PENDAHULUAN
Seorang filsuf yang berasal dari Jerman, Edmund Gustav Albrecht Husserl
mengembangkan aliran filsafat fenomenologi. Etimologi istilah “fenomenologi”
berasal dari dua kata bahasa Yunani, yakni phenomenon (jamak: phenomena) dan
logos. Dalam sudut pandang bahasa, istilah phenomenon dapat dimaknai seperti
penampilan. Di dunia psikologi, fenomena dijelaskan sebagai data dari suatu
pengalaman yang bisa diamati dan diuraikan oleh subjek yang mengalami hal tersebut
pada suatu waktu. Fenomenologi dapat diartikan sebagai studi mengenai pengalaman
hidup seseorang untuk mempelajari bagaimana individu secara subjektif merasakan
pengalaman lalu memberikan makna dari fenomena tersebut.
ISI
Ketika berbicara tentang fenomenologi, tentu tidak akan terlepas dari Edmund Husserl yang
merupakan matematikawan dan ahli logika. Semboyan atau motto Fenomenologi Edmund
Husserl adalah sebagai berikut:
Dalam Bahasa Jerman : Wir wollen auf “die Sachen selbst Zurückgeben
Kalimat itu ditulis Husserl untuk pengantar bukunya yang berjudul “Logische
Untersuchungen (Logical Investigations/Penelitian – penelitian logis). Husserl ingin
menyampaikan disini agar kita mengganti kebiasaan zaman dahulu yaitu melihat kejadian
menggunakan teori (asumsi/ penilaian/ dugaan/prasangka), dengan teori pada saat menengok
kejadian orang lain, “kita sebenarnya melihat pengalaman orang lain secara tidak langsung,
karena penekanan yang langsung pada pengalaman”.
Misalnya saja saat di kampus beredar gosip tidak jelas yang simpang siur. Untuk
mengetahui kebenaran gosip tersebut, kita harus bertanya pada orang yang bersangkut paut
langsung dalam peristiwa itu, dalam artian orang yang digosipkan. Bukan melalui perantara
orang lain yang bahkan tidak ada hubungannya. Jika informasi yang kita dapat belum berasal
dari orang yang bersangkutan mengalami secara langsung, maka hal itu tidak dapat dikatakan
sebagai kebenaran.
Pengertian dari deskripsi murni (pure description) adalah suatu gambaran atau
deskripsi yang apa adanya. Apabila ada seorang peneliti yang dapat melihat dan mengetahui
pengalaman dari orang lain dalam kondisi bebas dari berbagai macam teori, asumsi,
penilaian, dugaan, prasangka, maka peneliti tersebut akan berjumpa secara langsung dengan
yang namanya fenomena, dengan kata lain peristiwa, kejadian, atau aktivitas mental tanpa
dihubungkan oleh teori, asumsi, penilaian, dugaan, dan prasangka. Oleh karena itu, peneliti
dapat menggambarkan atau mendeskripsikan fakta-fakta secara apa adanya.
Menurut Husserl, fenomena murni merupakan suatu fenomena yang terbebas dari
proses rasionalisasi. Beliau berpendapat bahwa fenomena murni merupakan data asli yang
dapat ditangkap oleh kesadaran manusia (Crotty, 1996). Segala sesuatu yang dapat ditangkap
oleh kesadaran manusia mempunyai hak untuk diterima sebagai fenomena. Maka, dapat
disimpulkan bahwa fenomena murni melingkupi semua hal yang telah atau sedang dialami
oleh manusia baik yang bersifat fisik maupun non-fisik. Edmund Husserl mempercayai
bahwasannya untuk bisa memahami serta menemukan suatu fenomena, maka suatu individu
harus menelaah kembali fenomena tersebut secara jujur dan bersifat murni atau dalam bahasa
inggris disebut look at the thing itself.
BAB III
PENUTUP
3.1 KESIMPULAN
Fenomenologi adalah aliran dalam filsafat yang melihat pengalaman dengan apa
adanya tanpa adanya prasangka. Fenomena dalam fenomenologi adalah realitas yang
menampakkan dirinya sendiri kepada manusia serta bisa berupa apa saja, baik itu berupa
benda, peristiwa luar, aktivitas manusia, maupun peristiwa batin. Menurut Husserl terdapat
beberapa konsep dasar dalam fenomenologi yang perlu dipahami, antara lain yaitu Epoche,
Reduksi fenomenologis, dan deskripsi murni untuk pengalaman. Epoche memiliki makna
suatu tindakan mengosongkan diri ataupun menunda keyakinan tertentu. Hal ini bertujuan
agar fenomena yang ada tampak apa adanya, natura, tanpa tercampuri praduga dari pengamat
yang seringkali mengaburkan penilaian. Sebagai kelanjutan dari Epoche, munculah reduksi
fenomenologi yang mengharuskan seseorang memilih pengalaman agar mendapat fenomena
dalam bentuk sejelas-jelasnya. Segala sesuatu yang terlihat pada fenomena tidak bisa diterima
dengan begitu saja, tetapi tetap memerlukan penangguhan terlebih dahulu. Hal ini penting
dilakukan agar individu mampu membuat keputusan secara objektif. Terakhir terdapat
deskripsi murni pengalaman. Deskripsi murni pengalaman adalah deskripsi yang didapatkan
dari hasil berpikir fenomenologi. Artinya, pengalaman yang terlihat murni sebagaimana
adanya, tanpa gangguan berupa pengurangan, penambahan, pertanyaan, teori, lingkungan
sekitar, prediksi, prasangka, dan lain sebagainya.
3.2 SARAN
Sebagai penyusun, kami menyadari bahwa makalah ini tidak dapat dikatakan
sempurna dan masih terdapat banyak kekurangan, Oleh karena itu, kami mengharapkan kritik
dan saran yang membangun dari para pembaca. Kami sebagai penyusun selanjutnya akan
lebih memperkaya literatur guna memperbanyak pembahasan dan selalu memperbarui
informasi yang ada kedepannya.