Anda di halaman 1dari 16

UJIAN AKHIR FILSAFAT ILMU

MAGISTER TEKNIK SIPIL

UNIVERSITAS TRISAKTI

1. Jelaskan apa dan bagimana perbedaan pandangan Rasionalisme dan Empirisme itu
dalam hal bagaimana cara kita memperoleh pengetahuan?

Jawab :

Rasionalisme Secara etimologis menurut Bagus (2002),rasionalisme berasal dari kata


bahasa Inggris rationalims, dan menurut Edwards (1967) kata ini berakar dari bahasa Latin
ratio yang berarti “akal”,Lacey (2000) menambahkan bahwa berdasarkan akar katanya
rasionalisme adalah sebuah pandangan yang berpegang bahwa akal merupakan sumber bagi
pengetahuandan pembenaran.
Kaum Rasionalis memulai dengan sebuah pernyataanaksioma dasar yang dipakai
membangunsistem pemikirannya diturunkan dari ide yang menurut anggapannya adalah jelas,
tegas,dan pasti dalam pikiran manusia. Pikiran manusia mempunyai kemampuan untuk
mengetahui ide tersebut, namun manusia tidak menciptakannya, tetapi mempelajari lewat
pengalaman. Ide tersebut kiranya sudah ada “ di sana” sebagai bagian dari kenyataan dasar
dan pikiran manusia.
Kaum rasionalis berdalil bahwa karena pikiran dapat memahami prinsip, maka prinsip
itu harus ada, artinya prinsip harus benar dan nyata. Jika prinsip itu tidak ada, orang tidak
mungkinkan dapat menggambarkannya. Prinsip dianggap sebagai sesuatu yang a priori,dan
karenanya prinsip tidak dikembangkan dari pengalaman, bahkan sebaliknya pengalaman
hanya dapat dimengerti bila ditinjau dari prinsip tersebut.Dalam perkembangannya
Rasionalismediusung oleh banyak tokoh,masing-masingnya dengan ajaran-ajaran yang khas,
namun tetap dalam satukoridor yang sama.
Pada abad ke-17 terdapat beberapa tokoh kenamaan rasionalis sepertiPlato sebagai
pelopornya yang disebut juga sebagai „rasionalisme‟ atau „platonisme‟ , René
Descartes(1590 –1650) yang juga dinyatakan sebagai bapak filsafat modern. Semboyannya
yang terkenal adalah “cotigo ergo sum”(saya bepikir, jadi saya ada). Tokoh-tokoh lainnya
adalah J.J. Roseau (1712 –1778) dan Basedow (1723 –1790), Gottfried Wilhelm von Leibniz,
Christian Wolff dan BaruchSpinoza. Perkembangan pengetahuan mulai pesat pada abad ke
18 nama-nama seperti Voltaire, Diderot danD‟Alembert adalah para pengusungnya.
Empirisme secara etimologis menurut Bagus(2002) berasal dari kata bahasa Inggris
empiricism dan experience.Kata-kata ini berakar dari kata bahasa Yunani έμπειρία(empeiria)
dan dari kata experietia yang berarti “berpengalaman dalam”,“berkenalan dengan”, “terampil
untuk”. Sementara menurut Lacey(2000) berdasarkan akar katanya Empirisme adalah aliran
dalam filsafat yang berpandangan bahwa pengetahuan secara keseluruhan atau parsial
didasarkankepada pengalaman yang menggunakan indera.
Selanjutnya secara terminologis terdapat beberapa definisi mengenaiempirisme, di
antaranya: doktrin bahwa sumber seluruh pengetahuan harus dicari dalam pengalaman,
pandangan bahwa semua ide merupakan abstraksi yang dibentuk dengan menggabungkan apa
yang dialami, pengalaman inderawi adalahsatu-satunya sumber pengetahuan, dan bukan akal.
Berdasarkan Honer and Hunt (2003)aliran ini adalah tidak mungkin untuk mencari
pengetahuan mutlakdan mencakup semua segi, apalagi bila di dekat kita terdapat kekuatan
yang dapatdikuasai untuk meningkatkan pengetahuan manusia, yang meskipun bersifat
lebihlambat namun lebih dapat diandalkan. Kaum empiris cukup puas
denganmengembangkan sebuah sistem pengetahuan yang mempunyai peluang besaruntuk
benar, meskipun kepastian mutlak tidak akan pernah dapat dijamin.Kaum empiris memegang
teguh pendapat bahwa pengetahuan manusiadapat diperoleh lewat pengalaman. Jika kita
sedang berusaha untuk meyakinkanseorang empiris bahwa sesuatu itu ada, dia akan berkata
“tunjukkan hal itukepada saya”. Dalam persoalan mengenai fakta maka dia harus diyakinkan
olehpengalamannya sendiri. Tokoh yang dianggap sebagai benih dari empisisme adalah
Aristoteles, seperti juga pada rasionalisme, maka pada empirisme pun terdapatbanyak tokoh
pendukungnya yang tidak kalah populernya. Tokoh-tokohdimaksud di antarnya adalah David
Hume, John Locke dan Bishop Berkley.
Persamaan dan perbedaan antara Rasionalisme dan Empirisme Terdapat dua
aspek umum dalam realisme yang digambarkan dengan melihat pada realisme mengenai
dunia keseharian dari obyek makroskopik beserta sifat-sifatnya. Aspek pertama, yaitu
terdapat sebuah klaim tentang dimensi eksistensi suatu obyek yang nyata (terlihat).
Sementara itu, aspek yang kedua dari realisme tentang dunia keseharian dari obyek
makroskopis beserta sifat-sifatnya memiliki dimensi kebebasan dalam hal kepercayaan yang
dianut seseorang, bahasa yang digunakan, skema konseptual, dan sebagainya (realisme
generik).
Sifat dan penjelasan-penjelasan yang masuk akal dari paham realisme merupakan
issu-issu yang hangat diperdebatkan dalam metafisik kontemporer mengenai berbagai obyek
dalam kehidupan sehari-hari.
Menurut Hume (1999) di dalam aliran empiris terdapat tiga prinsip pertautan ide.
Pertama, prinsip kemiripan yaitu mencari kemiripan antara apa yang ada di benak kita
dengan kenyataan di luar. Kedua, prinsip kedekatan, misalnya apabilakita memikirkan sebuah
rumah, maka berdasarkan prinsip kedekatan kita juga berpikir tentang adanya jendeka, pintu,
atap, perabot sesuai dengan gambaran rumah yang kita dapatkan lewat pengalaman inderwi
sebelumnya. Ketiga, prinsip sebab-akibat yaitu jika kita memikirkan luka, kita pasti
memikirkan rasa sakit akibatnya. Bagi Hume, ilmu pengetahuan tidak pernah mampu
memberi pengetahuan yang niscaya tentang dunia ini. Kebenaran yang bersifat a priori
seperti ditemukan dalam matematika, logika dan geometri memang ada, namun menurut
Hume, itu tidak menambah pengetahuan kita tentang dunia. Pengetahuan kita hanya bisa
bertambah lewat pengamatan empiris atau secara a posteriori.
Perbedaan antara rasionalisme dengan empiris secara umum adalah kalau pada
aliran rasionalisme pengetahuan itu berupa a priori, bersumber dari penalaran dan
pembuktian-pembuktian pada logika dan matematika melalui deduksi, sedangkan pada aliran
empirisisme pengetahuan bersumber pada pengalaman , terutama pada pengetahuan dalam
pembuktian-pembutiannya melalui eksperimentasi, observasi, dan induksi.
Perbedaan antara Rasionalisme dan Empirisisme oleh Immanuel Kant diambil jalan
tengahnya, yaitu Immanuel Kant mengajukan sintesis a priori. Menurutnya pengetahuan yang
benar bersumber rasio dan empiris yang sekaligus bersifat a priori dan a posteriori. Sebagai
gambaran, kita melihat suatu benda dikarenakan mata kita melihat ke arah benda tersebut
(rasionalisme) dan benda tersebut memantulkan sinar ke mata kita (empirisme).
Menurut Edward (1967) secara terminologi rasionalisme dipandang sebagai aliran
yang menekankan akal budi (rasio) sebagai sumber utama pengetahuan, mendahului atau
unggul atas, danbebas (terlepas) dari pengalaman inderawi. Hanya pengetahuan yang
diperoleh melalui akal yang memenuhi syarat semua pengetahuan ilmiah. Pengalaman hanya
dipakai untuk mempertegas pengetahuan yang diperoleh akal. Akal tidak memerlukan
pengalaman. Akal dapat menurunkan kebenaran dari diri sendiri, yaitu atas dasar asas-asas
petama yang pasti.
Menurut Kattsoff (2004) rasionalisme tidak mengingkari nilai pengalaman, melainkan
hanya dipandang sebagai sejenis perangsang bagi pikiran. Karenanya aliran ini yakin bahwa
kebenaran dan kesehatan terletak pada ide, dan bukannya di dalam barang sesuatu. Jika
kebenaran bermakna sebagai mempunyai ide yang sesuai dengan atau dengan yang menunjuk
kepada kenyataan, maka kebenaran hanya dapat ada di dalam pikiran kita dan hanya dapat
diperoleh dengan akal saja.
Persamaan antara rasionalisme dan empirisme adalah rasio dan indra manusia sama-
sama berperan dalam pembentukan pengetahuan.

Referensi : Honer, Stancey M. dan Thomas C. Hunt, (2003), Metode dalam Mencari
Pengetahuan: Rasionalisme, Empirisme dan Metode Keilmuan, dalam Jujun S. Suriasumantri
(penyunting), Ilmu dalam Perspektif: SebuahKumpulan Karangan tentang Hakekat Ilmu,
Yayasan obor Indonesia,Jakarta

2. Gambar dan Jelaskan tentang Siklus Empiris, Penjelasan di kaitkan dengan rencana
thesis nanti?
Jawab :

Berdasarkan bagan skematik di atas dapat diketahui bahwa siklus penelitian


kuantitatif haruslah dimulai dengan teori dulu. Melalui logika deduktif, maka teori tersebut
dapat dirumuskan menjadi hipotesis. Melalui proses intrumentasi, sampling dan penskalaan
maka dapatlah dilakukan penelitian lapangan. Dari penelitian lapangan, maka dilakukan
pengukuran,  peringkasan sampel dan parameter maka dapatlah dirumuskan generalisasi
empirisnya. Setelah itu dilakukan perumusan konsep dan melalui proses induksi maka akan
menjadi teori lagi.

Di dalam penelitian kuantitatif, maka dari teori akan menjadi teori lagi. Sehingga
dalam hal yang menyangkut teori yang sangat general (grand theory), maka hampir-hampir
tidak dapat dilakukan falsifikasi. Sejauh-jauhnya hanyalah verifikasi terhadap teori yang
sudah ada. Di dalam dekade ini, maka hampir-hampir tidak ditemui lahirnya teori baru sebab
sejauh penelitian yang dilakukan hanyalah untuk menguatkan teori yang sudah ada, atau
memverifikasi teori yang sudah ada.

Teori besar seperti teori struktural fungsional atau teori konflik menjadi teori yang
tidak mudah untuk dijatuhkan. Teori ini kemudian menjadi grand theory yang ketika
dilakukan penelitian maka akan menghasilkan teori yang tetap beada di dalam lingkup teori
besar tersebut. Dari sini muncullah gagasan bahwa tanpa pengukuran tidak akan
menghasilkan produk teori yang saintifik. Science hanya bisa dinyatakan science jika dapat
diobservasi secara empirik dan diukur dengan menggunakan ukuran baku yang standart.
Hanya melalui penelitian kuantitatif saja ilmu yang ilmiah dapat dihasilkan.

Membangun teori secara substantif hakikatnya merupakan bagian penting dari proses
untuk memperkaya basis teori ilmu. Dari pendekatan baru tersebut kemudian lahirlah teori-
teori yang bisa jadi memang baru, atau bisa juga derivasi dari teori yang sudahada tetapi
mengalami revisi atau hanya sekedar verifikasi. Tetapi yang jelas bahwa ada nuansa baru
tentang pentingnya membangun teori baru yang tidak berangkat dari teori-teori yang sudah
ada, tetapi membangunnya dari data lapangan. Alhasil, muncullah teori-teori yang kemudian
dikenal sebagai teori substantif yang berbasis penelitian kualitatif.

Ini sangat berbanding lurus dengan rencana thesis yang akan saya lakukan dimana
perlu di lakukanya observasi yang mendalam sehingga dapat memunculkan suatu teori
ataupun penelitian yang dapat di pertanggung jawabkan serta berdasar.
3. Jelaskan apa itu Etika Enjinering dan mengapa insinyur sipil memerukan “Etika
Enjinering”?
Jawab :
Etika adalah studi karakteristik moral. Etika juga berhubungan dengan pilihan moral
yang di buat tiap orang dalam hubungannya dengan orang lain.
Etika engineering adalah etika, sebagai lawan moralitas pribadi. Menetapkan standar
untuk praktek profesional dan hanya dapat dipelajari di sekolah kejuruan atau dalam praktek
profesional. Ini adalah bagian penting dari pendidikan profesional karena membantu siswa
berurusan dengan masalah yang mereka akan hadapi dalam praktek.
Etika profesi sangat berkaitan dengan sikap dan sifat professional dan profesionalisme
dalam melakukan setiap pekerjaan. Etika profesi adalah sikap hidup berupa keadilan untuk
memberikan pelayanan professional terhadap masyarakat dengan penuh ketertiban dan
keahlian sebagai pelayanan dalam rangka melaksanakan tugas berupa kewajiban terhadap
masyarakat. Kode etik profesi adalah sistem norma, nilai dan aturan professsional tertulis
yang secara tegas menyatakan apa yang benar dan baik, dan apa yang tidak benar dan tidak
baik bagi professional. Kode etik menyatakan perbuatan apa yang benar atau salah, perbuatan
apa yang harus dilakukan dan apa yang harus dihindari. Tujuan kode etik yaitu agar
professional memberikan jasa sebaikbaiknya kepada pengguna jasa. Dengan adanya kode etik
akan melindungi perbuatan yang tidak professional.
Sebuah profesi memiliki komitmen moral yang tinggi tertuang dalam bentuk aturan
khusus yang menjadi pegangan bagi setiap orang yang mengembangkan profesi yang
bersangkutan. Aturan ini merupakan aturan main dalam menjalankan atau mengemban
profesi tersebut yang biasanya disebut sebagai kode etik yang harus dipenuhi dan ditaati oleh
setiap profesi. Tujuannya adalah agar profesional memberikan jasa atau produk yang sebaik-
baiknya kepada masyarakat serta melindungi dari perbuatan yang tidak profesional, dengan
demikian akan mendapatkan kepercayaan di mata masyarakat. Seorang Insinyur dituntut
untuk bekerja keras, disiplin, tidak asal jadi dan tuntas yang harus di imbangi dengan kerja
cerdas yaitu mengikuti perkembangan teknologi dibidangnya, inovatif dan dapat
menyelesaikan masalah dengan cara yang paling baik, bergerak cepat, tidak menunda
pekerjaan sehingga visi, misi dan tujuan cepat tercapai, tanggap terhadap keinginan
masyarakat; bertindak tepat: tepat rencana, tepat penyelesaian, serta rasional. Seseorang
insinyur yang memiliki jiwa profesionalisme senantiasa mendorong dirinya untuk
mewujudkan kerja-kerja yang profesional.
Etika Profesi Insinyur Sipil adalah sebuah profesi yang penting didalam
pelaksanaan pembangunan karena banyak berhubungan dengan aktivitas perancangan
maupun perekayasaan yang ditujukan semata dan demi kemanfaatan bagi manusia. Dengan
mengacu pada pengertian dan pemahaman mengenai profesi, (sikap) professional dan
(paham) profesionalisme. Penting untuk pertama memberikan definisi formal menyoroti
peran seorang insinyur sipil. Seorang insinyur sipil bertanggung jawab untuk menggunakan
latar belakang teknik sipil mereka untuk merencanakan dan mengawasi upaya pembangunan
berbagai bidang. Mereka akan menerapkan prinsip-prinsip teknik sipil untuk memastikan
bahwa struktur yang dibangun dengan cara paling aman. Salah satu tanggung jawab umum
dari insinyur sipil adalah menganalisis berbagai faktor yang menyangkut pekerjaan
konstruksi. Para insinyur sipil akan menganalisis lokasi situs yang diusulkan serta pekerjaan
konstruksi seluruh yang akan selesai pada situs tersebut. Mereka akan menganalisis proses
untuk menyelesaikan pekerjaan konstruksi setiap langkah demi langkah.

4. Jelaskan teori kebenaran korespondensi, koherensi, dan pragmatis. Dalam hal Teknik
sipil, Kebenaran yang di gunakan sesuai dengan teori kebenaran penjelasan beserta
contoh.
Jawab :

Teori Korespendensi (The Correspondence Theory of Thruth) memandang bahwa


kebenaran adalah kesesuaian antara pernyataan tentang sesuatu dengan kenyataan sesuatu itu
sendiri. Contoh: “Ibu kota Republik Indonesia adalah Jakarta”.

Teori Koherensi/Konsistensi (The Consistence/Coherence Theory of Truth)


memandang bahwa kebenaran ialah kesesuaian antara suatu pernyataan dengan pernyataan-
pernyataan lainnya yang sudah lebih dahulu diketahui, diterima dan diakui sebagai benar.
Contoh : “ Beton akan kuat menerima gaya tekan”

Teori Pragmatis (The Pragmatic Theory of Truth) memandang bahwa “kebenaran


suatu pernyataan diukur dengan kriteria apakah pernyataan tersebut bersifat fungsional dalam
kehidupan praktis”; dengan kata lain, “suatu pernyataan adalah benar jika pernyataan itu
mempunyai kegunaan praktis dalam kehidupan manusia”. Kata kunci teori ini adalah:
kegunaan (utility), dapat dikerjakan (workability), akibat atau pengaruhnya yang memuaskan
(satisfactory consequencies). Contoh : “Bangunan akan hancur jika bebean melebihi beban
ijin”
Teori Korespondensi (Correspondence Theory of Truth) Teori kebenaran
korespondensi adalah teori yang berpandangan bahwa pernyataan-pernyataan adalah benar
jika berkorespondensi terhadap fakta atau pernyataan yang ada di alam atau objek yang dituju
pernyataan tersebut. Kebenaran atau suatu keadaan dikatakan benar jika ada kesesuaian
antara arti yang dimaksud oleh suatu pendapat dengan fakta. Suatu proposisi adalah benar
apabila terdapat suatu fakta yang sesuai dan menyatakan apa adanya. Teori ini sering
diasosiasikan dengan teori-teori empiris pengetahuan. Teori kebenaran korespondensi adalah
teori kebenaran yang paling awal, sehingga dapat digolongkan ke dalam teori kebenaran
tradisional karena Aristoteles sejak awal (sebelum abad Modern) mensyaratkan kebenaran
pengetahuan harus sesuai dengan kenyataan yang diketahuinya. Dua kesukaran utama yang
didapatkan dari teori korespondensi adalah: Pertama, teori korespondensi memberikan
gambaran yang menyesatkan dan yang terlalu sederhana mengenai bagaimana kita
menentukan suatu kebenaran atau kekeliruan dari suatu pernyataan. Bahkan seseorang dapat
menolak pernyataan sebagai sesuatu yang benar didasarkan dari suatu latar belakang
kepercayaannya masing-masing. Kedua, teori korespondensi bekerja dengan idea, “bahwa
dalam mengukur suatu kebenaran kita harus melihat setiap pernyataan satu-per-satu, apakah
pernyataan tersebut berhubungan dengan realitasnya atau tidak.” Lalu bagaimana jika kita
tidak mengetahui realitasnya? Bagaimanapun hal itu sulit untuk dilakukan. Ketiga,
Kelemahan teori kebenaran korespondensi ialah munculnya kekhilafan karena kurang
cermatnya penginderaan, atau indera tidak normal lagi. Di samping itu teori kebenaran
korespondensi tidak berlaku pada objek/bidang nonempiris atau objek yang tidak dapat
diinderai. Kebenaran dalam ilmu adalah kebenaran yang sifatnya objektif, ia harus didukung
oleh fakta-fakta yang berupa kenyataan dalam pembentukan objektivanya. Kebenaran yang
benar-benar lepas dari kenyataan subjek.

Teori Koherensi (Coherence Theory of Truth) Teori kebenaran koherensi adalah


teori kebenaran yang didasarkan kepada kriteria koheren atau konsistensi. Suatu pernyataan
disebut benar bila sesuai dengan jaringan komprehensif dari pernyataan-pernyataan yang
berhubungan secara logis. Pernyataan-pernyataan ini mengikuti atau membawa kepada
pernyataan yang lain. Seperti sebuah percepatan terdiri dari konsep-konsep yang saling
berhubungan dari massa, gaya dan kecepatan dalam fisika. Teori Koherensi/Konsistensi (The
Consistence/Coherence Theory of Truth) memandang bahwa kebenaran ialah kesesuaian
antara suatu pernyataan dengan pernyataan-pernyataan lainnya yang sudah lebih dahulu
diketahui, diterima dan diakui sebagai benar. Suatu proposisi benar jika proposisi itu
berhubungan (koheren) dengan proposisi-proposisi lain yang benar atau pernyataan tersebut
bersifat koheren atau konsisten dengan pernyataan-pernyataan sebelumnya yang dianggap
benar. Dengan demikian suatu putusan dianggap benar apabila mendapat penyaksian
(pembenaran) oleh putusan-putusan lainnya yang terdahulu yang sudah diketahui,diterima
dan diakui benarnya. Karena sifatnya demikian, teori ini mengenal tingkat-tingkat kebenaran.
Disini derajar koherensi merupakan ukuran bagi derajat kebenaran. Contoh: “Semua manusia
akan mati. Si Fulan adalah seorang manusia. Si Fulan pasti akan mati.” “Sukarno adalah
ayahanda Megawati. Sukarno mempunyai puteri. Megawati adalah puteri Sukarno”. Seorang
sarjana Barat A.C Ewing (1951:62) menulis tentang teori koherensi, ia mengatakan bahwa
koherensi yang sempurna merupakan suatu ide yang tak dapat dicapai, akan tetapi pendapat-
pendapat dapat dipertimbangkan menurut jaraknya dari ideal tersebut. Sebagaimana
pendekatan dalam aritmatik, dimana pernyataan-pernyataan terjalin sangat teratur sehingga
tiap pernyataan timbul dengan sendirinya dari pernyataan tanpa berkontradiksi dengan
pernyataan-pernyataan lainnya. Jika kita menganggap bahwa 2+2=5, maka tanpa melakukan
kesalahan lebih lanjut, dapat ditarik kesimpulan yang menyalahi tiap kebenaran aritmatik
tentang angka apa saja. Teori koherensi, pada kenyataannya kurang diterima secara luas
dibandingkan teori korespondensi. Teori ini punya banyak kelemahan dan mulai
ditinggalkan. Misalnya, astrologi mempunyai sistem yang sangat koheren, tetapi kita tidak
menganggap astrologi benar. Kebenaran tidak hanya terbentuk oleh hubungan antara fakta
atau realitas saja, tetapi juga hubungan antara pernyataan-pernyataan itu sendiri. Dengan kata
lain, suatu pernyataan adalah benar apabila konsisten dengan pernyataan-pernyataan yang
terlebih dahulu kita terima dan kita ketahui kebenarannya. Matematika adalah bentuk
pengetahuan yang penyusunannya dilakukan pembuktian berdasarkan teori koheren. Sistem
matematika disusun diatas beberapa dasar pernyataan yang dianggap benar (aksioma).
Dengan mempergunakan beberapa aksioma, maka disusun suatu teorema. Dan diatas
teorema-lah, maka dikembangkan kaidah-kaidah matematika yang secara keseluruhan
merupakan suatu sistem yang konsisten. Salah satu dasar teori ini adalah hubungan logis dari
suatu proposisi dengan proposisi sebelumnya. Proposisi atau pernyataan adalah apa yang
dinyatakan, diungkapkan dan dikemukakan atau menunjuk pada rumusan verbal berupa
rangkaian kata-kata yang digunakan untuk mengemukakan apa yang hendak dikemukakan.
Proposisi menunjukkan pendirian atau pendapat tentang hubungan antara dua hal dan
merupakan gabungan antara faktor kuantitas dan kualitas. Contohnya tentang hakikat
manusia, baru dikatakan utuh jika dilihat hubungan antara kepribadian, sifat, karakter,
pemahaman dan pengaruh lingkungan. Psikologi strukturalisme berusaha mencari strukturasi
sifat-sifat manusia dan hubungan-hubungan yang tersembunyi dalam kepribadiannya. Dua
masalah yang didapatkan dari teori koherensi adalah: (1) Pernyataan yang tidak koheren
(melekat satu sama lain) secara otomatis tidak tergolong kepada suatu kebenaran, namun
pernyataan yang koheren juga tidak otomatis tergolong kepada suatu kebenaran. Misalnya
saja diantara pernyataan “anakku mengacak-acak pekerjaanku” dan “anjingku mengacak-
acak pekerjaanku” adalah sesuatu yang sulit untuk diputuskan mana yang merupakan
kebenaran, jika hanya dipertimbangkan dari teori koherensi saja. Misalnya lagi, seseorang
yang berkata, “ Sundel Bolong telah mengacak-acak pekerjaan saya!”, akan dianggap salah
oleh saya karena tidak konsisten dengan kepercayaan saya. (2) sama halnya dalam mengecek
apakah setiap pernyataan berhubungan dengan realitasnya, kita juga tidak akan mampu
mengecek apakah ada koherensi diantara semua pernyataan yang benar.

Teori Pragmatis (The Pragmatic Theory of Truth) Teori kebenaran pragmatis adalah
teori yang berpandangan bahwa arti dari ide dibatasi oleh referensi pada konsekuensi ilmiah,
personal atau sosial. Benar tidaknya suatu dalil atau teori tergantung kepada berfaedah
tidaknya dalil atau teori tersebut bagi manusia untuk kehidupannya. Kebenaran suatu
pernyataan harus bersifat fungsional dalam kehidupan praktis. Teori Pragmatis (The
Pragmatic Theory of Truth) memandang bahwa “kebenaran suatu pernyataan diukur dengan
kriteria apakah pernyataan tersebut bersifat fungsional dalam kehidupan praktis”; dengan kata
lain, “suatu pernyataan adalah benar jika pernyataan itu mempunyai kegunaan praktis dalam
kehidupan manusia”. Pragmatisme menantang segala otoritanianisme, intelektualisme dan
rasionalisme. Bagi mereka ujian kebenaran adalah manfaat (utility), kemungkinan dikerjakan
(workability) atau akibat yang memuaskan (Titus, 1987:241), Sehingga dapat dikatakan
bahwa pragmatisme adalah suatu aliran yang mengajarkan bahwa yang benar ialah apa yang
membuktikan dirinya sebagai benar dengan perantaraan akibat-akibatnya yang bermanfaat
secara praktis. Pegangan pragmatis adalah logika pengamatan dimana kebenaran itu
membawa manfaat bagi hidup praktis dalam kehidupan manusia. Kata kunci teori ini adalah:
kegunaan (utility), dapat dikerjakan (workability), akibat atau pengaruhnya yang memuaskan
(satisfactory consequencies). Teori ini pada dasarnya mengatakan bahwa suatu proposisi
benar dilihat dari realisasi proposisi itu. Jadi, benar-tidaknya tergantung pada konsekuensi,
kebenaran suatu pernyataan diukur dengan kriteria apakah pernyataan tersebut bersifat
fungsional dalam kehidupan praktis, sepanjang proposisi itu berlaku atau memuaskan.
Menurut teori pragmatis, “kebenaran suatu pernyataan diukur dengan kriteria apakah
pernyataan tersebut bersifat fungsional dalam kehidupan praktis. Artinya, suatu pernyataan
adalah benar, jika pernyataan itu atau konsekuensi dari pernyataan itu mempunyai kegunaan
praktis bagi kehidupan manusia” . Dalam pendidikan, misalnya di UIN, prinsip kepraktisan
(practicality) telah mempengaruhi jumlah mahasiswa pada masing-masing Fakultas. Tarbiyah
lebih disukai, karena pasar kerjanya lebih luas daripada fakultas lainnya. Mengenai
kebenaran tentang “Adanya Tuhan” atau menjawab pertanyaan “Does God exist ?”, para
penganut paham pragmatis tidak mempersoalkan apakah Tuhan memang ada baik dalam
ralitas atau idea (whether really or ideally). Yang menjadi perhatian mereka adalah makna
praktis atau dalam ungkapan William James “ ….they have a definite meaning for our
ptactice. We can act as if there were a God”. Dalam hal ini, menurut penganut pragmatis,
kepercayaan atau keyakinan yang membawa pada hasil yang terbaik; yang menjadi justifikasi
dari segala tindakan kita; dan yang meningkatkan suatu kesuksesan adalah kebenaran. Teori
pragmatis meninggalkan semua fakta, realitas maupun putusan/hukum yang telah ada. Satu-
satunya yang dijadikan acuan bagi kaum pragmatis ini untuk menyebut sesuatu sebagai
kebenaran ialah jika sesuatu itu bermanfaat atau memuaskan. Apa yang diartikan dengan
benar adalah yang berguna (useful) dan yang diartikan salah adalah yang tidak berguna
(useless). Karena istilah “berguna” atau “fungsional” itu sendiri masih samar-samar, teori ini
tidak mengakui adanya kebenaran yang tetap atau mutlak. Pragmatisme memang benar untuk
menegaskan karakter praktis dari kebenaran, pengetahuan, dan kapasitas kognitif manusia.
Tapi bukan berarti teori ini merupakan teori yang terbaik dari keseluruhan teori. Kriteria
pragmatisme juga dipergunakan oleh ilmuan dalam menentukan kebenaran ilmiah dalam
prespektif waktu. Secara historis pernyataan ilmiah yang sekarang dianggap benar suatu
waktu mungkin tidak lagi demikian. Dihadapkan dengan masalah seperti ini maka ilmuan
bersifat pragmatis selama pernyataan itu fungsional dan mempunyai kegunaan maka
pernyataan itu dianggap benar, sekiranya pernyataan itu tidak lagi bersifat demikian,
disebabkan perkembangan ilmu itu sendiri yang menghasilkan pernyataan baru, maka
pernyataan itu ditinggalkan, demikian seterusnya. Kebenaran absolut atau kebenaran mutlak
berasal dari Tuhan yang disampaikan kepada manusia melalui wahyu. Alam dan kehidupan
merupakan sumber kebenaran yang tersirat dari tuhan untuk dipelajari dan diobservasi guna
kebaikan umat manusia.

5. Dalam rangka merancang pembangunan sarana dan prasarana fisik, kita harus
memperhatikan keadilan, Teori keadilan apa yang menurut sdr paling baik di terapkan
di Indonesia, Uraikan dengan di beri contohnya di lapangan.
Jawab :

Keadilan menurut Plato, Plato adalah seorang pemikir idealis abstrak yang
mengakui kekuatan-kekuatan diluar kemampuan manusia sehingga pemikiran irasional
masuk dalam filsafatnya. Demikian pula halnya dengan masalah keadilan, Plato berpendapat
bahwa keadilan adalah diluar kemampuan manusia biasa. Sumber ketidakadilan adalah
adanya perubahan dalam masyarakat. Masyarakat memiliki elemen-elemen principal yang
harus dipertahankan, yaitu: a) Pemilahan kelas-kelas yang tegas; misalnya kelas penguasa
yang diisi oleh para penggembala dan anjing penjaga harus dipisahkan secara tegas dengan
domba manusia. b) Identifikasi takdir negara dengan takdir kelas penguasanya; perhatian
khusus terhadap kelas ini dan persatuannya; dan kepatuhan pada persatuannya, aturan-aturan
yang rigid bagi pemeliharaan dan pendidikan kelas ini, dan pengawasan yang ketat serta
kolektivisasi kepentingan-kepentingan anggotanya.
Dari elemen-elemen prinsipal ini, elemen-elemen lainnya dapat diturunkan, misalnya
berikut ini:
a.Kelas penguasa punya monopoli terhadap semua hal seperti keuntungan dan latihan
militer, dan hak memiliki senjata dan menerima semua bentuk pendidikan, tetapi kelas
penguasa ini tidak diperkenankan berpartisipasi dalam aktivitas perekonomian, terutama
dalam usaha mencari penghasilan,
b.Harus ada sensor terhadap semua aktivitas intelektual kelas penguasa, dan
propaganda terus-menerus yang bertujuan untuk menyeragamkan pikiranpikiran mereka.
Semua inovasi dalam pendidikan, peraturan, dan agama harus dicegah atau ditekan.
c.Negara harus bersifat mandiri (self-sufficient). Negara harus bertujuan pada autarki
ekonomi, jika tidak demikian, para penguasa akan bergantung pada para pedagang, atau
justru para penguasa itu sendiri menjadi pedagang. Alternatif pertama melemahkan
kekuasaan mereka, sedangkan alternative kedua akan melemahkan persatuan kelas penguasa
dan stabilitas negaranya.
Untuk mewujudkan keadilan masyarakat harus dikembalikan pada struktur aslinya,
domba menjadi domba, penggembala menjadi penggembala. Tugas ini adalah tugas negara
untuk menghentikan perubahan. Dengan demikian keadilan bukan mengenai hubungan antara
individu melainkan hubungan individu dan negara. Bagaimana individu melayani negara.
Keadilan juga dipahami secara metafisis keberadaannya sebagai kualitas atau fungsi
makhluk super manusia, yang sifatnya tidak dapat diamati oleh manusia. Konsekuensinya
ialah, bahwa realisasi keadilan digeser ke dunia lain, di luar pengalaman manusia; dan akal
manusia yang esensial bagi keadilan tunduk pada cara-cara Tuhan yang tidak dapat diubah
atau keputusan-keputusan Tuhan yang tidak dapat diduga. Dengan demikian Plato
mengungkapkan bahwa yang memimpin Negara seharusnya manusia super, yaitu the king of
philosopher.

Keadilan Menurut Aristoteles Merosotnya demokrasi Athena, dalam perang


Peloponesus dan sesudahnya, menjadi bahan perenungan tentang keadilan yang mendominasi
filsafat hukum Plato dan Aristotels. Keduanya mencurahkan sebagian besar dari karya
mereka untuk memberi definisi yang konkret mengenai keadilan dan hubungan antara
keadilan dan hukum positif. Plato berusaha untuk mendapatkan konsepnya mengenai
keadilan dari ilham, sementara Aristoteles mengembangkannya dari analisa ilmiah atas
prinsip-prinsip rasional dengan latar belakang model-model masyarakat politik dan undang-
undang yang telah ada.

Doktrin-doktrin Aristoteles tidak hanya meletakkan dasar-dasar bagi teori hukum,


tetapi juga kepada filsafat barat pada umumnya. Kontribusi Aristoteles bagi filsafat hukum
adalah formulasinya terhadap masalah keadilan, yang membedakan antara : keadilan
“distributive” dengan keadilan “korektif” atau “remedial” yang merupakan dasar bagi semua
pembahasan teoritis terhadap pokok persoalan. Keadilan distributive mengacu kepada
pembagian barang dan jasa kepada setiap orang sesuai dengan kedudukannya dalam
masyarakat, dan perlakuan yang sama terhadap kesederajatan dihadapan hukum (equality
before the law).
Keadilan korektif berfokus pada pembetulan sesuatuyang salah. Jika suatu
pelanggaran dilanggar atau kesalahan dilakukan, maka keadilan korektif berusaha
memberikan kompensasi yang memadai bagi pihak yang dirugikan; jika suatu kejahatan telah
dilakukan, maka hukuman yang sepantasnya perlu diberikan kepadasi pelaku. Bagaimanapun,
ketidakadilan mengakibatkan terganggunya “kesetaraan” yang sudah mapan atau telah
terbentuk. Keadilan korektif bertugas membangun kembali kesetaraan tersebut. Dari uraian
ini nampak bahwa keadilan korektif merupakan wilayah peradilan sedangkan keadilan
distributif merupakan bidangnya pemerintah.
Dalam Ethica Niconzachea, misalnya, Aristoteles melihat keadilan antara pihak-pihak
yang bersengketa merupakan prasyarat dasar tata kehidupan yang baik dalam polis. Dalam
rangka itu, ia membedakan tiga macam keadilan: distributif, pemulihan, dan komutatif.
Terutama prinsip 'keadilan komutatif’mengatur urusan transaksi antara pihak-pihak yang
terlibat dalam pertukaran atau perdagangan. Misalnya: Pertama, harus ada kesetaraan
perbandingan antara barang yang dipertukarkan, dan kedua, harus terjadi kesalingan; semua
barang yang dipertukarkan harus sebanding. Untuk tujuan itulah uang digunakan, dan dalam
arti tertentu menjadi perantara. Jumlah sepatu yang ditukarkan dengan sebuah rumah (atau
dengan sejumlah makanan) dengan demikian harus setara dengan rasio seorang pembangun
rumah terhadap seorang pembuat sepatu.

Aristoteles menerangkan keadilan dengan ungkapan “justice consists in treating


equals equally and unequalls unequally, in proportion to their inequality.” Untuk hal-hal
yang sama diperlakukan secara sama, dan yang tidak sama juga diperlakukan tidak sama,
secara proporsional.13Aristoteles dalam mengartikan keadilan sangat dipengaruhi oleh
unsure kepemilikan benda tertentu. Keadilan ideal dalam pandangan Aristoteles adalah ketika
semua unsur masyarakat mendapat bagian yang sama dari semua benda yang ada di alam.
Manusia oleh Aristoteles dipandang sejajar dan mempunyai hak yang sama atas kepemilikan
suatu barang (materi). Pandangan Aristoteles tentang keadilan bisa didapatkan dalam
karyanya nichomachean ethics, politics, rethoric. Buku ini sepenuhnya ditujukan bagi
keadilan yang berdasarkan filsafat hukum Aristoteles mesti dianggap sebagai ini dari filsafat
hukumnya, “Karena hukum hanya bisa ditetapkan dalam kaitannya dengan keadilan”.

Keadilan Menurut John Rawls menyatakan bahwa keadilan pada dasarnya


merupakan prinsip dari kebijakan rasional yang diaplikasikan untuk konsepsi jumlah dari
kesejahteraan seluruh kelompok dalam masyarakat. Untuk mencapai keadilan tersebut, maka
rasional jika seseorang memaksakan pemenuhan keinginannya sesuai dengan prinsip
kegunaan, karena dilakukan untuk memperbesar keuntungan bersih dari kepuasan yang
diperoleh oleh anggota masyarakatnya.
Ketidaksamaan harus diberikan aturan yang sedemikian rupa sehingga paling
menguntungkan golongan masyarakat paling lemah. hal ini terjadi kalau dua syarat dipenuhi.
Pertama situasi ketidaksamaan menjamin maximum minorium bagi orang yang paling lemah.
Artinya situasi masyarakat harus sedemikian rupa, sehingga dihasilkan untung yang paling
tinggi yang mungkin dihasilkan bagi orang-orang kecil. kedua, ketidaksamaan diikat pada
jabatanjabatan yang terbuka bagi semua orang. maksudnya setiap orang memiliki diberikan
peluang yang sama besar dalam hidup.
Kesamaan dapat meletakkan prinsip-prinsip keadilan, karena pada dasarnya hukum
harus menjadi penuntun agar orang dapat mengambil posisi yang adil dengan tetap
memperhatikan kepentingan individunya, dan bertindak proposional sesuai dengan haknya
serta tidak melanggar hukum yang berlaku. Dengan demikian keadilan sangat berkaitan
dengan hak dan kewajiban para pihak dalam melaksanakan kesepakatan perjanjian sebagai
bentuk tanggung jawabnya.
Terdapat dua tujuan dari teori keadilan menurut John Rawls, yaitu:
a. Teori ini mau mengartikulasikan sederet prinsip-prinsip umum keadilan yang
mendasari dan dan menerangkan berbagai keputusan moral yang sungguh-sungguh
dipertimbangkan dalam keadaan-keadaan khusus kita. Yang dia maksudkan dengan
“keputusan moral” adalah sederet evaluasi moral yang telah kita buat dan sekiranya
menyebabkan tindakan sosial kita. Keputusan moral yang sungguh dipertimbangkan
menunjuk pada evaluasi moral yang kita buat secara refleksif.
b. Rawls mau mengembangkan suatu teori keadilan sosial yang lebih unggul atas teori
utilitarianisme. Rawls memaksudkannya “rata-rata” (average utilitarianisme). Maksudnya
adalah bahwa institusi sosial dikatakan adil jika diabdiakan untuk memaksimalisasi
keuntungan dan kegunaan. Sedang utilitarianisme rata-rata memuat pandangan bahwa
institusi sosial dikatakan adil jika hanya diandikan untuk memaksimilasi keuntungan rata-rata
perkapita. Untuk kedua versi utilitarianisme tersebut “keuntungan” didefinisikan sebagai
kepuasan atau keuntungan yang terjadi melalui pilihan-pilihan. Rawls mengatakan bahwa
dasar kebenaran teorinya membuat pandangannya lebih unggul dibanding kedua versi
utilitarianisme tersebut. Prinsipprinsip keadilan yang ia kemukakan lebih unggul dalam
menjelaskan keputusan moral etis atas keadilan sosial.
Dua prinsip keadilan Rawls di bawah ini merupakan solusi bagi problem utama
keadilan.
a. Prinsip kebebasan yang sama sebesar-besarnya (principle of greatest equal
liberty). Prinsip ini mencakup : 1) Kebebasan untuk berperan serta dalam kehidupan politik
(hak bersuara, hak mencalonkan diri dalam pemilihan), 2) Kebebsan berbicara (termasuk
kebebasan pers), 3) Kebebasan berkeyakinan (termasuk keyakinan beragama), 4) Kebebasan
menjadi diri sendiri (person), dan 5) Hak untuk mempertahankan milik pribadi.

b. Prinsip keduanya ini terdiri dari dua bagian, yaitu prinsip perbedaan (the difference
principle) dan prinsip persamaan yang adil atas kesempatan (the prinsiple of fair equality of
opprtunity). Inti prinsip pertama adalah bahwa perbedaan sosial dan ekonomis harus diatur
agar memberikan manfaat yang paling besar bagi mereka yang paling kurang beruntung.
Istilah perbedaan sosio-ekonomis dalam prinsip perbedaan menuju pada ketidak samaan
dalam prospek seorang untuk mendapatkan unsur pokok kesejahteraan, pendapatan dan
otoritas. Sedang istilah yang paling kurang beruntung (paling kurang diuntungkan) menunjuk
pada mereka yang paling kurang mempunyai peluang untuk mencapai prospek kesejahteraan,
pendapatan dan otoritas.

Maka dari itu, Menurut hemat saya teori Keadilan yang sesuai adalah teori yang di
kemukakan oleh Aristoteles, Karena dewasa ini sudah saatnya pemerintah mengembalikan
esensi pembangunan ekonomi pada jalurnya. Di samping karena sistem politik kita sudah
mulai berangsur berubah dari sistem yang otoriter menuju pada sistem yang demokratis,
masyarakat kita sudah mulai jenuh dan sadar dengan segala apa yang dialami, meskipun hal
tersebut belum tersebar secara menyeluruh pada lapisan masyarakat.

Dalam nuansa yang demikian itu, proses demokratisasi dalam pemerintahan pun perlu
diupayakan atau harus dilakukan sejalan dengan sistem politik yang ada. Sayangnya proses
yang dimaksud belum merasuki jiwa daripada pemerintah dan para pemain dalam proses
pembangunan ekonomi itu sendiri, sehingga berbagai penyimpangan selalu terjadi akibat ulah
dari elite-penguasa dan elit-pengusaha. Atau secara singkat dapat dikatakan bahwa
birokratisme pemikiran terhadap proses pembangunan ekonomi, harus dirubah menjadi
demokratisme pemikiran terhadap proses pembangunan ekonomi. Karena di saat proses
pembangunan ekonomi identik dengan proses birokrasi pemerintah maka terminologi
partisipasi masyarakat dalam pengambilan keputusan yang banyak dituntut dalam nuansa
demokratisasi akan menjadi isapan jempol belaka alias omong kosong, lantaran yang terjadi
adalah terjadinya reduksi terhadap hasil kebijakan ekonominya, di mana yang bergerak
adalah proses pemaksaan kehendak dan kepentingan elite penguasa dan elite pemilik modal
daripada keberpihakan kepada aspirasi dan kepentingan masyarakat umum.

Dalam ranah ini, dimensi moral dalam diri pemerintah (pelaku pembangunan dan
kebijakan) HAM dikedepankan dan menjadi dasar yang kuat untuk memagari jalannya proses
kebijakan. Jika tidak maka selamat tinggal keadilan sosial yang merupakan ruh dari kebijakan
ekonomi bangsa kita. tentunya menjadi tantangan besar bagi pemerintahan kita saat ini,
bilamana kita meninjau formasi personalia tim ekonomi Kabinet Indonesia Maju yang terdiri
dari person-person yang berorientasi pada Kapital, Tentu menjadi pertanyaan besar bagi
masyarakat apakah pembangunan yang berkeadilan bias di wujudkan? Tentu waktu yang
akan menjawabnya.

Anda mungkin juga menyukai