Anda di halaman 1dari 6

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Seorang filsuf yang berasal dari Jerman, Edmund Gustav Albrecht Husserl
mengembangkan aliran filsafat fenomenologi. Etimologi istilah “fenomenologi”
berasal dari dua kata bahasa Yunani, yakni phenomenon (jamak: phenomena) dan
logos. Dalam sudut pandang bahasa, istilah phenomenon dapat dimaknai seperti
penampilan. Di dunia  psikologi, fenomena dijelaskan sebagai data dari suatu
pengalaman yang bisa diamati dan diuraikan oleh subjek yang mengalami hal tersebut
pada suatu waktu. Fenomenologi dapat diartikan sebagai studi mengenai pengalaman
hidup seseorang untuk mempelajari bagaimana individu secara subjektif merasakan
pengalaman lalu memberikan makna dari fenomena tersebut. 

Edmund Husserl berpendapat bahwa fenomenologi merupakan ilmu


pengetahuan mengenai fenomena, yaitu membahas macam-macam objek sebagai
halnya mereka menampakkan diri dalam kesadaran kita. Dalam fenomenologi,
terdapat semboyan, penjelasan tentang arti fenomena, konsep-konsep kunci
fenomenologi (reduksi fenomenologis dan epoche), serta deskripsi murni untuk
pengalaman yang dikemukakan oleh Edmund Husserl. Dengan makalah ini, penulis
berkeinginan agar masing-masing pembaca dapat memahami dan mendapatkan ilmu
pengetahuan tentang fenomenologi Edmund Husserl.

1.2  Rumusan Masalah


1. Apa Semboyan fenomenologi?
2. Apa arti fenomena dalam fenomenologi?
3. Apa yang dimaksud dengan reduksi fenomenologi dan epoche?
4. Seperti apa deskripsi murni untuk pengalaman itu?

   1.3  Tujuan Pembahasan


1. Pemahaman semboyan fenomenologi
2. Mengetahui maksud fenomena dalam fenomenologi
3. Mengetahui apa itu reduksi fenomenologi dan Epoche
4. Memaparkan seperti apa deskripsi murni untuk pengalaman
BAB 2

ISI

2.1  Semboyan Fenomenologi

Ketika berbicara tentang fenomenologi, tentu tidak akan terlepas dari Edmund Husserl yang
merupakan matematikawan dan ahli logika. Semboyan atau motto Fenomenologi Edmund
Husserl adalah sebagai berikut:

Dalam Bahasa Jerman : Wir wollen auf “die Sachen selbst Zurückgeben

Dalam Bahasa Inggris : we would like to go back to “the things themselves”

Dalam Bahasa Indonesia : Kami ingin kembali ke fakta-fakta (fenomena-fenomena)


itu sendiri

Kalimat itu ditulis Husserl untuk pengantar bukunya yang berjudul “Logische
Untersuchungen (Logical Investigations/Penelitian – penelitian logis). Husserl ingin
menyampaikan disini agar kita mengganti kebiasaan zaman dahulu yaitu melihat kejadian
menggunakan teori (asumsi/ penilaian/ dugaan/prasangka), dengan teori pada saat menengok
kejadian orang lain, “kita sebenarnya melihat pengalaman orang lain secara tidak langsung,
karena penekanan yang langsung pada pengalaman”.

         Melalui pertanyaan sederhana tersebut Husserl membangun konsep Fenomenologi,


dimana pengalaman hidup seseorang dipelajari dan dipandang secara subjektif oleh orang
yang langsung merasakannya. Caranya dengan melakukan apa yang disebut epoché dalam
bahasa Yunani, Epoché terdiri dari menghilangkan prasangka-prasangka, asumsi-asumsi, atau
dugaan nya. Peneliti itu akan menghadapi fakta atau fenomena tanpa terusik oleh teori atau
asumsi dan prasangka, sehingga peneliti akan bisa mendeskripsikan fakta apa adanya.
Peneliti dengan visi yang jelas dapat melihat esensi dari pengalaman orang yang
melakukannya. Termuat pada bahasa Yunani, inti memiliki kata lain eidos. Fenomenolog
mencari “eidos” dalam peristiwa yang dialami para partisipannya.

Misalnya saja saat di kampus beredar gosip tidak jelas yang simpang siur. Untuk
mengetahui kebenaran gosip tersebut, kita harus bertanya pada orang yang bersangkut paut
langsung dalam peristiwa itu, dalam artian orang yang digosipkan. Bukan melalui perantara
orang lain yang bahkan tidak ada hubungannya. Jika informasi yang kita dapat belum berasal
dari orang yang bersangkutan mengalami secara langsung, maka hal itu tidak dapat dikatakan
sebagai kebenaran.

Istilah “mendeskripsikan fakta-fakta (fenomena)” itulah tujuan penelitian


fenomenologis deskriptif yang berusaha memahami kejadian hidup partisipannya dengan cara
mencermati dengan jelas (mental/psikologis) yang terdapat dalam pengalaman partisipan
aslinya.

2.2 Arti fenomena dalam fenomenologi 


 Secara etimologis, fenomena berasal dari kata Yunani yaitu phainesthai, yang
bermakna memunculkan, meninggikan dan menampakkan dirinya sendiri. Menurut
Heidegger (Moustakas, 1994:26), istilah fenomena yang juga berasal dari istilah phaino, yang
bermakna memposisikan pada terang-benderang, membawa pada cahaya, menunjukkan
dirinya sendiri di dalam dirinya, totalitas dari apa yang nampak di balik kita dalam cahaya.
Objek yang timbul dalam kesadaran berkolaborasi dengan objek yang terdapat secara
alamiah, oleh karena itu makna diciptakan dan pengetahuan dikembangkan. Suatu hubungan
berada antara yang ada dalam kesadaran yang disadari dan apa yang berada dalam dunia.
Apapun yang timbul dalam kesadaran merupakan sebuah realitas absolut, sedangkan apa saja
yang timbul di dalam dunia adalah suatu produk belajar (Moustakas, 1994:27).
 
Fenomena merupakan suatu tampilan objek, peristiwa, dalam persepsi. Sesuatu yang
tampil dalam kesadaran. Dapat berupa hasil rekaan atau kenyataan. Menurut Moustakas
(1994:26), fenomena adalah apa saja yang muncul dalam kesadaran. Fenomena, dalam
konsepsi Husserl, adalah realitas yang tampak, tanpa selubung atau tirai antara manusia
dengan realitas itu. Fenomena adalah realitas yang menampakkan dirinya sendiri kepada
manusia. Sementara itu, dalam menghadapi fenomena itu manusia melibatkan kesadarannya,
dan kesadaran selalu berarti kesadaran akan sesuatu (realitas) (Bertens, 1981:201). setiap
fenomena merepresentasikan titik permulaan yang pas bagi suatu investigasi (Moustakas,
1994:26). Fenomena menjadi sesuatu yang menjadi objek yang dikaji dalam studi
fenomenologi.
 
Fenomenologi Husserl menekankan bahwa untuk memahami fenomena seseorang
harus menelaah fenomena apa adanya. Oleh karena itu seseorang harus menyimpan
sementara atau mengisolasi asumsi, keyakinan, dan pengetahuan yang telah dimiliki agar
mampu melihat fenomena apa adanya atau melakukan proses bracketing. Husserl
menggunakan kata bracketing untuk menekankan bahwa tujuan utama fenomenologi adalah
untuk mengisolasi sementara dan bukan untuk menghilangkan asumsi, keyakinan dan
pengetahuan tersebut (Spiegelberg, 1978). Selanjutnya, fenomena hanya terdapat pada
kesadaran seseorang yang mengalaminya. Karena itu fenomena hanya dapat diamati melalui
orang yang mengalami. Husserl tidak pernah menerjemahkan filosofinya menjadi metode
penelitian terstruktur. Walaupun demikian terdapat bermacam-macam metode yang dianggap
paling cocok dan sesuai dengan filosofi Husserl seperti metode Spiegelberg dan Coalizzi.
Dalam judul penelitian fenomenologi selalu berawal dari Fenomena. Fenomena jika
dibahas secara umum merupakan apa saja yang muncul dalam kesadaran seseorang. Dalam
kesadaran peneliti pada bidang arsitek, bisa muncul macam-macam fenomena yang berkaitan
dengan bangunan, seperti pondasi, atap, kolom bangunan dan sebagainya. Dalam kesadaran
peneliti di bidang kedokteran, dapat muncul fenomena-fenomena yang terkait dengan
aktivitas tubuh manusia layaknya jantung, otak, ginjal dan seterusnya. Dalam kesadaran
peneliti pada bidang psikologi, fenomena muncul dalam wujud peristiwa mental/kejadian
mental/aktivitas mental dalam pengalaman hidup seseorang. Untuk dapat lebih dalam
memahami apa yang dimaksud dengan fenomena dalam psikologi, mari kita berlatih lewat
pertanyaan-pertanyaan berikut :
-   Fenomena apakah saja yang timbul dalam kesadaran ibu yang mengalami memiliki
anak autis?
-   Fenomena apakah saja yang timbul dalam kesadaran wanita yang mengalami
perceraian?
-   Fenomena apakah saja yang timbul dalam kesadaran mahasiswa yang mengalami
kuliah pada jurusan tertentu bukan sesuai dengan kemauannya, akan tetapi karena
kemauan orang tuanya?
Kemudian Fenomena tersebut akan nampak lebih jelas saat kita berbicara langsung
dengan orang-orang yang mengalami langsung fenomena tersebut. Semua pertanyaan dapat
menjadi sebuah titik awal dalam menyusun judul penelitian Fenomenologis. Ketiga
pertanyaan tersebut dapat ditransformasikan dalam judul penelitian berikut:
-   Studi fenomenologis mengenai pengalaman ibu yang mempunyai anak autis.
-   Penelitian fenomenologis tentang pengalaman wanita pasca-perceraian.
-   Eksplorasi fenomenologis tentang pengalaman mahasiswa mengikuti kemauan orang
tua kuliah di jurusan tertentu.
Kesan yang tampak dalam beberapa contoh tersebut menjelaskan bahwa membuat
judul penelitian fenomenologis ternyata dapat terbilang mudah. Meskipun demikian, peneliti
senantiasa perlu untuk mempertimbangkan esensi dari penelitiannya bagi disiplin ilmu yang
sedang ia tekuni. Ketika menemukan fenomena untuk dapat diteliti, pertanyaan yang
mendesak untuk dijawab adalah : Manfaat/pengaruh apakah yang mampu diperoleh melalui
fenomena ini bagi ilmu yang sedang saya dalami/pelajari?
Disamping memikirkan kebermanfaatannya, peneliti diharapkan wajib mempertimbangkan
dua point tersebut.
  Husserl meyakini bahwa agar dapat menemukan dan memahami suatu fenomena
seseorang harus melihat kembali fenomena tersebut dengan sejujur dan semurni mungkin
(look at the thing itself). Husserl meyakini jika consciousness (kesadaran) berada dalam
fenomena  seseorang kepada siapa fenomena tersebut menampakkan diri dalam wujudnya
yang asli. Husserl mengungkapkan bahwa jika setiap fenomena senantiasa terdiri dari
aktivitas subjektif serta objek sebagai fokus. Aktivitas subjektif selalu mengarah kepada
objek. Aktivitas subjektif memberikan identitas, menginterpretasikan, dan membentuk makna
dari objek. Oleh sebab itu, aktivitas subjektif dan objek sebagai fokus tidak mampu untuk
dipisahkan. Agar mampu memahami objek seseorang harus kembali kepada subjek. Pada
intinya, sebuah fenomena yang ada hanya mampu diamati melewati orang yang mengalami
fenomena tersebut (Crotty, 1996; Spiegelberg, 1978). 
2.3 Reduksi fenomenologi dan Epoche
Reduksi fenomenologis (epoche fenomenologis/epoche transendentral) sama dengan
usaha dalam mengurangi apapun yang bukan intisari dari pengalaman. Erat kaitannya dengan
penelitian fenomenologis deskriptif (PFD) yang dikembangkan oleh Amerdeo Giorgi, yakni
proses dalam mendeskripsikan suatu fenomena/pengalaman hingga mendapatkan esensi dari
pengalaman tersebut. Memiliki misi yang sama dengan Edmund Husserl, PFD ingin
menelusuri suatu pengalaman yang orisinal, yakni murni, asli, dan apa adanya. PFD
mengharapkan peneliti menyampingkan hipotesa, teori, dan asumsi dalam menjalankan
penelitiannya sehingga tidak merusak keaslian dari pengalaman partisipannya serta dapat
mendeskripsikan esensinya, atau yang dapat disebut dengan epoche (bracketing).

Memusatkan perhatian sepenuhnya kepada pengalaman dan mengacuhkan teori atau


prasangka dari partisipan akan membentuk epoche, yang merupakan pilar dari PFD, sehingga
peneliti dapat merasakan pengalaman-pengalaman atau kejadian-kejadian mental dari
partisipan. Dalam menganalisis, peneliti harus “membersihkan diri” dari pengetahuan/teori
agar pernyataan partisipan dapat dijaga keasliannya. Epoche pada dasarnya penting dalam
menjalankan reduksi fenomenologis, sesuai dengan gagasan Amedeo Giorgi mengenai 3 poin
utama dalam PFD, yakni:

A. Peneliti menjalankan reduksi fenomenologis dengan epoche,

B. Dengan diri menjalankan epoche, peneliti dapat mendeskripsikan pengalaman


partisipan,

C. Menemukan intisari dari pengalaman tersebut. (Lindsay Finlay, 2009)

2.4 Deskripsi murni untuk pengalaman

Pengertian dari deskripsi murni (pure description) adalah suatu gambaran atau
deskripsi yang apa adanya. Apabila ada seorang peneliti yang dapat melihat dan mengetahui
pengalaman dari orang lain dalam kondisi bebas dari berbagai macam teori, asumsi,
penilaian, dugaan, prasangka, maka peneliti tersebut akan berjumpa secara langsung dengan
yang namanya fenomena, dengan kata lain peristiwa, kejadian, atau aktivitas mental tanpa
dihubungkan oleh teori, asumsi, penilaian, dugaan, dan prasangka. Oleh karena itu, peneliti
dapat menggambarkan atau mendeskripsikan fakta-fakta secara apa adanya.
Menurut Husserl, fenomena murni merupakan suatu fenomena yang terbebas dari
proses rasionalisasi. Beliau berpendapat bahwa fenomena murni merupakan data asli yang
dapat ditangkap oleh kesadaran manusia (Crotty, 1996). Segala sesuatu yang dapat ditangkap
oleh kesadaran manusia mempunyai hak untuk diterima sebagai fenomena. Maka, dapat
disimpulkan bahwa fenomena murni melingkupi semua hal yang telah atau sedang dialami
oleh manusia baik yang bersifat fisik maupun non-fisik. Edmund Husserl mempercayai
bahwasannya untuk bisa memahami serta menemukan suatu fenomena, maka suatu individu
harus menelaah kembali fenomena tersebut secara jujur dan bersifat murni atau dalam bahasa
inggris disebut look at the thing itself.
BAB III

PENUTUP

3.1 KESIMPULAN
Fenomenologi adalah aliran dalam filsafat yang melihat pengalaman dengan apa
adanya tanpa adanya prasangka. Fenomena dalam fenomenologi adalah realitas yang
menampakkan dirinya sendiri kepada manusia serta bisa berupa apa saja, baik itu berupa
benda, peristiwa luar, aktivitas manusia, maupun peristiwa batin. Menurut Husserl terdapat
beberapa konsep dasar dalam fenomenologi yang perlu dipahami, antara lain yaitu Epoche,
Reduksi fenomenologis, dan deskripsi murni untuk pengalaman. Epoche memiliki makna
suatu tindakan mengosongkan diri ataupun menunda keyakinan tertentu. Hal ini bertujuan
agar fenomena yang ada tampak apa adanya, natura, tanpa tercampuri praduga dari pengamat
yang seringkali mengaburkan penilaian. Sebagai kelanjutan dari Epoche, munculah reduksi
fenomenologi yang mengharuskan seseorang memilih pengalaman agar mendapat fenomena
dalam bentuk sejelas-jelasnya. Segala sesuatu yang terlihat pada fenomena tidak bisa diterima
dengan begitu saja, tetapi tetap memerlukan penangguhan terlebih dahulu. Hal ini penting
dilakukan agar individu mampu membuat keputusan secara objektif. Terakhir terdapat
deskripsi murni pengalaman. Deskripsi murni pengalaman adalah deskripsi yang didapatkan
dari hasil berpikir fenomenologi. Artinya, pengalaman yang terlihat murni sebagaimana
adanya, tanpa gangguan berupa pengurangan, penambahan, pertanyaan, teori, lingkungan
sekitar, prediksi, prasangka, dan lain sebagainya.
 
3.2 SARAN
Sebagai penyusun, kami menyadari bahwa makalah ini tidak dapat dikatakan
sempurna dan masih terdapat banyak kekurangan, Oleh karena itu, kami mengharapkan kritik
dan saran yang membangun dari para pembaca. Kami sebagai penyusun selanjutnya akan
lebih memperkaya literatur guna memperbanyak pembahasan dan selalu memperbarui
informasi yang ada kedepannya.

Anda mungkin juga menyukai