengetahuan akan diawalai dengan suatu masalah. Untuk
memecahkan masalah tersebut diajukanlah sebuah teori yang tentatif sifatnya. Kalau teori
tersebut sesuai dan berdaya guna, ia dapat menyingkirkan kekeliruan dan kesalahan (error
elimination) yang menimbulkan masalah tadi. Dengan selesainya masalah pertama, serentak
lahir masalah baru. Proses ini akan terus berulang. Maka dari itu, menjadi jelas bahwa hasil
langsung kemajuan ilmu ialah negatif, sedangkan hasil positif pada dasarnya selalu bersifat
sementara.
- Berguru pada sejarah ilmu
Menurut Popper, cara kerja falsifikasi menampakan diri paling jelas dalam sejarah ilmu-
ilmu. Di situ kita lihat bahwa bukan hanya hipotesa namun juga hukum dan teori yang kalah
dalam proses falsifikasi akan ditinggalkan, walaupun kekalahan itu tidak selalu direncanakan
oleh pihak lawan. Oleh karena itu, segala pengetahuan ilmiah bersifat sementara, maka
terbuka untuk dibuktikan salah. Jika tidak demikian, maka ilmu akan merosot menjadi
ideologi yang bersifat eksklusif. Sifat ini paling dikutuk Popper. Hal ini juga berlaku bagi
negara. Hal ini menjadi alasan Popper menulis buku Open Society and Its Enemy.
Anggapan dasar Popper ini disebut juga antifundamentalisme atau indeterminisme.
Sementara dengan menekankan sikap kritis, anggapannya Popper juga dikenal sebagai
rasionalisme kritis. Dari sudut lain, menurut Popper, terlihat dalam sejarah bahwa selama
satu hipotesa (hukum dan teori) tahan dalam upaya falsifikasi, selama upaya itulah hipotesa
(hukum dan teori) tersebut diperkokoh (is corroborated). Kendati demikian, ciri
kesementaraannya tetap tidak dapat hilang.

Referensi:

1. C. Verhaak dan Haryono Imam., Filsafat Ilmu Pengetahuan: Telaah Atas Kerja Ilmu-
ilmu., PT. Gramedia Jakarta, 1989.
2. T. M. Soerjanto Poespowardojo dan Alexander Seran., Filsafat Ilmu Pengetahuan: Hakikat
Ilmu Pengetahuan, Kritik Terhadap Visi Positivisme Logis serta Implikasinya., PT.
Gramedia Jakarta, 2015

Anda mungkin juga menyukai