, dan Positivisme.
Arda Firmansyah 19042010148
Achmad Rafi’un Nadhif 19042010193
Adinda Iswara Arief 19042010152
Syaiba Ezra Azalia S 19042010114
Nadhifa Salma Deviaudria 19042010117
Yusuf Suhadi 19042010169
Annisa Laras Atie 19042010179
Dwi Retno Anom Sari 19042010080
Kayla Rizka Amalia 19042010170
Akira Putra Ardiansyah 19042010189
Nadia Shafia Putri A 19042010187
Cahya Gutama Putra 19042010093
Rasionalisme
Rasionalisme menegaskan perlunya ada metode yang jitu sebagai dasar kokoh bagi semua
pengetahuan, yaitu dengan menyangsikan segalanya, secara metodis.Kalau suatu kebenaran tahan
terhadap ujian kesangsian yang radikal ini, maka kebenaran itu 100% pasti dan menjadi landasan
bagi seluruh pengetahuan..
● Peran rasionalisme adalah klarifikasi makna pernyataan dan hubungan logis mereka. Tidak
ada berfikir logika yang berbeda atas dan di atas pengetahuan rasionalis.
● Prinsip-prinsip dan metode empirisme pertama kali diterapkan oleh Jhon Locke.
Puncak kejayaan Emperisme adalah pada masa David Hume, yang menggunakan prinsip-prinsip
emperisme yang radikal, terutama pengertian subtansi dan kausalitas yang menjadi objek kritiknya. Ia
tidak menerima subtansi sebab yang dialami adalah pesan-pesan saja tentang beberapa ciri yang selalu
mendapat bersama-sama (misalnya : Putih, licin, berat, dan sebagainya). Tetapi atas dasar pengalaman
tidak dapat disimpulkan bahwa dibelakang ciri-ciri itu masih ada substansi tetap (misalnya : Sehelai kertas
yang mempunyai ciri-ciri tadi) Dengan sistem yang ditempuh ini, menunjukkan pikirannya yang skeptis
dan radikal, tidak puas dengan masalah yang ditemukan sehingga keraguannya ini berbeda dengan
keraguan Descrates.
Bagi Descrates keraguan itu digunakan untuk mendapatkan, sedangkan David Hume ragu semakin
ragu akhirnya menjadi pesimis. Kepercayaan terhadap agama dianggapnya sebagai hayalan belaka tidak
dapat berlaku secara umum. Proses terjadinya agama bukanlah dari Tuhan, bukan pula atas kekaguman
manusia, melainkan karena adanya pengharapan serta rasa takut terhadap kehidupan. David Hume
membedakan dua bentuk agama yaitu Natural Religion yang berasal dari hasil akal budi dan Publik
Religion yang penuh Fantisme dan diantara kedua agama ini yang paling baik adalah Natural Religion.
Positivisme
Positivisme Logis berpendapat bahwa filsafat harus mengikuti rigoritas yang sama dengan sains. Filsafat harus
dapat memberikan kriteria yang ketat untuk menetapkan apakah sebuah pernyataan adalah benar, salah atau tidak
memiliki arti sama sekali.
Sedangkan berfikir positivisme menyatakan bahwa pengetahuan manusia berkembang secara evolusi dalam tiga
tahap, yaitu teologis, metafisik, dan positif. Berfikir positivisme merupakan puncak pengetahuan manusia yang
disebutnya sebagai pengetahuan ilmiah. Sesuai dengan pandangan tersebut kebenaran metafisik yang diperoleh dalam
metafisika ditolak, karena kebenarannya sulit dibuktikan dalam kenyataan.
Salah satu teori Positivisme Logis yang paling dikenal antara lain teori tentang makna yang dapat dibuktikan,
yang menyatakan bahwa sebuah pernyataan dapat disebut sebagai bermakna jika dan hanya jika pernyataan tersebut
dapat diverifikasi secara empiris. Konsekuensi dari pendapat ini adalah, semua bentuk diskursus yang tidak dapat
dibuktikan secara empiris, termasuk di antaranya adalah etika dan masalah keindahan, tidak memiliki makna apa-apa,
sehingga tergolong ke dalam bidang metafisika.
Positivisme menurut ilmuwan
● Auguste Comte ( 1798-1857 )
●Berfikir positivisme mencari fakta-fakta atau sebab-sebab dari gejala-gejala sosial tanpa
memperhatikan keadaan individu sebagai subyek.
●berfikir positivisme yang berakar pada paham ontologi realisme yang menyatakan bahwa realitas
berada (exist) dalam kenyataan dan berjalan sesuai dengan hukum alam (natural laws). Penelitian
berupaya mengungkap kebenaran realitas yang ada dan bagaimana realitas tersebut senyatanya
berjalan. Berfikir positivisme mempunyai makna mempercayai bahwa masyarakat merupakan bagian
dari alam dimana metode-metode penelitian yang dapat dipergunakan untuk menemukan hukum-
hukum sosial kemasyarakatan.
■Karl Popper
salah satu kritikus Positivisme Logis yang terkenal, menulis buku berjudul Logik der
Forschung (Logika Penemuan Ilmiah) pada tahun 1934. Di buku ini dia menyajikan alternatif dari
teori syarat pembuktian makna, yaitu dengan membuat pernyataan ilmiah dalam bentuk yang dapat
dipersangkalkan (falsifiability). Pertama, topik yang dibahas Popper bukanlah tentang membedakan
antara pernyataan yang bermakna dan yang tidak, tetapi untuk membedakan antara pernyataan yang
ilmiah dari pernyataan yang bersifat metafisik. Menurutnya, pernyataan metafisik tidaklah harus tidak
bermakna apa-apa, dan sebuah pernyataan yang bersifat metafisik pada satu masa, karena pada saat
tersebut belum ditemukan metode penyangkalannya, belum tentu akan selamanya bersifat metafisik.
Sebagai contoh, psikoanalisis pada zaman itu tidak memiliki metode penyangkalannya, sehingga tidak
dapat digolongkan sebagai ilmiah, tetapi jika suatu saat nanti berkembang menjadi sesuatu yang dapat
dibuktikan melalui penyangkalan, maka akan dapat digolongkan sebagai ilmiah.
THANK
YOUUU
!