2. Empirisme
Mazhab ini muncul sezaman dengan rasionalisme yaitu pada abad 17.
Beberapa tokoh dari aliran ini diantaranya adalah Thomas Hobbes, John
Locke dan David Hume.
3. Idealisme
Kata idealisme pertama kali digunakan secara filosofis oleh Leibniz,
seorang filosof Jerman pada pertengahan abad 17.
Beberapa tokoh dari aliran ini antara lain August Comte, John Stuart Mill
dan Herbert Spencer.
5. Pragmatisme
Mazhab ini muncul pada awal abad 20.
Beberapa pemikir dari aliran ini adalah William James dan John Dewey.
6. Eksistensialisme
Eksistensialisme berkembang pada abad 20.
Eksistensi adalah cara manusia berada dalam dunia. Cara berada manusia
dalam dunia berbeda dengan cara berada benda-benda. Benda-benda
berada dengan tidak sadar tanpa hubungan. Sedangkan manusia berada
di dunia justru berhubungan dengan sesama manusia dan berhubungan
dengan benda-benda.
Beberapa pemikir dari aliran ini adalah Martin Heidegger, Jean Paul Sartre,
Karl Jaspers dan Gabriel Marcel.
Menurut Sartre misalnya, ada atau yang ada itu dapat dilihat dari dua
sudut pandang, yaitu ada yang hidup dan berada bagi dirinya sendiri (etre
pour-soi) dan kedua, sebagai ada yang identik dengan dirinya, tidak aktif,
tidak pasif, tidak afirmatif, dan tidak negatif (etre en-soi)
Vv
Struktur pengetahuan itu ada tiga, yaitu skeptisisme, subjektivisme, dan relativisme.
Ketiganya merupakan sarana mengenai pengetahuan ataupun klaim kebenaran. Dan
pembahasan mengenai ini banyak diperdebatkan oleh para saintis dan filosof karena
merupakan paham pendapat mengenai pengetahuan, dimana pendapat antara satu saintis
dan filosof itu berbeda-beda. Jadi wajar kalau banyak perdebatan dan pengkoreksian.
Masalahnya ialah fakta tentang adanya kekeliruan ini telah menimpa para pakar
dalam bidangnya, nah bagaimana dengan mereka yang awam?. Sungguh merupakan hal
yang mengusik pikiran dan menimbulkan teka-teki.
Problem pengetahuan itu telah melahirkan banyak sekali aliran yang mengemukakan
pendapat dan ajarannya mengenai pengetahuan, kebenaran dan kepastian. Pertumbuhan
epistemologi dibentuk oleh terjadinya banyak konflik dan benturan teoretikal mengenai
hal-hal tersebut[1]. Sudah menjadi keyakinan kita bersama bahwa salah satu topik kajian
epistemologi adalah penyelidikan tentang hakikat dan ruang lingkup pengetahuan yang
dimiliki manusia. Diungkapkan oleh J. Sudarminta bahwa salah satu alasan utama yang
telah mengilhami para filsuf dalam menyelidiki hakikat dan ruang lingkup pengetahuan
manusia adalah fakta adanya kekeliruan. Dan adanya fakta ini menjadikan resah dan teka-
teki. Resah karena apakah kita masih dapat keliru setelah dengan sangat teliti mengerjakan
sesuatu hal? Problema yang sangat miris terjadi dikehidupan para pakar adalah tidak
sepakatnya dalam menentukan mana yang benar dan mana yang salah, yang betul dan yang
keliru.[2]
II. 1. Skeptisisme
Skeptisisme merupakan aliran yang perlu untuk diperhatikan dengan cermat, karena
skeptisisme adalah satu-satunya paham atau aliran yang secara radikal dan fundamental
tidak mengakui atau meragukan atau menolak adanya kepastian dan kebenaran
pengetahuan.
Istilah skeptisisme berasal dari bahasa Yunani skeptomai yang berarti
memperhatikan dengan cermat, meneliti. Kemudian dari situ diturunkan arti yang biasa
dihubungkan dengan kata tersebut yaitu saya meragukan. Para skeptis pada awalnya
adalah orang-orang yang mengamati segala sesuatu dengan cermat serta mengadakan
penelitian terhadapnya.[3]
Seringkali banyak kepercayaan yang dianggap benar, kemudian ternyata salah. Lalu
apakah yang menjadikan kepercayaan itu benar atau salah? Apakah kita dapat merasa pasti
bahwa kita telah mengungkapkan kebenaran? Apakah akal manusia dapat mengungkapkan
atau menemukan pengetahuan yang benar?
Skeptisisme dapat juga diartikan sebagai pernyataan ragu-ragu. Dalam makna
sempit, skeptisisme adalah pengingkaran tentang kemungkinan mengetahui. Sedangkan
dalam makna luas, berarti sikap menunda pertimbangan sampai analisis yang kritis selesai
dan bukti-bukti yang mungkin diperoleh.[4]
Sedangkan dalam buku Epistemologi Fundasional, Akhyar Y. Lubis mengatakan
bahwa skepticism secara sederhana berarti pertimbangan, keraguan. Secara istilah berarti
paham yang menyatakan ketidakmampuan untuk memperoleh kebenaran objektif akhir,
final sebuah ilmu pengetahuan.[5]
Ada beberapa macam skeptisisme di sini. Pertama, solipsisme ialah pandangan
egosentrisme epistemologi yang berpendapat bahwa saya hanya tahu diri saya ada, tapi
saya tidak mengetahui sesuatu pun di luar saya. Kedua, skeptisisme sensoris ialah sensasi
atau persepsi bersifat relative tidak reliable. Sensasi hanya sebagian dan modifikasi dari
objek yang diamati. Ketiga, skeptisisme rasional ialah keraguan yang disebabkan paradoks
zeno atau antimoni kant pada kesimpulan dan argumen. Antimoni di sini berarti
dua pernyataan yang bertentangan dan tidak dapat dibuktikan kebenarannya, misal
pernyataan telur lebih dulu daripada ayam, atau ayam lebih dulu daripada telur. Ini semua
bergantung kepada kepercayaan masing-masing. Keempat, skeptisisme metodologis ialah
keraguan sistematis dan sementara yang tujuannya untuk menemukan pengetahuan dan
fondasi pengetahuan yang kuat dan terpercaya metode keraguan Descartes dahulu.[6]
Di buku lain, disebutkan dua macam skeptisime yaitu skeptisisme mutlak atau
universal dan skeptisisme nisbi atau partikular. Skeptisisme mutlak atau universal secara
mutlak mengingkari kemungkinan manusia untuk tahu dan untuk memberi dasar
pembenaran. Jenis skeptisisme yang mengingkari sama sekali kemampuan manusia untuk
tahu dan meragukan semua jenis pengetahuan macam ini dalam prakteknya jarang diikuti
orang, sebab dalam kenyataannya mustahil untuk dihayati. Dalam prakteknya pun jarang
diikuti karena memang suatu posisi yang sulit dipertahankan. Posisi ini secara eksistensial
bersifat kontradiktif dan berlawanan dengan fakta yang eviden langsung tampak jelas
dengan sendirinya . Mengapa secara eksistensial bersifat kontradiktif? Karena, seperti
sudah ditunjukkan oleh Socrates dalam wawancara polemisnya dengan kaum sofis.
Seorang skeptisis secara implisit dalam praktek menegaskan kebenaran dari apa yang
secara eksplisit dalam teori diingkarinya. Sedangkan skeptisisme nisbi atau partikular
tidak meragukan segalanya secara menyeluruh. Varian ini hanya meragukan kemampuan
manusia untuk tahu dengan pasti dan memberi dasar pembenaran yang tidak diragukan lagi
untuk pengetahuan dalam bidang-bidang tertentu saja. Paham skeptisisme nisbi ini,
walaupun tidak bersifat menggugurkan diri sendiri self defeating sebagaimana
skeptisisme mutlak, namun biasanya dianut karena salah paham tentang ciri-ciri hakiki
pengetahuan manusia dan kenenarannya.
II. 2. Subjektivisme
Dalam arti kamus, subjektivisme itu sangat menekankan unsur subjektif pengalaman
individual. Sedangkan subjektif berarti mengacu ke pikiran, ego, persepsi, putusan
pribadi, kesadaran, bukan sumber-sumber objektif luar.[7]
Akhyar mengatakan bahwa subjektisisme merupakan pandangan yang menekankan
peran subjek dalam menghasilkan pengetahuan yang merupakan ide-ide dalam pikiran the
knomer orang yang mengetahui karena tidak mungkin kita mengetahui sesuatu objek,
fenomena di luar ide-ide tersebut.[8]
Dalam kacamata epistemologi, subjektivisme diartikan sebagai sumber dan
keabsahannya pengetahuan tentang apapun yang dinyatakan objektif dan real secara
eksternal ditentukan oleh the knower. Sehingga pengetahuan itu merupakan produk yang
distruktur secara selektif dan diciptakan oleh the knower.
Banyak filsuf sesudah Descartes mengandaikan bahwa satu-satunya hal yang dapat
kita ketahui dengan pasti adalah diri kita sendiri dan kegiatan kita yang kita sadari. Paling
tidak, hal itulah yang secara langsung dapat kita ketahui. Sedangkan pengetahuan tentang
yang bukan aku atau segala sesuatu di luar diri sendiri pantas untuk diragukan
kebenarannya. Telah menjadi suatu ironi ketika usaha keras Descartes untuk menolak dan
membantai skeptisisme malah mengakibatkan pembelokan ke arah subjektivisme dalam
filsafat.
Subjektivisme adalah pandangan bahwa objek dan kualitas yang kita ketahui dengan
perantaraan indera kita adalah tidak berdiri sendiri, lepas dari kesadaran kita terhadapnya.
Realitas terdiri dari kesadaran serta keadaan kesadaran tersebut, walaupun tidak harus
kesadaran kita dan akal kita.[9]
Dahulu subjektivisme merupakan anathema bagi Popper sebab melihat subjektivisme
dalam dirinya mengandung benih-benih untuk mengarah kepada otoritarianisme,
relativisme, dan irasionalisme. Padahal Popper sangat mengandalkan objektivitas dan
rasionalitas.[10]
Untuk memiliki subjektivisme yang tinggi, diperlukan pendekatan sunjektivis. Ciri-
cirinya yaitu:[11]
1. Dapat menggagas pengetahuan sebagai suatu keadaan mental yang khusus
atau semacam kepercayaan yang istimewa.
2. Pengalaman subjektif kokoh terjamin secara istimewa sehingga cocok
sebagai titik tolak atau dasar yang aman.
3. Menganut prinsip subjektif tentang alasan cukup yaitu semacam
pengalaman atau kepercayaan atau pendapat personal.
4. Tidak hanya melalaikan perbedaan antara pengetahuan objektif dan
pengetahuan subjektif, melainkan juga menerima, sadar, atau tak sadar bahwa pengetahuan
objektif yang bisa dibuktikan.
Dalam lingkaran epistemologis, subjektivisme berarti: teori bahwa seluruh
pengetahuan mempunyai sumber dan keabsahannya dalam keadaan mental subjektif orang
yang tahu the knower , pengetahuan tentang apapun yang objektif atau real secara
eksternal didasarkan pada penyimpulan dari keadaan mental subjektif ini. Sedangkan
segala sesuatu yang diketahui adalah produk yang distruktur secara selektif dan diciptakan
oleh yang tahu. Tidak dapat dikatakan bahwa ada suatu dunia nyata secara eksternal yang
berkorespondensi dengan yang tahu.[12]
Ada empat aturan pokok filsafat Descartes yang harus ditaati dalam metodenya,
yaitu:[13]
1. Intuisi dan evidensi
2. Perincian atau pelarutan
3. Pendeduksian
4. Penginduksian
Aturan yang pertama yaitu intuisi dan evidensi, ia menyampaikan berbagai
argumentasi, yakni:
a. Tidak mau menerima begitu saja apa yang dianggap benar
b. Berusaha menghindari ketergesa-gesaan atau praduga
c. Hanya apa yang tersajikan secara jelas dan bernas dalam pikiran sajalah
yang dapat diterima, karena tidak ada keraguan lagi
d. Hal di atas hanya dapat dilakukan melalui intuisi: langsung, simpel, self-
evident
e. Itulah pengertian mutlak menurut Descartes bagi segala hal
f. Pengertian yang jelas dan bernas/terpilah-pilah
Aturan yang kedua yaitu perincian dan pelarutan, yakni:
a. Membagi-bagi persoalan yang diteliti menjadi bagian-bagian sebanyak
mungkin
b. Pengertian yang baru harus didasarkan pada pengertian yang telah lebih
dahulu diketahui secara clear dan distinct
c. Jadi, harus ada pertautan antara pengertian yang baru dan pengertian yang
lebih dulu
d. Intinya, pengertian-pengertian tersebut harus berjalin-kelindan
Aturan yang ketiga yaitu pendeduksian demi keruntutan berpikirnya Descartes
memulai gerak laju pikirnya dari hal-hal sederhana dan mudah menuju hal-hal yang lebih
kompleks dan relative. Dan dari yang simpel dan absolut ke makin kompleks. Jadi,
bertahap dan berangsur-angsur umum ke khusus.
Aturan yang keempat yaitu penginduksian atau enumerasi yakni:
a. Descartes tidak puas dengan aturan 1, 2, 3, melainkan malah
mengontrolnya dengan aturan yang keempat
b. Yakni dengan mengadakan pembilangan atau penyebutan pada setiap hal
secara komprehensif dan meninjau kembali secara umum, sehingga muncul keyakinan
bahwa tidak ada sesuatu hal yang terlewatkan
c. Langkah ini menjadi aspek induktif metode Descartes dan menjadi
semacam verifikasi yaitu pemeriksaan terakhir apakah pengetahuan yang clear dan distinct
telah diperoleh
Ternyata pandangan subjektivisme terutama pasca Descartes menelurkan
berbagai akibat cukup signifikan bagi dialektika selanjutnya.
Beberapa asumsi paradigma Cartesian-Newtonian. Ada 6 macam asumsi paradigma
Cartesian-Newtonian yang dapat dilihat, yakni:
1. Subjektivisme-Antroposentristik
Dalam hal ini, manusia dipandang sebagai pusat dunia. Descartes melalui
pernyataanya cogito ergo sum, mencetuskan kesadaran subjek yang terarah pada dirinya
sendiri, dan ini adalah basis ontologis terhadap eksistensi realitas eksternal di luar diri si
subjek. Selain itu, subjektivisme ini juga tampak pada pandangan Francis Bacon mengenai
dominasi manusia terhadap alam. Letak subjektivisme Newton ada pada ambisi manusia
untuk menjelaskan seluruh fenomena alam raya melalui mekanika yang dirumuskan dalam
formula matematika.
2. Dialektika
Pandangan mengenai dualisme ini tampak pada pemikiran Descartes. Dalam hal ini,
realitas dibagi menjadi subjek dan objek. Subjek ditempatkan sebagai yang superiortas atas
objek. Dengan ini, manusia (subjek) dapat memahami dan mengupas realitas yang terbebas
dari konstruksi mental manusia. Subjek pun dapat mengukur objek tanpa mempengaruhi
dan tanpa dipengaruhi oleh objek. Paham dualisme ini kemudian mempunyai konsekuensi
alamiah dimana seolah-olah menghidupkan subjek dan mematikan objek. Hal
didasarkan pada pemahaman bahwa subjek itu hidup dan sadar, sedangkan objek itu berada
secara diametral dengan subjek, sehingga objek haruslah mati dan tidak berkesadaran.
3. Mekanistik - Deterministik
Alam raya dipandang sebagai sebuah mesin raksasa yang mati, tidak bernyawa dan
statis. Malahan, segala sesuatu yang di luar kesadaran subjek lalu dianggap sebagai mesin
yang bekerja menurut hokum matematika yang kuantitatif, termasuk tubuh
manusia. Dalam pandangan mekanistik ini, realitas dianggap dapat dipahami dengan
menganalisis dan memecah-mecahnya menjadi bagian-bagian kecil, lalu dijelaskan dengan
pengukuran kuantitatif. Hasil dari penyelidikan terhadap bagian-bagian yang kecil itu lalu
digeneralisir untuk keseluruhan. Dengan demikian, keseluruhan itu berarti sama atau
identik dengan penjumlahan atas bagian-bagiannya. Pandangan yang deterministik juga
tampak pada sikap dimana alam sepenuhnya itu dapat dijelaskan, diramal, dan dikontrol
berdasarkan hukum-hukum yang deterministic pasti sedemikan rupa sehingga
memperoleh kepastian yang setara dengan kepastian matematis. Dengan kata lain, masa
depan suatu system, pada prinsipnya dapat diprediksi dari pengetahuan yang akurat
terhadap kondisi system itu sekarang. Prinsip kausalitas pada dasarnya merupakan prinsip
metafisis tentang hukum-hukum wujud. Determinisme ini juga didukung oleh Laplace. Ia
mengatakan bahwa jika kita mengetahui posisi dan kecepatan setiap partikel di alam
semesta, kita akan dapat atau sanggup memprediksi semua kejadian pada masa depan.
4. Reduksionis
Dalam hal ini, alam semesta hanya dipandang sebagai mesin yang mati, tanpa makna
simbolik dan kualitatif, tanpa nilai, tanpa cita rasa etis dan estetis. Paradigma ini
memandang alam raya termasuk di dalamnya realitas keseluruhan tersusun dari balok-
balok bangunan dasar materi yang terdiri dari atom-atom. Perbedaan antara materi yang
satu dengan lainnya hanyalah soal beda kuantitas dan bobot. Selain itu, pandangan
reduksionis ini berasumsi bahwa perilaku semua entitas ditentukan sepenuhnya oleh
perilaku komponen-komponen terkecilnya. Pada jaman phytagoras maupun Plato,
matematika itu mempunyai symbol kualitatif. Namun pada masa modern ini, matematika
hanya dibatasi pada soal numerik-kuantitatif, unsur-unsur simbolik ditiadakan.
5. Instrumentalisme
Focus pertanyaan di sini adalah menjawab soal bagaimana dan bukan mengapa.
Newton bersikukuh dengan teori gravitasi karena ia sudah dapat merumuskannya secara
matematis meskipun ia tidak tahu mengapa dan apa penyebab gravitasi itu. Yang lebih
penting menurutnya adalah dapat mengukurnya, mengobservasinya, membuat prediksi-
prediksi berdasarkan konsep itu, daripada soal menjelaskan gravitasi. Modus berpikir yang
instrumentalistik ini tampak pada kecondongan bahwa kebenaran suatu pengetahuan atau
sains itu diukur dari sejauh mana hal itu dapat digunakan untuk memenuhi
kebutuhan atau kepentingan material dan praktis. Semuanya diarahkan pada penguasaan
dan dominasi subjek manusia terhadap alam.
6. Materialisme - Saintisme
Saintisme adalah pandangan yang menempatkan metode ilmiah eksperimental
sebagai satu-satunya metode dan bahasa keilmuan yang universal sehingga segala
pengetahuan yang tidak dapat diverifikasi oleh metode tersebut dianggap tidak bermakna.
Pada Descartes, Tuhan itu bersifat instrumentalistik karena sebagai penjamin kesahihan
pengetahuan subjek terhadap realitas eksternal. Pada Newton, Tuhan hanya diperlukan
pada saat awal pencitpaan. Tuhan menciptakan partikel-partikel benda, kekuatan antar
partikel, hukum gerak dasar, dan sesudah tercipta lalu alam ini terus bergerak seperti
sebuah mesin ayng diatur oleh hukum-hukum deterministi. Bagi kaum materialis, pada
prinsipnya setiap fenomena mental manusia dapat ditinjau dengan menggunakan hukum-
hukum fisikal dan bahan-bahan mentah yang sama, yang mampu menjelaskan fotosintesis,
nutrisi dan pertumbuhan.
II. 3. Relativisme
Dalam paham ini, individu menjadi ukuran segala hal. Protagoras merupakan tokoh
relativisme epistemologis. Dan dia mengatakan bahwa relativisme epistemologi
menyatakan kerelatifan nilai kebenaran pengetahuan, kebenaran relative terhadap subjek
yang mengetahui, terhadap kelompok masyarakat dan paradigma tertentu.
Relativisme epistemologis merupakan suatu paham yang mengingkari adanya dan
dapat diketahuinya kebenaran yang objektif dan universal oleh manusia. Sebaliknya,
paham ini mengajarkan bahwa kebenaran yang ada dan yang dapat diketahui oleh manusia
adalah kebenaran yang bersifat relative. Relative terhadap subjek yang bersangkutan,
terhadap masyarakat dan budaya tertentu, terhadap paradigma yang dipakai, dan
sebagainya.[14]
Bentuk relativisme yang terkait dengan kemajemukan budaya dan kemajemukan
pandangan hidup dan berdasar pada kekhasan dan perbedaan yang terdapat dalam
masyarakat ada tiga yaitu.[15]: Pertama, relativisme subjektif ialah kebenaran pengetahuan
dipahami sebagai suatu yang relatif terhadap subjek yang bersangkutan. Contohnya, apa
yang benar untuk si A, belum tentu benar untuk si B.
Kedua, relativisme budaya ialah menolak kebenaran objektif dan universal karena
pengetahuan manusia selalu relatif terhadap kebudayaan tempat pengetahuan itu
dikembangkan atau berasal yang selalu bersifat lokal, etnis, gender. Kriteria benar dan
salah relatif terhadap kesepakatan konsensus social dalam masyarakat.
Ketiga, relativisme konseptual ialah benar dan salah tidak ada ukuran objektif dan
universal, tergantung kepada kerangka konsep atau teori atau paradigma yang digunakan.
Ini dianut oleh Wittgenstein, Hillary Putnam, dan Kuhn. Dan relativisme jenis ini
mendasari relativisme budaya.
Lubis mengatakan bahwa kita tidak mungkin memahami realitas dari satu paradigma
atau perspektif saja. Oleh sebab itu, berbagai paradigma diperlukan untuk semakin
memahami makna realitas itu.
Cara mengatasi dua pendapat yang saling kontradiksi adalah mencari bukti yang
lebih kuat atau rasional. Dan biasanya sebab dari adanya kontradiksi itu adalah adanya
asumsi-asumsi yang salah gagal untuk membedakan antara keyakinan semata dengan
keyakinan yang benar contohnya, ada pendapat bahwa bumi itu bulat dan diciptakan oleh
tuhan. Kemudian pendapat lain mengatakan bumi datar dan terjadi secara sendirinya.
Pendapat yang benar adalah pendapat yang kuat yaitu pendapat pertama.
Note:
Al ghozali hidup pada abad ke- 12, sedangkan Rene Decartes pada abad ke-16. Jadi
al ghazali dalam hal ini mempengaruhi decartes. SKEPTIPISME
Subjektivisme (paradigma diluaran itu berbeda): bergantung pada subjek yang
secara langsung mengalami, hingga subjek ini menjadi sandaran langsung atas keberadaan
ilmu pengetahuan. Karena ini sifatnya subjektif maka ia mengarahkan
pada RELATIVISME. Kenapa? Kerena itu bergantung pada subjek maka pengetahuan
yang ada tidak mutlak semuanya bergantung pada yang mengamati. Tak ada yang mutlak!!
Subjektivisme ini banyak dianut oleh kaum sophis.
[5] Akhyar Yusuf Lubis, Epistemologi Fundasional, (Bogor: Akademia, 2009), cet. 1,
hlm 66.
[7] Lorens Bagus, Kamus Filsafat, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2002), cet. 3,
hlm 1067-1068.
[8] Akhyar Yusuf Lubis, Epistemologi Fundasional, (Bogor: Akademia, 2009), cet. 1,
hlm 66.
[12] Lorens Bagus, Kamus Filsafat, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2002), cet.
3, hlm
[13] Http://aliflukmanulhakim.wordpress.com/2008/09/07/skeptisisme-subjektivisme-
dan-relativisme/
[15] Akhyar Yusuf Lubis, Epistemologi Fundasional, (Bogor: Akademia, 2009), cet.
1, hlm 67-68.
Nnn
Badik Rahmawati
A. Pengetian filsafat
Filsafat , philosophy, dalam bahasa Inggeris, atau philosophya dalam Yunani mempunyai arti cinta
akan kebijaksanaan. Philos (cinta) atau philia (persahabatan, tertarik kepada)
dan sophos (kebijaksanaan, pengetahuan, keterampilan, pengalaman praktis, inteligensi. Dari
pengertian tersebut filsafat sebenarnya amat dekat dengan realitas kehidupan kita. Untuk mengerti apa
filsafat itu, orang perlu menggunakan akal budinya untuk merenungkan relaitas hidupnya, apa itu
hidup? Mengapa saya hidup? Akan kemana saya hidup? Tentunya pertanyaan tersebut sejatinya
muncul alamiah bila akal budi kita dibiarkan bekerja. Persoalannya, apakah orang atau peminat filsafat
sudah membiarkan akal budinya bekerja dengan baik memandang relaitas? Aristoteles menyebut
manusia sebagai binatang berpiki
Sementara itu pengertian filsafat secara terminology, diuraikan banyak pakar, yaitu :
A. Sonny Keraf dan Mikhael Dua mengartikan ilmu filsafat sebagai ilmu tentang bertanya atau berpikir
tentang segala sesuatu (apa saja dan bahkan tentang pemikiran itu sendiri) dari segala sudut
pandang. Thinking about thinking.
Beberapa filsuf mengajukan beberapa definifi pokok seperti:
Upaya spekulatif untuk menyajikan suatu pandangan sistematik serta lengkap tentang seluruh realitas
Upaya untuk melukiskan hakekat realitas akhir dan dasar serta nyata,
Upaya untuk menentukan batas-batas jangkauan pengetahuan: sumbernya, hakekatnya, keabsahannya,
dan nilainya.
Penyelidikan kritis atas pengandaian-pengandaian dan pernyataan-pernyataan yang diajukan oleh
berbagai bidang pengetahuan
Disiplin ilmu yang berupaya untuk membantu anda melihat apa yang ada katakan dan untuk mengatakan
apa yang anda lihat.
sebagai disiplin ilmu yang mencari dan menggeluti segara yang ada sehingga sampai pada suatu
kebijaksanaan universal dengan mengunakan akal budi guna merumuskanya secara sistematis,
metodis dan dapat dipertanggungjawabkan secara akal budi pula.
buta)
Membiasakan diri utk bersikap logis-rasional (Opini & argumentasi )
Mengembangkan semangat toleransi dlm perbedaan pandangan (pluralitas).
Mengajarkan cara berpikir yg cermat dan tdk kenal lelah
Membuka wawasan berpikir menuju ke arah verstehen (penghayatan).
Filsafat menolong mendidik, membangun diri kita sendiri: dengan berpikir lebih mendalam, kita
mengalami dan menyadari kerohanian kita. Rahasia hidup yang kita selidiki justru memaksa kita untuk
berpikir untuk hidup sesadar-sadarnya, dan memberikan isi kepada hidup kita sendiri.
Filsafat memberikan kebiasaan dan kepandaian untuk melihat dan memecahkan persoalan-
persoalan dalam hidup sehari-hari. Orang yang hidup secara "dangkal" saja, tidak mudah melihat
persoalan-persoalan, apalagi melihat pemecahnya. Dalam filsafat kita dilatih melihat dulu apa yang
menjadi persoalan, dan ini merupakan syarat mutlak untuk memecahkannya.
Filsafat memberikan pandangan yang luas, membendung "akuisme" dan "aku-sentrisme" (dalam
segala hal hanya melihat dan mementingkan kepentingan dan kesenangan si aku).
Filsafat merupakan latihan untuk berpikir sendiri, hingga kita takhanya ikut-ikutan saja, membuntut
pada pandangan umum, percaya akan setiap semboyan dalam surat-surat kabar, tetapi secara kritis
menyelidiki apa yang dikemukakan orang, mempunyai pendapat sendiri, "berdiri-sendiri",dengan cita-
cita mencari kebenaran.
Filsafat memberikan dasar-dasar, baik untuk hidup kita sendiri (terutama dalam etika) maupun
untuk ilmu-ilmu pengetahuan dan lainnya, seperti sosiologi, ilmu jiwa, ilmu mendidik, dan sebagainya.
C. Tujuan Filsafat
1. Mencapai pengertian dan kebijaksanaan (understanding and wisdom).
2. Mencari hakikat kebenaran sesuatu, baik dalam logika (kebenaran berpikir), etika (berperilaku),
maupun metafisik (hakikat keaslian).
Historisitas Filsafat
2. Tahap Filsafat Manusia: Socrates, Plato dan Aristoteles (+/- 200 SM)
Pada tahap ini perubahan titik berat pengkajian dari alam ke manusia. Pertanyaan-pertanyaan tentang
alam digantikan dengan pertanyaan-pertanyaan tentang manusia dan perilaku baik-buruknya. Filsuf-
filsuf yang terkemuka pada masa ini adalah Socrates, Plato dan Aristoteles. Pada tahap ini etika juga
berkembang pesat. Pemikiran-pemikiran mereka tentang etika masih mempengaruhi teori-teori etika
hingga akhir aba 20 ini.
7. Tahap Postmodernisme
Istilah posmodernisme sulit untuk didefinisikan. Dalam kesempatan ini postmodernisme digunakan
untuk merujuk pada satu kondisi bukan suatu aliran filsafat. Tahap posmodernisme ditandai oleh
keraguan terhadap cerita-cerita besar atau metanarasi (Lyotard, 1984). Yang dimaksud dengan narasi
besar (grand narrative) adalah wacana-wacana yang dianggap baku seperti filsafat Hegel, Kant, Marx,
dan sebagainya. Narasi besar juga dirujukkan kepada konsep-konsep seperti keabsahan, kemajuan,
emansipasi kaum proletar, perjuangan kelas, roh absolut, religi dan sebagainya. Ahmed (1996)
mencoba menunjukkan 8 (delapan) ciri posmodernisme:
2) Posmodernisme muncul bersamaan dengan era media. Pada masa ini dalam banyak cara yang
mendasar media adalah dinamika sentral, ciri pendefinisi (pembatas) dari posmodernisme.
4) Kontinuitas dengan masa lalu ditandai dengan kritik yang tajam dan pedas terhadap modernitas.
Postmodernitas oleh beberapa ahli filsafat dianggap mencerminkan krisis yang dialami oleh
modernisme.
6) Terdapat elemen kelas dalam postmodernisme dan demokrasi adalah syarat mutlak bagi
pengembangannya. Namun kelas yang ada tidak dilihat sebagai tingkatan lebih tinggi atau lebih
rendah. Perbedaan kelas dianggap sebagai sekedar perbedaan tidak menunjukkan bobot kualitas
tertentu dan tidak mempengaruhi derajat kekuasaan.
8) Mencuatnya jargon-jargon dan istilah-istilah yang memiliki pengertian rumit, penggunaan bahasa
yang kompleks, dan seringnya mengabaian bahasa dan ide yang sederhana. Penjelasan-penjelasan
yang ditampilkan para filsuf postmodernisme seringkali rumit dan sulit dimengerti karena mereka sering
menggunakan istilas baru buatan mereka sendiri (neologisme). Tokoh-tokoh filsafat yang dianggap
mewakili posmodernisme diantaranya Michel Foucault, Jacques Derrida, dan Jean-Francois Lyotard.
Edisi : Karakter / Ciri-Ciri Berpikir Dalam Filsafat
A. Karakter Filsafat
Dalam memahami suatu permasalahan, ada perbedaan tentang karakteristik dalam berfikir antara
filsafat dengan ilmu-ilmu lain. Mudhofir dalam Muntasyir&Munir (2002: 4-5) mengatakan bahwa ciri-ciri
berfikir kefilsafatan sebagai berikut :
1. Radikal, berasal dari kata radix yang berarti akar. Sifat radikal di sini artinya mengakar (bisa
juga mendalam). Pemahaman yang radikal adalah pemahaman yang mengakar. Dalam
berfilsafat, hal yang hendak dipelajari digali sampai ke akar-akar sehingga pemahaman
tentang hal itu menyeluruh dan mendalam. Kegiatan memahami sesuatu secara
mengakar/mendalam biasa disebut refleksi artinya berpikir sampai ke akar-akarnya, hingga
sampai pada hakikat atau substansi yang dipikirkan.\
2. Rasional artinya menggunakan akal pikiran dan hukum-hukum logika tertentu yang masuk
akal. Pemikiran filsafat merupakan hasil kegiatan berpikir bukan wahyu atau wangsit. Jika
seorang filsuf mengemukakan buah pikiran yang rasional tentang suatu hal, maka orang lain
dapat memahaminya dengan meenggunakan pikirannya. Setiaporang yang melakukan
kegiatan berpikir tentang hal itu akan memperoleh hasil yang dicapai oleh filsuf itu.
3. Kritis artinya tidak begitu saja menerima atau menolak suatu informasi atau pengetahuan.
Pemahaman yang kritis menyertakan upaya klarifikasi setiap hasil pemikiran secara hati-hati,
melakukan pengecekan dan uji coba pemahaman, dan evaluasi yang menyeluruh terhadap
hasil pemikiran, baik pemikiran sendiri maupun pemikiran orang lain.
4. Sistematis artinya mengikuti satu aturan tertentu, memiliki alur proses yang jelas meliputi:
masukkan (input), pemrosesan input, dan hasil/keluaran (ouput) atau pendapat yang
merupakan uraian kefilsafatan itu harus saling berhubungan secara teratur dan terkandung
adanya maksud atau tujuan tertentu
5. Universal, artinya pemikiran filsafat menyangkut pengalaman umum manusia. Kekhususan
berpikir kefilsafatan menurut Jespers terletak pada aspek keumumannya.
6. Konseptual, artinya merupakan hasil generalisasi dan abstraksi pengalaman manusia.
Misalnya : Apakah Kebebasan itu ?
7. Koheren atau konsisten (runtut). Koheren artinya sesuai dengan kaidah-kaidah berpikir
logis.
8. Konsisten artinya tidak mengandung kontradiksi.
9. Komprehensif, artinya mencakup atau menyeluruh. Berpikir secara kefilsafatan merupakan
usaha untuk menjelaskan alam semesta secara keseluruhan.
10. Bebas, artinya sampai batas-batas yang luas, pemikiran filsafati boleh dikatakan merupakan
hasil pemikiran yang bebas, yakni bebas dari prasangka-prasangka sosial, historis, kultural,
bahkan relijius.
11. Bertanggungjawab, artinya seseorang yang berfilsafat adalah orang-orang yang berpikir
sekaligus bertanggungjawab terhadap hasil pemikirannya, paling tidak terhadap hati nuraninya
sendiri..
B. Pembagian Filsafat
Secara umum berdasarkan obyek kajiannya filsafat dibagi menjadi 3 (tiga) bidang yaitu 1) bagian
filsafat yang mengkaji tentang ada (being), 2) bidang filsafat yang mengkaji pengetahuan
(epistemologi dalam arti luas), dan 3) bidang filsafat yang mengkaji nilai-nilai yang menentukan apa
yang seharusnya dilakukan manusia (axiologi). Masing-masing bidang memiliki cabang-cabangnya.
3. Bidang filsafat yang mengkaji nilai-nilai yang menentukan apa yang seharusnya dilakukan
manusia (Axiologi)
Axiologi adalah bidang filsafat yang mencoba menjawab pertanyaan Apa yang dilakukan manusia dan
apa yang seharusnya dilakukan manusia? Di sini kita bicara tentang nilai-nilai (kata axiologi sendiri
dapat diartikan sebagai nilai-nilai yang menjadi sumbu perilaku penghayatan dan pengamalan
manusia). Axiologi mengkaji pengalaman dan penghayatan dari perilaku-perilaku manusia. Di
dalamnya dibahas tentang nilai apa yang berkaitan dengan kebaikan dan apakah itu perilaku baik.
Selain itu juga dibicara tentang nilai rasa manusia yang dikaitkan dengan keindahan. Cabang filsafat
yang termasuk dalam axiologi adalah etika dan estetika.
a. Etika
Etika adalah cabang filsafat yang mengkaji nilai apa yang berkaitan dengan kebaikan dan apakah itu
perilaku baik. Cabang ini meliputi apa dan bagaimana hidup yang baik, menjadi orang yang baik,
berbuat baik, dan menginginkan hal-hal yang baik dalam hidup.Kata etika menunjuk dua hal. Pertama:
disiplin ilmu yang mempelajari nilai-nilai dan pembenarannya. Kedua: pokok permasalahan disiplin ilmu
itu sendiri yaitu nilai-nilai hidup manusia yang sesungguhnya dan hukum-hukum tingkah laku manusia
(Solomon, 1987). Dalam etika kita juga mempelajari moralitas dan alasan-alasan yang lebih abstrak
mengapa manusia berbuat dan tidak berbuat sesuatu.. Etika bukanlah sekedar kumpulan perintah dan
larangan (harus dan jangan) tetapi merupakan satu sistem nilai-nilai dan prinsip-prinsip yang terpadu
secara teratur untuk mencapai masyarakat yang berbudaya dan hidup bahagia.
2. Estetika
Estetika mengkaji pengalaman dan penghayatan manusia dalam menanggapi apakah sesuatu itu
indah atau tidak. Jadi estetika membahas soal-soal keindahan yang dipersepsi oleh manusia.
Metode Filsafat
A. Pengantar
Kata metode berasal dari kata methodos. Methodos berarti penelitian, hipotesa ilmiah dan uraian
ilmiah. Maka dapat dikatakan bahwa metode adalah cara kerja yang sistematis yang digunakan untuk
memahami suatu objek yang dipermasalahkan atau realitas yang dianalisa.
Metode, sejak awal, merupakan instrumen utama dalam proses dan perkembangan ilmu pengetahuan
sejak dari awal suatu penelitian hingga mencapai pemahaman baru dan kebenaran ilmiah yang dapat
dipertanggungjawabkan. Metode yang benar dan sah akan menjamin kebenaran yang benar dan sah
pula. Maka tidak mengherankan apabila setiap cabang ilmu pengetahuan mengembangkan metodologi
yang sesuai dengan objek penelitiannya. Keharusan metodis adalah keniscayaan dalam pencapaian
pengetahuan. Tapi metodologi bisa berbeda bagi setiap bidang ilmu pengetahuan.
B. METODE FILSAFAT
Metode dan Objek Filsafat. Dalam filsafat, metode dan objek formal filsafat tidak terpisahkan. Masing-
masing aliran filsafat menentukan objek formalnya. Dengan demikian, aliran filsafat menentukan
metode dan logikanya sendiri. Setiap aliran filsafat mempunyai kemandirian dalam bidang ilmiahnya.
Kemandirian itu menyebabkan bahwa filsafat menjelaskan, mempertanggungjawabkan dan membela
metode yang dipakainya. Filsafat mengajukan claims of discovery of the correct method. Tapi di pihak
lain sering kali ada perbedaan mendasar antara apa yang benar-benar dikerjakan seorang filsuf, dan
tuntutan metodologisnya.
Pemakaian metode ilmiah umum. Meskipun filsafat mempunyai metodenya sendiri, dengan sendirinya
filsafat memakai unsur-unsur metode umum. Setiap paham filsafat menerapkan unsur metodologi
umum ini menurut caranya sendiri. Ada beberapa tekanan yang nampak dalam paham filsafat. Segi
subjektif: rasionalisme, pragmatisme, fenomenologi, positivisme, empirisme. Segi objektif: realisme,
idealisme, materialisme, monisme dan lainnya.
Metode-metode Filsafat. Dalam sejarah filsafat, banyak metode yang telah dikembangkan. Beberapa
metode filsafat yang sempat tercatat dalam sejarah filsafat adalah sebagai berikut.
Zeno mengikuti argumentasi Parmenides tentang monisme realitas. Argumentasi Zeno ini dipakai untuk
mempertahankan serangan dari ide pluralisme. Zeno mengatakan seandainya ada banyak titik yang
terdapat di antara titik A dan B, berarti kita harus mengakui adanya titik-titik yang tak terbatas di antara
A dan B. Jika titiknya tak terbatas, jarak tak terbatas antara A dan B tidak mungkin tercapai. Tapi jika
ada orang yang bisa berjalan dari A ke B, itu berarti jarak A dan B dapat dilintasi. Jika A ke B bisa
dilintasi berarti jarak A dan B terbatas. Jadi jika kita menarik hipotesis mula yang mengatakan bahwa
ada banyak titik yang terdapat di antara titik A dan titik B adalah salah. Maka, pluralitas adalah absurd,
mustahil dan tidak masuk akal.
Parmenides pernah mengatakan bahwa tidak ada ruang kosong, yang berarti bahwa yang ada tidak
berada dalam ada yang lain karena yang ada pasti mengisi seluruh tempat. Zeno melengkapi
argumentasi itu dengan pernyataan: jika ada ruang kosong, ruang kosong itu berada dalam ruang
kosong yang lain dan ruang kosong yang lain itu berada dalam ruang kosong yang lain pula dan
seterusnya sampai tak terbatas. Itu artinya akan ada senantiasa ruang dalam ruang. Oleh karena itu,
jika dikatakan bahwa yang ada berada dalam ada yang lain, jelas bahwa pernyataan itu tidak benar.
Yang benar adalah yang adatidak berada dalam ada yang lain. Tegasnya, ruang kosong itu tidak
mungkin berada dalam ruang kosong yang lain karena yang ada itu senantiasa mengisi seluruh tempat
sehingga hipotesis yang mengatakan bahwa ruang kosong itu ada adalah suatu yang mustahil.
Zeno menambahkan jika ruang kosong itu tidak ada, berarti gerak tidak ada. Ini karena jika dikatakan
bahwa gerak itu ada, berarti bahwa ruang kosong harus ada karena gerak dimungkinkan jika ada ruang
kosong. Zeno membuktikan hal itu dengan empat contoh terkemuka: dikotomi paradoks, Akhiles - si
pelari, Anak panah dan Benda yang bergerak bertentangan.
Metode Zeno ini memberikan nilai abadi bagi filsafat karena tidak ada pernyataan yang melahirkan
pertentangan yang dianggap benar. Hukum tidak ada pertentangan ini merupakan prinsip fundamental
dalam logika. Metode Zeno ini berguna dalam orasi dan perdebatan yang rasional dan logis. Zeno
adalah orang pertama yang juga menggunakan metode dialektik, dalam arti bahwa orang mencari
kebenaran lewat perdebatan dan bersoal secara sistematis.
Pemikiran Sokrates berpusat pada manusia. Refleksi filosofis Sokrates berangkat dari kehidupan
sehari-hari. Jadi, menurut Sokrates melihat bahwa kehidupan sehari-hari sebagai kebenaran objektif.
Sokrates dalam filsafatnya menolak subjektivisme dan relativisme aliran sofisme. Kebenaran objektif
yang dicapai bukan sekedar didapatkan dari pengetahuan teoritis tapi justru dari kebajikan manusia.
Filsafat Sokrates adalah upaya untuk mencapai kebajikan. Kebajikan harus nampak dan mengantar
manusia kepada kebahagiaan sejati. Jadi, pengetahuan dan kebenaran objektif selalu menghasilkan
tindakan yang benar secara objektif pula. Dan, disitulah kebahagiaan sejati dapat diraih.
Untuk mencapai objektivitas maka diperlukan metode yang sesuai. Sokrates percaya bahwa
pengetahuan akan kebenaran objektif itu tersimpan dalam jiwa setiap orang sejak masa
praeksistensinya. Oleh sebab itu, filsafat Sokrates tidsak mengajarkan kebenaran tapi hanya menolong
orang mencapai kebenaran. Filsafat menolong manusia melahirkan kebenaran seperti layaknya ibu
melahirkan bayinya. Maka, tugas filsafat adalah tugas untuk menjadi bidan yang menolong manusia
melahirkan kebenaran. Metode itu disebut dengan metode teknik kebidanan (maieutika tekhne).
Metode kebidanan ini diperoleh dengan percakapan (konversasi). Sokrates selalu berfilsafat justru
dalam percakapan. Lewat percakapan, Sokrates melihat ada kebenaran-kebenaran individual yang
bersifat universal. Sampai taraf tertentu, percakapan ini akan menghasilkan persepsi induktif yang
nantinya akan dikembangkan oleh filsuf yang lain.
Dalam dialog, Sokrates melibatkan diri secara aktif dalam memanfaatkan argumentasi rasional dengan
analisis yang jelas atas klasifikasi, keyakinan dan opini yang melahirkan kebenaran. Percakapan kritis
ala Sokrates bisa membimbing manusia untuk bisa memilah dan menemukan kebenaran yang
sesungguhnya.
Metode percakapan kritis yang dilakukan Sokrates juga disebut dengan metode dialektis. Sementara
yang lain, beranggapan bahwa metode dialektis bisa disebut dengan metode interogasi.
Inti logika adalah silogisme. Silogisme adalah alat dan mekanisme penalaran untuk menarik
kesimpulan yang benar berdasarkan premis-premis yang benar adalah bentuk formal penalaran
deduktif. Deduksi, menurut Aristoteles, adalah metode terbaik untuk memperoleh kesimpulan untuk
meraih pengetahuan dan kebenaran baru. Itulah metode silogisme deduktif.
Silogisme adalah bentuk formal deduksi. Silogisme mempunyai tiga proposisi. Proposisi pertama dan
kedua disebut premis. Proposisi ketiga disebut kesimpulan yang ditarik dari proposisi pertama dan
kedua. Tiap proposisi mempunyai dua term. Maka, setiap silogisme mempunyai enam term. Karena
setiap term dalam satu silogisme biasa disebut dua kali, maka dalam setiap silogisme hanya
mempunyai tiga term. Apabila proposisi yang ketiga disebut kesimpulan, maka dalam proposisi
yangketiga terdapat dua term dari ketiga term yang disebut tadi. Yang menjadi subjek konklusi disebut
term minor. Predikat kesimpulan disebut term mayor. Term yang terdapat pada dua proposisi disebut
term tengah.
Pola dan sistematika penalaran silogisme-deduktif adalah penetapan kebenaran universal kemudian
menjabarkannya pada hal yang lebih khusus.
Filsafat Plotinos tidak berhenti pada ajaran. Tapi ajaran Plotinos mengarah pada suatu cara hidup. Ini
berarti bahwa ajaran Plotinos tidak berhenti pada masalah benar tidaknya ajaran yang disampaikan
tapi lebih dari itu, ajaran Plotinos harus mengarah pada suatu sikap hidup yang tidak terikat pada hal
duniawi. Itulah sebabnya ajaran Plotinos sering disebut ajaran yang kontemplatif-mistis.
Thomas Aquinas pertama-tama mengolah filsafat Aristoteles. Thomas Aquinas mencoba mengkritisi
ajaran aristotelian dengan prinsip ajaran tersebut. Thomas menambah problematika filsafat aristotelian.
Demikian juga, Thomas memperlakukan filsafat Plato yang diwakili oleh pemikiran Agustinus.
Pemikiran Thomas Aquinas selalu mengarah bahwa pemikiran filosofis ditetapkan oleh evidensi. Inilah
sebabnya pemikiran Thomas tidak selalu bersifat kompilatif dan eklektisisme tapi mengarah pada
otonomi pemikiran. Thomas dalam epistemologinya menyebutkan bahwa semua pengertian manusia
selalu melalui pencerapan. Ini berarti bahwa pada suatu saat pemikiran Thomas juga bersifat
mengandalkan kenyataan inderawi. Landasan pemikiran Thomas selalu mengandaikan pengamatan
inderawi yang bersifat pasti dan sederhana. Maka sering pula pemikiran Thomas bersifat reflektif-
analitis. Pengamatan dan analisa fakta-fakta adalah dasar kuat bagi sintesa Thomas Aquinas.
8. METODE SKEPTISISME
Metode Skeptisisme ini dikembangkan oleh Rene Descartes. Dalam bidang matematika, Rene
Descartes memadukan prinsip geometri dan aritmatika dengan menggunakan prinsip rumus aljabar
yang kemudian dikenal dengan koordinat kartesian.
Awal filsafat Descartes adalah kebingungan. Filsafat begitu beragam dan dianggap Descartes sebagai
ilmu yang simpang siur serta penuh dengan kontradiksi. Dalam kebingungannya, Descartes merasa
harus berbuat lebih untuk penyempurnaan filsafat. Ia mencoba menyusun ilmu induk yang mengatasi
seluruh ilmu pengetahuan dengan metode ilmiah yang bersifat umum dan cocok digunakan dalam
segala ilmu. Logika Aristoteles tidak bermanfaat karena lewat logika itu tidak tercapai pengetahuan
yang baru. Descartes mencoba untuk melepaskan diri dari ajaran-ajaran tradisional agar ia bisa
memperbaharui filsafat dan ilmu pengetahuan.
Descartes menulis dua buku monumental, yaitu Discourse on Method dan Meditations. Dalam dua
buku itu, Descartes membentangkan prinsip-prinsip filsafatnya. Penjelasan Descartes dimulai dengan
prinsip keraguan atau kesangsian kartesian. Sebuah pengetahuan baru adalah pengetahuan yang
kebenarannya tidak dapat diragukan. Pengetahuan sejati dimulai dari kepastian. Titik tolak
pengetahuan yang benar adalah titik pengetahuan yang tidak dapat diragukan atau disangsikan. Dasar
pengetahuan adalah kepastian. Kepastian itu adalah kondisi tak bersyarat dan tidak tergantung dari hal
yang dipelajari dan dialami karena segala sesuatu yang dipelajari dan dialami sewaktu-waktu dapat
berubah. Perubahan menandakan ketidakpastian. Kepastian hal yang benar-benar pasti dan ada dapat
dicapai dengan meragukan dan menyangsikan segala sesuatu. Bila sesuatu itu bisa bertahan atas
segala keraguan radikal maka sesuatu itu bisa disebut dengan kebenaran yang pasti. Inilah yang
disebut dengan kebenaran filsafat yang pertama dan terutama.
Setelah meragukan segala sesuatu, Descartes menemukan ada satu hal yang tak dapat diragukan
lagi,saya yang sedang menyangsikan semua hal, sedang berpikir, dan jika saya sedang berpikir itu
berarti tidak dapat diragukan lagi bahwa saya pasti ada. Maka muncullah istilah Je Pense, donc Je
Suis. Descartes berpendapat manusia harus menjadi titik berangkat pemikiran yang rasional. Untuk
mencapai kebenaran, rasio harus berperan semaksimal mungkin. Maka dapat dikatakan pemikiran
Descartes sangat bersifat rasional. Analisa konseptual diidentifikasikan lebih dahulu elemen-elemen
sederhana. Analisa identifikasi tersebut disintesakan dengan suatu pemahaman struktur realitas
dengan memahami hubungan yang perlu di dalam elemen-elemen tersebut yang harus berdiri satu
terhadap yang lainnya. Pemanfaatan metode ini menghasilkan desakan ketidakpastian hingga ke batas
yang paling akhir dengan membuat keterangan atau fakta yang menopang keyakinan-keyakinan yang
telah diterima selama itu menjadi sasaran kritik yang paling tidak kenal kompromi dan menangguhkan
setiap pendapat kendati tidak masuk akal tapi sedikit banyak mengandung suatu yang rasional
meragukan.
9. METODE KRITIS-TRANSENDENTAL
Metode kritis transendental dikembangkan oleh Immanuel Kant. Filsafat Kant adalah titik tolak periode
baru bagi filsafat barat. Ia mensintesakan dan mengatasi aliran rasionalisme dan empirisme. Di satu
pihak, ia mempertahankan objektivitas, universalitas dan kepercayaan akan pengertian, dan di lain
pihak ia menerima bahwa pengertian bertolak dari fenomena dan tidak dapat melebihi batas-batasnya.
Filsafat Kant menekankan pengertian dan penilaian manusia, bukan dalam aspek psikologis melainkan
sebagai analisa kritis. Objektivitas menyesuaikan diri dengan pengertian manusia.
Metode Kant menerima pengertian tertentu yang objektif. Analisa kritis Kant dapat dibedakan dari
analisa psikologis yang empirik, analisa logis yang memperlihatkan unsur-unsur isi pengertian satu
sama lain, analisa ontologis yang meneliti realitas menurut adanya dan analisa kriteriologis yang hanya
menyelidiki relasi formal antara kegiatan subjek sejauh ia mengartikan dan menilai hal tertentu, dan
objek sejauh itu merupakan fenomena yang ditanggapi.
Metode Kant berpangkal dari keraguan atas kemungkinan dan kompetensi metafisika. Kant meletakkan
pengertian dalam dua bagian besar, yaitu pengertian analitis yang selalu apriori, pengertian sintetis
yang bersifat korelatif dan inspiratif. Metode Kant juga berpangkal pada pertanyaan metodis mengenai
dasar objektivitas pengertian. Dasar rasional objektivitas pengertian memakai dasar analisa
transendental. I. Kant menganalisa manakah syarat-syarat minimal yang dengan mutlak harus dipenuhi
dalam subjek, supaya memungkinkan objektivitas itu. Analisa itu disebut deduksi metafisis.
Langkah pengingkaran adalah usaha mengingkari langkah pertama. Langkah perlawanan itu mencari
bentuk alternatif yang bisa ditambahkan dalam pengertian yang dicapai dalam langkah pertama. Maka
terjadi proses dialektika pikiran. Konsep atau pengertian yang muncul dalam langkah kedua itu
diperlakukan menurut cara yang sama seperti langkah pertama. Setelah menemukan perlawanan
konseptual yang berhubungan dengan pengertian pertama maka pengertian dan konsep itu bergerak
dinamis.
Dinamika dalam langkah kedua tidak membawa pikiran kembali pada titik pertama. Langkah pertama
telah memuat langkah kedua secara implisit (dalam perlawanannya). Jadi dua pengertian konseptual
mulai dipikirkan bersama-sama, dan dengan demikian dua konsep itu saling mengisi, memperkaya,
memperbaharui. Kedua konsep itu menjadi satu konsep yang lebih padat. Itulah yang disebut langkah
sintesis.
Menurut Hegel, perlawanan adalah motor dialektika. Perlawanan adalah jalan atau tahap mutlak yang
harus dialami dulu untuk mencapai kebenaran.
Husserl mau menentukan metode filosofis ilmiah yang lepas dari prasangka metafisis. Metode itu harus
menjamin filsafat sebagai suatu sistem pengetahuan yang terjalin oleh alasan-alasan sedemikian rupa
sehingga setiap langkah berdasarkan langkah sebelumnya secara niscaya.
Pengembangan metode fenomenologis mengarah pada pemusatan perhatian kepada fenomena tanpa
praduga. Ungkapan terkenal proses tersebut adalah zu den sachen selbst (terarah kepada benda itu
sendiri). Dalam keterarahan ke benda itu, sesungguhnya realitas itu dibiarkan untuk mengungkapkan
hakikat dirinya sendiri.
Hakikat fenomena yang sesungguhnya berada di balik yang menampakkan diri. Pengamatan pertama
belum tentu sanggup membuat fenomena itu mengungkapkan hakikat dirinya. Karena itu, diperlukan
pengamatan kedua yang disebut sebagai pengamatan intuitif. Pengamatan intuitif ini melalui tiga tahap
reduksi, yaitu reduksi fenomenologis, eidetis dan transendental.
Metode yang digunakan para filsuf analitik berbeda satu dengan yang lain. Tapi yang jelas ada dua
aliran besar dalam metode analitika yang berkembang sampai sekarang. Kedua metode itu adalah
metode verifikasi dan klarifikasi.
Metode verifikasi dikembangkan oleh gerakan positivisme logis. Salah satu tokoh verifikasi adalah A. Y.
Ayer (1910-1970). Ayer mencoba untuk mengeliminasi metafisika berdasarkan prinsip verifikasi. Prinsip
verifikasi Ayer menyatakan bahwa pernyataan benar-benar penuh apabila pernyataan itu dapat
diverifikasikan secara sintetik oleh satu atau lebih dari panca indera manusia. Ayer membagi verifikasi
dalam dua dasar, yaitu verifikasi kuat dan verifikasi lemah.
Metode klarifikasi bersumber pada prinsip-prinsip analisa yang dikembangkan oleh Ludwig
Wittgenstein. Wittgenstein yakin bahwa kekacauan dalam filsafat bisa diatasi dengan analisis bahasa.
Wittgenstein berpendapat bahwa kalau ada pertanyaan yang diajukan maka harus ada jawaban yang
tersedia. Tapi tidak semua pertanyaan mempunyai makna. Agar tidak terjebak dalam persoalan filosofis
yang tak bermakna maka harus ada peraturan-peraturan yang mendasar dalam bahasa yang
terungkap dalam "permainan bahasa". Wittgenstein menyatakan bahwa manusia harus mendengar apa
arti yang terkandung dalam suatu ungkapan bahasa. Maka manusia harus menganalisis bentuk hidup
hingga dasar terdalam setiap permainan bahasa. Makna ditentukan oleh kata yang digunakan dalam
konteksnya. Lewat analisa bahasa, seseorang dapat membuat jelas arti bahasa sebagaimana yang
dimaksudkan oleh yang menggunakan bahasa itu. Metode klarifikasi tidak memuat pengandaian
filosofis, epistemologis atau metafisis. Analisis bahasa didasarkan semata-mata pada penelitian
bahasa secara logis tanpa mendeduksikan sesuatu sehingga pada prinsipnya hanya membuat jelas
apa yang dikatakan lewat suatu ungkapan bahasa. "...bahwa sesuatu metode dipilih
mempertimbangkan kesesuaiannya dengan objek studi; kecenderungan untuk menempuh jalan
sebaliknya sesungguhnya keliru. Catatan ini ditambahkan di sini khususnya karena adanya
kecenderungan yang kuat untuk mengagungkan kuantifikasi terhadap berbagai gejala yang
sesungguhnya sukar diukur. Lih. Fuad Hasan dan Koentjaraningrat, "Beberapa Asas Metodologi
Ilmiah", Metode-Metode Penelitian Masyarakat, redaktur, Koentjaraningrat (Jakarta: PT Gramedia,
1981), hal. 16-17.
Ontologi. Objek yang menjadi kajian dalam ontologi tersebut adalah realitas yang ada. Dan dalam
ontologi adalah studi tentang yang ada yang universal, dengan mencari pemikiran semesta universal.
Ontologi berusaha mencari inti yang termuat dalam setiap keyataan atau menjelaskan yang ada dalam
setiap bentuknya.dalam ontologi merupakan studi yang terdalam dari setiap hakekat kenyataan, seperti
dapatkah manusia sunguh-sungguh memilih, apakah ada Tuhan, apakah nyata dalam hakekat material
ataukah spiritual, apakah jiwa sungguh dapat dibedakan dengan badan atau secara singkat dikatakan
bahwa ontology filsafat membicarakan hakikat, obyek, dan struktur filsafat.
Studi tentang yang ada, pada dataran studi filsafat pada umumnya dilakukan oleh filsafat metaphisika.
Istilah ontologi banyak digunakan ketika kita membahas yang ada dlaam konteks filsafat ilmu. Ontologi
membahas tentang yang ada, yang tidak terikat oleh satu perwujudan tertentu. Ontologi membahas
tentang yang ada yang universal, menampilkan pemikiran semesta universal. Ontologi berupaya
mencari inti yang termuat dalam setiap kenyataan, atau dalam rumusan Lorens Bagus; menjelaskan
yang ada yang meliputi semua realitas dalam semua bentuknya.
Bagi pendekatan kualitatif realitas akan tampil menjadi aliran-aliran materialisme, idealisme,
naturalisme, atau hylomorphisme. Yang didukung oleh empat teori dasar, yaitu (a) Mekanisme, yang
mengatakan bahwa segala sesuatu berproses secara mekanik, (b) Teleologi, yang menyatakan bahwa
seluruh kejadian alam raya berproses menuju suatu tujuan, yaitu Tuhan, (c) Determinisme, yang
enyatakan bahwa segala kejadian yang terjadi di ala mini berproses melalui suatu ketentuan yang telah
ditetapkan sebelumnya, baik leh hukum alam maupun oleh Tuhan. (d) Indeterminisme, yang
menyatakan bahwa segala kejadian yang terjadi di ala mini berlangsung secara bebas, tanpa kendali
tertentu dari Tuhan atau kekuatan lainnya.
Sedangkan metode pembuktian dalam ontologi oleh Laurens Bagus di bedakan menjadi dua, yaitu :
pembuktian a priori dan pembuktian a posteriori. Pembuktian a priori disusun dengan meletakkan term
tengah berada lebih dahulu dari predikat; dan pada kesimpulan term tengah menjadi sebab dari
kebenaran kesimpulan.
Contoh : Sesuatu yang bersifat lahirah itu fana (Tt-P)
Badan itu sesuatu yang lahiri (S-Tt)
Jadi, badan itu fana (S-P)
Sedangkan pembuktian a posteriori secara ontologi, term tengah ada sesudah realitas kesimpulan; dan
term tengah menunjukkan akibat realitas yang dinyatakan dalam kesimpulan hanya saja cara
pembuktian a posterioris disusun dengan tata silogistik sebagai berikut:
Contoh : Gigi geligi itu gigi geligi rahang dinasaurus (Tt-S)
Gigi geligi itu gigi geligi pemakan tumbuhan (Tt-P)
Jadi, Dinausaurus itu pemakan tumbuhan (S-P)
Keterangan :
Tt : Term tengah
P : Predikat
S : Subjek
Bandingkan tata silogistik pembuktian a priori dengan a posteriori. Yang apriori di berangkatkan dari
term tengah di hubungkan dengan predikat dan term tengahj menjadi sebab dari kebenaran
kesimpulan; sedangkan yang a posteriori di berangkatkan dari term tengah di hubungkan dengan
subjek, term tengah menjadi akibat dari realitas dalam kesimpulan.
Secara umum a priori dikenal sebagai cara berfikir dan cara pembuktan deduktif, sedang empiric
sebagai konsekuensi. Sedangkan a posteriori dikenal sebagai cara berfikir dan cara membuat
kesimpulan yang mendasarkan pada empiric, tapi dari tata silogistik pembuktian a posteriori tidak
identik dengan pembuktian induktif.
Epistemologi
KONSEP DASAR
Cabang ilmu filsafat yang secara khusus menggeluti pertanyaan-pertanyaan yang bersifat menyeluruh
dan mendasar tentang pengetahuan disebut Epistemologi. Istilah epistemologis sendiri berasal dari
kata Yunani episteme=pengetahuan dan logis=perkataan, pikiran, ilmu. Kataepisteme dalam bahasa
Yunani berasal dari kata kerja epistamai, artinya mendudukan, menempatkan, atau meletakkan. Maka,
harfiah episteme bearti pengetahuan sebaya upaya intelektual untuk menempatkan sesuatu dalam
kedudukan seteptnya. Selain kata episteme, untuk kata pengetahuan dalam bahasa Yunani juga
dipakai kata gnosis, maka istilah epistemologi dalam sejarah pernah juga dipakai katagnosis, maka
istilah epistemology dalam sejarah pernah juga disebut gnoseologi. Sebagai kajian kritis filosofis
yang membuat telaah kritis dan analitis tentang dasar-dasar teoritis pengetahuan, epistemology
kadang juga disebut teori pengetahuan [theory of knowledge; erkentnistheorie]
Epistemologi juga membahas bagaimana menilai kelebihan dan kelemahan suatu model epistemologik
beserta tolok ukurnya bagi pengetahuan (ilmiah), seperti teori koherensi, korespondesi pragmatis, dan
teori intersubjektif. Pengetahuan merupakan daerah persinggungan antara benar dan dipercaya.
Pengetahuan bisa diperoleh dari akal sehat yaitu melalui pengalaman secara tidak sengaja yang
bersifat sporadis dan kebetulan sehingga cenderung bersifat kebiasaan dan pengulangan, cenderung
bersifat kabur dan samar dan karenanya merupakan pengetahuan yang tidak teruji. Ilmu pengetahuan
(sains) diperoleh berdasarkan analisis dengan langkah-langkah yang sistematis (metode ilmiah)
menggunakan nalar yang logis. Sarana berpikir ilmiah adalah bahasa, matematika dan statistika.
Metode ilmiah mengga-bungkan cara berpikir deduktif dan induktif sehingga menjadi jembatan penghu-
bung antara penjelasan teoritis dengan pembuktian yang dilakukan secara empiris. Secara rasional,
ilmu menyusun pengetahuannya secara konsisten dan kumulatif, sedangkan secara empiris ilmu
memisahkan pengetahuan yang sesuai dengan fakta dari yang tidak.
MAKSUD KAJIAN
Epistemologi bermaksud mengkaji dan mencoba menemukan ciri-ciri umum dan hakiki dari
pengetahuan manusia. Bagaimana pengetahuan itu pada dasarnya diperoleh dan diuji kebenarnnya?
Manakah ruang lingkup atau batas-batas kemampuan manusia untuk mengetahui ?
Epistemologi juga bermaksud mengkaji pengandaian-pengandaian dan syarat-syarat logis yang
mendasari dimungkinkannya pengetahuan itu. Epistemologi juga mencoba memberi
pertanggungjawaban rasional terhadap klaim kebenaran dan obyektivitasnya.
Dari maksud itu, maka Epistemologi dapat dinyatakan suatu disiplin ilmu yang bersifat evaluatif,
normative, dan kritis. Evaluatif berarti bersifat menilai. Epsitemologi menilai apakah keyakinan, sikap,
pernyataan pendapat, teori pengatahuan dapat dibenarkan, diajamin kebenarannya, atau memiliki
dasar yang dapat dipertanggungjawabkan secara nalar.
2. Pertimbangan kebudayaan
Mempelajari epistemology diperlukan pertama-tama untuk mengungkap pandangan epistemologis
yang sesungguhnya ada dan terkandung dalam setiap kebudayaan. Setiap kebudayaan, entah secara
implicit ataupun ekplisit, entah hanya lisan atau tulisan , entah secara sistematis ataupun tidak, selalu
memuat pandangan tentang pengetahuan.
3. Pertimbangan pendidikan.
Berdasarkan pertimbangan pendidikan epistemology perlu dipelajarai karena manfaatnya untuk bidang
pendidikan. Pendidikan sebagai usaha sadar untuk membantu peserta didik mengembangkan
pandangan hidup, sikap hidup dan ketrampilan hidup, tidak dapat lepas dari penguasaan pengetahuan.
Proses Belajar Mengajar dalam konteks pendidikan selalau memuat unsure penyampaian
pengetahuan, ketrampilan, dan nilai-nilai.
SUMBER PENGETAHUAN
1. Indera
Indera digunakan untuk berhubungan dengan dunia fisik atau lingkungan di sekitar kita. Indera ada
bermacam-macam; yang paling pokok ada lima (panca indera), yakni indera penglihatan (mata) yang
memungkinkan kita mengetahui warna, bentuk, dan ukuran suatu benda; indera pendengaran (telinga)
yang membuat kita membedakan macam-macam suara; indera penciuman (hidung) untuk
membedakan bermacam bau-bauan; indera perasa (lidah) yang membuat kita bisa membedakan
makanan enak dan tidak enak; dan indera peraba (kulit) yang memungkinkan kita mengetahui suhu
lingkungan dan kontur suatu benda.
Pengetahuan lewat indera disebut juga pengalaman, sifatnya empiris dan terukur. Kecenderungan
yang berlebih kepada alat indera sebagai sumber pengetahuan yang utama, atau bahkan satu-satunya
sumber pengetahuan, menghasilkan aliran yang disebut empirisisme, dengan pelopornya John Locke
(1632-1714) dan David Hume dari Inggris. Mengenai kesahihan pengetahuan jenis ini, seorang
empirisis sejati akan mengatakan indera adalah satu-satunya sumber pengetahuan yang dapat
dipercaya, dan pengetahuan inderawi adalah satu-satunya pengetahuan yang benar.
Tetapi mengandalkan pengetahuan semata-mata kepada indera jelas tidak mencukupi. Dalam banyak
kasus, penangkapan indera seringkali tidak sesuai dengan yang sebenarnya. Misalnya pensil yang
dimasukkan ke dalam air terlihat bengkok, padahal sebelumnya lurus. Benda yang jauh terlihat lebih
kecil, padahal ukuran sebenarnya lebih besar. Bunyi yang terlalu lemah atau terlalu keras tidak bisa
kita dengar. Belum lagi kalau alat indera kita bermasalah, sedang sakit atau sudah rusak, maka kian
sulitlah kita mengandalkan indera untuk mendapatkan pengetahuan yang benar.
Akal
Akal atau rasio merupakan fungsi dari organ yang secara fisik bertempat di dalam kepala, yakni otak.
Akal mampu menambal kekurangan yang ada pada indera. Akallah yang bisa memastikan bahwa
pensil dalam air itu tetap lurus, dan bentuk bulan tetap bulat walaupun tampaknya sabit. Keunggulan
akal yang paling utama adalah kemampuannya menangkap esensi atau hakikat dari sesuatu, tanpa
terikat pada fakta-fakta khusus. Akal bisa mengetahui hakekat umum dari kucing, tanpa harus
mengaitkannya dengan kucing tertentu yang ada di rumah tetangganya, kucing hitam, kucing garong,
atau kucing-kucingan.
Akal mengetahui sesuatu tidak secara langsung, melainkan lewat kategori-kategori atau ide yang
inheren dalam akal dan diyakini bersifat bawaan. Ketika kita memikirkan sesuatu, penangkapan akal
atas sesuatu itu selalu sudah dibingkai oleh kategori. Kategori-kategori itu antara lain substansi,
kuantitas, kualitas, relasi, waktu, tempat, dan keadaan.
Pengetahuan yang diperoleh dengan akal bersifat rasional, logis, atau masuk akal. Pengutamaan akal
di atas sumber-sumber pengetahuan lainnya, atau keyakinan bahwa akal adalah satu-satunya sumber
pengetahuan yang benar, disebut aliran rasionalisme, dengan pelopornya Rene Descartes (1596-1650)
dari Prancis. Seorang rasionalis umumnya mencela pengetahuan yang diperoleh lewat indera sebagai
semu, palsu, dan menipu.
Intuisi disebut juga ilham atau inspirasi. Meskipun pengetahuan intuisi hadir begitu saja secara tiba-
tiba, namun tampaknya ia tidak jatuh ke sembarang orang, melainkan hanya kepada orang yang
sebelumnya sudah berpikir keras mengenai suatu masalah. Ketika seseorang sudah memaksimalkan
daya pikirnya dan mengalami kemacetan, lalu ia mengistirahatkan pikirannya dengan tidur atau
bersantai, pada saat itulah intuisi berkemungkinan muncul. Oleh karena itu intuisi sering disebut supra-
rasional atau suatu kemampuan yang berada di atas rasio, dan hanya berfungsi jika rasio sudah
digunakan secara maksimal namun menemui jalan buntu.
Hati bekerja pada wilayah yang tidak bisa dijangkau oleh akal, yakni pengalaman emosional dan
spiritual. Kelemahan akal ialah terpagari oleh kategori-kategori sehingga hal ini, menurut Immanuel
Kant (1724-1804), membuat akal tidak pernah bisa sampai pada pengetahuan langsung tentang
sesuatu sebagaimana adanya (das ding an sich) atau noumena. Akal hanya bisa menangkap yang
tampak dari benda itu (fenoumena), sementara hati bisa mengalami sesuatu secara langsung tanpa
terhalang oleh apapun, tanpa ada jarak antara subjek dan objek.
Kecenderungan akal untuk selalu melakukan generalisasi (meng-umumkan) dan spatialisasi (meruang-
ruangkan) membuatnya tidak akan mengerti keunikan-keunikan dari kejadian sehari-hari. Hati dapat
memahami pengalaman-pengalaman khusus, misalnya pengalaman eksistensial, yakni pengalaman riil
manusia seperti yang dirasakan langsung, bukan lewat konsepsi akal. Akal tidak bisa mengetahui rasa
cinta, hatilah yang merasakannya. Bagi akal, satu jam di rutan salemba dan satu jam di pantai carita
adalah sama, tapi bagi orang yang mengalaminya bisa sangat berbeda. Hati juga bisa merasakan
pengalaman religius, berhubungan dengan Tuhan atau makhluk-makhluk gaib lainnya, dan juga
pengalaman menyatu dengan alam.
Pengutamaan hati sebagai sumber pengetahuan yang paling bisa dipercaya dibanding sumber lainnya
disebut intuisionisme. Mayoritas filosof Muslim memercayai kelebihan hati atas akal. Puncaknya adalah
Suhrawardi al-Maqtul (1153-1192) yang mengembangkan mazhab isyraqi (iluminasionisme), dan
diteruskan oleh Mulla Shadra (w.1631). Di Barat, intuisionisme dikembangkan oleh Henry Bergson.
Selain itu, ada sumber pengetahuan lain yang disebut wahyu. Wahyu adalah pemberitahuan langsung
dari Tuhan kepada manusia dan mewujudkan dirinya dalam kitab suci agama. Namun sebagian pemikir
Muslim ada yang menyamakan wahyu dengan intuisi, dalam pengertian wahyu sebagai jenis intuisi
pada tingkat yang paling tinggi, dan hanya nabi yang bisa memerolehnya.
Dalam tradisi filsafat Barat, pertentangan keras terjadi antara aliran empirisisme dan rasionalisme.
Hingga awal abad ke-20, empirisisme masih memegang kendali dengan kuatnya kecenderungan
positivisme di kalangan ilmuwan Barat. Sedangkan dalam tradisi filsafat Islam, pertentangan kuat
terjadi antara aliran rasionalisme dan intuisionisme (iluminasionisme, irfani), dengan kemenangan
pada aliran yang kedua. Dalam kisah perjalanan Nabi Khidir a.s. dan Musa a.s., penerimaan Musa atas
tindakan-tindakan Khidir yang mulanya ia pertanyakan dianggap sebagai kemenangan intuisionisme.
Penilaian positif umumnya para filosof Muslim atas intuisi ini kemungkinan besar dimaksudkan untuk
memberikan status ontologis yang kuat pada wahyu, sebagai sumber pengetahuan yang lebih sahih
daripada rasio.
Aksiologi
Aksiologi secara mendalam membedakan antara ada (being [keberadaan]) dengan nilai (value). Hal ini
dibedakan karena nilai tidak akan ada tanpa ada yang mengemban. Kalau
dirumuskan Ada = Sesuatu +Nilai. Oleh karena itu sifat Nilai selalu tergantung pada pengembannya
yaitu Sesuatu. Hal ini berarti nilaibersifat parasitis. Sementara itu Cabang filsafat yang termasuk
dalam axiologi adalah etika dan estetika.
1. Etika
Etika adalah cabang filsafat yang mengkaji nilai apa yang berkaitan dengan kebaikan dan apakah itu
perilaku baik. Cabang ini meliputi apa dan bagaimana hidup yang baik, menjadi orang yang baik,
berbuat baik, dan menginginkan hal-hal yang baik dalam hidup.Kata etika menunjuk dua hal. Pertama:
disiplin ilmu yang mempelajari nilai-nilai dan pembenarannya. Kedua: pokok permasalahan disiplin ilmu
itu sendiri yaitu nilai-nilai hidup manusia yang sesungguhnya dan hukum-hukum tingkah laku manusia
(Solomon, 1987). Dalam etika kita juga mempelajari moralitas dan alasan-alasan yang lebih abstrak
mengapa manusia berbuat dan tidak berbuat sesuatu.. Etika bukanlah sekedar kumpulan perintah dan
larangan (harus dan jangan) tetapi merupakan satu sistem nilai-nilai dan prinsip-prinsip yang terpadu
secara teratur untuk mencapai masyarakat yang berbudaya dan hidup bahagia.
2. Estetika
Estetika mengkaji pengalaman dan penghayatan manusia dalam menanggapi apakah sesuatu itu
indah atau tidak. Jadi estetika membahas soal-soal keindahan yang dipersepsi oleh manusia.
Filosof berikutnya yang perlu diperkenalkan adalah Pythagoras. Ajaran-ajarannya yang pokok adalah
pertama dikatakan bahwa jiwa tidak dapat mati. Sesudah kematian manusia, jiwa pindah ke dalam
hewan, dan setelah hewan itu mati jiwa itu pindah lagi dan seterusnya. Tetapi dengan mensucikan
dirinya, jiwa dapat selamat dari reinkarnasi itu. Kedua dari penemuannya terhadap interval-interval
utama dari tangga nada yang diekspresikan dengan perbandingan dengan bilangan-bilangan,
Pythagoras menyatakan bahwa suatu gejala fisis dikusai oleh hukum matematis. Bahkan katanya
segala-galanya adalah bilangan. Ketiga mengenai kosmos, Pythagoras menyatakan untuk pertama
kalinya, bahwa jagat raya bukanlah bumi melainkan Hestia (Api), sebagaimana perapian merupakan
pusat dari sebuah rumah.
Pada jaman Pythagoras ada Herakleitos Di kota Ephesos dan menyatakan bahwa api sebagai dasar
segala sesuatu. Api adalah lambang perubahan, karena api menyebabkan kayu atau bahan apa saja
berubah menjadi abu sementara apinya sendiri tetap menjadi api. Herakleitos juga berpandangan
bahwa di dalam dunia alamiah tidak sesuatupun yang tetap. Segala sesuatu yang ada sedang menjadi.
Pernyataannya yang masyhur "Pantarhei kai uden menei" yang artinya semuanya mengalir dan tidak
ada sesuatupun yang tinggal tetap. Filosof pertama yang disebut sebagai peletak dasar metafisika
adalah Parmenides. Parmenides berpendapat bahwa yang ada ada, yang tidak ada tidak ada.
Konsekuensi dari pernyataan ini adalah yang ada 1) satu dan tidak terbagi, 2) kekal, tidak mungkin ada
perubahan, 3) sempurna, tidak bisa ditambah atau diambil darinya, 4) mengisi segala tempat,
akibatnya tidak mungkin ada gerak sebagaimana klaim Herakleitos.
Para filsuf tersebut dikenal sebagai filsuf monisme yaitu pendirian bahwa realitas seluruhnya bersifat
satu karena terdiri dari satu unsur saja. Para Filsuf berikut ini dikenal sebagai filsuf pluralis, karena
pandangannya yang menyatakan bahwa realitas terdiri dari banyak unsur. Empedokles menyatakan
bahwa realitas terdiri dari empat rizomata (akar) yaitu api, udara, tanah dan air. Perubahan-perubahan
yang terjadi di alam dikendalikan oleh dua prinsip yaitu cinta (Philotes) dan benci (Neikos). Empedokles
juga menerangkan bahwa pengenalan (manusia) berdasarkan prinsip yang sama mengenal yang
sama. Pruralis yang berikutnya adalah Anaxagoras, yang mengatakan bahwa realitas adalah terdiri dari
sejumlah tak terhingga spermata (benih). Berbeda dari Empedokles yang mengatakan bahwa setiap
unsur hanya memiliki kualitasnya sendiri seperti api adalah panas dan air adalah basah, Anaxagoras
mengatakan bahwa segalanya terdapat dalam segalanya. Karena itu rambut dan kuku bisa tumbuh
dari daging.
Perubahan yang membuat benih-benih menjadi kosmos hanya berupa satu prinsip yaitu Nus yang
berarti roh atau rasio. Nus tidak tercampur dalam benih-benih dan Nus mengenal serta mengusai
segala sesuatu. Karena itu, Anaxagoras dikatakan sebagai filsuf pertama yang membedakan antara
"yang ruhani" dan "yang jasmani". Pluralis Leukippos dan Demokritos juga disebut sebagai filsuf
atomis. Atomisme mengatakan bahwa realitas terdiri dari banyak unsur yang tak dapat dibagi-bagi lagi,
karenanya unsur-unsur terakhir ini disebut atomos. Lebih lanjut dikatakan bahwa atom-atom dibedakan
melalui tiga cara: (seperti A dan N), urutannya (seperti AN dan NA) dan posisinya (seperti N dan Z).
Jumlah atom tidak berhingga dan tidak mempunyai kualitas, sebagaimana pandangan Parmenides
atom-atom tidak dijadikan dan kekal.
Tetapi Leukippos dan Demokritos menerima ruang kosong sehingga memungkinkan adanya gerak.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa realitas seluruhnya terdiri dari dua hal: yang penuh yaitu
atom-atom dan yang kosong. Menurut Demokritos jiwa juga terdiri dari atom-atom. Menurutnya proses
pengenalan manusia tidak lain sebagai interaksi antar atom. Setiap benda mengeluarkan eidola
(gambaran-gambaran kecil yang terdiri dari atom-atom dan berbentuk sama seperti benda itu). Eidola
ini masuk ke dalam panca indra dan disalurkan kedalam jiwa yang juga terdiri dari atom-atom eidola.
Kualitas-kualitas yang manis, panas, dingin dan sebagainya, semua hanya berkuantitatif belaka. Atom
jiwa bersentuhan dengan atom licin menyebabkan rasa manis, persentuhan dengan atom kesat
menimbulkan rasa pahit sedangkan sentuhan dengan atom berkecepatan tinggi menyebabkan rasa
panas, dan seterusnya
Klasifikasi Filsafat
13112011
Dalam membangun tradisi filsafat banyak orang mengajukan pertanyaan yang sama , menanggapi, dan
meneruskan karya-karya pendahulunya sesuai dengan latar belakang budaya, bahasa,
bahkan agama tempat tradisi filsafat itu dibangun.
Oleh karena itu, filsafat biasa diklasifikasikan menurut daerah geografis dan latar belakang budayanya.
Dewasa ini filsafat biasa dibagi menjadi dua kategori besar menurut wilayah dan menurut latar belakang
agama.
Menurut wilayah, filsafat bisa dibagi menjadi: filsafat barat, filsafat timur, dan filsafat Timur Tengah.
Sementara, menurut latar belakang agama, filsafat dibagi menjadi: filsafat Islam, filsafat Budha,
filsafat Hindu, dan filsafat Kristen.
Filsafat Barat
Filsafat Barat adalah ilmu yang biasa dipelajari secara akademis di universitas-universitas di Eropa dan
daerah-daerah jajahan mereka. Filsafat ini berkembang dari tradisi filsafat orang Yunani kuno.
Tokoh utama filsafat Barat antara lain Plato, Thomas Aquinas, Rne Descartes, Immanuel Kant, Georg
Hegel, Arthur Schopenhauer, Karl Heinrich Marx, Friedrich Nietzsche, dan Jean-Paul Sartre.
Dalam tradisi filsafat Barat, dikenal adanya pembidangan dalam filsafat yang menyangkut tema tertentu.
Metafisika mengkaji hakikat segala yang ada. Dalam bidang ini, hakikat yang ada dan
keberadaan (eksistensi) secara umum dikaji secara khusus dalam Ontologi. Adapun hakikat manusia dan
alam semesta dibahas dalam Kosmologi.
Epistemologi mengkaji tentang hakikat dan wilayah pengetahuan (episteme secara harafiah
berarti pengetahuan). Epistemologi membahas berbagai hal tentang pengetahuan seperti batas,
sumber, serta kebenaran suatu pengetahuan.
Aksiologi membahas masalah nilai atau norma yang berlaku pada kehidupan manusia. Dari
aksiologi lahirlah dua cabang filsafat yang membahas aspek kualitas hidup manusia: etika dan estetika.
Etika, atau filsafat moral, membahas tentang bagaimana seharusnya manusia bertindak dan
mempertanyakan bagaimana kebenaran dari dasar tindakan itu dapat diketahui. Beberapa topik yang
dibahas di sini adalah soal kebaikan, kebenaran, tanggung jawab, suara hati, dan sebagainya.
Estetika membahas mengenai keindahan dan implikasinya pada kehidupan. Dari estetika
lahirlah berbagai macam teori mengenai kesenian atau aspek seni dari berbagai macam hasil budaya.
Filsafat Timur
Filsafat Timur adalah tradisi falsafi yang terutama berkembang di Asia, khususnya di India, Republik
Rakyat Cina dan daerah-daerah lain yang pernah dipengaruhi budayanya. Sebuah ciri khas Filsafat Timur
ialah dekatnya hubungan filsafat dengan agama. Meskipun hal ini kurang lebih juga bisa dikatakan untuk
Filsafat Barat, terutama di Abad Pertengahan, tetapi di Dunia Barat filsafat an sich masih lebih menonjol
daripada agama.
Nama-nama beberapa filsuf Timur, antara lain Sidharta Budha Gautama/Budha, Bodhidharma, Lao
Tse, Kong Hu Cu, Zhuang Zi dan juga Mao Zedong.
Lalu mereka menterjemahkan dan memberikan komentar terhadap karya-karya Yunani. Bahkan
ketika Eropa setalah runtuhnya Kekaisaran Romawi masuk ke Abad Pertengahandan melupakan karya-
karya klasik Yunani, para filsuf Timur Tengah ini mempelajari karya-karya yang sama dan bahkan
terjemahan mereka dipelajari lagi oleh orang-orang Eropa.
Nama-nama beberapa filsuf Timur Tengah adalah Ibnu Sina, Ibnu Tufail, Kahlil Gibrandan Averroes.
Filsafat Islam
Filsafat Islam merupakan filsafat yang seluruh cendekianya adalah muslim. Ada sejumlah perbedaan
besar antara filsafat Islam dengan filsafat lain. Pertama, meski semula filsuf-filsuf muslim klasik menggali
kembali karya filsafat Yunani terutama Aristoteles dan Plotinus, namun kemudian menyesuaikannya
dengan ajaran Islam.
Kedua, Islam adalah agama tauhid. Maka, bila dalam filsafat lain masih mencari Tuhan, dalam filsafat
Islam justru Tuhan sudah ditemukan, dalam arti bukan berarti sudah usang dan tidak dibahas lagi,
namun filsuf islam lebih memusatkan perhatiannya kepada manusia dan alam, karena sebagaimana kita
ketahui, pembahasan Tuhan hanya menjadi sebuah pembahasan yang tak pernah ada finalnya.
Filsafat Kristen
Filsafat Kristen mulanya disusun oleh para bapa gereja untuk menghadapi tantangan zaman di abad
pertengahan. Saat itu dunia barat yang Kristen tengah berada dalam zaman kegelapan ( dark age).
Masyarakat mulai mempertanyakan kembali kepercayaan agamanya.
Filsafat Kristen banyak berkutat pada masalah ontologis dan filsafat ketuhanan. Hampir semua filsuf
Kristen adalah teologian atau ahli masalah agama. Sebagai contoh: Santo Thomas Aquinas dan Santo
Bonaventura