html
TUGAS INDIVIDU
FILSAFAT ILMU
Di Susun Oleh :
Fathur Rahman
F01111021
1. EPISTEMOLOGI
dengan sarana apakah kita dapat memperoleh pengetahuan. Jika kita mengetahui batas-batas
pengetahuan, kita tidak akan mencoba untuk mengetahui hal-hal yang pada akhirnya tidak dapat
di ketahui. Memang sebenarnya, kita baru dapat menganggap mempunyai suatu pengetahuan
kemungkinan untuk memperoleh pengetahuan, atau mungkin sampai kepada kesimpulan bahwa
apa yang kita punyai hanyalah kemungkinan-kemungkinan dan bukannya kepastian, atau
kepastian yang mutlak dengan bidang-bidang yang tidak memungkinkannya, karena manusia
Empirisme adalah suatu cara/metode dalam filsafat yang mendasarkan cara memperoleh
pengetahuan dengan melalui pengalaman. John Locke, bapak empirisme Britania, mengatakan
bahwa pada waktu manusia di lahirkan akalnya merupakan jenis catatan yang kosong (tabula
Locke, seluruh sisa pengetahuan kita diperoleh dengan jalan menggunakan serta
memperbandingkan ide-ide yang diperoleh dari penginderaan serta refleksi yang pertama-
hasil-hasil penginderaan tersebut. Ini berarti semua pengetahuan kita betapapun rumitnya dapat
dapat diibaratkan sebagai atom-atom yang menyusun objek-objek material. Apa yang tidak dapat
atau tidak perlu di lacak kembali secara demikian itu bukanlah pengetahuan, atau setidak-
b. Rasionalisme
Rasionalisme berpendirian bahwa sumber pengetahuan terletak pada akal. Bukan karena
sebagai sejenis perangsang bagi pikiran. Para penganut rasionalisme yakin bahwa kebenaran dan
kesesatan terletak di dalam ide kita, dan bukannya di dalam diri barang sesuatu. Jika kebenaran
mengandung makna mempunyai ide yang sesuai dengan atau menunjuk kepada kenyataan, maka
kebenaran hanya dapat ada di dalam pikiran kita dan hanya dapat diperoleh dengan akal budi
saja.
Rasionalisme dikenalkan pertama kali dalam studi filsafat dengan tokohnya yang terkenal
adalah Rene’ Descrates. Aliran rasionalisme beranggapan bahwa sumber pengetahuan adalah
rasio. Karena kebenaran berasal dari ratio (akal). Namun dalam studi hubungan internasional,
rasionalisme baru mulai diperkenalkan pada tahun 1950 oleh Andrew Linklater, dalam bukunya
yang berjudul ‘Rationalism’. Menurutnya, rasionalis awalnya diperkenalkan dari sebuah asosiasi
penulis klasik seperti Gratius dan Vattel. Sedangkan pemikir modernnya adalah Hadley Bull,
Vincent, dan Watson. Rasionalis merupakan pemikiran yang berada diantara teori realisme dan
idealisme. Dalam bukunya, Linklater mengatakan bahwa “rasionalisme mengakui bahwa negara
melakukan paksaan untuk keamanannya di dalam kondisi anarkhi, tidak seperti individu-individu
dalam masyarakat sipil. Dan bahwa kompetensi dan konflik sering mengikuti usahanya untuk
realisme objektifnya.
Rasionalisme diambil berdasarkan teori realisme dan idealisme, dimana realis memiliki
yang egois. Dua poin penting mengenai rasionalisme yang ada dalam buku ini, menyebutkan
bahwa rasionalis meyakinkan bahwa tekanan realis dalam bagaimana negara mengeluarkan
maneuver, control, dan mencari kekuatan lebih dari yang lainnya. Kemudian, tuntutan rasionalis,
bahwa kepentingan internasional harusnya tidak berdasarkan pada jaminan, setelah pencapaian
berbahaya yang dapat memusnahkan dari kekuatan politik agresif atau revolusioner.
pemisahan teori dan praksis, seperti yang dianut oleh ilmu pengetahuan modern, bertujuan untuk
membersihkan teori dari kepentingan, dimana hal ini berlangsung dalam dua jalur. Pada jalur
pertama tokoh yang berdiri ialah Plato, Rene Descartes, Malebrache, Spinoza, Leibniz, dan
Wolff.
Mereka percaya, bahwa pengetahuan murni hanya dapat diperoleh melalui rasio manusia
itu sendiri (rasionalisme). Dalam hal ini, plato sangat menekankan pada peran intuisi. Di jalur
kedua, dengan Aristoteles, Hobbes, Locke, Berkeley, dan Hume berdiri sebagai tokohnya,
percaya bahwa hanya dengan melalui pengamatan empiris terhadap objek pengetahuan,
secara filosofis sebagai pengetahuan yang sahih tentang kenyataan, dan ditangan Francis Bacon,
konsep teori murni, yakni pembebasan pengetahuan dari kepentingan. Kemudian pada titik inilah
lahir pemikiran positivisme, yang menjadi puncak pembersihan pengetahuan dari kepentingan,
serta sebagai awal pencapaian cita-cita untuk memperoleh pengetahuan demi pengetahuan, yaitu
c. Positivisme
Dalam bidang ilmu sosiologi, antropologi, dan bidang ilmu sosial lainnya, istilah
positivisme sangat berkaitan erat dengan istilah naturalisme dan dapat dirunut asalnya ke
pemikiran Auguste Comte pada abad ke-19. Comte berpendapat, positivisme adalah cara
pandang dalam memahami dunia dengan berdasarkan sains. Penganut paham positivisme
meyakini bahwa hanya ada sedikit perbedaan (jika ada) antara ilmu sosial dan ilmu alam, karena
masyarakat dan kehidupan sosial berjalan berdasarkan aturan-aturan, demikian juga alam.
Dalam bidang ilmu sosiologi, antropologi, dan bidang ilmu sosial lainnya, istilah
positivisme sangat berkaitan erat dengan istilah naturalisme dan dapat dirunut asalnya ke
pemikiran Auguste Comte pada abad ke-19. Comte berpendapat, positivisme adalah cara
pandang dalam memahami dunia dengan berdasarkan sains. Penganut paham positivisme
meyakini bahwa hanya ada sedikit perbedaan (jika ada) antara ilmu sosial dan ilmu alam, karena
masyarakat dan kehidupan sosial berjalan berdasarkan aturan-aturan, demikian juga alam.
d. Intusionisme
Menurut Bergson, intuisi adalah suau sarana untuk mengetahui secara langsung dan
seketika. Analisa, atau pengetahuan yang diperoleh dengan jalan pelukisan, tidak akan dapat
Salah satu di antara unsut-unsur yang berharga dalam intuisionisme Bergson ialah,
paham ini memungkinkan adanya suatu bentuk pengalaman di samping pengalaman yang
dihayati oleh indera. Dengan demikian data yang dihasilkannya dapat merupakan bahan
tambahan bagi pengetahuan di samping pengetahuan yang dihasilkan oleh penginderaan. Kant
masih tetap benar dengan mengatakan bahwa pengetahuan didasarkan pada pengalaman, tetapi
dengan demikian pengalaman harus meliputi baik pengalaman inderawi maupun pengalaman
intuitif.
beberapa bentuk-hanya mengatakan bahwa pengetahuan yang lengkap di peroleh melalui intuisi,
sebagai lawan dari pengetahuan yang nisbi-yang meliputi sebagian saja-yang diberikan oleh
analisa. Ada yang berpendirian bahwa apa yang diberikan oleh indera hanyalah apa yang
menampak belaka, sebagai lawan dari apa yang diberikan oleh intuisi, yaitu kenyataan. Mereka
mengatakan, barang sesuatu tidak pernah merupakan sesuatu seperti yang menampak kepada
kita, dan hanya intuisilah yang dapat menyingkapkan kepada kita keadaanya yang senyatanya.
2. ONTOLOGI
Objek telaah ontologi adalah yang ada. Studi tentang yang ada, pada dataran studi filsafat
pada umumnya di lakukan oleh filsafat metaphisika. Istilah ontologi banyak di gunakan ketika
Ontologi membahas tentang yang ada, yang tidak terikat oleh satu perwujudan tertentu.
Ontologi membahas tentang yang ada yang universal, menampilkan pemikiran semesta
universal. Ontologi berupaya mencari inti yang termuat dalam setiap kenyataan, atau dalam
rumusan Lorens Bagus; menjelaskan yang ada yang meliputi semua realitas dalam semua
bentuknya.
a. Hakekat
a. Makhluk yang memiliki tenga dalam yang dapat menggerakkan hidupnya untuk memenuhi
kebutuhan-kebutuhannya.
b. Individu yang memiliki sifat rasional yang bertanggung jawab atas tingkah laku intelektual dan
sosial.
c. yang mampu mengarahkan dirinya ke tujuan yang positif mampu mengatur dan mengontrol
e. Individu yang dalam hidupnya selalu melibatkan dirinya dalam usaha untuk mewujudkan
dirinya sendiri, membantu orang lain dan membuat dunia lebih baik untuk ditempati
f. Suatu keberadaan yang berpotensi yang perwujudanya merupakan ketakterdugaan dengan
g. Makhluk Tuhan yang berarti ia adalah makhluk yang mengandung kemungkinan baik dan jahat.
h. Individu yang sangat dipengaruhi oleh lingkungan turutama lingkungan sosial, bahkan ia tidak
bisa berkembang sesuai dengan martabat kemanusaannya tanpa hidup di dalam lingkungan
sosial.
b. Materialisme
Kata materialisme terdiri dari kata materi dan isme. Materi dapat dipahami sebagai
bahan; benda; segala sesuatu yang tampak. Materialisme adalah pandangan hidup yang mencari
dasar segala sesuatu yang termasuk kehidupan manusia di dalam alam kebendaan semata-mata,
dengan mengesampingkan segala sesuatu yang mengatasi alam indra. Sementara itu, orang-orang
yang hidupnya berorientasi kepada materi disebut sebagai materialis. Orang-orang ini adalah
para pengusung paham (ajaran) materialisme atau juga orang yang mementingkan kebendaan
semata (harta,uang,dsb).
Segala yang ada (wujud) berasal dari satu sumber yaitu materi (ma’dah).
Adalah sebuah paham garis pemikiran, dimana manusia sebagai nara sumber dan juga sebagai
c. Idealisme
Idealisme atau dalam bahasa Inggris disebut Idealism, yang kadang juga disamakan
dengan mentalisme atau imaterialisme. Istilah ini pertama kali digunakan secara filosofis oleh
Leibniz pada mula awal abad ke- 18. Leibniz memakai dan menerapkan istilah ini pada
pemikiran Plato, secara bertolak belakang dengan materialisme Epikuros. Idealisme ini
1. Schelling memberikan nama Idealisme subyektif pada filsafat Fichte, dengan alasan bahwa
2. Idealisme obyektif adalah nama yang diberikan oleh Schelling pada pemikiran filsafatnya.
Menurutnya, alam adalah inteligensi yang kelihatan. Hal tersebut menunjukkan semua filsafat
3. Hegel menerima klasifikasi Schelling, dan mengubahnya menjadi idealisme absolut sebagai
4. Idealismetransendental adalah pandangan dan penyebutan dari Immanuel Kant. Sering disebut
juga disebut sebagai idealisme kritis. Pandangan ini mempunyai alternatif yaitu isi dari
pengalaman langsung tidak dianggap sebagai benda dalam dirinya sendiri, sedangkan ruang dan
5. Idealisme epistemologis merupakan suatu keputusan bahwa kita membuat kontak hanya dengan
7. Idealisme voluntarisme dikembangkan oleh Fouilee dalam suatu sistim yang melibatkan tenaga
pemikiran.
9. Idealisme monistik adalah penyebutan dan sistim filsafat dari Paulsen.
10. Idealisme etis adalah pandangan filsafat yang dianut oleh Sorley dan Messer.
11. Idealisme Jerman, pemicunya adalah Immanuel Kant dan dikembangkan oleh penerus-
penerusnya. Idealisme merupakan pembaharuan dari Platonis, karena para pemikir melakukan
terobosan-terobosan filosofis yang sangat penting dalam sejarah manusia, hanya dalam tempo
yang sangat singkat, yaitu 40 tahun (1790- 1830) dan gerakan intelektual ini mempunyai
1. Adanya suatu teori bahwa alam semesta beserta isinya adalah suatu penjelmaan pikiran.
2. Untuk menyatakan eksistensi realitas, tergantung pada suatu pikiran dan aktivitas-aktivitas
pikiran.
3. Realitas dijelaskan berkenaan dengan gejala-gejala psikis seperti pikiran-pikiran, diri, roh, ide-
ide, pikiran mutlak, dan lain sebagainya dan bukan berkenaan dengan materi.
4. Seluruh realitas sangat bersifat mental (spiritual, psikis). Materi dalam bentuk fisik tidak ada.
5. Hanya ada aktivitas berjenis pikiran dan isi pikiran yang ada. dunia eksternal tidak bersifat fisik
d. skeptisisme
Menurut kamus besar bahasa indonesia skep-tis yaitu kurang percaya, ragu-ragu
(terhadap keberhasilan ajaran dsb): contohnya; penderitaan dan pengalaman menjadikan orang
bersifat sinis dan skeptis. Sedangkan skeptis-isme adalah aliran (paham) yang memandang
sesuatu selalu tidak pasti (meragukan, mencurigakan) contohnya; kesulitan itu telah banyak
internasional. Jadi secara umum skeptis-isme adalah ketidakpercayaan atau keraguan seseorang
1. suatu sikap keraguan atau disposisi untuk keraguan baik secara umum atau menuju objek
tertentu;
2. doktrin yang benar ilmu pengetahuan atau terdapat di wilayah tertentu belum pasti; atau
3. metode ditangguhkan pertimbangan, keraguan sistematis, atau kritik yang karakteristik skeptis
(Merriam-Webster).
Dalam filsafat, skeptis-isme adalah merujuk lebih bermakna khusus untuk suatu atau dari
2. metode mendapatkan pengetahuan melalui keraguan sistematis dan terus menerus pengujian,
Skeptisime sebagai sebuah pemahaman bisa dirunut dari yunani kuno. Pemahaman yang
kira-kira secara gampangnya “tidak ada yang bisa kita ketahui”, “Tidak ada yang pasti” “Saya
ragu-ragu.” sebuah pernyataan yang akan diprotes karena memiliki paradoks. Jika memang tidak
ada yang bisa diketahui, darimana kamu mengetahuinya. Jika memang tidak ada yang pasti,
perkataan itu sendiri sesuatu kepastian. Setidaknya dia yakin kalau dirinya ragu-ragu.
Skeptis juga bisa dianggap sebagai sifat. Kadang kita juga melakukannya tanpa kita
sadari. Ketika kita mendengar bahwa ada cerita kita diculik pocong tentu saja kita mengerutkan
kening. Kemudian kita tidak mempercayai dengan mudah, kita anggap isapan jempol, urban
legend, palsu. Orang skeptis bisa memberikan argumen-argumen keberatan terhadap cerita
tersebut. Mereka meminta bukti, menyodorkan fakta kenapa cerita itu tak mungkin dan lain
sebagainya.
Dengan kata lain meragukan. Sifat skeptis artinya sifat meragukan sesuatu. Tidak mau
menerima dengan mudah apa adanya. Selalu meragukan sesuatu jika belum ada bukti yang
Sifat semacam ini penting bagi ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan memerlukan suatu
kepastian yang seakurat mungkin karena itu ilmuan diharapkan skeptis. Ilmuan tidak boleh
langsung percaya begitu saja terhadap berita, percobaan dan lain sebagainya. Ini karena metode
Jika seseorang menyatakan sebuah teori misalnya “Naga itu ada!” Ilmuan kemudian
bertanya. Mana buktinya? Ilmu selalu mempertanyakan bukti. Ini karena ilmu tidak boleh mudah
percaya. Ini karena di dunia banyak penipu dan pembohong, ada mereka yang menyatakan
melihat sesuatu padahal tidak ada di sana. Ada juga mereka yang merasa melihat sesuatu padahal
sebenarnya tidak. Jika komunitas ilmuan hendak mempercayai hal semacam ini tanpa bukti dan
Sikap skeptis adalh sebuah pendirian didalam epistemologi (filsafat pengetahuan) yang
menyangsikan kenyataan yang diketahui baik ciri-cirinya maupun eksistensinya. Para skeptikus
sudah ada sejak zaman yunani kuno, tetapi di dalam filsafat modern, Rene Descartes adalah
perintis sikap ini dalam metode ilmiah. Kesangsian descartes dalam metode kesangsiannya
adalah sebuah sikap skeptis, tetapi skeptis-isme macam itu bersifat metodis, karena tujuan
akhirnya adalh untuk mendapatkan kepastian yang tak tergoyangkan, yaiutu: cogito atau
subjectum sebagai onstansi akhir pengetahuan manusia. Di dalam filsafat D.Hume kita
melainkan juga adanya substansi atau realitas akhir yang bersifat tetap.
"Skeptikoi",, Dalam ilmu filsafat dari yang dikatakan bahwa mereka "tidak menyatakan apa-apa
selain pandangan sendiri saja." (Liddell and Scott) (Liddell and Scott), Dalam hal ini, keraguan
filsafati, atau Pyrrhonisme adalah posisi filsafat yang harus menangguhkan satu keputusan dalam
pendekatan sains dan agama, menjadi pendekatan konflik, pendekatan kontras, pendekatan
kontak, dan pendekatan konfirmasi.Untuk itu, secara singkat membahas empat pemikiran Haught
tentang hubungan sanis dan agama, sebagai berikut : Pendekatan Konflik, suatu keyakinan
bahwa pada dasarnya sains dan agama tidak dapat dirujukan atau dipadukan. Artinya banyak
pemikir [saintis] yang memandang bahwa agama tidak akan pernah dapat didamaikan dengan
sains. Masing-masing berada pada posisi yang berbeda, sains menguji semua hipotesis dan
skeptis ilmiah sering mengatakan agama dilandaskan pada asumsi-asumsi apriori atau
“keyakinan”, sedangkan sains tidak mau menerima begitu saja segala sesuatu sebagai benar.
Menurut kaum saintis, memandang agama terlalu bersandar pada imajinasi yang liar,sedangkan
sains bertumpuk pada fakta yang dapat diamati. Agama terlalu emosional, penuh gairah dan
subjektif, sedangkan sains berusaha untuk tidak memihak, tidak terlalu bergairah, dan objektif.
Jadi, pertautan antara keduanya tidak dengan mudah dapat dilakukan. Keduanya memiliki
perbedaan mendasar sehingga upaya menyandingkan keduanya dalam satu ”kotak” tentu akan
dan ontologis antara ”sains” dan ”agama”. Secara tegas dapat dikatakan, bahwa dalam sejarah,
Keduanya sulit dipaksa berdiam dalam kotak-kotak tertentu, tetapi ingin memperluas wilyah
signifikansinya ke kotak-kotak lain. Maka, ketika satu ”kotak” didiami oleh dua entitas ini,
bahwa tidak adan pertentangan yang sungguh-sungguh, karena agama dan sains memberi
tanggapan terhadapmasalah yang sangat berbeda. Banyak ilmuwan dan agamawan [teolog]tidak
menemukan adanya pertentangan antara agama dan sains. Menurut kubu kontras, ”agama” dan
”sains” sangatlah berbeda sehingga secara logis tidak mungkin ada konflik di antara keduanya.
Agama dan sains sama-sama absah [valid] meskipun hanya dalam batas ruang penyelidikan
mereka sendiri yang sudah jelas. Kita tidak boleh menilai agama dengan tolok ukur sains, begitu
juga sebaliknya, oleh karena itu keduanya harus dipisahkan antara satu dan lainnya. Jika agama
dan sains sama-sama mencoba untuk mengerjakan pekerjaan yang sama, tentu saja mereka akan
bertentangan. Sains dan agama benar-benar mempunyai tugas-tugas yang tidak sama dan tetap
menjaga agar sains dan agama berada dalam wilayah yurisdiksinya masing-masing. Jadi, agama
dan sains tidak perlu mencampuri urusan satu sama lain. Pendekatan Kontak, suatu pendekatan
yang mengupayakan dialog,interaksi, dan kemungkinan adanya ”penyesuaian” antara sains dan
religius dan teologis. Cara untuk menghubungkan agama dengan sains, sebab Haught, tidak rela
membiarkan dunia ini terpilah-pilah menjadi dua ranah [dikotomik]. Tetapi ia juga tidak setuju
pada harmoni yang dangkal dalam pendekatan peleburan. Maka menurutnya, pendekatan ini
setuju bahwa sains dan agama jelas berbeda secara logis dan linguistik, tetapi dalam dunia
kenyata, mereka tidak dapat dikotak-kotakan dengan mutlak, sebagaimana diandaikan oleh kubu
pendekatan kontras. Kata mempertanyakan dapat menggambarkan posisi pada sebuah klaim,
namun di kalangan lain lebih sering menjelaskan yang menetapkan kekekalan pikiran dan
pendekatan untuk menerima atau menolak informasi baru. Individu yang menyatakan memiliki
pandangan mempertanyakan sering disebut bersikap skeptis, akan tetapi sering terlupakan
apakah sikap secara filsafati mempertanyakan atau ketidakpercayaan secara empiris sebenarnya
adalah suatu pandangan filosofis bahwa suatu nilai kebenaran dari suatu klaim tertentu
yang umumnya berkaitan dengan teologi, metafisika, keberadaan Tuhan, dewa, dan lainnya yang
tidak dapat diketahui dengan akal pikiran manusia yang terbatas. Seorang agnostik mengatakan
bahwa adalah tidak mungkin untuk dapat mengetahui secara definitif pengetahuan tentang
"Yang-Mutlak"; atau , dapat dikatakan juga, bahwa walaupun perasaan secara subyektif
dimungkinkan, namun secara obyektif pada dasarnya mereka tidak memiliki informasi yang
dapat diverifikasi.
Agnostisisme berasal dari perkataan Yunani gnostein (tahu) dan a (tidak). Arti harfiahnya
3. AKSIOLOGI
Dewasa ini ilmu bahkan sudah berada di ambang kemajuan yang mempengaruhi
reproduksi dan penciptaan manusia itu sendiri. Jadi ilmu bukan saja menimbulkan gejala
dehumanisasi namun bahkan kemungkinan mengubah hakikat kamanusiaan itu sendiri, atau
dengan perkataan lain, ilmu bukan lagi merupakan sarana yang membantu manusia mencapai
tujuan hidupnya, namun bahkan kemungkinan mengubah hakikat kemanusiaan itu sendiri, atau
dengan perkataan lain, ilmu bukan lagi merupakan sarana yang membantu manusia mencapai
tujuan hidupnya, namun juga menciptakan tujuan hidup itu sendiri. “bukan lagi Goethe yang
menciptakan Faust.” Meminjamkan perkataan ahli ilmu jiwa terkenal carl gustav jung,”
Menghadapi kenyataan seperti ini, ilmu yang pada hakikatnya mempelajari alam
sebagaimana adanya mulai mempertanyakan hal-hal yang bersifat seharusnya: untuk apa
sebenarnya ilmu itu harus dipergunakan? Dimana batas wewenang penjelajahan keilmuan? Ke
arah mana perkembangan keilmuan harus diarahkan? Pertanyaa semacam ini jelas tidak
merupakan urgensi bagi ilmuan seperti Copernicus, Galileo dan ilmuwan seangkatannya; namun
bagi ilmuan yang hidup dalam abad kedua puluh yang telah mengalami dua kali perang dunia
dan hidup dalam bayangan kekhawatiran perang dunia ketiga, pertanyaan-pertanyaan ini tak
dapat di elakkan. Dan untuk menjawan pertanyaan ini maka ilmuan berpaling kepada hakikat
moral.
moral namun dalam perspektif yang berbeda. Ketika Copernicus (1473-1543) mengajukan
teorinya tentang kesemestaan alam dan menemukan bahwa “bumi yang berputar mengelilingi
matahari” dan bukan sebaliknya seperti apa yang dinyatakan oleh ajaran agama, maka timbullah
interaksi antara ilmu dan moral (yang bersumber pada ajaran agama) yang berkonotasi metafisik.
Secara metafisik ilmu ingin mempelajari alam sebagaimana adanya, sedangkan di pihak lain,
terdapat dalam ajaran-ajaran diluar bidang keilmuan di antaranya agama. Timbullah konflik yang
bersumber pada penafsiran metafisik ini yang berkulminasi pada pengadilan inkuisisi Galileo
pada tahun 1633. Galileo (1564-1642), oleh pengadilan agama tersebut, dipaksa untuk mencabut
nyawanya dalam mempertahankan apa yang mereka anggap benar. Peradaban telah menyaksikan
sokrates di paksa meminum racun dan John Huss dibakar. Dan sejarah tidak berhenti di sini:
kemanusiaan tak pernah urung di halangi untuk menemukan kebenaran. Tanpa landasan moral
maka ilmuwan mudah sekali tergelincir dapat melakukan prostitusi intelektual. Penalaran secara
rasional yang telah membawa manusia mencapai harkatnya seperti sekarang ini berganti dengan
proses rasionalisasi yang bersifat mendustakan kebenaran. “segalanya punya moral,” kata Alice
dalam petualangannya di negeri ajaib, “asalkan kau mampu menemukannya.” (adakah yang lebih
Jadi pada dasarnya apa yang menjadi kajian dalam bidang ontologi ini adalah berusaha
menjawab pertanyaan-pertanyaan; untuk apa pengetahuan yang berupa ilmu itu di pergunakan?
Bagaimana kaitan antara cara penggunaan tersebut dengan kaidah-kaidah moral? Bagaimana
penentuan objek yang ditelaah berdasarkan pilihan-pilihan moral? Bagaimana kaitan antara
moral/professional? Dewasa ini ilmu bahkan sudah berada di ambang kemajuan yang
mempengaruhi reproduksi dan penciptaan manusia itu sendiri. Jadi ilmu bukan saja
itu sendiri, atau dengan perkataan lain, ilmu bukan lagi merupakan sarana yang membantu
kemanusiaan itu sendiri, atau dengan perkataan lain, ilmu bukan lagi merupakan sarana yang
membantu manusia mencapai tujuan hidupnya, namun juga menciptakan tujuan hidup itu sendiri.
“bukan lagi Goethe yang menciptakan Faust.” Meminjamkan perkataan ahli ilmu jiwa terkenal
sebagaimana adanya mulai mempertanyakan hal-hal yang bersifat seharusnya: untuk apa
sebenarnya ilmu itu harus dipergunakan? Dimana batas wewenang penjelajahan keilmuan? Ke
arah mana perkembangan keilmuan harus diarahkan? Pertanyaa semacam ini jelas tidak
merupakan urgensi bagi ilmuan seperti Copernicus, Galileo dan ilmuwan seangkatannya; namun
bagi ilmuan yang hidup dalam abad kedua puluh yang telah mengalami dua kali perang dunia
dan hidup dalam bayangan kekhawatiran perang dunia ketiga, pertanyaan-pertanyaan ini tak
dapat di elakkan. Dan untuk menjawan pertanyaan ini maka ilmuan berpaling kepada hakikat
moral.
moral namun dalam perspektif yang berbeda. Ketika Copernicus (1473-1543) mengajukan
teorinya tentang kesemestaan alam dan menemukan bahwa “bumi yang berputar mengelilingi
matahari” dan bukan sebaliknya seperti apa yang dinyatakan oleh ajaran agama, maka timbullah
interaksi antara ilmu dan moral (yang bersumber pada ajaran agama) yang berkonotasi metafisik.
Secara metafisik ilmu ingin mempelajari alam sebagaimana adanya, sedangkan di pihak lain,
terdapat dalam ajaran-ajaran diluar bidang keilmuan di antaranya agama. Timbullah konflik yang
bersumber pada penafsiran metafisik ini yang berkulminasi pada pengadilan inkuisisi Galileo
pada tahun 1633. Galileo (1564-1642), oleh pengadilan agama tersebut, dipaksa untuk mencabut
Sejarah kemanusiaan di hiasi dengan semangat para martir yang rela mengorbankan
nyawanya dalam mempertahankan apa yang mereka anggap benar. Peradaban telah menyaksikan
sokrates di paksa meminum racun dan John Huss dibakar. Dan sejarah tidak berhenti di sini:
kemanusiaan tak pernah urung di halangi untuk menemukan kebenaran. Tanpa landasan moral
maka ilmuwan mudah sekali tergelincir dapat melakukan prostitusi intelektual. Penalaran secara
rasional yang telah membawa manusia mencapai harkatnya seperti sekarang ini berganti dengan
proses rasionalisasi yang bersifat mendustakan kebenaran. “segalanya punya moral,” kata Alice
dalam petualangannya di negeri ajaib, “asalkan kau mampu menemukannya.” (adakah yang lebih
Jadi pada dasarnya apa yang menjadi kajian dalam bidang ontologi ini adalah berusaha
menjawab pertanyaan-pertanyaan; untuk apa pengetahuan yang berupa ilmu itu di pergunakan?
Bagaimana kaitan antara cara penggunaan tersebut dengan kaidah-kaidah moral? Bagaimana
penentuan objek yang ditelaah berdasarkan pilihan-pilihan moral? Bagaimana kaitan antara
moral/professional
DAFTAR PUSTAKA
http://kecoaxus.tripod.com/filsafat/pengfil.htm
http://id.wikipedia.org/wiki/Materialisme
http://id.wikipedia.org/wiki/Skeptisisme
http://id.wikipedia.org/wiki/Agnostisisme
http://filsafat.kompasiana.com/2011/01/06/rasionalisme/
http://id.wikipedia.org/wiki/Positivisme