Anda di halaman 1dari 11

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Menurut Fuad Hasan dalam buku beliau Pengantar Filsafat barat di
kemukakan bahwa :
 “Sejak era Renaissance hingga memasuki abad ke 20 M, alam
pikiran di eropa  barat ditandai oleh kemunculannya berbagai aliran filsafat
yang tidak mudah dipertemukan. Pertemuan tersebut menghasilkan
pertentangan, sehingga filsafat justru mengaburkan adanya landasan yang
pasti sebagai titik pijak untuk mengembangkan pemikiran sebagai proses
penalaran yang sistematis dan konsisten”
Dalam era renaissance tersebut merupakan masa jayanya
rasionalisme. Pada masa itu pula di Prancis masanya kebebasan
berkembang dengan bermunculannya golongan yang disebut kaum
philosophes.   Epistemologi berarti berbicara tentang “bagaimana cara kita
memperoleh ilmu pengetahuan?”. Dalam memperoleh pengetahuan inilah
akan ada sarana dipergunakan seperti akal, pengalaman atau kombinasi
antara akal dan pengalaman institusi, sehingga dikenal adanya model-
model epistemologi rasionalisme, empisisme, kritisisme atau rasionalisme
kritis, positivisme dan fenomenologi dengan berbagai variasinya.
Di dalam kehidupan praktis sehari-hari, manusia bergerak di dalam
dunia yang telah diselubungi dengan penafsiran-penafsiran dan kategori-
kategori ilmu pengetahuan dan filsafat. Penafsiran-penafsiran itu seringkali
diwarnai oleh kepentingan-kepentingan, situasi-situasi kehidupan dan
kebiasaan-kebiasaan, sehingga ia telah melupakan dunia apa adanya, dunia
kehidupan yang murni, tempat berpijaknya segala bentuk penafsiran.
Dominasi paradigma positivisme selama bertahun-tahun terhadap dunia
keilmuan, tidak hanya dalam ilmu-ilmu alam tetapi juga pada ilmu-ilmu
sosial bahkan ilmu humanities, telah mengakibatkan krisis ilmu
pengetahuan.
Problematik positivisme dalam ilmu-ilmu sosial, yang
menghilangkan peranan subjek dalam membentuk ‘fakta sosial’, telah
mendorong munculnya upaya untuk mencari dasar dan dukungan
metodologis baru bagi ilmu sosial dengan ‘mengembalikan’ peran subjek
kedalam proses keilmuwan itu sendiri. Salah satu pendekatan tersebut
adalah pendekatan fenomenologi.

B. Rumusan Masalah
1. Apakah yang dimaksud fenomenologi?
2.

3. Apa saja Faktor yang mendorong munculnnya Filsafat Islam?

4. Bagaimana Periode Perkembangan Filsafat Islam?

5. Siapa saja Filosof Islam dan Apa filsafatnya?

C. Tujuan Penulisan

1. Untuk mengetahui apa itu Filsafat Islam.

2. Untuk mengetahui apa yang melatar belakangi


munculnya Filsafat Islam

3. Untuk mengetahui Faktor-Faktor yang mendorong


munculnya Filsafat Islam

4. Untuk mengetahui Perkembangan Filsafat Islam

5. Untuk mengetahui siapa saja Filsuf Islam dan apa


pemikiran Filsafatnya.
BAB II
PEMBAHASAN

A. Definisi Fenomenologi
Fenomenologi terbentuk dari kata fenomenon dan logos. Kata
fenomenon berarti sesuatu yang menggejala , yang menampakkan diri.
Sedangkan istilah logos berarti ilmu. Jadi, fenomenologi berarti ilmu tentang
fenomena atau pembahasan tentang sesuatu yang menampakkan diri. Dengan
demikian, semua wilayah fenomena (realitas) yang menampakkan diri
(manusia, gejala sosial-budaya atau objek-objek lain) dapat dikatakan sebagai
objek kajian fenomenologi. 1
Dilihat dari kemunculan istilah fenomenologi, sebelum istilah itu
dipergunakan oleh Husserl, istilah fenomenologi sebelumnya telah digunakan
oleh Immanuel Kant (1724-1804) dan George Wilhelm Friedrich Hegel
(1770-1831). Kant misalnya mengemukakan istilah fenomena dan noumena.
Fenomena pada Kant mengacu pada apa yang tampak, dan sesuatu yang
tampak itu dapat dipahami dan dimengerti. Fenomena merupakan hasil
konstruksi subjek yang mengetahui terhadap objek (fenomena) yang
diketahui. Disini, Kant membedakan fenomena dengan noumena. 2Fenomena
sebagai realita yang dapat diketahui, dapat diobservasi, sedangkan noumena
adalah hakikat realitas yang berada di balik fenomena (metafisik). Karena
noumena itu berada di luar jangkauan pengamatan, maka menurut Kant, kita
tidak dapat memahaminya sebab tidak ada jalan masuk indrawi ke noumena
itu. Jadi, fenomenologi pada Kant adalah bentuk epistemologi yang meyakini
kemungkinan untuk mengetahui fenomena saja dan bukan noumena.

1
Akhyar Yusuf Lubis, Filsafat Ilmu : Klasik hingga Kontemporer (Jakarta : Rajawali Pers, 2015), hlm.
205

2
Ibid.,hlm.206
Sementara itu, Hegel mengemukakan istilah fenomenologi melalui
bukunya The Phenomenology of Spirit (1806). Bagi Hegel, seluruh fenomena
hanyalah penampakan diri dari akal yang tidak terbatas (Roh Absolut). Dalam
pandangan idealisme Hegel, seluruh fenomena dalam berbagai keragamannya,
sesungguhnya tetap didasarkan pada satu esensi atau kesatuan dasar (geist
atau spirit). Hegel menekankan adanya hubungan antara esensi (hakikat)
dengan penampakan (fenomena) yang teramati. Bagi Hegel, tidak ada
pertentangan antara fenomena dengan noumena, tidak ada pertentangan antara
yang dapat diamati (empiri) dengan yang dapat dipikirkan secara rasional.
Tesis Hegel yang paling terkenal adalah, “yang nyata” adalah sama dengan
“yang dipikirkan” atau “pikiran sama dengan kenyataan” (Copleston, 1963 :
179).
Dari beberapa pengertian di atas tentang fenomenologi, maka dapat
dipahami bahwa fenomenologi berarti ilmu tentang fenomenon-fenomenon
atau apa saja yang nampak. Sebuah pendekatan filsafat yang berpusat pada
analisis terhadap gejala yang menampakkan diri pada kesadaran kita.

B. Tokoh-Tokoh Fenomenologi dan Pemikirannya


1. Edmund Husserl
Edmund Husserl lahir pada 8 April 1859 di kota kecil Proznitz daerah
Moravia yang waktu itu di bawah kekaisaran Austria-Hongaria dan sejak
perang dunia I masuk wilayah Cekoslowakia. Husserl belajar matematika,
filsafat dan astronomi di Universitas Leipzig, Berlin, dan Wina. Minat pada
filsafat tumbuh sewaktu Husserl mengikuti kuliah-kuliah Franz Brentano pada
tahun 1884-1886. 3

3
Akhyar Yusuf Lubis, Filsafat Ilmu : Klasik hingga Kontemporer (Jakarta : Rajawali Pers, 2015), hlm.
207
Dalam pemikiran Husserl, konsep fenomenologi itu berpusat pada
4
persoalan tentang kebenaran. Baginya fenomenologi bukan hanya sebagai
filsafat tetapi juga sebagai metode, karena dalam fenomenologi kita
memperoleh langkah-langkah dalam menuju suatu fenomena yang
murni.5 Husserl yakin bahwa ada kebenaran bagi semua dan manusia dapat
mencapai kebenaran itu.
Menurut Husserl “prinsip segala prinsip” ialah bahwa hanya intuisi
langsung (dengan tidak menggunakan pengantara apapun juga) dapat dipakai
sebagai kriteria terakhir dibidang Filsafat. Hanya apa yang secara langsung
diberikan kepada kita dalam pengalaman dapat dianggap benar dan dapat
dianggap benar “sejauh diberikan”. Dari situ Husserl menyimpulkan bahwa
kesadaran harus menjadi dasar filsafat. Alasannya ialah bahwa hanya
kesadaran yang diberikan secara langsung kepada saya sebagai subjek, seperti
akan kita lihat lagi.
“Fenomen” merupakan realitas sendiri yang tampak, tidak ada selubung
yang memisahkan realitas dari kita., realitas itu sendiri tampak bagi kita.
Kesadaran menurut kodratnya mengarah pada realitas. Kesadaran selalu
berarti kesadaran akan sesuatu. Kesadaran menurut kodratnya bersifat
intensionalitas (intensionalitas merupakan unsur hakiki kesadaran). Dan justru
karena kesadaran ditandai oleh intensionalitas, fenomen harus dimengerti
sebagai sesuatu hal yang menampakkan diri. Ada beberapa aspek yang
penting dalam intensionalitas Husserl, yakni: 6

4
Rasyid Rizani, “Pemikiran Edmund Husserl Tentang Fenomenologi”, diakses dari http://konsultasi-
hukum-online.com/2013/06/fenomenologi-edmund-husserl/, pada tanggal 22 April 2018 pukul 06.15

5
Burhanuddin Salam, Pengantar Filsafat (Jakarta: Bumi Aksara, 1998), hlm.43

6
Joko Siswanto, Sistem-Sistem Metafisika Barat dari Aristoteles sampai Derrida (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar anggota IKAPI, 1998), cet.1, hlm.102-103
1. Lewat intensionalitas terjadi objektivikasi. Artinya bahwa unsur-unsur
dalam arus kesadaran menunjuk kepada suatu objek, terhimpun pada
suatu objek tertentu.
2. Lewat intensionalitas terjadilah identifikasi. Hal ini merupakan akibat
objektivikasi tadi, dalam arti bahwa berbagai data yang tampil pada
peristiwa-peristiwa kemudian masih pula dapat dihimpun pada objek
sebagai hasil objektivikasi tersebut.
3. Intensionalitas juga saling menghubungkan segi-segi suatu objek dengan
segi-segi yang mendampinginya.
Benda-benada tidaklah secara langsung memperlihatkan hakikat
dirinya. Apa yang kita temui pada benda-benda itu dalam pemikiran biasa
bukanlah hakikat. Hakikat benda itu ada dibalik yang kelihatan itu. Karena
pemikiran pertama (first look) tidak membuka tabir yang menutupi hakikat,
maka diperlukan pemikiran kedua (second look). Alat yang digunakan untuk
menemukan hakikat pada pemikiran kedua ini adalah intuisi. Dalam usaha
melihat hakikat dengan intuisi, Husserl memperkenalkan
pendekatan reduksi, yaitu penundaan segala ilmu pengetahuan yang ada
tentang objek sebelum pengamatan intuitif dilakukan. Reduksi juga dapat
diartikan penyaringan atau pengecilan. Istilah lain yang digunakan Husserl
adalah epoche yang artinya sebagai penempatan sesuatu di antara dua kurung.
Maksudnya adalah melupakan pengertian-pengertian tentang objek untuk
sementara, dan berusaha melihat objek secara langsung dengan intuisi tanpa
bantuan pengertian-pengertian yang ada sebelumnya.7 Agar orang dapat
memahami sebagaimana adanya, ia harus memusatkan perhatian kepada
fenomena tersebut tanpa prasangka dan tanpa memberi teori sama sekali, akan

7
Juhaya, S. Pradja, Aliran-Aliran Filsafat dari Rasionalisme hingga Sekularisme (Bandung: CV. Alva
Gracia, 1987), hlm.87-88
tetapi tertuju kepada barang / hal itu sendiri, sehingga hakikat barang itu dapat
mengungkapkan dirinya sendiri.8
Untuk mencapai hakikat tersebut, Husserl mengemukakan metode
bracketing dalam bentuk reduksi-reduksi. Reduksi berarti kembali pada dunia
pengalaman. Pengalaman adalah tanah dari mana dapat tumbuh segala makna
dan kebenaran.  Ada 3 macam reduksi yang ditempuh untuk mencapai realitas
fenomen dalam pendekatan fenomenologi itu, yaitu reduksi fenomenologis,
reduksi eidetis, dan reduksi fenomenologi transedental.
a. Reduksi fenomenologi, yaitu harus menyaring pengalaman-pengalaman
dengan maksud mendapat fenomena dalam wujud semurni-murninya. Dalam
artian bahwa, kita harus melepaskan benda-benda itu dari pandangan agama,
adat istiadat, ilmu pengetahuan dan ideologi.
b. Reduksi eidetis, yaitu dengan menyaring atau penempatan dalam tanda
kurung sebagai hal yang bukan eidos atau intisari atau hakikat gejala atau
fenomena.
c. Reduksi transcendental, yaitu dalam penerapannya berdasarkan subjeknya
sendiri perbuatannya dan kesadaran yang murni.

2. Martin Heidegger
Heidegger menyebut fenomenologinya sebagai “fenomenologi
hermeneutika”. Terkadang, fenomenologi Heidegger juga disebut sebagai
“analisis eksistensial”. Ini lantaran fokus pengamatan Heidegger atau
fenomenologinya adalah diarahkan kepada dunia manusia atau dalam istilah
Heidegger yakni in-der-welt-sein (“ada-dalam-dunia”). “Ada dalam dunia
menunjukkan keterlibatan (concerned with), keterikatan (preoccupation),
komitmen (commitment) dan keakraban (familiarity) manusia dengan
lingkungan alam dan budayanya.

8
Zubaedi, dkk, Filsafat Barat dari Logika Baru Rene Descartes hingga Revolusi Sains ala Thomas Khun
(Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2007), hlm.123
Bagi Heidegger, struktur ada-dalam-dunia” itu perlu dipahami dan
diungkap maknanya. Ini musabab “ada-dalam-dunia” tersebut, menurut
Heidegger, merupakan realitas yang sebenarnya di mana pengetahuan disana
bersifat “praktis” dan bukan “teoritis”. Untuk itu, salah satunya, di bukunya
yang berjudul Sein und Zeit (Ada dan Waktu), Heidegger mencoba
mempertanyakan masalah mendasar yaitu ihwal masalah “mengada”
(Dasein). Siapa saya?; dari mana (asal) saya dan hendak akan kemana?; hidup
saya untuk apa?; dan berbagai pertanyaan lainnya, semua itu adalah
permasalahan Dasein. Dasein bersifat terbuka sekaligus memberikan
pemaknaan Ada (dan hubungan Dasein dan Ada inilah yang disebut
eksistensi).

3. Max Scheler (1874-1928)


Max Scheler adalah filsuf yang terkenal dari aliran fenomenologi Husserl.
Dia dilahirkan di Munchen pada
Disamping Husserl adalah filosof fenomenologi, yaitu Max Scheler
(1874-1928). Bagi Scheler, metode fenomenologi sama dengan satu cara
tertentu untuk memandang realitas. Fenomenologi lebih merupakan sikap
bahan suatu prosedur khusus yang diikuti oleh pemikiran (diskusi, Induksi,
Observasi dll). Dalam hubungan ini kita mengadakan hubungan langsung
dengan realitas berdasarkan instuisi (pengalaman fenomenologi).
           Menurut Scheler ada tiga jenis fakta yang memegang peranan penting
dalam pengalaman fenomenologis, yaitu :
 (1) fakta natural, (2) fakta ilmiah, dan (3) fakta fenomenologis. Fakta natural
berasal dari pengalaman inderawi dan menyangkut benda-benda yang nampak
dalam pengalaman biasa. Fakta ilmiah mulai melepas diri dari penerapan
inderawi yang langsung dan semakin abstrak. Fakta fenomenologis
merupakan isi “intuitif” yang merupakan hakikat dari pengalaman langsung,
tidak terikat kepada ada tidaknya realisasi di luar.[14]
4. Maurice Merleau-Ponty (1908-1961)
Marleau-Ponty adalah filosof Perancis yang lahir pada 14 Maret 1908.
Ia disebut-sebut sebagai ahli fenomenologi terkemuka Perancis. Merleau
Ponty menempuh pendidikan di Ecole Normale Superieure, Paris, dan
berhasil meraih agregation dalam bidang filsafat pada tahun 1931.
Sebagaimana halnya Husserl, ia yakin seorang filosof benar-benar
harus memulai kegiatannya dengan meneliti pengalaman. Pengalamannya
sendiri tentang realitas, dengan begitu ia menjauhkan diri dari dua ekstrim
yaitu : Pertama hanya meneliti atau mengulangi penelitian tentang apa
yang telah dikatakan orang tentang realita, dan Kedua hanya
memperhatikan segi-segi luar dari penglaman tanpa menyebut-nyebut
realitas sama sekali.
Walaupun Marlean-Ponty setuju dengan Husserl bahwa kitalah yang
dapat mengetahui dengan sesuatu dan kita hanya dapat mengetahui benda-
benda yang dapat dicapai oleh kesadaran manusia, namun ia mengatakan
lebih jauh lagi, yakni bahwa semua pengalaman perseptual membawa
syarat yang essensial tentang sesuatu alam di atas kesadaran. Oleh karena
itu deskripsi fenomenologi yang dilakukan Marlean-Ponty tidak hanya
berurusan dengan data rasa atau essensi saja, akan tetapi menurutnya, kita
melakukan perjumpaan perseptual dengan alam. Marlean-Porty
menegaskan sangat perlunya persepsi untuk mencapai yang real
C. Faktor Pendorong munculnya Filsafat Islam

BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Ada dua pendapat tentang penamaan Filsafat Islam, yaitu
Pendapat yang berpendapat bahwa nama yang tepat adalah Filsafat
Arab dan pendapat yang berpendapat nama yang tepat adalah
Filsafat Islam. Jika disuruh memilih , bolehlah dipilih Filsafat Islam.
Mengingat bahwa Islam bukan hanya sekedar agama, melainkan
juga mencakup kebudayaan. Kesimpulannya ,Filsafat Islam juga
berarti Filsafat yang tumbuh di negeri-negeri Islam atau yang
berada dalam naungan kerajaan Islam tanpa melihat kepada apa
agama dan bahasa mereka. Pemikiran filsafat masuk kedalam Islam
melalui filsafat Yunani yang dijumpai kaum Muslimin pada abad ke-
8 M di Suriah, Mesopotamia, Persia dan Mesir melalui ekspansi
Alexander Agung. Alexander mencoba memperkenalkan filsafat dan
budaya Yunani di daerah jajahannya dengan cara menganjurkan
para prajurit dan intelektual Yunani untuk mengawini penduduk
setempat sehingga mereka betah hidup di tempat yang dikuasai.
Perkembangan peradaban filsafat Yunani di luar Yunani
disebut Hellenisme. Hellenisme memiliki pengaruh masuknya
filsafat dalam Islam. Faktor Pendorong munculnya Filsafat Islam
adalah faktor dorongan ajaran Islam, faktor perpecahan di kalangan
umat Islam , faktor dakwah Islam, factor menghadapi tantangan
zaman , dan faktor pengaruh kebudayaan lain. Periode
Perkembangan Filsafat Islam dimulai dari Periode Mutakalimin
(sekitar 700 – 900 M) lalu Periode Filosof Islam (sekitar 850 – 1200
M) dan terakhir Periode Pasca Ibnu Rusyd (1200 – 1950 M). Muncul
beberapa filsuf Islam yang memiliki pemikiran Filsfatnya masing-
masing, antara lain al-Kindi, al-Ghazali , al-Farabi, Ibnu Sina dan
Ibnu Rusyd.

Anda mungkin juga menyukai