sebuah fenomena. Ilmu fenomonologi dalam filsafat biasa dihubungkan dengan ilmu
hermeneutik, yaitu ilmu yang mempelajari arti daripada fenomena ini.
Istilah ini pertama kali diperkenalkan oleh Johann Heinrich Lambert (1728 - 1777), seorang
filsuf Jerman. Dalam bukunya Neues Organon (1764). ditulisnya tentang ilmu yang tak
nyata.
Tradisi fenomenologi berkonsentrasi pada pengalaman pribadi termasuk bagian dari individu
– individu yang ada saling memberikan pengalaman satu sama lainnya. Komunikasi di
pandang sebagai proses berbagi pengalaman atau informasi antar individu melalui dialog.
Hubungan baik antar individu mendapat kedudukan yang tinggi dalam tradisi ini. Dalam
tradisi ini mengatakan bahwa bahasa adalah mewakili suatu pemaknaan terhadap benda. Jadi,
satu kata saja sudah dapat memberikan pemaknaan pada suatu hal yang ingin di maknai.
Pada dasarnya fenomenologi adalah suatu tradisi pengkajian yang digunakan untuk
mengeksplorasi pengalaman manusia. Seperti yang dikemukakan oleh Littlejohn bahwa
fenomenologi adalah suatu tradisi untuk mengeksplorasi pengalaman manusia. Dalam
konteks ini ada asumsi bahwa manusia aktif memahami dunia disekelilingnya sebagai sebuah
pengalaman hidupnya dan aktif menginterpretasikan pengalaman tersebut.Asumsi pokok
fenomenologi adalah manusia secara aktif menginterpretasikan pengalamannya dengan
memberikan makna atas sesuatu yang dialaminya. Oleh karena itu interpretasi merupakan
proses aktif untuk memberikan makna atas sesuatu yang dialami manusia. Dengan kata lain
pemahaman adalah suatu tindakan kreatif, yakni tindakan menuju pemaknaan.
Creswell, John W. 2013. Oualitative Inquiry & Research Design. California: Sage Publications.
Fenomenologi
A. Pendahuluan
Melakukan penelitian ilmu-ilmu sosial dengan metode kualitatif merupakan
pengalaman yang unik dan menarik. Unik karena peneliti harus terjun langsung ke masyarakat
yang ditelitinya dan menarik karena harus berinteraksi secara langsung dengan masyarakat
dengan segala suka dukanya. Ada beberapa istilah yang digunakan dalam penelitian kualitatif,
yaitu penelitian atau inkuiri naturalistik atau alamiah, etnografi, interaksionis simbolik,
perspektif kedalam, etnometodologi, the Chicago School, fenomenologis, studi kasus,
interpretatif, ekologis dan deskriptif.1[1]
Penelitian kualitatif adalah penelitian tentang riset yang bersifat deskriptif dan
cenderung menggunakan analisis. Proses dan makna (perspektif subyek) lebih ditonjolkan
dalam penelitian kualitatif. Landasan teori dimanfaatkan sebagai pemandu agar fokus
penelitian sesuai dengan fakta di lapangan. Selain itu landasan teori juga bermanfaat untuk
memberikan gambaran umum tentang latar penelitian dan sebagai bahan pembahasan hasil
penelitian.
Penelitian kualitatif jauh lebih subyektif daripada penelitian atau survei kuantitatif dan
menggunakan metode sangat berbeda dari mengumpulkan informasi, terutama individu, dalam
menggunakan wawancara secara mendalam dan grup fokus. Sifat dari jenis penelitian ini
adalah penelitian dan penjelajahan terbuka berakhir dilakukan dalam jumlah relatif kelompok
kecil yang diwawancarai secara mendalam.
Peserta diminta untuk menjawab pertanyaan umum, dan interviewer atau moderator
group periset menjelajah dengan tanggapan mereka untuk mengidentifikasi dan menentukan
persepsi, pendapat dan perasaan tentang gagasan atau topik yang dibahas dan untuk
menentukan derajat kesepakatan yang ada dalam grup. Kualitas hasil temuan dari penelitian
kualitatif secara langsung tergantung pada kemampuan, pengalaman dan kepekaan dari
interviewer atau moderator group.
Secara umum penelitian kualitatif sendiri dikelompokkan menjadi 5 (lima) pendekatan
besar yakni 1) biografi; 2) fenomenologi; 3) grand theory; 4) etnografi; dan 5) studi kasus.2[2]
Dan mengingat begitu luasnya cakupan dari penelitian kualitatif, pada artikel ini hanya akan di
bahas penelitian kualitatif jenis fenomenologi.
B. Pengertian fenomenologi
1[1] Lexy J Moeloeng, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: Remaja Rosda Karya, 2013), hal.3.
a. Kesengajaan (Intentionality)
3[3] Engkus Kuswarno, Tradisi Fenomenologi pada Penelitian Komunikasi Kualitatif: Sebuah
Pengalaman Akademis. Jurnal MediaTor, Vol.7 No.1 Juni 2006, hal.49.
Kesengajaan (intentionality) adalah orientasi pikiran terhadap suatu objek (sesuatu)
yang menurut Husserl, objek atau sesuatu tersebut bisa nyata atau tidak nyata. Objek nyata
seperti sebongkah batu yang dibentuk dengan tujuan tertentu maka jadilah batu permata. Objek
yang tidak nyata misalnya konsep tentang tanggung jawab, kesabaran, dan konsep lain yang
abstrak atau tidak real. Husserl menyatakan bahwa kesengajaan sangat terkait dengan
kesadaran atau pengalaman seseorang dimana kesengajaan atau pengalaman tersebut
dipengaruhi oleh faktor kesenangan (minat), penilaian awal, dan harapan terhadap objek.
Misalnya minat terhadap dunia pendidikan akan menentukan kesengajaan kuliah di bidang
pendidikan.
D. Konsep Dasar
Stanley deetz (dalam littlejohn, 1999:200) menyimpulkan tiga prinsip dasar dalam
fenomenologi:
1. Pengetahuan adalah kesadaran. Pengetahuan tidak disimpulkan dari pengalaman tetapi
ditemukan secara langsung dari pengalaman yang disadari “conscious experience”. Contoh,
untuk mendapatkan nilai yang bagus dari dosen saya harus rajin baik masuk kuliah,
mengerjakan tugas dan tentu saja mempunyai hubungan yang baik dengan dosen pengasuh
mata kuliah. Hal ini bukan saya simpulkan secara tidak sadar dari pengalaman-pengalaman
tetapi saya temukan langsung dari pengalaman yang saya sadari.
2. Makna dari sesuatu tergantung dari apa kegunaan sesuatu tersebut dalam kehidupan individu.
Dengan kata lain, bagaimana hubungan kita dengan sesuatu ditentukan oleh apa makna sesuatu
tersebut dalam kehidupan kita. Contoh, komputer jinjing (laptop) bagi seorang anak-anak
berfungsi sebagai alat permainan games, bagi seorang mahasiswa berguna untuk mengetik
tugas dan browsing internet, tetapi bagi seorang pialang saham laptop adalah sarana untuk
bermain valas dalam memperoleh penghasilan.
3. Bahasa adalah sarana makna. Kita mengalami dan memaknai dunia sosial kita melalui bahasa
yang kita gunakan untuk mendefinisikan dan mengekspresikan dunia sosial tersebut. Contoh,
kita bisa dengan mudah mengatakan bahwa sesuatu benda mempunyai makna tertentu dari
label-label yang melekat padanya seperti ikan itu adalah binatang yang hidup di air walaupun
tidak semua yang hidup di air itu adalah ikan. Contoh lainnya adalah televisi misalnya adalah
suatu kotak (walaupun tidak semua televisi berbentuk kotak) yang mempunyai layar berfungsi
menyiarkan gambar-gambar hidup berupa hiburan, berita atau yang lainnya bahkan dari tempat
yang jauh dan seterusnya.
H. Bracketing
DAFTAR PUSTAKA
Denzin K. Norman dan Lincoln S. Yvonna, Handbook of Qualitative Research, (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2009).
Moustakas, Clark. Phenomenological Research Methods. (California: SAGE Publications,
1994)
Littlejohn, S. W. Theories of Human Communication 6th Edition. (Belmont, CA: Wadsworth.
N/A, 1999)
Kuswara Engkus. Tradisi Fenomenologi pada Penelitian Komunikasi Kualitatif: Sebuah
pengalaman akademis. Jurnal Mediator Vol.7 No.1 Juni 2006 Terakreditasi Dirjen Dikti SK
No.56/DIKTI/Kep/2005.
Moeloeng Lexy J. Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2013)
Jawaban:
1) Nomena adalah penyebab dari adanya suatu fenomena. Misalnya ada fenomena sebuah gunung
berapi meletus. Maka nomenanya adalah penyebab-penyebab dari mengapa gunung itu bisa
meletus.
2) Penundaan keputusan adalah jika terjadi suatu fenomena misalnya ada corpcircle yang ditemukan di
area persawahan sebagai tanda bahwa itu adalah tanda bahwa telah terjadi pendaratan uvo
ditempat itu. Pernyataan ini masih dalam penundaan keputusan karena belum diketahui pasti
apakah benar ada uvo namun tidak disangkal juga bila ini adalah pernyataan yang salah dan masih
diteliti.
3) Jika pada kelebihan fenomenologi disebutkan bahwa fenomenologi bersifat objektif dalam
kebenarannya itu maksudnya adalah misalnya ada gunung berapi meletus, secara objektif fenomena
itu dikatakan gunung meletus. Namun bersifat subjektif disini mengarah pada nomena atau
penyebab dari adanya suatu fenomena. Saat terjadi fenomena gunung meletus, kita mencari
penyebab gunung itu meletus dan selain mencari dari buku-buku. Kita juga bertanya pada para ahli
yang sudah ahli dibidangnya. Disini itu dinamakan bersifat subjektif karena ini menurut para ahli.
4) Seperti yang kita ketahui bahwa dengan suasana hatilah kita diatur oleh dunia kita, bukan dalam
pendirian pengetahuan observasional yang berjarak. Biasanya, dengan posisi kita yang sedang
bersahabat dengan suasana hati, maka kita akan bisa mengenali diri kita yang sesungguhnya. Inilah
mengapa suasana hati bisa menjadi tolak ukur untuk mengetahui hakikat diri.
5) Telah disebutkan bahwa pada kelebihan fenomenologi disebutkan bahwa fenomenologi bersifat
objektif dalam kebenarannya. Jadi mendeskripsikan suatu fenomena sesuai penampilannya atau
sesuai dengan yang terlihat. Misalnya jika terjadi gunung meletus, ya katakana jika itu gunung
meletus jangan mengatakan kalau itu banjir dan membuat prasangka.
6) Deskripsi atas sejarah lebenswelt (dunia kehidupan) tersebut untuk menemukan ‘endapan makna’
yang merekonstruksi kenyataan sehari-hari.Maka meskipun pemahanan terhadap makna dilihat dari
sudut intensionalitas (kesadaran) individu, namun ‘akurasi’ kebenarannya sangat ditentukan oleh
aspek intersubjektif.Dalam arti, sejauh mana ‘endapan makna’ yang detemukan itu benar-benar di
rekonstruksi dari dunia kehidupan sosial, dimana banyak subjek sama-sama terlibat dan menghayati.
7) Berdasarkan kelebihan fenomenologi bisa ditarik kesimpulan bahwa fenomenologi menuntut
pendekatan yang holistik, bukan pendekatanpartial, sehingga diperoleh pemahaman yang utuh
mengenai objek yang diamati, hal ini lah yang menjadi kelebihan filsafat ini sehingga banyak dipakai
oleh ilmuan-ilmuan pada saat ini terutama ilmuan sosial, dalam berbagai kajian keilmuan mereka
termasuk bidang kajian agama.
8) Paradigma menunjukkan sesuatu yang penting, absah, dan masuk akal. Paradigma juga bersifat
normatif, menunjukkan kepada praktisinya apa yang harus dilakukan tanpa perlu melakukan
pertimbangan eksistensial atau epistimologis yang panjang.
10) Edmund Husserl adalah pendiri dari aliran filsafat fenomenologi ini. Seperti yang dikatakan di atas,
fenomenologi merupakan metoda dan filsafat. Sebagai metoda ia membentangkan langkah-langkah
yang harus diambil sehingga bisa sampai kepada fenomena yang murni. Sebagai filsafat,
fenomenologi menurut Husserl memberi pengetahuan yang perlu dan esensial tentang apa yang
ada. Dalam langkah-langkah penyelidikannya, ia menemukan obyek-obyek (yang tak terbatas
banyaknya) yang membentuk dunia yang kita alami. Benda tersebut dapat dilukiskan menurut
kesadaran di mana ia ditemukan. Dengan begitu, fenomenologi dijelaskan sebagai kembali kepada
benda, sebagai lawan dari ilusi atau susunan fikiran, justru karena benda adalah obyek kesadaran
yang langsung dalam bentuknya yang murni.
11) Caranya Husserl mengajar adalah dalam bentuk memimpin para mahasiswa dalam 'melihat' secara
fenomenologi, ia melarang menggunakan ide-ide yang belum diuji yang terdapat dalam tradisi-
tradisi filsafat. Ia menolak kembali kepada otoritas atau kepada nama-nama besar dalam filsafat.
Heidegger merasa bahwa metoda semacam itu merupakan pendekatan yang paling baik bagi
problema-problemanya sendiri.
12) Max Scheler (1874-1928) mempunyai keyakinan bahwa filsafat itu, pada pokoknya, membicarakan
tentang situasi historis manusia
13) Filsafat sebagai suatu sikap. Filsafat merupakan sikap terhadap kehidupan dan alam
semesta.Bagaimana manusia yang berfilsafat dalam menyikapi hidup dan alam sekitarnya.
2. Filsafat sebagai suatu metoda. Berfilsafat artinya berpikir secara reflektif, yakni berpikir dengan
memerhatikan unsure di belakang objek yang menjadi pusat pemikirannya.
3. Filsafat sebagai kumpulan persoalan.Befilsafat artinya berusaha untuk memecahkan persoalan-
persoalan hidup.
4. Filsafat merupakan sistem pemikiran.Socrates, Plato, atau Aristoteles merupakan tokoh filsafat
yang menghasilkan sistem pemikiran yang menjadi acuan dalam menjawab persoalan, sebagai
metode, dan cara bersikap kenyataan.
5. Filsafat merupakan analisis logis. Filsafat berarti berbicara tentang bahasa dan penjelasan makna-
makna yang terkandung dalam kata dan pengertian.Hampir setiap filsuf memakai metode analisis
untuk menjelaskan arti istilah dan pemakaian bahasa.
6. Filsafat merupakan suatu usaha memperoleh pandangan secara menyeluruh. Filsafat mencoba
menggabungkan kesimpulan-kesimpulan dari berbagai macam ilmu serta pengalaman manusia
menjadi suatu pandangan dunia yang menyeluruh.
1) Pengetahuan ditemukan secara langsung dalam pengalaman sadar. Kita akan mengetahui dunia
ketika kita berhubungan dengan pengalaman itu sendiri.
2) Makna benda terdiri dari kekuatan benda dalam kehidupan seseorang. Bagaimana kita berhubungan
dengan benda menentukan maknanya bagi kita.
3) Bahasa merupakan kendaraan makna. Kita mengalami dunia melalui bahasa yang digunakan untuk
mendefinisikan dan mengekspresikan dunia itu.
15) Reduksi eidetis, yaitu dengan menyaring atau penempatan dalam tanda kurung sebagai hal yang
bukan eidos atau intisari atau hakikat gejala atau fenomena.
Pengertian Fenomenologi
Fenomenologi secara etimologi berasal dari kata “phenomenon” yang berarti
realitas yang tampak, dan “logos” yang berarti ilmu. Sehingga secara Tujuan utama
fenomenologi adalah mempelajari bagaimana fenomena dialami dalam kesadaran,
pikiran dan dalam tindakan, seperti bagaimana fenomena tersebut bernilai atau
diterima secara estetis. Fenomologi mencoba mencari pemahaman bagaimana
manusia mengkonstruksi makna dan konsep-konsep penting, dalam kerangka
intersubjektivitas.
Secara terminologi fenomenologi adalah ilmu berorientasi untuk dapat
mendapatkan penjelasan tentang realitas yang tampak.Fenomena yang tampak
adalah refleksi dari realitas yang tidak berdiri sendiri karena ia memiliki makna yang
memerlukan penafsiran lebih lanjut. Fenomenologi menerobos fenomena untuk dapat
mengetahui makna (hakikat) terdalam dari fenomena-fenomena yang terjadi dalam
kehidupan sehari-hari.
Sejarah Fenomenologi
Teori Fenomenologi
Tokoh Fenomenologi
1. Edmud Husserl
Edmund Husserl (1859-1938) merupakan tokoh terpenting dalam metode
fenomenologi mengingat ialah yang untuk pertama kalinya mempopulerkan nama
fenomenologi sebagai metode atau cara berpikir baru dalam ranah keilmuan sosial-
humaniora. Beberapa pemikiran Edmund Husserl terkait teori fenomonologi. sebagai
berikut :
Fenomenologi Sebagai Metode untuk Membangun Disiplin dasar
Jadi, sama seperti geometri bisa menempatkan “ garis lurus “ sebagai item
dalam gudang senjata yang eidetik kebenaran meskipun adalah pertanyaan yang
sama sekali apakah hal seperti itu mempunyai manifestasi empiris sehingga esensi
disiplin murni lainnya harus dibangun tanpa perhatian yang dibayar untuk masalah
ini eksistensi nyata. Di antara disiplin fenomenologis akan ada psikologi
fenomenologis. Bahkan Husserl ditangani secara khusus dengan topik ini dalam
ceramah di 1925 (Husserl, 1925/1977). Tapi account dari psikologi fenomenologis
akan tidak seperti buku psikologi empiris seperti biasanya dipahami, memberikan
hasil penelitian ilmiah. Melainkan akan memeriksa dan fundamental psikologi
menemukan nyenyak sehingga bekerja empiris bisa pergi ke depan aman.
l
Hal Sendiri intensionalitas dan Para Fenomena
Jadi, “fenomena ini” apa yang muncul (objek sengaja) seperti yang dijelaskan
dengan caranya muncul, dengan memperhatikan mode sadar (persepsi, misalnya)
yang muncul. Kami akan mempertimbangkan kemudian dua “aspek” dari fenomena
seperti yang dijelaskan oleh Husserl (1913/1983), yang noema, obyek kesadaran,
dan cara di mana seseorang menyadari itu, noesis. Kunci pendekatan
fenomenologis adalah untuk fokus pada “penampilan yang muncul”. Untuk
memperhatikan benda di dalam yang muncul adalah untuk menolak gagasan bahwa
ada noumenon tersembunyi berbaring di balik fenomena yang berpengalaman.,
tugas ini adalah untuk menggambarkan apa yang muncul, fenomena yang murni
dan sederhana. Sebagai Husserl memberitahu kita: “Apa yang menentukan terdiri
dari deskripsi benar-benar setia dari apa yang sebenarnya hadir dalam kemurnian
fenomenologis dan dalam menjaga di kejauhan semua melampaui interpretasi
diberikan”. Sekarang, deskripsi kesadaran seseorang tentang fenomena ini
dianggap oleh Husserl sebagai pasti. Jadi, misalnya, keyakinan keagamaan
meskipun pasti masalah sengketa besar untuk hubungannya dengan realitas dan
nilai di dalam masyarakat saat ini, adalah tetap describable dalam muncul nya. Itu
harus mungkin karena itu, menurut Husserl bagi siapa saja untuk datang ke sebuah
pernyataan tentang apa iman. Tidak ada teori dibayangkan bisa membuat kita keliru
sehubungan dengan prinsip semua prinsip bahwa setiap intuisi asal presentive
merupakan sumber legitimasi dari cogniton, bahwa segala sesuatu awalnya
(sehingga untuk berbicara, di personal yang sebenarnya) ditawarkan kepada kita
dalam intuisi yang akan diterima hanya seperti apa yang disajikan kepada kita
sebagai mahluk, tapi juga hanya dalam batas-batas dari apa yang disajikan di sana.
Berpikir Fenomenologis
2. ALFRED SCRUTZ
Ahli teori sosiologi-fenomenologi yang paling menonjol adalah Alfred Schutz,
seorang murid Husserl yang berimigrasi ke Amerika Serikat setelah munculnya
fascism di Eropa, melanjutkan karirnya sebagai bankir dan guru penggal-waktu (part-
time). Dia muncul di bawah pengaruh filsafat pragmatis dan interaksionisme-simbol;
barngkali cara terbaik untuk mendekati karyanya adalah melihatnya sebagai bentuk
interaksionisme yang lebih sistematik dan tajam. Akan tetapi, dalam karya klasiknya
yang berjudul The Phenomenology of the Social World, bagaimanapun, dia tertarik
dengan penggabungan pandangan fenomenologi dengan sosiologi melalui suatu kritik
sosiologi terhadap karya Weber. Dia mengatakan bahwa reduksi fenomenologis,
pengesampingan pengetahuan kita tentang dunia, meninggalkan kita dengan apa
yang ia sebut sebagai suatu “arus-pengalaman” (stream of experience).
Sebutan fenomenologis berarti studi tentang cara dimana fenomena hal-hal yang
kita sadari muncul kepada kita, dan cara yang paling mendasar dari pemunculannya
adalah sebagai suatu aliran pengalaman-pengalaman inderawi yang
berkesinambungan yang kita terima melalui panca indera kita. Fenomenologi tertarik
dengan pengidentifikasian masalah ini dari dunia pengalaman inderawi yang
bermakna, suatu hal yang semula yang terjadi di dalam kesadaran individual kita
secara terpisah dan kemudian secara kolektif, di dalam interaksi antara kesadaran-
kesadaran. Bagian ini adalah suatu bagian dimana kesadaran bertindak (acts) atas
data inderawi yang masih mentah, untuk menciptakan makna, didalam cara yang
sama sehingga kita bisa melihat sesuatu yang bersifat mendua dari jarak itu, tanpa
masuk lebih dekat, mengidebtifikasikannya melalui suatu proses dengan
menghubungkannya dengan latar belakangnya.
Hal ini mengantarkan kita kepada salah satu perbedaan yang jelas antara
fenomenologi dan bentuk lain dari teori tindakan: “tindakan” sejauh ini mengacu pada
tindakan manusi dalam berhubungan satu denan yang lain dan lingkungannya. Bagi
fenomenologi juga sama halnya, bahkan tindakan terutama ditujukan kepada proses
internal dari kesadaran (manusia), baik individualataupun kolektif. Sekali tindakan itu
ditransformasikan ke dalam fikiran kita, ia menjadi sulit untuk keluar lagi dan ini
mempunyai konsekuensinya pada usaha untuk memperluas sosiologi-fenomenologis
menjadi sebuah teori tentang masyarakat seperti juga tentang pribadi.
Menurut Schutz, cara kita mengkonstruksikan makna diluar dari arus utama
pengalaman ialah melalui proses tipikasi. Dalam hal ini termsuk membentuk
penggolongan atau klasifikasi dari pengalaman dengan melihat keserupaannya. Jadi
dalam arus pengalaman saya, saya melihat bahwa objek-objek tertentu pada
umumnya memiliki ciri-ciri khusus, bahwa mereka bergerak dari tempat ke tempat,
sementara lingkungan sendiri mungkin tetap diam.
3. PETER L. BERGER
Pengkajian fenomenologi Peter L. Berger berkaitan erat dengan konsepnya
mengenai konstruksi realitas sosial yang dianggapnya bergantung pada posisi
individu sebagai subyek. Dengan demikian, asumsi awal pemikiran terkait layaknya
struktural fungsional, hanya saja pemaknaan dihasilkan oleh hubungan subyektif
individu dengan dunia obyektif. Dalam proses tersebut, Berger (1994: 4-5) meyakini
eksisnya dialektika tiga momentum yang dialami individu dalam masyarakat, yakni
eksternalisasi, internalisasi dan obyektivasi, yang mana ketiganya menunjukkan
eksistensi individu sebagai produk masyarakat dan begitu pula sebaliknya:
masyarakat sebagai produk individu. Eksternalisasi adalah kondisi di mana individu
lebih dominan ketimbang masyarakat, dalam kondisi yang demikian individu aktif
memproduksi nilai, norma dan budaya bagi masyarakatnya. Sebaliknya, internalisasi
adalah kondisi tatkala individu lebih dormant ketimbang masyarakatnya, dalam
kondisi tersebut individu aktif mengadopsi nilai, norma dan budaya yang terdapat
dalam masyarakat.
4. MAX WEBER
lain; (1) Tindakan aktor yang memiliki makna dan bersifat subyektif, (2)
5. MAX SCHELER
Disamping Husserl, filsuf lain yang juga terlibat dalam filsafat fenomenologi adalah
Max Scheler. Scheler juga menggunakan metode Husserl dan tidak berusaha untuk
menganalisa dan menerangkan lebih jauh tentang suatu obyek dan gejala-gejalanya. Bagi
Scheler, fenomenologi merupakan “jalan keluar” ketidakpuasannya atas logisisme-
transendentalis Immanuel Kant dan Psikologisme Empiris. Dan pemikiran yang paling utama
Scheler adalah tentang fenomenologi etika.
Pertanyaannya sekarang adalah, bagaimana sebuah prinsip yang universal dan pasti
dapat diturunkan dari realitas yang berubah, yang tidak stabil? Jika etika benda-benda
diterima, prinsip-prinsip moral akan tertinggal di belakang evolusi sejarah, dan, kata Scheler,
adalah tidak mungkin untuk mengkritik dunia benda-benda yang ada pada satu jaman
tertentu, karena etika pasti didasarkan pada benda-benda tersebut. Juga salah, bahwa setiap
prinsip etis yang berusaha untuk menetapkan tujuan yang berkaitan dengan nilai moral dari
hasrat yang terukur. Sebab tujuan, sebagaimana adanya, tidak pernah baik ataupun buruk,
sebab benda-benda itu bebas dari nilai yang harus direalisasikan. Dengan model pemikiran
seperti ini, maka menurut Scheler, perilaku yang baik dan yang buruk tidak dapat diukur
dengan menghubungkannya dengan tujuan karena konsep tentang baik dan buruk tidak dapat
disarikan dari isi empiris tujuan.. Jelasnya, Scheler ingin mengatakan bahwa nilai itu berasal
dari benda-benda, namun tidak tergantung pada mereka. Dan dari ketidaktergantungan
tersebut memungkinkan benda itu untuk “menyusun” sebuah etika aksiologis yang sekaligus
material dan a priori.
DAFTAR PUSTAKA
Zeitlin, Irving M, 1995, Memahami Kembali Sosiologi, Yogyakarta: Gadjah Mada University
Press.
Website
http://didanel.wordpress.com/2011/06/22/teori-fenomenologi-dan-etnometodologi/
http://kolomsosiologi.blogspot.com/2013/06/fenomenologi-jean-paul-sartre-edmund.html
http://arianicatrine.blogspot.com/2012/05/teori-sosiologi-modern.html?m=1
PENGERTIAN DAN FUNGSI FENOMENOLOGI DALAM KAJIAN AGAMA DAN STUDI ISLAM
BAB I
PENDAHULUAN
Fenomenologi adalah sebuah studi dalam bidang filsafat yang mempelajari manusia sebagai
sebuah fenomena. Ilmu fenomenologi dalam filsafat biasa dihubungkan dengan Ilmu Hermeneutik,
yaitu ilmu yang mempelajari arti dari pada fenomenologi.
Secara harfiah, fenomenologi fenomenalisme adalah aliran atau paham yang menganggap
bahwa fenomenalisme (gejala) adalah sumber pengetahuan dan kebenaran. Seorang fenomenalisme
suku melihat suatu gejala tertentu dengan ahli ilmu positif yang mengumpulkan data, mencari korelasi
dan fungsi, serta membuat hukum-hukum dan teori.
Salah seorang tokoh fenomenologi adalah Endmund Husserl (1859-1938), ia selalu berupaya ingin
mendekati realitas tidak melalui argumen-argumen, konsep-konsep, atau teori ilmu, kembali kepada
benda-benda itu sendiri merupakan inti dari pendekatan yang dipakai untuk mendeskripsikan realitas
menurut apa adanya.
Setiap obyek memiliki hakikat, dan itu berbicara kepada kita jika kita membuka diri kepada gejala-
gejala yang kita terima. Fenomenologi banyak diterapkan dalam epistemology, psikologi, antropologi
dan studi-studi keagamaaan (kajian atas Kitab Suci).
B. Rumusan Masalah
1. Pengertian Fenomenologi
2. Posisi Fenomenologi dalam Kajian Agama dan studi Islam
3. Fungsi fenomenologi
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Fenomenologi
Istilah fenomenologi berasal dari bahasa Yunani phainomen dari phainesthai
/phainomai/phainein yang berarti menampakkan atau memperlihatkan.4[1] Dan terbentuk dari akar
kata fantasi, fantom dan fosfor yang artinya sinar atau cahaya. Dari kata itu terbentuk kata kerja
tampak, terlihat karena bercahaya. Dalam bahasa Indonesia sering dipakai dalam istilah gejala yaitu
suatu hal yang tidak nyata dan semu, kebalikan kenyataan, juga dapat diartikan sebagai ungkapan
kejadian yang dapat diamati lewat indra. Atau secara harfiah fenomena dapat di artikan sebagai suatu
gejalah atau sesuatu yang menampakkan. Fenomenologi juga di artikan ilmu pengetahuan (logos)
tentang apa yang tampak (phainomenon).
Lebih lanjut dijelaskan bahwa fenomena dipandang dari 2 sudut. Pertama, fenomena selalu
“menunjuk ke luar” atau berhubungan dengan realitas di luar pikiran. Kedua, fenomena di pandang
dari sudut kesadaran kita, karena selalu berada dalam kesadaran kita. Maka dalam memandang
fenomena harus terlebih dahulu melihat “penyaringan” atau ratio, sehingga mendapatkan kesadaran
yang murni. Fenomenologi menghendaki ilmu pengetahuan secara sadar mengarahkan untuk
memperhatikan contoh tertentu tanpa prasangka teoritis lewat pengalaman yang berbeda.
Kant dan Fries mempergunakan istilah fenomenologi sebagai pelajaran filsafat yang memusatkan
perhatiannya pada gejala-gejala.5[2] Sedangkan fenomenologi secara terminologi dapat didefinisikan
dengan suatu disiplin ilmu yang mencoba mengkaji realitas yang memiliki objek dunia atau benda,
dimana tidak ada hal tanpa hal lain. Benda biasa dilihat sebagai suatu objek yang dapat dilihat,
dipegang, diraba, atau didengar. Identik dengan dirinya sendiri dan berada dalam ruang yang
kemudian muncul sebagai hal yang terjadi dalam suatu waktu.6[3]
Tujuan fenomenologi agama adalah mengkaji dan kemudian mengerti pola atau struktur
agama atau menemukan esensi agama di balik manifestasinya yang beragam atau memahami sifat-
sifat yang unik pada fenomena keagamaan serta untuk memahami peranan agama dalam sejarah dan
budaya manusia.
Pendekatan fenomenologi dalam studi agama muncul sebagai reaksi terhadap beberapa
pendekatan sebelumnya, yaitu:
1. Pendekatan teologi yang normatif (atau sebut saja: teologis-normatif). Dalam mengkaji
tradisi agama, pendekatan ini digunakan untuk menghasilkan dan menyumbangkan pemahaman yang
lebih baik mengenai dunia agama. Sehingga menjadikan agama tertentu (terutama agamanya sendiri)
sebagai agama yang benar, sementara agama lain salah.
C. Fungsi Fenomenologi
e. Berfungsi untuk mengungkapkan atau mendeskripsikan makna sebagaimana yang ada dalam data
(gejala) dalam bentuk kegiatan-kegiatan, tradisi-tradisi, dan simbol keagamaan.
f. berfungsi untuk memahami pemikiran, tingkah laku, dan lembaga-lembaga keagamaan tanpa
mengikuti salah satu teori filsafat, teologi, metafisika, ataupun psikologi untuk memahami islam.
Karena pada dasarnya semua ciptaan Tuhan itu mengagungkan kebesaran-Nya dengan caranya
masing-masing. Jadi, semua yang ada di alam ini bisa dilihat dengan kacamata agama untuk
mengantarkan pada pemahaman terhadap Yang Maha Esa.
BAB III
PENUTUP
A. Simpulan
Fenomenologi adalah suatu ilmu yang mempelajari tentang gejala-gejala yang nampak. Jelas
bahwa Fenomenologi Agama merupakan cabang Ilmu Agama yang mengkaji fenomena keagamaan
secara sistematis bukan historis sebagaimana sejarah agama.
Posisi fenomenologi dalam kajian Agama dan Studi Islam adalah mengkaji dan kemudian
mengerti pola atau struktur agama atau menemukan esensi agama di balik manifestasinya yang
beragam atau memahami sifat-sifat yang unik pada fenomena keagamaan serta untuk memahami
peranan agama dalam sejarah dan budaya manusia.
B. Penutup
Demikian makalah yang kami buat. Apabila terdapat kesalahan yang disengaja maupun tidak
disengaja kami mohon maaf. Kritik dan saran yang membangun sangat kami butuhkan untuk lebih
baiknya makalah yamg kami buat selanjutnya. Selamat membaca dan semoga bermanfaat.
8[1] Save M. Dagun, Filsafat Eksistensialisme (Jakarta : Rineka Cipta, 1990 ). Cet. 1. 37
9[2] Syamsudin Abdullah, dkk. Fenomenologi Agama, (Jakarta: Depag RI, 1984), hlm. 1
10[3] M. A. W. Brouwer, Alam Manusia dalam Fenomenologi, (Jakarta: Kanisius, 1995), hlm. 6
Pengertian dan Contoh Teori Fenomenologis Menurut Para Ahli - Suyanto dan Sutinah (2005:166)
menjelaskan bahwa setidaknya ada tiga teori dan pendekatan yang termasuk dalam paradigma
interpretif, yaitu pendekatan fenomenologi, interaksi simbolik, dan etnometodologi.
Fenomenologi sebenarnya lebih merupakan suatu gerakan pemikiran filsafat dibandingkan suatu
aliran filsafat. Oleh karena itu, sebagian kalangan misalnya Embree (1998:333-343), berbicara
tentang gerakan fenomenologis (phenomenological movement), yakni gerakan internasional di
bidang filsafat yang meluas ke berbagai disiplin ilmu, terutama sosiologi, antropologi, dan psikiatri,
kemudian komunikasi. Berawal di Jerman menjelang akhir abad ke-19, gerakan yang dirintis oleh
Edmund Husserl ini kemudian meluas ke Eropa, Amerika, dan Asia, termasuk Indonesia.
Sebagai suatu gerakan dalam berpikir, fenomenologi (phenomenology) dapat diartikan sebagai
upaya studi tentang pengetahuan yang timbul karena rasa kesadaran ingin mengetahui. Objek
pengetahuan berupa gejala atau kejadian-kejadian dipahami melalui pengalaman secara sadar
(councious experience). Fenomenologi menganggap pengalaman yang actual sebagai data tentang
realitas yang dipelajari. Kata gejala (phemenon yang bentuk jamaknya adalah phenomena)
merupakan asal istilah fenomenologi dibentuk, dan dapat diartikan sebagai suatu tampilan dari
objek, kejadian, atau kondisi-kondisi menurut persepsi (Littlejohn, 2002:184). Dari sini, tampak
bahwa sebagian esensi dari fenomenologi sebenarnya adalah pendekatan kualitatif terhadap gejala
dan/atau realitas yang diteliti. Fenomenologi ini pula yang bersama dengan teori interaksionisme
simbolik dan teori system, menjadi prinsip berpikir dalam penelitian kualitatif berkenaan gejala-
gejala komunikasi.
Sebagai suatu gerakan dalam berpikir, fenomenologi (phenomenology) dapat diartikan sebagai
upaya studi tentang pengetahuan yang timbul karena rasa kesadaran ingin mengetahui, dalam hal
ini peneliti memulai mengenal lingkungan hidup informan.
Objek pengetahuan berupa gejala atau kejadian-kejadian dipahami melalui pengalaman secara sadar
(councious experience). Fenomenologi menganggap pengalaman yang actual sebagai data tentang
realitas yang dipelajari.
Home
Akuntansi
Kewirausahaan
Manajemen
RPL
Sistem Informasi
Sistem Jaringan
Sistem Operasi
Home » Teori Komunikasi » Pengertian dan Contoh Teori Fenomenologis Menurut Para Ahli
Pengertian dan Contoh Teori Fenomenologis Menurut Para Ahli - Suyanto dan Sutinah (2005:166)
menjelaskan bahwa setidaknya ada tiga teori dan pendekatan yang termasuk dalam paradigma
interpretif, yaitu pendekatan fenomenologi, interaksi simbolik, dan etnometodologi.
Fenomenologi sebenarnya lebih merupakan suatu gerakan pemikiran filsafat dibandingkan suatu
aliran filsafat. Oleh karena itu, sebagian kalangan misalnya Embree (1998:333-343), berbicara
tentang gerakan fenomenologis (phenomenological movement), yakni gerakan internasional di
bidang filsafat yang meluas ke berbagai disiplin ilmu, terutama sosiologi, antropologi, dan psikiatri,
kemudian komunikasi. Berawal di Jerman menjelang akhir abad ke-19, gerakan yang dirintis oleh
Edmund Husserl ini kemudian meluas ke Eropa, Amerika, dan Asia, termasuk Indonesia.
Sebagai suatu gerakan dalam berpikir, fenomenologi (phenomenology) dapat diartikan sebagai
upaya studi tentang pengetahuan yang timbul karena rasa kesadaran ingin mengetahui. Objek
pengetahuan berupa gejala atau kejadian-kejadian dipahami melalui pengalaman secara sadar
(councious experience). Fenomenologi menganggap pengalaman yang actual sebagai data tentang
realitas yang dipelajari. Kata gejala (phemenon yang bentuk jamaknya adalah phenomena)
merupakan asal istilah fenomenologi dibentuk, dan dapat diartikan sebagai suatu tampilan dari
objek, kejadian, atau kondisi-kondisi menurut persepsi (Littlejohn, 2002:184). Dari sini, tampak
bahwa sebagian esensi dari fenomenologi sebenarnya adalah pendekatan kualitatif terhadap gejala
dan/atau realitas yang diteliti. Fenomenologi ini pula yang bersama dengan teori interaksionisme
simbolik dan teori system, menjadi prinsip berpikir dalam penelitian kualitatif berkenaan gejala-
gejala komunikasi.
Sebagai suatu gerakan dalam berpikir, fenomenologi (phenomenology) dapat diartikan sebagai
upaya studi tentang pengetahuan yang timbul karena rasa kesadaran ingin mengetahui, dalam hal
ini peneliti memulai mengenal lingkungan hidup informan.
Objek pengetahuan berupa gejala atau kejadian-kejadian dipahami melalui pengalaman secara sadar
(councious experience). Fenomenologi menganggap pengalaman yang actual sebagai data tentang
realitas yang dipelajari.
image source: domusweb.it
baca juga: Pengertian dan Contoh Teori Konstruktivisme Menurut Para Ahli.
Baca juga:
Berbeda dengan kalangan positivis yang biasa bekerja meneliti dengan mengemukakan hipotesa-
hipotesa tentang realitas dan kemudian melakukan pengamatan untuk membuktikan apakah benar
maka kalangan fenomenologis tidak mengajukan hipotesa apapun, tetapi langsung melakukan
pengamatan untuk melihat, dan kemudian mendeskripsikannya, seperti apa kenyataan yang ada. Hal
ini terutama disebabkan oleh karena kalangan fenomenologis pada umunya berkeyakinanbahwa
pengalaman pemakai narkoba adalah bersifat subjektif, bukan objektif.
Maurice Merleau-Ponty, salah seorang pendukung fenomenologi, hal ini ditegaskan, All my
knowledge of the world, even my scientificknowledge, is gained from my own particular point of
view, or from some experience of the world without which any symbols of science would be
meaningless (semua pengetahuan saya tentang dunia ini, bahkan pengetahuan ilmiah saya, tumbuh
didasari sudut pandang saya secara khusus atau dari beberapa pengalaman saya tentang dunia yang
tanpa itu simbol-simbol ilmiah inilah yang manapun menjadi tidak berarti).
Stanley Deetz, pendukung fenomenologi lainnya, seperti dikutip oleh Littlejohn (2002:185),
mengidentifikasi tiga prinsip dasar yang menjadi pilar dari gerakan fenomenologi.
1. Bahwa pengetahuan (knowledge) diperoleh secara langsung melalui pengalaman yang sadar
atau disengaja. Hal ini memiliki arti bahwa pengetahuan tidak diperoleh dari (is nit inferred
from) pengalaman (experience), tetapi ditemukan (is found) secara langsung dari
pengalaman secara sadar (conscious experience).
2. Bahwa makna tentang sesuatu bagi seseorang sebenarnya terdiri dari atau terbangun oleh
potensi pengalaman seseorang berkenaan dengan objek bersangkutan. Artinya, bagaimana
seseorang memiliki hubungan dengan objek akan menentukan makna objek yang
bersangkutan bagi seseorang.
3. Bahwa bahasa merupakan kendaraan yang mengangkut makna-makna. Orang memperoleh
pengalaman-pengalaman melalui bahasa yang kita gunakan untuk mendefinisikan dan
mengekspresikan pengalaman.
Tradisi fenomenologis lebih memberi penekanan pada persoalan pengalaman pribadi (personal
experience), termasuk pengalaman pribadi yang dimiliki seseorang ketika berinteraksi dengan orang
lain. Komunikasi dalam tradisi ini, dipandang sebagai,…a sharing of personal experience throught
dialoque. Littlejohn (2002:13). Tradisi juga menolak beberapa pandangan penting, misalnya bahwa
komunikasi hanyalah merupakan ketrampilan, bahwa lambang atau kata-kata terpisah dengan
benda atau objek yang diwakilinya, dan bahwa nilai (value) terpisah dari fakta (fact).
Fenomenologis merupakan aliran (tokoh penting: Edmund Husserl, 1859-1938) yang ingin mendekati
realitas tidak melalui argumen-argumen, konsep-konsep, atau teori umum."Zuruck zu den sachen
selbst",kembali kepada benda-benda itu sendiri, merupakan inti dari pendekatan yang dipakai untuk
mendeskripsikan realitas menurut apa adanya.
Setiap obyek memiliki hakekat, dan hakekat itu berbicara kepada individu dan individu membuka diri
kepada gejala-gejala yang kita terima.Jika "mengambil jarak" dari obyek itu, melepaskan obyek itu
dari pengaruh pandangan-pandangan lain, dan gejala-gejala itu kita cermati, maka obyek itu
"berbicara" sendiri mengenai hakekatnya, dan kita memahaminya berkat intuisi dalam diri individu
(Bungin: 2001:12)
Bagi Husserl, pengetahuan sebagai sebuah tindakan mengerti yang bertanggung jawab, artinya
disertai dengan sebab-sebab yang valid, hanya bisa dicapai dengan fenomonelogi. Dipengaruhi
Hume, Husserl merumuskan bahwa indera manusia tidak mencerap benda pada dirinya sendiri (das
ding an sich), melainkan hanya gejala-gejalanya. Dengan memusatkan daya akal budi kepada
inventarisasi dan sintesis atas gejala-gejala itu, pengetahuan yang benar dapat tergapai.
Dalam faham fenomenologi sebagaimana diungkapkan oleh Husserl, bahwa individu harus kembali
kepada benda-benda itu sendiri (zu den sachen selbst), obyek-obyek harus diberikan
kesempatanuntuk berbicara melalui deskripsi fenomenologis guna mencari hakekat gejala-gejala
(Wessenchau). Husserl berpendapat bahwa kesadaran bukan bagian dari kenyataanmelainkan asal
kenyataan, dia menolak bipolarisasiantara kesadaran dan alam, antara subyek dan obyek, kesadaran
tidak menemukan obyek-obyek, tapi obyek-obyek diciptakan oleh kesadaran.
Kesadaran merupakan sesuatu yang bersifat intensionalitas (bertujuan), artinya kesadaran tidak
dapat dibayangkan tanpa sesuatu yang disadari. Supaya kesadaran timbul perlu diandaikan tiga hal
yaitu: ada subyek, ada obyek, dan subyek yang terbuka terhadap obyek-obyek. Kesadaran tidak
bersifat pasif karena menyadari sesuatu berarti mengubah sesuatu, kesadaran merupakan suatu
tindakan, terdapat interaksi antara tindakan kesadaran dan obyek kesadaran, namun yang ada
hanyalah kesadaran sedang obyek kesadaran pada dasarnya diciptakan oleh kesadaran.
Berkaitan dengan hakekat obyek-obyek, Husserl (Bungin: 2001: 20) berpendapat bahwa untuk
menangkap hakekat obyek-obyek diperlukan tiga macam reduksi guna menyingkirkan semua hal
yang mengganggu dalam mencapai wessenchau yaitu: Reduksi pertama. Menyingkirkan segala
sesuatu yang subyektif, sikap individu harus obyektif, terbuka untuk gejala-gejala yang harus diajak
bicara. Reduksi kedua. Menyingkirkan seluruh pengetahuan tentang obyek yang diperoleh dari
sumber lain, dan semua teori dan hipotesis yang sudah ada Reduksi ketiga. Menyingkirkan seluruh
tradisi pengetahuan. Segala sesuatu yang sudah dikatakan orang lain harus, untuk sementara,
dilupakan, kalau reduksi-reduksi ini berhasil, maka gejala-gejala akan memperlihatkan dirinya
sendiri/dapat menjadi fenomin.
Dari sudut ontologi, pandangan fenomenologi terhadap kenyataan itu merupakan suatu yang utuh,
oleh karena itu obyek harus dilihat dalam suatu konteks natural tidak dalam bentuk yang
terfragmentasi. Sedangkan dari sudut epistemologi, pandangan Fenomenologis subyek dan obyek
tidak dapat dipisahkan dan aktif bersama dalam memahami berbagai gejala. Dari sudut aksiologi,
fenomenologi penelitian itu terikat oleh nilai sehingga hasil suatu penelitian harus dilihat sesuai
konteks.
Fenomenologis berasal dari paradigma kontruktivisme atau kontruksi realitas sosial. Bungin (2001: 8)
mengatakan konstruksi sosial amat terkait dengan kesadaran manusia terhadap realitas sosial. Oleh
karena itu, kesadaran merupakan bagian yang paling penting dalam konstruksi sosial. Pada
kenyataannya, realitas sosial tidak berdiri sendiri tanpa kehadiran individu baik di dalam maupun di
luar realitas tersebut.
Realitas sosial memiliki makna ketika realitas sosial dikonstruksi dan dimaknakan secara subjektif
oleh individu lain sehingga memanfaatkan realitas itu secara objektif. Jadi individu mengkonstruksi
realitas sosial, dan mengkonstruksikannya dalam dunia realitas, serta memantapkan realitas itu
berdasarkan subjektivitas individu lain dalam institusi sosialnya.
Menurut Berger dan Luckman (dalam Bungin, 2001:6) konstruksi sosial adalah pembentukan
pengetahuan yang diperoleh dari hasil penemuan sosial. Realitas sosial menurut keduanya terbentuk
secara sosial dan sosiologi merupakan ilmu pengetahuan (sociology of knowlodge) untuk
menganalisa bagaimana proses terjadinya.
Dalam hal ini pemahaman “realitas” dan “pengetahuan” dipisahkan. Mereka mengakui realitas
objektif, dengan membatasi realitas sebagai “kualitas” yang berkaitan dengan fenomena yang kita
anggap berada diluar kemauan kita sebab fenomena tersebut tidak bisa ditiadakan. Sedangkan
pengetahuan didefinisikan sebagai kepastian bahwa fenomena adalah riil adanya dan memiliki
karakteristik yang khusus dalam kehidupan kita sehari-hari.
Teori fenomenologi digunakan untuk mendeskripsikan (memaparkan) apa adanya suatu peristiwa
yang terjadi tanpa merubah takta yang sebenarnya. Teori ini menuntun si pengamat untuk
melakukan pengamatan secara langsung pada peristiwa yang terjadi dan selajutnya memaparkan
sesuai realitas yang sebenarnya.
Sekian artikel tentang Pengertian dan Contoh Teori Fenomenologis Menurut Para Ahli. Semoga
bermanfaat.
DaftarPustaka
Fisher, B. Aubrey, 1986, Teori-Teori Komunikasi, Penterj, Soejono Trimo, Remaja Karya,
Bandung
Kincaid, D. Lawrence & Wilbur Scramm. 1987. Asas-Asas Komunikasi Antar Manusia, Penterj
Agus Stiadi, LP3ES-East west Communication Institute, Jakarta
Little, John. Stephen W. 1983, Theories of Human Communication. Second Edition.
Wadworth Publishing Company. California.
Sobur, Alex, 2003, Semiotika Komunikasi, Remaja Rosdakarya, Bandung
Stephenson, Howard, 1982, Handbook of communications, Book Company, Inc, Toranto
Tubbs, Steward L.Moss Sylvia, 1996, Human Communication (Prinsip-Prinsip Dasar), Remaja
Rosdakarya, Bandung
A. PENGERTIAN FENOMENOLOGI
Fenomenologi (Inggris: Phenomenology) berasal dari bahasa Yunani phainomenon dan logos.
Phainomenon berarti tampak dan phainen berarti memperlihatkan. Sedangkan logos berarti kata,
ucapan, rasio, pertimbangan. Dengan demikian, fenomenologi secara umum dapat diartikan sebagai
kajian terhadap fenomena atau apa-apa yang nampak. Lorens Bagus memberikan dua pengertian
terhadap fenomenologi. Dalam arti luas, fenomenologi berarti ilmu tentang gejala-gejala atau apa
saja yang tampak. Dalam arti sempit, ilmu tentang gejala-gejala yang menampakkan diri pada
kesadaran kita.
Fenomenologi adalah ilmu yang berorientasi untuk mendapatkan penjelasan tentang realitas yang
tampak. Fenomenologi memanfaatkan pengalaman intuitif atas fenomena, sesuatu yang hadir
dalam refleksi fenomenologis, sebagai titik awal dan usaha untuk mendapatkan fitur – hakekat dari
pengalaman dan hakekat dari apa yang kita alami. Peneliti dalam pandangan fenomenologis
berusaha memahami arti peristiwa dan kaitan-kaitannya terhadap orang-orang biasa dalam situasi-
situasi tertentu. berusaha membangun dan menuju perkembangan analisis dari fenomena menjadi
lebih baik. Suatu fenomena bukanlah suatu yang statis,arti suatu fenomena tergantung pada
sejarahnya. Wawasan utama fenomenologi adalah “pengertian dan penjelasan dari suatu realitas
harus dibuahkan dari gejala realitas itu sendiri” (Aminuddin, 1990:108). Dalam perkembangannya,
fenomenologi memang ada beberapa macam, antara lain: (a) fenomenologi Edid etik dalam
linguistik; (b) fenomenologi Ingarden dalam sastra, artinya pengertian murni ditentukan melalui
penentuan gejala utama, penandaan dan pemilahan, penyaringan untuk menentukan keberadaan,
danpenggambaran gejala; (c) fenomenologi transendental; (d) fenomenologi eksistensial. Bagi
fenomenologi transendental, keberadaan realitas sebagai “objek” secara tegas ditekankan.
Kesadaran aktif dalam menangkap dan merekonstruksi kesadaran terhadap suatu gejala amat
penting. Bagi fenomenologi eksistensial, penentuan pengertian dari gejala budaya semata-mata
tergantung individu. Refleksi individual menjadi “guru” bagi individu itu sendiri dalam rangka
menemukan kebenaran.
B. SEJARAH FENOMENOLOGI
Pada masa sebelum ada cara berpikir fenomenologis, cara berpikir manusia dibagi dua kutup yang
berlawanan 180 derajat yaitu: idealisme dan realisme. Kaum penganut idealisme menilai benda-
benda maupun peristiwa yang terjadi disekitarnya berdasarkan ide-ide yang dikembangkan dalam
pikirannya. Kemudian ide-ide ini membentuk semacam “frame of reference” yang secara subjektif
dipahami sebagai kebenaran. Dalam memandang dunia sekitarnya seorang idealist akan memakai
acuan “frame of reference” yang merupakan ide-ide dalam pikirannya. Oleh karena itu seorang
idealist biasanya juga sangat subjektif dalam menilai dunia sekitarnya. Sumbangan idealisme ke
dunia adalah adanya penemuan-penemuan baru, ide-ide baru, karya besar di bidang sastra, dll.
Sedangkan kebalikannya kaum penganut realisme, melihat benda-benda maupun sesuatu peristiwa
yang ada sesuai dengan keadaan nyata benda tersebut yang
secara nyata bisa diraba, diukur atau punyai nilai tertentu. Kalau tidak bisa dibuktikan bahwa benda
itu nyata dan punya nilai atau ukuran tertentu maka benda itu tidak pernah ada. Oleh karena itu
penganut realisme cenderung kepada atheisme yang tidak percaya adanya Tuhan karena Tuhan
tidak bisa dilihat secara nyata. Realisme sangat berpengaruh di Eropa pada masa revolusi industri
dan sumbangannya kedunia adalah kemajuan “science & technology”. Pada sekitar awal abad ke 20,
walaupun revolusi industri terus bergerak, beberapa filsuf di Eropa seperti Edmund Hursell (1859 -
1938) mulai meragukan kehandalan cara berpikir realisme yang seolah-olah tidak ada satupun
dialam ini yang tidak bisa dijelaskan dengan ilmu pengetahuan alam.
Edmund Hursell memperkenalkan fenomenologi yang belakangan dikembangkan menjadi
eksistensialisme. Cara berpikir fenomenologi ditekankan dengan pengamatan terhadap gejala-gejala
dari suatu benda. Kalau seorang penganut realisme menilai benda dengan cara melihat bentuk,
ukuran dan nilai suatu benda, maka seorang penganut fenomenologi melihat benda dengan gejala-
gejala yang muncul dari benda tersebut.
Benda itu ada berdasarakan gejala-gejala yang timbul dari benda itu sendiri, kita hanya menangkap
gejala-gejala tersebut.
Semua benda punya pancaran gejala-gejalanya sendiri-sendiri, kita akan bisa lebih memahami benda
tersebut apabila kita menganggap benda sebagai subjek yang menceritakan diri sendiri melalui
gejala-gejala yang memancar darinya. Contohnya: kalau kita melihat kursi, kursi itu sendiri
memancarkan gejala-gejala bahwa dia itu kursi bukan meja Kita hanya perlu menangkap gejala yang
muncul dari kursi tersebut kemudian kita tidak akan salah bahwa dari gejala-gejala yang muncul dari
kursi itu bahwa kebenarannya dia itu kursi, bukan benda yang lain. Jelas cara berpikir ini adalah cara
berpikir yang radikal berbeda dengan cara berpikir idealisme maupunrealisme. Idealisme memahami
alam sekitarnya melalui manusia sebagai subject dengan ide-ide pikirannya, benda disimpulkan
sepenuhnya tergantung dari ide-ide pikiran. Realisme memahami benda kalau benda itu nyata
berdasarkan ukuran atau nilai. Sedangkan fenomenologi menganggap objek sebagai subjek yang
bercerita kepada kita melalui gejala-gejala yang timbul darinya.
Dalam konteks apapun kita memakai kata fenomenologi, kita ingat kepada pembedaan yang
dibawakan oleh Kant antara phenomenon atau penampakan relatis kepada kesadaran, dan
noumenon atau wujud dari realitas itu sendiri. Problema untuk mengompromikan realitas dengan
fikiran tentang realitas merupakan problema yang sama tuanya dengan filsafat sendiri. Problema itu
menjadi lebih sulit karena kita tak dapat mengetahui realitas tanpa hubungan dengan kesadaran
kita, dan kita dapat mengetahui kesadaran tanpa hubungan dengan realitas. Seorang filosof itu
mengabdikan diri untuk menembus rahasia; filosof fenomenologis berusaha untuk memecahkan
dualisme itu. Ia memulai tugasnya dengan mengatakan: Jika memang ada pemecahan soal, maka
pemecahan tersebut berbunyi: hanya fenomenologi yang tersajikan kepada kita dan oleh karena itu
kita harus melihatnya. Sebagaimana yang pernah ditulis oleh Maurice Merleau-Ponty,
‘’Fenomenologi adalah daftar kesadaran-kesadaran sebagai tempatnya alam’’.
Sebagai suatu gerakan filsafat, fenomenologi menjadi masyhur di Jerman pada seperempat
abad yang pertama dari abad ke-20, kemudian menjala ke Perancis dan Amerika Serikat. Pencetus
aliran fenomenologi adalah Edmund Husserl (1859-1938); pada usia 54 tahun, ia baru dapat
menyajikan permulaan penyelidikan-penyelidikannya, yaitu deskripsi pertama yang telah diolah baik
tentang fenomenologi sebagai metoda yang keras untuk menganalisa kesadaran. Kemudian ia diikuti
oleh Max Scheler (1874-1928) yang mempunyai keyakinan bahwa filsafat itu, pada pokoknya,
membicarakan tentang situasi historis manusia. Kemudian Scheler tertutup oleh pengaruh Martin
Heidegger (1899-1976) dan Maurice Merleau-Ponty (1908-1961). Biasanya pandangan Heidegger
dikelompokkan dalam ‘’eksistensialisme’’, akan tetapi walaupun ia telah
menanamkan pengaruhnya, namun ia menjelaskan bahwa ia tidak mau disamakan dengan gerakan
Sartre.
Sifat-sifat yang pokok dari fenomenologi dapat dijelaskan secara luas, tetapi kita harus ingat
bahwa ada arti yang sempit bagi fenomenologi, yaitu arti sebagai metoda. Bagi fenomenologis,
berfilsafat harus dimulai dengan usaha yang terpadu untuk melukiskan isi kesadaran. Suatu usaha
yang jelas adalah sangat perlu bagi deskripsi. Dengan deskripsi ini dimaksudkan suatu pandangan
hati-hati terhadap struktur yang pokok dari benda, tepat seperti yang nampak. Fenomenologis
memperhatikan benda-benda yang kongkrit, bukan dalam arti yang ada dalam kehidupan sehari-
hari, akan tetapi dengan struktur yang pokok dari benda-benda tersebut, sebagaimana yang kita
rasakan dalam kesadaran kita, karena kesadaran kita adalah ukuran dari pengalaman.
C. TOKOH-TOKOH FENOMENOLOGI
1. Edmund Husserl
Fenomenologi adalah ilmu yang fundamental dalam berfilsafat. Fenomenologi adalah ilmu tentang
hakikat dan bersifat a priori. Bagi Husserl fenomena mencakup noumena (pengembangan dari
pemikiran Kant). Pengamatan Husserl mengenai struktur intensionalitas kesadaran, merumuskan
adanya empat aktivitas yang inheren dalam kesadaran, yaitu (1) objektifikasi (2) identifikasi (3)
korelasi (4) konstitusi. Fenomenologi Husserl pada prinsipnya bercorak idealistik, karena
menyerukan untuk kembali kepada sumber asli pada diri subjek dan kesadaran. Konsepsi Husserl
tentang “aku transedental” dipahami sebagai subjek absolut, yang seluruh aktivitasnya adalah
menciptakan dunia.
Pokok-pokok pemikiran Husserl:
1. Fenomena adalah realitas sendiri yang tampak.
2. Tidak ada batas antara subjek dengan realitas
3. Kesadaran bersifat intensional.
4. Terdapat interaksi antara tindakan kesadaran (neosis) dengan objek yang disadari (neoma).
Menurut Edmund Husserl prinsip segala prinsip adalah intuisi langsung yang dapat dipakai
sebagai kriterium . Edmund Husserl menyimpulkan bahwa kesadaran harus menjadi dasar filsafat.
Edmund Husserl merumuskan cita-citanya untuk mendasari filsafat sebagai suatu ilmu yang disebut
fenomenologi yaitu suatu pengetahuan tentang apa-apa yang tampak atau apa yang menampakkan
diri. Ia menerangkan bahwa fenomenologi merupakan metode dalam filsafat, ia merupakan rencana
tindakan dalam menyimpulkan fenomena murni.
Edmund Husserl memahami fenomenologi sebagai suatu analisis deskriptif serta introspektif
mengenai kedalaman dari semua bentuk kesadaran dan pengalaman-pengalaman langsung; religius,
moral, estetis, konseptual, serta indrawi. Perhatian filsafat, menurutnya, hendaknya difokuskan pada
penyelidikan tentang Labenswelt (dunia kehidupan) atau Erlebnisse (kehidupan subjektif dan
batiniah).
Fenomenologi merupakan metode dan filsafat. Sebagai metode, fenomenologi membentangkan
langkah-langkah yang harus diambil sehingga kita sampai pada fenomena yang murni. Fenomenologi
mempelajari dan melukiskan ciri-ciri intrinsik fenomen-fenomen sebagaimana fenomen-fenomen itu
sendiri menyingkapkan diri kepada kesadaran. Kita harus bertolak dari subjek (manusia) serta
kesadarannya dan berupaya untuk kembali kepada “kesadaran murni”. Untuk mencapai bidang
kesadaran murni, kita harus membebaskan diri dari pengalaman serta gambaran kehidupan sehari-
hari. Sebagai filsafat, fenomenologi menurut Husserl memberi pengetahuan yang perlu dan esensial
mengenai apa yang ada. Dengan demikian fenomenologi dapat dijelaskan sebagai metode kembali
ke benda itu sendiri (Zu den Sachen Selbt), dan ini disebabkan benda itu sendiri merupkan objek
kesadaran langsung dalam bentuk yang murni
Husserl sangat tertarik dengan penemuan makna dan hakikat dari pengalaman. Dia berpendapat
bahwa terdapat perbedaan antara fakta dan esensi dalam fakta, atau dengan kata lain perbedaan
antara yang real dan yang tidak. Berikut adalah komponen konseptual dalam fenomenologi
transcendental Husserl:
a. Kesengajaan (Intentionality)
Kesengajaan (intentionality) adalah orientasi pikiran terhadap suatu objek (sesuatu) yang menurut
Husserl, objek atau sesuatu tersebut bisa nyata atau tidak nyata. Objek nyata seperti sebongkah
kayu yang dibentuk dengan tujuan tertentu dan kita namakan dengan kursi. Objek yang tidak nyata
misalnya konsep tentang tanggung jawab, kesabaran, dan konsep lain yang abstrak atau tidak real.
Husserl menyatakan bahwa kesengajaan sangat terkait dengan kesadaran atau pengalaman
seseorang dimana kesengajaan atau pengalaman tersebut dipengaruhi oleh faktor kesenangan
(minat), penilaian awal, dan harapan terhadap objek. Misalnya minat terhadap bola akam
menentukan kesengajaan untuk menonton pertandingan sepak bola.
b. Noema dan Noesis
Noema atau noesis merupakan turunan dari kesengajaan atau intentionality. Intentionality adalah
maksud memahami sesuatu, dimana setiap pengalaman individu memiliki sisi obyektif dan subyektif.
Jika akan memahami, maka kedua sisi itu harus dikemukakan. Sisi obyektif fenomena (noema)
artinya sesuatu yang bisa dilihat, didengar, dirasakan, dipikirkan, atau sekalipun sesuatu yang masih
akan dipikirkan (ide). Sedangkan sisi subyektif (noesis) adalah tindakan yang dimaksud (intended act)
seperti merasa, mendengar, memikirkan, dan menilai ide.
c. Intuisi
Intuisi yang masuk dalam unit analisis Husserl ini dipengaruhi oleh intuisi menurut Descrates yakni
kemampuan membedakan “yang murni” dan yang diperhatikan dari the light of reason alone
(semata-mata alasannya). Intuisilah yang membimbing manusia mendapatkan pengetahuan. Bagi
Husserl, intuisilah yang menghubungkan noema dan noesis. Inilah sebabnya fenomenologi Husserl
dinamakan fenomenologi transendental, karena terjadi dalam diri individu secara
mental(transenden).
d. Intersubjektivitas
Makna intersubjektif ini dijabarkan oleh Schutz. Bahwa makna intersubjektif ini berawal dari konsep
‘sosial’ dan konsep ‘tindakan’. Konsep sosial didefinisikan sebagai hubungan antara dua atau lebih
orang dan konsep tindakan didefinisikan sebagai perilaku yang membentuk makna subjektif. Akan
tetapi, makna subjektif tersebut bukan berada di dunia privat individu melainkan dimaknai secara
sama dan bersama dengan individu lain. Oleh karenanya, sebuah makna subjektif dikatakan
intersubjektif karena memiliki aspek kesamaan dan kebersamaan (common and shared)
Jika kita ingin mengerti arti fenomenologi sebagai suatu sikap falsafi masa kini, kita harus
mengetahui lebih dahulu apa yang dimaksud oleh pendirinya Edmund Husserl. Seperti yang dikatakn
di atas, fenomenologi merupakan metoda dan filsafat. Sebagai metoda ia membentangkan langkah-
langkah yang harus diambil sehingga kita sampai kepada fenomena yang murni; kita harus mulai
dengan subyek (manusia) serta kesadarannya dan berusaha untuk kembali kepada ‘’kesadaran yang
murni’’. Untuk mencapai bidang kesadaran murni, kita harus membebaskan diri dari pengalaman
serta gambaran kehidupan sehari-hari; jika hal ini sudah dilakukan, akan tersisa gambaran-gambaran
yang esensial atau intuisi esensi (intuition of essence). Sebagai contoh, warna ‘’merah’’, tidak kurang
kebendaannya dari pada seekor kuda, karena masing-masing mempunyai esensi yang bebas,
terlepas dari eksistensi yang kongkrit dan mungkin (contingent). Cukuplah bahwa pengalaman
tentang ‘’merah’’ dapat dibedakan dari pengalaman tentang hijau, sebagaimana pengalaman
tentang kuda dapat dipisahkan dari pengalaman tentang manusia.
Lebih jauh, fenomenologi berusaha untuk menyajikan filsafat sebagai metoda yang pokok dan
otonom, suatu sains akar (root science) yang dapat mengabdi kepada segala pengetahuan.
Berlawanan dengan metoda sains obyektif, logika formal dan metode diatlektik yang mengatasi
rintangan, yakni orang yang melakukan persepsi. Sebagai filsafat, fenomenologi menurut Husserl
memberi pengetahuan yang perlu dan esensial tentang apa yang ada. Dalam langkah-langkah
penyelidikannya, ia menemukan obyek-obyek (yang ta terbatas banyakny) yang membentuk dunia
yang kita alami. Benda tersebut dapat dilukiskan menurut kesadaran di mana ia ditemukan. Dengan
begitu fenomenologi dijelaskan sebagai kembali kepada benda, sebagai lawan dari ilusi atau susunan
fikiran, jutstru karena benda adalah obyek kesadaran yang langsung dalam bentuknya yang murni.
2. Martin Heidegger
Konsep “destuksi fenomenologis”, menyerukan agar kembali pada realitas yang sesungguhnya atau
“gejala pertama dan yang sebenarnya”. Cara kita terhubung dengan sesuatu itu, seperti palu yang
memasukkan paku. Fenomenologi berfungsi sebagai alat pembuka berkenaan dengan situasi yang
kita hadapi, tentu saja dalam konteks sosial. Fenomenologi didefinisikan sebagai pengetahuan dan
keterampilan membiarkan sesuatu seperti apa adanya. Pemikirannya yang paling inovatif, adalah
mencari “cara untuk menjadi” lebih penting ketimbang mempertanyakan apa yang ada di sekitar
kita. Pemahaman mengenai “menjadi” didapatkan dengan fenomenologi. Pada tahun 1916 Husserl
menerima jabatan Guru Besar filsafat di German Universitybof Freiburg. Seorang di antara
mahasiswanya adalah Martin Heidegger. Ia memutuskan untuk belajar filsafat setelah membaca
karangan Husserl berjudul Logical Investigations. Caranya Husserl mengajar adalah dalam bentuk
memimpin para mahasiswa dalam ‘’melihat’’ secara fenomenologi; ia melarang menggunakan ide-
ide yang belum diuji yang terdapat dalam tradisi-tradisi fisafat. Ia menolak kembali kepada otoritas
atau kepada nama-nama besar dalam sejarah filsafat. Heidegger merasa bahwa metoda semacam
itu merupakan pendekatan yang paling baik bagi problem-problemnya sendiri. Heidegger
memajukan tiga soal pokok: siapakah manusia itu? Apakah wujud (being) yang kongkrit? Dan satu
lagi, soal yang paling serius: Apakah wujud (being, realitas tertinggi) itu?
soal yang paling pokok bagi heidgger adalah: Apakah arti kata-kata “aku ada”? manusia adalah suatu
makhluk yang “terlempar” di dunia ini tanpa persetujuannya. Ia perlu mengakui keterbatasannya. Ia
ke luar dari jurang yang sangat dalam, untuk menghadapi jurang yang sangat dalam. Dalam
menghadapi ketidakadaan (nothingess) ia gelisah, tetapi kegelisahannya memungkinkannya untuk
menjadi sadar tentang eksistensinya. Dalam mempelajari dirinya, manusia menemukan soal-soal
kesementaraan (temporality) takut dan khawatir, hati kecil dan dosa, ketidakadaan (nothingness)
dan mati.
Heidegger sangat kritis terhadap manusia pada zaman kita, karena mereka hidup secara dangkal,
dan sangat memperhatikan kepada benda, kuantitas dan kekuasaan personal. Manusia modern
tidak mempunyai akar dan kosong oleh karenaia telah kehilangan rasa hubungan kepada wujud yang
sepenuhnya. Benda yang kongkrit harus ditingkatkan, sehingga manusia itu terbuka terhadap
keseluruhan wujud. Hanya dengan menemukan watak dinamis dari ekstensilah manusia dapat
diselamatkan dari kekeacauan dan frustasi yang mengancamnya. Seseorang harus hidup secara
otentik sebagai suatu anggota dari kelompok yang hanya tergoda dengan benda-benda dan urusan
hidup sehari-hari. Tetapi manusia dapat jika ia mau, hidup secara otentik, ia memusatkan
perhatiannya kepada kebenaran yang ia dapat mengungkapkannya, menghayati kehidupandalam
contoh kematian, dan dengan begitu memandang hidupnya dengan spektif yang baru.
3. Maurice Merleau-Ponty (1908-1961)
Berfokus pada “body image”, yakni pengalaman akan tubuh kita sendiri dan bagaimana pengalaman
itu berpengaruh pada aktivitas yang kita lakukan. Body image bukanlah bidang mental, juga bukan
bidang fisik mekanis, melainkan sesuatu yang terikat tindakan, di mana ada penerimaan terhadap
kehadiran orang lain di dalamnya. Ia membahas mengenai peranan perhatian dalam lapangan
pengalaman, pengalaman tubuh, ruang dalam tubuh, gerakan tubuh, tubuh secara seksual, orang
lain, dan karakteristik kebebasan.
Sampai akhir-akhir ini barangkali Merlau-ponty merupakan fenomenologis yang paling kurang
terkenal. Karyanya yang terpenting adalah dalam bidang psikologi falsafi, di mana ia
menggunakanmetode fenomenologi sebagai alat berfilsafat. Ia memiliki pengetahuan yang luas
tentang penemuan-penemuan dan eksperimen-eksperimen psikologi modern, khususnya psikologi
Gestalt; semua itu mendorongnya untuk mengalihkan perhatiannya dari sifat psikologi yang
behavioristik kepada aspek esensial dari pengalaman.
sebagaimana halnya Husserl ia yakin bahwa seorang filosof benar-benar harus memiliki kegiatannya
dengan meneliti pengalaman-pengalamannya sendiri tentang realitas; dengan begitu ia menjauhkan
diri dari dua ekstrim yait: pertama, hanya meneliti atau mengulangi penelitian tentang apa yang
telah dikatakan orang tentang realitas, dan kedua, hanya memperhatikan segi-segi dari luar
pengalaman, tanpa menyebut-nyebut realitas sama sekali.
Walaupun Merleau-Ponty setuju dengan Husserlbahwa kita tak dapat mengetahui ding an sich dan
kita hanya dapat mengetahui benda-benda yang dapat dicapai oleh kesadaran manusia, namun ia
mengatakan lebih jauh lagi, yakni bahwa semua pengalaman perseptual membawa suatu syarat
yang esensial tentang suatu alam di atas kesadaran. Oleh karena itu, maka deskripsi
fenomenalogiyang dilakuakn oleh Merleau-Ponty tidak hanya berurusan dengan data, rasa atau
esensi saja, akan tetapi menurutnya, kita melakukan perjumpaan perseptual dengan alam. Merleau-
Ponty menegaskan sangat perlunya persepsi sebagai cara untuk mencapai yang real. Pentingnya
Merleau-Ponty bagi fenomenologi adalah karena ia memasukkan ide tentang dialektik ke dalam
fenomenologi. Ia sering dinamakan filosof kekaburan. Hal ini bukan berarti bahwa pikirannya kabur,
akan tetapi Merleau-Ponty menganggap bahwa dialektik itu adalah esensial bagi filsafat,
sebagaimana Sartre menganggap absurditas (tidak masuk akal) ciri khas bagi filsafat. Dalam
karangannya, Les aventures de la dialectique. bahwa agar dialektik subjek-objek itu benar (valid) ia
harus tetap kabur, jika tidak ia akan bahwa deskripsi fenomenologis tidak dapat diselesaikan.
Deskripsi fenomenologis memberi gambaran tentang dunia dalam proses, dan proses itu tidak dapat
diramalkan; yang dapat diberi deskripsi adalah hal-hal yang telah jadi. Dunia dalam sejasrahnya tidak
mengikuti contoh yang sudah dikonsepsikan; sebaliknya alam mempunyai arti dengan melului
sejarah, dan sejarah yang benar adalah sejarah yang melalui dialek subyek-obyek. Oleh karena itu,
paham kita tentang dunia bergantung kepada kemampuan manusia untuk memperbesar akalnya
sedemikian rupa sehingga dapat mencakup yang non-rasional dan yang irasional. “perhatian filsafat
kepada yang mungkin terjadi (kontingen), kepada yang kabur, pada segi yang gelap dari benda, bagi
Merleau-Ponty adalah hanya merupakan jalan untuk lebih setia kepada tugas akal itu sendiri, yakni
tugaas pemikiran yang tidak terbatas”.
4. Jean Paul Satre
Kesadaran adalah kesadaran akan objek, hal ini sejalan dengan pemikiran Husserl. Dalam model
kesengajaan versi Satre, pemain utama dari kesadaran adalah fenomena. Kejadian dalam fenomena
adalah kesadaran dari objek. Sebatang pohon hanyalah satu fenomena dalam kesadaran, semua hal
yang ada di dunia adalah fenomena, dan di balik sesuatu itu ada “sesuatu yang menjadi. Kesadaran
adalah menyadari “sesuatu di balik demikian, “aku” bukanlah apa-apa, melainkan hanya sebuah
bagian dari tindakan sadar, termasuk bebas untuk memilih. Metode dapat dilihat dari gaya penulisan
dalam deskripsi interpretatif mengenai tipe-tipe pengalaman dalam situasi yang relevan.
5. Max Scheler (1874-1928)
Menerapkan metode fenomenologi dalam penyelidikan hakikat teori pengenalan, etika, filsafat
kebudayaan, keagamaan, dan nilai. Secara skematis, pandangan Scheler mengenai fenomenologi
dibedakan ke dalam tiga bagian, yakni:
1. Penghayatan (erleben), atau pengalaman intuitif yang langsung menuju ke “yang diberikan”.
Setiap manusia menghadapi sesuatu dengan aktif, bukan dalam bentuk penghayatan yang pasif.
2. Perhatian kepada “apanya” (washiet, whatness, esensi), dengan tidak memperhatikan segi
eksistensi dari sesuatu. Hasserl menyebut hal ini dengan “reduksi transedental”.
3. Perhatian kepada hubungan satu sama lain (wesenszusammenhang) antar esensi. Hubungan
ini bersifat a priori (diberikan) dalam institusi, sehingga terlepas dari kenyataan. Hubungan antar
esensi ini dapat bersifat logis maupun non logis.
Berdasarkan pemahaman fenomenologi-nya, Scheler menggolongkan nilai ke dalam empat
kelompok, yaitu:
1. Nilai meterial, atau nilai yang menyangkut kesenangan dan ketidaksenangan. Misalnya
kenikmatan yang bersifat lahiriah dan inderawi, seperti rasa enak, pahit, manis, dsb.
2. Nilai vital, atau nilai yang menyangkut kesehatan. Misalnya perasaan lelah, segar, stress, dsb.
3. Nilai rohani atau nilai estetis, seperti nilai benar dan salah. Nilai rohani ini biasanya
berhubungan dengan pengetahuan murni atau pengetahuan yang dijalankan tanpa pamrih.
4. Nilai kudus atau nilai yang menyangkut objek-objek absolut yang terdapat dalam bidang
religius. Misalnya nilai kitab suci, utusan Tuhan, dosa, dsb.
Kemudian Scheler mengemukakan lima kriteria untuk menentukan hierarki dari nilai-nilai tersebut.
Berikut ini adalah kriteria tersebut:
1. Berdasarkan lamanya nilai itu dirasakan. Nilai kebahagian dipandang lebih tinggi daripada nilai
kenikmatan.
2. Berdasarkan dapat dibagi atau tidaknya suatu nilai. Misalnya barang seni akan dipandang lebih
bernilai ketimbang makanan, karena barang seni tidak bisa dibagi-bagi.
3. Berdasarkan ketergantungannya pada nilai yang lain. Sesuatu akan kembali tinggi bila ia tidak
bergantung pada yang lain.
4. Berdasarkan kepuasan yang ditimbulkannya.
5. Berdasarkan pengalaman organisme subjek.
DAFTAR ISI
http://m-f-s-fpsi08.web.unair.ac.id/artikel_detail-47851-PSIKOLOGI
PENDEKATAN%20FENOMENOLOGI.html
http://amrinarose13.blogspot.com/2013/03/fenomenologi.html
http://ahmadrimba.wordpress.com/2010/04/27/sejarah-perkembangan-fenomenologi/
Harold H. Titus, dkk (1984). living issues in philosophy persoalan-persoalan filsafat. Penerbit Bulan
Bintang
http://id.wikipedia.org/wiki/jean-Paul Sartre
http://id.wikipedia.org/wiki/Max_Scheler
http://pediahmad.wordpress.com/2010/06/15/fenomenologi-maurice-merleau-ponty/