Anda di halaman 1dari 52

Mazhab - Mazhab dalam Filsafat

#3 MAZHAB MAZHAB FILSAFAT


Pengertian mazhab menurut kamus bahasa Indonesia berarti:
- Haluan atau aliran mengenai hukum fikih yang menjadi ikutan umat Islam (dikenal
empat mazhab, yaitu mazhab Hanafi, Hambali, Maliki, dan Syafii), kecenderungan
umat Islam di Indonesia banyak yang menganut mazhab Syafii.
- Golongan pemikir yang sepaham dalam teori, ajaran, aliran tertentu di bidang ilmu,
cabang kesenian, dan sebagainya dan yang berusaha untuk memajukan hal itu.
Mazhab mazhab yang muncul setelah abad pertengahan:
RASIONALISME
Mazhab rasionalisme mulai muncul pada abad 17. Rasionalisme berpendapat
bahwa sumber pengetahuan yang dapat mencukupi dan yang dapat dipercaya
adalah rasio atau akal (Harun Hadiwijono, 1980:18). Hanya pengetahuan yang
melalui akal lah yang memenuhi syarat dan dituntut oleh semua pengetahuan ilmiah.
Pengalaman hanya dipakai untuk meneguhkan pengetahuan yang telah didapat oleh
akal, dan sesungguhnya akal tidak memerlukan pengalaman. Metode yang
digunakan adalah metode deduktif, yaitu suatu penalaran yang mengambil
kesimpulan dari suatu kebenaran yang bersifat umum untuk diterapkan kepada hal
hal yang bersifat khusus.
Contoh: semua manusia akan mati. Badu adalah manusia, maka Badu akan mati.
Tokoh dari rasionalieme adalah RENE DESCARTES (1596 1650) yang disebut
sebagai Bapak Filsafat Modern. Pernyataannya yang paling popular adalah cogito
ergo sum artinya aku berfikir maka aku ada. Apa saja yang orang pikirkan, walaupun
suatu khayalan, tetapi manusia yang berpikir itu bukalah khayalan, maka manusia
yang berpikir itu ada. Inilah satu satunya hal yang tidak dapat diragukan
keberadaannya. Hal ini yang disebut sebagai pengetahuan langsung yaitu
kebenaran filsafat yang pertama (prium philosophicum).
Menurut Descartes, manusia mempunyai kebebasan kehendak. Amnesia dapat
merealisasikan kebebasannya dengan mengendalikan hawa nafsunya, karena
kebebasan adalah cirri khas kesadaran manusia yang berpikir.
EMPIRISME
Mazhab ini muncul sezaman dengan rasionalisme yaitu abad 17. Mazhab ini
merupakan kebalikan dari rasionalisme dan berpendapat bahwa empiri atau
pengalamanlah yang menjadi sumber pengetahuan, baik pengalaman lahiriah
maupun pengalaman batiniah.
Metode yang dipakai adalah metode induktif, yaitu suatu penalaran yang mengambil
kesimpulan dari suatu kebenaran yang bersifat khusus untuk diterapkan kepada hal
hal yang bersifat umum.
Orang pertama yang mengikuti mazhab ini adalah THOMAS HOBBES (1588
1679). Bagi Thomas filsafat adalah suatu ilmu pengetahuan yang bersifat umum,
sebab filsafat adalah suatu ilmu pengetahuan tentang efek efek atau akibat
akibat, atau tentang penampakan penampakan seperti yang kita peroleh dengan
merasionalisasikan pengetahuan yang semula kita miliki dari sebab sebabnya atau
asalnya. Sasaran filsafat adalah fakta fakta yang diamati, dengan maksud untuk
mencari sebab sebabnya. Sedangkan alat yang dipakai adalah pengerian
pengeritan yang diungkapkan dalam kata kata yang menggambarkan fakta fakta
tersebut (Harun Hadiwijono, 1980:32). Pengalaman adalah awal dari semua
pengetahuan. Hanya pengalamanlah yang member jaminan akan kepastian.
Sedangkan KOHN LOCKE (1632 1740) adalah penerus tradisi empiris. Pada
masa Locke ini untuk pertama kalinya metode empiris diterangkan kepada persolan
persoalan tentang pengenalan atau pengetahuan. Locke menentang teori
rasionalisme mengenai ide ide dan asas asas pertama sebagai bawaan
manusia. Menurut Locke pengetahuan didapatkan dari pengalaman, dan akal adalah
pasif pada saat pengetahuan didapatkan. Rasio manusia mula mula harus
dianggap sebagai kertas putih yang kosong as a white paper, kertas kosong tersebut
baru terisi melalui pengalaman.
Ada dua macam pengalaman, yaitu pengalaman lahiriah dan pengalaman batiniah.
Kedua macam pengalaman ini saling berhubungan. Pengalaman lahiriah
menghasilkan gejala gejala psikis yang harus ditanggapi oleh pengalaman
batiniah. Dengan demikian mengenal adalah identik dengan mengenal secara sadar.
Berdasarkan asas asas teori pengenalan tersebut maka dalam etikanya Locke
menolak adanya pengertian kesusilaan yang telah menjadi bawaan tabiat manusia.
Sedangkan yang manjadi tabiat bawaan manusia hanyalah kecenderungan
kecenderungan yang menguasai perbuatan manusia. Semua kecenderungan dapat
dikembalikan kepada usaha untuk mendapatkan kebahagiaan. Tentang bagiamana
kita harus berbuat diajarkan oleh pengalaman.
IDEALISME
Kata idealism pertama kali digunakan secara filosofis oleh Leibniz pada awal abad
18. Istilah idealism digunakan dnegan maksud untuk menerapkan pemikiran Plato.
Idealism berpendapat bahwa seluruh realitas itu bersifat spiritual/psikis, dan materi
yang bersifat fisik sebenarnya tidak ada.
LEIBNIS (1646 1716) berusaha menjembatani pertentangan antara rasionalisme
dan empirisme, walaupun tidak memberikan suatu sistem untuk memadukannya.
Leibniz mendasarkan filsafatnya atas pengertian substansi, yaitu sesuatu yang
tanpanya sesuatu yang lain tidak akan ada. Substansi berasal dari bahasa
latin substansia yang berarti bahan, hakikat atau zat.
Menurut Leibniz, ada banayak sekali substansi, begitu banyaknya sehingga tidak
terhitung jumlahnya. Tiap substansi disebut monade, yang bersifat tunggal dan tidak
dapat dibagi bagi. Monade tidak dapat dihasilkan secara alamiah dan tidak data
dibinakan. Adanya semata mata karena penciptaan dan berlangsung selama Allah
mempernankannya (Harun Hadiwijono, 1980: 40).
Idealisme di Jerman memuncak pada masa GEORGE WILHELM FRIDERCH
HEGEL (1770 1831) (Bertens, 1979:68). Yang mutlak adalah roh yang
mengungkapkan diri di dalam alam, dengan maksud agar dapat sara akan dirinya
sendiri. Hakikat roh adalah ide atau pikiran. Pernyataan Hegel yang terkenal
adalah semuanya yang real bersifat rasional dan semuanya yang rasional bersifat
real. Maksudnya adalah bahwa luasnya rasio sama dengan luasnya realitas.
Realitas seluruhnya adalah proses pemikiran (atau ide menurut istilah yang dipakai
Hegel) yang memikirkan dirinya sendiri.
Filsafat Hegel menggunakan metode dialektik, yaitu suatu metode yang
mengasahakan kompromi natara beberapa pendapat atau keadaan yang
beralawanan satu sama lain. Proses dialektik terdiri atas tiga fase, fase pertama
disebut tesa, yang dilawan dengan fase kedua yang disebutantitesa. Kemudian ada
fase ketiga yang disebut sintesa yang memperdamaikan fase pertama dan fase
kedua. Dalam sintesa tersebut tesa dan antitesa menjadi aufgehoben berarti
dicabut, ditiadakan, tidak berlaku lagi. Istilah tersebut dimaksudkan akarena adanya
sintesa maka tesa dan antitesa sudah tidak ada lagi, sudah lewat. Arti yang lain
adalahdiangkat, tesa maupun antitesa mendapat eksistensi baru. Kebenaran yang
ada dalam tesa dan antitesa tetap disimpan dalam sintesa, tetapi dalam bentuk yang
lebih sempurna. Proses dialektik akan berlangsung terus menerus, dan sintesa
yang dihasilkan akan menjadi tesa baru dan seterusnya.
Contoh:
- Tesa : Bentuk Negara dictator; hidup kemasyarakatan diatur dnegan baik tetapi
warga Negara tidak mempunyai kebebasan apapun.
- Antitesa : bentuk Negara anarki: para warga Negara mempunyai kebebasan tanpa
batas, tetapi hidup kemasyarakatan menjadi kacau.
- Sintesa : bentuk Negara demokrasi konstitusional: kebebasan para warga Negara
dijamin dan dibatasi oleh undang undangan dasar dan hidup kemasyarakatan
berjalan dengan memuaskan.
POSITIVISME
Mazhab ini berkembang pada abad ke 19. Positivism berpendirian bahwa pemikiran
filsafat berpangkal dari apa yang telah diketahui, yang factual, yang positif, sehingga
sesuatu yang sifatnya metafisik ditolak. Pengetahuan kita tidak boleh melewati fakta
fakta, dengan demikian ilmu pengetahuan empiris diangkat menjadi contoh
istimewa dalam bidang pengetahuan. Namun ada perbedaan dengan empirismen,
yaitu positivism hanya membatasi pada pengalaman pengalaman objektif, yang
tampak, tetapi empirismen menerima pengalaman pengalaman batiniah atau
pengalaman subjektif.
Tokoh positivism adalah AUGUST COMTE (1798 1857). Menurut Comte,
perkembangan pemikiran manusia, baik manusia sebagai pribadi maupun manusia
secara keseluruhan meliputi tiga zaman (Bertens, 1979:73), yaitu:
- Zaman teologis; pada zaman ini manusia percaya bahwa di belakang gejala gejala
alam terdapat kuasa kuasa adikodrati yang mengatur fungsi dan gerak gejala
gejala tersebut.
- Zaman metafisis, kuasa kuasa adikodrati diganti dnegan konsep konsep dan
prinsip prinsip yang abstrak, seperti kodrat dan penyebab.
- Zaman positif, pada zaman ini manusia tidak mencari penyebab penyebab yang
terdapat di belakang fakta fakta. Dengan menggunakan rasionya manusia
berusaha menetapkan relasi relasi persamaan atau urutan yang terdapat antara
fakta fakta. Pada zaman inimulai dihasilkan ilmu pengetahuan dalam arti yang
sebenarnya.
PRAGMATISME
Mazhab yang muncul pada awal abad 20 ini mengajarkan bahwa yang benar adalah
apa yang membuktikan dirinya sebagai benar dnegan membawa akibat yang
bermanfaat secara praktis. Pedoman pragmatism adalah logikan pengamatan.
Pragmatism bersedia menerima segala sesuatu, asal saja membawa akibat yang
praktis. Pengalaman pengalaman pribadi diterima asalkan bermanfaat, bahkan
kebenaran mistis dipandang sebagai kebenaran yang diterima asalkan membawa
akibat praktis yang bermanfaat (Harun Hadiwijono, 1980:130).
Salah satu tokoh pragmatism adalah JOHN DEWEY (1859 1952). Menurut Dewey
tugas filsafat adalah memberikan garis garis pengarahan bagi perbuatan dalam
kenyataan hidup. Pleh karena itu filsafat tidak boleh tenggelam dalam pemikiran
pemikiran metafisis yang tiada faedahnya. Filsafat harus berpijak pada pengalaman
(experience) dan menyelidiki serta mengolah pengalaman itu secara aktif krisis.
FENOMENOLOGI
Fenomenologi adalah suatu aliran yang membicarakan fenomena, atau segala
sesuatu yang menampkkan diri. Fenomena bukablah hal yang nyata, tetapi hal yang
semu. Suatu fenomena tidak perlu harus diamati dengan indera, sebab fenomena
juga dapat dilihat atau ditilik secara rohani, tanpa melewati indera.
Pelopor filsafat fenomenologi adalah EDMUND HUSSERL (1859 1938). Menurut
Husserl, hukum hukum logika yang member kepastian, yang berlaku, tidak
mungkin bersifat a poterotori, sebagai hasil pengalaman, tetapi bersifat a priori.
EKSISTENSIALISME
Eksistensi dalam filsafat eksistensialisme berarti cara manusia berada di dalam
dunia. Cara berada manusia berbeda dengan beradanya benda benda. Benda
benda berada dengan tidak sadar tanpa hubungan. Sedangkan manusia berada di
dunia justru berhubungan dengan sesame manusia dan berhubungan dengan benda
benda. Benda benda berarti karena beradanya manusia. Untuk membedakan
dua cara berada dalam eksistensialisme adalah dengan dua kata yang berbeda,
untuk benda berada, sedang mansusia bereksistensi.
Eksistensialieme menjadi tersebar luas karena pemikiran JEAN PAULSARTRE
(1905 1980). Dalam bukunya yang terkenal L etre et leneant atau Keberadaan dan
Ketiadaan (1943), Sartre membagi ada atau berada (L etre) menjadi dua macam,
yaitu:
- L etre en soi (berada dalam diri)
- L etre pour soi (ber ada untuk diri)
(Harun Hadiwijono, 1980:157)
Yang dimaksud dengan berada dalam diri adalah berada dalam dirinya, berada
itu sendiri. Filsafat berpangkal dari realitas yang ada, sebab realitas yang ada itulah
yang kita hadapi, kita tangkap dan kita mengerti.
Sedangkan yang dimaksud dengan berada untuk diri adalah berada yang
dengan sadar akan dirinya, yaitu cara berada manusia. Manusia mempunyai
hubungan dengan keberadaannya, ia bertanggungjawab atas fakta bahwa ia ada.
Kesadaran manusia bukanlah kesadaran akan dirinya, melainkan kesadaran diri.

aturday, March 24, 2012

ALIRAN ALIRAN DALAM FILSAFAT

Dosen : Khaerul Azmi, S.Sos.I, M.Sos.I


Aliran-aliran dalam Filsafat
1. Rasionalisme
Muncul pada abad 17

Rasionalisme berpendapat bahwa sumber pengetahuan yang dapat


dipercaya adalah rasio atau akal (Harun Hadiwijono, 1980)

Metode yang digunakan adalah metode deduktif, yaitu suatu penalaran


yang mengambil kesimpulan dari suatu kebenaran yang bersifat umum
untuk diterapkan kepada hal-hal yang bersifat khusus

Tokoh-tokoh filsafat dari mazhab rasionalisme diantaranya adalah Rene


Descartes, Blaise Pascal, Baruch Spinoza.

Tokoh rasionalisme yang sangat berpengaruh adalah Rene Descartes yang


disebut juga bapak filsafat modern. Salah satu pernyataan paling populer
dari Descartes adalah cogito ergo sum, yang artinya aku berpikir maka
aku ada.

2. Empirisme
Mazhab ini muncul sezaman dengan rasionalisme yaitu pada abad 17.

Empirisme berpendapat bahwa empiri atau pengalamanlah yang menjadi


sumber pengetahuan, baik pengetahuan lahiriah maupun batiniah.

Metode yang dipercayai adalah induktif, yaitu suatu penalaran yang


mengambil kesimpulan dari suatu kebenaran yang bersifat khusus untuk
diterapkan kepada hal-hal yang bersifat umum

Beberapa tokoh dari aliran ini diantaranya adalah Thomas Hobbes, John
Locke dan David Hume.

Thomas Hobbes misalnya berpendapat bahwa pengalaman adalah awal


dari semua pengetahuan. Hanya pengalamanlah yang memberi kepastian.
Filsafat harus diarahkan kepada fakta-fakta yang diamati, dengan maksud
untuk mencari sebab-sebab terjadinya sebuah realitas.

3. Idealisme
Kata idealisme pertama kali digunakan secara filosofis oleh Leibniz,
seorang filosof Jerman pada pertengahan abad 17.

Kata Idealisme di sini dimaksudkan untuk menerapkan pemikiran Plato.

Idealisme berpendat bahwa seluruh realitas itu bersifat spiritual/psikis,


dan materi yang bersifat fisik sebenarnya tidak ada.

Idealisme di Jerman memuncak pada pemikiran George Wilhelm Friedrech


Hegel (1770-1831).

Menurut Hegel, yang mutlak adalah roh yang mengungkapkan diri di


dalam alam, agar dapat sadar akan dirinya sendiri.

Filsafat Hegel menggunakan metode dialektik, yaitu suatu metode yang


mengusahakan kompromi dari keadaan yang berlawanan. Bentuknya
adalah tesa, antitesa dan sintesa
4. Positivisme
Mazhab ini berkembang pada abad 19.

Positivisme berpendapat bahwa pemikiran filsafat berpangkal dari apa


yang telah diketahui, yang faktual, yang positif. Sehingga sesuatu yang
sifatnya metafisik ditolak.

Positivisme dan empirisme memiliki kesamaan, yaitu bahwa keduanya


mengutamakan pengalaman. Perbedaannya positivisme membatasi diri
pada pengalaman-pengalaman objektif, sedangkan empirisme masih
menerima pengalaman yang subjektif.

Beberapa tokoh dari aliran ini antara lain August Comte, John Stuart Mill
dan Herbert Spencer.

August Comte menyatakan bahwa perkembangan pemikiran manusia,


baik sebagai pribadi maupun manusia secara keseluruhan meliputi tiga
zaman, yaitu: zaman teologis, zaman metafisis dan zaman positif.

5. Pragmatisme
Mazhab ini muncul pada awal abad 20.

Mazhab ini mengajarkan bahwa yang benar adalah apa yang


membuktikan dirinya sebagai benar dengan membawa akibat yang
bermanfaat secara praktis.

Pedoman pragmatisme adalah logika pengamatan. Pragmatisme bersedia


menerima segala sesuatu, asal saja membawa akibat yang praktis.

Beberapa pemikir dari aliran ini adalah William James dan John Dewey.

John Dewey misalnya, menyatakan bahwa tugas filsafat adalah


memberikan garis-garis pengarahan bagi perbuatan dalam kenyataan
hidup. Oleh karena itu filsafat tidak boleh tenggelam dalam pemikiran-
pemikiran metafisis yang tidak ada faedahnya.

6. Eksistensialisme
Eksistensialisme berkembang pada abad 20.

Eksistensialisme adalah filsafat yang memandang segala gejala dengan


berpangkal kepada eksistensi.

Eksistensi adalah cara manusia berada dalam dunia. Cara berada manusia
dalam dunia berbeda dengan cara berada benda-benda. Benda-benda
berada dengan tidak sadar tanpa hubungan. Sedangkan manusia berada
di dunia justru berhubungan dengan sesama manusia dan berhubungan
dengan benda-benda.

Beberapa pemikir dari aliran ini adalah Martin Heidegger, Jean Paul Sartre,
Karl Jaspers dan Gabriel Marcel.

Tetapi pada umumnya sumber utama dari filsafat eksistensialisme adalah


Soren Kierkegaard.

Menurut Sartre misalnya, ada atau yang ada itu dapat dilihat dari dua
sudut pandang, yaitu ada yang hidup dan berada bagi dirinya sendiri (etre
pour-soi) dan kedua, sebagai ada yang identik dengan dirinya, tidak aktif,
tidak pasif, tidak afirmatif, dan tidak negatif (etre en-soi)

Vv

Struktur pengetahuan itu ada tiga, yaitu skeptisisme, subjektivisme, dan relativisme.
Ketiganya merupakan sarana mengenai pengetahuan ataupun klaim kebenaran. Dan
pembahasan mengenai ini banyak diperdebatkan oleh para saintis dan filosof karena
merupakan paham pendapat mengenai pengetahuan, dimana pendapat antara satu saintis
dan filosof itu berbeda-beda. Jadi wajar kalau banyak perdebatan dan pengkoreksian.
Masalahnya ialah fakta tentang adanya kekeliruan ini telah menimpa para pakar
dalam bidangnya, nah bagaimana dengan mereka yang awam?. Sungguh merupakan hal
yang mengusik pikiran dan menimbulkan teka-teki.
Problem pengetahuan itu telah melahirkan banyak sekali aliran yang mengemukakan
pendapat dan ajarannya mengenai pengetahuan, kebenaran dan kepastian. Pertumbuhan
epistemologi dibentuk oleh terjadinya banyak konflik dan benturan teoretikal mengenai
hal-hal tersebut[1]. Sudah menjadi keyakinan kita bersama bahwa salah satu topik kajian
epistemologi adalah penyelidikan tentang hakikat dan ruang lingkup pengetahuan yang
dimiliki manusia. Diungkapkan oleh J. Sudarminta bahwa salah satu alasan utama yang
telah mengilhami para filsuf dalam menyelidiki hakikat dan ruang lingkup pengetahuan
manusia adalah fakta adanya kekeliruan. Dan adanya fakta ini menjadikan resah dan teka-
teki. Resah karena apakah kita masih dapat keliru setelah dengan sangat teliti mengerjakan
sesuatu hal? Problema yang sangat miris terjadi dikehidupan para pakar adalah tidak
sepakatnya dalam menentukan mana yang benar dan mana yang salah, yang betul dan yang
keliru.[2]
II. 1. Skeptisisme
Skeptisisme merupakan aliran yang perlu untuk diperhatikan dengan cermat, karena
skeptisisme adalah satu-satunya paham atau aliran yang secara radikal dan fundamental
tidak mengakui atau meragukan atau menolak adanya kepastian dan kebenaran
pengetahuan.
Istilah skeptisisme berasal dari bahasa Yunani skeptomai yang berarti
memperhatikan dengan cermat, meneliti. Kemudian dari situ diturunkan arti yang biasa
dihubungkan dengan kata tersebut yaitu saya meragukan. Para skeptis pada awalnya
adalah orang-orang yang mengamati segala sesuatu dengan cermat serta mengadakan
penelitian terhadapnya.[3]
Seringkali banyak kepercayaan yang dianggap benar, kemudian ternyata salah. Lalu
apakah yang menjadikan kepercayaan itu benar atau salah? Apakah kita dapat merasa pasti
bahwa kita telah mengungkapkan kebenaran? Apakah akal manusia dapat mengungkapkan
atau menemukan pengetahuan yang benar?
Skeptisisme dapat juga diartikan sebagai pernyataan ragu-ragu. Dalam makna
sempit, skeptisisme adalah pengingkaran tentang kemungkinan mengetahui. Sedangkan
dalam makna luas, berarti sikap menunda pertimbangan sampai analisis yang kritis selesai
dan bukti-bukti yang mungkin diperoleh.[4]
Sedangkan dalam buku Epistemologi Fundasional, Akhyar Y. Lubis mengatakan
bahwa skepticism secara sederhana berarti pertimbangan, keraguan. Secara istilah berarti
paham yang menyatakan ketidakmampuan untuk memperoleh kebenaran objektif akhir,
final sebuah ilmu pengetahuan.[5]
Ada beberapa macam skeptisisme di sini. Pertama, solipsisme ialah pandangan
egosentrisme epistemologi yang berpendapat bahwa saya hanya tahu diri saya ada, tapi
saya tidak mengetahui sesuatu pun di luar saya. Kedua, skeptisisme sensoris ialah sensasi
atau persepsi bersifat relative tidak reliable. Sensasi hanya sebagian dan modifikasi dari
objek yang diamati. Ketiga, skeptisisme rasional ialah keraguan yang disebabkan paradoks
zeno atau antimoni kant pada kesimpulan dan argumen. Antimoni di sini berarti
dua pernyataan yang bertentangan dan tidak dapat dibuktikan kebenarannya, misal
pernyataan telur lebih dulu daripada ayam, atau ayam lebih dulu daripada telur. Ini semua
bergantung kepada kepercayaan masing-masing. Keempat, skeptisisme metodologis ialah
keraguan sistematis dan sementara yang tujuannya untuk menemukan pengetahuan dan
fondasi pengetahuan yang kuat dan terpercaya metode keraguan Descartes dahulu.[6]
Di buku lain, disebutkan dua macam skeptisime yaitu skeptisisme mutlak atau
universal dan skeptisisme nisbi atau partikular. Skeptisisme mutlak atau universal secara
mutlak mengingkari kemungkinan manusia untuk tahu dan untuk memberi dasar
pembenaran. Jenis skeptisisme yang mengingkari sama sekali kemampuan manusia untuk
tahu dan meragukan semua jenis pengetahuan macam ini dalam prakteknya jarang diikuti
orang, sebab dalam kenyataannya mustahil untuk dihayati. Dalam prakteknya pun jarang
diikuti karena memang suatu posisi yang sulit dipertahankan. Posisi ini secara eksistensial
bersifat kontradiktif dan berlawanan dengan fakta yang eviden langsung tampak jelas
dengan sendirinya . Mengapa secara eksistensial bersifat kontradiktif? Karena, seperti
sudah ditunjukkan oleh Socrates dalam wawancara polemisnya dengan kaum sofis.
Seorang skeptisis secara implisit dalam praktek menegaskan kebenaran dari apa yang
secara eksplisit dalam teori diingkarinya. Sedangkan skeptisisme nisbi atau partikular
tidak meragukan segalanya secara menyeluruh. Varian ini hanya meragukan kemampuan
manusia untuk tahu dengan pasti dan memberi dasar pembenaran yang tidak diragukan lagi
untuk pengetahuan dalam bidang-bidang tertentu saja. Paham skeptisisme nisbi ini,
walaupun tidak bersifat menggugurkan diri sendiri self defeating sebagaimana
skeptisisme mutlak, namun biasanya dianut karena salah paham tentang ciri-ciri hakiki
pengetahuan manusia dan kenenarannya.
II. 2. Subjektivisme
Dalam arti kamus, subjektivisme itu sangat menekankan unsur subjektif pengalaman
individual. Sedangkan subjektif berarti mengacu ke pikiran, ego, persepsi, putusan
pribadi, kesadaran, bukan sumber-sumber objektif luar.[7]
Akhyar mengatakan bahwa subjektisisme merupakan pandangan yang menekankan
peran subjek dalam menghasilkan pengetahuan yang merupakan ide-ide dalam pikiran the
knomer orang yang mengetahui karena tidak mungkin kita mengetahui sesuatu objek,
fenomena di luar ide-ide tersebut.[8]
Dalam kacamata epistemologi, subjektivisme diartikan sebagai sumber dan
keabsahannya pengetahuan tentang apapun yang dinyatakan objektif dan real secara
eksternal ditentukan oleh the knower. Sehingga pengetahuan itu merupakan produk yang
distruktur secara selektif dan diciptakan oleh the knower.
Banyak filsuf sesudah Descartes mengandaikan bahwa satu-satunya hal yang dapat
kita ketahui dengan pasti adalah diri kita sendiri dan kegiatan kita yang kita sadari. Paling
tidak, hal itulah yang secara langsung dapat kita ketahui. Sedangkan pengetahuan tentang
yang bukan aku atau segala sesuatu di luar diri sendiri pantas untuk diragukan
kebenarannya. Telah menjadi suatu ironi ketika usaha keras Descartes untuk menolak dan
membantai skeptisisme malah mengakibatkan pembelokan ke arah subjektivisme dalam
filsafat.
Subjektivisme adalah pandangan bahwa objek dan kualitas yang kita ketahui dengan
perantaraan indera kita adalah tidak berdiri sendiri, lepas dari kesadaran kita terhadapnya.
Realitas terdiri dari kesadaran serta keadaan kesadaran tersebut, walaupun tidak harus
kesadaran kita dan akal kita.[9]
Dahulu subjektivisme merupakan anathema bagi Popper sebab melihat subjektivisme
dalam dirinya mengandung benih-benih untuk mengarah kepada otoritarianisme,
relativisme, dan irasionalisme. Padahal Popper sangat mengandalkan objektivitas dan
rasionalitas.[10]
Untuk memiliki subjektivisme yang tinggi, diperlukan pendekatan sunjektivis. Ciri-
cirinya yaitu:[11]
1. Dapat menggagas pengetahuan sebagai suatu keadaan mental yang khusus
atau semacam kepercayaan yang istimewa.
2. Pengalaman subjektif kokoh terjamin secara istimewa sehingga cocok
sebagai titik tolak atau dasar yang aman.
3. Menganut prinsip subjektif tentang alasan cukup yaitu semacam
pengalaman atau kepercayaan atau pendapat personal.
4. Tidak hanya melalaikan perbedaan antara pengetahuan objektif dan
pengetahuan subjektif, melainkan juga menerima, sadar, atau tak sadar bahwa pengetahuan
objektif yang bisa dibuktikan.
Dalam lingkaran epistemologis, subjektivisme berarti: teori bahwa seluruh
pengetahuan mempunyai sumber dan keabsahannya dalam keadaan mental subjektif orang
yang tahu the knower , pengetahuan tentang apapun yang objektif atau real secara
eksternal didasarkan pada penyimpulan dari keadaan mental subjektif ini. Sedangkan
segala sesuatu yang diketahui adalah produk yang distruktur secara selektif dan diciptakan
oleh yang tahu. Tidak dapat dikatakan bahwa ada suatu dunia nyata secara eksternal yang
berkorespondensi dengan yang tahu.[12]
Ada empat aturan pokok filsafat Descartes yang harus ditaati dalam metodenya,
yaitu:[13]
1. Intuisi dan evidensi
2. Perincian atau pelarutan
3. Pendeduksian
4. Penginduksian
Aturan yang pertama yaitu intuisi dan evidensi, ia menyampaikan berbagai
argumentasi, yakni:
a. Tidak mau menerima begitu saja apa yang dianggap benar
b. Berusaha menghindari ketergesa-gesaan atau praduga
c. Hanya apa yang tersajikan secara jelas dan bernas dalam pikiran sajalah
yang dapat diterima, karena tidak ada keraguan lagi
d. Hal di atas hanya dapat dilakukan melalui intuisi: langsung, simpel, self-
evident
e. Itulah pengertian mutlak menurut Descartes bagi segala hal
f. Pengertian yang jelas dan bernas/terpilah-pilah
Aturan yang kedua yaitu perincian dan pelarutan, yakni:
a. Membagi-bagi persoalan yang diteliti menjadi bagian-bagian sebanyak
mungkin
b. Pengertian yang baru harus didasarkan pada pengertian yang telah lebih
dahulu diketahui secara clear dan distinct
c. Jadi, harus ada pertautan antara pengertian yang baru dan pengertian yang
lebih dulu
d. Intinya, pengertian-pengertian tersebut harus berjalin-kelindan
Aturan yang ketiga yaitu pendeduksian demi keruntutan berpikirnya Descartes
memulai gerak laju pikirnya dari hal-hal sederhana dan mudah menuju hal-hal yang lebih
kompleks dan relative. Dan dari yang simpel dan absolut ke makin kompleks. Jadi,
bertahap dan berangsur-angsur umum ke khusus.
Aturan yang keempat yaitu penginduksian atau enumerasi yakni:
a. Descartes tidak puas dengan aturan 1, 2, 3, melainkan malah
mengontrolnya dengan aturan yang keempat
b. Yakni dengan mengadakan pembilangan atau penyebutan pada setiap hal
secara komprehensif dan meninjau kembali secara umum, sehingga muncul keyakinan
bahwa tidak ada sesuatu hal yang terlewatkan
c. Langkah ini menjadi aspek induktif metode Descartes dan menjadi
semacam verifikasi yaitu pemeriksaan terakhir apakah pengetahuan yang clear dan distinct
telah diperoleh
Ternyata pandangan subjektivisme terutama pasca Descartes menelurkan
berbagai akibat cukup signifikan bagi dialektika selanjutnya.
Beberapa asumsi paradigma Cartesian-Newtonian. Ada 6 macam asumsi paradigma
Cartesian-Newtonian yang dapat dilihat, yakni:
1. Subjektivisme-Antroposentristik
Dalam hal ini, manusia dipandang sebagai pusat dunia. Descartes melalui
pernyataanya cogito ergo sum, mencetuskan kesadaran subjek yang terarah pada dirinya
sendiri, dan ini adalah basis ontologis terhadap eksistensi realitas eksternal di luar diri si
subjek. Selain itu, subjektivisme ini juga tampak pada pandangan Francis Bacon mengenai
dominasi manusia terhadap alam. Letak subjektivisme Newton ada pada ambisi manusia
untuk menjelaskan seluruh fenomena alam raya melalui mekanika yang dirumuskan dalam
formula matematika.
2. Dialektika
Pandangan mengenai dualisme ini tampak pada pemikiran Descartes. Dalam hal ini,
realitas dibagi menjadi subjek dan objek. Subjek ditempatkan sebagai yang superiortas atas
objek. Dengan ini, manusia (subjek) dapat memahami dan mengupas realitas yang terbebas
dari konstruksi mental manusia. Subjek pun dapat mengukur objek tanpa mempengaruhi
dan tanpa dipengaruhi oleh objek. Paham dualisme ini kemudian mempunyai konsekuensi
alamiah dimana seolah-olah menghidupkan subjek dan mematikan objek. Hal
didasarkan pada pemahaman bahwa subjek itu hidup dan sadar, sedangkan objek itu berada
secara diametral dengan subjek, sehingga objek haruslah mati dan tidak berkesadaran.
3. Mekanistik - Deterministik
Alam raya dipandang sebagai sebuah mesin raksasa yang mati, tidak bernyawa dan
statis. Malahan, segala sesuatu yang di luar kesadaran subjek lalu dianggap sebagai mesin
yang bekerja menurut hokum matematika yang kuantitatif, termasuk tubuh
manusia. Dalam pandangan mekanistik ini, realitas dianggap dapat dipahami dengan
menganalisis dan memecah-mecahnya menjadi bagian-bagian kecil, lalu dijelaskan dengan
pengukuran kuantitatif. Hasil dari penyelidikan terhadap bagian-bagian yang kecil itu lalu
digeneralisir untuk keseluruhan. Dengan demikian, keseluruhan itu berarti sama atau
identik dengan penjumlahan atas bagian-bagiannya. Pandangan yang deterministik juga
tampak pada sikap dimana alam sepenuhnya itu dapat dijelaskan, diramal, dan dikontrol
berdasarkan hukum-hukum yang deterministic pasti sedemikan rupa sehingga
memperoleh kepastian yang setara dengan kepastian matematis. Dengan kata lain, masa
depan suatu system, pada prinsipnya dapat diprediksi dari pengetahuan yang akurat
terhadap kondisi system itu sekarang. Prinsip kausalitas pada dasarnya merupakan prinsip
metafisis tentang hukum-hukum wujud. Determinisme ini juga didukung oleh Laplace. Ia
mengatakan bahwa jika kita mengetahui posisi dan kecepatan setiap partikel di alam
semesta, kita akan dapat atau sanggup memprediksi semua kejadian pada masa depan.
4. Reduksionis
Dalam hal ini, alam semesta hanya dipandang sebagai mesin yang mati, tanpa makna
simbolik dan kualitatif, tanpa nilai, tanpa cita rasa etis dan estetis. Paradigma ini
memandang alam raya termasuk di dalamnya realitas keseluruhan tersusun dari balok-
balok bangunan dasar materi yang terdiri dari atom-atom. Perbedaan antara materi yang
satu dengan lainnya hanyalah soal beda kuantitas dan bobot. Selain itu, pandangan
reduksionis ini berasumsi bahwa perilaku semua entitas ditentukan sepenuhnya oleh
perilaku komponen-komponen terkecilnya. Pada jaman phytagoras maupun Plato,
matematika itu mempunyai symbol kualitatif. Namun pada masa modern ini, matematika
hanya dibatasi pada soal numerik-kuantitatif, unsur-unsur simbolik ditiadakan.

5. Instrumentalisme
Focus pertanyaan di sini adalah menjawab soal bagaimana dan bukan mengapa.
Newton bersikukuh dengan teori gravitasi karena ia sudah dapat merumuskannya secara
matematis meskipun ia tidak tahu mengapa dan apa penyebab gravitasi itu. Yang lebih
penting menurutnya adalah dapat mengukurnya, mengobservasinya, membuat prediksi-
prediksi berdasarkan konsep itu, daripada soal menjelaskan gravitasi. Modus berpikir yang
instrumentalistik ini tampak pada kecondongan bahwa kebenaran suatu pengetahuan atau
sains itu diukur dari sejauh mana hal itu dapat digunakan untuk memenuhi
kebutuhan atau kepentingan material dan praktis. Semuanya diarahkan pada penguasaan
dan dominasi subjek manusia terhadap alam.
6. Materialisme - Saintisme
Saintisme adalah pandangan yang menempatkan metode ilmiah eksperimental
sebagai satu-satunya metode dan bahasa keilmuan yang universal sehingga segala
pengetahuan yang tidak dapat diverifikasi oleh metode tersebut dianggap tidak bermakna.
Pada Descartes, Tuhan itu bersifat instrumentalistik karena sebagai penjamin kesahihan
pengetahuan subjek terhadap realitas eksternal. Pada Newton, Tuhan hanya diperlukan
pada saat awal pencitpaan. Tuhan menciptakan partikel-partikel benda, kekuatan antar
partikel, hukum gerak dasar, dan sesudah tercipta lalu alam ini terus bergerak seperti
sebuah mesin ayng diatur oleh hukum-hukum deterministi. Bagi kaum materialis, pada
prinsipnya setiap fenomena mental manusia dapat ditinjau dengan menggunakan hukum-
hukum fisikal dan bahan-bahan mentah yang sama, yang mampu menjelaskan fotosintesis,
nutrisi dan pertumbuhan.
II. 3. Relativisme
Dalam paham ini, individu menjadi ukuran segala hal. Protagoras merupakan tokoh
relativisme epistemologis. Dan dia mengatakan bahwa relativisme epistemologi
menyatakan kerelatifan nilai kebenaran pengetahuan, kebenaran relative terhadap subjek
yang mengetahui, terhadap kelompok masyarakat dan paradigma tertentu.
Relativisme epistemologis merupakan suatu paham yang mengingkari adanya dan
dapat diketahuinya kebenaran yang objektif dan universal oleh manusia. Sebaliknya,
paham ini mengajarkan bahwa kebenaran yang ada dan yang dapat diketahui oleh manusia
adalah kebenaran yang bersifat relative. Relative terhadap subjek yang bersangkutan,
terhadap masyarakat dan budaya tertentu, terhadap paradigma yang dipakai, dan
sebagainya.[14]
Bentuk relativisme yang terkait dengan kemajemukan budaya dan kemajemukan
pandangan hidup dan berdasar pada kekhasan dan perbedaan yang terdapat dalam
masyarakat ada tiga yaitu.[15]: Pertama, relativisme subjektif ialah kebenaran pengetahuan
dipahami sebagai suatu yang relatif terhadap subjek yang bersangkutan. Contohnya, apa
yang benar untuk si A, belum tentu benar untuk si B.
Kedua, relativisme budaya ialah menolak kebenaran objektif dan universal karena
pengetahuan manusia selalu relatif terhadap kebudayaan tempat pengetahuan itu
dikembangkan atau berasal yang selalu bersifat lokal, etnis, gender. Kriteria benar dan
salah relatif terhadap kesepakatan konsensus social dalam masyarakat.
Ketiga, relativisme konseptual ialah benar dan salah tidak ada ukuran objektif dan
universal, tergantung kepada kerangka konsep atau teori atau paradigma yang digunakan.
Ini dianut oleh Wittgenstein, Hillary Putnam, dan Kuhn. Dan relativisme jenis ini
mendasari relativisme budaya.
Lubis mengatakan bahwa kita tidak mungkin memahami realitas dari satu paradigma
atau perspektif saja. Oleh sebab itu, berbagai paradigma diperlukan untuk semakin
memahami makna realitas itu.
Cara mengatasi dua pendapat yang saling kontradiksi adalah mencari bukti yang
lebih kuat atau rasional. Dan biasanya sebab dari adanya kontradiksi itu adalah adanya
asumsi-asumsi yang salah gagal untuk membedakan antara keyakinan semata dengan
keyakinan yang benar contohnya, ada pendapat bahwa bumi itu bulat dan diciptakan oleh
tuhan. Kemudian pendapat lain mengatakan bumi datar dan terjadi secara sendirinya.
Pendapat yang benar adalah pendapat yang kuat yaitu pendapat pertama.

Note:
Al ghozali hidup pada abad ke- 12, sedangkan Rene Decartes pada abad ke-16. Jadi
al ghazali dalam hal ini mempengaruhi decartes. SKEPTIPISME
Subjektivisme (paradigma diluaran itu berbeda): bergantung pada subjek yang
secara langsung mengalami, hingga subjek ini menjadi sandaran langsung atas keberadaan
ilmu pengetahuan. Karena ini sifatnya subjektif maka ia mengarahkan
pada RELATIVISME. Kenapa? Kerena itu bergantung pada subjek maka pengetahuan
yang ada tidak mutlak semuanya bergantung pada yang mengamati. Tak ada yang mutlak!!
Subjektivisme ini banyak dianut oleh kaum sophis.

[1] A. M. W. Pranarka, Epistemologi Dasar: Suatu Pengantar, (Jakarta: Yayasan


Proklamasi CSIS, 1987), hlm 97.
[2] J. Sudarminta, Epistemologi Dasar, (Yogyakarta: Kanisius, 2002), hlm 46.

[3] Ibid., hlm 47.

[4] Titus, Persoalan-persoalan Filsafat (terjemahan H.M. Rasjidi), (Jakarta: Bulan


Bintang, 1984), hlm 251.

[5] Akhyar Yusuf Lubis, Epistemologi Fundasional, (Bogor: Akademia, 2009), cet. 1,
hlm 66.

[6] Ibid., hlm 66-67.

[7] Lorens Bagus, Kamus Filsafat, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2002), cet. 3,
hlm 1067-1068.

[8] Akhyar Yusuf Lubis, Epistemologi Fundasional, (Bogor: Akademia, 2009), cet. 1,
hlm 66.

[9] Titus, Persoalan-persoalan Filsafat (terjemahan H.M. Rasjidi), (Jakarta: Bulan


Bintang, 1984), hlm 218.

[10] Alfons Taryadi, Epistemologi Pemecahan Masalah, Menurut Karl R. Popper,


(Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1991), cet. 2, hlm 92-93.

[11] Ibid., hlm 112-113.

[12] Lorens Bagus, Kamus Filsafat, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2002), cet.
3, hlm

[13] Http://aliflukmanulhakim.wordpress.com/2008/09/07/skeptisisme-subjektivisme-
dan-relativisme/

[14] J. Sudarminta, Epistemologi Dasar, (Yogyakarta: Kanisius, 2002), hlm 55.

[15] Akhyar Yusuf Lubis, Epistemologi Fundasional, (Bogor: Akademia, 2009), cet.
1, hlm 67-68.

Nnn
Badik Rahmawati

A. Pengetian filsafat
Filsafat , philosophy, dalam bahasa Inggeris, atau philosophya dalam Yunani mempunyai arti cinta
akan kebijaksanaan. Philos (cinta) atau philia (persahabatan, tertarik kepada)
dan sophos (kebijaksanaan, pengetahuan, keterampilan, pengalaman praktis, inteligensi. Dari
pengertian tersebut filsafat sebenarnya amat dekat dengan realitas kehidupan kita. Untuk mengerti apa
filsafat itu, orang perlu menggunakan akal budinya untuk merenungkan relaitas hidupnya, apa itu
hidup? Mengapa saya hidup? Akan kemana saya hidup? Tentunya pertanyaan tersebut sejatinya
muncul alamiah bila akal budi kita dibiarkan bekerja. Persoalannya, apakah orang atau peminat filsafat
sudah membiarkan akal budinya bekerja dengan baik memandang relaitas? Aristoteles menyebut
manusia sebagai binatang berpiki

Sementara itu pengertian filsafat secara terminology, diuraikan banyak pakar, yaitu :
A. Sonny Keraf dan Mikhael Dua mengartikan ilmu filsafat sebagai ilmu tentang bertanya atau berpikir
tentang segala sesuatu (apa saja dan bahkan tentang pemikiran itu sendiri) dari segala sudut
pandang. Thinking about thinking.
Beberapa filsuf mengajukan beberapa definifi pokok seperti:
Upaya spekulatif untuk menyajikan suatu pandangan sistematik serta lengkap tentang seluruh realitas
Upaya untuk melukiskan hakekat realitas akhir dan dasar serta nyata,
Upaya untuk menentukan batas-batas jangkauan pengetahuan: sumbernya, hakekatnya, keabsahannya,
dan nilainya.
Penyelidikan kritis atas pengandaian-pengandaian dan pernyataan-pernyataan yang diajukan oleh
berbagai bidang pengetahuan
Disiplin ilmu yang berupaya untuk membantu anda melihat apa yang ada katakan dan untuk mengatakan
apa yang anda lihat.
sebagai disiplin ilmu yang mencari dan menggeluti segara yang ada sehingga sampai pada suatu
kebijaksanaan universal dengan mengunakan akal budi guna merumuskanya secara sistematis,
metodis dan dapat dipertanggungjawabkan secara akal budi pula.

Hamersma (1981: 10) mengatakan bahwa Filsafat merupakan pengetahuan metodis,


sistematis, dan koheren tentang seluruh kenyataan Jadi, dari definisi ini nampak bahwa kajian
filsafat itu sendiri adalah realitas hidup manusia yang dijelaskan secara ilmiah guna
memperoleh pemaknaan menuju hakikat kebenaran.
Titus et.al (dalam Muntasyir & Munir, 2002: 3) memberikan klasifikasi pengertian tentang
filsafat, sebagai berikut :
Filsafat adalah sekumpulan sikap dan kepercayaan terhadap kehidupan dan alam yang biasanya diterima
secara tidak kritis (arti informal).
Filsafat adalah suatu proses kritik atau pemikiran terhadap kepercayaan dan sikap yang sangat kita
junjung tinggi (arti formal).
Filsafat adalah usaha untuk mendapatkan gambaran keseluruhan. Artinya filsafat berusaha untuk
mengombinasikan hasil bermacam-macam sains dan pengalaman kemanusiaan sehingga menjadi
pandangan yang konsisten tentang alam (arti spekulatif)
Filsafat adalah analisis logis dari bahasa serta penjelasan tentang arti kata dan konsep. Corak filsafat
yang demikian ini dinamakan juga logosentris.
Filsafat adalah sekumpulan problema yang langsung, yang mendapat perhatian dari manusia dan yang
dicarikan jawabannya oleh ahli-ahli filsafat

B. Guna dan Manfaat FIlsafat


Membiasakan diri utk bersikap kritis, sehingga tidak terjebak ke dalam sifat "asal ngikut" (taklid

buta)
Membiasakan diri utk bersikap logis-rasional (Opini & argumentasi )
Mengembangkan semangat toleransi dlm perbedaan pandangan (pluralitas).
Mengajarkan cara berpikir yg cermat dan tdk kenal lelah
Membuka wawasan berpikir menuju ke arah verstehen (penghayatan).
Filsafat menolong mendidik, membangun diri kita sendiri: dengan berpikir lebih mendalam, kita

mengalami dan menyadari kerohanian kita. Rahasia hidup yang kita selidiki justru memaksa kita untuk
berpikir untuk hidup sesadar-sadarnya, dan memberikan isi kepada hidup kita sendiri.
Filsafat memberikan kebiasaan dan kepandaian untuk melihat dan memecahkan persoalan-

persoalan dalam hidup sehari-hari. Orang yang hidup secara "dangkal" saja, tidak mudah melihat
persoalan-persoalan, apalagi melihat pemecahnya. Dalam filsafat kita dilatih melihat dulu apa yang
menjadi persoalan, dan ini merupakan syarat mutlak untuk memecahkannya.
Filsafat memberikan pandangan yang luas, membendung "akuisme" dan "aku-sentrisme" (dalam

segala hal hanya melihat dan mementingkan kepentingan dan kesenangan si aku).
Filsafat merupakan latihan untuk berpikir sendiri, hingga kita takhanya ikut-ikutan saja, membuntut

pada pandangan umum, percaya akan setiap semboyan dalam surat-surat kabar, tetapi secara kritis
menyelidiki apa yang dikemukakan orang, mempunyai pendapat sendiri, "berdiri-sendiri",dengan cita-
cita mencari kebenaran.
Filsafat memberikan dasar-dasar, baik untuk hidup kita sendiri (terutama dalam etika) maupun

untuk ilmu-ilmu pengetahuan dan lainnya, seperti sosiologi, ilmu jiwa, ilmu mendidik, dan sebagainya.

C. Tujuan Filsafat
1. Mencapai pengertian dan kebijaksanaan (understanding and wisdom).
2. Mencari hakikat kebenaran sesuatu, baik dalam logika (kebenaran berpikir), etika (berperilaku),
maupun metafisik (hakikat keaslian).

Historisitas Filsafat

Pembagian Tahapan Pemikiran Filsafat


Berdasarkan sejarah, Suzanne K. Langer (1971) membagi tahapan pemikiran filsafat menjadi 6 tahap.
Keenam tahap itu dikemukakan di sini namun dengan disertai satu tahap tambahan (jadi ada 7 tahap)
yang menurut saya perlu dimasukkan, yaitu tahap postmodernisme. Selain itu, dalam makalah ini ada
beberapa catatan tambahan yang menurut saya perlu ditambahkan ke dalam tahap-tahap tertentu dari
pembagian tahapan oleh Langer. Secara singkat tahap-tahap itu saya kemukakan sebagai berikut.

1. Tahap Kebangkitan Rasio Yunani Kuno (600 SM): Filsafat Alam


Pada tahap ini para filsuf Yunani mengubah orientasi pikiran manusia dari mitos menjadi logos. Thales
memulai pencarian asal-usul utama (arche) alam semesta, diteruskan oleh Anaximenes dan
Anaximander, serta filsuf-fisuf sebelum Socrates. Filsafat yang berkembang pada masa ini disebut
filsafat alam karena pertanyaan-pertanyaan yang dikemukakan berkisar tentang terjadinya alama
semesta.

2. Tahap Filsafat Manusia: Socrates, Plato dan Aristoteles (+/- 200 SM)
Pada tahap ini perubahan titik berat pengkajian dari alam ke manusia. Pertanyaan-pertanyaan tentang
alam digantikan dengan pertanyaan-pertanyaan tentang manusia dan perilaku baik-buruknya. Filsuf-
filsuf yang terkemuka pada masa ini adalah Socrates, Plato dan Aristoteles. Pada tahap ini etika juga
berkembang pesat. Pemikiran-pemikiran mereka tentang etika masih mempengaruhi teori-teori etika
hingga akhir aba 20 ini.

3. Tahap Filsafat Alam, Manusia dan Tuhan Penciptanya (300-1300 M)


Pada tahap ini teologi ditopang oleh rasio. Tokoh yang terkenal adalah Thomas Aquinas dan St.
Augustine. Setelah masukknya agama Kristiani filsafat mengalami pergeseran, yaitu ketika para filsuf
mempertnyakan manusia dan alam ini dalam kaitannya dengan Tuhan. Persaingan antara rasio (nalar)
dengan kepercayaan (iman) diawali pada tahap ini. Karena para filsuf pada masa ini berasal dari
kalangan gereja, maka mereka menegaskan bahwa filsafat mengabdi pada teologi (Faith over
Reason). Hampir bersamaan dengan masa ini, Eropa dianggap mengalami abad kegelapan karena
terjadi banyak pengekangan terhadap kegiatan olah pikiran oleh gereja. Kaum agamawan berperan
sebagai pihak yang meenentukan apa yang boleh dilakukan dan apa yang tidak boleh dilakukan oleh
individu masa itu. Kurang lebih pada masa yang sama dengan masa kegelapan Eropa, di Timur
Tengah terjadi kondisi yang bertolak belakang dengan Eropa. Pada masa ini peradaban Islam justru
sedang mencapai kejayaan di bidang filsafat dan ilmu pengetahuan. Langer tidak memasukkan masa
kejayaan Islam ini dalam sejarah perkembangan filsafat. Namun menurut saya sangat perlu
memasukkan perkembangan filsafat di wilayah Arab karena lewat para filsuf Arab-lah orang Eropa
mempelajari pemikiran-pemikiran filsafat Yunani Kuno. Filsuf-filsuf Islam seperti Al-Kindi, Al-Farabi, Ibnu
Sina, dan Ibnu Rusyh merupakan tokoh-tokoh yang berjasa besar dalam menerjemahkan dan
menafsirkan karya-karya para filsuf Yunani seperti Plato dan Aristoteles. Perkembangan filsafat dalam
peradaban Islam merupakan satu bagian sejarah filsafat yang sangat penting untuk dicatat dan
dipelajari. Apalagi para filsuf Islam tidak hanya sekedar mempelajari filsafat Yunani Kuno tetapi mereka
juga melahirkan buah-buah pikiran hasil perpaduan filsafat Yunani Kuno, ajaran Islam, tasawuf, dan
berbagai pengamatan terhadap kondisi sosial pada masa itu. Karya-karya filsuf Islam masa itu
merupakan kekayaan pemikiran yang berharga dan patut dikaji hingga kini.

4. Tahap Filsafat Modern (abad 17 M)


Pada masa ini rasio kembali menjadi pusat kegiatan filsafat. Selain itu, filsafat lebih bersifat
antroposentris dibanding teosentris. Pandangan filsuf gereja digantikan oleh pandangan-pandangan
pemikir rasinalis yang menkankan pentingnya rasio dalam menemukan kebenaran. Filsafat Descartes,
Spinoza, dan Leibniz memulai pemikiran fisafat modern. Descartes memulai tahap filsafat modern
dengan semboyannya yang terkenal cogito ergo sum (saya berpikir maka saya ada). Descartes
mengkritik para filsuf dan masyarakat dan para filsuf zaman itu karena mereka bersikap menerima
begitu saja menerima perkataan para filsuf pendahulunya yang belum tentu benar. Ia menganjurkan
agar menerima pemikiran para filsuf dan ajaran gereja dengan kesangsian. Dengan kesangsian yang
dilakukan rasio itulah manusia bisa mencapai kebenaran. Pemikiran Descartes dianggap sebagai
tonggak lahirnya filsafat modern dan berpengaruh besar terhadap. Selain itu Descartes memandang
alam sebagai suatu mesin besar yang dapat dipilah-pilah (dianalisis). Pandangan ini mempengaruhi
lahirnya ilmu pengetahuan alam. Tokoh yang dianggap menunjukkan bukti pandangan bahwa alam
bersifat mekanistis adalah Newton.

5. Tahap Perkembangan Ilmu Pengetahuan Alam


Tahap ini diiringi oleh kebangkitan fisikawan. Dengan mengadopsi pandangan alam yang mekanistis
dari Descartes, Newton melakukan serangkaian penelitian yang menghasilkan satu kerangka pikir yang
daianggap mampu menjelaskan fenomena-fenomena alam. Pandangan Descartes tentang alam
dianggap terbukti pada masa ini. Fisika pun berkembang pesat. Perkembangan fisika mempengaruhi
pandangan filsafat dan ilmu sosial. Metode-metode IPA digunakan dalam penelitian filsafat dan ilmu
sosial. Metode observasi jadi metode utama di sini, juga dibantu oleh matematika. Dalam ilmu sosial
Francis Bacon yang kemudian disusul oleh Aguste Comte menerapkan metode-metode ilmu
pengetahuan alam dalam mengkaji ilmu-ilmu sosial yang melahirkan positivisme.

6. Tahap Analisa Bahasa


Pada abad 20 filsafat memfokuskan kajiannya pada fungsi-fungsi dan proses penggunaan bahasa. Di
sini manusia dipandang sebagai animal simbolicum. Pada tahap ini aliran filsafat yang dianggap
sebagai aliran utama adalah filsafat analitik. Fungsi-fungsi bahasa yang diteliti mencakup: 1) fungsi
kognitif-informatif; 2) fungsi emotif-ekspresif; 3) fungsi direktif-persuasif; dan 4) fungsi performatif-
seremonial. Hal yang terlihat jelas pada tahap ini adalah pendekatan linguistik dengan teori
strukturalisme dengan tokohnya Ferdinand de Saussure memiliki pengaruh yang besar. Pada tahap ini
banyak bidang filsafat dan ilmu dianggap semacam bahasa. Selain itu, semioti (ilmu tentang tanda)
juga berpengaruh besar. Pendekatan studi terhadap berbagai ilmu sering dilakukan dengan
menggunakan kerangka pikir semiotik. Dalam tahap ini linguistik dan semiotik juga menjadi alat bantu
bagi berbagai bidang ilmu dalam mengkaji obeyek-obyek studinya. Misalnya dalam psikologi dan
kedokteran, lingusitik dan semiotik membantu mengidntifikasi dan menginterpretasi simptom-simptom
yang berupa bahasa atau tanda-tanda nonverbal lainnya.

7. Tahap Postmodernisme
Istilah posmodernisme sulit untuk didefinisikan. Dalam kesempatan ini postmodernisme digunakan
untuk merujuk pada satu kondisi bukan suatu aliran filsafat. Tahap posmodernisme ditandai oleh
keraguan terhadap cerita-cerita besar atau metanarasi (Lyotard, 1984). Yang dimaksud dengan narasi
besar (grand narrative) adalah wacana-wacana yang dianggap baku seperti filsafat Hegel, Kant, Marx,
dan sebagainya. Narasi besar juga dirujukkan kepada konsep-konsep seperti keabsahan, kemajuan,
emansipasi kaum proletar, perjuangan kelas, roh absolut, religi dan sebagainya. Ahmed (1996)
mencoba menunjukkan 8 (delapan) ciri posmodernisme:

1) Hilangnya kepercayaan terhadap proyek modernitas; munculnya semangat pluralitas, skeptisisme


terhadap ortodoksi tradisional dan penolakan terhadap pandangan bahwa dunia adalah sebuah
totalitas universal. Posmodernisme juga dicirikan oleh penolakan terhadap pendekatan yang percaya
pada harapan akan adanya solusi akhir dan jawaban sempurna.

2) Posmodernisme muncul bersamaan dengan era media. Pada masa ini dalam banyak cara yang
mendasar media adalah dinamika sentral, ciri pendefinisi (pembatas) dari posmodernisme.

3) Munculnya kembali pendekatan-pendekatan etno-religius atau fundamentalisme. Karena keabsahan


pendekatan ilmiah diragukan dan dianggap sama saja dengan mitos atau kepercayaan non-ilmiah,
maka pendekatan-pendekatan non-ilmiah pun memiliki hak hidup dan berkembang yang sama dengan
pendekatan ilmiah.

4) Kontinuitas dengan masa lalu ditandai dengan kritik yang tajam dan pedas terhadap modernitas.
Postmodernitas oleh beberapa ahli filsafat dianggap mencerminkan krisis yang dialami oleh
modernisme.

5) Metropolis (daerah perkotaan) menjadi pusat sentral bagi postmodernisme.

6) Terdapat elemen kelas dalam postmodernisme dan demokrasi adalah syarat mutlak bagi
pengembangannya. Namun kelas yang ada tidak dilihat sebagai tingkatan lebih tinggi atau lebih
rendah. Perbedaan kelas dianggap sebagai sekedar perbedaan tidak menunjukkan bobot kualitas
tertentu dan tidak mempengaruhi derajat kekuasaan.

7) Postmodernisme memberikan peluang bahkan mendorong kesetaraan wacana, penggabungan


berbagai pemikiran dan kepercayaan, dan pencampuran berbagai citra. Misalnya pemikiran tradisional
disetarakan dengan pemikiran modern, unsur-unsur Timur dipadu dengan unsur Barat, das
sebagainya.

8) Mencuatnya jargon-jargon dan istilah-istilah yang memiliki pengertian rumit, penggunaan bahasa
yang kompleks, dan seringnya mengabaian bahasa dan ide yang sederhana. Penjelasan-penjelasan
yang ditampilkan para filsuf postmodernisme seringkali rumit dan sulit dimengerti karena mereka sering
menggunakan istilas baru buatan mereka sendiri (neologisme). Tokoh-tokoh filsafat yang dianggap
mewakili posmodernisme diantaranya Michel Foucault, Jacques Derrida, dan Jean-Francois Lyotard.
Edisi : Karakter / Ciri-Ciri Berpikir Dalam Filsafat

A. Karakter Filsafat
Dalam memahami suatu permasalahan, ada perbedaan tentang karakteristik dalam berfikir antara
filsafat dengan ilmu-ilmu lain. Mudhofir dalam Muntasyir&Munir (2002: 4-5) mengatakan bahwa ciri-ciri
berfikir kefilsafatan sebagai berikut :
1. Radikal, berasal dari kata radix yang berarti akar. Sifat radikal di sini artinya mengakar (bisa
juga mendalam). Pemahaman yang radikal adalah pemahaman yang mengakar. Dalam
berfilsafat, hal yang hendak dipelajari digali sampai ke akar-akar sehingga pemahaman
tentang hal itu menyeluruh dan mendalam. Kegiatan memahami sesuatu secara
mengakar/mendalam biasa disebut refleksi artinya berpikir sampai ke akar-akarnya, hingga
sampai pada hakikat atau substansi yang dipikirkan.\
2. Rasional artinya menggunakan akal pikiran dan hukum-hukum logika tertentu yang masuk
akal. Pemikiran filsafat merupakan hasil kegiatan berpikir bukan wahyu atau wangsit. Jika
seorang filsuf mengemukakan buah pikiran yang rasional tentang suatu hal, maka orang lain
dapat memahaminya dengan meenggunakan pikirannya. Setiaporang yang melakukan
kegiatan berpikir tentang hal itu akan memperoleh hasil yang dicapai oleh filsuf itu.
3. Kritis artinya tidak begitu saja menerima atau menolak suatu informasi atau pengetahuan.
Pemahaman yang kritis menyertakan upaya klarifikasi setiap hasil pemikiran secara hati-hati,
melakukan pengecekan dan uji coba pemahaman, dan evaluasi yang menyeluruh terhadap
hasil pemikiran, baik pemikiran sendiri maupun pemikiran orang lain.
4. Sistematis artinya mengikuti satu aturan tertentu, memiliki alur proses yang jelas meliputi:
masukkan (input), pemrosesan input, dan hasil/keluaran (ouput) atau pendapat yang
merupakan uraian kefilsafatan itu harus saling berhubungan secara teratur dan terkandung
adanya maksud atau tujuan tertentu
5. Universal, artinya pemikiran filsafat menyangkut pengalaman umum manusia. Kekhususan
berpikir kefilsafatan menurut Jespers terletak pada aspek keumumannya.
6. Konseptual, artinya merupakan hasil generalisasi dan abstraksi pengalaman manusia.
Misalnya : Apakah Kebebasan itu ?
7. Koheren atau konsisten (runtut). Koheren artinya sesuai dengan kaidah-kaidah berpikir
logis.
8. Konsisten artinya tidak mengandung kontradiksi.
9. Komprehensif, artinya mencakup atau menyeluruh. Berpikir secara kefilsafatan merupakan
usaha untuk menjelaskan alam semesta secara keseluruhan.
10. Bebas, artinya sampai batas-batas yang luas, pemikiran filsafati boleh dikatakan merupakan
hasil pemikiran yang bebas, yakni bebas dari prasangka-prasangka sosial, historis, kultural,
bahkan relijius.
11. Bertanggungjawab, artinya seseorang yang berfilsafat adalah orang-orang yang berpikir
sekaligus bertanggungjawab terhadap hasil pemikirannya, paling tidak terhadap hati nuraninya
sendiri..

B. Pembagian Filsafat
Secara umum berdasarkan obyek kajiannya filsafat dibagi menjadi 3 (tiga) bidang yaitu 1) bagian
filsafat yang mengkaji tentang ada (being), 2) bidang filsafat yang mengkaji pengetahuan
(epistemologi dalam arti luas), dan 3) bidang filsafat yang mengkaji nilai-nilai yang menentukan apa
yang seharusnya dilakukan manusia (axiologi). Masing-masing bidang memiliki cabang-cabangnya.

1. Bagian Filsafat yang mengkaji tentang Ada (Being)


Bidang kajian filsafat tentang ada (being) dibagi dua menjadi 1) ontologi dan 2) metafisika. Ontologi
mengkaji ada yang keberadaannya tidak disangsikan lagi. Dalam ontologi kita berfilsafat tentang
sesuatu yang keberadaannya dipersepsi secara fisik dan tertangkap oleh indra. Sedangkan metafisika
mengkaji ada yang masih disangsikan kehadirannya. Metafisika berhubungan dengan obyek-obyek
yang tidak dapat dijangkau secara inderawi karena obyek itu melampaui sesuatu yang bersifat fisik.
Secara fisik ada itu tidak tampak namun oleh sebagian orang dianggap ada, misalnya jiwa, ilusi,
eksistensi Tuhan, dan sebagainya.

2. Bidang Filsafat Yang Mengkaji Pengetahuan (Epistemologi dalam arti luas).


Bidang filsafat ini menjadikan pengetahhuan sebagai obyek kajiannya.Beberapa ahli filsafat menyebut
bidang ini sebagai epistemologi namun dalam arti luas, yaitu dalam arti bidang yang mengkaji seluruh
pengetahuan yang mungkin diperoleh manusia mulai dari asal-usulnya, bagaimana cara
mendapatkannya, sampai pengujian benar-salahnya. Dalam bidang ini terdapat 4 (empat) cabang
filsafat 1) epistemologi dalam arti sempit, 2) filsafat ilmu, 3) metodologi, dan 4) logika.
a. Epistemologi dalam arti sempit
Epistemologi dalam arti sempit merupakan cabang filsafat yang mengkaji hakekat pengetahuan yang
ditelusuri melalui 4 pokok, yaitu 1) sumber pengetahuan, 2) struktur pengetahuan, 3) keabsahan
pengetahuan, dan 4) batas-batas pengetahuan. Pengetahuan di sini adalah pengetahuan
umum/pengetahuan sehari-hari (knowledge) atau pengetahuan yang berguna bagi manusia secara
praktis (eksistensial pragmatis).
b. Filsafat Ilmu Pengetahuan
Filsafat ilmu pengetahuan merupakan cabang filsafat yang mengkaji ciri-ciri dan cara-cara
memperoleh ilmu pengetahuan (science). Pengetahuan yang dikaji berbeda dengan pengetahuan pada
epistemologi dalam arti sempit. Dalam filsafat ilmu pengetahuaan, yang menjadi obyek adalah
pengetahuan ilmiah atau ilmu pengetahuan (science). Berbeda dengan pengetahuan sehari-hari
(knowledge), pengetahuan ilmiah adalah pengetahuan yang sistematis, diperoleh dengan
menggunakan metode-metode tertentu, logis dan teruji kebenarannya.
c. Metodologi
Metodologi adalah cabang filsafat yang mengkaji cara-cara dan metode-metode ilmu pengetahuan
memperoleh pengetahuan secara sistematis, logis, sahih (valid), dan teruji. Di sini cara dan metode
ilmu pengetahuan dikaji sejauh mana kesahihannya dalam kegiatan menemukan ilmu pengetahuan. Di
dalamnya termasuk juga kritik dan upaya pengujian keabsahan cara kerja dan metode ilmu
pengetahuan. Selain mengkaji cara-cara dan metode-metode yang sudah ada, dalam metodologi dikaji
pula kemungkinan-kemungkinan cara dan metode baru.
d. Logika
Logika adalah ilmu yang mempelajari teknik-teknik dan kaidah-kaidah penalaran yang tepat. Yang
menjadi satuan penalaran dalam logika adalah argumen. Penalaran berlangsung lewat argumen
sebagai kelompok proposisi. Proposisi tersusun dari premis ke konklusi lewat penyimpulan. Logika
berkaitan dengan filsafat ilmu dan metodologi ilmu. Proposisi adalah pernyataan untuk
mengiyakan/menyangkal sesuatu yang dapat diujicoba, di dalamnya termasuk bahasa kognitif.
Proposisi terdiri dari pokok yang dibicarakan (subyek), apa yang disangkal/diiyakan (predikat), dan
hubungan yang sifatnya menyatukan atau memisahkan (kopula).Secara umum ada dua jenis argumen:
1) induktif dan 2) deduktif. Argumen induktif bergerak dari premis-premis khusus ke kesimpulan/premis
umum. Argumen deduktif bertolak dari premis umum ke premis/kesimpulam khusus. Induksi
menghasilkan pengetahuan yang tidak niscaya, melainkan boleh jadi. Kadar kebolehjadiannya dapat
diukur lewat statistik.

3. Bidang filsafat yang mengkaji nilai-nilai yang menentukan apa yang seharusnya dilakukan
manusia (Axiologi)
Axiologi adalah bidang filsafat yang mencoba menjawab pertanyaan Apa yang dilakukan manusia dan
apa yang seharusnya dilakukan manusia? Di sini kita bicara tentang nilai-nilai (kata axiologi sendiri
dapat diartikan sebagai nilai-nilai yang menjadi sumbu perilaku penghayatan dan pengamalan
manusia). Axiologi mengkaji pengalaman dan penghayatan dari perilaku-perilaku manusia. Di
dalamnya dibahas tentang nilai apa yang berkaitan dengan kebaikan dan apakah itu perilaku baik.
Selain itu juga dibicara tentang nilai rasa manusia yang dikaitkan dengan keindahan. Cabang filsafat
yang termasuk dalam axiologi adalah etika dan estetika.
a. Etika
Etika adalah cabang filsafat yang mengkaji nilai apa yang berkaitan dengan kebaikan dan apakah itu
perilaku baik. Cabang ini meliputi apa dan bagaimana hidup yang baik, menjadi orang yang baik,
berbuat baik, dan menginginkan hal-hal yang baik dalam hidup.Kata etika menunjuk dua hal. Pertama:
disiplin ilmu yang mempelajari nilai-nilai dan pembenarannya. Kedua: pokok permasalahan disiplin ilmu
itu sendiri yaitu nilai-nilai hidup manusia yang sesungguhnya dan hukum-hukum tingkah laku manusia
(Solomon, 1987). Dalam etika kita juga mempelajari moralitas dan alasan-alasan yang lebih abstrak
mengapa manusia berbuat dan tidak berbuat sesuatu.. Etika bukanlah sekedar kumpulan perintah dan
larangan (harus dan jangan) tetapi merupakan satu sistem nilai-nilai dan prinsip-prinsip yang terpadu
secara teratur untuk mencapai masyarakat yang berbudaya dan hidup bahagia.
2. Estetika
Estetika mengkaji pengalaman dan penghayatan manusia dalam menanggapi apakah sesuatu itu
indah atau tidak. Jadi estetika membahas soal-soal keindahan yang dipersepsi oleh manusia.

Metode Filsafat

A. Pengantar
Kata metode berasal dari kata methodos. Methodos berarti penelitian, hipotesa ilmiah dan uraian
ilmiah. Maka dapat dikatakan bahwa metode adalah cara kerja yang sistematis yang digunakan untuk
memahami suatu objek yang dipermasalahkan atau realitas yang dianalisa.
Metode, sejak awal, merupakan instrumen utama dalam proses dan perkembangan ilmu pengetahuan
sejak dari awal suatu penelitian hingga mencapai pemahaman baru dan kebenaran ilmiah yang dapat
dipertanggungjawabkan. Metode yang benar dan sah akan menjamin kebenaran yang benar dan sah
pula. Maka tidak mengherankan apabila setiap cabang ilmu pengetahuan mengembangkan metodologi
yang sesuai dengan objek penelitiannya. Keharusan metodis adalah keniscayaan dalam pencapaian
pengetahuan. Tapi metodologi bisa berbeda bagi setiap bidang ilmu pengetahuan.

B. METODE FILSAFAT
Metode dan Objek Filsafat. Dalam filsafat, metode dan objek formal filsafat tidak terpisahkan. Masing-
masing aliran filsafat menentukan objek formalnya. Dengan demikian, aliran filsafat menentukan
metode dan logikanya sendiri. Setiap aliran filsafat mempunyai kemandirian dalam bidang ilmiahnya.
Kemandirian itu menyebabkan bahwa filsafat menjelaskan, mempertanggungjawabkan dan membela
metode yang dipakainya. Filsafat mengajukan claims of discovery of the correct method. Tapi di pihak
lain sering kali ada perbedaan mendasar antara apa yang benar-benar dikerjakan seorang filsuf, dan
tuntutan metodologisnya.

Pemakaian metode ilmiah umum. Meskipun filsafat mempunyai metodenya sendiri, dengan sendirinya
filsafat memakai unsur-unsur metode umum. Setiap paham filsafat menerapkan unsur metodologi
umum ini menurut caranya sendiri. Ada beberapa tekanan yang nampak dalam paham filsafat. Segi
subjektif: rasionalisme, pragmatisme, fenomenologi, positivisme, empirisme. Segi objektif: realisme,
idealisme, materialisme, monisme dan lainnya.
Metode-metode Filsafat. Dalam sejarah filsafat, banyak metode yang telah dikembangkan. Beberapa
metode filsafat yang sempat tercatat dalam sejarah filsafat adalah sebagai berikut.

1. METODE REDUCTIO AD ABSURDUM


Metode ini dikembangkan oleh Zeno, salah seorang murid Parmenides. Zeno sering disebut sebagai
Bapak Metafisika Barat yang pertama. Metode ini adalah metode yang ingin meraih kebenaran, dengan
membuktikan kesalahan premis-premis lawan, yang caranya dengan mereduksi premis lawan menjadi
kontradiksi sehingga kesimpulannya menjadi mustahil. Inilah reductio ad absurdum.

Zeno mengikuti argumentasi Parmenides tentang monisme realitas. Argumentasi Zeno ini dipakai untuk
mempertahankan serangan dari ide pluralisme. Zeno mengatakan seandainya ada banyak titik yang
terdapat di antara titik A dan B, berarti kita harus mengakui adanya titik-titik yang tak terbatas di antara
A dan B. Jika titiknya tak terbatas, jarak tak terbatas antara A dan B tidak mungkin tercapai. Tapi jika
ada orang yang bisa berjalan dari A ke B, itu berarti jarak A dan B dapat dilintasi. Jika A ke B bisa
dilintasi berarti jarak A dan B terbatas. Jadi jika kita menarik hipotesis mula yang mengatakan bahwa
ada banyak titik yang terdapat di antara titik A dan titik B adalah salah. Maka, pluralitas adalah absurd,
mustahil dan tidak masuk akal.
Parmenides pernah mengatakan bahwa tidak ada ruang kosong, yang berarti bahwa yang ada tidak
berada dalam ada yang lain karena yang ada pasti mengisi seluruh tempat. Zeno melengkapi
argumentasi itu dengan pernyataan: jika ada ruang kosong, ruang kosong itu berada dalam ruang
kosong yang lain dan ruang kosong yang lain itu berada dalam ruang kosong yang lain pula dan
seterusnya sampai tak terbatas. Itu artinya akan ada senantiasa ruang dalam ruang. Oleh karena itu,
jika dikatakan bahwa yang ada berada dalam ada yang lain, jelas bahwa pernyataan itu tidak benar.
Yang benar adalah yang adatidak berada dalam ada yang lain. Tegasnya, ruang kosong itu tidak
mungkin berada dalam ruang kosong yang lain karena yang ada itu senantiasa mengisi seluruh tempat
sehingga hipotesis yang mengatakan bahwa ruang kosong itu ada adalah suatu yang mustahil.
Zeno menambahkan jika ruang kosong itu tidak ada, berarti gerak tidak ada. Ini karena jika dikatakan
bahwa gerak itu ada, berarti bahwa ruang kosong harus ada karena gerak dimungkinkan jika ada ruang
kosong. Zeno membuktikan hal itu dengan empat contoh terkemuka: dikotomi paradoks, Akhiles - si
pelari, Anak panah dan Benda yang bergerak bertentangan.

Metode Zeno ini memberikan nilai abadi bagi filsafat karena tidak ada pernyataan yang melahirkan
pertentangan yang dianggap benar. Hukum tidak ada pertentangan ini merupakan prinsip fundamental
dalam logika. Metode Zeno ini berguna dalam orasi dan perdebatan yang rasional dan logis. Zeno
adalah orang pertama yang juga menggunakan metode dialektik, dalam arti bahwa orang mencari
kebenaran lewat perdebatan dan bersoal secara sistematis.

2. METODE MAIEUTIK DIALEKTIS KRITIS INDUKTIF


Metode Maieutik dikembangkan oleh Sokrates. Dalam sejarah filsafat Yunani, Sokrates adalah salah
satu filsuf yang terkemuka. Hanya sayang, dia tidak pernah meninggalkan bukti otentik yang bisa
dianggap sebagai karya asli Sokrates. Karya Sokrates didapatkan dari beberapa karya Plato dan
Aristoteles. Tapi pemikiran Sokrates yang berhasil direkam hanya bisa dilihat dari karya Plato, terutama
dalam dialog-dialog yang pertama, yang sering disebut dengan dialog Sokratik.

Pemikiran Sokrates berpusat pada manusia. Refleksi filosofis Sokrates berangkat dari kehidupan
sehari-hari. Jadi, menurut Sokrates melihat bahwa kehidupan sehari-hari sebagai kebenaran objektif.
Sokrates dalam filsafatnya menolak subjektivisme dan relativisme aliran sofisme. Kebenaran objektif
yang dicapai bukan sekedar didapatkan dari pengetahuan teoritis tapi justru dari kebajikan manusia.
Filsafat Sokrates adalah upaya untuk mencapai kebajikan. Kebajikan harus nampak dan mengantar
manusia kepada kebahagiaan sejati. Jadi, pengetahuan dan kebenaran objektif selalu menghasilkan
tindakan yang benar secara objektif pula. Dan, disitulah kebahagiaan sejati dapat diraih.

Untuk mencapai objektivitas maka diperlukan metode yang sesuai. Sokrates percaya bahwa
pengetahuan akan kebenaran objektif itu tersimpan dalam jiwa setiap orang sejak masa
praeksistensinya. Oleh sebab itu, filsafat Sokrates tidsak mengajarkan kebenaran tapi hanya menolong
orang mencapai kebenaran. Filsafat menolong manusia melahirkan kebenaran seperti layaknya ibu
melahirkan bayinya. Maka, tugas filsafat adalah tugas untuk menjadi bidan yang menolong manusia
melahirkan kebenaran. Metode itu disebut dengan metode teknik kebidanan (maieutika tekhne).
Metode kebidanan ini diperoleh dengan percakapan (konversasi). Sokrates selalu berfilsafat justru
dalam percakapan. Lewat percakapan, Sokrates melihat ada kebenaran-kebenaran individual yang
bersifat universal. Sampai taraf tertentu, percakapan ini akan menghasilkan persepsi induktif yang
nantinya akan dikembangkan oleh filsuf yang lain.
Dalam dialog, Sokrates melibatkan diri secara aktif dalam memanfaatkan argumentasi rasional dengan
analisis yang jelas atas klasifikasi, keyakinan dan opini yang melahirkan kebenaran. Percakapan kritis
ala Sokrates bisa membimbing manusia untuk bisa memilah dan menemukan kebenaran yang
sesungguhnya.

Metode percakapan kritis yang dilakukan Sokrates juga disebut dengan metode dialektis. Sementara
yang lain, beranggapan bahwa metode dialektis bisa disebut dengan metode interogasi.

3. METODE DEDUKTIF SPEKULATIF TRANSENDENTAL


Metode ini dikembangkan oleh Plato, murid dari Sokrates. Plato meletakkan titik refleksi pemikiran
filosofisnya pada bidang yang luas, yaitu ilmu pengetahuan. Dari sekian banyak cabang ilmu
pengetahuan, Plato menitikberatkan perhatiannya pada ilmu eksakta. Dari titik refleksi filosofis ini
lahirlah penalaran deduktif yang terlihat jelas melalui argumentasi-argumentasi deduktif yang
sistematis.
Dasar seluruh filsafat Plato adalah ajaran ide. Ajaran ide Plato ini melihat bahwa idea adalah realitas
yang sejati dibandingkan dengan dunia inderawi yang ditangkap oleh indera. Dunia idea adalah realitas
yang tidak bisa dirasa, dilihat dan didengar. Idea adalah dunia objektif dan berada di luar pengalaman
manusia. Pengetahuan adalah ingatan terhadap apa yang telah diketahui di dunia idea. Sistem
pengetahuan Plato semacam ini bersifat transendental spekulatif.

4. METODE SILOGISME DEDUKTIF


Metode ini dikembangkan oleh Aristoteles. Aristoteles menyatakan bahwa ada dua metode yang dapat
digunakan untuk menarik kesimpulan yang benar, yaitu metode induktif dan deduktif. Induksi adalah
cara menarik kesimpulan yang bersifat umum dari hal yang khusus. Deduksi adalah cara menarik
kesimpulan berdasarkan dua kebenaran yang pasti dan tak diragukan lagi. Induksi berawal dari
pengamatan dan pengetahuan inderawi. Sementara, deduksi terlepas dari pengamatan dan
pengetahuan inderawi.
Aristoteles dalam filsafat Barat dikenal sebagai Bapak Logika Barat. Logika adalah salah satu karya
filsafat besar yang dihasilkan oleh Aristoteles. Sebenarnya, Logika tidak pernah digunakan oleh
Aristoteles. Logika dimanfaatkan untuk meneliti argumentasi yang berangkat dari proposisi-proposisi
yang benar, yang dipakainya istilah analitika. Adapun untuk meneliti argumentasi-argumentasi yang
bertolak dari proposisi-proposisi yang diragukan kebenarannya, dipakainya istilah dialektika.

Inti logika adalah silogisme. Silogisme adalah alat dan mekanisme penalaran untuk menarik
kesimpulan yang benar berdasarkan premis-premis yang benar adalah bentuk formal penalaran
deduktif. Deduksi, menurut Aristoteles, adalah metode terbaik untuk memperoleh kesimpulan untuk
meraih pengetahuan dan kebenaran baru. Itulah metode silogisme deduktif.
Silogisme adalah bentuk formal deduksi. Silogisme mempunyai tiga proposisi. Proposisi pertama dan
kedua disebut premis. Proposisi ketiga disebut kesimpulan yang ditarik dari proposisi pertama dan
kedua. Tiap proposisi mempunyai dua term. Maka, setiap silogisme mempunyai enam term. Karena
setiap term dalam satu silogisme biasa disebut dua kali, maka dalam setiap silogisme hanya
mempunyai tiga term. Apabila proposisi yang ketiga disebut kesimpulan, maka dalam proposisi
yangketiga terdapat dua term dari ketiga term yang disebut tadi. Yang menjadi subjek konklusi disebut
term minor. Predikat kesimpulan disebut term mayor. Term yang terdapat pada dua proposisi disebut
term tengah.
Pola dan sistematika penalaran silogisme-deduktif adalah penetapan kebenaran universal kemudian
menjabarkannya pada hal yang lebih khusus.

5. METODE INTUITIF-KONTEMPLATIF MISTIS


Metode ini berkembang dengan ide Plotinos dengan ajaran Neo-Platonisme. Filsafat Plotinos adalah
kulminasi dan sintesa definitif aneka ragam filsafat Yunani. Filsafat Plotinos mengambil ide dasar
pemikiran Plato. Pemikiran Plato mengenai ide kebaikan sebagai ide yang tertinggi dalam dunia ide.
Tetapi, tidak berarti pemikiran Plotinos tidak murni.
Ide kebaikan dalam ajaran Plotinos disebut sebagai to hen (yang esa/the one). Yang Esa meruapakan
yang awal atau yang pertama, yang paling baik, yang paling tinggi dan yang kekal. Yang esa tidak
dapat dikenali oleh manusia karena hal itu tidak dapat dibandingkan atau disamakan dengan apa pun
juga. Yang Esa merupakan pusat daya dan pusat kekuatan. Seluruh realitas memancar keluar dari
pusat itu. Proses pancaran dari To Hen disebut Emanasi. Meskipun melalui proses emanasi, eksistensi
Yang Esa tidak berkurang atau berubah.
Pancaran pertama, menurut Plotinos, disebut nous. Nous disebut juga budi, roh, atau akal. Nous
berada paling dekat dengan To Hen. Nous adalah gambaran atau bayangan To Hen. Setelah nous
muncul apa yang disebut dengan psykhe atau jiwa. Psykhe terletak di perbatasan antara nous dan
materi. Psykhe adalah penghubung antara roh dan materi. Jadi dapat dikatakan pula bahwa psykhe
adalah penghubung dan penggabungan antara yang rohani dengan yang jasmani. Psykhe kemudian
disusul oleh Me On atau materi/zat sebagai aliran lingkaran ketiga. Me On hanya merupakan potensi
atau suatu kemungkinan bagi perwujudan suatu keberadaan dalam suatu bentuk. Psykhe bertemu
dengan materi menghasilkan tubuh, yang pada hakikatnya berlawanan dengan nous dan To Hen.
Perlawanan dalam tubuh ini menghasilkan penyimpangan. Ini berarti penyimpangan terhadap
kebenaran. Untuk kembali kepada kebenaran maka manusia harus kembali kepada To Hen dan
menyatu dengannya. Inilah yang menjadi tujuan manusia. Jika dalam proses emanasi, manusia
meninggalkan terang dan kebenaran mutlak masuk ke dalam kegelapan mutlak. Maka untuk mencapai
kebenaran dan terang mutlak, manusia harus menempuh jalan kontemplasi. Kontemplasi merupakan
jalan pembersihan untuk bersatu dengan kebenaran mutlak. Manusia harus berani berpikir sebaliknya,
yaitu tidak memikirkan hal inderawi. Hal inderawi menjadi penghalang dalam proses pemersatuan
manusia dengan To Hen. Kontemplasi adalah proses pembersihan jiwa manusia yang merupakan
kondisi bagi kesatuan mistis dengan To Hen.

Filsafat Plotinos tidak berhenti pada ajaran. Tapi ajaran Plotinos mengarah pada suatu cara hidup. Ini
berarti bahwa ajaran Plotinos tidak berhenti pada masalah benar tidaknya ajaran yang disampaikan
tapi lebih dari itu, ajaran Plotinos harus mengarah pada suatu sikap hidup yang tidak terikat pada hal
duniawi. Itulah sebabnya ajaran Plotinos sering disebut ajaran yang kontemplatif-mistis.

7. METODE SKOLASTIK: SINTETIS-DEDUKTIF


Filsafat Skolastik menemukan puncak kejayaannya waktu Thomas Aquinas menjadi filsuf pokoknya.
Filsafat skolastik dikembangkan dalam sekolah-sekolah biara dan keuskupan. Para filsuf skolastik tidak
memisahkan filsafat dari teologi kristiani. Jadi dapat dikatakan bahwa filsafat integral dalam ajaran
teologi.
Gaya filsafat abad pertengahan adalah sintesa ajaran filsafat sebelumnya. Sistem skolastik mengarah
pada jalan tengah ekstrem-ekstrem ajaran filsafat waktu itu. Sintesa filsafat skolastik terdiri dari ajaran
neoplatonis, ajaran Agustinus, Boetius, Ibn Sina, Ibn Rushd dan Maimonides. Selain ajaran-ajaran di
atas, aliran filsafat pokok yang dianut oleh filsuf skolastik, terutama Thomas Aquinas adalah filsafat
Aristotelian. Filsafat Aristoteles memberikan perspektif baru mengenai manusia dan kosmos. Thomas
Aquinas mendasarkan filsafatnya pada filsafat Aristotelian terutama dalam ajaran potentia dan actus.
Prinsip metode skolastik adalah sintesis-deduktif. Prinsip ini menekankan segi yang sebenarnya
terdapat pada semua filsafat dan ilmu. Prinsip deduktif adalah prinsip awal dari filsafat skolastik. Bertitik
tolak dari prinsip sederhana yang sangat umum diturunkan hubungan-hubungan yang lebih kompleks
dan khusus. Di dunia barat sudah lama dikenal prinsip logika Aristoteles. Prinsip logika ini
diintegrasikan dengan prinsip ajaran neoplatonis dan agustinian. Prinsip aristotelian mengenai nova
logica mendapatkan koreksi dan tambahan pada ajaran neoplatonis. Metode-metode itu
diinterpretasikan dengan cara dan gaya lebih baru yang dikembangkan oleh Thomas Aquinas.

Thomas Aquinas pertama-tama mengolah filsafat Aristoteles. Thomas Aquinas mencoba mengkritisi
ajaran aristotelian dengan prinsip ajaran tersebut. Thomas menambah problematika filsafat aristotelian.
Demikian juga, Thomas memperlakukan filsafat Plato yang diwakili oleh pemikiran Agustinus.

Pemikiran Thomas Aquinas selalu mengarah bahwa pemikiran filosofis ditetapkan oleh evidensi. Inilah
sebabnya pemikiran Thomas tidak selalu bersifat kompilatif dan eklektisisme tapi mengarah pada
otonomi pemikiran. Thomas dalam epistemologinya menyebutkan bahwa semua pengertian manusia
selalu melalui pencerapan. Ini berarti bahwa pada suatu saat pemikiran Thomas juga bersifat
mengandalkan kenyataan inderawi. Landasan pemikiran Thomas selalu mengandaikan pengamatan
inderawi yang bersifat pasti dan sederhana. Maka sering pula pemikiran Thomas bersifat reflektif-
analitis. Pengamatan dan analisa fakta-fakta adalah dasar kuat bagi sintesa Thomas Aquinas.

8. METODE SKEPTISISME
Metode Skeptisisme ini dikembangkan oleh Rene Descartes. Dalam bidang matematika, Rene
Descartes memadukan prinsip geometri dan aritmatika dengan menggunakan prinsip rumus aljabar
yang kemudian dikenal dengan koordinat kartesian.

Awal filsafat Descartes adalah kebingungan. Filsafat begitu beragam dan dianggap Descartes sebagai
ilmu yang simpang siur serta penuh dengan kontradiksi. Dalam kebingungannya, Descartes merasa
harus berbuat lebih untuk penyempurnaan filsafat. Ia mencoba menyusun ilmu induk yang mengatasi
seluruh ilmu pengetahuan dengan metode ilmiah yang bersifat umum dan cocok digunakan dalam
segala ilmu. Logika Aristoteles tidak bermanfaat karena lewat logika itu tidak tercapai pengetahuan
yang baru. Descartes mencoba untuk melepaskan diri dari ajaran-ajaran tradisional agar ia bisa
memperbaharui filsafat dan ilmu pengetahuan.
Descartes menulis dua buku monumental, yaitu Discourse on Method dan Meditations. Dalam dua
buku itu, Descartes membentangkan prinsip-prinsip filsafatnya. Penjelasan Descartes dimulai dengan
prinsip keraguan atau kesangsian kartesian. Sebuah pengetahuan baru adalah pengetahuan yang
kebenarannya tidak dapat diragukan. Pengetahuan sejati dimulai dari kepastian. Titik tolak
pengetahuan yang benar adalah titik pengetahuan yang tidak dapat diragukan atau disangsikan. Dasar
pengetahuan adalah kepastian. Kepastian itu adalah kondisi tak bersyarat dan tidak tergantung dari hal
yang dipelajari dan dialami karena segala sesuatu yang dipelajari dan dialami sewaktu-waktu dapat
berubah. Perubahan menandakan ketidakpastian. Kepastian hal yang benar-benar pasti dan ada dapat
dicapai dengan meragukan dan menyangsikan segala sesuatu. Bila sesuatu itu bisa bertahan atas
segala keraguan radikal maka sesuatu itu bisa disebut dengan kebenaran yang pasti. Inilah yang
disebut dengan kebenaran filsafat yang pertama dan terutama.

Setelah meragukan segala sesuatu, Descartes menemukan ada satu hal yang tak dapat diragukan
lagi,saya yang sedang menyangsikan semua hal, sedang berpikir, dan jika saya sedang berpikir itu
berarti tidak dapat diragukan lagi bahwa saya pasti ada. Maka muncullah istilah Je Pense, donc Je
Suis. Descartes berpendapat manusia harus menjadi titik berangkat pemikiran yang rasional. Untuk
mencapai kebenaran, rasio harus berperan semaksimal mungkin. Maka dapat dikatakan pemikiran
Descartes sangat bersifat rasional. Analisa konseptual diidentifikasikan lebih dahulu elemen-elemen
sederhana. Analisa identifikasi tersebut disintesakan dengan suatu pemahaman struktur realitas
dengan memahami hubungan yang perlu di dalam elemen-elemen tersebut yang harus berdiri satu
terhadap yang lainnya. Pemanfaatan metode ini menghasilkan desakan ketidakpastian hingga ke batas
yang paling akhir dengan membuat keterangan atau fakta yang menopang keyakinan-keyakinan yang
telah diterima selama itu menjadi sasaran kritik yang paling tidak kenal kompromi dan menangguhkan
setiap pendapat kendati tidak masuk akal tapi sedikit banyak mengandung suatu yang rasional
meragukan.

9. METODE KRITIS-TRANSENDENTAL
Metode kritis transendental dikembangkan oleh Immanuel Kant. Filsafat Kant adalah titik tolak periode
baru bagi filsafat barat. Ia mensintesakan dan mengatasi aliran rasionalisme dan empirisme. Di satu
pihak, ia mempertahankan objektivitas, universalitas dan kepercayaan akan pengertian, dan di lain
pihak ia menerima bahwa pengertian bertolak dari fenomena dan tidak dapat melebihi batas-batasnya.
Filsafat Kant menekankan pengertian dan penilaian manusia, bukan dalam aspek psikologis melainkan
sebagai analisa kritis. Objektivitas menyesuaikan diri dengan pengertian manusia.
Metode Kant menerima pengertian tertentu yang objektif. Analisa kritis Kant dapat dibedakan dari
analisa psikologis yang empirik, analisa logis yang memperlihatkan unsur-unsur isi pengertian satu
sama lain, analisa ontologis yang meneliti realitas menurut adanya dan analisa kriteriologis yang hanya
menyelidiki relasi formal antara kegiatan subjek sejauh ia mengartikan dan menilai hal tertentu, dan
objek sejauh itu merupakan fenomena yang ditanggapi.

Metode Kant berpangkal dari keraguan atas kemungkinan dan kompetensi metafisika. Kant meletakkan
pengertian dalam dua bagian besar, yaitu pengertian analitis yang selalu apriori, pengertian sintetis
yang bersifat korelatif dan inspiratif. Metode Kant juga berpangkal pada pertanyaan metodis mengenai
dasar objektivitas pengertian. Dasar rasional objektivitas pengertian memakai dasar analisa
transendental. I. Kant menganalisa manakah syarat-syarat minimal yang dengan mutlak harus dipenuhi
dalam subjek, supaya memungkinkan objektivitas itu. Analisa itu disebut deduksi metafisis.

10. METODE IDEALISME-DIALEKTIS


Metode dialektis dikembangkan oleh George Wilhelm Friedrich Hegel. Hegel melawan ajaran filsafat
Descartes dan Spinoza. Jalan pikiran Hegel untuk memahami kenyataan adalah mengikuti gerakan
pikiran dan konsep. Struktur dalam pikiran adalah sama dengan proses genetis dalam kenyataan.
Antara metode dan sistem atau teori tidak dapat dipisahkan. Dan keduanya adalah kenyataan.
Dinamika pemikiran Hegel ini disebut dialektis. Dialektika diungkapkan sebagai tiga langkah, yaitu
tesis, anti tesis dan sintesis. Seluruh karya Hegel memperlihatkan gerakan tiga langkah tersebut.
Langkah metodis Hegel dimulai dengan penegasan. Titik tolak Hegel mengambil salah satu pengertian
atau konsep yang dianggap jelas. Pengertian dan konsep yang jelas adalah pengertian empiris
inderawi. Pengertian tersebut bersifat spontan dan non-reflektif, abstrak, umum, statis dan konseptual.
Tapi dalam proses pemikiran, pengertian tersebut mulai kehilangan ketegasannya dan mulai bersifat
cair. Maka Hegel mulai pada langkah berikutnya yang biasa disebut pengingkaran.

Langkah pengingkaran adalah usaha mengingkari langkah pertama. Langkah perlawanan itu mencari
bentuk alternatif yang bisa ditambahkan dalam pengertian yang dicapai dalam langkah pertama. Maka
terjadi proses dialektika pikiran. Konsep atau pengertian yang muncul dalam langkah kedua itu
diperlakukan menurut cara yang sama seperti langkah pertama. Setelah menemukan perlawanan
konseptual yang berhubungan dengan pengertian pertama maka pengertian dan konsep itu bergerak
dinamis.
Dinamika dalam langkah kedua tidak membawa pikiran kembali pada titik pertama. Langkah pertama
telah memuat langkah kedua secara implisit (dalam perlawanannya). Jadi dua pengertian konseptual
mulai dipikirkan bersama-sama, dan dengan demikian dua konsep itu saling mengisi, memperkaya,
memperbaharui. Kedua konsep itu menjadi satu konsep yang lebih padat. Itulah yang disebut langkah
sintesis.
Menurut Hegel, perlawanan adalah motor dialektika. Perlawanan adalah jalan atau tahap mutlak yang
harus dialami dulu untuk mencapai kebenaran.

11. METODE EKSISTENSIAL


Eksistensialisme adalah aliran filsafat yang menolak pemutlakan akal budi dan pemikiran konsep
abstrak murni. Metode eksistensial berupaya untuk memahami manusia yang berada dalam dunia,
yaitu manusia yang berada pada situasi yang khusus dan unik.
Metode eksistensial pertama diungkapkan oleh Kierkegaard. Pemikiran Kierkegaard merupakan reaksi
yang terutama tertuju dan bereaksi pada rasionalisme idealis Hegel yang dianggapnya tidak berguna.
Dalam filsafat, menurut pemikir eksistensialisme, yang paling penting adalah kebenaran subjektif. Tapi
tentu saja tidak berarti setiap keyakinan subjektif adalah kebenaran. Kebenaran selalu bersifat personal
dan tidak sekedar proposisional.
Menurut pemikiran eksistensial, kebenaran dicapai dengan partisipasi manusia dalam setiap realitas
yang mau diselidiki. Kebenaran hanya dapat ditemukan dalam realitas yang konkret. Secara umum,
metode eksistensial adalah kebalikan pemikiran filsafat tradisional. Pemikiran eksistensial selalu
menempatkan subjektivitas di atas objektivitas dan nilai lebih perlu daripada fakta.

12. METODE FENOMENOLOGIS


Peletak dasar metode fenomenologis adalah Edmund Husserl. Salah satu pemikir fenomenologis
terkenal adalah Martin Heidegger. Fenomenologi berinspirasi pada pembedaan yang dilakukan oleh
Immanuel Kant antara noumenal dan phenomenal serta pengembangan kritis teori idealisme Hegel.

Husserl mau menentukan metode filosofis ilmiah yang lepas dari prasangka metafisis. Metode itu harus
menjamin filsafat sebagai suatu sistem pengetahuan yang terjalin oleh alasan-alasan sedemikian rupa
sehingga setiap langkah berdasarkan langkah sebelumnya secara niscaya.
Pengembangan metode fenomenologis mengarah pada pemusatan perhatian kepada fenomena tanpa
praduga. Ungkapan terkenal proses tersebut adalah zu den sachen selbst (terarah kepada benda itu
sendiri). Dalam keterarahan ke benda itu, sesungguhnya realitas itu dibiarkan untuk mengungkapkan
hakikat dirinya sendiri.
Hakikat fenomena yang sesungguhnya berada di balik yang menampakkan diri. Pengamatan pertama
belum tentu sanggup membuat fenomena itu mengungkapkan hakikat dirinya. Karena itu, diperlukan
pengamatan kedua yang disebut sebagai pengamatan intuitif. Pengamatan intuitif ini melalui tiga tahap
reduksi, yaitu reduksi fenomenologis, eidetis dan transendental.

13. METODE ANALITIKA-BAHASA


Filsafat analitik adalah aliran filsafat yang berasal dari kelompok filsuf yang menyebut diri mereka
sebagaiLingkaran Wina. Filsafat analitik menolak metafisika karena mereka berpendapat bahwa
metafisika tidak dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Salah satu tokoh filsuf analitik adalah
Ludwig Wittgenstein.

Metode yang digunakan para filsuf analitik berbeda satu dengan yang lain. Tapi yang jelas ada dua
aliran besar dalam metode analitika yang berkembang sampai sekarang. Kedua metode itu adalah
metode verifikasi dan klarifikasi.

Metode verifikasi dikembangkan oleh gerakan positivisme logis. Salah satu tokoh verifikasi adalah A. Y.
Ayer (1910-1970). Ayer mencoba untuk mengeliminasi metafisika berdasarkan prinsip verifikasi. Prinsip
verifikasi Ayer menyatakan bahwa pernyataan benar-benar penuh apabila pernyataan itu dapat
diverifikasikan secara sintetik oleh satu atau lebih dari panca indera manusia. Ayer membagi verifikasi
dalam dua dasar, yaitu verifikasi kuat dan verifikasi lemah.

Metode klarifikasi bersumber pada prinsip-prinsip analisa yang dikembangkan oleh Ludwig
Wittgenstein. Wittgenstein yakin bahwa kekacauan dalam filsafat bisa diatasi dengan analisis bahasa.
Wittgenstein berpendapat bahwa kalau ada pertanyaan yang diajukan maka harus ada jawaban yang
tersedia. Tapi tidak semua pertanyaan mempunyai makna. Agar tidak terjebak dalam persoalan filosofis
yang tak bermakna maka harus ada peraturan-peraturan yang mendasar dalam bahasa yang
terungkap dalam "permainan bahasa". Wittgenstein menyatakan bahwa manusia harus mendengar apa
arti yang terkandung dalam suatu ungkapan bahasa. Maka manusia harus menganalisis bentuk hidup
hingga dasar terdalam setiap permainan bahasa. Makna ditentukan oleh kata yang digunakan dalam
konteksnya. Lewat analisa bahasa, seseorang dapat membuat jelas arti bahasa sebagaimana yang
dimaksudkan oleh yang menggunakan bahasa itu. Metode klarifikasi tidak memuat pengandaian
filosofis, epistemologis atau metafisis. Analisis bahasa didasarkan semata-mata pada penelitian
bahasa secara logis tanpa mendeduksikan sesuatu sehingga pada prinsipnya hanya membuat jelas
apa yang dikatakan lewat suatu ungkapan bahasa. "...bahwa sesuatu metode dipilih
mempertimbangkan kesesuaiannya dengan objek studi; kecenderungan untuk menempuh jalan
sebaliknya sesungguhnya keliru. Catatan ini ditambahkan di sini khususnya karena adanya
kecenderungan yang kuat untuk mengagungkan kuantifikasi terhadap berbagai gejala yang
sesungguhnya sukar diukur. Lih. Fuad Hasan dan Koentjaraningrat, "Beberapa Asas Metodologi
Ilmiah", Metode-Metode Penelitian Masyarakat, redaktur, Koentjaraningrat (Jakarta: PT Gramedia,
1981), hal. 16-17.

Lih. Edwards (Ed.), The Encyclopedia of Philosophy, hal. 216-218


Zeno membagikan 4 cerita untuk bisa membatalkan argumentasi eksistensi gerak: pelari di stadion - di
mana pelari itu sebetulnya tidak akan mungkin mencapai finis karena ketakterbatasan jarak yang ada,
Akhiles yang berlomba dengan kura-kura - Akhiles mustahil mengalahkan kura-kura yang lamban tapi
ia sudah berlari mendahului Akhiles. Kura-kura selalu bisa mencapai satu langkah di depan Akhiles
dalam jarak yang tidak mungkin dikejar oleh Akhiles. Cerita tentang Anak Panah di mana anak panah
itu sesungguhnya tidak bergerak tapi hanya diam. Kalaupun anak panah itu bergerak itu sebetulnya
hanya gerak semunya saja. Cerita tiga deretan yang berjalan mau mengatakan bahwa deretan yang
bergerak selalu bisa menutup ruang kosong sampai keadaan tak terbatas. Lih. Bertens, Kees, Sejarah
Filsafat Yunani, Yogyakarta:Kanisius, hal.62-64.
Hanya saja kita sering tidak bisa membedakan secara jelas mana yang benar-benar karya Sokrates
dengan karya dan pemikiran Plato. Plato begitu mengagumi Sokrates. Secara lengkap pembicaraan
tentang karya Plato dan Sokrates bisa dilihat dalam buku Sejarah Filsafat Yunani, tulisan Kees
Bertens,Yogyakarta:Kanisius, tahun 1999, hal. 94-128
Dialog Plato terbagi dalam tiga periode: periode dialog awal, dialog pertengahan dan periode terakhir.
Dari sekian periode yang ada, periode tengah adalah periode yang produktif. Hal ini disebabkan karena
dialog pertengahan menghasilkan enam tema pokok, yaitu: teori ide, sifat cinta, metode dialektika,
bentuk dan ide kebaikan, sifat jiwa dan masyarakat ideal. Periode tengah Plato disebut periode
spekulasi Plato.
Metode penarikan kesimpulan menurut Aristoteles ini dijabarkan secara panjang lebar dalam ajaran
Aristoteles tentang Logika.
Misalnya, partisipasi dalam pemikiran Plato yang dikembangkan oleh Agustinus dimasukkan dalam
pola kausalitas, ide platonis dimasukkan dalam kerangka Tuhan.
Perubahan itu terjadi karena memang ada perubahan alami, ada keteraturan dalam kosmos, hidup itu
berarti membangunkan diri, benda di sekitar manusia bersifat terbatas.
Kant akan membedakan batas minimal fenomena dalam bidang inderawi yang bersifat reseptif, bidang
akal yang berisi bentuk formal fenomena dan bersifat universal, bidang aku transendental yang
menyatukan subjek dan objek. Kesatuan subjek dan objek berujud penyatuan bentuk-bentuk dan
postulata apriori.
Kant juga menyebutnya dengan istilah deduksi transendental. Metode ini digunakan setelah
mendapatkan syarat minimal objektivitas. Metode ini juga memuat hukum yang berlaku secara de facto
dan de jure dalam fenomena yang diselidiki sehingga terjadilah pengertian dan penilaian yang sama.
Sebetulnya istilah tesis-anti tesis-sintesis berasal dari Fichte, Hegel sendiri tidak pernah
mempergunakan istilah tersebut. Lih., Encyclopedia of Philosophy, hal. 2-387
Reduksi fenomenologis adalah reduksi yang menyaring pengalaman pengamatan pertama yang
terarah kepada eksistensi fenomena. Reduksi eidetis adalah reduksi yang berupaya untuk
menemukan eidos atau hakikat yang tersembunyi. Oleh sebab itu, reduksi eidetis lebih ketat dibanding
reduksi fenomenologis. Reduksi transendental adalah proses penyaringan semua hubungan antara
fenomena yang diamati dan fenomena yang lainnya.
Prinsip verifikasi Ayer nampak menyolok dalam bukunya yang berjudul Language, Truth dan Logic yang
diterbitkan pada tahun 1946. Buku ini merupakan usaha sintesa Ayer atas pendirian positivisme logis
lingkaran Wina dengan analisis linguistik Inggris.

Problema Filsafat ; Ontologi

Ontologi. Objek yang menjadi kajian dalam ontologi tersebut adalah realitas yang ada. Dan dalam
ontologi adalah studi tentang yang ada yang universal, dengan mencari pemikiran semesta universal.
Ontologi berusaha mencari inti yang termuat dalam setiap keyataan atau menjelaskan yang ada dalam
setiap bentuknya.dalam ontologi merupakan studi yang terdalam dari setiap hakekat kenyataan, seperti
dapatkah manusia sunguh-sungguh memilih, apakah ada Tuhan, apakah nyata dalam hakekat material
ataukah spiritual, apakah jiwa sungguh dapat dibedakan dengan badan atau secara singkat dikatakan
bahwa ontology filsafat membicarakan hakikat, obyek, dan struktur filsafat.
Studi tentang yang ada, pada dataran studi filsafat pada umumnya dilakukan oleh filsafat metaphisika.
Istilah ontologi banyak digunakan ketika kita membahas yang ada dlaam konteks filsafat ilmu. Ontologi
membahas tentang yang ada, yang tidak terikat oleh satu perwujudan tertentu. Ontologi membahas
tentang yang ada yang universal, menampilkan pemikiran semesta universal. Ontologi berupaya
mencari inti yang termuat dalam setiap kenyataan, atau dalam rumusan Lorens Bagus; menjelaskan
yang ada yang meliputi semua realitas dalam semua bentuknya.

1. Objek Formal dan Pendekatan


Objek formal ontologi adalah hakikat seluruh realitas. Bagi pendekatan kuantitatif, realitas tampil
dalam kuantitas atau jumlah, tealaahnya akan menjadi telaah (a) monisme ; yang menyatakan bahwa
asal muasal alam semesta ini terdiri atas satu unsure. (b) Dualisme ; yang menyatakan bahwa asal
alam semesta terdiri dari dua unsure yaitu materi dan non materi/ ruh. (c) Pluralisme ; menyatakan
bahwa alam semesta berasal dari empat unsure, yaitu air, api, angin dan tanah.

Bagi pendekatan kualitatif realitas akan tampil menjadi aliran-aliran materialisme, idealisme,
naturalisme, atau hylomorphisme. Yang didukung oleh empat teori dasar, yaitu (a) Mekanisme, yang
mengatakan bahwa segala sesuatu berproses secara mekanik, (b) Teleologi, yang menyatakan bahwa
seluruh kejadian alam raya berproses menuju suatu tujuan, yaitu Tuhan, (c) Determinisme, yang
enyatakan bahwa segala kejadian yang terjadi di ala mini berproses melalui suatu ketentuan yang telah
ditetapkan sebelumnya, baik leh hukum alam maupun oleh Tuhan. (d) Indeterminisme, yang
menyatakan bahwa segala kejadian yang terjadi di ala mini berlangsung secara bebas, tanpa kendali
tertentu dari Tuhan atau kekuatan lainnya.

2. Metode dalam Ontologi


Lorens Bagus memperkenalkan tiga tingkatan abstraksi dalam ontologi, yaitu : abstraksi fisik, abstraksi
bentuk, dan abstraksi metaphisik. Abstraksi fisik menampilkan keseluruhan sifat khas sesuatu objek;
sedangkan abstraksi bentuk mendeskripsikan sifat umum yang menjadi cirri semua sesuatu yang
sejenis. Abstraksi metaphisik mengetangahkan prinsip umum yang menjadi dasar dari semua realitas.
Abstraksi yang dijangkau oleh ontologi adalah abstraksi metaphisik.

Sedangkan metode pembuktian dalam ontologi oleh Laurens Bagus di bedakan menjadi dua, yaitu :
pembuktian a priori dan pembuktian a posteriori. Pembuktian a priori disusun dengan meletakkan term
tengah berada lebih dahulu dari predikat; dan pada kesimpulan term tengah menjadi sebab dari
kebenaran kesimpulan.
Contoh : Sesuatu yang bersifat lahirah itu fana (Tt-P)
Badan itu sesuatu yang lahiri (S-Tt)
Jadi, badan itu fana (S-P)

Sedangkan pembuktian a posteriori secara ontologi, term tengah ada sesudah realitas kesimpulan; dan
term tengah menunjukkan akibat realitas yang dinyatakan dalam kesimpulan hanya saja cara
pembuktian a posterioris disusun dengan tata silogistik sebagai berikut:
Contoh : Gigi geligi itu gigi geligi rahang dinasaurus (Tt-S)
Gigi geligi itu gigi geligi pemakan tumbuhan (Tt-P)
Jadi, Dinausaurus itu pemakan tumbuhan (S-P)

Keterangan :
Tt : Term tengah
P : Predikat
S : Subjek

Bandingkan tata silogistik pembuktian a priori dengan a posteriori. Yang apriori di berangkatkan dari
term tengah di hubungkan dengan predikat dan term tengahj menjadi sebab dari kebenaran
kesimpulan; sedangkan yang a posteriori di berangkatkan dari term tengah di hubungkan dengan
subjek, term tengah menjadi akibat dari realitas dalam kesimpulan.

Secara umum a priori dikenal sebagai cara berfikir dan cara pembuktan deduktif, sedang empiric
sebagai konsekuensi. Sedangkan a posteriori dikenal sebagai cara berfikir dan cara membuat
kesimpulan yang mendasarkan pada empiric, tapi dari tata silogistik pembuktian a posteriori tidak
identik dengan pembuktian induktif.

Epistemologi

KONSEP DASAR
Cabang ilmu filsafat yang secara khusus menggeluti pertanyaan-pertanyaan yang bersifat menyeluruh
dan mendasar tentang pengetahuan disebut Epistemologi. Istilah epistemologis sendiri berasal dari
kata Yunani episteme=pengetahuan dan logis=perkataan, pikiran, ilmu. Kataepisteme dalam bahasa
Yunani berasal dari kata kerja epistamai, artinya mendudukan, menempatkan, atau meletakkan. Maka,
harfiah episteme bearti pengetahuan sebaya upaya intelektual untuk menempatkan sesuatu dalam
kedudukan seteptnya. Selain kata episteme, untuk kata pengetahuan dalam bahasa Yunani juga
dipakai kata gnosis, maka istilah epistemologi dalam sejarah pernah juga dipakai katagnosis, maka
istilah epistemology dalam sejarah pernah juga disebut gnoseologi. Sebagai kajian kritis filosofis
yang membuat telaah kritis dan analitis tentang dasar-dasar teoritis pengetahuan, epistemology
kadang juga disebut teori pengetahuan [theory of knowledge; erkentnistheorie]

Epistemologi adalah pengetahuan sistematik mengenai pengetahuan. Ia merupakan cabang filsafat


yang membahas tentang terjadinya pengetahuan, sumber pengetahuan, asal mula pengetahuan,
sarana, metode atau cara memperoleh pengetahuan, validitas dan kebenaran pengetahuan (ilmiah).
Perbedaan landasan ontologik menyebabkan perbedaan dalam menentukan metode yang dipilih dalam
upaya memperoleh pengetahuan yang benar. Akal, pengalaman, atau kombinasi akal dan pengalaman,
intuisi, merupakan sarana mencari pengetahuan yang dimaksud dalam epistemologik, sehingga
dikenal model-model epistemologik seperti rasionalisme, empirisme, positivisme dan sebagainya.

Epistemologi juga membahas bagaimana menilai kelebihan dan kelemahan suatu model epistemologik
beserta tolok ukurnya bagi pengetahuan (ilmiah), seperti teori koherensi, korespondesi pragmatis, dan
teori intersubjektif. Pengetahuan merupakan daerah persinggungan antara benar dan dipercaya.
Pengetahuan bisa diperoleh dari akal sehat yaitu melalui pengalaman secara tidak sengaja yang
bersifat sporadis dan kebetulan sehingga cenderung bersifat kebiasaan dan pengulangan, cenderung
bersifat kabur dan samar dan karenanya merupakan pengetahuan yang tidak teruji. Ilmu pengetahuan
(sains) diperoleh berdasarkan analisis dengan langkah-langkah yang sistematis (metode ilmiah)
menggunakan nalar yang logis. Sarana berpikir ilmiah adalah bahasa, matematika dan statistika.
Metode ilmiah mengga-bungkan cara berpikir deduktif dan induktif sehingga menjadi jembatan penghu-
bung antara penjelasan teoritis dengan pembuktian yang dilakukan secara empiris. Secara rasional,
ilmu menyusun pengetahuannya secara konsisten dan kumulatif, sedangkan secara empiris ilmu
memisahkan pengetahuan yang sesuai dengan fakta dari yang tidak.

MAKSUD KAJIAN
Epistemologi bermaksud mengkaji dan mencoba menemukan ciri-ciri umum dan hakiki dari
pengetahuan manusia. Bagaimana pengetahuan itu pada dasarnya diperoleh dan diuji kebenarnnya?
Manakah ruang lingkup atau batas-batas kemampuan manusia untuk mengetahui ?
Epistemologi juga bermaksud mengkaji pengandaian-pengandaian dan syarat-syarat logis yang
mendasari dimungkinkannya pengetahuan itu. Epistemologi juga mencoba memberi
pertanggungjawaban rasional terhadap klaim kebenaran dan obyektivitasnya.
Dari maksud itu, maka Epistemologi dapat dinyatakan suatu disiplin ilmu yang bersifat evaluatif,
normative, dan kritis. Evaluatif berarti bersifat menilai. Epsitemologi menilai apakah keyakinan, sikap,
pernyataan pendapat, teori pengatahuan dapat dibenarkan, diajamin kebenarannya, atau memiliki
dasar yang dapat dipertanggungjawabkan secara nalar.

DASAR PIJAK MEMPELAJARI EPISTEMOLOGI


Sekurang-kurangnya ada tiga alasan yang dapat dikemukakan mengapa epistemology perlu dipelajari.
1. Berangkat dari pertimbangan strategis
Pengetahuan adalah kekuasaan [Knoledge is power. Pengetahuan mempunyai daya kekuatan untuk
mengubah keadaan. Apabila pengetahuan adalah suatu kekuatan yang telah dan akan terus
membentuk kebudayaan, menggerakan dan mengubah dunia, sudah semestinyalah apabila kita
berusaha memahami apa itu pengethauan, apa sifat dan hakikatnya , apa daya dan ketebatasnnya,
apa kemungkinan permasalahannya.

2. Pertimbangan kebudayaan
Mempelajari epistemology diperlukan pertama-tama untuk mengungkap pandangan epistemologis
yang sesungguhnya ada dan terkandung dalam setiap kebudayaan. Setiap kebudayaan, entah secara
implicit ataupun ekplisit, entah hanya lisan atau tulisan , entah secara sistematis ataupun tidak, selalu
memuat pandangan tentang pengetahuan.

3. Pertimbangan pendidikan.
Berdasarkan pertimbangan pendidikan epistemology perlu dipelajarai karena manfaatnya untuk bidang
pendidikan. Pendidikan sebagai usaha sadar untuk membantu peserta didik mengembangkan
pandangan hidup, sikap hidup dan ketrampilan hidup, tidak dapat lepas dari penguasaan pengetahuan.
Proses Belajar Mengajar dalam konteks pendidikan selalau memuat unsure penyampaian
pengetahuan, ketrampilan, dan nilai-nilai.

TITIK DASAR EPISTEMOLOGI


1. Subjek Pengenal (manusia)
Melalui kemampuan yang dimiiliki, manusia menjadi actor utama pengembangan ilu pengetahuan.
Kemampuan dimaksud adalah kemampuan sensibilitas yang berusaha menemukan kebenaran secara
indrawi, dan kemampuan intelegensi yang berusaha menemukan kebenaran intelegensi yang didukung
dengan penggunaan metode ilmiah

2. Objek yang dikenal (realitas)


Merupakan sasaran utama yang akan dikaji dan dikembangkan oleh subjek pengenal dalam kerangka
menghasilkan kebenaran (pengetahuan ilmiah dan alamiah). Terkait dengan realitas yang menjadi
sasaran pengetahuan ini, maka ada dua jenis objek, yaitu,
Pertama, jenis sasaran pengetahuan yang dilihat dari arah Obyek [yang diamati]:
(a) Objek material, ialah sesuatu yang diamati secara menyeluruh [integral].
(b) Objek forma, ialah bagian tertentu yang diamati dari sesuatu [parsial].

Kedua, Jenis sasaran pengetahuan, dilihat dari subyek (yang mengamati) :


(a) Objek empiris [obyek rasa], yaitu sasaran yang pada dasrnya ada dan dapat ditangkap oleh indera
lahir [pancaindra]
(b) Objek ideal [objek bukan rasa], yaitu sasaran yang pada dasarnya tiada dan menjadi ada berkat
kegiatan sukma atau akal
(c) Objek transenden [objek luar rasa], yaitu sasaran yang pada dasarnya ada, tetapi berada di luar
jangkauan pikiran dan perasaan manusia

SUMBER PENGETAHUAN
1. Indera
Indera digunakan untuk berhubungan dengan dunia fisik atau lingkungan di sekitar kita. Indera ada
bermacam-macam; yang paling pokok ada lima (panca indera), yakni indera penglihatan (mata) yang
memungkinkan kita mengetahui warna, bentuk, dan ukuran suatu benda; indera pendengaran (telinga)
yang membuat kita membedakan macam-macam suara; indera penciuman (hidung) untuk
membedakan bermacam bau-bauan; indera perasa (lidah) yang membuat kita bisa membedakan
makanan enak dan tidak enak; dan indera peraba (kulit) yang memungkinkan kita mengetahui suhu
lingkungan dan kontur suatu benda.

Pengetahuan lewat indera disebut juga pengalaman, sifatnya empiris dan terukur. Kecenderungan
yang berlebih kepada alat indera sebagai sumber pengetahuan yang utama, atau bahkan satu-satunya
sumber pengetahuan, menghasilkan aliran yang disebut empirisisme, dengan pelopornya John Locke
(1632-1714) dan David Hume dari Inggris. Mengenai kesahihan pengetahuan jenis ini, seorang
empirisis sejati akan mengatakan indera adalah satu-satunya sumber pengetahuan yang dapat
dipercaya, dan pengetahuan inderawi adalah satu-satunya pengetahuan yang benar.

Tetapi mengandalkan pengetahuan semata-mata kepada indera jelas tidak mencukupi. Dalam banyak
kasus, penangkapan indera seringkali tidak sesuai dengan yang sebenarnya. Misalnya pensil yang
dimasukkan ke dalam air terlihat bengkok, padahal sebelumnya lurus. Benda yang jauh terlihat lebih
kecil, padahal ukuran sebenarnya lebih besar. Bunyi yang terlalu lemah atau terlalu keras tidak bisa
kita dengar. Belum lagi kalau alat indera kita bermasalah, sedang sakit atau sudah rusak, maka kian
sulitlah kita mengandalkan indera untuk mendapatkan pengetahuan yang benar.

Akal
Akal atau rasio merupakan fungsi dari organ yang secara fisik bertempat di dalam kepala, yakni otak.
Akal mampu menambal kekurangan yang ada pada indera. Akallah yang bisa memastikan bahwa
pensil dalam air itu tetap lurus, dan bentuk bulan tetap bulat walaupun tampaknya sabit. Keunggulan
akal yang paling utama adalah kemampuannya menangkap esensi atau hakikat dari sesuatu, tanpa
terikat pada fakta-fakta khusus. Akal bisa mengetahui hakekat umum dari kucing, tanpa harus
mengaitkannya dengan kucing tertentu yang ada di rumah tetangganya, kucing hitam, kucing garong,
atau kucing-kucingan.

Akal mengetahui sesuatu tidak secara langsung, melainkan lewat kategori-kategori atau ide yang
inheren dalam akal dan diyakini bersifat bawaan. Ketika kita memikirkan sesuatu, penangkapan akal
atas sesuatu itu selalu sudah dibingkai oleh kategori. Kategori-kategori itu antara lain substansi,
kuantitas, kualitas, relasi, waktu, tempat, dan keadaan.

Pengetahuan yang diperoleh dengan akal bersifat rasional, logis, atau masuk akal. Pengutamaan akal
di atas sumber-sumber pengetahuan lainnya, atau keyakinan bahwa akal adalah satu-satunya sumber
pengetahuan yang benar, disebut aliran rasionalisme, dengan pelopornya Rene Descartes (1596-1650)
dari Prancis. Seorang rasionalis umumnya mencela pengetahuan yang diperoleh lewat indera sebagai
semu, palsu, dan menipu.

Hati atau Intuisi


Organ fisik yang berkaitan dengan fungsi hati atau intuisi tidak diketahui dengan pasti; ada yang
menyebut jantung, ada juga yang menyebut otak bagian kanan. Pada praktiknya, intuisi muncul berupa
pengetahuan yang tiba-tiba saja hadir dalam kesadaran, tanpa melalui proses penalaran yang jelas,
non-analitis, dan tidak selalu logis. Intuisi bisa muncul kapan saja tanpa kita rencanakan, baik saat
santai maupun tegang, ketika diam maupun bergerak. Kadang ia datang saat kita tengah jalan-jalan di
trotoar, saat kita sedang mandi, bangun tidur, saat main catur, atau saat kita menikmati pemandangan
alam.

Intuisi disebut juga ilham atau inspirasi. Meskipun pengetahuan intuisi hadir begitu saja secara tiba-
tiba, namun tampaknya ia tidak jatuh ke sembarang orang, melainkan hanya kepada orang yang
sebelumnya sudah berpikir keras mengenai suatu masalah. Ketika seseorang sudah memaksimalkan
daya pikirnya dan mengalami kemacetan, lalu ia mengistirahatkan pikirannya dengan tidur atau
bersantai, pada saat itulah intuisi berkemungkinan muncul. Oleh karena itu intuisi sering disebut supra-
rasional atau suatu kemampuan yang berada di atas rasio, dan hanya berfungsi jika rasio sudah
digunakan secara maksimal namun menemui jalan buntu.

Hati bekerja pada wilayah yang tidak bisa dijangkau oleh akal, yakni pengalaman emosional dan
spiritual. Kelemahan akal ialah terpagari oleh kategori-kategori sehingga hal ini, menurut Immanuel
Kant (1724-1804), membuat akal tidak pernah bisa sampai pada pengetahuan langsung tentang
sesuatu sebagaimana adanya (das ding an sich) atau noumena. Akal hanya bisa menangkap yang
tampak dari benda itu (fenoumena), sementara hati bisa mengalami sesuatu secara langsung tanpa
terhalang oleh apapun, tanpa ada jarak antara subjek dan objek.

Kecenderungan akal untuk selalu melakukan generalisasi (meng-umumkan) dan spatialisasi (meruang-
ruangkan) membuatnya tidak akan mengerti keunikan-keunikan dari kejadian sehari-hari. Hati dapat
memahami pengalaman-pengalaman khusus, misalnya pengalaman eksistensial, yakni pengalaman riil
manusia seperti yang dirasakan langsung, bukan lewat konsepsi akal. Akal tidak bisa mengetahui rasa
cinta, hatilah yang merasakannya. Bagi akal, satu jam di rutan salemba dan satu jam di pantai carita
adalah sama, tapi bagi orang yang mengalaminya bisa sangat berbeda. Hati juga bisa merasakan
pengalaman religius, berhubungan dengan Tuhan atau makhluk-makhluk gaib lainnya, dan juga
pengalaman menyatu dengan alam.

Pengutamaan hati sebagai sumber pengetahuan yang paling bisa dipercaya dibanding sumber lainnya
disebut intuisionisme. Mayoritas filosof Muslim memercayai kelebihan hati atas akal. Puncaknya adalah
Suhrawardi al-Maqtul (1153-1192) yang mengembangkan mazhab isyraqi (iluminasionisme), dan
diteruskan oleh Mulla Shadra (w.1631). Di Barat, intuisionisme dikembangkan oleh Henry Bergson.
Selain itu, ada sumber pengetahuan lain yang disebut wahyu. Wahyu adalah pemberitahuan langsung
dari Tuhan kepada manusia dan mewujudkan dirinya dalam kitab suci agama. Namun sebagian pemikir
Muslim ada yang menyamakan wahyu dengan intuisi, dalam pengertian wahyu sebagai jenis intuisi
pada tingkat yang paling tinggi, dan hanya nabi yang bisa memerolehnya.

Dalam tradisi filsafat Barat, pertentangan keras terjadi antara aliran empirisisme dan rasionalisme.
Hingga awal abad ke-20, empirisisme masih memegang kendali dengan kuatnya kecenderungan
positivisme di kalangan ilmuwan Barat. Sedangkan dalam tradisi filsafat Islam, pertentangan kuat
terjadi antara aliran rasionalisme dan intuisionisme (iluminasionisme, irfani), dengan kemenangan
pada aliran yang kedua. Dalam kisah perjalanan Nabi Khidir a.s. dan Musa a.s., penerimaan Musa atas
tindakan-tindakan Khidir yang mulanya ia pertanyakan dianggap sebagai kemenangan intuisionisme.
Penilaian positif umumnya para filosof Muslim atas intuisi ini kemungkinan besar dimaksudkan untuk
memberikan status ontologis yang kuat pada wahyu, sebagai sumber pengetahuan yang lebih sahih
daripada rasio.

Aksiologi

KONSEP DASAR AKSIOLOGI


Istilah Aksiologi berasal dari bahasa Yunani, terdiri atas kata axia yang artinya nilai dan logia yang
artinya ilmu. Jika diartikan, aksiologi merupakan studi tentang nilai atau filsafat nilai. Karena di
dalamnya membongkar sesuatu tentang nilai. Meski pun filsafat nilai sudah dibicarakan sejak zaman
Yunani Kuno, istilah aksiologi itu sendiri merupakan istilah baru yang diperkenalkan oleh Paul Lapie
and E. Von Hartmann pada abad ke-20. Jujun S Suriasmantri memaknai aksiologi sebagai teori nilai
yang berkaitan dengan kegunaan dari pengatahuan yang diperoleh. Menurut Bramel,aksiologi terbagi
dalam tiga bagian. (1) ,moral conduct,yaitu tindakan moral,bidang ini melahirkan disiplin khusus,yakni
etika. (2) ,esthetic expression,yaitu ekspresi keindahan. Bidang ini melahirkan keindahan.
(3) ,sosiopolotical life,yaitu kehidupan social politik,yang akan melahirkan filsafat social politik

Aksiologi secara mendalam membedakan antara ada (being [keberadaan]) dengan nilai (value). Hal ini
dibedakan karena nilai tidak akan ada tanpa ada yang mengemban. Kalau
dirumuskan Ada = Sesuatu +Nilai. Oleh karena itu sifat Nilai selalu tergantung pada pengembannya
yaitu Sesuatu. Hal ini berarti nilaibersifat parasitis. Sementara itu Cabang filsafat yang termasuk
dalam axiologi adalah etika dan estetika.
1. Etika
Etika adalah cabang filsafat yang mengkaji nilai apa yang berkaitan dengan kebaikan dan apakah itu
perilaku baik. Cabang ini meliputi apa dan bagaimana hidup yang baik, menjadi orang yang baik,
berbuat baik, dan menginginkan hal-hal yang baik dalam hidup.Kata etika menunjuk dua hal. Pertama:
disiplin ilmu yang mempelajari nilai-nilai dan pembenarannya. Kedua: pokok permasalahan disiplin ilmu
itu sendiri yaitu nilai-nilai hidup manusia yang sesungguhnya dan hukum-hukum tingkah laku manusia
(Solomon, 1987). Dalam etika kita juga mempelajari moralitas dan alasan-alasan yang lebih abstrak
mengapa manusia berbuat dan tidak berbuat sesuatu.. Etika bukanlah sekedar kumpulan perintah dan
larangan (harus dan jangan) tetapi merupakan satu sistem nilai-nilai dan prinsip-prinsip yang terpadu
secara teratur untuk mencapai masyarakat yang berbudaya dan hidup bahagia.

2. Estetika
Estetika mengkaji pengalaman dan penghayatan manusia dalam menanggapi apakah sesuatu itu
indah atau tidak. Jadi estetika membahas soal-soal keindahan yang dipersepsi oleh manusia.

HAKIKAT NILAI (LETAK NILAI DAN PENGEMBAN NILAI)


Lalu apa hakikat nilai? Pertanyaan ini belum bisa dijawab sebelum istilah hakikat itu sendiri belum
dipahami. Tidak akan dijelaskan secara panjang lebar tentang apa itu hakikat, tetapi secara singkat.
Hakikat adalah unsur yang harus/wajib ada untuk adanya Sesuatu. Sulit dipahami jika tidak diberi
contoh. Misalnya, apa yang membuat kita tahu bahwa benda itu adalah buku tulis? Yang paling utama
adalah adanya kertas, yang kedua yaitu kertas yang terjilid dengan rapi. Nah kertas itu yang
merupakan unsur utama dari sebuah buku.
Jika diaplikasikan terhadap nilai. Apa itu hakikat nilai? Berarti unsur yang harus ada sebagai syarat
adanya nilai. Dari sini dapat diketahui bahwa ada unsur yang membuat nilai itu ada. Contoh, gitar itu
jelek! Apakah kita tau nilai dari gitar itu? Sudah pasti, karena sudah disebutkan, yaitu jelek. Di situlah
letak nilai.Nilai di sini memiliki arti netral, nilai tidak memihak, tapi mengidentifikasikan ini loh nilainya.
Gitar itu bagus, jelek, atau sedang-sedang saja tetap memiliki nilai. Oleh karena itu diadakan
pembedaan, antara letak kedudukan nilai dan pengemban nilai.
Gitar jelek. Di mana nilainya? Jelas jelek nilainya. Di mana pengembannya? Jelas gitar
pengembannya. Dari sini dapat diketahui bahwa nilai selalu bersifat abstrak: jelek, indah, samar,
penyayang, tidak dapat disentuh, hanya dapat diketahui di sinilah letak kedudukan nilai.
Sedangkan pengemban nilai tidak selalu bersifat material tetapi juga immaterial dan selalu sifatnya
objektif. Contohnya yang material: gitar, batu, cicak, motor, sampah; dan yang immaterial: Tuhan,
panorama, malaikat, langit, angin.
NILAI DAN PENILAIAN
Nilai juga bersifat tetap. Jelek, indah, penyayang itu tidak berubah. Yang berubah
adalah penilaian oleh manusia. Oleh karena itu tidak tepat dikatakan bahwa ada pergeseran
nilai karena nilai tidak pernah bergeser. Yang bergeser adalah persepsi atau penilaian manusia.
Vincent Van Gogh adalah seorang pelukis yang dilahirkan di Zundert, sebuah kota di Belanda selatan
pada tanggal 30 Maret 1853. Ia mati bunuh diri pada tanggal 28 Juli 1890. Kemiskinan dan karya
seninya yang tidak diapresiasi merupakan penyebab kematiannya. Pada saat itu lukisan Van Gogh
tidak memiliki arti apa pun di masyarakat, tetapi seratus tahun kemudian karyanya diagungkan.
Ini hanya sebuah contoh bahwa lukisan Van Gogh memiliki nilai, apa pun nilai itu, tidak pernah
berubah. Ini menjadikan alasan bahwa penilaian manusialah yang berubah, pada masa lalu lukisan
Van Gogh bukan apa-apa, tapi sekarang lukisannya menjadi Masterpiece di mata masyarakat dunia,
khususnya Belanda dan Perancis. Oleh karena itu apa pun kapan pun penilaian dilakukan oleh
manusia, tetap sajanilai sudah ada terlebih dahulu
Wilayah filsafat nilai terletak pada akal yang bisa membedakan (benar-salah), karsa (baik-buruk), dan
rasa (indah-jelek).

HIERARKI KUALITAS NILAI


Frondizi memberikan pemilahan terhadap kualitas sesuatu, yaitu:
1. Kualitas primer: Suatu hal utama yang membuat kenyataan sesuatu dan sifatnya harus
(misalnya: bentuk, wujud, panjang, berat, tinggi [bisa diindera/material], akal [tidak bisa
diindera/immaterial])
2. Kualitas sekunder: Sesuatu yang menyertai kenyataan sesuatu (misalnya: warna, rasa, dan
bau)
3. Kualitas tersier: Sesuatu yang tidak dapat ditangkap oleh indera (misalnya: kharisma, rasa
takut, bingung, keanggunan)
Ketiga kualitas ini bersatu menjadi sesuatu yang disebut sebagai Kualitas Gestalt. Dengan penyatuan
tiga kualitas tadi, sesuatu bisa dibedakan, misalnya: mana orang yang baik hati, mana gitar yang
suaranya merdu, mana kasur yang enak ditiduri, dan sebagainya. Kualitas Gestalt inilah yang menjadi
ciri khas setiap objek. Contoh yang lebih konkrit lagi. Apa yang merupakan Kualitas Gestalt dari
manusia? Pertama-tama harus dipilah dulu kualitasnya
Kualitas primer: manusia memiliki akal, karsa, dan rasa
Kualitas sekunder: manusia memiliki bentuk, dan warna sehingga bisa diindera
Kualitas tersier: manusia memiliki kejujuran, loyalitas, dedikasi, keberanian, dan sebagainya
ALIRAN EKSTRIM FILSAFAT NILAI (OBJEKTIVISME DAN SUBJEKTIVISME)
Objektivisme: merupakan suatu paham yang beranggapan bahwa keberadaan nilai mendahului
penilaian oleh karenanya validitas nilai tidak tergantung pada subjek yang menilai.
Dengan pengertian di atas, lalu bagaimana spesifikasi nilai menurut objektivisme?
1. Nilai bersifat tetap, mutlak, dan tak terubahkan
2. Nilai bukanlah penilaian, melainkan punya posisi sendiri secara objektif
Ada pun masalah yang dihadapi oleh objektivisme. Pertama, mengalami kesulitan ketika orang harus
memilih satu dari dua atau lebih dari dua hal yang objektif contohnya: Anda punya satu penawar
racun. Anda dan teman anda keracunan, anda akan bingung karena anda memiliki prinsip harus
menolong dan bertahan hidup. Anda harus mengorbankan salah satunya, objektivisme tidak
mengijinkan hal ini. Oleh sebab itu dalam hal yang darurat objektivisme mengalami
kelemahan. Kedua, dengan nilai memiliki posisinya sendiri maka nilai dilepaskan dari pengembannya,
padahal identifikasi membutuhkan pengemban. Ketiga, menghilangkan relasi subjek-objek jadi seolah-
olah subjek tidak berguna di sini, pertanyaan bagaimana saya bisa membedakan budi dan ani apabila
tidak ada relasi antara subjek-objek? dapat mewakili dari kelemahan yang ketiga ini.
Subjektivisme: merupakan suatu paham yang beranggapan bahwa keberadaan nilai tergantung pada
kesadaran yang menilai oleh karenanya nilai sama dengan penilaian. Sesuatu itu bernilai karena ada
subjek yang menilai.
Dengan pengertian di atas, lalu bagaimana spesifikasi nilai menurut subjektivisme?
1. Nilai bersifat relatif
2. Bersifat relatif dikarenakan nilai adalah penilaian, penilaian itu dilakukan oleh setiap orang dan
setiap orang memiliki penilaian yang berbeda
Masalah yang dihadapi subjektivisme juga tidak kalah menarinya dengan masalah
objektivisme. Pertama, dikarenakan nilai bersifat relatif maka tidak ada pedoman universal yang harus
dijunjung, tidak ada peraturan toh semuanya relatif, oleh karena hal ini maka subjektivisme bisa
mengacaukan segala sesuatu.Kedua, subjektivisme bersikap netral terhadap pertanyaan seperti ini
apakah saya harus menolong orang lain? dan apakah saya harus menghormati orang tua? Menurut
subjektivisme, bisa dijawab iya mau pun tidak karena berdasar atas penilaian subjek saja. Misalnya
subjek adalah seorang yang sudah mapan, dia bisa saja berkata mengapa saya harus menghormati
orang tua? Padahal saya yang membiayai mereka saat ini!

KONTEKS FILSAFAT YUNANI


Para sarjana filsafat mengatakan bahwa mempelajari filsafat Yunani berarti menyaksikan kelahiran
filsafat. Karena itu tidak ada pengantar filsafat yang lebih ideal dari pada study perkembangan
pemikiran filsafat di negeri Yunani. Alfred Whitehead mengatakan tentang Plato: " All Western
phylosophy is but a series of footnotes to Plato". Pada Plato dan filsafat Yunani umumnya dijumpai
problem filsafat yang masih dipersoalkan sampai hari ini. Tema-tema filsafat Yunani seperti ada,
menjadi, substansi, ruang, waktu, kebenaran, jiwa, pengenalan, Allah dan dunia merupakan tema-tema
bagi filsafat seluruhnya. Namun, jika ditelaah lebih dalam, maka kajian filsafat di Yunani terfokus pada 3
fokus, yaitu :
1. Cosmocentris
Membicarakan segala sesuatu yang menyangkut alam. Permasalahan yang dibicarakan pada mulanya
menyangkut asal (ache) alam semesta. Namun dalam perkembangan selanjutnya mengadakan kajian
ruang (space), waktu (time), gerak (motion), Jarak bintang (magnitude), gaya(force), materi /
perubahan (change), interaksi (interaction), bilangan (number). Kualitas (quality), kuantitas (quantity)
dan kausalitas (causality). Filosof yang mengkaji persoalan ini adalah (a) Thales. (b) anaximandros, (c)
anaximenes, (d) Democritos, (e) Pythagoras, (f) Heraklitos, (g)Empedokles
2. Theocentris
Membicarakan tentang Tuhan. Kajiannya mencakup argumentasi keberadaan Tuhan, karakter Tuhan,
kekuasaan Tuhan, peran Tuhan dalam kehidupan manusia. Kajian terhadap keberadaan agama, untuk
apa manusia beragama dan seterusnya. Filosofo yang mengkaji persoalan ini adalah (a) Xenoplanes,
(b) Sokrates, (c) Plato, (d) Aristoteles,
3. Antropocentris
Membicarakan manusia, asal usul manusia, unsure, kedudukannya sebagai subyek maupun
objek.Filosof yang mengkaji persoalan ini adalah (a) Protagoras, (b) Gorgias, (c) Sokrates, (d) Plato, (e)
Aristoteles, (f) Epicurus, (g) Zeno, (h)

Filsuf- Filsuf Pertama


Ada tiga filsuf dari kota Miletos yaitu Thales, Anaximandros dan Anaximenes. Ketiganya secara khusus
menaruh perhatian pada alam dan kejadian-kejadian alamiah, terutama tertarik pada adanya
perubahan yang terus menerus di alam. Mereka mencari suatu asas atau prinsip yang tetap tinggal
sama di belakang perubahan-perubahan yang tak henti-hentinya itu. Thales mengatakan bahwa prinsip
itu adalah air, Anaximandros berpendapat to apeiron atau yang tak terbatas sedangkan Anaximenes
menunjuk udara.
Thales juga berpendapat bahwa bumi terletak di atas air. Tentang bumi, Anaximandros mengatakan
bahwa bumi persis berada di pusat jagat raya dengan jarak yang sama terhadap semua badan yang
lain. Sedangkan mengenai kehidupan bahwa semua makhluk hidup berasal dari air dan bentuk hidup
yang pertama adalah ikan. Dan manusia pertama tumbuh dalam perut ikan. Sementara Anaximenes
dapat dikatakan sebagai pemikir pertama yang mengemukakan persamaan antara tubuh manusia dan
jagat raya. Udara di alam semesta ibarat jiwa yang dipupuk dengan pernapasan di dalam tubuh
manusia.

Filosof berikutnya yang perlu diperkenalkan adalah Pythagoras. Ajaran-ajarannya yang pokok adalah
pertama dikatakan bahwa jiwa tidak dapat mati. Sesudah kematian manusia, jiwa pindah ke dalam
hewan, dan setelah hewan itu mati jiwa itu pindah lagi dan seterusnya. Tetapi dengan mensucikan
dirinya, jiwa dapat selamat dari reinkarnasi itu. Kedua dari penemuannya terhadap interval-interval
utama dari tangga nada yang diekspresikan dengan perbandingan dengan bilangan-bilangan,
Pythagoras menyatakan bahwa suatu gejala fisis dikusai oleh hukum matematis. Bahkan katanya
segala-galanya adalah bilangan. Ketiga mengenai kosmos, Pythagoras menyatakan untuk pertama
kalinya, bahwa jagat raya bukanlah bumi melainkan Hestia (Api), sebagaimana perapian merupakan
pusat dari sebuah rumah.

Pada jaman Pythagoras ada Herakleitos Di kota Ephesos dan menyatakan bahwa api sebagai dasar
segala sesuatu. Api adalah lambang perubahan, karena api menyebabkan kayu atau bahan apa saja
berubah menjadi abu sementara apinya sendiri tetap menjadi api. Herakleitos juga berpandangan
bahwa di dalam dunia alamiah tidak sesuatupun yang tetap. Segala sesuatu yang ada sedang menjadi.
Pernyataannya yang masyhur "Pantarhei kai uden menei" yang artinya semuanya mengalir dan tidak
ada sesuatupun yang tinggal tetap. Filosof pertama yang disebut sebagai peletak dasar metafisika
adalah Parmenides. Parmenides berpendapat bahwa yang ada ada, yang tidak ada tidak ada.
Konsekuensi dari pernyataan ini adalah yang ada 1) satu dan tidak terbagi, 2) kekal, tidak mungkin ada
perubahan, 3) sempurna, tidak bisa ditambah atau diambil darinya, 4) mengisi segala tempat,
akibatnya tidak mungkin ada gerak sebagaimana klaim Herakleitos.

Para filsuf tersebut dikenal sebagai filsuf monisme yaitu pendirian bahwa realitas seluruhnya bersifat
satu karena terdiri dari satu unsur saja. Para Filsuf berikut ini dikenal sebagai filsuf pluralis, karena
pandangannya yang menyatakan bahwa realitas terdiri dari banyak unsur. Empedokles menyatakan
bahwa realitas terdiri dari empat rizomata (akar) yaitu api, udara, tanah dan air. Perubahan-perubahan
yang terjadi di alam dikendalikan oleh dua prinsip yaitu cinta (Philotes) dan benci (Neikos). Empedokles
juga menerangkan bahwa pengenalan (manusia) berdasarkan prinsip yang sama mengenal yang
sama. Pruralis yang berikutnya adalah Anaxagoras, yang mengatakan bahwa realitas adalah terdiri dari
sejumlah tak terhingga spermata (benih). Berbeda dari Empedokles yang mengatakan bahwa setiap
unsur hanya memiliki kualitasnya sendiri seperti api adalah panas dan air adalah basah, Anaxagoras
mengatakan bahwa segalanya terdapat dalam segalanya. Karena itu rambut dan kuku bisa tumbuh
dari daging.

Perubahan yang membuat benih-benih menjadi kosmos hanya berupa satu prinsip yaitu Nus yang
berarti roh atau rasio. Nus tidak tercampur dalam benih-benih dan Nus mengenal serta mengusai
segala sesuatu. Karena itu, Anaxagoras dikatakan sebagai filsuf pertama yang membedakan antara
"yang ruhani" dan "yang jasmani". Pluralis Leukippos dan Demokritos juga disebut sebagai filsuf
atomis. Atomisme mengatakan bahwa realitas terdiri dari banyak unsur yang tak dapat dibagi-bagi lagi,
karenanya unsur-unsur terakhir ini disebut atomos. Lebih lanjut dikatakan bahwa atom-atom dibedakan
melalui tiga cara: (seperti A dan N), urutannya (seperti AN dan NA) dan posisinya (seperti N dan Z).
Jumlah atom tidak berhingga dan tidak mempunyai kualitas, sebagaimana pandangan Parmenides
atom-atom tidak dijadikan dan kekal.

Tetapi Leukippos dan Demokritos menerima ruang kosong sehingga memungkinkan adanya gerak.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa realitas seluruhnya terdiri dari dua hal: yang penuh yaitu
atom-atom dan yang kosong. Menurut Demokritos jiwa juga terdiri dari atom-atom. Menurutnya proses
pengenalan manusia tidak lain sebagai interaksi antar atom. Setiap benda mengeluarkan eidola
(gambaran-gambaran kecil yang terdiri dari atom-atom dan berbentuk sama seperti benda itu). Eidola
ini masuk ke dalam panca indra dan disalurkan kedalam jiwa yang juga terdiri dari atom-atom eidola.
Kualitas-kualitas yang manis, panas, dingin dan sebagainya, semua hanya berkuantitatif belaka. Atom
jiwa bersentuhan dengan atom licin menyebabkan rasa manis, persentuhan dengan atom kesat
menimbulkan rasa pahit sedangkan sentuhan dengan atom berkecepatan tinggi menyebabkan rasa
panas, dan seterusnya

Klasifikasi Filsafat
13112011
Dalam membangun tradisi filsafat banyak orang mengajukan pertanyaan yang sama , menanggapi, dan
meneruskan karya-karya pendahulunya sesuai dengan latar belakang budaya, bahasa,
bahkan agama tempat tradisi filsafat itu dibangun.

Oleh karena itu, filsafat biasa diklasifikasikan menurut daerah geografis dan latar belakang budayanya.
Dewasa ini filsafat biasa dibagi menjadi dua kategori besar menurut wilayah dan menurut latar belakang
agama.

Menurut wilayah, filsafat bisa dibagi menjadi: filsafat barat, filsafat timur, dan filsafat Timur Tengah.
Sementara, menurut latar belakang agama, filsafat dibagi menjadi: filsafat Islam, filsafat Budha,
filsafat Hindu, dan filsafat Kristen.

Filsafat Barat
Filsafat Barat adalah ilmu yang biasa dipelajari secara akademis di universitas-universitas di Eropa dan
daerah-daerah jajahan mereka. Filsafat ini berkembang dari tradisi filsafat orang Yunani kuno.

Tokoh utama filsafat Barat antara lain Plato, Thomas Aquinas, Rne Descartes, Immanuel Kant, Georg
Hegel, Arthur Schopenhauer, Karl Heinrich Marx, Friedrich Nietzsche, dan Jean-Paul Sartre.

Dalam tradisi filsafat Barat, dikenal adanya pembidangan dalam filsafat yang menyangkut tema tertentu.

Metafisika mengkaji hakikat segala yang ada. Dalam bidang ini, hakikat yang ada dan
keberadaan (eksistensi) secara umum dikaji secara khusus dalam Ontologi. Adapun hakikat manusia dan
alam semesta dibahas dalam Kosmologi.

Epistemologi mengkaji tentang hakikat dan wilayah pengetahuan (episteme secara harafiah
berarti pengetahuan). Epistemologi membahas berbagai hal tentang pengetahuan seperti batas,
sumber, serta kebenaran suatu pengetahuan.

Aksiologi membahas masalah nilai atau norma yang berlaku pada kehidupan manusia. Dari
aksiologi lahirlah dua cabang filsafat yang membahas aspek kualitas hidup manusia: etika dan estetika.

Etika, atau filsafat moral, membahas tentang bagaimana seharusnya manusia bertindak dan
mempertanyakan bagaimana kebenaran dari dasar tindakan itu dapat diketahui. Beberapa topik yang
dibahas di sini adalah soal kebaikan, kebenaran, tanggung jawab, suara hati, dan sebagainya.

Estetika membahas mengenai keindahan dan implikasinya pada kehidupan. Dari estetika
lahirlah berbagai macam teori mengenai kesenian atau aspek seni dari berbagai macam hasil budaya.

Filsafat Timur
Filsafat Timur adalah tradisi falsafi yang terutama berkembang di Asia, khususnya di India, Republik
Rakyat Cina dan daerah-daerah lain yang pernah dipengaruhi budayanya. Sebuah ciri khas Filsafat Timur
ialah dekatnya hubungan filsafat dengan agama. Meskipun hal ini kurang lebih juga bisa dikatakan untuk
Filsafat Barat, terutama di Abad Pertengahan, tetapi di Dunia Barat filsafat an sich masih lebih menonjol
daripada agama.

Nama-nama beberapa filsuf Timur, antara lain Sidharta Budha Gautama/Budha, Bodhidharma, Lao
Tse, Kong Hu Cu, Zhuang Zi dan juga Mao Zedong.

Filsafat Timur Tengah


Filsafat Timur Tengah dilihat dari sejarahnya merupakan para filsuf yang bisa dikatakan juga
merupakan ahli waris tradisi Filsafat Barat. Sebab para filsuf Timur Tengah yang pertama-tama adalah
orang-orang Arab atau orang-orang Islam dan juga beberapa orang Yahudi, yang menaklukkan daerah-
daerah di sekitar Laut Tengah dan menjumpai kebudayaan Yunani dengan tradisi falsafah mereka.

Lalu mereka menterjemahkan dan memberikan komentar terhadap karya-karya Yunani. Bahkan
ketika Eropa setalah runtuhnya Kekaisaran Romawi masuk ke Abad Pertengahandan melupakan karya-
karya klasik Yunani, para filsuf Timur Tengah ini mempelajari karya-karya yang sama dan bahkan
terjemahan mereka dipelajari lagi oleh orang-orang Eropa.

Nama-nama beberapa filsuf Timur Tengah adalah Ibnu Sina, Ibnu Tufail, Kahlil Gibrandan Averroes.

Filsafat Islam
Filsafat Islam merupakan filsafat yang seluruh cendekianya adalah muslim. Ada sejumlah perbedaan
besar antara filsafat Islam dengan filsafat lain. Pertama, meski semula filsuf-filsuf muslim klasik menggali
kembali karya filsafat Yunani terutama Aristoteles dan Plotinus, namun kemudian menyesuaikannya
dengan ajaran Islam.

Kedua, Islam adalah agama tauhid. Maka, bila dalam filsafat lain masih mencari Tuhan, dalam filsafat
Islam justru Tuhan sudah ditemukan, dalam arti bukan berarti sudah usang dan tidak dibahas lagi,
namun filsuf islam lebih memusatkan perhatiannya kepada manusia dan alam, karena sebagaimana kita
ketahui, pembahasan Tuhan hanya menjadi sebuah pembahasan yang tak pernah ada finalnya.

Filsafat Kristen
Filsafat Kristen mulanya disusun oleh para bapa gereja untuk menghadapi tantangan zaman di abad
pertengahan. Saat itu dunia barat yang Kristen tengah berada dalam zaman kegelapan ( dark age).
Masyarakat mulai mempertanyakan kembali kepercayaan agamanya.

Filsafat Kristen banyak berkutat pada masalah ontologis dan filsafat ketuhanan. Hampir semua filsuf
Kristen adalah teologian atau ahli masalah agama. Sebagai contoh: Santo Thomas Aquinas dan Santo
Bonaventura

Anda mungkin juga menyukai