Anda di halaman 1dari 48

Fenomenologi adalah sebuah studi dalam bidang filsafat yang mempelajari manusia sebagai

sebuah fenomena. Ilmu fenomonologi dalam filsafat biasa dihubungkan dengan ilmu
hermeneutik, yaitu ilmu yang mempelajari arti daripada fenomena ini.

Istilah ini pertama kali diperkenalkan oleh Johann Heinrich Lambert (1728 - 1777), seorang
filsuf Jerman. Dalam bukunya Neues Organon (1764). ditulisnya tentang ilmu yang tak
nyata.

Dalam pendekatan sastra, fenomenologi memanfaatkan pengalaman intuitif atas fenomena,


sesuatu yang hadir dalam refleksi fenomenologis, sebagai titik awal dan usaha untuk
mendapatkan fitur-hakikat dari pengalaman dan hakikat dari apa yang kita alami. G.W.F.
Hegel dan Edmund Husserl adalah dua tokoh penting dalam pengembangan pendekatan
filosofis ini.

Tradisi fenomenologi berkonsentrasi pada pengalaman pribadi termasuk bagian dari individu
– individu yang ada saling memberikan pengalaman satu sama lainnya. Komunikasi di
pandang sebagai proses berbagi pengalaman atau informasi antar individu melalui dialog.
Hubungan baik antar individu mendapat kedudukan yang tinggi dalam tradisi ini. Dalam
tradisi ini mengatakan bahwa bahasa adalah mewakili suatu pemaknaan terhadap benda. Jadi,
satu kata saja sudah dapat memberikan pemaknaan pada suatu hal yang ingin di maknai.

Pada dasarnya fenomenologi adalah suatu tradisi pengkajian yang digunakan untuk
mengeksplorasi pengalaman manusia. Seperti yang dikemukakan oleh Littlejohn bahwa
fenomenologi adalah suatu tradisi untuk mengeksplorasi pengalaman manusia. Dalam
konteks ini ada asumsi bahwa manusia aktif memahami dunia disekelilingnya sebagai sebuah
pengalaman hidupnya dan aktif menginterpretasikan pengalaman tersebut.Asumsi pokok
fenomenologi adalah manusia secara aktif menginterpretasikan pengalamannya dengan
memberikan makna atas sesuatu yang dialaminya. Oleh karena itu interpretasi merupakan
proses aktif untuk memberikan makna atas sesuatu yang dialami manusia. Dengan kata lain
pemahaman adalah suatu tindakan kreatif, yakni tindakan menuju pemaknaan.

Manusia memiliki paradigma tersendiri dalam memaknai sebuah realitas. Pengertian


paradigma adalah suatu cara pandang untuk memahami kompleksitas dunia nyata. Paradigma
tertanam kuat dalam sosialisasi para penganut dan praktisinya. Paradigma menunjukkan
sesuatu yang penting, absah, dan masuk akal. Paradigma juga bersifat normatif, menunjukkan
kepada praktisinya apa yang harus dilakukan tanpa perlu melakukan pertimbangan
eksistensial atau epistimologis yang panjang.

Fenomenologi menjelaskan fenomena perilaku manusia yang dialami dalam kesadaran.


Fenomenolog mencari pemahaman seseorang dalam membangun makna dan konsep yang
bersifat intersubyektif. Oleh karena itu, penelitian fenomenologi harus berupaya untuk
menjelaskan makna dan pengalaman hidup sejumlah orang tentang suatu konsep atau gejala.
Natanson menggunakan istilah fenomenologi merujuk kepada semua pandangan sosial yang
menempatkan kesadaran manusia dan makna subjektifnya sebagai fokus untuk memahami
tindakan sosial.

Berdasar asumsi ontologis, penggunaan paradigma fenomeologi dalam memahami fenomena


atau realitas tertentu, akan menempatkan realitas sebagai konstruksi sosial kebenaran.
Realitas juga dipandang sebagai sesuatu yang sifatnya relatif, yaitu sesuai dengan konteks
spesifik yang dinilai relevan oleh para aktor sosial. Secara epistemologi, ada interaksi antara
subjek dengan realitas akan dikaji melalui sudut pandang interpretasi subjek. Sementara itu
dari sisi aksiologis, nilai, etika, dan pilihan moral menjadi bagian integral dalam
pengungkapan makna akan interpretasi subjek.

Jenis-Jenis Tradisi Fenomenologi


Inti dari tradisi fenomenologi adalah mengamati kehidupan dalam keseharian dalam suasana
yang alamiah. Tradisi memandang manusia secara aktif mengintrepretasikan pengalaman
mereka sehingga mereka dapat memahami lingkungannya melalui pengalaman personal dan
langsung dengan lingkungannya. Titik berat tradisi fenomenologi adalah Pada bagaimana
individu mempersepsi serta memberikan interpretasi pada pengalaman subyektifnya. Adapun
varian dari tradisi Fenomenologi ini adalah,:

 Fenomena Klasik, percaya pada kebenaran hanya bisa didapatkan melalui


pengarahan pengalaman, artinya hanya mempercayai suatu kebenaran dari sudut
pandangnya tersendiri atau obyektif.
 Fenomenologi Persepsi, percaya pada suatu kebenaran bisa di dapatkan dari sudut
pandang yang berbeda – beda, tidak hanya membatasi fenomenologi pada
obyektifitas, atau bisa dikatakan lebih subyektif.
 Fenomenologi Hermeneutik, percaya pada suatu kebenaran yang di tinjau baik dari
aspek obyektifitas maupun subyektifitasnya, dan juga disertai dengan analisis guna
menarik suatu kesimpulan.

Prinsip Dasar Fenomenologi


Stanley Deetz menyimpulkan tiga prinsip dasar fenomenologis:

 Pengetahuan ditemukan secara langsung dalam pengalaman sadar. Kita akan


mengetahui dunia ketika kita berhubungan dengan pengalaman itu sendiri.
 Makna benda terdiri dari kekuatan benda dalam kehidupan seseorang. Bagaimana kita
berhubungan dengan benda menentukan maknanya bagi kita.
 Bahasa merupakan kendaraan makna. Kita mengalami dunia melalui bahasa yang
digunakan untuk mendefinisikan dan mengekspresikan dunia itu.

Prosedur Penelitian Fenomenologi


Dalam melaksankan penelitian dengan metode fenomenologi, terdapat 4 tahapan yang perlu
dilakukan, diantaranya sebagai berikut[1].

1. Epoche. Seorang peneliti harus melepaskan dirinya dari dugaan-dugaan awal


penelitian, artinya peneliti tidak bisa melibatkan penelitian dengan pengalaman
pribadinya.
2. Reduksi Fenomenologi. Dalam tahapan ini peneliti bisa menemukan inti penelitian
yang dilakukan dengan cara membandingkan persepsi.
3. Variasi Imajinasi. Dalam tahapan ini penelitia mulai menggali tema-tema pokok
dimana fenomena mulai muncul dengan sistematis.
4. Sintesis makna dan esensi. Menggambarkan kondisi fenomena yang dialami objek
penelitian secara keseluruhan.
WIKIPEDIA

Creswell, John W. 2013. Oualitative Inquiry & Research Design. California: Sage Publications.

Fenomenologi
A. Pendahuluan
Melakukan penelitian ilmu-ilmu sosial dengan metode kualitatif merupakan
pengalaman yang unik dan menarik. Unik karena peneliti harus terjun langsung ke masyarakat
yang ditelitinya dan menarik karena harus berinteraksi secara langsung dengan masyarakat
dengan segala suka dukanya. Ada beberapa istilah yang digunakan dalam penelitian kualitatif,
yaitu penelitian atau inkuiri naturalistik atau alamiah, etnografi, interaksionis simbolik,
perspektif kedalam, etnometodologi, the Chicago School, fenomenologis, studi kasus,
interpretatif, ekologis dan deskriptif.1[1]
Penelitian kualitatif adalah penelitian tentang riset yang bersifat deskriptif dan
cenderung menggunakan analisis. Proses dan makna (perspektif subyek) lebih ditonjolkan
dalam penelitian kualitatif. Landasan teori dimanfaatkan sebagai pemandu agar fokus
penelitian sesuai dengan fakta di lapangan. Selain itu landasan teori juga bermanfaat untuk
memberikan gambaran umum tentang latar penelitian dan sebagai bahan pembahasan hasil
penelitian.
Penelitian kualitatif jauh lebih subyektif daripada penelitian atau survei kuantitatif dan
menggunakan metode sangat berbeda dari mengumpulkan informasi, terutama individu, dalam
menggunakan wawancara secara mendalam dan grup fokus. Sifat dari jenis penelitian ini
adalah penelitian dan penjelajahan terbuka berakhir dilakukan dalam jumlah relatif kelompok
kecil yang diwawancarai secara mendalam.
Peserta diminta untuk menjawab pertanyaan umum, dan interviewer atau moderator
group periset menjelajah dengan tanggapan mereka untuk mengidentifikasi dan menentukan
persepsi, pendapat dan perasaan tentang gagasan atau topik yang dibahas dan untuk
menentukan derajat kesepakatan yang ada dalam grup. Kualitas hasil temuan dari penelitian
kualitatif secara langsung tergantung pada kemampuan, pengalaman dan kepekaan dari
interviewer atau moderator group.
Secara umum penelitian kualitatif sendiri dikelompokkan menjadi 5 (lima) pendekatan
besar yakni 1) biografi; 2) fenomenologi; 3) grand theory; 4) etnografi; dan 5) studi kasus.2[2]
Dan mengingat begitu luasnya cakupan dari penelitian kualitatif, pada artikel ini hanya akan di
bahas penelitian kualitatif jenis fenomenologi.

B. Pengertian fenomenologi

Fenomenologi (Inggris: Phenomenology) berasal dari bahasa Yunani phainomenon dan


logos. Phainomenon berarti tampak dan phainen berarti memperlihatkan. Sedangkan logos
berarti kata, ucapan, rasio, pertimbangan. Dengan demikian, fenomenologi secara umum dapat
diartikan sebagai kajian terhadap fenomena atau apa-apa yang nampak. Lorens Bagus
memberikan dua pengertian terhadap fenomenologi. Dalam arti luas, fenomenologi berarti

1[1] Lexy J Moeloeng, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: Remaja Rosda Karya, 2013), hal.3.

2[2] Catatan kuliah Dr. Martinis Yamin 4 Februari 2015.


ilmu tentang gejala-gejala atau apa saja yang tampak. Dalam arti sempit, ilmu tentang gejala-
gejala yang menampakkan diri pada kesadaran kita.
Fenomenologi adalah sebuah studi dalam bidang filsafat yang mempelajari manusia
sebagai sebuah fenomena. Ilmu fenomonologi dalam filsafat biasa dihubungkan dengan ilmu
hermeneutik, yaitu ilmu yang mempelajari arti daripada fenomena ini. Istilah ini pertama kali
diperkenalkan oleh Johann Heinrich Lambert (1728 - 1777), seorang filsuf Jerman. Dalam
bukunya Neues Organon (1764) ditulisnya tentang ilmu yang tak nyata.
Pendekatan fenomenologi merupakan tradisi penelitian kualitatif yang berakar pada
filosofi dan psikologi, dan berfokus pada pengalaman hidup manusia (sosiologi). Pendekatan
fenomenologi hampir serupa dengan pendekatan hermeneutics yang menggunakan
pengalaman hidup sebagai alat untuk memahami secara lebih baik tentang sosial budaya,
politik atau konteks sejarah dimana pengalaman itu terjadi.
Penelitian ini akan berdiskusi tentang suatu objek kajian dangan memahami inti
pengalaman dari suatu fenomena. Peneliti akan mengkaji secara mendalam isu sentral dari
struktur utama suatu objek kajian dan selalu bertanya "apa pengalaman utama yang akan
dijelaskan informan tentang subjek kajian penelitian".
Peneliti memulai kajiannya dengan ide filosofikal yang menggambarkan tema utama.
Translasi dilakukan dengan memasuki wawasan persepsi informan, melihat bagaimana mereka
melalui suatu pengalaman, kehidupan dan memperlihatkan fenomena serta mencari makna dari
pengalaman informan.
Sebagai sebuah arah baru dalam filsafat, fenomenologi dimulai oleh Edmund Husserl
(1859 – 1938), untuk mematok suatu dasar yang tak dapat dibantah, ia memakai apa yang
disebutnya metode fenomenologis. Ia kemudian dikenal sebagai tokoh besar dalam
mengembangkan fenomenologi. Namun istilah fenomenologi itu sendiri sudah ada sebelum
Husserl. Istilah fenomenologi secara filosofis pertama kali dipakai oleh J.H. Lambert (1764).
Dia memasukkan dalam kebenaran (alethiologia), ajaran mengenai gejala (fenomenologia).
Maksudnya adalah menemukan sebab-sebab subjektif dan objektif ciri-ciri bayangan objek
pengalaman inderawi (fenomen).
Edmund Husserl memahami fenomenologi sebagai suatu analisis deskriptif serta
introspektif mengenai kedalaman dari semua bentuk kesadaran dan pengalaman-pengalaman
langsung; religius, moral, estetis, konseptual, serta indrawi. Perhatian filsafat, menurutnya,
hendaknya difokuskan pada penyelidikan tentang Labenswelt (dunia kehidupan) atau
Erlebnisse (kehidupan subjektif dan batiniah). Penyelidikan ini hendaknya menekankan watak
intensional kesadaran, dan tanpa mengandaikan praduga-praduga konseptual dari ilmu-ilmu
empiris.
Tradisi fenomenologi berkonsentrasi pada pengalaman pribadi termasuk bagian dari
individu – individu yang ada saling memberikan pengalaman satu sama lainnya. Komunikasi
di pandang sebagai proses berbagi pengalaman atau informasi antar individu melalui dialog.
Hubungan baik antar individu mendapat kedudukan yang tinggi dalam tradisi ini. Dalam tradisi
ini mengatakan bahwa bahasa adalah mewakili suatu pemaknaan terhadap benda. Jadi, satu
kata saja sudah dapat memberikan pemaknaan pada suatu hal yang ingin di maknai.
Pada dasarnya fenomenologi adalah suatu tradisi pengkajian yang digunakan untuk
mengeksplorasi pengalaman manusia. Seperti yang dikemukakan oleh Littlejohn bahwa
fenomenologi adalah suatu tradisi untuk mengeksplorasi pengalaman manusia. Dalam konteks
ini ada asumsi bahwa manusia aktif memahami dunia disekelilingnya sebagai sebuah
pengalaman hidupnya dan aktif menginterpretasikan pengalaman tersebut. Asumsi pokok
fenomenologi adalah manusia secara aktif menginterpretasikan pengalamannya dengan
memberikan makna atas sesuatu yang dialaminya. Oleh karena itu interpretasi merupakan
proses aktif untuk memberikan makna atas sesuatu yang dialami manusia. Dengan kata lain
pemahaman adalah suatu tindakan kreatif, yakni tindakan menuju pemaknaan.
Manusia memiliki paradigma tersendiri dalam memaknai sebuah realitas. Pengertian
paradigma adalah suatu cara pandang untuk memahami kompleksitas dunia nyata. Paradigma
tertanam kuat dalam sosialisasi para penganut dan praktisinya. Paradigma menunjukkan
sesuatu yang penting, absah, dan masuk akal. Paradigma juga bersifat normatif, menunjukkan
kepada praktisinya apa yang harus dilakukan tanpa perlu melakukan pertimbangan eksistensial
atau epistimologis yang panjang.
Fenomenologi menjelaskan fenomena perilaku manusia yang dialami dalam kesadaran.
Fenomenolog mencari pemahaman seseorang dalam membangun makna dan konsep yang
bersifat intersubyektif. Oleh karena itu, penelitian fenomenologi harus berupaya untuk
menjelaskan makna dan pengalaman hidup sejumlah orang tentang suatu konsep atau gejala.
Artinya fenomenologi merujuk kepada semua pandangan sosial yang menempatkan kesadaran
manusia dan makna subjektifnya sebagai fokus untuk memahami tindakan sosial.
Berdasar asumsi ontologis, penggunaan paradigma fenomeologi dalam memahami
fenomena atau realitas tertentu, akan menempatkan realitas sebagai konstruksi sosial
kebenaran. Realitas juga dipandang sebagai sesuatu yang sifatnya relatif, yaitu sesuai dengan
konteks spesifik yang dinilai relevan oleh para aktor sosial. Secara epistemologi, ada interaksi
antara subjek dengan realitas akan dikaji melalui sudut pandang interpretasi subjek. Sementara
itu dari sisi aksiologis, nilai, etika, dan pilihan moral menjadi bagian integral dalam
pengungkapan makna akan interpretasi subjek.
Tradisi fenomenologi berkonsentrasi pada pengalaman pribadi termasuk bagian dari
individu – individu yang ada saling memberikan pengalaman satu sama lainnya. Komunikasi
di pandang sebagai proses berbagi pengalaman atau informasi antar individu melalui dialog.
Hubungan baik antar individu mendapat kedudukan yang tinggi dalam tradisi ini. Dalam tradisi
ini mengatakan bahwa bahasa adalah mewakili suatu pemaknaan terhadap benda. Jadi, satu
kata saja sudah dapat memberikan pemaknaan pada suatu hal yang ingin di maknai.
Tradisi fenomenologi menurut Creswell3[3] adalah: “Where as biography reports the
life of a single individual, a phenomenological study describes the meaning of the live
experiences for several individuals about a concept or the phenomenom”. Dengan demikian,
studi dengan pendekatan fenomenologis berupaya untuk menjelaskan makna pengalaman
hidup sejumlah orang tentang suatu konsep atau gejala, termasuk di dalamnya konsep diri atau
pandangan hidup mereka sendiri.
Fenomenologi juga merupakan metode dan filsafat. Sebagai metode, fenomenologi
membentangkan langkah-langkah yang harus diambil sehingga kita sampai pada fenomena
yang murni. Fenomenologi mempelajari dan melukiskan ciri-ciri intrinsik fenomen-fenomen
sebagaimana fenomen-fenomen itu sendiri menyingkapkan diri kepada kesadaran.
Fenomenologi juga memberi pengetahuan yang perlu dan esensial mengenai apa yang ada.
Dengan demikian fenomenologi dapat dijelaskan sebagai metode kembali ke benda itu sendiri
(Zu den Sachen Selbt), dan ini disebabkan benda itu sendiri merupkan objek kesadaran
langsung dalam bentuk yang murni.
Edmund Gustav Albrecht Husserl (1859 – 1938) yang dikenal sebagai bapak
fenomenologi sangat tertarik dengan penemuan makna dan hakikat dari pengalaman. Dia
berpendapat bahwa terdapat perbedaan antara fakta dan esensi dalam fakta, atau dengan kata
lain perbedaan antara yang real dan yang tidak. Berikut adalah komponen konseptual dalam
fenomenologi transendental Husserl:

a. Kesengajaan (Intentionality)

3[3] Engkus Kuswarno, Tradisi Fenomenologi pada Penelitian Komunikasi Kualitatif: Sebuah
Pengalaman Akademis. Jurnal MediaTor, Vol.7 No.1 Juni 2006, hal.49.
Kesengajaan (intentionality) adalah orientasi pikiran terhadap suatu objek (sesuatu)
yang menurut Husserl, objek atau sesuatu tersebut bisa nyata atau tidak nyata. Objek nyata
seperti sebongkah batu yang dibentuk dengan tujuan tertentu maka jadilah batu permata. Objek
yang tidak nyata misalnya konsep tentang tanggung jawab, kesabaran, dan konsep lain yang
abstrak atau tidak real. Husserl menyatakan bahwa kesengajaan sangat terkait dengan
kesadaran atau pengalaman seseorang dimana kesengajaan atau pengalaman tersebut
dipengaruhi oleh faktor kesenangan (minat), penilaian awal, dan harapan terhadap objek.
Misalnya minat terhadap dunia pendidikan akan menentukan kesengajaan kuliah di bidang
pendidikan.

b. Noema dan Noesis


Noema atau noesis merupakan turunan dari kesengajaan atau intentionality atau
maksud memahami sesuatu, dimana setiap pengalaman individu memiliki sisi obyektif dan
subyektif. Noema adalah sisi obyektif dari fenomena, artinya sesuatu yang bisa dilihat,
didengar, dirasakan, dipikirkan, atau sekalipun sesuatu yang masih akan dipikirkan (ide).
Sedangkan sisi subyektif noesis adalah tindakan yang dimaksud (intended act) seperti merasa,
mendengar, memikirkan, dan menilai ide.
c. Intuisi
Intuisi yakni kemampuan membedakan “yang murni” dan yang diperhatikan dari the light of
reason alone (semata-mata alasannya). Intuisi lah yang membimbing manusia mendapatkan
pengetahuan. Bagi Husserl, intuisi yang menghubungkan noema dan noesis. Inilah sebabnya
fenomenologi Husserl dinamakan fenomenologi transendental, karena terjadi dalam diri
individu secara mental (transenden).
d. Intersubjektivitas
Bahwa makna intersubjektif ini berawal dari konsep ‘sosial’ dan konsep ‘tindakan’. Konsep
sosial didefinisikan sebagai hubungan antara dua atau lebih orang dan konsep tindakan
didefinisikan sebagai perilaku yang membentuk makna subjektif. Akan tetapi, makna subjektif
tersebut bukan berada di dunia privat individu melainkan dimaknai secara sama dan bersama
dengan individu lain. Oleh karenanya, sebuah makna subjektif dikatakan intersubjektif karena
memiliki aspek kesamaan dan kebersamaan (common and shared).

C. Fenomenologi sebagai metode ilmu

Fenomenologi berkembang sebagai metode untuk mendekati fenomena-fenomena


dalam kemurniannya. Fenomena disini dipahami sebagai segala sesuatu yang dengan suatu
cara tertentu tampil dalam kesadaran kita. Baik berupa sesuatu sebagai hasil rekaan maupun
berupa sesuatu yang nyata, yang berupa gagasan maupun kenyataan. Yang penting ialah
pengembangan suatu metode yang tidak memalsukan fenomena, melainkan dapat
mendeskripsikannya seperti penampilannya tanpa prasangka sama sekali.
Tugas utama fenomenologi menurut Husserl adalah menjalin keterkaitan manusia
dengan realitas. Bagi Husserl, realitas bukan suatu yang berbeda pada dirinya lepas dari
manusia yang mengamati. Realitas itu mewujudkan diri, atau menurut ungkapan Martin
Heideger, yang juga seorang fenomenolog: “Sifat realitas itu membutuhkan keberadaan
manusia”. Filsafat fenomenologi berusaha untuk mencapai pengertian yang sebenarnya dengan
cara menerobos semua fenomena yang menampakkan diri menuju kepada bendanya yang
sebenarnya. Usaha inilah yang dinamakan untuk mencapai “Hakikat segala sesuatu”.
Husserl mengajukan metode epoche untuk mencapai esensi fenomenologi. Kata epoche
berasal dari bahasa Yunani, yang berarti: “menunda keputusan” atau “mengosongkan diri dari
keyakinan tertentu”. Epoche bisa juga berarti tanda kurung (bracketing) terhadap setiap
keterangan yang diperoleh dari suatu fenomena yang nampak, tanpa memberikan putusan
benar salahnya terlebih dahulu. Fenomena yang tampil dalam kesadaran adalah benar-benar
natural tanpa dicampuri oleh presupposisi pengamat. Untuk itu, Husserl menekankan satu hal
penting: Penundaan keputusan. Keputusan harus ditunda (epoche) atau dikurung dulu dalam
kaitan dengan status atau referensi ontologis atau eksistensial objek kesadaran.
Selanjutnya, menurut Husserl epoche mempunyai empat macam, yaitu:
1. Method of historical bracketing; metode yang mengesampingkan aneka macam teori dan
pandangan yang pernah kita terima dalam kehidupan sehari-hari, baik dari adapt, agama
maupun ilmu pengetahuan.
2. Method of existensional bracketing; meninggalkan atau abstain terhadap semua sikap
keputusan atau sikap diam dan menunda.
3. Method of transcendental reduction; mengolah data yang kita sadari menjadi gejala yang
transcendental dalam kesadaran murni.
4. Method of eidetic reduction; mencari esensi fakta, semacam menjadikan fakta-fakta tentang
realitas menjadi esensi atau intisari realitas itu.

D. Konsep Dasar

Peneliti dalam pandangan fenomenologis berusaha memahami arti peristiwa dan


kaitan-kaitannya terhadap orang-orang biasa dalam situasi-situasi tertentu. Sosiologi
fenomenologis pada dasarnya sangat dipengaruhi oleh pandangan Edmund Husserl dan Alfred
Schultz. Pengaruh lainnya berasal dari Weber yang memberi tekanan pada verstehn, yaitu
pengertian interpretatif terhadap pemahaman manusia. Fenomoenologi tidak berasumsi bahwa
peneliti mengetahui arti sesuatu bagi orang-orang yang sedang diteliti oleh mereka.
Inkuiri fenomenologis memulai dengan diam. Diam merupakan tindakan untuk
mengungkap pengertian sesuatu yang sedang diteliti. Yang ditekankan oleh kaum
fenomenologis adalah aspek subjektif dari perilaku orang. Mereka berusaha untuk masuk
kedalam dunia konseptual para subyek yang ditelitinya sedemikian rupa sehingga mereka
mengerti apa dan bagaimana suatu pengertian yang dikembangkan oleh mereka di sekitar
peristiwa dalam kehidupannya sehari-hari.
Para fenomenolog percaya bahwa pada makhluk hidup tersedia pelbagai cara untuk
menginterpretasikan pengalaman melalui interaksi dengan orang lain, dan bahwa pengertian
pengalaman kitalah yang membentuk kenyataan.

E. Fenomenologi dan Kebudayaan

Banyak antropolog menggunakan pendekatan fenomenologi dalam studi mereka


tentang pendidikan. Kerangka studi antropologisnya adalah konsep kebudayaan. Usaha untuk
menguraikan kebudayaan atau aspek-aspek kebudayaan dinamakan etnografi. Walaupun
diantara mereka kurang sependapat tentang definisi kebudayaan, mereka memandang
kebudayaan sebagai kerangka teoretis dalam menjelaskan pekerjaan mereka.
Dalam kerangka kebudayaan, apapun definisi khususnya, kebudayaan merupakan alat
organisatoris atau konseptual untuk menafsirkan data yang berarti dan yang memberi ciri pada
etnografi. Prosedur etnografi, apakah sama atau identik dengan pengamatan-berperanserta,
percaya akan adanya prbedaaan kosa-kata dan telah berkembang dalam kekhasan akademis
yang berbeda.
Sekarang ini peneliti telah menggunakan istilah etnografi untuk menunjuk pada setiap
studi kualitatif, ada beberapa kenyataan yang menunjukkan bahwa sosiolog dan antropolog
makin saling mendekat dalam hal melakukan penelitian dan orientasi teoretis yang mendasari
pekerjaan mereka.Spradley (1980) sebagai antropolog terkenal menyatakan bahwa konsep
kebudayaan sebagai pengetahuan yang dicapai mempunyai ciri umum yang sama dengan
interaksi simbolik.

F. Jenis-Jenis Tradisi Fenomenologi


Inti dari tradisi fenomenologi adalah mengamati kehidupan dalam keseharian dalam
suasana yang alamiah. Tradisi memandang manusia secara aktif mengintrepretasikan
pengalaman mereka sehingga mereka dapat memahami lingkungannya melalui pengalaman
personal dan langsung dengan lingkungannya. Titik berat tradisi fenomenologi adalah Pada
bagaimana individu mempersepsi serta memberikan interpretasi pada pengalaman
subyektifnya. Adapun varian dari tradisi Fenomenologi ini adalah sebagai berikut:
1. Fenomena Klasik, percaya pada kebenaran hanya bisa didapatkan melalui pengarahan
pengalaman, artinya hanya mempercayai suatu kebenaran dari sudut pandangnya tersendiri
atau obyektif.
2. Fenomenologi Persepsi, percaya pada suatu kebenaran bisa di dapatkan dari sudut pandang
yang berbeda – beda, tidak hanya membatasi fenomenologi pada obyektifitas, atau bisa
dikatakan lebih subyektif.
3. Fenomenologi Hermeneutik, percaya pada suatu kebenaran yang di tinjau baik dari aspek
obyektifitas maupun subyektifitasnya, dan juga disertai dengan analisis guna menarik suatu
kesimpulan.
G. Prinsip dasar fenomenologi

Stanley deetz (dalam littlejohn, 1999:200) menyimpulkan tiga prinsip dasar dalam
fenomenologi:
1. Pengetahuan adalah kesadaran. Pengetahuan tidak disimpulkan dari pengalaman tetapi
ditemukan secara langsung dari pengalaman yang disadari “conscious experience”. Contoh,
untuk mendapatkan nilai yang bagus dari dosen saya harus rajin baik masuk kuliah,
mengerjakan tugas dan tentu saja mempunyai hubungan yang baik dengan dosen pengasuh
mata kuliah. Hal ini bukan saya simpulkan secara tidak sadar dari pengalaman-pengalaman
tetapi saya temukan langsung dari pengalaman yang saya sadari.
2. Makna dari sesuatu tergantung dari apa kegunaan sesuatu tersebut dalam kehidupan individu.
Dengan kata lain, bagaimana hubungan kita dengan sesuatu ditentukan oleh apa makna sesuatu
tersebut dalam kehidupan kita. Contoh, komputer jinjing (laptop) bagi seorang anak-anak
berfungsi sebagai alat permainan games, bagi seorang mahasiswa berguna untuk mengetik
tugas dan browsing internet, tetapi bagi seorang pialang saham laptop adalah sarana untuk
bermain valas dalam memperoleh penghasilan.
3. Bahasa adalah sarana makna. Kita mengalami dan memaknai dunia sosial kita melalui bahasa
yang kita gunakan untuk mendefinisikan dan mengekspresikan dunia sosial tersebut. Contoh,
kita bisa dengan mudah mengatakan bahwa sesuatu benda mempunyai makna tertentu dari
label-label yang melekat padanya seperti ikan itu adalah binatang yang hidup di air walaupun
tidak semua yang hidup di air itu adalah ikan. Contoh lainnya adalah televisi misalnya adalah
suatu kotak (walaupun tidak semua televisi berbentuk kotak) yang mempunyai layar berfungsi
menyiarkan gambar-gambar hidup berupa hiburan, berita atau yang lainnya bahkan dari tempat
yang jauh dan seterusnya.

H. Bracketing

Oleh karena paradigma interpretative percaya bahwa setiap individu melakukan


interpretasi secara aktif, dan fenomenologi percaya bahwa pengetahuan didapatkan dari
“conscious experience”, dan bagaimana individu memaknai segala sesuatu tergantung pada
arti sesuatu tersebut dalam kehidupan individu (subyektif), maka peneliti fenomenologi tidak
pernah mencari benar-salah dari pengalaman respondennya bahkan membenarkan atau
menyalahkan pernyataan respondennya, tetapi peneliti fenomenologi berusaha mengejar
bagaimana pengetahuan tersebut didapatkan respondenya atau bagaimana pernyataan tersebut
bisa dikemukakan oleh respondennya.
Contoh, misalkan anda meneliti tentang budaya kawin siri di kalangan masyarakat. Lalu
ketika anda menanyakan pada responden anda, alasan dia melakukan kawin siri, lantas dia
menjawab kalau kalau kawin siri adalah sarana untuk melampiaskan nafsu sexual dengan tidak
melanggar aturan agama.
Sebagai peneliti fenomenologi, anda tidak diperbolehkan untuk langsung menyalahkan
responden anda, atau ketika anda menuliskanya di penelitian anda, anda memberikan teori
tentang bagaimana pengaruh teman di dalam membentuk perilaku kawin siri dengan tujuan
untuk mendeskriditkan jawaban responden anda tadi. Tetapi sebagai peneliti fenomenologi,
yang berusaha anda kejar/ temukan adalah bagaimana responden anda bisa memaknai kawin
siri sebagaimana yang dia utarakan tadi.
Berkaitan dengan hal tersebut dikenal istilah bracketing di dalam fenomenologi.
Bracket sendiri adalah sebuah kata kerja yang dalam bahasa Indonesia berarti mengurung.
Disini berarti, selama melakukan penelitian fenomenologi seorang peneliti harus mengurung
(bracket) pengetahuan dan kepercayaan-kepercayaan yang selama ini dimiliki dan diyakininya
dalam rangka untuk mendapatkan true essence atau esensi murni dari fenomena yang
ditelitinya. Huserl (dalam Moustakas, 1994) menyebut bracketing dengan istilah epoche.
Jadi interview guide yang anda buat diawal, hanya sebuah guide atau panduan awal
tentang apa yang akan anda tanyakan kepada responden anda. Interview guide tersebut tidak
menjadi harga mati pertanyaan-pertanyaan yang akan anda ajukan pada responden. Dalam
setiap wawancara mendalam yang anda lakukan pertanyaan-pertanyaan yang anda ajukan akan
berkembang seiring dengan jawaban-jawaban dari responden anda. Tetapi harap diingat kalau
interview guide yang anda buatpun tidak anda buat dengan ngawur atau asal saja, tetapi tetap
dia harus berangkat dari penelitian pendahuluan (preliminary research) sebelumnya yang anda
lakukan dan kajian pustaka yang sudah anda tulis.
I. Penutup
Demikian penjelasan secara singkat tentang apa itu penelitian fenomenologi. Pada
dasarnya fenomenologi adalah suatu tradisi pengkajian yang digunakan untuk mengeksplorasi
pengalaman manusia. Para fenomenolog percaya bahwa pada makhluk hidup tersedia pelbagai
cara untuk menginterpretasikan pengalaman melalui interaksi dengan orang lain, dan bahwa
pengertian pengalaman kitalah yang membentuk kenyataan.
Adapun varian dari tradisi Fenomenologi ini adalah sebagai berikut:
1. Fenomena Klasik, percaya pada kebenaran hanya bisa didapatkan melalui pengarahan
pengalaman, artinya hanya mempercayai suatu kebenaran dari sudut pandangnya tersendiri
atau obyektif.
2. Fenomenologi Persepsi, percaya pada suatu kebenaran bisa di dapatkan dari sudut pandang
yang berbeda – beda, tidak hanya membatasi fenomenologi pada obyektifitas, atau bisa
dikatakan lebih subyektif.
3. Fenomenologi Hermeneutik, percaya pada suatu kebenaran yang di tinjau baik dari aspek
obyektifitas maupun subyektifitasnya, dan juga disertai dengan analisis guna menarik suatu
kesimpulan.

DAFTAR PUSTAKA
Denzin K. Norman dan Lincoln S. Yvonna, Handbook of Qualitative Research, (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2009).
Moustakas, Clark. Phenomenological Research Methods. (California: SAGE Publications,
1994)
Littlejohn, S. W. Theories of Human Communication 6th Edition. (Belmont, CA: Wadsworth.
N/A, 1999)
Kuswara Engkus. Tradisi Fenomenologi pada Penelitian Komunikasi Kualitatif: Sebuah
pengalaman akademis. Jurnal Mediator Vol.7 No.1 Juni 2006 Terakreditasi Dirjen Dikti SK
No.56/DIKTI/Kep/2005.
Moeloeng Lexy J. Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2013)

Pertanyaan Filsafat Fenomenologi


1) Apa yang dimaksud dengan nomena?
2) Apa maksud dari penundaan keputusan?
3) Dalam jenis-jenis tradisi fenomenologi disebutkan bahwa fenomenologi bersifat selain objektif
juga subjektif sedangkan pada kelebihan fenomenologi disebutkan bahwa fenomenologi kebenaran
bersifat objektif. Apa yang benar antara jenis-jenis tradisi fenomenologi persepsi dan kelebihan
fenomenologi?
4) Martin Heidegger mengemukakan tentang konsep suasana hati. Mengapa suasana hati bisa
menjadi tolak ukur untuk mengetahui hakikat diri?
5) Dalam fenomenologi sebagai metode ilmu dijelaskan bahwa fenomenologi pendeskripsikannya
seperti penampilannya tanpa prasangka sama sekali, apa maksudnya?
6) Pada kontribusi fenomenologi, ada pembicaraan mengenai konsep Lebenswelt (“dunia
kehidupan”). Apa deskripsi atas sejarah lebenswelt (dunia kehidupan) tersebut?
7) Dari 3 kelebihan fenomenlogi yang disebutkan, apa yang bisa disimpulkan tentang fenomenologi
tersebut berdasarkan kelebihannya?
8) Apa sifat dari paradigma?
9) Banyak diterapkan dalam hal apa fenomenologi itu?
10) Bagaimanakah filsafat fenomenologi menurut Edmund Husserl?
11) Bagaimana cara Husserl mengajar filsafat di German University of Freiburg?
12) Bagaimanakah pandangan Max Scheler mengenai filsafat?
13) Menurut Sumarno, Karimah, dan Damayani dalam buku Filsafat dan Etika Komunikasi pengertian
filsafat dapat dibedakan menjadi 6. jelaskan pengertian nya ?
14) Sebutkan 3 ptinsip dasar fenomenologi menurut Stanley Deetz ?
15) Apakah yang dimaksud dengan Reduksi eidetic ?

Jawaban:
1) Nomena adalah penyebab dari adanya suatu fenomena. Misalnya ada fenomena sebuah gunung
berapi meletus. Maka nomenanya adalah penyebab-penyebab dari mengapa gunung itu bisa
meletus.

2) Penundaan keputusan adalah jika terjadi suatu fenomena misalnya ada corpcircle yang ditemukan di
area persawahan sebagai tanda bahwa itu adalah tanda bahwa telah terjadi pendaratan uvo
ditempat itu. Pernyataan ini masih dalam penundaan keputusan karena belum diketahui pasti
apakah benar ada uvo namun tidak disangkal juga bila ini adalah pernyataan yang salah dan masih
diteliti.

3) Jika pada kelebihan fenomenologi disebutkan bahwa fenomenologi bersifat objektif dalam
kebenarannya itu maksudnya adalah misalnya ada gunung berapi meletus, secara objektif fenomena
itu dikatakan gunung meletus. Namun bersifat subjektif disini mengarah pada nomena atau
penyebab dari adanya suatu fenomena. Saat terjadi fenomena gunung meletus, kita mencari
penyebab gunung itu meletus dan selain mencari dari buku-buku. Kita juga bertanya pada para ahli
yang sudah ahli dibidangnya. Disini itu dinamakan bersifat subjektif karena ini menurut para ahli.

4) Seperti yang kita ketahui bahwa dengan suasana hatilah kita diatur oleh dunia kita, bukan dalam
pendirian pengetahuan observasional yang berjarak. Biasanya, dengan posisi kita yang sedang
bersahabat dengan suasana hati, maka kita akan bisa mengenali diri kita yang sesungguhnya. Inilah
mengapa suasana hati bisa menjadi tolak ukur untuk mengetahui hakikat diri.

5) Telah disebutkan bahwa pada kelebihan fenomenologi disebutkan bahwa fenomenologi bersifat
objektif dalam kebenarannya. Jadi mendeskripsikan suatu fenomena sesuai penampilannya atau
sesuai dengan yang terlihat. Misalnya jika terjadi gunung meletus, ya katakana jika itu gunung
meletus jangan mengatakan kalau itu banjir dan membuat prasangka.

6) Deskripsi atas sejarah lebenswelt (dunia kehidupan) tersebut untuk menemukan ‘endapan makna’
yang merekonstruksi kenyataan sehari-hari.Maka meskipun pemahanan terhadap makna dilihat dari
sudut intensionalitas (kesadaran) individu, namun ‘akurasi’ kebenarannya sangat ditentukan oleh
aspek intersubjektif.Dalam arti, sejauh mana ‘endapan makna’ yang detemukan itu benar-benar di
rekonstruksi dari dunia kehidupan sosial, dimana banyak subjek sama-sama terlibat dan menghayati.
7) Berdasarkan kelebihan fenomenologi bisa ditarik kesimpulan bahwa fenomenologi menuntut
pendekatan yang holistik, bukan pendekatanpartial, sehingga diperoleh pemahaman yang utuh
mengenai objek yang diamati, hal ini lah yang menjadi kelebihan filsafat ini sehingga banyak dipakai
oleh ilmuan-ilmuan pada saat ini terutama ilmuan sosial, dalam berbagai kajian keilmuan mereka
termasuk bidang kajian agama.

8) Paradigma menunjukkan sesuatu yang penting, absah, dan masuk akal. Paradigma juga bersifat
normatif, menunjukkan kepada praktisinya apa yang harus dilakukan tanpa perlu melakukan
pertimbangan eksistensial atau epistimologis yang panjang.

9) Fenomenologi banyak diterapkan dalam epistemology, psikologi, antropologi, dan studi-studi


keagamaan (misalnya kajian atas kitab suci).

10) Edmund Husserl adalah pendiri dari aliran filsafat fenomenologi ini. Seperti yang dikatakan di atas,
fenomenologi merupakan metoda dan filsafat. Sebagai metoda ia membentangkan langkah-langkah
yang harus diambil sehingga bisa sampai kepada fenomena yang murni. Sebagai filsafat,
fenomenologi menurut Husserl memberi pengetahuan yang perlu dan esensial tentang apa yang
ada. Dalam langkah-langkah penyelidikannya, ia menemukan obyek-obyek (yang tak terbatas
banyaknya) yang membentuk dunia yang kita alami. Benda tersebut dapat dilukiskan menurut
kesadaran di mana ia ditemukan. Dengan begitu, fenomenologi dijelaskan sebagai kembali kepada
benda, sebagai lawan dari ilusi atau susunan fikiran, justru karena benda adalah obyek kesadaran
yang langsung dalam bentuknya yang murni.

11) Caranya Husserl mengajar adalah dalam bentuk memimpin para mahasiswa dalam 'melihat' secara
fenomenologi, ia melarang menggunakan ide-ide yang belum diuji yang terdapat dalam tradisi-
tradisi filsafat. Ia menolak kembali kepada otoritas atau kepada nama-nama besar dalam filsafat.
Heidegger merasa bahwa metoda semacam itu merupakan pendekatan yang paling baik bagi
problema-problemanya sendiri.
12) Max Scheler (1874-1928) mempunyai keyakinan bahwa filsafat itu, pada pokoknya, membicarakan
tentang situasi historis manusia

13) Filsafat sebagai suatu sikap. Filsafat merupakan sikap terhadap kehidupan dan alam
semesta.Bagaimana manusia yang berfilsafat dalam menyikapi hidup dan alam sekitarnya.
2. Filsafat sebagai suatu metoda. Berfilsafat artinya berpikir secara reflektif, yakni berpikir dengan
memerhatikan unsure di belakang objek yang menjadi pusat pemikirannya.
3. Filsafat sebagai kumpulan persoalan.Befilsafat artinya berusaha untuk memecahkan persoalan-
persoalan hidup.
4. Filsafat merupakan sistem pemikiran.Socrates, Plato, atau Aristoteles merupakan tokoh filsafat
yang menghasilkan sistem pemikiran yang menjadi acuan dalam menjawab persoalan, sebagai
metode, dan cara bersikap kenyataan.
5. Filsafat merupakan analisis logis. Filsafat berarti berbicara tentang bahasa dan penjelasan makna-
makna yang terkandung dalam kata dan pengertian.Hampir setiap filsuf memakai metode analisis
untuk menjelaskan arti istilah dan pemakaian bahasa.
6. Filsafat merupakan suatu usaha memperoleh pandangan secara menyeluruh. Filsafat mencoba
menggabungkan kesimpulan-kesimpulan dari berbagai macam ilmu serta pengalaman manusia
menjadi suatu pandangan dunia yang menyeluruh.

14) Stanley Deetz menyimpulkan tiga prinsip dasar fenomenologis:

1) Pengetahuan ditemukan secara langsung dalam pengalaman sadar. Kita akan mengetahui dunia
ketika kita berhubungan dengan pengalaman itu sendiri.
2) Makna benda terdiri dari kekuatan benda dalam kehidupan seseorang. Bagaimana kita berhubungan
dengan benda menentukan maknanya bagi kita.
3) Bahasa merupakan kendaraan makna. Kita mengalami dunia melalui bahasa yang digunakan untuk
mendefinisikan dan mengekspresikan dunia itu.

15) Reduksi eidetis, yaitu dengan menyaring atau penempatan dalam tanda kurung sebagai hal yang
bukan eidos atau intisari atau hakikat gejala atau fenomena.
Pengertian Fenomenologi
Fenomenologi secara etimologi berasal dari kata “phenomenon” yang berarti
realitas yang tampak, dan “logos” yang berarti ilmu. Sehingga secara Tujuan utama
fenomenologi adalah mempelajari bagaimana fenomena dialami dalam kesadaran,
pikiran dan dalam tindakan, seperti bagaimana fenomena tersebut bernilai atau
diterima secara estetis. Fenomologi mencoba mencari pemahaman bagaimana
manusia mengkonstruksi makna dan konsep-konsep penting, dalam kerangka
intersubjektivitas.
Secara terminologi fenomenologi adalah ilmu berorientasi untuk dapat
mendapatkan penjelasan tentang realitas yang tampak.Fenomena yang tampak
adalah refleksi dari realitas yang tidak berdiri sendiri karena ia memiliki makna yang
memerlukan penafsiran lebih lanjut. Fenomenologi menerobos fenomena untuk dapat
mengetahui makna (hakikat) terdalam dari fenomena-fenomena yang terjadi dalam
kehidupan sehari-hari.

Jadi, fenomenologi adalah ilmu mengenai fenomena yang dibedakan dari


sesuatu yang sudah menjadi, atau disiplin, atau disiplin ilmu yang menjelaskan dan
mengklasifikasikan fenomena, atau studi tentang fenomena. Dengan kata lain,
fenomenologi mempelajari fenomena yang tampak di depan kita, dan bagaimana
penampakannya.

Sejarah Fenomenologi

Ahli matematika Jerman Edmund Husserl, dalam tulisannya yang berjudul


Logical Investigations (1900) mengawali sejarah fenomenologi. Fenomenologi
sebagai salah satu cabang filsafat, pertama kali dikembangkan di universitas-
universtas Jerman sebelum Perang Dunia I, khususnya oleh Edmund Husserl, yang
kemudian di lanjutkan oleh Martin Heidehher dan yang lainnya, seperti Jean Paul
Sartre. Selanjutnya Sartre, Heidegger, dan Merleau-Ponty memasukkan ide-ide dasar
fenomenologi dalam pandangan eksistensialisme. Adapun yang menjadi fokus dari
eksistensialisme adalah eksplorasi kehidupan dunia mahluk sadar, atau jalan
kehidupan subjek-subjek sadar.
Seperti telah disebutkan sebelumnya, bahwa fenomenologi tidak dikenal
setidaknya sampai menjelang abad ke-20. Abad ke-18 menjadi awal digunakannya
istilah fenomenologi sebagai nama teori tentang penampakan, yang menjadi dasar
pengetahuan empiris (penampakan yang diterima secara inderawi). Istilah
fenomenologi itu sendiri diperkenalkan oleh Johann Heinrich Lambert, pengikut
Christian Wolff. Sesudah itu, filosof Immanuel Kant mulai sesekali menggunakan
istilah fenomenologi dalam tulisannya, seperti halnya Johann Gottlieb Fichte dan
G.W.F.Hegel. Pada tahun 1889, Franz Brentano menggunakan fenomenologi untuk
psikologi deskriptif. Dari sinilah awalnya Edmund Hesserl mengambil istilah
fenomenologi untuk pemikirannya mengenai “kesengajaan”.

Teori Fenomenologi

Terdapat dua garis besar di dalam pemikiran fenomenologi, yakni fenomenologi


transsendental sepeti yang digambarkan dalam kerja Edmund Husserl dan
fenomenologi sosial yang digambarkan oleh Alfred Schutz. Menurut Deetz dari dua
garis besar tersebut (Husserl dan Schutz) terdapat tiga kesamaan yang berhubungan
dengan studi komunikasi, yakni pertama dan prinsip yang paling dasar dari
fenomenologi – yang secara jelas dihubungkan dengan idealism Jerman – adalah
bahwa pengetahuan tidak dapat ditemukan dalam pengalaman eskternal tetapi dalam
diri kesadaran individu. Kedua, makna adalah derivasi dari potensialitas sebuah
objek atau pengalaman yang khusus dalam kehidupan pribadi. Esensinya, makna
yang beraal dari suatu objek atau pengalaman akan bergantung pada latar belakang
individu dan kejadian tertentu dalam hidup. Ketiga, kalangan fenomenolog percaya
bahwa dunia dialami dan makna dibangun melalui bahasa. Ketiga dasar fenomenologi
ini mempunyai perbedaan derajat signifikansi, bergantung pada aliran tertentu
pemikiran fenomenologi yang akan dibahas.

Jenis-Jenis Tradisi Fenomenologi

Inti dari tradisi fenomenologi adalah mengamati kehidupan dalam keseharian


dalam suasana yang alamiah. Tradisi memandang manusia secara aktif
mengintrepretasikan pengalaman mereka sehingga mereka dapat memahami
lingkungannya melalui pengalaman personal dan langsung dengan lingkungannya.
Titik berat tradisi fenomenologi adalah Pada bagaimana individu mempersepsi serta
memberikan interpretasi pada pengalaman subyektifnya. Adapun varian dari tradisi
Fenomenologi ini adalah :
1. Fenomena Klasik, percaya pada kebenaran hanya bisa didapatkan melalui
pengarahan pengalaman, artinya hanya mempercayai suatu kebenaran dari sudut
pandangnya tersendiri atau obyektif.
2. Fenomenologi Persepsi, percaya pada suatu kebenaran bisa di dapatkan dari sudut
pandang yang berbeda – beda, tidak hanya membatasi fenomenologi pada
obyektifitas, atau bisa dikatakan lebih subyektif.
3. Fenomenologi Hermeneutik, percaya pada suatu kebenaran yang di tinjau baik dari
aspek obyektifitas maupun subyektifitasnya, dan juga disertai dengan analisis guna
menarik suatu kesimpulan.
4. Fenomena Klasik, percaya pada kebenaran hanya bisa didapatkan melalui
pengarahan pengalaman, artinya hanya mempercayai suatu kebenaran dari sudut
pandangnya tersendiri atau obyektif.
5. Fenomenologi Persepsi, percaya pada suatu kebenaran bisa di dapatkan dari sudut
pandang yang berbeda – beda, tidak hanya membatasi fenomenologi pada
obyektifitas, atau bisa dikatakan lebih subyektif.
6. Fenomenologi Hermeneutik, percaya pada suatu kebenaran yang di tinjau baik dari
aspek obyektifitas maupun subyektifitasnya, dan juga disertai dengan analisis guna
menarik suatu kesimpulan.

Prinsip Dasar Fenomenologi

Stanley Deetz menyimpulkan tiga prinsip dasar fenomenologis:

 Pengetahuan ditemukan secara langsung dalam pengalaman sadar. Kita


akan mengetahui dunia ketika kita berhubungan dengan pengalaman itu
sendiri.
 Makna benda terdiri dari kekuatan benda dalam kehidupan seseorang.
Bagaimana kita berhubungan dengan benda menentukan maknanya bagi
kita.
 Bahasa merupakan kendaraan makna. Kita mengalami dunia melalui bahasa
yang digunakan untuk mendefinisikan dan mengekspresikan dunia itu.

Tokoh Fenomenologi
1. Edmud Husserl
Edmund Husserl (1859-1938) merupakan tokoh terpenting dalam metode
fenomenologi mengingat ialah yang untuk pertama kalinya mempopulerkan nama
fenomenologi sebagai metode atau cara berpikir baru dalam ranah keilmuan sosial-
humaniora. Beberapa pemikiran Edmund Husserl terkait teori fenomonologi. sebagai
berikut :
Fenomenologi Sebagai Metode untuk Membangun Disiplin dasar

Pendiri fenomenologi sebagai sebuah gerakan filosofis, Edmund Husserl


(1859-1938) memiliki tujuan fundamental, yang diperlukan untuk memiliki jelas
dalam pikiran dalam menilai pekerjaannya dan relevansinya bagi psikologi. Tujuan
ini adalah untuk memberikan dasar yang pasti untuk disiplin ilmiah yang berbeda
dengan membentuk makna konsep-konsep mereka yang paling dasar. Hal ini harus
dilakukan oleh klarifikasi struktur-struktur esensial penting dari pengalaman yang
membedakan satu disiplin dari yang lain dan mengatur sifat dari masing-masing
konsep disiplin itu. Seorang ahli matematika dengan pelatihan, kita bisa melihat
dalam sesuatu karya Husserl pendekatan untuk pengetahuan tentang geometri
Euclidean, peletakan keluar dari aksioma, atas dasar hal-hal yang pada
kenyataannya dapat dianggap melalui secara sehat. Dimana ini istirahat analog
bawah adalah dalam sifat dari aksioma dasar, yang bukan untuk Husserl, produk
dari alasan sederhana tetapi temuan pengawasan dari sifat abstrak dari
pengalaman tersebut dan dari mana konsep seperti itu berasal, sehingga mendasar
untuk cabang beasiswa.

Yang penting, maka Husserl memiliki kekhawatiran bahwa ilmu yang


berbeda dan disiplin ilmiah tidak memiliki metodologi untuk membangun konsep-
konsep dasar mereka. Banyak psikolog dengan selera untuk kekakuan konseptual
juga memiliki kepedulian picik bahwa konsep-konsep dasar yang kurang kuat dan
jika ada pretensi dari yayasan tersebut, mereka tampaknya tetap akan digunakan
secara longgar tanpa mata untuk setiap arti mendasar. Husserl memandang hal ini
sebagai khas dari semua alam pemikiran ilmiah. Tujuan filsafat aslinya sebagai ilmu
yang ketat (yang metodologis ketat dan hasilnya pasti memproduksi) dan itu akan
memberikan landasan untuk konsep dari setiap disiplin ilmiah. Jadi akan ada
(misalnya) menjadi geografi fenomenologis, efektif menciptakan apa disiplin adalah
dengan memperbaiki konsep-konsep utama. Husserl (1913/1983) berpendapat
bahwa, untuk setiap ilmu pengetahuan empiris akan ada disiplin eidetic
(Historisisme), tubuh dasar penelitian fenomenologis yang tidak akan sendiri secara
langsung berkaitan dengan dunia nyata tetapi akan memberikan set mapan konsep-
konsep yang akan memungkinkan peneliti untuk mempelajari dunia nyata. “Eidetic”
mengacu pada gagasan bahwa akan konsep-konsep dari “ esensi” tersebut, murni
ide dasar memberikan struktur rasional untuk berpikir tentang realitas. Sama seperti
logika tidak secara khusus tentang realitas, namun menyediakan sistem konseptual
yang memungkinkan berpikir tentang aspek-aspek realitas untuk melanjutkan, dan
hanya sebagai geometri disiplin eidetik memungkinkan teknologi seperti survei
tanah untuk mengambil tempat, sehingga akan ada disiplin eidetik untuk wilayah
masing-masing usaha manusia.

Jadi, sama seperti geometri bisa menempatkan “ garis lurus “ sebagai item
dalam gudang senjata yang eidetik kebenaran meskipun adalah pertanyaan yang
sama sekali apakah hal seperti itu mempunyai manifestasi empiris sehingga esensi
disiplin murni lainnya harus dibangun tanpa perhatian yang dibayar untuk masalah
ini eksistensi nyata. Di antara disiplin fenomenologis akan ada psikologi
fenomenologis. Bahkan Husserl ditangani secara khusus dengan topik ini dalam
ceramah di 1925 (Husserl, 1925/1977). Tapi account dari psikologi fenomenologis
akan tidak seperti buku psikologi empiris seperti biasanya dipahami, memberikan
hasil penelitian ilmiah. Melainkan akan memeriksa dan fundamental psikologi
menemukan nyenyak sehingga bekerja empiris bisa pergi ke depan aman.

l
Hal Sendiri intensionalitas dan Para Fenomena

Bagaimana pengalaman dari sesuatu untuk diinterogasi ketat? Ini melibatkan


mengalihkan perhatian secara eksklusif untuk pengalaman, kemungkinan
mengalihkan perhatian untuk mengalami dan apa yang diberikan dalam
pengalaman tergantung pada pemahaman bahwa kesadaran semua adalah
kesadaran dari sesuatu. Prinsip pertama dari fenomenologi adalah bahwa
kesadaran adalah disengaja. Namun Husserl (1913/1983) terdengar peringatan
terhadap ini yang risalah pahami sebagai hanya mengulangi dunia “batin” dan
dikotomi dunia “luar”. Sebaliknya, perlu dipahami adalah bahwa kedua “modus
kesadaran” dan “obyek” kesadaran ini adalah “milikku”, mereka berdua di dalam
pengalaman pribadi atau kesadaran: Kita semua memahami kesadaran ekspresi
dari sesuatu Ini jauh lebih sulit untuk murni dan benar merebut atas keanehan yang
sesuai untuk itu tidak ada yang dilakukan dengan mengatakan bahwa objektivitas
dan cerdas setiap berhubungan dengan sesuatu objektivikasi, bahwa setiap menilai
sesuatu yang berhubungan dengan dinilai, dll Karena tanpa memiliki disita pada
sendiri aneh sikap transendental dan memiliki benar-benar disesuaikan dasar
phenomenlogical murni, seseorang mungkin saja menggunakan kata, fenomenologi
tapi tidak memiliki materi itu sendiri.

Jadi, “fenomena ini” apa yang muncul (objek sengaja) seperti yang dijelaskan
dengan caranya muncul, dengan memperhatikan mode sadar (persepsi, misalnya)
yang muncul. Kami akan mempertimbangkan kemudian dua “aspek” dari fenomena
seperti yang dijelaskan oleh Husserl (1913/1983), yang noema, obyek kesadaran,
dan cara di mana seseorang menyadari itu, noesis. Kunci pendekatan
fenomenologis adalah untuk fokus pada “penampilan yang muncul”. Untuk
memperhatikan benda di dalam yang muncul adalah untuk menolak gagasan bahwa
ada noumenon tersembunyi berbaring di balik fenomena yang berpengalaman.,
tugas ini adalah untuk menggambarkan apa yang muncul, fenomena yang murni
dan sederhana. Sebagai Husserl memberitahu kita: “Apa yang menentukan terdiri
dari deskripsi benar-benar setia dari apa yang sebenarnya hadir dalam kemurnian
fenomenologis dan dalam menjaga di kejauhan semua melampaui interpretasi
diberikan”. Sekarang, deskripsi kesadaran seseorang tentang fenomena ini
dianggap oleh Husserl sebagai pasti. Jadi, misalnya, keyakinan keagamaan
meskipun pasti masalah sengketa besar untuk hubungannya dengan realitas dan
nilai di dalam masyarakat saat ini, adalah tetap describable dalam muncul nya. Itu
harus mungkin karena itu, menurut Husserl bagi siapa saja untuk datang ke sebuah
pernyataan tentang apa iman. Tidak ada teori dibayangkan bisa membuat kita keliru
sehubungan dengan prinsip semua prinsip bahwa setiap intuisi asal presentive
merupakan sumber legitimasi dari cogniton, bahwa segala sesuatu awalnya
(sehingga untuk berbicara, di personal yang sebenarnya) ditawarkan kepada kita
dalam intuisi yang akan diterima hanya seperti apa yang disajikan kepada kita
sebagai mahluk, tapi juga hanya dalam batas-batas dari apa yang disajikan di sana.

Berpikir Fenomenologis

Temuan eksistensial tentang proses mental, sehingga tidak perlu membuat


“pengalaman” dan “pengamatan” akal di mana ilmu hal-hal fakta harus mendukung
dirinya sendiri oleh mereka, itu tetap membuat temuan eidetik yang berutang untuk
refleksi, lebih tepatnya intuisi reflectional dari esensi. Akibatnya keraguan skeptis
sehubungan dengan pengamatan-diri juga datang ke dalam tampilan untuk
fenomenologi, yang datang ke dalam tampilan untuk fenomenologi, lebih khusus,
sejauh meragukan hal ini memungkinkan menjadi diperpanjang dari refleksi tentang
sesuatu yang imanen untuk refleksi diambil universal.

2. ALFRED SCRUTZ
Ahli teori sosiologi-fenomenologi yang paling menonjol adalah Alfred Schutz,
seorang murid Husserl yang berimigrasi ke Amerika Serikat setelah munculnya
fascism di Eropa, melanjutkan karirnya sebagai bankir dan guru penggal-waktu (part-
time). Dia muncul di bawah pengaruh filsafat pragmatis dan interaksionisme-simbol;
barngkali cara terbaik untuk mendekati karyanya adalah melihatnya sebagai bentuk
interaksionisme yang lebih sistematik dan tajam. Akan tetapi, dalam karya klasiknya
yang berjudul The Phenomenology of the Social World, bagaimanapun, dia tertarik
dengan penggabungan pandangan fenomenologi dengan sosiologi melalui suatu kritik
sosiologi terhadap karya Weber. Dia mengatakan bahwa reduksi fenomenologis,
pengesampingan pengetahuan kita tentang dunia, meninggalkan kita dengan apa
yang ia sebut sebagai suatu “arus-pengalaman” (stream of experience).

Sebutan fenomenologis berarti studi tentang cara dimana fenomena hal-hal yang
kita sadari muncul kepada kita, dan cara yang paling mendasar dari pemunculannya
adalah sebagai suatu aliran pengalaman-pengalaman inderawi yang
berkesinambungan yang kita terima melalui panca indera kita. Fenomenologi tertarik
dengan pengidentifikasian masalah ini dari dunia pengalaman inderawi yang
bermakna, suatu hal yang semula yang terjadi di dalam kesadaran individual kita
secara terpisah dan kemudian secara kolektif, di dalam interaksi antara kesadaran-
kesadaran. Bagian ini adalah suatu bagian dimana kesadaran bertindak (acts) atas
data inderawi yang masih mentah, untuk menciptakan makna, didalam cara yang
sama sehingga kita bisa melihat sesuatu yang bersifat mendua dari jarak itu, tanpa
masuk lebih dekat, mengidebtifikasikannya melalui suatu proses dengan
menghubungkannya dengan latar belakangnya.

Hal ini mengantarkan kita kepada salah satu perbedaan yang jelas antara
fenomenologi dan bentuk lain dari teori tindakan: “tindakan” sejauh ini mengacu pada
tindakan manusi dalam berhubungan satu denan yang lain dan lingkungannya. Bagi
fenomenologi juga sama halnya, bahkan tindakan terutama ditujukan kepada proses
internal dari kesadaran (manusia), baik individualataupun kolektif. Sekali tindakan itu
ditransformasikan ke dalam fikiran kita, ia menjadi sulit untuk keluar lagi dan ini
mempunyai konsekuensinya pada usaha untuk memperluas sosiologi-fenomenologis
menjadi sebuah teori tentang masyarakat seperti juga tentang pribadi.

Menurut Schutz, cara kita mengkonstruksikan makna diluar dari arus utama
pengalaman ialah melalui proses tipikasi. Dalam hal ini termsuk membentuk
penggolongan atau klasifikasi dari pengalaman dengan melihat keserupaannya. Jadi
dalam arus pengalaman saya, saya melihat bahwa objek-objek tertentu pada
umumnya memiliki ciri-ciri khusus, bahwa mereka bergerak dari tempat ke tempat,
sementara lingkungan sendiri mungkin tetap diam.

Jadi, kita menentukan apa yang Schutz sebutkan sebagai “hubungan-


hubungan makna” (meanings contexs), serangkaian kriteria yang dengannya kita
mengorgnisir pengalaman inderawi kita ke dalam suatu dunia yang bermakna.
Hubungan-hubungan makna iorganisir secara bersama-sama, juga melalui proses
tipikasi, ke dalam apa yag Schutz namakan “kumpulan pengetahuan” (stock of
knowledge). Kalau kita tetap pada tingkat kumpulan pengetahuan umum
(commomsense knowledge), kita diarahkan kepada studi-studi yang berlingkup kecil,
mengenai situasi-situasi tertentu, yang merupakan jenis karya empiris. Dimana
interaksionisme simboliklah yang lebih unggul. Secara umum karya Schutz telah
digunakan untuk memberikan konsep-konsep kepekaan yang lebih lanjut, sering
secara implicit. Saya kira tiada satupun studi empiris yang menggunakannya secara
sistematik kecuali melalui pengembangan etnometodologi. Namun demikian, Peter
Berger telah mencoba secara sistematis untuk mengembangkan fenomenologi
menjadi suatu teori mengenai masyarakat.

Lebih jauh, bagi Schutz, manipulasi individu turut dimungkinkan dikarenakan


individu selalu berhadapan dengan dunia, obyek-obyek, atau realitas secara nyata.
Menurutnya, individu selalu meyakini bahwa ia berhadapan dengan realitas nyata
sepanjang tak memiliki alasan yang tepat untuk menentangnya. Keyakinan akan
keberadaan realitas nyata tersebutlah yang diistilahkannya dengan realitas puncak
dan pada gilirannya melahirkan makna puncak. Namun, manakala individu tak mampu
menghadapi realitas puncak, atau realitas tersebut tak sesuai dengan harapannya,
maka ia pun bakal menolak keberadaan makna puncak, dan menggantinya dengan
“makna khusus”. Dalam hal ini, makna khusus merupakan makna yang tak terpaku
pada dunia obyektif—berikut demikian berbeda dengan pemaknaan individu lain,
melainkan pendayagunaan-lebih alam kesadaran manusia terhadap realitas nyata.
Penggunaan makna khusus inilah yang kemudian menghantarkan individu larut dalam
dunia khayalan. Sebagai misal, seorang intelektual yang gagal menjadikan dirinya
terkenal dan tak kuasa menerima kenyataan tersebut, kemudian kerap
membayangkan dirinya menjadi populer, memiliki publikasi yang laris di pasaran,
serta diundang berbagai universitas dunia untuk memberikan kuliah. Bagi Schutz, hal
tersebut merupakan bagian dari kebebasan individu, hanya saja kebebasan yang tak
bertanggung jawab mengingat ketiadaan kontrol dan batasan di dalamnya.

Di samping konsep manipulasi individu yang memiripkan bentuknya dengan


fenomenologi eksistensial, layaknya Sartre, Schutz turut meyakini bahwa kehendak
dan keinginan dalam diri individu merupakan tanda kekosongan manusia yang
memaksa individu untuk terus bertindak. Adapun kecemasan mendasar individu
menurut Schutz adalah kematian mengingat hal tersebut selalu membayangi individu
akan berbagai proyeknya yang belum selesai selama dirinya berhadapan dengan
realitas puncak (Zeitlin, 1995: 264). Hal ini sedikit berbeda dengan pandangan
eksistensialisme Sartre (1956: 412) di mana kematian ditempatkan sebagai
kepasrahan individu akan proyeknya yang telah usai: kematian menyebabkan individu
menjadi “is” ‘adalah’. Oleh karenanya, apa yang dapat dilakukan individu dalam
pandangan eksistensialisme hanyalah “berbuat tanpa berharap”.
Di sisi lain, perbedaan mendasar antara fenomenologi eksistensial Sartre
dengan fenomenologi Schutz adalah anggapan Schutz bahwa kesadaran individu
selalu terbagi. Kesadaran tak pernah menjadi entitas yang tunggal, melainkan selalu
terbagi dengan individu lain; sahabat, keluarga, teman dan orang lain. Artinya,
pemahaman atau perspektif individu akan suatu hal tidak mungkin tidak dipengaruhi
oleh individu lain. Dengan kata lain, dunia individu tak pernah bersifat pribadi
sepenuhnya. Anggapan tersebut sudah tentu mengingkari otentitas individu dalam
pandangan fenomenologi eksistensial, terlebih berkenaan dengan pemaknaan
eksistensial yang dilakukan tiap-tiap individu.

3. PETER L. BERGER
Pengkajian fenomenologi Peter L. Berger berkaitan erat dengan konsepnya
mengenai konstruksi realitas sosial yang dianggapnya bergantung pada posisi
individu sebagai subyek. Dengan demikian, asumsi awal pemikiran terkait layaknya
struktural fungsional, hanya saja pemaknaan dihasilkan oleh hubungan subyektif
individu dengan dunia obyektif. Dalam proses tersebut, Berger (1994: 4-5) meyakini
eksisnya dialektika tiga momentum yang dialami individu dalam masyarakat, yakni
eksternalisasi, internalisasi dan obyektivasi, yang mana ketiganya menunjukkan
eksistensi individu sebagai produk masyarakat dan begitu pula sebaliknya:
masyarakat sebagai produk individu. Eksternalisasi adalah kondisi di mana individu
lebih dominan ketimbang masyarakat, dalam kondisi yang demikian individu aktif
memproduksi nilai, norma dan budaya bagi masyarakatnya. Sebaliknya, internalisasi
adalah kondisi tatkala individu lebih dormant ketimbang masyarakatnya, dalam
kondisi tersebut individu aktif mengadopsi nilai, norma dan budaya yang terdapat
dalam masyarakat.

Lebih jauh, kontektualisasi dialektika tiga momentum di atas dapat dimisalkan


dengan proses bertransformasinya konstruksi sosial menjadi kenyataan sosial.
Sebagai misal, seorang individu yang berpengaruh dalam masyarakat pada mulanya
mempraktekkan senyum simpul kala berpapasan dengan individu lain yang
dikenalnya sebagai bentuk penghormatan. Lambat-laun, perilaku tersebut ditiru oleh
individu-individu lain dan segera berubah menjadi suatu konstruksi sosial, yakni
senyum simpul sebagai bentuk penghormatan kala berpapasan dengan individu lain
yang dikenal. Bersamaan dengannya, konstruksi sosial pun menemui bentuknya
sebagai kenyataan sosial. Sebagai misal, apabila terdapat individu yang berpapasan
dengan individu lain yang dikenalnya namun tak melancarkan senyum simpul, maka
ia akan segera mendapati cap sombong, angkuh, dan lain sejenisnya.

Apabila fenomenologi Berger masih mengakui keterkaitan antara individu


dengan masyarakat, maka tak demikian halnya dengan fenomenologi eksistensial
Sartre yang menolaknya sama sekali. Begitu pula, fenomenologi eksistensial Sartre
menolak dimensi internalisasi dan obyektivasi mengingat memberikan titik tolak penuh
pada kedirian individu. Secara tak langsung, hal tersebut turut menyiratkan
penolakannya terhadap konstruksi sosial sebagai realitas sosial. Dalam hal ini,
fenomenologi eksistensial Sartre sekedar meluluskan terjadinya momen
eksternalisasi, namun tak demikian halnya pada momen internalisasi dan obyektivasi.
Internalisasi sebagai bentuk pengadopsian nilai, norma dan budaya dalam
masyarakat menemui bentuknya sebagai mauvaise foi dalam pandangan Sartre, alih-
alih obyektivasi yang menekankan pada penciptaan (persetujuan) konsensus
bersama.

Analisis Berger menyatakan, bahwa individu dilahirkan dengan suatu


pradisposisi ke arah sosialitas dan ia menjadi anggota masyarakat. Titik awal dari
proses ini adalah internalisasi, yaitu suatu pemahaman atau penafsiran yang langsung
dari peristiwa objektif sebagai suatu pengungkapan makna. Kesadaran diri individu
selama internalisasi menandai berlangsungnya proses sosialisasi.

4. MAX WEBER

Terkait dengan fenomonologi Max Weber membahas tentang Verstehen. Max


Weber (1864-1920) merupakan tokoh sosiologi yang paling berpengaruh dalam
pemahaman nominalisme sosiologis. Menurutnya, kajian sosiologi yang
memfokuskan perhatian pada studi mengenai entitas masyarakat, institusi atau
lembaga-lembaga sosial bersifat abstrak dan penuh spekulasi. Bagi Weber, satu-
satunya perihal yang konkret adalah motif berikut tindakan yang dimiliki individu, “Tak
ada sesuatu yang dinamakan masyarakat, melainkan kumpulan individu dan
kelompok yang menjalin hubungan sosial satu sama lain”, pungkas Weber. Di satu
sisi, pernyataan tersebut dapat diasumsikan sebagai berikut, “Keluarkan individu dari
masyarakat, maka habislah masyarakat. Tetapi, bubarkan masyarakat beserta
lembaga-lembaganya, maka individu akan tetap ada”. Oleh karenanya, obyek studi
sosiologi Weber berfokus pada motif tindakan sosial aktor.

Dalam hal ini, tindakan sosial memiliki beberapa karakteristik, antara

lain; (1) Tindakan aktor yang memiliki makna dan bersifat subyektif, (2)

Tindakan nyata maupun yang bersifat membatin dan sepenuhnya bersifat

subyektif, (3) Tindakan yang sengaja diulang berikut tindakan dalam

bentuk persetujuan diam-diam, (4) Tindakan terkait diarahkan pada

individu maupun kolektif, serta (5) Tindakan tersebut memperhatikan

tindakan orang lain dan terarah pada orang itu.

Lebih jauh, guna menelisik penafsiran dan pemahaman dari serangkaian


tindakan sosial di atas, Weber mencetuskan metode verstehen. Secara sederhana,
verstehen mengajak peneliti (ilmuwan sosial) untuk menempatkan diri dalam posisi
aktor dan berusaha memahami dunia sebagaimana yang dipahami aktor tersebut.
Keyakinan Weber akan tindakan aktor yang bersifat rasional, menyebabkannya
memetakan tindakan aktor ke dalam empat tipe rasionalitas. Pertama, werktrational
(rasionalitas nilai), yakni tindakan aktor yang didasarkan pada sesuatu yang dianggap
benar, baik dan diharapkan keterwujudannya—sebagaimana pengertian nilai pada
umumnya. Sebagai misal, seseorang yang berkata jujur pada orang lain dikarenakan
menganggap kejujuran sebagai perihal yang patut dijunjung tinggi. Kedua, zwerk
rational (rasionalitas instrumental), yakni tindakan yang didasarkan pada efisiensi dan
efektifitas tingkat tinggi dalam pencapaian tujuan. Semisal, seorang wanita muda yang
bersedia menerima pinangan duda tua nan kaya raya dengan harapan bergelimang
harta dalam waktu singkat. Ketiga, affectual action (tindakan/rasionalitas afektif),
yakni tindakan aktor yang didasarkan pada perasaan atau emosi. Sebagai misal,
seorang gadis yang berjingkrak kegirangan karena memperoleh cokelat dari seorang
pria yang disukainya. Keempat, traditional action (tindakan/rasionalitas tradisional),
yakni tindakan yang didasarkan pada perihal yang telah dilakukan secara turun-
temurun dan berulang-ulang. Semisal, seorang pemuda yang pergi merantau dari
kampung halamannya dikarenakan hal tersebut telah menjadi tradisi dalam
masyarakatnya.
Faktual, Weber berhasil membawa konsep pemahaman subyektif pada pola-
pola penalaran yang lebih bersifat rigorous “ketat”. Namun, layaknya fenomenologi
Husserl, verstehen Weber tak memiliki penjelasan akan posisi subyek sebagai obyek.
Seolah, subyek selalu berpikir berikut bertindak proaktif, bahkan ketika subyek
“tertelan” oleh masyarakat, semisal mengikuti nilai, norma dan tradisi yang terdapat di
dalamnya, ia tetap dalam kondisi aktif menafsirkan serta menciptakan dunia. Secara
tak langsung, ini menjadi aib bagi konsep rasionalitas Weber mengingat dimensi
irasionalitas yang turut termuat di dalamnya (tak sepenuhnya rasional)—bertindak
karena sekedar mengikuti atau meniru. Di satu sisi, hal terkait kiranya membuat kita
perlu mengkaji ulang pernyataan Weber yang kurang-lebih berbunyi: “Seluruh
tindakan manusia di dunia adalah rasional”, yang justru mengaburkan batas-batas
antara dimensi rasionalitas dengan irasionalitas.
Hal di atas berbeda halnya dengan konsep eksistensialisme Sartre (1956: 48)
yang mengenal istilah “keyakinan yang buruk”, yakni kondisi ketika individu sekedar
mengikuti individu atau kolektif lainnya. Meskipun memang, Sartre menyatakan pula,
“Anda memiliki keyakinan yang buruk, tapi tak mengapa, gaya yang berbeda untuk
orang yang berbeda”. Bisa jadi, pernyataan tersebut justru menunjukkan kapasitas
eksistensialisme Sartre dalam upaya menjembatani posisi individu dalam masyarakat
tanpa harus kehilangan dimensi eksistensinya. Pasalnya, bagi Sartre pengalaman
eksistensial dapat menjangkiti baik kala individu tegak berdiri melawan masyarakat
(menindak) maupun kala individu tak kuasa melawan dominasi masyarakat (ditindak).
Pengalaman terakhir ini, menunjukkan eksistensi diri individu sebagai etre en soi,
semisal rasa malu, terobjekkan, pasrah, serta keharusan menilai diri sendiri
berdasarkan kerangka penilaian orang lain. Lebih jauh, verstehen Weber tak memuat
penjelasan akan kemampuan individu dalam memanipulasi obyek, dalam hal ini
terutama orang lain dan ruang (tempat).

5. MAX SCHELER
Disamping Husserl, filsuf lain yang juga terlibat dalam filsafat fenomenologi adalah
Max Scheler. Scheler juga menggunakan metode Husserl dan tidak berusaha untuk
menganalisa dan menerangkan lebih jauh tentang suatu obyek dan gejala-gejalanya. Bagi
Scheler, fenomenologi merupakan “jalan keluar” ketidakpuasannya atas logisisme-
transendentalis Immanuel Kant dan Psikologisme Empiris. Dan pemikiran yang paling utama
Scheler adalah tentang fenomenologi etika.

Dalam pandangan Scheler tentang fenomenologi etis, benda dianggap sebagai


“sesuatu” yang bernilai; oleh karena itu, adalah keliru menginginkan inti nilai dari benda-
benda, atau memandang keduanya dengan tempat berpijak yang sama. Dunia benda-benda
terdiri atas segala sesuatu, maka dapat dihancurkan oleh kekuatan alam dan sejarah. Dan
jika nilai moral kehendak kita tergantung pada benda-benda, maka kehancuran tersebut akan
mempengaruhinya. Sebaliknya benda itu memiliki nilai empiris, induktif, dan prinsip yang
didasarkan diatasnya bersifat relatif.

Pertanyaannya sekarang adalah, bagaimana sebuah prinsip yang universal dan pasti
dapat diturunkan dari realitas yang berubah, yang tidak stabil? Jika etika benda-benda
diterima, prinsip-prinsip moral akan tertinggal di belakang evolusi sejarah, dan, kata Scheler,
adalah tidak mungkin untuk mengkritik dunia benda-benda yang ada pada satu jaman
tertentu, karena etika pasti didasarkan pada benda-benda tersebut. Juga salah, bahwa setiap
prinsip etis yang berusaha untuk menetapkan tujuan yang berkaitan dengan nilai moral dari
hasrat yang terukur. Sebab tujuan, sebagaimana adanya, tidak pernah baik ataupun buruk,
sebab benda-benda itu bebas dari nilai yang harus direalisasikan. Dengan model pemikiran
seperti ini, maka menurut Scheler, perilaku yang baik dan yang buruk tidak dapat diukur
dengan menghubungkannya dengan tujuan karena konsep tentang baik dan buruk tidak dapat
disarikan dari isi empiris tujuan.. Jelasnya, Scheler ingin mengatakan bahwa nilai itu berasal
dari benda-benda, namun tidak tergantung pada mereka. Dan dari ketidaktergantungan
tersebut memungkinkan benda itu untuk “menyusun” sebuah etika aksiologis yang sekaligus
material dan a priori.

Lebih jelasnya lagi, Scheler mengilustrasikannya dengan membandingkan “nilai”


dengan “warna” untuk menunjukkan bahwa didalam kasus keduanya terdapat persoalan
tentang kualitas yang keberadaannya tidak tergantung pada benda. Scheler mengatakan
bahwa “merah” sebagai kualitas murni dalam spektrum, tanpa mengalami perlunya untuk
mengkonsepsikannya sebagai yang meliputi permukaan yang berbadan. Dengan cara yang
sama, “nilai” yang terkandung didalam benda serta pembentukan atas suatu “kebaikan” tidak
tergantung pada benda tersebut. Menurut Scheler, kita tidak memahami, misalnya nilai
kenikmatan atau estetik melalui induksi yang umum. Dalam kasus tertentu, satu obyek atau
perbuatan tunggal cukup memadai bagi kita untuk menangkap nilai yang terkandung
didalamnya. Sebaliknya, kehadiran nilai yang menyertai obyek yang bernilai memiliki hakekat
“baik”. Dengan cara ini, kita tidak memeras keindahan dari benda yang indah; karena
keindahan mendahului bendanya. Dan bila dikaitkan dengan perbuatan manusia, maka
menurut Scheler, manusia bukanlah pencipta nilai tingkah laku karena nilai-nilai itu berada
diluar diri manusia. Lebih lanjut Scheler mengatakan bahwa tugas manusia adalah mengakui
nilai-nilai itu serta mengikutinya dalam hidup.

DAFTAR PUSTAKA

Brouwer, M.A.W, 1984, Psikologi Fenomenologis, Jakarta: Gramedia.

Lathief, Supaat I, 2010, Psikologi Fenomenologi Eksistensialisme, Jakarta: Pustaka


Pujangga.

Poloma, Margaret M, 2010, Sosiologi Kontemporer, Jakarta: Rajawali Pers.

Ritzer, George, 2005, Teori Sosiologi Modern, Jakarta: Kencana.

Zeitlin, Irving M, 1995, Memahami Kembali Sosiologi, Yogyakarta: Gadjah Mada University
Press.

Soekanto, Soerdjono.1993, Beberapa Teori Sosiologi Tentang Struktur Masyarakat, Jakarta:


PT. Raja Grafindo Persada.

Website

http://didanel.wordpress.com/2011/06/22/teori-fenomenologi-dan-etnometodologi/

http://kolomsosiologi.blogspot.com/2013/06/fenomenologi-jean-paul-sartre-edmund.html

http://arianicatrine.blogspot.com/2012/05/teori-sosiologi-modern.html?m=1

PENGERTIAN DAN FUNGSI FENOMENOLOGI DALAM KAJIAN AGAMA DAN STUDI ISLAM
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Mengkaji fenomena keagamaan berarti mempelajari perilaku manusia dalam kehidupannya beragama.
Ilmu pengetahuan social dengan caranya masing masing, atau metode, teknik, dan peralatannya,
dapat mengamati dengan cermat perilaku manusia itu, sehingga dimungkinkan ditemukannya segala
unsur yang menjadi komponen terjadinya perilaku itu, juga “makna terdalam dan substansi sejati”
yang tersembunyi dibalik gejala tersebut. Hal ini sudah barang tentu berlaku juga untuk semua
fenomena keberagamaan (religious phenomenon) manusia.

Fenomenologi adalah sebuah studi dalam bidang filsafat yang mempelajari manusia sebagai
sebuah fenomena. Ilmu fenomenologi dalam filsafat biasa dihubungkan dengan Ilmu Hermeneutik,
yaitu ilmu yang mempelajari arti dari pada fenomenologi.

Secara harfiah, fenomenologi fenomenalisme adalah aliran atau paham yang menganggap
bahwa fenomenalisme (gejala) adalah sumber pengetahuan dan kebenaran. Seorang fenomenalisme
suku melihat suatu gejala tertentu dengan ahli ilmu positif yang mengumpulkan data, mencari korelasi
dan fungsi, serta membuat hukum-hukum dan teori.
Salah seorang tokoh fenomenologi adalah Endmund Husserl (1859-1938), ia selalu berupaya ingin
mendekati realitas tidak melalui argumen-argumen, konsep-konsep, atau teori ilmu, kembali kepada
benda-benda itu sendiri merupakan inti dari pendekatan yang dipakai untuk mendeskripsikan realitas
menurut apa adanya.
Setiap obyek memiliki hakikat, dan itu berbicara kepada kita jika kita membuka diri kepada gejala-
gejala yang kita terima. Fenomenologi banyak diterapkan dalam epistemology, psikologi, antropologi
dan studi-studi keagamaaan (kajian atas Kitab Suci).

B. Rumusan Masalah

1. Pengertian Fenomenologi
2. Posisi Fenomenologi dalam Kajian Agama dan studi Islam
3. Fungsi fenomenologi

BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Fenomenologi
Istilah fenomenologi berasal dari bahasa Yunani phainomen dari phainesthai
/phainomai/phainein yang berarti menampakkan atau memperlihatkan.4[1] Dan terbentuk dari akar
kata fantasi, fantom dan fosfor yang artinya sinar atau cahaya. Dari kata itu terbentuk kata kerja
tampak, terlihat karena bercahaya. Dalam bahasa Indonesia sering dipakai dalam istilah gejala yaitu
suatu hal yang tidak nyata dan semu, kebalikan kenyataan, juga dapat diartikan sebagai ungkapan
kejadian yang dapat diamati lewat indra. Atau secara harfiah fenomena dapat di artikan sebagai suatu
gejalah atau sesuatu yang menampakkan. Fenomenologi juga di artikan ilmu pengetahuan (logos)
tentang apa yang tampak (phainomenon).

Lebih lanjut dijelaskan bahwa fenomena dipandang dari 2 sudut. Pertama, fenomena selalu
“menunjuk ke luar” atau berhubungan dengan realitas di luar pikiran. Kedua, fenomena di pandang
dari sudut kesadaran kita, karena selalu berada dalam kesadaran kita. Maka dalam memandang
fenomena harus terlebih dahulu melihat “penyaringan” atau ratio, sehingga mendapatkan kesadaran
yang murni. Fenomenologi menghendaki ilmu pengetahuan secara sadar mengarahkan untuk
memperhatikan contoh tertentu tanpa prasangka teoritis lewat pengalaman yang berbeda.

Kant dan Fries mempergunakan istilah fenomenologi sebagai pelajaran filsafat yang memusatkan
perhatiannya pada gejala-gejala.5[2] Sedangkan fenomenologi secara terminologi dapat didefinisikan
dengan suatu disiplin ilmu yang mencoba mengkaji realitas yang memiliki objek dunia atau benda,
dimana tidak ada hal tanpa hal lain. Benda biasa dilihat sebagai suatu objek yang dapat dilihat,
dipegang, diraba, atau didengar. Identik dengan dirinya sendiri dan berada dalam ruang yang
kemudian muncul sebagai hal yang terjadi dalam suatu waktu.6[3]

Fenomenologi memberi tekanan pada keperluan melukiskan gejala-gejala tanpa prasangka.


Istilah fenomenologi dipakai untuk pertama kali oleh J.H. Lambert (1728-1777), yang menyebut
fenomenologi sebagai sebuah penyelidikan kritis mengenai hubungan antara sesuatu yang lepas dari
pertimbangan dan sesuatu sebagai akibat pengalaman kita.
Dari beberapa pengertian di atas, jelas bahwa Fenomenologi Agama merupakan cabang Ilmu
Agama yang mengkaji fenomena keagamaan secara sistematis bukan historis sebagaimana sejarah
agama.

B. Posisi Fenomenologi dalam kajian Agama dan Studi Islam

Fenomenologi Husserl dijadikan sebagai landasan dalam fenomenologi agama. Fenomenologi


agama menjadikan agama sebagai objek studi menurut apa adanya. Atau dengan kata lain, ia
menjelaskan fenomena keagamaan sebagai yang ditunjukkan oleh agama itu sendiri. Dalam hal ini
kaum fenomenolog agama mencegah sikap memandang fenomena keagamaan itu menurut visi
mereka sendiri.

Tujuan fenomenologi agama adalah mengkaji dan kemudian mengerti pola atau struktur
agama atau menemukan esensi agama di balik manifestasinya yang beragam atau memahami sifat-
sifat yang unik pada fenomena keagamaan serta untuk memahami peranan agama dalam sejarah dan
budaya manusia.

Pendekatan fenomenologi dalam studi agama muncul sebagai reaksi terhadap beberapa
pendekatan sebelumnya, yaitu:

1. Pendekatan teologi yang normatif (atau sebut saja: teologis-normatif). Dalam mengkaji
tradisi agama, pendekatan ini digunakan untuk menghasilkan dan menyumbangkan pemahaman yang
lebih baik mengenai dunia agama. Sehingga menjadikan agama tertentu (terutama agamanya sendiri)
sebagai agama yang benar, sementara agama lain salah.

2. Pendekatan reduksionis. Pendekatan ini melihat agama lebih sebagai fakta-fakta


intelektual, emosional, psikologis dan sosiologis. Di sini agama diselidiki melalui beberapa disiplin di
luar ilmu agama (teologi). Ilmu-ilmu ini dalam melihat agama (termasuk persoalan ketuhanan)
menghasilkan beberapa kesimpulan, misalnya ia sebagai pemerasan ekonomis (Marx), frustasi jiwa
manusia (Feuerbach), suatu fase manusia dalam keadaan keterbelakangan (Comte), dan lain-lain.
Ketika mencari asal-usul agama, ahli sosiologi agama memulai kerjanya dalam masyarakat yang paling
“primitif”. Melalui penelitian terhadap masyarakat yang paling “awal/primitif” itu diharapkan
diperoleh pemahaman mengenai proses perkembangan agama sepanjang sejarah.

Fokus utama fenomenologi agama adalah aspek pengalaman keagamaan, dengan


mendeskripsikan atau menggambarkan fenomena keagamaan secara konsisten dalam orientasi
keimanan atau kepercayaan objek yang diteliti. Pendekatan ini melihat agama sebagai komponen
yang berbeda dan dikaji secara hati-hati berdasarkan sebuah tradisi keagamaan untuk mendapatkan
pemahaman di dalamnya. Fenomenologi agama muncul dalam upaya untuk menghindari pendekatan-
pendekatan yang sempit, etnosentris dan normatif dengan berupaya mendeskripsikan pengalaman-
pengalaman agama dengan akurat.7[4]

C. Fungsi Fenomenologi

Berikut ini fungsi dari fenomenologi :

a. Sebagai pembelajaran dalam keagamaan. Dengan memahami tentang fenomenologi, seseorang di


mungkinkan dapat memahami hakikat keberagamaan secara mendalam. Di karenakan, fenomenologi
itu mengajarkan tentang fenomena-fenomena yang terjadi terhadap keagamaan khususnya agama
Islam .

b. Sebagai konstruksi taksonomis untuk mengklasifikasikan fenomena dengan melintasi batas-batas


komunitas agama, budaya, dan zaman. Pokok dari aktivitas ini adalah mencari struktur pengalaman
keagamaan dan keluasan prinsip-prinsip yang tampak mengoperasikan bentuk perwujudan
keberagamaan manusia secara keseluruhan.

c. Fenomenologi berfungsi sebagai ilmu pengetahuan secara sadar mengarahkan untuk


memperhatikan contoh tertentu tanpa prasangka teoritis lewat pengalaman-pengalaman yang
berbeda dan bukan lewat koleksi data yang besar untuk suatu koleksi umum diluar substansi
sesungguhnya, dan tanpa berkontaminasi kecenderungan psikologisme dan naturalisme.

d. Sebagai wadah untuk berfikir kritis dalam menanggapi fenomena keberagamaan.

e. Berfungsi untuk mengungkapkan atau mendeskripsikan makna sebagaimana yang ada dalam data
(gejala) dalam bentuk kegiatan-kegiatan, tradisi-tradisi, dan simbol keagamaan.

f. berfungsi untuk memahami pemikiran, tingkah laku, dan lembaga-lembaga keagamaan tanpa
mengikuti salah satu teori filsafat, teologi, metafisika, ataupun psikologi untuk memahami islam.
Karena pada dasarnya semua ciptaan Tuhan itu mengagungkan kebesaran-Nya dengan caranya
masing-masing. Jadi, semua yang ada di alam ini bisa dilihat dengan kacamata agama untuk
mengantarkan pada pemahaman terhadap Yang Maha Esa.

BAB III

PENUTUP
A. Simpulan

Fenomenologi adalah suatu ilmu yang mempelajari tentang gejala-gejala yang nampak. Jelas
bahwa Fenomenologi Agama merupakan cabang Ilmu Agama yang mengkaji fenomena keagamaan
secara sistematis bukan historis sebagaimana sejarah agama.

Posisi fenomenologi dalam kajian Agama dan Studi Islam adalah mengkaji dan kemudian
mengerti pola atau struktur agama atau menemukan esensi agama di balik manifestasinya yang
beragam atau memahami sifat-sifat yang unik pada fenomena keagamaan serta untuk memahami
peranan agama dalam sejarah dan budaya manusia.

Fungsi dari fenomenologi adalah Sebagai pembelajaran dalam keagamaan. Dengan


memahami tentang fenomenologi, seseorang di mungkinkan dapat memahami hakikat keberagamaan
secara mendalam. Di karenakan, fenomenologi itu mengajarkan tentang fenomena-fenomena yang
terjadi terhadap keagamaan khususnya agama Islam.

B. Penutup

Demikian makalah yang kami buat. Apabila terdapat kesalahan yang disengaja maupun tidak
disengaja kami mohon maaf. Kritik dan saran yang membangun sangat kami butuhkan untuk lebih
baiknya makalah yamg kami buat selanjutnya. Selamat membaca dan semoga bermanfaat.

8[1] Save M. Dagun, Filsafat Eksistensialisme (Jakarta : Rineka Cipta, 1990 ). Cet. 1. 37

9[2] Syamsudin Abdullah, dkk. Fenomenologi Agama, (Jakarta: Depag RI, 1984), hlm. 1
10[3] M. A. W. Brouwer, Alam Manusia dalam Fenomenologi, (Jakarta: Kanisius, 1995), hlm. 6

11[4] http://en. wikipidia.org/phenomenology of religion, dikutip 6 Januari 2011.

Pengertian dan Contoh Teori Fenomenologis Menurut Para Ahli - Suyanto dan Sutinah (2005:166)
menjelaskan bahwa setidaknya ada tiga teori dan pendekatan yang termasuk dalam paradigma
interpretif, yaitu pendekatan fenomenologi, interaksi simbolik, dan etnometodologi.

Fenomenologi sebenarnya lebih merupakan suatu gerakan pemikiran filsafat dibandingkan suatu
aliran filsafat. Oleh karena itu, sebagian kalangan misalnya Embree (1998:333-343), berbicara
tentang gerakan fenomenologis (phenomenological movement), yakni gerakan internasional di
bidang filsafat yang meluas ke berbagai disiplin ilmu, terutama sosiologi, antropologi, dan psikiatri,
kemudian komunikasi. Berawal di Jerman menjelang akhir abad ke-19, gerakan yang dirintis oleh
Edmund Husserl ini kemudian meluas ke Eropa, Amerika, dan Asia, termasuk Indonesia.

Sebagai suatu gerakan dalam berpikir, fenomenologi (phenomenology) dapat diartikan sebagai
upaya studi tentang pengetahuan yang timbul karena rasa kesadaran ingin mengetahui. Objek
pengetahuan berupa gejala atau kejadian-kejadian dipahami melalui pengalaman secara sadar
(councious experience). Fenomenologi menganggap pengalaman yang actual sebagai data tentang
realitas yang dipelajari. Kata gejala (phemenon yang bentuk jamaknya adalah phenomena)
merupakan asal istilah fenomenologi dibentuk, dan dapat diartikan sebagai suatu tampilan dari
objek, kejadian, atau kondisi-kondisi menurut persepsi (Littlejohn, 2002:184). Dari sini, tampak
bahwa sebagian esensi dari fenomenologi sebenarnya adalah pendekatan kualitatif terhadap gejala
dan/atau realitas yang diteliti. Fenomenologi ini pula yang bersama dengan teori interaksionisme
simbolik dan teori system, menjadi prinsip berpikir dalam penelitian kualitatif berkenaan gejala-
gejala komunikasi.

Sebagai suatu gerakan dalam berpikir, fenomenologi (phenomenology) dapat diartikan sebagai
upaya studi tentang pengetahuan yang timbul karena rasa kesadaran ingin mengetahui, dalam hal
ini peneliti memulai mengenal lingkungan hidup informan.

Objek pengetahuan berupa gejala atau kejadian-kejadian dipahami melalui pengalaman secara sadar
(councious experience). Fenomenologi menganggap pengalaman yang actual sebagai data tentang
realitas yang dipelajari.

 Home
 Akuntansi
 Kewirausahaan
 Manajemen
 RPL
 Sistem Informasi
 Sistem Jaringan
 Sistem Operasi

Home » Teori Komunikasi » Pengertian dan Contoh Teori Fenomenologis Menurut Para Ahli

Pengertian dan Contoh Teori Fenomenologis Menurut Para Ahli


Diposkan oleh Nikita Dini Pada 12/09/2016

Pengertian dan Contoh Teori Fenomenologis Menurut Para Ahli - Suyanto dan Sutinah (2005:166)
menjelaskan bahwa setidaknya ada tiga teori dan pendekatan yang termasuk dalam paradigma
interpretif, yaitu pendekatan fenomenologi, interaksi simbolik, dan etnometodologi.

Fenomenologi sebenarnya lebih merupakan suatu gerakan pemikiran filsafat dibandingkan suatu
aliran filsafat. Oleh karena itu, sebagian kalangan misalnya Embree (1998:333-343), berbicara
tentang gerakan fenomenologis (phenomenological movement), yakni gerakan internasional di
bidang filsafat yang meluas ke berbagai disiplin ilmu, terutama sosiologi, antropologi, dan psikiatri,
kemudian komunikasi. Berawal di Jerman menjelang akhir abad ke-19, gerakan yang dirintis oleh
Edmund Husserl ini kemudian meluas ke Eropa, Amerika, dan Asia, termasuk Indonesia.

Sebagai suatu gerakan dalam berpikir, fenomenologi (phenomenology) dapat diartikan sebagai
upaya studi tentang pengetahuan yang timbul karena rasa kesadaran ingin mengetahui. Objek
pengetahuan berupa gejala atau kejadian-kejadian dipahami melalui pengalaman secara sadar
(councious experience). Fenomenologi menganggap pengalaman yang actual sebagai data tentang
realitas yang dipelajari. Kata gejala (phemenon yang bentuk jamaknya adalah phenomena)
merupakan asal istilah fenomenologi dibentuk, dan dapat diartikan sebagai suatu tampilan dari
objek, kejadian, atau kondisi-kondisi menurut persepsi (Littlejohn, 2002:184). Dari sini, tampak
bahwa sebagian esensi dari fenomenologi sebenarnya adalah pendekatan kualitatif terhadap gejala
dan/atau realitas yang diteliti. Fenomenologi ini pula yang bersama dengan teori interaksionisme
simbolik dan teori system, menjadi prinsip berpikir dalam penelitian kualitatif berkenaan gejala-
gejala komunikasi.

Sebagai suatu gerakan dalam berpikir, fenomenologi (phenomenology) dapat diartikan sebagai
upaya studi tentang pengetahuan yang timbul karena rasa kesadaran ingin mengetahui, dalam hal
ini peneliti memulai mengenal lingkungan hidup informan.

Objek pengetahuan berupa gejala atau kejadian-kejadian dipahami melalui pengalaman secara sadar
(councious experience). Fenomenologi menganggap pengalaman yang actual sebagai data tentang
realitas yang dipelajari.
image source: domusweb.it

baca juga: Pengertian dan Contoh Teori Konstruktivisme Menurut Para Ahli.

Baca juga:

 Pengertian dan Contoh Teori Konstruktivisme Menurut Para Ahli


 Pengertian dan Contoh Teori Fenomenologis Menurut Para Ahli
 Pengertian dan Teori Interaksional Simbolik Menurut Para Ahli

Berbeda dengan kalangan positivis yang biasa bekerja meneliti dengan mengemukakan hipotesa-
hipotesa tentang realitas dan kemudian melakukan pengamatan untuk membuktikan apakah benar
maka kalangan fenomenologis tidak mengajukan hipotesa apapun, tetapi langsung melakukan
pengamatan untuk melihat, dan kemudian mendeskripsikannya, seperti apa kenyataan yang ada. Hal
ini terutama disebabkan oleh karena kalangan fenomenologis pada umunya berkeyakinanbahwa
pengalaman pemakai narkoba adalah bersifat subjektif, bukan objektif.

Maurice Merleau-Ponty, salah seorang pendukung fenomenologi, hal ini ditegaskan, All my
knowledge of the world, even my scientificknowledge, is gained from my own particular point of
view, or from some experience of the world without which any symbols of science would be
meaningless (semua pengetahuan saya tentang dunia ini, bahkan pengetahuan ilmiah saya, tumbuh
didasari sudut pandang saya secara khusus atau dari beberapa pengalaman saya tentang dunia yang
tanpa itu simbol-simbol ilmiah inilah yang manapun menjadi tidak berarti).

Stanley Deetz, pendukung fenomenologi lainnya, seperti dikutip oleh Littlejohn (2002:185),
mengidentifikasi tiga prinsip dasar yang menjadi pilar dari gerakan fenomenologi.

1. Bahwa pengetahuan (knowledge) diperoleh secara langsung melalui pengalaman yang sadar
atau disengaja. Hal ini memiliki arti bahwa pengetahuan tidak diperoleh dari (is nit inferred
from) pengalaman (experience), tetapi ditemukan (is found) secara langsung dari
pengalaman secara sadar (conscious experience).
2. Bahwa makna tentang sesuatu bagi seseorang sebenarnya terdiri dari atau terbangun oleh
potensi pengalaman seseorang berkenaan dengan objek bersangkutan. Artinya, bagaimana
seseorang memiliki hubungan dengan objek akan menentukan makna objek yang
bersangkutan bagi seseorang.
3. Bahwa bahasa merupakan kendaraan yang mengangkut makna-makna. Orang memperoleh
pengalaman-pengalaman melalui bahasa yang kita gunakan untuk mendefinisikan dan
mengekspresikan pengalaman.

Tradisi fenomenologis lebih memberi penekanan pada persoalan pengalaman pribadi (personal
experience), termasuk pengalaman pribadi yang dimiliki seseorang ketika berinteraksi dengan orang
lain. Komunikasi dalam tradisi ini, dipandang sebagai,…a sharing of personal experience throught
dialoque. Littlejohn (2002:13). Tradisi juga menolak beberapa pandangan penting, misalnya bahwa
komunikasi hanyalah merupakan ketrampilan, bahwa lambang atau kata-kata terpisah dengan
benda atau objek yang diwakilinya, dan bahwa nilai (value) terpisah dari fakta (fact).

Fenomenologis merupakan aliran (tokoh penting: Edmund Husserl, 1859-1938) yang ingin mendekati
realitas tidak melalui argumen-argumen, konsep-konsep, atau teori umum."Zuruck zu den sachen
selbst",kembali kepada benda-benda itu sendiri, merupakan inti dari pendekatan yang dipakai untuk
mendeskripsikan realitas menurut apa adanya.

Setiap obyek memiliki hakekat, dan hakekat itu berbicara kepada individu dan individu membuka diri
kepada gejala-gejala yang kita terima.Jika "mengambil jarak" dari obyek itu, melepaskan obyek itu
dari pengaruh pandangan-pandangan lain, dan gejala-gejala itu kita cermati, maka obyek itu
"berbicara" sendiri mengenai hakekatnya, dan kita memahaminya berkat intuisi dalam diri individu
(Bungin: 2001:12)

Bagi Husserl, pengetahuan sebagai sebuah tindakan mengerti yang bertanggung jawab, artinya
disertai dengan sebab-sebab yang valid, hanya bisa dicapai dengan fenomonelogi. Dipengaruhi
Hume, Husserl merumuskan bahwa indera manusia tidak mencerap benda pada dirinya sendiri (das
ding an sich), melainkan hanya gejala-gejalanya. Dengan memusatkan daya akal budi kepada
inventarisasi dan sintesis atas gejala-gejala itu, pengetahuan yang benar dapat tergapai.

Dalam faham fenomenologi sebagaimana diungkapkan oleh Husserl, bahwa individu harus kembali
kepada benda-benda itu sendiri (zu den sachen selbst), obyek-obyek harus diberikan
kesempatanuntuk berbicara melalui deskripsi fenomenologis guna mencari hakekat gejala-gejala
(Wessenchau). Husserl berpendapat bahwa kesadaran bukan bagian dari kenyataanmelainkan asal
kenyataan, dia menolak bipolarisasiantara kesadaran dan alam, antara subyek dan obyek, kesadaran
tidak menemukan obyek-obyek, tapi obyek-obyek diciptakan oleh kesadaran.

Kesadaran merupakan sesuatu yang bersifat intensionalitas (bertujuan), artinya kesadaran tidak
dapat dibayangkan tanpa sesuatu yang disadari. Supaya kesadaran timbul perlu diandaikan tiga hal
yaitu: ada subyek, ada obyek, dan subyek yang terbuka terhadap obyek-obyek. Kesadaran tidak
bersifat pasif karena menyadari sesuatu berarti mengubah sesuatu, kesadaran merupakan suatu
tindakan, terdapat interaksi antara tindakan kesadaran dan obyek kesadaran, namun yang ada
hanyalah kesadaran sedang obyek kesadaran pada dasarnya diciptakan oleh kesadaran.

Berkaitan dengan hakekat obyek-obyek, Husserl (Bungin: 2001: 20) berpendapat bahwa untuk
menangkap hakekat obyek-obyek diperlukan tiga macam reduksi guna menyingkirkan semua hal
yang mengganggu dalam mencapai wessenchau yaitu: Reduksi pertama. Menyingkirkan segala
sesuatu yang subyektif, sikap individu harus obyektif, terbuka untuk gejala-gejala yang harus diajak
bicara. Reduksi kedua. Menyingkirkan seluruh pengetahuan tentang obyek yang diperoleh dari
sumber lain, dan semua teori dan hipotesis yang sudah ada Reduksi ketiga. Menyingkirkan seluruh
tradisi pengetahuan. Segala sesuatu yang sudah dikatakan orang lain harus, untuk sementara,
dilupakan, kalau reduksi-reduksi ini berhasil, maka gejala-gejala akan memperlihatkan dirinya
sendiri/dapat menjadi fenomin.

Dari sudut ontologi, pandangan fenomenologi terhadap kenyataan itu merupakan suatu yang utuh,
oleh karena itu obyek harus dilihat dalam suatu konteks natural tidak dalam bentuk yang
terfragmentasi. Sedangkan dari sudut epistemologi, pandangan Fenomenologis subyek dan obyek
tidak dapat dipisahkan dan aktif bersama dalam memahami berbagai gejala. Dari sudut aksiologi,
fenomenologi penelitian itu terikat oleh nilai sehingga hasil suatu penelitian harus dilihat sesuai
konteks.

Fenomenologis berasal dari paradigma kontruktivisme atau kontruksi realitas sosial. Bungin (2001: 8)
mengatakan konstruksi sosial amat terkait dengan kesadaran manusia terhadap realitas sosial. Oleh
karena itu, kesadaran merupakan bagian yang paling penting dalam konstruksi sosial. Pada
kenyataannya, realitas sosial tidak berdiri sendiri tanpa kehadiran individu baik di dalam maupun di
luar realitas tersebut.

Realitas sosial memiliki makna ketika realitas sosial dikonstruksi dan dimaknakan secara subjektif
oleh individu lain sehingga memanfaatkan realitas itu secara objektif. Jadi individu mengkonstruksi
realitas sosial, dan mengkonstruksikannya dalam dunia realitas, serta memantapkan realitas itu
berdasarkan subjektivitas individu lain dalam institusi sosialnya.

Menurut Berger dan Luckman (dalam Bungin, 2001:6) konstruksi sosial adalah pembentukan
pengetahuan yang diperoleh dari hasil penemuan sosial. Realitas sosial menurut keduanya terbentuk
secara sosial dan sosiologi merupakan ilmu pengetahuan (sociology of knowlodge) untuk
menganalisa bagaimana proses terjadinya.

Dalam hal ini pemahaman “realitas” dan “pengetahuan” dipisahkan. Mereka mengakui realitas
objektif, dengan membatasi realitas sebagai “kualitas” yang berkaitan dengan fenomena yang kita
anggap berada diluar kemauan kita sebab fenomena tersebut tidak bisa ditiadakan. Sedangkan
pengetahuan didefinisikan sebagai kepastian bahwa fenomena adalah riil adanya dan memiliki
karakteristik yang khusus dalam kehidupan kita sehari-hari.

Teori fenomenologi digunakan untuk mendeskripsikan (memaparkan) apa adanya suatu peristiwa
yang terjadi tanpa merubah takta yang sebenarnya. Teori ini menuntun si pengamat untuk
melakukan pengamatan secara langsung pada peristiwa yang terjadi dan selajutnya memaparkan
sesuai realitas yang sebenarnya.

Sekian artikel tentang Pengertian dan Contoh Teori Fenomenologis Menurut Para Ahli. Semoga
bermanfaat.

DaftarPustaka

 Fisher, B. Aubrey, 1986, Teori-Teori Komunikasi, Penterj, Soejono Trimo, Remaja Karya,
Bandung
 Kincaid, D. Lawrence & Wilbur Scramm. 1987. Asas-Asas Komunikasi Antar Manusia, Penterj
Agus Stiadi, LP3ES-East west Communication Institute, Jakarta
 Little, John. Stephen W. 1983, Theories of Human Communication. Second Edition.
Wadworth Publishing Company. California.
 Sobur, Alex, 2003, Semiotika Komunikasi, Remaja Rosdakarya, Bandung
 Stephenson, Howard, 1982, Handbook of communications, Book Company, Inc, Toranto
 Tubbs, Steward L.Moss Sylvia, 1996, Human Communication (Prinsip-Prinsip Dasar), Remaja
Rosdakarya, Bandung

A. PENGERTIAN FENOMENOLOGI
Fenomenologi (Inggris: Phenomenology) berasal dari bahasa Yunani phainomenon dan logos.
Phainomenon berarti tampak dan phainen berarti memperlihatkan. Sedangkan logos berarti kata,
ucapan, rasio, pertimbangan. Dengan demikian, fenomenologi secara umum dapat diartikan sebagai
kajian terhadap fenomena atau apa-apa yang nampak. Lorens Bagus memberikan dua pengertian
terhadap fenomenologi. Dalam arti luas, fenomenologi berarti ilmu tentang gejala-gejala atau apa
saja yang tampak. Dalam arti sempit, ilmu tentang gejala-gejala yang menampakkan diri pada
kesadaran kita.
Fenomenologi adalah ilmu yang berorientasi untuk mendapatkan penjelasan tentang realitas yang
tampak. Fenomenologi memanfaatkan pengalaman intuitif atas fenomena, sesuatu yang hadir
dalam refleksi fenomenologis, sebagai titik awal dan usaha untuk mendapatkan fitur – hakekat dari
pengalaman dan hakekat dari apa yang kita alami. Peneliti dalam pandangan fenomenologis
berusaha memahami arti peristiwa dan kaitan-kaitannya terhadap orang-orang biasa dalam situasi-
situasi tertentu. berusaha membangun dan menuju perkembangan analisis dari fenomena menjadi
lebih baik. Suatu fenomena bukanlah suatu yang statis,arti suatu fenomena tergantung pada
sejarahnya. Wawasan utama fenomenologi adalah “pengertian dan penjelasan dari suatu realitas
harus dibuahkan dari gejala realitas itu sendiri” (Aminuddin, 1990:108). Dalam perkembangannya,
fenomenologi memang ada beberapa macam, antara lain: (a) fenomenologi Edid etik dalam
linguistik; (b) fenomenologi Ingarden dalam sastra, artinya pengertian murni ditentukan melalui
penentuan gejala utama, penandaan dan pemilahan, penyaringan untuk menentukan keberadaan,
danpenggambaran gejala; (c) fenomenologi transendental; (d) fenomenologi eksistensial. Bagi
fenomenologi transendental, keberadaan realitas sebagai “objek” secara tegas ditekankan.
Kesadaran aktif dalam menangkap dan merekonstruksi kesadaran terhadap suatu gejala amat
penting. Bagi fenomenologi eksistensial, penentuan pengertian dari gejala budaya semata-mata
tergantung individu. Refleksi individual menjadi “guru” bagi individu itu sendiri dalam rangka
menemukan kebenaran.
B. SEJARAH FENOMENOLOGI
Pada masa sebelum ada cara berpikir fenomenologis, cara berpikir manusia dibagi dua kutup yang
berlawanan 180 derajat yaitu: idealisme dan realisme. Kaum penganut idealisme menilai benda-
benda maupun peristiwa yang terjadi disekitarnya berdasarkan ide-ide yang dikembangkan dalam
pikirannya. Kemudian ide-ide ini membentuk semacam “frame of reference” yang secara subjektif
dipahami sebagai kebenaran. Dalam memandang dunia sekitarnya seorang idealist akan memakai
acuan “frame of reference” yang merupakan ide-ide dalam pikirannya. Oleh karena itu seorang
idealist biasanya juga sangat subjektif dalam menilai dunia sekitarnya. Sumbangan idealisme ke
dunia adalah adanya penemuan-penemuan baru, ide-ide baru, karya besar di bidang sastra, dll.
Sedangkan kebalikannya kaum penganut realisme, melihat benda-benda maupun sesuatu peristiwa
yang ada sesuai dengan keadaan nyata benda tersebut yang
secara nyata bisa diraba, diukur atau punyai nilai tertentu. Kalau tidak bisa dibuktikan bahwa benda
itu nyata dan punya nilai atau ukuran tertentu maka benda itu tidak pernah ada. Oleh karena itu
penganut realisme cenderung kepada atheisme yang tidak percaya adanya Tuhan karena Tuhan
tidak bisa dilihat secara nyata. Realisme sangat berpengaruh di Eropa pada masa revolusi industri
dan sumbangannya kedunia adalah kemajuan “science & technology”. Pada sekitar awal abad ke 20,
walaupun revolusi industri terus bergerak, beberapa filsuf di Eropa seperti Edmund Hursell (1859 -
1938) mulai meragukan kehandalan cara berpikir realisme yang seolah-olah tidak ada satupun
dialam ini yang tidak bisa dijelaskan dengan ilmu pengetahuan alam.
Edmund Hursell memperkenalkan fenomenologi yang belakangan dikembangkan menjadi
eksistensialisme. Cara berpikir fenomenologi ditekankan dengan pengamatan terhadap gejala-gejala
dari suatu benda. Kalau seorang penganut realisme menilai benda dengan cara melihat bentuk,
ukuran dan nilai suatu benda, maka seorang penganut fenomenologi melihat benda dengan gejala-
gejala yang muncul dari benda tersebut.
Benda itu ada berdasarakan gejala-gejala yang timbul dari benda itu sendiri, kita hanya menangkap
gejala-gejala tersebut.
Semua benda punya pancaran gejala-gejalanya sendiri-sendiri, kita akan bisa lebih memahami benda
tersebut apabila kita menganggap benda sebagai subjek yang menceritakan diri sendiri melalui
gejala-gejala yang memancar darinya. Contohnya: kalau kita melihat kursi, kursi itu sendiri
memancarkan gejala-gejala bahwa dia itu kursi bukan meja Kita hanya perlu menangkap gejala yang
muncul dari kursi tersebut kemudian kita tidak akan salah bahwa dari gejala-gejala yang muncul dari
kursi itu bahwa kebenarannya dia itu kursi, bukan benda yang lain. Jelas cara berpikir ini adalah cara
berpikir yang radikal berbeda dengan cara berpikir idealisme maupunrealisme. Idealisme memahami
alam sekitarnya melalui manusia sebagai subject dengan ide-ide pikirannya, benda disimpulkan
sepenuhnya tergantung dari ide-ide pikiran. Realisme memahami benda kalau benda itu nyata
berdasarkan ukuran atau nilai. Sedangkan fenomenologi menganggap objek sebagai subjek yang
bercerita kepada kita melalui gejala-gejala yang timbul darinya.
Dalam konteks apapun kita memakai kata fenomenologi, kita ingat kepada pembedaan yang
dibawakan oleh Kant antara phenomenon atau penampakan relatis kepada kesadaran, dan
noumenon atau wujud dari realitas itu sendiri. Problema untuk mengompromikan realitas dengan
fikiran tentang realitas merupakan problema yang sama tuanya dengan filsafat sendiri. Problema itu
menjadi lebih sulit karena kita tak dapat mengetahui realitas tanpa hubungan dengan kesadaran
kita, dan kita dapat mengetahui kesadaran tanpa hubungan dengan realitas. Seorang filosof itu
mengabdikan diri untuk menembus rahasia; filosof fenomenologis berusaha untuk memecahkan
dualisme itu. Ia memulai tugasnya dengan mengatakan: Jika memang ada pemecahan soal, maka
pemecahan tersebut berbunyi: hanya fenomenologi yang tersajikan kepada kita dan oleh karena itu
kita harus melihatnya. Sebagaimana yang pernah ditulis oleh Maurice Merleau-Ponty,
‘’Fenomenologi adalah daftar kesadaran-kesadaran sebagai tempatnya alam’’.
Sebagai suatu gerakan filsafat, fenomenologi menjadi masyhur di Jerman pada seperempat
abad yang pertama dari abad ke-20, kemudian menjala ke Perancis dan Amerika Serikat. Pencetus
aliran fenomenologi adalah Edmund Husserl (1859-1938); pada usia 54 tahun, ia baru dapat
menyajikan permulaan penyelidikan-penyelidikannya, yaitu deskripsi pertama yang telah diolah baik
tentang fenomenologi sebagai metoda yang keras untuk menganalisa kesadaran. Kemudian ia diikuti
oleh Max Scheler (1874-1928) yang mempunyai keyakinan bahwa filsafat itu, pada pokoknya,
membicarakan tentang situasi historis manusia. Kemudian Scheler tertutup oleh pengaruh Martin
Heidegger (1899-1976) dan Maurice Merleau-Ponty (1908-1961). Biasanya pandangan Heidegger
dikelompokkan dalam ‘’eksistensialisme’’, akan tetapi walaupun ia telah
menanamkan pengaruhnya, namun ia menjelaskan bahwa ia tidak mau disamakan dengan gerakan
Sartre.
Sifat-sifat yang pokok dari fenomenologi dapat dijelaskan secara luas, tetapi kita harus ingat
bahwa ada arti yang sempit bagi fenomenologi, yaitu arti sebagai metoda. Bagi fenomenologis,
berfilsafat harus dimulai dengan usaha yang terpadu untuk melukiskan isi kesadaran. Suatu usaha
yang jelas adalah sangat perlu bagi deskripsi. Dengan deskripsi ini dimaksudkan suatu pandangan
hati-hati terhadap struktur yang pokok dari benda, tepat seperti yang nampak. Fenomenologis
memperhatikan benda-benda yang kongkrit, bukan dalam arti yang ada dalam kehidupan sehari-
hari, akan tetapi dengan struktur yang pokok dari benda-benda tersebut, sebagaimana yang kita
rasakan dalam kesadaran kita, karena kesadaran kita adalah ukuran dari pengalaman.
C. TOKOH-TOKOH FENOMENOLOGI
1. Edmund Husserl
Fenomenologi adalah ilmu yang fundamental dalam berfilsafat. Fenomenologi adalah ilmu tentang
hakikat dan bersifat a priori. Bagi Husserl fenomena mencakup noumena (pengembangan dari
pemikiran Kant). Pengamatan Husserl mengenai struktur intensionalitas kesadaran, merumuskan
adanya empat aktivitas yang inheren dalam kesadaran, yaitu (1) objektifikasi (2) identifikasi (3)
korelasi (4) konstitusi. Fenomenologi Husserl pada prinsipnya bercorak idealistik, karena
menyerukan untuk kembali kepada sumber asli pada diri subjek dan kesadaran. Konsepsi Husserl
tentang “aku transedental” dipahami sebagai subjek absolut, yang seluruh aktivitasnya adalah
menciptakan dunia.
Pokok-pokok pemikiran Husserl:
1. Fenomena adalah realitas sendiri yang tampak.
2. Tidak ada batas antara subjek dengan realitas
3. Kesadaran bersifat intensional.
4. Terdapat interaksi antara tindakan kesadaran (neosis) dengan objek yang disadari (neoma).
Menurut Edmund Husserl prinsip segala prinsip adalah intuisi langsung yang dapat dipakai
sebagai kriterium . Edmund Husserl menyimpulkan bahwa kesadaran harus menjadi dasar filsafat.
Edmund Husserl merumuskan cita-citanya untuk mendasari filsafat sebagai suatu ilmu yang disebut
fenomenologi yaitu suatu pengetahuan tentang apa-apa yang tampak atau apa yang menampakkan
diri. Ia menerangkan bahwa fenomenologi merupakan metode dalam filsafat, ia merupakan rencana
tindakan dalam menyimpulkan fenomena murni.
Edmund Husserl memahami fenomenologi sebagai suatu analisis deskriptif serta introspektif
mengenai kedalaman dari semua bentuk kesadaran dan pengalaman-pengalaman langsung; religius,
moral, estetis, konseptual, serta indrawi. Perhatian filsafat, menurutnya, hendaknya difokuskan pada
penyelidikan tentang Labenswelt (dunia kehidupan) atau Erlebnisse (kehidupan subjektif dan
batiniah).
Fenomenologi merupakan metode dan filsafat. Sebagai metode, fenomenologi membentangkan
langkah-langkah yang harus diambil sehingga kita sampai pada fenomena yang murni. Fenomenologi
mempelajari dan melukiskan ciri-ciri intrinsik fenomen-fenomen sebagaimana fenomen-fenomen itu
sendiri menyingkapkan diri kepada kesadaran. Kita harus bertolak dari subjek (manusia) serta
kesadarannya dan berupaya untuk kembali kepada “kesadaran murni”. Untuk mencapai bidang
kesadaran murni, kita harus membebaskan diri dari pengalaman serta gambaran kehidupan sehari-
hari. Sebagai filsafat, fenomenologi menurut Husserl memberi pengetahuan yang perlu dan esensial
mengenai apa yang ada. Dengan demikian fenomenologi dapat dijelaskan sebagai metode kembali
ke benda itu sendiri (Zu den Sachen Selbt), dan ini disebabkan benda itu sendiri merupkan objek
kesadaran langsung dalam bentuk yang murni
Husserl sangat tertarik dengan penemuan makna dan hakikat dari pengalaman. Dia berpendapat
bahwa terdapat perbedaan antara fakta dan esensi dalam fakta, atau dengan kata lain perbedaan
antara yang real dan yang tidak. Berikut adalah komponen konseptual dalam fenomenologi
transcendental Husserl:
a. Kesengajaan (Intentionality)
Kesengajaan (intentionality) adalah orientasi pikiran terhadap suatu objek (sesuatu) yang menurut
Husserl, objek atau sesuatu tersebut bisa nyata atau tidak nyata. Objek nyata seperti sebongkah
kayu yang dibentuk dengan tujuan tertentu dan kita namakan dengan kursi. Objek yang tidak nyata
misalnya konsep tentang tanggung jawab, kesabaran, dan konsep lain yang abstrak atau tidak real.
Husserl menyatakan bahwa kesengajaan sangat terkait dengan kesadaran atau pengalaman
seseorang dimana kesengajaan atau pengalaman tersebut dipengaruhi oleh faktor kesenangan
(minat), penilaian awal, dan harapan terhadap objek. Misalnya minat terhadap bola akam
menentukan kesengajaan untuk menonton pertandingan sepak bola.
b. Noema dan Noesis
Noema atau noesis merupakan turunan dari kesengajaan atau intentionality. Intentionality adalah
maksud memahami sesuatu, dimana setiap pengalaman individu memiliki sisi obyektif dan subyektif.
Jika akan memahami, maka kedua sisi itu harus dikemukakan. Sisi obyektif fenomena (noema)
artinya sesuatu yang bisa dilihat, didengar, dirasakan, dipikirkan, atau sekalipun sesuatu yang masih
akan dipikirkan (ide). Sedangkan sisi subyektif (noesis) adalah tindakan yang dimaksud (intended act)
seperti merasa, mendengar, memikirkan, dan menilai ide.
c. Intuisi
Intuisi yang masuk dalam unit analisis Husserl ini dipengaruhi oleh intuisi menurut Descrates yakni
kemampuan membedakan “yang murni” dan yang diperhatikan dari the light of reason alone
(semata-mata alasannya). Intuisilah yang membimbing manusia mendapatkan pengetahuan. Bagi
Husserl, intuisilah yang menghubungkan noema dan noesis. Inilah sebabnya fenomenologi Husserl
dinamakan fenomenologi transendental, karena terjadi dalam diri individu secara
mental(transenden).
d. Intersubjektivitas
Makna intersubjektif ini dijabarkan oleh Schutz. Bahwa makna intersubjektif ini berawal dari konsep
‘sosial’ dan konsep ‘tindakan’. Konsep sosial didefinisikan sebagai hubungan antara dua atau lebih
orang dan konsep tindakan didefinisikan sebagai perilaku yang membentuk makna subjektif. Akan
tetapi, makna subjektif tersebut bukan berada di dunia privat individu melainkan dimaknai secara
sama dan bersama dengan individu lain. Oleh karenanya, sebuah makna subjektif dikatakan
intersubjektif karena memiliki aspek kesamaan dan kebersamaan (common and shared)
Jika kita ingin mengerti arti fenomenologi sebagai suatu sikap falsafi masa kini, kita harus
mengetahui lebih dahulu apa yang dimaksud oleh pendirinya Edmund Husserl. Seperti yang dikatakn
di atas, fenomenologi merupakan metoda dan filsafat. Sebagai metoda ia membentangkan langkah-
langkah yang harus diambil sehingga kita sampai kepada fenomena yang murni; kita harus mulai
dengan subyek (manusia) serta kesadarannya dan berusaha untuk kembali kepada ‘’kesadaran yang
murni’’. Untuk mencapai bidang kesadaran murni, kita harus membebaskan diri dari pengalaman
serta gambaran kehidupan sehari-hari; jika hal ini sudah dilakukan, akan tersisa gambaran-gambaran
yang esensial atau intuisi esensi (intuition of essence). Sebagai contoh, warna ‘’merah’’, tidak kurang
kebendaannya dari pada seekor kuda, karena masing-masing mempunyai esensi yang bebas,
terlepas dari eksistensi yang kongkrit dan mungkin (contingent). Cukuplah bahwa pengalaman
tentang ‘’merah’’ dapat dibedakan dari pengalaman tentang hijau, sebagaimana pengalaman
tentang kuda dapat dipisahkan dari pengalaman tentang manusia.
Lebih jauh, fenomenologi berusaha untuk menyajikan filsafat sebagai metoda yang pokok dan
otonom, suatu sains akar (root science) yang dapat mengabdi kepada segala pengetahuan.
Berlawanan dengan metoda sains obyektif, logika formal dan metode diatlektik yang mengatasi
rintangan, yakni orang yang melakukan persepsi. Sebagai filsafat, fenomenologi menurut Husserl
memberi pengetahuan yang perlu dan esensial tentang apa yang ada. Dalam langkah-langkah
penyelidikannya, ia menemukan obyek-obyek (yang ta terbatas banyakny) yang membentuk dunia
yang kita alami. Benda tersebut dapat dilukiskan menurut kesadaran di mana ia ditemukan. Dengan
begitu fenomenologi dijelaskan sebagai kembali kepada benda, sebagai lawan dari ilusi atau susunan
fikiran, jutstru karena benda adalah obyek kesadaran yang langsung dalam bentuknya yang murni.
2. Martin Heidegger
Konsep “destuksi fenomenologis”, menyerukan agar kembali pada realitas yang sesungguhnya atau
“gejala pertama dan yang sebenarnya”. Cara kita terhubung dengan sesuatu itu, seperti palu yang
memasukkan paku. Fenomenologi berfungsi sebagai alat pembuka berkenaan dengan situasi yang
kita hadapi, tentu saja dalam konteks sosial. Fenomenologi didefinisikan sebagai pengetahuan dan
keterampilan membiarkan sesuatu seperti apa adanya. Pemikirannya yang paling inovatif, adalah
mencari “cara untuk menjadi” lebih penting ketimbang mempertanyakan apa yang ada di sekitar
kita. Pemahaman mengenai “menjadi” didapatkan dengan fenomenologi. Pada tahun 1916 Husserl
menerima jabatan Guru Besar filsafat di German Universitybof Freiburg. Seorang di antara
mahasiswanya adalah Martin Heidegger. Ia memutuskan untuk belajar filsafat setelah membaca
karangan Husserl berjudul Logical Investigations. Caranya Husserl mengajar adalah dalam bentuk
memimpin para mahasiswa dalam ‘’melihat’’ secara fenomenologi; ia melarang menggunakan ide-
ide yang belum diuji yang terdapat dalam tradisi-tradisi fisafat. Ia menolak kembali kepada otoritas
atau kepada nama-nama besar dalam sejarah filsafat. Heidegger merasa bahwa metoda semacam
itu merupakan pendekatan yang paling baik bagi problem-problemnya sendiri. Heidegger
memajukan tiga soal pokok: siapakah manusia itu? Apakah wujud (being) yang kongkrit? Dan satu
lagi, soal yang paling serius: Apakah wujud (being, realitas tertinggi) itu?
soal yang paling pokok bagi heidgger adalah: Apakah arti kata-kata “aku ada”? manusia adalah suatu
makhluk yang “terlempar” di dunia ini tanpa persetujuannya. Ia perlu mengakui keterbatasannya. Ia
ke luar dari jurang yang sangat dalam, untuk menghadapi jurang yang sangat dalam. Dalam
menghadapi ketidakadaan (nothingess) ia gelisah, tetapi kegelisahannya memungkinkannya untuk
menjadi sadar tentang eksistensinya. Dalam mempelajari dirinya, manusia menemukan soal-soal
kesementaraan (temporality) takut dan khawatir, hati kecil dan dosa, ketidakadaan (nothingness)
dan mati.
Heidegger sangat kritis terhadap manusia pada zaman kita, karena mereka hidup secara dangkal,
dan sangat memperhatikan kepada benda, kuantitas dan kekuasaan personal. Manusia modern
tidak mempunyai akar dan kosong oleh karenaia telah kehilangan rasa hubungan kepada wujud yang
sepenuhnya. Benda yang kongkrit harus ditingkatkan, sehingga manusia itu terbuka terhadap
keseluruhan wujud. Hanya dengan menemukan watak dinamis dari ekstensilah manusia dapat
diselamatkan dari kekeacauan dan frustasi yang mengancamnya. Seseorang harus hidup secara
otentik sebagai suatu anggota dari kelompok yang hanya tergoda dengan benda-benda dan urusan
hidup sehari-hari. Tetapi manusia dapat jika ia mau, hidup secara otentik, ia memusatkan
perhatiannya kepada kebenaran yang ia dapat mengungkapkannya, menghayati kehidupandalam
contoh kematian, dan dengan begitu memandang hidupnya dengan spektif yang baru.
3. Maurice Merleau-Ponty (1908-1961)
Berfokus pada “body image”, yakni pengalaman akan tubuh kita sendiri dan bagaimana pengalaman
itu berpengaruh pada aktivitas yang kita lakukan. Body image bukanlah bidang mental, juga bukan
bidang fisik mekanis, melainkan sesuatu yang terikat tindakan, di mana ada penerimaan terhadap
kehadiran orang lain di dalamnya. Ia membahas mengenai peranan perhatian dalam lapangan
pengalaman, pengalaman tubuh, ruang dalam tubuh, gerakan tubuh, tubuh secara seksual, orang
lain, dan karakteristik kebebasan.

Sampai akhir-akhir ini barangkali Merlau-ponty merupakan fenomenologis yang paling kurang
terkenal. Karyanya yang terpenting adalah dalam bidang psikologi falsafi, di mana ia
menggunakanmetode fenomenologi sebagai alat berfilsafat. Ia memiliki pengetahuan yang luas
tentang penemuan-penemuan dan eksperimen-eksperimen psikologi modern, khususnya psikologi
Gestalt; semua itu mendorongnya untuk mengalihkan perhatiannya dari sifat psikologi yang
behavioristik kepada aspek esensial dari pengalaman.
sebagaimana halnya Husserl ia yakin bahwa seorang filosof benar-benar harus memiliki kegiatannya
dengan meneliti pengalaman-pengalamannya sendiri tentang realitas; dengan begitu ia menjauhkan
diri dari dua ekstrim yait: pertama, hanya meneliti atau mengulangi penelitian tentang apa yang
telah dikatakan orang tentang realitas, dan kedua, hanya memperhatikan segi-segi dari luar
pengalaman, tanpa menyebut-nyebut realitas sama sekali.
Walaupun Merleau-Ponty setuju dengan Husserlbahwa kita tak dapat mengetahui ding an sich dan
kita hanya dapat mengetahui benda-benda yang dapat dicapai oleh kesadaran manusia, namun ia
mengatakan lebih jauh lagi, yakni bahwa semua pengalaman perseptual membawa suatu syarat
yang esensial tentang suatu alam di atas kesadaran. Oleh karena itu, maka deskripsi
fenomenalogiyang dilakuakn oleh Merleau-Ponty tidak hanya berurusan dengan data, rasa atau
esensi saja, akan tetapi menurutnya, kita melakukan perjumpaan perseptual dengan alam. Merleau-
Ponty menegaskan sangat perlunya persepsi sebagai cara untuk mencapai yang real. Pentingnya
Merleau-Ponty bagi fenomenologi adalah karena ia memasukkan ide tentang dialektik ke dalam
fenomenologi. Ia sering dinamakan filosof kekaburan. Hal ini bukan berarti bahwa pikirannya kabur,
akan tetapi Merleau-Ponty menganggap bahwa dialektik itu adalah esensial bagi filsafat,
sebagaimana Sartre menganggap absurditas (tidak masuk akal) ciri khas bagi filsafat. Dalam
karangannya, Les aventures de la dialectique. bahwa agar dialektik subjek-objek itu benar (valid) ia
harus tetap kabur, jika tidak ia akan bahwa deskripsi fenomenologis tidak dapat diselesaikan.
Deskripsi fenomenologis memberi gambaran tentang dunia dalam proses, dan proses itu tidak dapat
diramalkan; yang dapat diberi deskripsi adalah hal-hal yang telah jadi. Dunia dalam sejasrahnya tidak
mengikuti contoh yang sudah dikonsepsikan; sebaliknya alam mempunyai arti dengan melului
sejarah, dan sejarah yang benar adalah sejarah yang melalui dialek subyek-obyek. Oleh karena itu,
paham kita tentang dunia bergantung kepada kemampuan manusia untuk memperbesar akalnya
sedemikian rupa sehingga dapat mencakup yang non-rasional dan yang irasional. “perhatian filsafat
kepada yang mungkin terjadi (kontingen), kepada yang kabur, pada segi yang gelap dari benda, bagi
Merleau-Ponty adalah hanya merupakan jalan untuk lebih setia kepada tugas akal itu sendiri, yakni
tugaas pemikiran yang tidak terbatas”.
4. Jean Paul Satre
Kesadaran adalah kesadaran akan objek, hal ini sejalan dengan pemikiran Husserl. Dalam model
kesengajaan versi Satre, pemain utama dari kesadaran adalah fenomena. Kejadian dalam fenomena
adalah kesadaran dari objek. Sebatang pohon hanyalah satu fenomena dalam kesadaran, semua hal
yang ada di dunia adalah fenomena, dan di balik sesuatu itu ada “sesuatu yang menjadi. Kesadaran
adalah menyadari “sesuatu di balik demikian, “aku” bukanlah apa-apa, melainkan hanya sebuah
bagian dari tindakan sadar, termasuk bebas untuk memilih. Metode dapat dilihat dari gaya penulisan
dalam deskripsi interpretatif mengenai tipe-tipe pengalaman dalam situasi yang relevan.
5. Max Scheler (1874-1928)
Menerapkan metode fenomenologi dalam penyelidikan hakikat teori pengenalan, etika, filsafat
kebudayaan, keagamaan, dan nilai. Secara skematis, pandangan Scheler mengenai fenomenologi
dibedakan ke dalam tiga bagian, yakni:
1. Penghayatan (erleben), atau pengalaman intuitif yang langsung menuju ke “yang diberikan”.
Setiap manusia menghadapi sesuatu dengan aktif, bukan dalam bentuk penghayatan yang pasif.
2. Perhatian kepada “apanya” (washiet, whatness, esensi), dengan tidak memperhatikan segi
eksistensi dari sesuatu. Hasserl menyebut hal ini dengan “reduksi transedental”.
3. Perhatian kepada hubungan satu sama lain (wesenszusammenhang) antar esensi. Hubungan
ini bersifat a priori (diberikan) dalam institusi, sehingga terlepas dari kenyataan. Hubungan antar
esensi ini dapat bersifat logis maupun non logis.
Berdasarkan pemahaman fenomenologi-nya, Scheler menggolongkan nilai ke dalam empat
kelompok, yaitu:
1. Nilai meterial, atau nilai yang menyangkut kesenangan dan ketidaksenangan. Misalnya
kenikmatan yang bersifat lahiriah dan inderawi, seperti rasa enak, pahit, manis, dsb.
2. Nilai vital, atau nilai yang menyangkut kesehatan. Misalnya perasaan lelah, segar, stress, dsb.
3. Nilai rohani atau nilai estetis, seperti nilai benar dan salah. Nilai rohani ini biasanya
berhubungan dengan pengetahuan murni atau pengetahuan yang dijalankan tanpa pamrih.
4. Nilai kudus atau nilai yang menyangkut objek-objek absolut yang terdapat dalam bidang
religius. Misalnya nilai kitab suci, utusan Tuhan, dosa, dsb.
Kemudian Scheler mengemukakan lima kriteria untuk menentukan hierarki dari nilai-nilai tersebut.
Berikut ini adalah kriteria tersebut:
1. Berdasarkan lamanya nilai itu dirasakan. Nilai kebahagian dipandang lebih tinggi daripada nilai
kenikmatan.
2. Berdasarkan dapat dibagi atau tidaknya suatu nilai. Misalnya barang seni akan dipandang lebih
bernilai ketimbang makanan, karena barang seni tidak bisa dibagi-bagi.
3. Berdasarkan ketergantungannya pada nilai yang lain. Sesuatu akan kembali tinggi bila ia tidak
bergantung pada yang lain.
4. Berdasarkan kepuasan yang ditimbulkannya.
5. Berdasarkan pengalaman organisme subjek.

D. RIWAYAT HIDUP TOKOH


1. Edmund Husserl
Edmund Husserl (1859 -1938) seorang filosof Jerman dan tokoh utama dari Gerakan
Phenomenological. Edmund Husserl dilahirkan di Prostejovdi Cekoslawakia, 8 April 1859 dari
keluarga Yahudi. Ia mulai karirnya sebagai ahli matematika, kemudian pindah ke bidang filsafat,
mengajar di Halle, Gothigen dan Freiburg. Ia menganggap karir difilsafat sebagai tugas moral yang
suci selagi ia mencetuskan pendekatan falsafi yang baru, yakni Phenomenological Method. Edmund
Husserl membedakan antara dunia yang dikenal dalam sains dan dunia dimana kita hidup.
Selanjutnya ia juga mendiskusikan tentang kesdaran dan perhatian terhadap dunia dimana kita
hidup. Kita dapat emnganggap suatu objet apapun tetapi kita tidak menganggap sepi kesadaran kita.
Eksistensi kesadaran adalah satu-satunya benda yang tak dapat dianggap sepi. Pengkajian tentang
dunia yang kita hadapi serta pengalamn kita yang langsung tentang dunia tersebutadalah pusat
perhatian fenomenologi. Pandangan Edmund Husserl tentang perhatian dan intuisi telah
memberikan pengaruh yang kuat atas filsafat, khususnya di Jerman dan Francis.
Adapun kaya-karyanya yang terkenal adalah :
· 1900-1901 Penyelidikan-penyelidikan Logis I dan II
· 1913 Gagasan-gagasan Suatu Fenomenologi Murni dan Filsafat Fenomenologis
· 1931 Renungan-renungan Kartssian
2. Martin Heidegger
Martin Heidegger (1889-1976) dilahirkan di Baden, Jerman, dan mempunyai pengaruh yang besar
terhadapbeberapa filosof di Eropa dan Amerika Selatan. Ia menerima gelar Doktor dalam bidang
filsafat dari Universitas Freiburg dimana ia belajar dan menjadi asisten Edmund Husserl ( pencetus
fenomenologi ). Pernah menjabat sebagai guru besar Filsafat di Universitas Marburg,tetapi
kemudian kembali ke Freiburg untuk menggantikan Husserl. Dengan timbulnya gerakan Nazy ia
memisahkan diri dari Husserl,karena Husserl seorang Yahudi. Pada tahun 1933 ia menjadi Rektor
Universitas Freiburg ( Rektor yang pertama yang diangkat oleh gerakan “National Socialist”. Pada
pidato pelantikannya ia memberikan ceramah yang berjudul “Role of The University in the New
Reich” dengan menekankan ide tentang timbulnya Jerman Baru yang jaya. Ketika ia sadar bahwa ia
telah di eksploitir oleh Nazy, ia segera meletakkan jabatannya sebagai Rektor ( 1934) tetapi tetap
mengajar sampai pension pada tahun 1957. Martin Heidegger sangat kritis terhadap manusia
terhadap kita,karena mereka hidup secara dangkal, dan sangat memperhatikan kepada benda,
kuantitas dan kekuasaan personal.
3. Maurice Merleau-Ponty (1908-1961)
Maurice merlau-ponty lahir di rochefort-sur-mer pada tahun 1808. dari tahun 1926 sampai 1930 ia
belajar di Ecole normale superieure, dimana Sartre termasuk sahabatnya. Pada tahun 1930 ia
memperoleh aggregation de philosophie yang membuka kemungkinan mengajar filsafat di Lycee . ia
menjadi guru filsafat di salah satu lycee di beauvais sampai tahun 1933. (K.Bertens. 2006.137). Pada
tahun 1945 ia memperoleh gelar “Doktor Negara” atas dasar tesis kecil “la structure du
comportemen [struktur tingkah laku] dan tesis besar la phenomenology de la perception
[Fenomenologi persepsi]. Pada tahun yang sama ia diangkat lector di universitas Lyon dan tiga tahun
kemudia professor. Ketika Sartre mendirikan majalah les tems modernes, Merleau-Ponty diundang
masukdewan redaksi. Pada tahun pertama ia sangat aktif dalam mengembangkan majalah muda ini.
Selama ia mengajar di lyon, ia menerbitkan antara lain humanisme et terreur {1947} {HUmanisme
dan terror} dan sens at non-nens (1948) {maknadan bukanm makna} suatu kumpulan artikel.
(K.bertens.2006.137). Pada tahun 1949 ia dipanggil ke universitas Sorbonne di paris, dimana ia
mengajar psikologi dan pedagogi. Pengangkatannya sebagai professor di Colledge De France pada
awal tahun 1953 dapat dinilai sebagai pengakuan terhadap kualitasnya sebagai filsuf.
Pada kesempatan pelantikannya ia mengucapkan suatu pidato pengikukan yang menjadi mashur,
berjudul Eloge de la philosophy (1953) (pujian terhadap filsafat).
Seperti juga Sartre, ponty menaruh perhatian besar pada masalah-masalah politik. Selain majalah
Les Temps Modernes, ia juga menggunakan majalah mingguan L’exspress (sampai tahun 1955) untuk
menyalurkan pendapatnya. Diantara masalah politik yang sangat hangat dalam dunia intelektual di
prancis sesudah perang dunia II, terutama mencolok persoalan sikap mana yang harus diambil
terhadap marxisme dan komunisme. Hal itu menjadi pokok pembicaraan dalam buku Humanisme
Dan Terror dan dalam Petualangan Dialektika (1955). Dalam kumpulan karangan Signes (1960)
(pertanda-pertanda)., yang terbit beberapa bulan sebelum kematiannya., dimuat juga sejumlah
karangan tentang masalah politik, disamping berbagai artikel tentang filsafat. Karangan terakhir
yang terbit selama hidupnya adalah artikel panjang yang berjudul L’oeil et l’esprit (1961) (Mata dan
Roh).
Pada usia 53 tahun Merleau-Ponty meninggal secara mendadak karena serangan jantung, ketika ia
sedang bekerja dimeja tulisnya (3 Mei 1961). Sekitar waktu itu pemikirannya mengalami perubahan
besar, tetapi perkembangan pemikiran itutidak sempat mencapai bentuk definitnya. Beberapa tahun
sesudah meninggal oleh Claude Leport diterbitkan dua buku yang berisikan catatan-catatan yang
diadakan merleau-ponty untuk mempersiapkan dua karya baru . yang pertama berjudul le visible et
l’invisible (1964) (yang kelihatan dan yang tak kelihatan) dan yang kedua la prose du monde (1969)
(prosa dunia). (k.Bertens. 2006:140)
Merleau-ponty adalah fenomenolog yang paling besar dan paling murni dalam filsafat prancis. Tetapi
yang menarik perhatian adalah baha pada dia sudah timbul cikal bakal persoalan-persoalan filsafat
yang akan dating seperti strukturalis dan psikoanalisis (lacan).
Karena pembahasan merleau-Ponty sangat luas, maka dalam tulisan ini penulis akan berusaha
secara khusus membahas tentang berfilsafat memakai metode fenomenologi ala Merleau-Ponty.
4. Jean-Paul Sartre
Jean-Paul Sartre (lahir di Paris, Perancis, 21 Juni 1905 – meninggal di Paris, 15 April 1980 pada umur
74 tahun) adalah seorang filsuf dan penulis Perancis. Ialah yang dianggap mengembangkan aliran
eksistensialisme.Sartre menyatakan, eksistensi lebih dulu ada dibanding esensi (L'existence précède
l'essence). Manusia tidak memiliki apa-apa saat dilahirkan dan selama hidupnya ia tidak lebih hasil
kalkulasi dari komitmen-komitmennya pada masa lalu. Karena itu, menurut Sartre selanjutnya, satu-
satunya landasan nilai adalah kebebasan manusia (L'homme est condamné à être libre). Pada tahun
1964 ia diberi Hadiah Nobel Sastra, namun Jean-Paul Sartre menolak. Ia meninggal dunia pada 15
April 1980 di sebuah rumah sakit di Broussais (Paris). Upacara pemakamannya dihadiri kurang lebih
50.000 orang. Pasangannya adalah seorang filsuf wanita bernama Simone de Beauvoir. Sartre
banyak meninggalkan karya penulisan diantaranya berjudul Being and Nothingness atau Ada dan
Ketiadaan.
5. Max Scheler
Max Scheler adalah seorang filsuf Jerman yang berpengaruh dalam bidang fenomenologi, filsafat
sosial, dan sosiologi pengetahuan. Ia berjasa dalam menyebarluaskan fenomenologi Husserl. Scheler
dilahirkan pada tahun 1874 di Muenchen. Ia menempuh studi di Muenchen, Berlin, Heidelberg,dan
Jena. Setelah itu, ia menjadi dosen di Jena dan Muenchen, di mana ia berkenalan dengan
fenomenologi Husserl. Pada tahun 1919, Scheler menjabat guru besar di Koln. Kemudian ia
meninggal dunia di Frankfurt pada tahun 1928. Inti pemikiran filsafat Scheler adalah nilai. Berbeda
dengan Mill yang mengatakan bahwa manusia bertindak berdasarkan kepuasan diri, Scheler
menyatakan bahwa nilai adalah hal yang dituju manusia.
E. FENOMENOLOGI SEBAGAI METODE ILMU
Fenomenologi berkembang sebagai metode untuk mendekati fenomena-fenomena dalam
kemurniannya. Fenomena disini dipahami sebagai segala sesuatu yang dengan suatu cara tertentu
tampil dalam kesadaran kita. Baik berupa sesuatu sebagai hasil rekaan maupun berupa sesuatu yang
nyata, yang berupa gagasan maupun kenyataan. Yang penting ialah pengembangan suatu metode
yang tidak memalsukan fenomena, melainkan dapat mendeskripsikannya seperti penampilannya
tanpa prasangka sama sekali.
Tugas utama fenomenologi menurut Husserl adalah menjalin keterkaitan manusia dengan realitas.
Bagi Husserl, realitas bukan suatu yang berbeda pada dirinya lepas dari manusia yang mengamati.
Realitas itu mewujudkan diri, atau menurut ungkapan Martin Heideger, yang juga seorang
fenomenolog: “Sifat realitas itu membutuhkan keberadaan manusia”. Filsafat fenomenologi
berusaha untuk mencapai pengertian yang sebenarnya dengan cara menerobos semua fenomena
yang menampakkan diri menuju kepada bendanya yang sebenarnya. Usaha inilah yang dinamakan
untuk mencapai “Hakikat segala sesuatu”.
Husserl mengajukan metode epoche untuk mencapai esensi fenomenologi. Kata epoche berasal dari
bahasa Yunani, yang berarti: “menunda keputusan” atau “mengosongkan diri dari keyakinan
tertentu”. Epoche bisa juga berarti tanda kurung (bracketing) terhadap setiap keterangan yang
diperoleh dari suatu fenomena yang nampak, tanpa memberikan putusan benar salahnya terlebih
dahulu. Fenomena yang tampil dalam kesadaran adalah benar-benar natural tanpa dicampuri oleh
presupposisi pengamat. Untuk itu, Husserl menekankan satu hal penting: Penundaan keputusan.
Selanjutnya, menurut Husserl epoche mempunyai empat macam, yaitu:
1. Method of historical bracketing; metode yang mengesampingkan aneka macam teori dan
pandangan yang pernah kita terima dalam kehidupan sehari-hari, baik dari adapt, agama maupun
ilmu pengetahuan.
2. Method of existensional bracketing; meninggalkan atau abstain terhadap semua sikap
keputusan atau sikap diam dan menunda.
3. Method of transcendental reduction; mengolah data yang kita sadari menjadi gejala yang
transcendental dalam kesadaran murni.
4. Method of eidetic reduction; mencari esensi fakta, semacam menjadikan fakta-fakta tentang
realitas menjadi esensi atau intisari realitas itu

DAFTAR ISI

http://m-f-s-fpsi08.web.unair.ac.id/artikel_detail-47851-PSIKOLOGI
PENDEKATAN%20FENOMENOLOGI.html
http://amrinarose13.blogspot.com/2013/03/fenomenologi.html
http://ahmadrimba.wordpress.com/2010/04/27/sejarah-perkembangan-fenomenologi/
Harold H. Titus, dkk (1984). living issues in philosophy persoalan-persoalan filsafat. Penerbit Bulan
Bintang
http://id.wikipedia.org/wiki/jean-Paul Sartre
http://id.wikipedia.org/wiki/Max_Scheler
http://pediahmad.wordpress.com/2010/06/15/fenomenologi-maurice-merleau-ponty/

Anda mungkin juga menyukai