Anda di halaman 1dari 12

KONSEP FENOMENOLOGI EDMUND HUSSERL

Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Filsafat Fenomenologis dan Eksistensial

Dosen Pengampu:

Muhammad Zulfa Alfaruqy, S.Psi., M.A.

Hasan Fahrur Rozi S.Psi., M.Psi., Psikolog

Disusun oleh:

1. Azhiza Khairunnisa (15000122140300)


2. Ega Syarifa Jilan (15000122140301)
3. Khansa Mahanani Safitri (15000122140294)
4. Senia Febrillia (15000122140258)

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS DIPONEGORO

2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas nikmat dan
karunia-Nya sehingga makalah ini dapat diselesaikan. Adapun tujuan penulisan makalah yang
berjudul ‘’Konsep-Konsep Fenomenologi Edmund Husserl“ ini adalah untuk memenuhi
penugasan mata kuliah Filsafat Fenomenologis dan Eksistensial tidak lupa penulis juga
mengucapkan terima kasih kepada Muhammad Zulfa Alfaruqy, S.Psi., M.A. dan Hasan Fahrur
Rozi S.Psi., M.Psi., Psikolog selaku dosen pengampu mata kuliah Filsafat Fenomenologis dan
Eksistensial serta seluruh pihak yang terlibat dalam penulisan makalah ini.

Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna sehingga segala kritik
dan saran yang membangun mutu penulisan makalah di masa yang akan datang sangat penulis
harapkan. Semoga laporan makalah ini dapat menambah wawasan para pembaca dan bermanfaat
bagi perkembangan dan peningkatan ilmu pengetahuan.

Semarang, 28 Februari 2023

Hormat kami,

Kelompok 1

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ……………………………………………………………………………… 2


DAFTAR ISI ……………………………………………………………………………………….. 3
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang …………………………………………………………………………………. 4
1.2 Rumusan Masalah ………………………………………………………………………….. 5
1.3 Tujuan Pembahasan ………………………………………………………………………. 5
BAB 2
ISI
2.1 Semboyan Fenomenologi …………………………………………………………………… 6
2.2 Arti fenomena dalam fenomenologi ……………………………………………………….. 7
2.3 Reduksi fenomenologi dan Epoche ………………………………………………………… 9
2.4 Deskripsi murni untuk pengalaman ……………………………………………………… 10
BAB III
PENUTUP
3.1 KESIMPULAN ………………………………………………………………………………… 11
3.2 SARAN ………………………………………………………………………………………….. 11
DAFTAR PUSTAKA ………………………………………………………………………………… 12

3
BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Seorang filsuf yang berasal dari Jerman, Edmund Gustav Albrecht Husserl
mengembangkan aliran filsafat fenomenologi. Etimologi istilah “fenomenologi” berasal
dari dua kata bahasa Yunani, yakni phenomenon (jamak: phenomena) dan logos. Dalam
sudut pandang bahasa, istilah phenomenon dapat dimaknai seperti penampilan. Di dunia
psikologi, fenomena dijelaskan sebagai data dari suatu pengalaman yang bisa diamati dan
diuraikan oleh subjek yang mengalami hal tersebut pada suatu waktu. Fenomenologi
dapat diartikan sebagai studi mengenai pengalaman hidup seseorang untuk mempelajari
bagaimana individu secara subjektif merasakan pengalaman lalu memberikan makna dari
fenomena tersebut.

Edmund Husserl berpendapat bahwa fenomenologi merupakan ilmu pengetahuan


mengenai fenomena, yaitu membahas macam-macam objek sebagai halnya mereka
menampakkan diri dalam kesadaran kita. Dalam fenomenologi, terdapat semboyan,
penjelasan tentang arti fenomena, konsep-konsep kunci fenomenologi (reduksi
fenomenologis dan epoche), serta deskripsi murni untuk pengalaman yang dikemukakan
oleh Edmund Husserl. Dengan makalah ini, penulis berkeinginan agar masing-masing
pembaca dapat memahami dan mendapatkan ilmu pengetahuan tentang fenomenologi
Edmund Husserl.

4
1.2 Rumusan Masalah

1. Apa Semboyan fenomenologi?


2. Apa arti fenomena dalam fenomenologi?
3. Apa yang dimaksud dengan reduksi fenomenologi dan epoche?
4. Seperti apa deskripsi murni untuk pengalaman itu?

1.3 Tujuan Pembahasan

1. Pemahaman semboyan fenomenologi


2. Mengetahui maksud fenomena dalam fenomenologi
3. Mengetahui apa itu reduksi fenomenologi dan Epoche
4. Memaparkan seperti apa deskripsi murni untuk pengalaman

5
BAB 2

ISI

2.1 Semboyan Fenomenologi

Ketika berbicara tentang fenomenologi, tentu tidak akan terlepas dari Edmund Husserl yang
merupakan matematikawan dan ahli logika. Semboyan atau motto Fenomenologi Edmund
Husserl adalah sebagai berikut:

Dalam Bahasa Jerman : Wir wollen auf “die Sachen selbst Zurückgeben

Dalam Bahasa Inggris : we would like to go back to “the things themselves”

Dalam Bahasa Indonesia : Kami ingin kembali ke fakta-fakta (fenomena-fenomena) itu


sendiri

Kalimat itu ditulis Husserl untuk pengantar bukunya yang berjudul “Logische
Untersuchungen (Logical Investigations/Penelitian – penelitian logis). Husserl ingin
menyampaikan disini agar kita mengganti kebiasaan zaman dahulu yaitu melihat kejadian
menggunakan teori (asumsi/ penilaian/ dugaan/prasangka), dengan teori pada saat menengok
kejadian orang lain, “kita sebenarnya melihat pengalaman orang lain secara tidak langsung,
karena penekanan yang langsung pada pengalaman”.

Melalui pertanyaan sederhana tersebut Husserl membangun konsep Fenomenologi,


dimana pengalaman hidup seseorang dipelajari dan dipandang secara subjektif oleh orang yang
langsung merasakannya. Caranya dengan melakukan apa yang disebut epoché dalam bahasa
Yunani, Epoché terdiri dari menghilangkan prasangka-prasangka, asumsi-asumsi, atau dugaan
nya. Peneliti itu akan menghadapi fakta atau fenomena tanpa terusik oleh teori atau asumsi dan
prasangka, sehingga peneliti akan bisa mendeskripsikan fakta apa adanya. Peneliti dengan visi
yang jelas dapat melihat esensi dari pengalaman orang yang melakukannya. Termuat pada bahasa
Yunani, inti memiliki kata lain eidos. Fenomenolog mencari “eidos” dalam peristiwa yang
dialami para partisipannya.

6
Misalnya saja saat di kampus beredar gosip tidak jelas yang simpang siur. Untuk
mengetahui kebenaran gosip tersebut, kita harus bertanya pada orang yang bersangkut paut
langsung dalam peristiwa itu, dalam artian orang yang digosipkan. Bukan melalui perantara
orang lain yang bahkan tidak ada hubungannya. Jika informasi yang kita dapat belum berasal
dari orang yang bersangkutan mengalami secara langsung, maka hal itu tidak dapat dikatakan
sebagai kebenaran.

Istilah “mendeskripsikan fakta-fakta (fenomena)” itulah tujuan penelitian fenomenologis


deskriptif yang berusaha memahami kejadian hidup partisipannya dengan cara mencermati
dengan jelas (mental/psikologis) yang terdapat dalam pengalaman partisipan aslinya.

2.2 Arti fenomena dalam fenomenologi

Fenomena berasal dari kata Yunani “phainesthai” dengan bermakna memunculkan,


meninggikan dan menampakkan dirinya sendiri. Menurut Heidegger (Moustakas, 1994:26),
fenomena yang juga berasal dari istilah “phaino”, yang bermakna memposisikan pada membawa
pada cahaya, menunjukkan dirinya di dalam dirinya sendiri, totalitas sesuai apa yang nampak di
balik kita dalam cahaya. Objek yang timbul dalam kesadaran berkolaborasi dengan objek yang
terdapat secara alamiah, oleh karena itu makna diciptakan serta pengetahuan dikembangkan.
Suatu hubungan berada antara yang ada dalam kesadaran yang disadari dan apa yang berada
dalam dunia. Segala sesuatu yang timbul dalam kesadaran merupakan sebuah realitas absolut,
sedangkan apa saja yang timbul di dalam dunia adalah suatu produk belajar (Moustakas,
1994:27).
Fenomena yang berarti suatu tampilan peristiwa, objek dalam persepsi. Segala sesuatu
yang timbul dalam kesadaran seseorang. Bisa berwujud hasil Kenyataan maupun rekaan..
Menurut Moustakas (1994:26), fenomena merupakan segala sesuatu yang timbul di dalam
kesadaran. Fenomena (dalam konsepsi Husserl) merupakan realitas yang tampak, tidak terdapat
tirau maupun selubung antara manusia dengan realitas itu.
Husserl menggunakan istilah bracketing dalam maksud menekankan tujuan utama
fenomenologi adalah untuk mengisolasi sementara dan bukan untuk menghilangkan asumsi,
keyakinan dan pengetahuan tersebut (Spiegelberg, 1978). Fenomena hanya terjadi pada
kesadaran seseorang yang mengalaminya. Oleh karena itu, fenomena hanya mampu diamati

7
melalui orang yang mengalami. Dalam judul penelitian fenomenologi selalu berawal dari
Fenomena. Jika dibahas secara umum, Fenomenna adalah apa saja yang muncul dalam kesadaran
seseorang. Dalam kesadaran peneliti pada bidang arsitek, dapat muncul macam-macam
fenomena yang berkaitan dengan bangunan, seperti pondasi, atap, kolom bangunan dan
sebagainya. Dalam kesadaran peneliti di bidang kedokteran, dapat muncul fenomena-fenomena
yang terkait dengan aktivitas tubuh manusia layaknya jantung, otak, ginjal dan seterusnya.
Dalam kesadaran peneliti pada bidang psikologi, fenomena muncul dalam wujud peristiwa
mental/kejadian mental/aktivitas mental dalam pengalaman hidup seseorang. Untuk dapat lebih
dalam memahami apa yang dimaksud dengan fenomena dalam psikologi, mari kita berlatih lewat
pertanyaan-pertanyaan berikut :
- Fenomena apakah saja yang timbul dalam kesadaran ibu yang mengalami memiliki
anak autis?
- Fenomena apakah saja yang timbul dalam kesadaran wanita yang mengalami
perceraian?
- Fenomena apakah saja yang timbul dalam kesadaran mahasiswa yang mengalami
kuliah pada jurusan tertentu bukan sesuai dengan kemauannya, akan tetapi karena
kemauan orang tuanya?
Setelah itu, akan terlihat lebih jelas fenomena tersebut pada saat kita sedang berbincang
secara langsung dengan orang-orang yang mengalami fenomena. Seluruh pertanyaan yang ada
bisa menjadi sebuah cikal bakal dalam seseorang menyusun judul penelitian Fenomenologis.
Ketiga pertanyaan tersebut dapat ditransformasikan ke dalam judul penelitian berikut:
- Studi fenomenologis mengenai pengalaman ibu yang mempunyai anak autis.
- Penelitian fenomenologis tentang pengalaman wanita pasca-perceraian.
- Eksplorasi fenomenologis tentang pengalaman mahasiswa mengikuti kemauan orang
tua kuliah di jurusan tertentu.
Kesan-kesan pertama yang tampak dalam beberapa contoh tersebut menjelaskan bahwa
membuat judul penelitian fenomenologis ternyata dapat terbilang mudah. Meskipun demikian,
peneliti senantiasa perlu dalam kaitannya mempertimbangkan esensi dari penelitiannya bagi
disiplin ilmu yang sedang ia tekuni. Ketika menemukan fenomena untuk dapat diteliti,
pertanyaan yang mendesak untuk dijawab adalah : Manfaat/pengaruh apakah saja yang mampu
diperoleh melalui fenomena ini bagi ilmu yang sedang saya dalami/pelajari?

8
Dari sisi kebermanfaatannya yang penting untuk dipikirkan, Dua aspek tersebut tak boleh luput
dipertimbangkan pula oleh seorang peneliti . Husserl meyakini bahwa supaya seseorang dapat
memahami suatu fenomena, seseorang tersebut mestinya melihat kembali fenomena itu dengan
sejujur dan semurni mungkin (look at the thing itself). Husserl meyakini jika consciousness
(kesadaran) berada dalam fenomena seseorang kepada siapa fenomena tersebut menampakkan
diri dalam wujudnya yang asli. Husserl memaparkan aktivitas subjektif dan objek sebagai fokus
tidak mampu untuk dipisahkan. Hal tersebut dapat terjadi dikarenakan setiap fenomena
senantiasa terdiri dari aktivitas subjektif serta objek sebagai sebuah fokus. Aktivitas subjektif
selalu mengarah kepada objek. Aktivitas subjektif memberikan identitas, menginterpretasikan,
dan membentuk makna dari objek. Oleh sebab itu, Agar mampu memahami objek seseorang
harus kembali kepada subjek. Itulah mengapa alasan jika aktivitas subjektif dan objek
merupakan fokus yang tidak dapat memisah antara satu sama lain. Pada intinya, sebuah
fenomena yang ada hanya mampu diamati melewati seseorang yang mengalaminya (Crotty,
1996; Spiegelberg, 1978).

2.3 Reduksi fenomenologi dan Epoche

Reduksi fenomenologis (epoche fenomenologis/epoche transendentral) sama dengan


usaha dalam mengurangi apapun yang bukan intisari dari pengalaman. Erat kaitannya dengan
penelitian fenomenologis deskriptif (PFD) yang dikembangkan oleh Amerdeo Giorgi, yakni
proses dalam mendeskripsikan suatu fenomena/pengalaman hingga mendapatkan esensi dari
pengalaman tersebut. Memiliki misi yang sama dengan Edmund Husserl, PFD ingin menelusuri
suatu pengalaman yang orisinal, yakni murni, asli, dan apa adanya. PFD mengharapkan peneliti
menyampingkan hipotesa, teori, dan asumsi dalam menjalankan penelitiannya sehingga tidak
merusak keaslian dari pengalaman partisipannya serta dapat mendeskripsikan esensinya, atau
yang dapat disebut dengan epoche (bracketing).

Memusatkan perhatian sepenuhnya kepada pengalaman dan mengacuhkan teori atau


prasangka dari partisipan akan membentuk epoche, yang merupakan pilar dari PFD, sehingga
peneliti dapat merasakan pengalaman-pengalaman atau kejadian-kejadian mental dari partisipan.
Dalam menganalisis, peneliti harus “membersihkan diri” dari pengetahuan/teori agar pernyataan
partisipan dapat dijaga keasliannya. Epoche pada dasarnya penting dalam menjalankan reduksi

9
fenomenologis, sesuai dengan gagasan Amedeo Giorgi mengenai 3 poin utama dalam PFD,
yakni:

A. Peneliti menjalankan reduksi fenomenologis dengan epoche,

B. Dengan diri menjalankan epoche, peneliti dapat mendeskripsikan pengalaman


partisipan,

C. Menemukan intisari dari pengalaman tersebut. (Linda Finlay, 2009:7)

2.4 Deskripsi murni untuk pengalaman

Pengertian dari deskripsi murni (pure description) adalah suatu gambaran atau deskripsi
yang apa adanya. Apabila ada seorang peneliti yang dapat melihat dan mengetahui pengalaman
suatu individu dalam kondisi terlepas dari berbagai macam asumsi, teori, penilaian, dugaan, serta
prasangka, maka peneliti tersebut akan berjumpa secara langsung dengan yang namanya
fenomena, dengan kata lain yakni suatu peristiwa, kejadian, atau aktivitas mental dengan tidak
dihubungkan oleh asumsi, teori, penilaian, dugaan, dan prasangka. Oleh karena itu, peneliti dapat
menggambarkan atau mendeskripsikan fakta-fakta secara apa adanya.
Husserl membagikan pemikirannya bahwa fenomena murni merupakan suatu peristiwa
yang terbebas dari perbuatan yang rasional. Husserl berpendapat bahwa fenomena murni
merupakan data asli yang dapat diterima oleh kesadaran manusia (Crotty, 1996). Seluruh hal
yang bisa ditangkap oleh pemahaman manusia mempunyai hak untuk dapat diterima sebagai
fenomena. Maka, dapat disimpulkan bahwa fenomena murni melingkupi segala perkara yang
telah atau sedang dirasakan oleh manusia, baik itu bersifat yang fisik ataupun non-fisik. Edmund
Husserl mempercayai bahwasannya untuk bisa memahami serta menemukan suatu fenomena,
maka suatu individu harus menelaah kembali fenomena tersebut secara jujur dan bersifat murni
atau dalam bahasa inggris disebut look at the thing itself.

10
BAB III

PENUTUP

3.1 KESIMPULAN

Fenomenologi adalah aliran dalam filsafat yang melihat pengalaman dengan apa adanya
tanpa adanya prasangka. Fenomena dalam fenomenologi adalah realitas yang menampakkan
dirinya sendiri kepada manusia serta bisa berupa apa saja, baik itu berupa benda, peristiwa luar,
aktivitas manusia, maupun peristiwa batin. Menurut Husserl terdapat beberapa konsep dasar
dalam fenomenologi yang perlu dipahami, antara lain yaitu Epoche, Reduksi fenomenologis, dan
deskripsi murni untuk pengalaman. Epoche memiliki makna suatu tindakan mengosongkan diri
ataupun menunda keyakinan tertentu. Hal ini bertujuan agar fenomena yang ada tampak apa
adanya, natura, tanpa tercampuri praduga dari pengamat yang seringkali mengaburkan penilaian.
Sebagai kelanjutan dari Epoche, munculah reduksi fenomenologi yang mengharuskan seseorang
memilih pengalaman agar mendapat fenomena dalam bentuk sejelas-jelasnya. Segala sesuatu
yang terlihat pada fenomena tidak bisa diterima dengan begitu saja, tetapi tetap memerlukan
penangguhan terlebih dahulu. Hal ini penting dilakukan agar individu mampu membuat
keputusan secara objektif. Terakhir terdapat deskripsi murni pengalaman. Deskripsi murni
pengalaman adalah deskripsi yang didapatkan dari hasil berpikir fenomenologi. Artinya,
pengalaman yang terlihat murni sebagaimana adanya, tanpa gangguan berupa pengurangan,
penambahan, pertanyaan, teori, lingkungan sekitar, prediksi, prasangka, dan lain sebagainya.

3.2 SARAN

Sebagai penyusun, kami menyadari bahwa makalah ini tidak dapat dikatakan sempurna
dan masih didapati banyak kekurangan, Oleh karena itu, kami mengharapkan kritik dan saran
yang membangun dari para pembaca. Kami sebagai penyusun selanjutnya akan lebih
memperkaya literatur guna memperbanyak pembahasan dan selalu memperbarui informasi yang
ada kedepannya.

11
DAFTAR PUSTAKA

Asih, I. D. (2005). Fenomenologi Husserl: Sebuah Cara “Kembali Ke Fenomena”. Jurnal

Keperawatan Indonesia, 9(2), 75-80.

Bertens, K. (2001). Filsafat Barat Kontemporer (Jilid 2). Gramedia Pustaka Utama.

Finlay, L. (2009). Debating Phenomenological Research Methods. Phenomenology &


Practice, 3(1), 6–25. https://doi.org/10.29173/pandpr19818

Hasbiansyah, O. (2005). Pendekatan Fenomenologi: Pengantar Praktik Penelitian dalam

Ilmu Sosial dan Komunikasi.

La Kahija, Y. (2017). Penelitian Fenomenologis (G. Sudibyo (ed.); 2 ed.). PT Kanisius.

Misiak, H., Sexton, V. S., & Koeswara, E. (2005). Psikologi Fenomenologi, Eksistensial,
dan Humanistik. PT Rafika Aditama.

12

Anda mungkin juga menyukai