Anda di halaman 1dari 19

BAB I

PENDAHULUAN
I.I.LATARBELAKANG MASALAH

Kajian epistemologi Islam penting untuk dilakukan mengingat saat ini sudah menyebar
apa yang disebut oleh Syamsuddin Arif, “kanker epistemologis”. Kanker jenis ini telah
melumpuhkan kemampuan menilai (critical power) serta mengakibatkan kegagalan akal
(intellectual failure), yang pada gilirannya mengerogoti keyakinan dan keimanan, dan
akhirnya menyebabkan kekufuran. Gejala dari orang yang mengidap kanker ini, di
antaranya suka berkata: “Di dunia ini, kita tidak pernah tahu Kebenaran Absolut. Yang
kita tahu hanyalah kebenaran dengan “k” kecil.” “Kebenaran itu relatif.” “Agama itu
mutlak, sedang pemikiran keagamaan relatif.” “Semua agama benar dalam posisi dan
porsinya masing-masing.” Dll.Maka dari itu perlu kita ketahui pencarian kebenaran itu
ada konseb-konsebnya sehingga seseorang bisa di ketakan mencari
kebenaran(epestimulogi) yang hakiki,karana pencarian kebenaran tidak semuanya di
ketakan mencari kebenaran,karana ada sistemnya sebagai berikut.

II.I.RUMUSAN MASALAH

A. Apa yang di maksud Empirisme vs Rasionalisme?

B. Apa yang di maksud kritisisme?

C. Apa yang di maksud fenomenologi?

D. Apa yang di maksud epistimolugi islam itu?

o .bayani
o .burhani

o .irfani

1
BAB II
EPISTEMOLOGI (Bagaimana cara mendapatkannya)

A. Rasionalisme VS Empirisme
Rasionalisme: Konsep ini mengacu pada sebuah aliran filsafat modern yang
berpandangan bahwa pengetahuan kita tidak didasarkan pada pengalaman empiris,
melainkan pada asas-asas apriori (mendahului pengalaman) yang terdapat di dalam rasio
kita.
Maka itu, rasionalisme bertolak dari aksioma-aksioma, prinsip-prinsip atau definisi-
definisi umum lebih dahulu sebelum menjelaskan kenyataan. Kaum rasionalis menganut
teori kebenaran sebagai koherensi, yakni pandangan bahwa kebenaran itu dicapai lewat
koherensi asas-asas logis. Sesuatu itu benar, jika ada persesuaian internal dengan asas-
asas berpikir logis. Tokoh-tokoh rasionalisme atl: Descartes,Spinoza,Leibni1z.
Empirisme : istilah ini mengacu pada sebuah aliran dalam filsafat modern yang
berpandangan bahwa pengetahuan kita berasal dari pengalaman (emperia), khususnya
merupakan hasil observasi inderawi. Dengan kata lain, pengetahuan itu tidak bersifat a
priori, melainkan a posteriori (mengikuti pengalaman).
Pandangan ini mendasarkan diri pada asas berpikir induktif, karena ia menyimpulkan
pengetahuan yang bersifat umum dari data-data pengalaman konkret. Empirisme
menganut teori kebenaran sebagai korespondensi. Sesuatu bersifat benar jika ada
korenspondensi antara objek yang kita pikirkan dan objek yang sama yang berada diluar
pikiran. Tokoh empirsme atl: Hobbes,Locke, Berkeley, Hume.2
Tokoh-tokohnya :
Descartes adalah seorang rasionalis. Baginya rasio atau pikiran adalah satu-
satunya sumber dan jaminan kebenaran pengetahuan. Ia mencurigai keandalan
pengalaman indra dalam menjamin kebenaran pengetahuan, termasuk pengetahuan

1
Delgaauw, Bernard, Filsafat Abad 20, terj. Soejono Soemargono, (Yogyakarta: Tiara
Wacana. 2001), hal. 98.
2
Sutrisno, FX. Mudji , dan F. Budi Hardiman, (Eds.), 1992, Para Filsuf Penentu Gerak
Zaman, Yogyakarta: Kanisius.

2
tentang dunia luar kita. Dari pengalaman terbukti bahwa data indra mudah mengecoh
kita.
Descartes ingin membangun sebuah dasar atas seluruh pengetahuan manusia. Untuk
mencapai itu ia menempuh keraguan yang radikal, atau dengan kata lain metode
keraguan/kesangsian (le doute methodique). Descartes ingin membedah segala sesuatu
yang dapat diragukan agar menemukan sesuatu yang tidak dapat diragukan sama sekali.
Rene Descartes (1596-1650)
Yang ditemukan dengan metode kesangsian adalah kebenaran dan kepastian
yang kokoh, yaitu cogito atau kesadaran-diri. Cogito itu kebenaran dan kepastian yang
tergoyahkan karena dimengerti secara jelas dan terpilah-pilah.
Cogito ditemukan lewat pikiran kita sendiri, sesuatu yang dikenali melalui dirinya
sendiri, tidak melalui Kitab Suci, dongeng, pendapat orang, prasangka,dst.
”Saya menjadi sadar bahwa, sementara saya memutuskan untuk berpikir bahwa segala
sesuatu itu salah, secara pasti sampai pada kenyataan bahwa saya yang berpikir harus
merupakan sesuatu...[]..saya berpikir maka saya ada (cogito ergo sum)“
John Locke (1632-1704)
Menurut Locke anggapan para filsuf rasionalis bahwa idea-idea tentang
kenyataan itu sudah kita miliki sejak lahir adalah anggapan yang tidak terbukti dalam
kenyataan. Pikiran harus dianggap sebagai tabula rasa, yaitu kertas kosong. Baru dalam
proses pengenalannya terhadap dunia luar, pengalaman memberi kesan-kesan dalam
pikirannya. Dengan demikian kebenaran dan kenyataan dipersepsi subjek melalui
pengalaman dan bukan bersifat bawaan.
Idea Simpleks ke Idea Kompleks
Teori pengetahuan Locke merintis apa yang sekarang kita sebut sebagai
psikologi. Dengan bertolak dari pengalaman ia berpendapat bahwa idea-idea yang kita
pikirkan itu terjadi melalui proses pengindraan yang sangat rumit.
Apa saja yang kita tangkap dari dunia luar itu menjadi proses-proses internal kita
seperti:berpikir, merasa, berkehendak. Proses internal langsung berdasarkan
pengalaman lahiriah ini menghasilkan idea-idea. Semua idea yang dihasilkan dari
penangkapan langsung ini disebut sebagai idea-idea simpleks.
Kemudian dari idea-idea simpleks ini disusun menjadi idea-idea kompleks. Proses
internal dalam menggabungkan idea-idea simpleks ini disebut sebagai abstraksi.

3
Locke tidak sama sekali menolak kemungkinan pengetahuan abstrak. Yang ditolaknya
adalah segala bentuk pengetahuan a priori.

B. Kritisisme
Pemikiran rasionalisme di Jerman sebagaimana dikembangkan Leibniz-Wolff
dengan empirisisme Inggris yang kemudian bermuara dalam pemikiran f lump'. hilsafat
Kant berusaha mengatasi dua aliran tersebut dengan menunjukkan unsur-unsur mana
dalam pikiran manusia yang berasal dari pengalaman dan unsur-unsur mana yang
terdapat dalam akal. Kant menyebut perdebatan itu dengan antinomy,' seakan kedua
belah pihak merasa benar sendiri, sehingga tidak sempat memberi peluang untuk
munculnya alternatif ketiga yang barangkali lebih menyejukkan dan konstruktif.
Mendapatkan inspirasi dari "Copernican Revolution", Kant mengubah wajah filsafat
secara radikal, di mana is mvmhrrikan tempat sentral pada manusia sebagai subjek
berpikir. Maka dalam filsafatnya, Kant tidak mulai dengan penyelidikan atas benda -
benda sebagai objek, melainkan menyelidiki struktur-struktur subjek yang
memungkinkan mengetahui benda-benda sebagai objek.
Lahirnya pengetahuan karma manusia dengan akal aktifnya mengkonstruksi
gejala-gejala yang dapat is tangkap. Kant mengatakan:
'Akal tidak boleh bertindak seperti seorang mahasiswa yang cuma puas dengan
mendengarkan keterangan-keterangan yang telah dipilihkan oleh dosennya, tapi

4
hendaknya is bertindak seperti hakim yang bertugas menyelidiki perkara dan
memaksa para saksi untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang ia sendiri telah
rumuskan dan persiapkan sebelumnya.'24
Upaya Kant ini dikenal dengan kritisisme atau filsafat kritis, suatu nama yang
diberikannya sendiri. Kritisisme adalah filsafat yang memulai perjalanannya dengan
terlebih dulu menyelidiki kemampuan rasio dan batas-batasnya. Langkah Kant ini di
mulai dengan kritik atas rasio murni, lalu kritik atas rasio praktis, dan terakhir adalah
kritik atas daya pertimbangan. Kritik atas Rasio Murni Dalam kritik ini, antara lain
Kant menjelaskan bahwa ciri pengetahuan adalah bersifat umum, mutlak dan memberi
pengertian baru. Untuk itu ia terlebih dulu membedakan adanya tiga macam putusan.
Pertama, putusan analitis a priori; di mana predikat tidak menambah sesuatu yang baru
pada subjek, karena sudah termuat di dalamnya (misalnya, setiap benda menempati
ruang). Kedua, putusan sintesis aposteriori, misalnya pemyataan"meja itu bagus", di sini
predikat dihubungkan dengan subjek berdasarkan pengalaman indrawi, karma
dinyatakan setelah (post, bhs Latin) mempunyai pengalaman dengan aneka ragam meja
yang pernah diketahui.Ketiga, putusan sintesis a priori: di sini dipakai sebagai suatu
sumber pengetahuan yang kendati bersifat sintetis, namun bersifat a priori juga. Misalnya,
putusan yang berbunyi"segala kejadian mempunyai sebabnya". Putusan ini berlaku umum
dan mutlak (jadi apriori), namun putusan ini juga bersifat sintetis dan aposteriori, Sebab di
dalam pengertian"kejadian"belum dengan sendirinya tersirat pengertian "sebab". Maka di
sini baik akal aTaupun pengalaman indrawi dibutuhkan serentak. Ilmu pasti, mekanika,
dan ilmu pengetahuan alam disusun atas putusan sintetis yang bersifat a priori ini. Menurut
Kant, putusan jenis ketiga inilah syarat dasar bagi apa yang disebut pengetahuan (ilmiah)
dipenuhi, yakni bersifat umum dan mutlak serta memberi pengetahuan baru.
Persoalannya adalah bagaimana terjadinya pengetahuan yang demikian itu?Menjawab
pertanyaan ini Kant menjelaskan bahwa pengetahuan itu merupakan sintesis dari unsur-
unsur yang ada sebelum (prius, bhs Latin) pengalaman yakni unsur-unsur a priori
dengar unsur-unsur yang ada setelah pengalaman yakni unsur-unsur aposteriori.

C. Fenomenologi
Fenomenologi (Inggris: Phenomenology) berasal dari bahasa Yunani
phainomenon dan logos. Phainomenon berarti tampak dan phainen berarti

5
memperlihatkan. Sedangkan logos berarti kata, ucapan, rasio, pertimbangan. Dengan
demikian, fenomenologi secara umum dapat diartikan sebagai kajian terhadap fenomena
atau apa-apa yang nampak. Lorens Bagus memberikan dua pengertian terhadap
fenomenologi. Dalam arti luas, fenomenologi berarti ilmu tentang gejala-gejala atau apa
saja yang tampak. Dalam arti sempit, ilmu tentang gejala-gejala yang menampakkan diri
pada kesadaran kita. Sebagai sebuah arah baru dalam filsafat, fenomenologi dimulai
oleh Edmund Husserl (1859 – 1938), untuk mematok suatu dasar yang tak dapat
dibantah, ia memakai apa yang disebutnya metode fenomenologis. Ia kemudian dikenal
sebagai tokoh besar dalam mengembangkan fenomenologi. Namun istilah fenomenologi
itu sendiri sudah ada sebelum Husserl. Istilah fenomenologi secara filosofis pertama kali
dipakai oleh J.H. Lambert (1764). Dia memasukkan dalam kebenaran (alethiologia),
ajaran mengenai gejala (fenomenologia). Maksudnya adalah menemukan sebab-sebab
subjektif dan objektif ciri-ciri bayangan objek pengalaman inderawi (fenomen).
Immanuel Kant memakai istilah fenomenologi dalam karyanya Prinsip-Prinsip
Pertama Metafisika (1786). Maksud Kant adalah untuk menjelaskan kaitan antara
konsep fisik gerakan dan kategori modalitas, dengan mempelajari ciri-ciri dalam relasi
umum dan representasi, yakni fenomena indera-indera lahiriah. Hegel (1807)
memperluas pengertian fenomenologi dengan merumuskannya sebagai ilmu mengenai
pengalaman kesadaran, yakni suatu pemaparan dialektis perjalanan kesadaran kodrati
menuju kepada pengetahuan yang sebenarnya. Fenomenologi menunjukkan proses
menjadi ilmu pengetahuan pada umumnya dan kemampuan mengetahui sebagai
perjalanan jiwa lewat bentuk-bentuk atau gambaran kesadaran yang bertahap untuk
sampai kepada pengetahuan mutlak. Bagi Hegel, fenomena tidak lain merupakan
penampakkan atau kegejalaan dari pengetahuan inderawi: fenomena-fenomena
merupakan manifestasi konkret dan historis dari perkembangan pikiran manusia.
Edmund Husserl memahami fenomenologi sebagai suatu analisis deskriptif serta
introspektif mengenai kedalaman dari semua bentuk kesadaran dan pengalaman-
pengalaman langsung; religius, moral, estetis, konseptual, serta indrawi. Perhatian
filsafat, menurutnya, hendaknya difokuskan pada penyelidikan tentang Labenswelt
(dunia kehidupan) atau Erlebnisse (kehidupan subjektif dan batiniah). Penyelidikan ini
hendaknya menekankan watak intensional kesadaran, dan tanpa mengandaikan praduga-
praduga konseptual dari ilmu-ilmu empiris. Fenomenologi merupakan metode dan

6
filsafat. Sebagai metode, fenomenologi membentangkan langkah-langkah yang harus
diambil sehingga kita sampai pada fenomena yang murni. Fenomenologi mempelajari
dan melukiskan ciri-ciri intrinsik fenomen-fenomen sebagaimana fenomen-fenomen itu
sendiri menyingkapkan diri kepada kesadaran. Kita harus bertolak dari subjek (manusia)
serta kesadarannya dan berupaya untuk kembali kepada “kesadaran murni”. Untuk
mencapai bidang kesadaran murni, kita harus membebaskan diri dari pengalaman serta
gambaran kehidupan sehari-hari. Sebagai filsafat, fenomenologi menurut Husserl
memberi pengetahuan yang perlu dan esensial mengenai apa yang ada. Dengan
demikian fenomenologi dapat dijelaskan sebagai metode kembali ke benda itu sendiri
(Zu den Sachen Selbt), dan ini disebabkan benda itu sendiri merupkan objek kesadaran
langsung dalam bentuk yang murni.
Secara umum pandangan fenomenologi bisa dilihat pada dua posisi. Pertama ia
merupakan reaksi terhadap dominasi positivisme, dan kedua, ia sebenarnya sebagai
kritik terhadap pemikiran kritisisme Immanuel Kant, terutama konsepnya tentang
fenomena – noumena. Kant menggunakan kata fenomena untuk menunjukkan
penampakkan sesuatu dalam kesadaran, sedangkan noumena adalah realitas (das Ding
an Sich) yang berada di luar kesadaran pengamat. Menurut Kant, manusia hanya dapat
mengenal fenomena-fenomena yang nampak dalam kesadaran, bukan noumena yaitu
realitas di luar yang kita kenal. Husserl menggunakan istilah fenomenologi untuk
menunjukkan apa yang nampak dalam kesadaran kita dengan membiarkannya
termanifestasi apa adanya, tanpa memasukkan kategori pikiran kita padanya. Berbeda
dengan Kant, Husserl menyatakan bahwa apa yang disebut fenomena adalah realitas itu
sendiri yang nampak setelah kesadaran kita cair dengan realitas. Fenomenologi Husserl
justru bertujuan mencari yang esensial atau eidos (esensi) dari apa yang disebut
fenomena dengan cara membiarkan fenomena itu berbicara sendiri tanpa dibarengi
dengan prasangka (presupposition). Sebagai reaksi terhadap positivisme, filsafat
fenomenologi berbeda dalam memandang objek, bila dibandingkan dengan filsafat
positivisme, baik secara ontologis, epistemologis, maupun axiologis. Dalam tataran
ontologism, yang berbicara tentang objek garapan ilmu, filsafat positivisme memandang
realitas dapat dipecah-pecah menjadi bagian yang berdiri sendiri, dan dapat dipelajari
terpisah dari objek lain, serta dapat dikontrol. Sebaliknya, filsafat fenomenologi
memandang objek sebagai kebulatan dalam konteks natural, sehingga menuntut

7
pendekatan yang holistik, bukan pendekatan partial. Dalam tataran epistemologis,
filsafat positivisme menuntut perencanaan penilitian yang rinci, konkrit dan terukur dari
semua variabel yang akan diteliti berdasarkan kerangka teoritik yang spesifik. Tata cara
penelitian yang cermat ini kemudian dikenal dengan penelitian kuantitatif. Teori yang
dibangun adalah teori nomothetik, yaitu berdasarkan pada generalisasi atau dalil-dalil
yang berlaku umum. Sebaliknya, filsafat fenomenologi menuntut pemaknaan dibalik
realitas, sehingga perlu keterlibatan subjek dengan objek, dan subjek bertindak sebagai
instrumen untuk mengungkap makna dibalik suatu realitas menurut pengakuan,
pendapat, perasaan dan kemauan dari objeknya. Tatacara penelitian seperti ini kemudian
dikenal dengan penelitian kualitatif. Teori yang dibangun adalah teori ideografik, yaitu
upaya memberikan deskripsi kultural, human atau individual secara khusus, artinya
hanya berlaku pada kasus yang diteliti. Pada tataran axiologis, filsafat positivisme
memandang kebenaran ilmu itu terbatas pada kebenaran empiric sensual – logik dan
bebas nilai. Sebaliknya, filsafat fenomenologi mengakui kebenaran ilmu secara lebih
luas, yaitu mengakui kebenaran empirik sensual, kebenaran logik, kebenaran etik dan
kebenaran transcendental. Oleh karena itu, ilmu pengetahuan yang diperoleh tidak bebas
nilai (value free), akan tetapi bermuatan nilai (value bond), tergantung pada aliran etik
yang dianutnya, apakah naturalisme, hedonisme, utilitarianisme, idealisme, vitalisme,
ataukah theologisme atau pandangan filsafat yang lain.

a. Fenomenologi Sebagai Metode Ilmu


Fenomenologi berkembang sebagai metode untuk mendekati fenomena-
fenomena dalam kemurniannya. Fenomena disini dipahami sebagai segala sesuatu yang
dengan suatu cara tertentu tampil dalam kesadaran kita. Baik berupa sesuatu sebagai
hasil rekaan maupun berupa sesuatu yang nyata, yang berupa gagasan maupun
kenyataan. Yang penting ialah pengembangan suatu metode yang tidak memalsukan
fenomena, melainkan dapat mendeskripsikannya seperti penampilannya tanpa
prasangka sama sekali. Seorang fenomenolog hendak menanggalkan segenap teori,
praanggapan serta prasangka, agar dapat memahami fenomena sebagaimana adanya:
"Zu den Sachen Selbst" (kembali kepada bendanya sendiri). Tugas utama fenomenologi
menurut Husserl adalah menjalin keterkaitan manusia dengan realitas. Bagi Husserl,
realitas bukan suatu yang berbeda pada dirinya lepas dari manusia yang mengamati.

8
Realitas itu mewujudkan diri, atau menurut ungkapan Martin Heideger, yang juga
seorang fenomenolog: “Sifat realitas itu membutuhkan keberadaan manusia”. Filsafat
fenomenologi berusaha untuk mencapai pengertian yang sebenarnya dengan cara
menerobos semua fenomena yang menampakkan diri menuju kepada bendanya yang
sebenarnya. Usaha inilah yang dinamakan untuk mencapai “Hakikat segala sesuatu”.
Untuk itu, Husserl mengajukan dua langkah yang harus ditempuh untuk mencapai
esensi fenomena, yaitu metode epoche dan eidetich vision. Kata epoche berasal dari
bahasa Yunani, yang berarti: “menunda keputusan” atau “mengosongkan diri dari
keyakinan tertentu”. Epoche bisa juga berarti tanda kurung (bracketing) terhadap setiap
keterangan yang diperoleh dari suatu fenomena yang nampak, tanpa memberikan
putusan benar salahnya terlebih dahulu. Fenomena yang tampil dalam kesadaran adalah
benar-benar natural tanpa dicampuri oleh presupposisi pengamat. Untuk itu, Husserl
menekankan satu hal penting: Penundaan keputusan. Keputusan harus ditunda (epoche)
atau dikurung dulu dalam kaitan dengan status atau referensi ontologis atau eksistensial
objek kesadaran. Selanjutnya, menurut Husserl, epoche memiliki empat macam, yaitu :
1. Method of historical bracketing; metode yang mengesampingkan aneka macam teori
dan pandangan yang pernah kita terima dalam kehidupan sehari-hari, baik dari adapt,
agama maupun ilmu pengetahuan.
2. Method of existensional bracketing; meninggalkan atau abstain terhadap semua sikap
keputusan atau sikap diam dan menunda.
3. Method of transcendental reduction; mengolah data yang kita sadari menjadi gejala
yang transcendental dalam kesadaran murni.
4. Method of eidetic reduction; mencari esensi fakta, semacam menjadikan fakta-fakta
tentang realitas menjadi esensi atau intisari realitas itu. 
Dengan menerapkan empat metode epoche tersebut seseorang akan sampai pada hakikat
fenomena dari realitas yang dia amati.

b. Kontribusi Fenomenologi Terhadap Dunia Ilmu Pengetahuan3

3
Muslih, Moh, Filsafat Ilmu: Kajian Atas Asumsi Dasar, Paradigma dan
Kerangka Teori Ilmu Pengetahuan,(Yogyakarta: Belukar.2005), hal. 107.

9
Memperbincangkan fenomenologi tidak bisa ditinggalkan pembicaraan
mengenai konsep Lebenswelt (“dunia kehidupan”). Konsep ini penting artinya, sebagai
usaha memperluas konteks ilmu pengetahuan atau membuka jalur metodologi baru bagi
ilmu-ilmu sosial serta untuk menyelamatkan subjek pengetahuan. Edmund Husserl,
dalam karyanya, The Crisis of European Science and Transcendental Phenomenology,
menyatakan bahwa konsep “dunia kehidupan” (lebenswelt ) merupakan konsep yang
dapat menjadi dasar bagi (mengatasi) ilmu pengetahuan yang tengah mengalami krisis
akibat pola pikir positivistik dan saintistik, yang pada prinsipnya memandang semesta
sebagai sesuatu yang teratur mekanis seperti halnya kerja mekanis jam. Akibatnya
adalah terjadinya 'matematisasi alam' dimana alam dipahami sebagai keteraturan
(angka-angka). Pendekatan ini telah mendehumanisasi pengalaman manusia karena para
saintis telah menerjemahkan pengalaman manusia ke formula-formula
impersonal. Dunia kehidupan dalam pengertian Husserl bisa dipahami kurang lebih
dunia sebagaimana manusia menghayati dalam spontanitasnya, sebagai basis tindakan
komunikasi antar subjek. Dunia kehidupan ini adalah unsur-unsur sehari-hari yang
membentuk kenyataan seseorang, yakni unsur dunia sehari-hari yang ia alami dan
jalani, sebelum ia menteorikannya atau merefleksikannya secara filosofis. Konsep dunia
kehidupan ini dapat memberikan inspirasi yang sangat kaya kepada ilmu-ilmu sosial,
karena ilmu-ilmu ini menafsirkan suatu dunia, yaitu dunia sosial. Dunia kehidupan
sosial ini tak dapat diketahui begitu saja lewat observasi seperti dalam eksperimen ilmu-
ilmu alam, melainkan terutama melalui pemahaman (verstehen ). Apa yang ingin
ditemukan dalam dunia sosial adalah makna, bukan kausalitas yang niscaya. Tujuan
ilmuwan sosial mendekati wilayah observasinya adalah memahami makna. Seorang
ilmuwan sosial, dalam hal ini, tidak lebih tahu dari pada para pelaku dalam dunia sosial
itu. Oleh karena itu, dengan cara tertentu ia harus masuk ke dalam dunia kehidupan
yang unsur-unsurnya ingin ia jelaskan itu. Untuk dapat menjelaskan, ia harus
memahaminya. Untuk memahaminya, ia harus dapat berpartisipasi ke dalam proses
yang menghasilkan dunia kehidupan itu. Kontribusi dan tugas fenomenologi dalam hal
ini adalah deskripsi atas sejarah lebenswelt (dunia kehidupan) tersebut untuk
menemukan ‘endapan makna’ yang merekonstruksi kenyataan sehari-hari. Maka
meskipun pemahanan terhadap makna dilihat dari sudut intensionalitas (kesadaran)
individu, namun ‘akurasi’ kebenarannya sangat ditentukan oleh aspek intersubjektif.

10
Dalam arti, sejauh mana ‘endapan makna’ yang detemukan itu benar-benar di
rekonstruksi dari dunia kehidupan sosial, dimana banyak subjek sama-sama terlibat dan
menghayati.
Demikianlah, dunia kehidupan sosial merupakan sumbangan dari fenomenologi,
yang menempatkan fenomena sosial sebagai sistem simbol yang harus dipahami dalam
kerangka konteks sosio-kultur yang membangunnya. Ini artinya unsur subjek dilihat
sebagai bagian tak terpisahkan dari proses terciptanya suatu ilmu pengetahuan sekaligus
mendapatkan dukungan metodologisnya.

c. Kritik Terhadap Fenomenologi


Sebagai suatu metode keilmuan, fenomenologi dapat mendeskripsikan fenomena
sebagaimana adanya dengan tidak memanipulasi data. Aneka macam teori dan
pandangan yang pernah kita terima sebelumnya dalam kehidupan sehari-hari, baik dari
adat, agama, ataupun ilmu pengetahuan dikesampingkan untuk mengungkap
pengetahuan atau kebenaran yang benar-benar objektif.
Selain itu, fenomenologi memandang objek kajiannya sebagai kebulatan yang utuh,
tidak terpisah dari objek lainnya. Dengan demikian fenomenologi menuntut pendekatan
yang holistik, bukan pendekatan partial, sehingga diperoleh pemahaman yang utuh
mengenai objek yang diamati. Hal ini menjadi suatu kelebihan pendekatan
fenomenologi, sehingga banyak dipakai oleh ilmuwan-ilmuwan dewasa ini, terutama
ilmuwan sosial, dalam berbagai kajian keilmuan mereka termasuk bidang kajian agama.
Dibalik kelebihan-kelebihannya, fenomenologi sebenarnya juga tidak luput dari
berbagai kelemahan. Tujuan fenomenologi untuk mendapatkan pengetahuan yang murni
objektif tanpa ada pengaruh berbagai pandangan sebelumnya, baik dari adat, agama,
ataupun ilmu pengetahuan, merupakan sesuatu yang absurd. Sebab fenomenologi
sendiri mengakui bahwa ilmu pengetahuan yang diperoleh tidak bebas nilai (value-free),
tetapi bermuatan nilai (value-bound). Hal ini dipertegas oleh Derrida, yang menyatakan
bahwa tidak ada penelitian yang tidak mempertimbangkan implikasi filosofis status
pengetahuan. Kita tidak dapat lagi menegaskan objektivitas atau penelitian bebas nilai,
tetapi harus sepenuhnya mengaku sebagai hal yang ditafsirkan secara subjektif dan oleh
karenanya status seluruh pengetahuan adalah sementara dan relatif. Sebagai akibatnya,
tujuan penelitian fenomenologis tidak pernah dapat terwujud.

11
D. Epistemologi Islam
Pada pendekatan Bayani, Burhani dan Irfani awalnya dikemukakan oleh
Muhammad ‘Abid al Jibiri dalam buku-bukunya :
1. Takwin al Aql al Araby,
2. Bunyah al Aql al Araby, Dirasah Tahliliyyah Naqdiyyah li Nudzumi al Ma’rifah fi
al Tsa qafah al Arabiyah.
Kedua buku ini berisi kajian yang mendalam tentang keislaman dalam tataran
humanties (kemanusiaan) secara umum. Sedang kitabnya yang ketiga yakni :
3. Al Aql al Siyasi al Araby, merupakan aplikasi dalam sosial politik masyarakat
muslim.
Dari pemikiran Dr. al Jabiri ini oleh Prof. Amin Abdullah diteorikan dengan
epistimologi Ta’wilul Ilmiy. Buku-buku al Jabiri di atas, khususnya buku kedua berisi
pendekatan pemikiran berupa analisa kritis dan pencerahan dalam pemikiran terhadap
syari’ah dalam arti luas (Akidah, Ahkam dan Akhlak) melalui sumbernya. Syari’ah
yang sumber pokoknya al Qur’an, dijadikan subyek dan obyek kajian akal.
Selama ini nash (teks) al Qur’an sebagai subyek ditafsirkan dengan istilah
bayani yang pengertiannya adalah teks sesuatu yagn sudah matang untuk diterapkan.
Tidak juga didudukkan sebagai obyek kajian, pemahaman, pemaknaan, dan interpretasi.
Padahal mendudukkan nash, pemahaman, pemanaknaan, dan interpretasi. Padahal
mendudukkan nash sebagai obyek disamping subyek kajian inilah yang merupakan
pengembangan pemikiran dalam studi keislaman yang oleh Prof. Amin Abdullah
dimaksudkan dengan At Ta’wil Al ‘Ilmi yang diungkapkan sebagai wacana
pengembangan pemikiran penafsiran terhadap al Qur’an. Maksudnya al Qur’an
dijadikan sebagai subyek dan obyek telaah ilmu keislaman yang baru. Penulis pribadi
yang berkecimpung dalam ilmu fiqih dan ilmu ushul fiqih menilai apa yang
dikemukakan oleh al Jabiri, bukan sesuatu yang sangat baru dan mengejutkan. Karena
dalam ilmu ushul fiqih ada qaidah lughwiyah dan qaidah syi’iyyah. Qaidah lughawiyah
yang perkembangannya didasarkan pada qiyas dan perkembangan dalam masyarakat.
Sedang qaidah syir’iyyah, yang didasarkan pada nash-nash (teks) dalam al Qur’an
maupun hadits.
Dr. Al Jabiri sendiri dalam kitabnya Bunyatul ‘aqli al ‘Araby dalam
mengemukakan pendekatan bayani itu mulai dengan memaknakan al Bayan dari segi

12
bahasa dan pemakaian para pakar terhadap kata istilah al Bayan itu. Dalam paparannya,
dikemukakan bahwa al Qur’an menyebut kata dengan menggunakan akar kata ba, ya,
dan nun, sampai 250 kali. Sedang Ibnu Mundhur (ahli bahasa) dalam bukunya lisanul
a’rab menyimpulkan ada lima arti pokok al Bayan, yaitu :
a. Menghubungkan satu dengan yang lain.
b. Memutuskan satu dengan yang lain.
c. Mengungkap satu pengertian dengan jelas.
d. Mengemukakan pengertian tentang kemampuan menyampaikan sesuatu dengan
jelas.
e. Kemampuan manusia menyampaikan penjelasan.

Asy Syafi’iy disamping keahliannya bidang fiqih dan ushul fiqh, juga terkenal
alih bahasa, mengemukakan tentang fungsi bayani ini pada dataran teori ilmiyyah yang
kemudian oleh Al Jahidh diletakkan dalam dataran praktis. Adapun al Jahidh, seorang
mufassir yang banyak menyoroti ayat dari segi bahasa, seperti pemikiran al Jabiri,
mengemukakan bahwa sehubungan dengan al Bayan ini perlu diberi batasan, sehingga
kalau diterapkan dalam pemaknaan al Qur’an dapat sesuai. Untuk itu al Jahidh menulis
dua kitab :
1. Nudhumul Qur’an (susunan kata al Qur’an).
2. Ayul Qur’an (ayat-ayat al Qur’an).
Di samping itu al Jahidah yang juga dikualifikasikan ahli ilmu kalam itu menulis
buku yang bernama “al Bayan wat Tabyin”. Dalam kitab itu memberikan syarat
efektivitas ketentuan bayani itu pada :
1. Kelancaran pengucapnya.
2. Baik pilihan kata-kata.
3. Dapat mengungkapkan maksud pembicaraan yang lengkap dengan :
a. Kata-kata yang baik dan jelas.
b. Isyarat-isyarat yang tepat.
c. Tulisan yang terang.
d. Dengan janji dan persetujuan.
e. Dengan kenyataan yang ada yang berupa fakta.

13
4. Bayan dari segi balaqhah (seni sastra) adalah ungkapan kata-kata dalam susunan
yang dapat memberikan makna yang jelas.
5. Dari segi kekuasaan bayan juga dimaksudkan untuk dapat mempengaruhi orang
lain.
Kalau dirumuskan dalam satu ungkapan, bahwa menurut al Jahidh kata al Bayan
itu adalah kata yang umum yang meliputi bermacam-macam pengertian. Rincian
pengertian bayan itu antara lain dapat difahami oleh akal manusia, sehingga bayan dan
akal manusia itu dua hal yang saling melengkapi. Demikian dikemukakan Ibnu Wahab.
Oleh al jabiri dikatakan bahwa Ibnu Wahab membagi bentuk bayan dalam empat
macam :4
a. Bayan al I’tibar (ialah sesuatu yang dapat membawakan pada pengertian, yang
dibagi dua :
1. Yang nampak didapati dengan panca indera seperti panasnya api dapat
diketahui dengan meraba benda yang panas.
2. Yang tidak nampak, tetapi dapat dicapai dengan menyamakan (qiyas) dan
dengan memahami berita.
b. Bayan al I’tiqad, (ialah yang dapat membawa pengertian dalam fikiran dan
membawa keyakinan dalam hati).
c. Bayan al ibarah (ialah pernyataan yang dapat menunjukkan pada usatu
pengertian, baik yang dhahir yang tidak memerlukan pada tafsir (penjelasan)
lebih lanjut maupun yang bathin yang memerlukan pada penjelasan (tafsir).
Yang bathin lebih lanjut dapat dicapai dengan menggunakan sistem qiyas dan
pemikiran dan menggunakan dalil dan khabar. Adapun yang dimasukkan dalam
qiyas dan pemikiran setelah istidlal adalah ijtihad dalam memahami arti yang
dimaksudkan oleh bayan tersebut. Sedang khabar adalah sunnah yang
menjelaskan terhadap syari’at.
d. Bayan al kitab, (tulisan) yang akan memberi penjelasan orang sesudahnya dan
orang yang tidak hadir pada waktu itu.
Kesimpulan yang diberikan oleh Dr. M.A. Al Jabiri ialah bahwa al Bayan itu dapat
dibagi dua, yakni :

4
Connolly, Peter, (Ed.), 2002, Approaches to the Study of Religion, Terj.

14
a. Sesuatu yang diterima (mauhuban) dan
b. Sesuatu yang diusahakan dan ditanggapi (maksuban).
Jadi prinsip pendekatan al Bayan ialah gambaran akal yang merupakan gharizah
(insting) yang tidak akan sampai pada perwujudan yang dimaksud kecuali dengan usaha
pencarian manusia dengan perantaraan khabar (nash) maupun dengan perantaraan
nadzar (pemikiran). Pemikiran ini adalah kemampuan dan usaha akal dalam
menanggapi dan menangkap petunjuk atau dalil yang disebut amarat. Dalam
pengamatannya Al Jabiri setelah mengemukakan bahwa asy Syafi’i sebagai ahli bahasa
dan ahli fiqih/ushul fiqih telah membuat qaidah-qaidah tentang tafsirul khithap (qaidah
tentang penafsiran terhadap nash). Juga al Jabiri mengemukakan pendapat al Jahidh
yang telah menelurkan qaidah-qaidah menuju kepada hasil-hasil khitap. Dan Ibnu
Wahab yang telah menelurkan jalah dalam rangka mendapatkan pengertian yang dapat
mendatangkan keyakinan. Akhirnya ia menyimpulkan bahwa sebenarnya pemikiran ahli
bahasa, ahli kalam, dan ahli ushul dan fiqih keseluruhan menggunakan al Bayan dalam
memahami nash-nash baik sebagai subyek maupun obyek. Lebih lanjut oleh al Jabiri
dikemukakan bahwa dalam lapangan bahasa seperti ilmu nahwu ada cara yang
penerapannya menggunakan ilmu mantiq seperti dalam penggunaan bentuk kata benda
yang menggunakan bentuk isim alat, isim makan (tempat), dan sebagainya. Juga dalam
menghubungkan lafadl (kata) dengan maknanya. Demikian pula pada ilmu ushul fiqih,
dalam memahami nash sebagai sumber yang harus difahami sebagai subyek juga
menggunakan qaidah yang dibentuk atas dasar :5
a. Qaidah lughawiyyah, dan
b. Qaidah syar’iyyah.
Keduanya mendudukkan adanya epistimologi ijtihad yang termasuk didalamnya
menjadikan rumusan maqashidusy syari’ah (tujuan penetapan hukum) adalah
kemashlahatan. Dalam ilmu kalam adanya perbedaan pendangan apakah al Qur’an
qadiem atau hadits (sesuatu yang baru) dan selesailah perdebatan itu dengan
penyelesaian bahwa al Qur’an itu Qadiem makna-maknanya sedang lafadl serta
hurufnya adalah hadits (baru, maksudnya makluq) maka lafadl dan huruf al Qur’an itu
lafadlnya dapat ditanggapi oleh akal (fikiran) manusia maksudnya, tidaklah tabu fikiran

5
Imam Khoiri, Aneka Pendekatan Studi Agama, Yogyakarta: LkiS.

15
manusia itu mengembangkannya sebagai mana dalam bahasa ada qiyas dan dalam fiqih
ada ijtihad.
Pengembangan pemikiran ini merupakan wacana yang terus menerus perlu
dikaji dalam rangka menatap kemajuan dimasa kini dan mendatang. Metode memahami
nash dengan tafsir dan ta’wil ala mufassirin, dikembangkan menjadi dengan tafsir dan
ta’wil ilmiy, penta’wilan nash dengan menjadikan nash, dijadikan pula obyek disamping
subyek. Tentu metodenya pun harus difikirkan untuk tidak keluar dari jalur kebenaran.
Kebenaran yang berdasarkan pada wahyu yang diterima untuk difahami dan diamalkan
sebagai sumber agama juga kebenaran yang dapat difahami dan diamalkan agama
sebagai rahmatan lil ‘alamien.

16
BAB III
PENUTUP

Di dalam kehidupan praktis sehari-hari, manusia bergerak di dalam dunia yang


telah diselubungi dengan penafsiran-penafsiran dan kategori-kategori ilmu pengetahuan
dan filsafat. Penafsiran-penafsiran itu seringkali diwarnai oleh kepentingan-
kepentingan, situasi-situasi kehidupan dan kebiasaan-kebiasaan, sehingga ia telah
melupakan dunia apa adanya, dunia kehidupan yang murni, tempat berpijaknya segala
bentuk penafsiran. Dominasi paradigma positivisme selama bertahun-tahun terhadap
dunia keilmuwanl, tidak hanya dalam ilmu-ilmu alam tetapi juga pada ilmu-ilmu sosial
bahkan ilmu humanities, telah mengakibatkan krisis ilmu pengetahuan. Persoalannya
bukan penerapan pola pikir positivistis terhadap ilmu-ilmu alam, karena hal itu memang
sesuai, melainkan positivisme dalam ilmu-ilmu sosial, yaitu masyarakat dan manusia
sebagai makhluk historis. Problematik positivisme dalam ilmu-ilmu sosial, yang
menghilangkan peranan subjek dalam membentuk ‘fakta sosial’, telah mendorong
munculnya upaya untuk mencari dasar dan dukungan metodologis baru bagi ilmu sosial
dengan ‘mengembalikan’ peran subjek kedalam proses keilmuwan itu sendiri. Salah
satu pendekatan tersebut adalah pendekatan fenomenologi yang secara ringkas akan
dibahas di bawah ini. Dalam makalah ini, penulis memfokuskan pembahasan pada
hakekat filsafat fenomenologi itu sendiri, kemudian cara kerja pendekatan
fenomenologi, selanjutnya kontribusi fenomenologi terhadap dunia ilmu pengetahuan,
dan terakhir kritik terhadap fenomenologi. Dari pembahasan di atas dapat ditarik
kesimpulan bahwa fenomenologi merupakan suatu metode analisa juga sebagai aliran
filsafat, yang berusaha memahami realitas sebagaimana adanya dalam kemurniannya.
Terlepas dari kelebihan dan kekurangannya, fenomenologi telah memberikan kontribusi
yang berharga bagi dunia ilmu pengetahuan. Ia telah mengatasi krisis metodologi ilmu
pengetahuan, dengan mengembalikan peran subjek yang selama ini dikesampingkan
oleh paradigma positivistik-saintistik. Fenomenologi berusaha mendekati objek
kajiannya secara kritis serta pengamatan yang cermat, dengan tidak berprasangka oleh
konsepsi-konsepsi manapun sebelumnya. Oleh karena itu, oleh kaum fenomenolog,
fenomenologi dipandang sebagai rigorous science (ilmu yang ketat). Hal ini tampaknya
sejalan dengan 'prinsip' ilmu pengetahuan, sebagaimana dinyatakan J.B Connant, yang

17
dikutip oleh Moh. Muslih, bahwa: "The scientific way of thinking requires the habit of
facing reality quite unprejudiced by and any earlier conceptions. Accurate
observationand dependence upon experiments are guiding principles."

18
DAFTAR PUSTAKA

Bagus, Lorens, 1996, Kamus Filsafat, Jakarta: Gramedia.


Connolly, Peter, (Ed.), 2002, Approaches to the Study of Religion, Terj.
Imam Khoiri, Aneka Pendekatan Studi Agama, Yogyakarta: LkiS.
Delgaauw, Bernard, 2001, Filsafat Abad 20, terj. Soejono Soemargono,
Yogyakarta: Tiara Wacana.
Ghazali, Adeng Muchtar, 2005, Ilmu Studi Agama, Bandung: Pustaka Setia.
Muslih, Moh., 2005, Filsafat Ilmu: Kajian Atas Asumsi Dasar, Paradigma dan
Kerangka Teori Ilmu Pengetahuan, Yogyakarta: Belukar.
Sutrisno, FX. Mudji , dan F. Budi Hardiman, (Eds.), 1992, Para Filsuf Penentu
Gerak Zaman, Yogyakarta: Kanisius.

19

Anda mungkin juga menyukai