Anda di halaman 1dari 13

PENDEKATAN-PENDEKATAN DALAM STUDI FENOMENOLOGI

Makalah Ini Di Ajukan Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Fenomenologi Agama

Dosen Pengampu : Drs. Maraimbang, MA

Dosen Pembimbing : Agustianda M. Pem.I

Di Susun Oleh :

1. Budi Suprianto (0402173057)


2. Nurul Deliana (0402183051)
3. Sari Akmar Dalimunte (0402183070)
4. Chairani Biru Adinda (0402183083)

STUDI AGAMA-AGAMA

FAKULTAS USHULUDDIN DAN STUDI ISLAM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUMATERA UTARA

T.A. 2021
DAFTAR ISI

COVER

DAFTAR ISI............................................................................................................. i

BAB I PENDAHULUAN ......................................................................................... 1


A. Latar Belakang ......................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah .................................................................................... 1

BAB II PEMBAHASAN .......................................................................................... 2


A. Pengertian Studi Fenomenologi ............................................................... 2
B. Pendekatan-Pendekatan Dalam Studi Fenomenologi .............................. 3

BAB III PENUTUP .................................................................................................. 10


A. Kesimpulan .............................................................................................. 10

DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................... 11

i
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Sebagai metode, fenomenologi membentangkan langkah-langkah yang harus diambil
sehingga kita sampai pada fenomena yang murni. Fenomenologi mempelajari dan
melukiskan ciri-ciri intrinsik fenomena-fenomena sebagaimana fenomena-fenomena itu
sendiri menyingkapkan diri kepada kesadaran. Kita harus bertolak dari subjek (manusia)
serta kesadarannya dan berupaya untuk kembali kepada “kesadaran murni”. Untuk
mencapai bidang kesadaran murni, kita harus membebaskan diri dari pengalaman serta
gambaran kehidupan sehari-hari. Sebagai filsafat, fenomenologi menurut Husserl
memberi pengetahuan yang perlu dan esensial mengenai apa yang ada. Dengan demikian
fenomenologi dapat dijelaskan sebagai metode kembali ke benda itu sendiri (Zu den
Sachen Selbt), dan ini disebabkan benda itu sendiri merupkan objek kesadaran langsung
dalam bentuk yang murni.
Secara umum pandangan fenomenologi bisa dilihat pada dua posisi. Pertama ia
merupakan reaksi terhadap dominasi positivisme, dan kedua, ia sebenarnya sebagai kritik
terhadap pemikiran kritisisme Immanuel Kant, terutama konsepnya tentang fenomena –
fenomena. Kant menggunakan kata fenomena untuk menunjukkan penampakkan sesuatu
dalam kesadaran, sedangkan fenomena adalah realitas (das Ding an Sich) yang berada di
luar kesadaran pengamat. Menurut Kant, manusia hanya dapat mengenal fenomena-
fenomena yang nampak dalam kesadaran, bukan fenomena yaitu realitas di luar yang kita
kenal.
Namun demikian fenomenologi sebagai sebuah metode tentu juga membutuhkan
disiplin ilmu lain dalam proses pengkajian suatu penelitian. Ini di tentunya di butuhkan
oleh peneliti untuk melihat hal lain dalam suatu kasus tertentu sehingga penelitian
tersebut menjadi penelitian yang ilmiah dan relevan. Maka dari itu dalam makalah ini
akan di bahas pendekatan-pendekatan apa saja yang singkron dengan Studi
Fenomenologi.

B. Rumusan Masalah
1. Apa Definisi dari Fenomenologi ?
2. Apa Saja Pendekatan-Pendekatan Dalam Studi Fenomenologi ?

1
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Fenomenologi
Istilah fenomenologi berasal dari bahasa Yunani, yang asal katanya adalah
“phenomenon’’ dan “logos”. Phenomenon berarti: yaitu yang muncul dalam kesadaran
manusia. Sedangkan logos, berarti ilmu. Phenomenologi berarti studi tentang
phenomenon, atau yang muncul dengan sendirinya. Fenomenologi berarti uraian tentang
phenomenon. Atau sesuatu yang sedang menampilkan diri, atau sesuatu yang sedang
menggejala. Dengan keterangan ini mulai tampaklah tendensi yang terdalam dari aliran
phenomenologi yang sebenarnya merupakan jiwa dan cita-cita dari semua filsafat, yaitu
mendapatkan pengertian yang benar, yang menangkap realitas itu sendiri.1 Objek
fenomenologi adalah fakta atau gejala, atau keadaan, kejadian, atau benda, atau realitas
yang sedang menggejala. Phenomenologi berpegang atau berpendirian bahwa segala
pikiran dan gambaran dalam pikiran kesadaran manusia menunjuk pada sesuatu, hal atau
keadaan seperti ini, yaitu pikiran dan gambaran yang tertuju atau mengenai sesuatu tadi
disebut intensional.2
Menurut Eliston “Fenomenologi dapat diartikan membiarkan apa yang menunjukan
dirinya sendiri dilihat melalui dirinya sendiri dan dalam batasan-batasan dirinya sendiri
sebagaimana ia menunjukan dirinya sendiri melalui dari dirinya sendiri untuk hal ini
Husserl menggunakan istilah “Intersionalitas” yakni realitas yang menampakan diri
dalam kesadaran individu atau kesadaran intensional dalam menangkap fenomena apa
adanya.3 Menurut G.Vian der Leeliw, Fenomenologi mencari atau mengamati fenomena
sebagaimana yang tampak dalam hal ini ada 3 prinsip yang tercakup didalamnya:
1. Sesuatu itu berwujud,
2. Sesuatu itu tampak,
3. Karena sesuatu itu tampak dengan yang diterima oleh si pengamat tanpa
melakukan modifikasi.4

1
N. Diyarkara. Percikan Filsafat. (Jakarta: PT. Pembangunan, 1962), h. 122.
2
Departemen Agama RI., Perbandingan Agama, (Jakarta: 1982), h. 14.
3
Bernard Delgaauw, Filsafat Abad 20, terj. Soejono Soemargono, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2001),
h. 36.
4
Ibid.,h. 38.

2
Dalam fenomenologi yang menjadi objeknya adalah fakta, gejala, atau keadaan,
kejadian, atau benda, atau realitas yang menggejala. Realitas yang menggejala itu akan
mengambil pengertiannya menurut tuntunan realitas itu sendiri, artinya pengertian yang
sebenarnya dari realitas itu, bukan pengertian yang tidak asli. Misalnya, pengertian yang
sudah terpengaruh oleh warna sesuatu teori tertentu atau pengertian yang popular
sebelumnya. Dalam perspektif demikian, masalah agama yang dipandang sebagai gejala
kemanusiaan, yang menurut fenomenologi adalah untuk merekonstruksi
pengertianpengertian keagamaan atas dasar bahan-bahan dokumentasi yang ada.5
Tugas utama fenomenologi menurut Husserl adalah menjalin keterkaitan manusia
dengan realitas. Bagi Husserl, realitas bukan suatu yang berbeda pada dirinya lepas dari
manusia yang mengamati. Realitas itu mewujudkan diri, atau menurut ungkapan Martin
Heideger, yang juga seorang fenomenolog: “Sifat realitas itu membutuhkan keberadaan
manusia”. Filsafat fenomenologi berusaha untuk mencapai pengertian yang sebenarnya
dengan cara menerobos semua fenomena yang menampakkan diri menuju kepada
bendanya yang sebenarnya. Usaha inilah yang dinamakan untuk mencapai “Hakikat
segala sesuatu”. Untuk itu, Husserl mengajukan dua langkah yang harus ditempuh untuk
mencapai esensi fenomena, yaitu metode epoche dan eidetich vision. Kata epoche berasal
dari bahasa Yunani, yang berarti: “menunda keputusan” atau “mengosongkan diri dari
keyakinan tertentu”. Epoche bisa juga berarti tanda kurung (bracketing) terhadap setiap
keterangan yang diperoleh dari suatu fenomena yang nampak, tanpa memberikan
putusan benar salahnya terlebih dahulu. Fenomena yang tampil dalam kesadaran adalah
benar-benar natural tanpa dicampuri oleh presupposisi pengamat. Untuk itu, Husserl
menekankan satu hal penting: Penundaan keputusan. Keputusan harus ditunda (epoche)
atau dikurung dulu dalam kaitan dengan status atau referensi ontologis atau eksistensial
objek kesadaran.6

B. Pendekatan-Pendekatan Studi Fenomenologi


Penelitian fenomenologi ini mejadi penelitian yang memiliki daya tarik tersendiri
karena semakin banyak diminati oleh para peneliti dari berbagai disiplin ilmu. Pendekatan
fenomenologi tidak hanya dillakukan oleh para peneliti pada bidang ilmu Agama, ilmu

5
Departemen Agama R.I., Perbandingan, h. 15.
6
Maraimbang Daulay, Filsafat Fenomenologi; Suatu Pengantar, (Medan : Panjiaswaja Pres, 2010), h.
34-35

3
sosial tetapi juga merambah ke disiplin ilmu lainnya. Selain itu ada beberapa pendekatan-
pendekatan dalam studi fenomenologi sebagai berikut :
1. Pendekatan Historis
Kata historis berasal dari bahasa inggris ”history” yang artinya sejarah. Sedangkan
menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) historis adalah berkenaan dengan
sejarah; bertalian atau ada hubungan dengan masa lampau.7 Sejarah adalah
terjemahan dari kata tarikh (bahasa arab), history (bahasa inggris), dan geschichte
(bahasa jerman). Semua kata tersebut berasal dari bahasa yunani, yaitu istoria yang
berarti ilmu. Definisi sejarah yang lebih umum adalah masa lampau manusia, baik
yang berhubungan dengan manusia, maupun gejala alam. Definisi ini memberi
pengertian bahwa sejarah tidak lebih dari sebuah rekaman peristiwa masa lampau
manusia dengan segala sisinya. Maka lapangan sejarah adalah meliputi segala
pengalaman manusia.
Pengertian sejarah menurut istilah mengacu pada dua konsep terpisah. Pertama,
sejarah tersusun dari serangkaian peristiwa masa lampau, keseluruhan pengalaman
manusia. Kedua, sejarah sebagai suatu cara yang dengannya fakta-fakta diseleksi,
diubah-ubah, dijabarkan dan dianalisis. Menurut Ibnu Khaldun, sejarah tidak hanya
difahami sebagai suatu rekaman peristiwa masa lampau, tetapi juga penalaran kritis
untuk menemukan kebenaran suatu peristiwa pada masa lampau. Dengan demikian
unsur penting dalam sejarah adalah adanya peristiwa, adanya batasan waktu, yaitu
masa lampau, adanya pelaku, yaitu manusia, dan daya kritis dari peneliti sejarah.
Sedangkan menurut Hugiono dan P.K. Poerwantana sejarah adalah sebagai
rekonstruksi peristiwa masa lampau yang dialami oleh manusia, disusun secara
ilmiah, meliputi urutan waktu, diberi tafsiran dan analisis kritis, sehingga mudah
untuk dimengerti dan difahami.8
Setelah melihat beberapa pendapat diatas dapat di simpulkan bahwa pengertian
sejarah atau historis adalah suatu ilmu yang didalamnya dibahas berbagai peristiwa
dengan memperhatikan unsur tempat, waktu, obyek, latar belakang, dan pelaku dari
peristiwa tersebut. Menurut ilmu ini segala peristiwa dapat dilacak dengan melihat
kapan peristiwa itu terjadi, dimana, apa sebabnya, dan siapa yang terlibat dalam
peristiwa tersebut.

7
https://kbbi.web.id/historis di akses pada 2 November 2021
8
http://makalahkuliahjurusanpai.blogspot.com/2011/04/pendekatan-historis-dalam-studi-islam.html di
akses pada 2 November 2021

4
Sejarah atau historis adalah suatu ilmu yang didalamnya dibahas berbagai
peristiwa dengan memperhatikan unsur tempat, waktu, objek, latar belakang, dan
perilaku dari peristiwa tersebut. menurut ilmu ini, segala peristiwa dapat dilacak
dengan melihat kapan peristiwa itu terjadi, dimana, apa sebabnya, siapa yang terlibat
dalam peristiwa tersebut. Dan oleh karena itu, maka pendekatan sejarah dalam
konteks studi Fenomenologi adalah lebih melihat dan menekankan pada “proses”
timbulnya suatu perilaku manusia di dalam suatu komunitas atau masyarakatnya.
Proses itu menjelaskan awal kejadian suatu peristiwa sejarah dan sekaligus sejumlah
faktor yang berperan penting terhadap proses kejadian sejarah itu.9
Dalam menjelaskan suatu peristiwa atau masalah kesinambungan dan perubahan,
pendekatan historis menekankan pentingnya masalah pengaruh mempengaruhi antara
pemikiran dan gerakan yang yang muncul terdahulu terhadap pemikiran dan gerakan
yang muncul belakangan atau sesudahnya, baik dalam pola hubungan yang bersifat
langsung atau pun tidak langsung.
fenomenologi dan sejarah itu saling melengkapi. Fenomenologi tidak dapat
berbuat tanpa etnologi, filologi, dan disiplin kesejarahan lainnya. Sebaliknya,
fenomenologi memberikan disiplin kesejarahan untuk memberi arti keagamaan yang
tidak dapat mereka pahami. Oleh sebab itu, memahami agama dalam kajian
fenomenologi berarti memahami agama dari sejarah, memahami sejarah dalam arti
menurut dimensi keagamaannya.10

2. Pendekatan Teologi
Dalam kamus Inggris Indonesia, kata theology diartikan ilmu agama.11 Sedangkan
menurut Harun Nasution, teologi adalah ilmu yang membahas ajaran-ajaran dasar dari
suatu agama. Setiap orang yang ingin menyelami seluk-beluk agamanya secara
mendalam, perlu mempelajari teologi yang terdapat dalam agama yang dianutnya.
Mempelajari teologi akan memberi seseorang keyakinan-keyakinan yang berdasarkan
pada landasan yang kuat, yang tidak mudah diombang-ambing oleh peredaran
zaman.12

9
Taufik Abdullah dan M. Rusli Karim, Metodologi Penelitian Agama, Suatu Pengantar (Yogyakarta:
Tiara Wacana, 1991), h. 7.
10
Adeng Muchtar Ghazali, Ilmu Perbandingan Agama, (Bandung: Pustaka Setia, 2000), h. 41.
11
John M. Echols, Kamus Inggris Indonesia, (Jakarta: Gramedia, 1979), h. 586.
12
Harun Nasution, Teologi Islam Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan, (Jakarta: UI Press,
1972), h. 4.

5
Meskipun teologi dapat dianggap sebagai salah satu cabang ilmu pengetahuan
yang memenuhi kriteria saintifik, namun ada sisi tertentu bersifat mendasar yang
menjadi distingsi dengan ilmu pengetahuan pada umumnya. Distingsi dimaksud
adalah bahwa teologi mendasarkan diri pada wahyu dan doktrin keagamaan,
sedangkan ilmu pengetahuan lainnya bersumberkan pada akal dan indera dalam
sistem epistemologinya. Sungguh pun demikian teologi juga menggunakan akal
dalam kerja epistemologisnya, hanya saja fungsi akal lebih sebagai sebuah instrumen
untuk dapat menangkap, menganalisis dan mensistematisasikan apa yang terdapat
dalam wahyu.13
Keberadaan pendekatan teologis ini, dalam konteksnya dengan studi
fenomenologi kadangkala disebut pula sebagai pendekatan normatif, atau agamis, dan
bahkan ada pula pendapat yang menggabungkan kedua term itu bersamaan sekaligus
hingga menjadi pendekatan teologis-normatif. Lebih dari itu, selain menggunakan
sebutan pendekatan teologis dan teologis-normatif itu, Amin Abdullah kadangkala
menyebutnya lagi dengan istilah pendekatan doktrinal-teologis, dan pendekatan
agama (keagamaan) sehingga subjek penggunanya disebut kaum agamawan
(believer).
Adapun makna kata “teologis”, terutama dalam kapasitasnya sebagai suatu
pendekatan dalam studi fenomenologi, sesungguhnya dapat diidentifikasi sejumlah
karakteristik yang inheren padanya. Bahwa konstruksi atau bangunan keilmuan dan
pemikiran teologi, sebagai ditegaskan oleh Amin Abdullah, struktur fundamentalnya
paling tidak dicirikan oleh adanya tiga karakteristik berikut ini. Pertama, teologi
memiliki kecenderungan yang sangat kuat untuk lebih mengutamakan loyalitas
terhadap kelompok internalnya sendiri semata, yang dalam tradisi keberagamaan bisa
dalam bentuk agama atau pun faham keagamaan dari suatu agama tertentu. Kedua,
adanya keterlibatan pribadi (involvement) dan penghayatan yang begitu kental dan
pekat kepada ajaran-ajaran teologi anutannya yang tentu sangat diyakini
kebenarannya. Dan ketiga, dalam mengungkapkan perasaan dan pemikiran, teologi
lebih menggunakan bahasa sebagai ungkapan seorang actor (pelaku) dan bukannya

13
Moh. Nasir Mahmud, Orientalisme, Berbagai Pendekatan Barat dalam Studi Islam (Kudus:
MASEIFA Jendela Ilmu, 2013), 12.

6
ungkapan bahasa sebagai seorang peneliti atau pengamat (spectator) yang berposisi
netral.14

3. Pendekatan Sosiologi
Definisi sosiologi secara luas ialah ilmu tentang masyarakat dan gejala-gejala
mengenai masyarakat. Sosiologi seperti itu disebut macro-sociology, yaitu ilmu
tentang gejala-gejala sosial, institusi-institusi sosial dan pengaruhnya terhadap
masyarakat. Secara sempit sosiologi didefinisikan sebagai ilmu tentang perilaku sosial
ditinjau dari kecendrungan individu dengan individu lain dengan memperhatikan
simbol-simbol interaksi.15
Pada dasarnya sosiologi dapat dipahami sebagai ilmu yang mempelajari
kehidupan sosial manusia dalam tata kehidupan bersama. Ilmu ini memusatkan
telaahnya pada kehidupan kelompok dan tingkah laku sosial lengkap dengan produk
kehidupannya. Sosiologi tidak tertarik pada masalah-masalah yang sifatnya kecil,
pribadi, dan unik. Sebaliknya, ia tertarik pada masalah-masalah yang sifatnya besar
dan substansial serta dalam konteks budaya yang lebih luas.16 Dalam konteks studi
fenomenologi, pendekatan sosilogi ini melihat fenomena yang terjadi di masyarakat
atau komunitas tertentu terutama dilihat dari sudut posisi manusia yang membawanya
kepada perilaku itu. Dengan sosiologi ini keberadaan suatu fenomena sosial dapat
dianalisis dengan faktor-faktor yang mendorong terjadinya hubungan sosial, mobilitas
sosial serta keyakinan-keyakinan yang mendasari proses sosial tersebut.
Dalam disiplin Sosiologi Agama, ada tiga perspektif utama sosiologi yang
seringkali digunakan sebagai landasan dalam melihat fenomena keagamaan di
masyarakat, yaitu: perspektif fungsionalis, konflik dan interaksionisme simbolik.
a. Perspektif Fungsionalis
Perspektif fungsionalis memandang masyarakat sebagai suatu jaringan
kelompok yang bekerjasama secara terorganisasi yang bekerja dalam suatu cara
yang agak teratur menurut seperangkat peraturan dan nilai yang dianut oleh

14
Amin Abdullah, “Relevansi Studi Agama-Agama dalam Milenium Ketiga”, (Yogyakarta: Tiara
Wacana, 2000), h. 14.
15
Syamsuddin Abdullah, Agama dan Masyarakat: Pendekatan Sosiologi Agama, (Jakarta: Logos
Wacana Ilmu, 1997), h. 13
16
Mastuhu, Tradisi Baru Penelitian Agama Islam, (Bandung: Nuansa, 2001), h. 107.

7
sebagian besar masyarakat tersebut. Masyarakat dipandang sebagai suatu sistem
yang stabil dengan suatu kecenderungan untuk mempertahankan sistem kerja yang
selaras dan seimbang.
b. Konflik
Berlawanan dengan perspektif fungsional yang melihat keadaan normal
masyarakat sebagai suatu keseimbangan yang mantap, para penganut perspektif
konflik berpandangan bahwa masyarakat berada dalam konflik yang terus-
menerus diantara kelompok dan kelas, atau dengan kata lain konflik dan
pertentangan dipandang sebagai determinan utama dalam pengorganisasian
kehidupan sosial sehingga struktur dasar masyarakat sangat ditentukan oleh
upaya-upaya yang dilakukan berbagai individu dan kelompok untuk mendapatkan
sumber daya yang terbatas yang akan memenuhi kebutuhan dan keinginan
mereka.
c. Interaksionisme Simbolik
Interaksionisme simbolik diperkenalkan oleh Herbert Blumer melalui tiga
proposisinya yang terkenal: 1) Manusia berbuat terhadap sesuatu berdasarkan
makna-makna yang dimiliki sesuatu tersebut bagi mereka; 2) Makna-makna
tersebut merupakan hasil dari interaksi sosial; 3) Tindakan sosial diakibatkan oleh
kesesuaian bersama dari tindakan-tindakan sosial individu. Dengan mendasarkan
pada ketiga proposisi diatas, perspektif interaksionisme simbolik melihat
pentingnya agama bagi manusia karena agama mempengaruhi individu-individu
dan hubungan-hubungan sosial.

4. Pendekatan Antropologis
Antropologi berasal dari bahasa Yunani, anthropos dan logos. Anthropos berarti
manusia dan logos berarti pikiran atau ilmu. Secara sederhana, Antropologi dapat
dikatakan sebagai ilmu yang mempelajari manusia. Tentunya kita akan semakin
bertanya-tanya, begitu banyak ilmu yang mempelajari manusia. Menurut William A.
Haviland, seorang antropolog Amerika, Antropologi adalah ilmu yang pengetahuan
yang mempelajari keanekaragaman manusia dan kebudayaannya.17 Koentjaraningrat,
bapak Antropologi Indonesia, mendukung definisi Antropologi yang diberikan oleh

17
Menurut Edward B. Taylor Kebudayaan merupakan keseluruhan yang kompleks, yang didalamnya
terkandung pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adapt istiadat, dan kemampuan-kemampuan
lain yang didapat oleh seseorang sebagai anggotamasyarakat.

8
Haviland. la menyatakan bahwa Antropologi adalah ilmu yang mempelajari umat
manusia pada umumnya dengan mempelajari aneka warna, bentuk fisik masyarakat,
serta kebudayaan yang dihasilkannya.18

Meskipun sama-sama sebagai ilmu sosial, antropologi berbeda dengan sosiologi


dalam melihat perilaku manusia, termasuk fenomena keagamaan dalam suatu
masyarakat. Jika sosiologi melihat fenomena keagamaan dari sudut posisi manusia
yang membawanya kepada perilaku itu, maka antropologi lebih melihat dari sisi
terbentuknya pola-pola perilaku itu dalam tatanan nilai yang dianut dalam kehidupan
manusia. Antropologi, sebagai sebuah ilmu yang mempelajari manusia, menjadi
sangat penting untuk memahami sebuah fenomena. Antropologi mempelajari tentang
manusia dan segala perilaku mereka untuk dapat memahami perbedaan kebudayaan
manusia. Dibekali dengan pendekatan yang holistik dan komitmen antropologi akan
pemahaman tentang manusia, maka sesungguhnya antropologi merupakan ilmu yang
penting untuk memepelajari fenomena, agama dan interaksi sosialnya dengan
berbagai budaya.
Menurut Atho Mudzhar,19 fenomena agama yang dapat dikaji ada lima kategori.
Meliputi:
a. Scripture atau naskah atau sumber ajaran dan simbol agama.
b. Para penganut atau pemimpin atau pemuka agama. Yakni sikap, perilaku dan
penghayatan para penganutnya.
c. Ritus, lembaga dan ibadat. Misalnya shalat, haji, puasa, perkawinan dan waris.
d. Alat-alat (dan sarana). Misalnya masjid, gereja, lonceng, peci dan
semacamnya.
e. Organisasi keagamaan tempat para penganut agama berkumpul dan berperan.
Misalnya seperti Nahdatul Ulama, Muhammadiyah, dll.
Kelima fenomena (obyek) di atas dapat dikaji dengan pendekatan
antropologis, karena kelima fenomena (obyek) tersebut memiliki unsur budaya
dari hasil pikiran dan kreasi manusia.19

18
koentjaraningrat, Pengantar Antropologi I, (Jakarta: Rineka Cipta, 1996), h. 4.
19
M. Atho Mudzhar, Pendekatan Studi Islam Dalam Teori Dan Praktek, (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 1998), h. 15

9
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Istilah fenomenologi berasal dari bahasa Yunani, yang asal katanya adalah
“phenomenon’’ dan “logos”. Phenomenon berarti: yaitu yang muncul dalam kesadaran
manusia. Sedangkan logos, berarti ilmu. Phenomenologi berarti studi tentang
phenomenon, atau yang muncul dengan sendirinya. Fenomenologi berarti uraian tentang
phenomenon. Atau sesuatu yang sedang menampilkan diri, atau sesuatu yang sedang
menggejala. Dengan keterangan ini mulai tampaklah tendensi yang terdalam dari aliran
phenomenologi yang sebenarnya merupakan jiwa dan cita-cita dari semua filsafat, yaitu
mendapatkan pengertian yang benar, yang menangkap realitas itu sendiri.
Penelitian fenomenologi ini mejadi penelitian yang memiliki daya tarik tersendiri
karena semakin banyak diminati oleh para peneliti dari berbagai disiplin ilmu. Pendekatan
fenomenologi tidak hanya dillakukan oleh para peneliti pada bidang ilmu Agama, ilmu
sosial tetapi juga merambah ke disiplin ilmu lainnya. Selain itu ada beberapa pendekatan-
pendekatan dalam studi fenomenologi sebagai berikut ;
1. Pendekatan Historis
2. Pendekatan Teologis
3. Pendekatan Sosiologis
4. Pendekatan Antropologis

10
DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, Syamsuddin, Agama dan Masyarakat: Pendekatan Sosiologi Agama, Jakarta:


Logos Wacana Ilmu, 1997.
Abdullah, Amin, Relevansi Studi Agama-Agama dalam Milenium Ketiga, Yogyakarta: Tiara
Wacana, 2000.
Abdullah, Taufik. dan M. Rusli Karim, Metodologi Penelitian Agama, Suatu Pengantar ,
Yogyakarta: Tiara Wacana, 1991.
Daulay, Maraimbang. Filsafat Fenomenologi; Suatu Pengantar, Medan : Panjiaswaja Pres,
2010.
Delgaauw, Bernard. Filsafat Abad 20, terj. Soejono Soemargono, Yogyakarta: Tiara
Wacana, 2001.
Departemen Agama RI., Perbandingan Agama, Jakarta: 1982.
Ghazali, Adeng Muchtar. Ilmu Perbandingan Agama, Bandung: Pustaka Setia, 2000.
Koentjaraningrat, Pengantar Antropologi I, Jakarta: Rineka Cipta, 1996.
Mahmud, Moh. Nasir. Orientalisme, Berbagai Pendekatan Barat dalam Studi Islam, Kudus:
MASEIFA Jendela Ilmu, 2013.
Mastuhu, Tradisi Baru Penelitian Agama Islam, Bandung: Nuansa, 2001.
Mudzhar, M. Atho, Pendekatan Studi Islam Dalam Teori Dan Praktek, Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 1998.
M. Echols, John. Kamus Inggris Indonesia, Jakarta: Gramedia, 1979.
Nasution, Harun. Teologi Islam Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan, Jakarta: UI
Press, 1972.
N. Diyarkara. Percikan Filsafat. Jakarta: PT. Pembangunan, 1962
https://kbbi.web.id/historis di akses pada 2 November 2021
http://makalahkuliahjurusanpai.blogspot.com/2011/04/pendekatan-historis-dalam-studi-
islam.html di akses pada 2 November 2021

11

Anda mungkin juga menyukai