Anda di halaman 1dari 16

MAKALAH PSIKOLOGI KOGNITIF

Nama Kelompok 1:

Afni Wulandari (1051447)


Elfa Inkabaturia C (13524486)
Juliana Agnes (15514729)
Syahrul Ramadhan S (1C514909)
Vidyakansha Purnagita (1C514040)

4PA18
Dwi Gita Verasari

Universitas Gunadarma

2017/2018
A. Pengertian Psikologi Kognitif
Pengertian dari kognisi atau kogitif adalah ilmu yang mempelajari
mengenai hal-hal yang dialami manusia, diantaranya adalah seperti sikap, ide,
harapan dan sebagainya. Terlepas dari itu belum ada kesepakatan secara umum
mengenai kata yang serapan dari cognition.
Psikologi kognitif membahas persepsi dan pemahaman terhadap informasi,
membahas alur pikiran. Psikologi positif adalah ilmu yang menyelidiki pola
piker manusia. Psikologi kognitif dapat dipandang sebagai studi terhadap
proses-proses yang melandasi dinamika mental. Sesungguhnya psikologi
kognitif meliputi segala hal yang kita lakukan.
Menurut Solso dkk psikologi kognitif adalah ilmu mengenai pemrosesan
informasi . maksudnya adalah cara kita memperoleh dan memproses
informasi, cara infromasi tersebut disimpan dan di proses oleh otak dan cara
menyelesaikan masalah, berpikir dan menyusun bahasa dan bagaimana proses-
proses ini ditampilkan dalam prilaku yg dapat diamati
Kemudian menurut Suharnan Psikologi kognitif dapat didefinisikan
sebagai suatu studi ilmiah mengenai proses mental atau aktivitas pikiran.
Proses mental atau pikiran ini meliputi bagaimana seseorang memperoleh
informasi, bagaimana informasi ini kemudian direpresentasikan dan
diinformasikan sebagai pengetahuan, bagaimana pengetahuan itu disimpan
dalam ingatan kemudian dimunculkan kembali, bagaimana pengetahuan itu
digunakan sesseorang untuk mengarahkan sikap dan perilakunya
Dan menurut Glass & Holyoak Psikologi kognitif merupakan psikologi
yang memfokuskan studi bagaimana pikiran manusia memproses informasi
sehingga menjadi pengetahuan yang disimpan didalam ingatan, kemudian
menggunakan pengetahuan itu didalam melakukan tugas atau aktivitasnya.Oleh
karena itu diperoleh melalui informasi yang diproses lebih lanjut, maka pola
kognitif juga sering disebut psikologi pemrosesan data
B. Sejarah Psikologi Kognitif
Dari seluruh lingkup studi psikologi, psikologi kognitif tampaknya
memiliki sejarah terpanjang, diawali dari para filsuf yang menanyakan asal
muasal pengetahuan dan bagaimana pengetahuan ditampilkan dalam pikiran.
Studi aksara hieroglif Mesir Kuno dalam kepenulisannya meyakini bahwa
Aristoteles menyatakan pengetahuan adalah berada di jantung. Akan tetapi
berbeda dengan gurunya Aristoteles, yakni Plato, berpendapat bahwa
pengetahuan tersimpan dalam otak. Terkait bagaimana pengetahuan
ditampilkan dalam pikiran ada dua perspektif yang telah diajukan, yakni
perspektif empiris dan nativis. Perspektif empiris memandang pengetahuan
diperoleh dari pengalaman sepanjang hidup, sedangkan perspektif nativis
menyatakan bahwa pengetahuan didasarkan pada karakteristik genetis dalam
otak. Dengan kata lain, menurut pandangan nativis manusia dilahirkan dengan
pengetahuan yang sudah tersimpan didalam otak.
Abad ke-18 yang dikenal juga sebagai abad pencerahan (renaisans) adalah
abad terjadinya perubahan besar-besaran dalam teknologi, sosial, dan politik
yang dipelopori para penganut empirisme dari inggris yaitu George Berkeley,
David Hume, James Mill, dan John Stuart Mill. Pernyataannya John Stuart Mill
pada abad renaisans menyatakan bahwa representasi internal yang terbagi
dalam tiga jenis: (1) Peristiwa sensorik langsung, (2) Peristiwa yang disimpan
dalam memori, dan (3) Transformasi dari peristiwa-peristiwa tersebut yang
dalam proses berpikir.
Pada abad ke-19 muncullah para psikologi dari bidang ilmu filsafat yang
kemudian membentuk suatu disiplin ilmu baru meskipun bersumber dari ilmu
filsafat, didasarkan pada hipotesis yang dapat diuji dan pada data-data empiris,
alih-alih menggunakan spekulasi filosofis. Salah satu faktor yang sangat
mencolok pada masa ini adalah aktivitas dari para psikolog awal. Pada paruh
akhir pada abad ke-19 teori-teori represetasi pengetahuan sekali lagi
terdikotomi menjadi struktur dan proses. Wundt di Jerman dan muridnya
Titchener (seorang Amerika) menekankan struktur dari representasi mental
melalui penelitian mereka terkait intropeksi, sedangkan Brentano di Austria
menekankan proses atau tindakan dari representasi mental.
Pada awal abad ke-20, lahirlah teori Behaviorisme yang mengalami
perubahan konsep radikal. Dan behavioris mengatakan bahwa otak manusia
adalah otak pasif yang memandang bahwa otak manusia dan binatang semata-
mata hanya psikologi stimulus-respon. Namun beberapa tahun kemudian, pada
tahun 1932 terjadi sebelum kebangkitan Revolusi kognitif seorang behavioris
dari Universitas California yang bernama Edward C. Tolman. Tolman
menerbitkan sebuah buku yang menjelaskan tentang eksprimen terhadap tikus
yang ditempatkan dalam labirin dengan mempelajari stimulus-respon darinya.
Akan tetapi, psikologi kognitif berasal dari pemikiran behavior. Selanjutnya,
beberapa tahun kemudian dengan melewati berbagai eksprimen dari berbagai
tokoh maka psikologi kogntif terbentuk pada tahun 1960-an. Adapun tokoh
dari psikologi kognitif adalah Edward C. Tolman (1886-1959) dengan
mengembangkan konsep peta kognitif, beliau juga merupakan behavioris dari
Universitas California di Berkeley dengan menerbitkan buku yang pertamanya
berjudul Purposive Behavior In Animals And Men.

C. Domain Psikologi Kognitif


Menurut Benjamin terdapat beberapa Domain kognitif :
1. Pengetahuan (Knowledge)
Berisikan kemampuan untuk mengenali dan mengingat peristilahan,
definisi,fakta-fakta, gagasan,pola, urutan, metodologi, prinsip dasar dsb.
Ex : ketika diminta menjelaskan manajemen kualitas, orang yg berada di
level ini bisa menguraikan dengan baik definisi dari kualitas, karakteristik
produk yang berkualitas, standar kualitas minimum untuk produk.
2. Pemahaman ( Comprehension)
Berisikan kemampuan mendemonstrasikan fakta dan gagasan
mengelompokkan dengan mengorganisir, membandingkan,
menerjemahkan, memaknai, memberi deskripsi dan menyatakan gagasan
utama
3. Aplikasi (Application)
Di tingkat ini, seseorang memiliki kemampuan untuk menerapkan gagasan,
prosedur, metode, rumus, teori, dsb didalam kondisi kerja.
Ex : ketika diberi informasi tentang penyebab meningkatkan reject di
produksi, seseorang yg berada di tingkat aplikasi akan mampu merangkum
dan menggambarkan penyebab turunnya kualitas dalam bentuk fish bone
diagram
4. Analisis (Analysis)
Di tingkat analisis, seseorang akan mampu menganalisis informasi yang
masuk dan membagi-bagi atau menstrukturkan informasi ke dalam bagian
yg lebih kecil untuk mengenali pola atau hubungannya dan mampu
mengenali serta membedakan faktor penyebab dan akibat dari sebuah
skenario yg rumit.
Ex : seseorang akan mampu memilah milih penyebab meningkatnya reject,
membanding-bandingkan tingkat keparahan dari setiap penyebab dan
menggolongkan setiap penyebab ke dalam tingkat keparahan yg
ditimbulkan
5. Sintesis (Synthesis)
Mampu menjelaskan struktut atau pola dari sebuah skenario yg sebelumnya
tidak terlihat dan mampu mengenali data atau informasi yg harus didapat
untuk menghasilkan solusi yg dibutuhkan
Ex : seorang manajer kualitas mampu meberikan solusi untuk menurunkan
tingkat reject di produksi berdasarkan pengamatannya terhadap semua
penyebab turunnya kualitas produksi
6. Evaluasi (Evaluation)
Kemapuan untuk memberikan penilain terhadap solusi, gagasan,
metodologi dsb dengan menggunakan kriteria yg cocok atau standar yg ada
untuk memastikan nilai efektivitas atau manfaatnya.
Ex : di tingkat ini manajer kualitas harus mampu menilai alternatif solusi
yg sesuai untuk dijalankan berdasarkan efektivitas, urgensi, nilai manfaat,
nilai ekonomis dsb
D. Tahap Pemprosesan Informasi
Pemrosesan informasi lazimnya dihubungkan dengan rangkaian peristiwa-
peristiwa yang terjadi menurut waktu, dan banyak model kognitif
menggunakan pendekatan ini. Perspektif ini diawali oleh tiga asumsi. Kognisi
dapat dipahami dengan menganalisanya menjadi serangkaian tahapan yang
(sebagian besar) terjadi berurutan. Dalam setiap tahap, terjadi proses unik
terkait informasi yang masuk. Respons yang ditimbulkan diasumsikan sebagai
hasil dari rangkaian tahapan dari psoses ini. Setiap tahap menerima informasi
dari tahap sebelumnya dan kemudian menjalankan fungsinya yang unik. Setiap
komponen dalam pemrosesan informasi saling terhubung satu sama lain, dan
untuk penyederhaan.
Sebuah model pemrosesan informasi paling awal (dan paling sering
dikutip) membahas memori. Pada tahun 1980, William James mengembangkan
konsep memori menjadi memori primer dan memori sekunder. Memori utama
dihipotesiskan berhubugan dengan kejadian-kejadian yang bersifat seketika,
sedangkan memori sekunder diasumsikan sebagai memori permanen, sisa-sisa
memori primer yang tidak terhapuskan.
Proses informasi dalam ingatan dimulai dari proses penyandian informasi
(encoding), diikuti dengan penyimpanan informasi (stroge) dan diakhiri
dengan mengungkapkan kembali informas-informasi yang telah disimpan
dalam ingatan (retrival). Teori belajar pemerosesan informasi mendeskripsikan
tindakan belajar merupakan proses internal yang mencakup beberapa tahapan.
Encoding adalah proses memasukkan informasi ke dalam memori. Sistem
syaraf menggunakan kode internal yang merepresentasikan stimulus eksternal.
Dengan cara ini representasi objek/kejadian eksternal dikodekan menjadi
informasi internal dan siap disimpan.
Stroge adalah informasi yang diambilkan dari memori jangka pendek
kemudian diteruskan untuk diproses dan digabungkan ke dalam memori jangka
panjang. Namun tidak semua informasi dari memori jangka pendek dapat
disimpan. Kunci penting dalam penyimpanan di memori jangka panjang adalah
adanya motivasi yang cukup untuk mendorong adanya latihan berulang hal-hal
dari memori jangka pendek.
Retrieval adalah hasil akhir dari proses memori. Mengacu pada
pemanfaatan informasi yang disimpan. Agar dapat diambil kembali, informasi
yang disimpan tidak hanya tersedia tetapi juga dapat diperoleh karena
meskipun secara teoritis informasi yang disimpan tersedia tetapi tidak selalu
mudah untuk menggunakan dan menempatkannya.
Teori ini ditemukan oleh Gagne yang didasarkan atas hasil riset tentang
faktor-faktor yang kompleks pada proses belajar manusia. Teori pemrosesan
informasi umumnya berpijak pada tiga asumsi berikut:
1. Antara stimulus dan respon berpijak pada asumsi, yaitu pemrosesan
informasi ketika pada masing-masing tahapan dibutuhkan sejumlah waktu
tertentu.
2. Stimulus yang diproses melalui tahap-tahapan tadi akan mengalami
perubahan bentuk ataupun isinya.
3. Salah satu tahapan mempunyai kapasitas yang terbatas.

Dari ketiga asumsi tersebut, dikembangkan teori tentang komponen,


yaitu komponen struktur dan pengatur alur pemrosesan informasi (proses
kontrol). Komponen-komponen pemrosesan informasi dipilih berdasarkan
perbedaan fungsi, kapasitas bentuk informasi, serta proses terjadinya lupa.
Ketiga komponen tersebut adalah sebagai berikut :
1. Sensory Receptor (SR)
Sensory Receptor adalah sel tempat pertama kali informasi diterima dari
luar. Di dalam SR informasi ditangkap dalam bentuk aslinya, informasi
hanya bertahan dalam waktu yang sangat singkat dan mudah tergangu atau
berganti.
2. Working Memory (WM)
Working Memory diasumsikan mampu menangkap informasi yang
mendapat perhatian individu, perhatian dipengaruhi oleh persepsi.
Karekateristik Working Memory adalah memiliki kapasitas terbatas
(informasi hanya mampu bertahan 15 detik jika tidak diadakan
pengulangan) dan informasi dapat disandi dalam bentuk yang berbeda dari
stimulus aslinya. Artinya agar informasi dapat bertahan dalam WM,
upayakan jumlah informasi tidak melebihi kapasitas disamping melakukan
pengulangan.
3. Long Term Memory (LTM)
Long Term Memory diasumsikan: 1) berisi semua pengetahuan yang telah
dimiliki oleh individu, 2) mempunyai kapasitas tidak terbatas, dan 3)
bahwa sekali informasi disimpan di dalam LTM, ia tidak akan pernah
terhapus atau hilang. Sedangkan lupa adalah proses gagalnya
memunculkan kembali informasi yang diperlukan. Tennyson
mengemukakan proses penyimpanan informasi merupakan proses
mengasimilisasikan pengetahuan baru pada pengetahuan yang telah
dimiliki, yang selanjutnya berfungsi sebagai dadar pengetahuan.

E. Hubungan Persepsi dan Sensasi


1. Persepsi

Manusia sebagai makhluk sosial yang sekaligus juga makhluk


individual, maka terdapat perbedaan antara individu yang satu dengan
yang lainnya (Wolberg, 1967). Adanya perbedaan inilah yang antara lain
menyebabkan mengapa seseorang menyenangi suatu obyek, sedangkan
orang lain tidak senang bahkan membenci obyek tersebut. Hal ini sangat
tergantung bagaimana individu menanggapi obyek tersebut dengan
persepsinya. Pada kenyataannya sebagian besar sikap, tingkah laku dan
penyesuaian ditentukan oleh persepsinya.

Hasil interaksi antara dua faktor, yaitu faktor rangsangan sensorik


yang tertuju kepada individu atau seseorang dan faktor pengaruh yang
mengatur atau mengolah rangsangan itu secara intra-psikis. faktor-faktor
pengaruh itu, dapat bersifat biologis, sosial, dan psikologis. Karena adanya
proses pengaruh-mempengaruhi antara kedua faktor tadi, di mana di
dalamnya bergabung pula proses asosiasi, maka terjadilah suatu hasil
interaksi tertentu yang bersifat "gambaran psikis".

Persepsi Sosial

Persepsi sosial (social perception ) : suatu proses (tepatnya, proses-proses)


yang kita gunakan untuk mencoba memahami kehidupan, kita sering kali
melakukan hal ini. Menghabiskan banyak waktu dan usaha untuk mencoba
mengarti perilaku orang lain apa yang mereka sukai sebagai individu,
mengapa mereka bertingkah laku (atau tidak bertingkah laku) tertentu
dalam suatu situasi dan bagaimana prilaku mereka nanti dalam situasi yang
berbeda.

Ada banyak faktor yang dapat mempengaruhi persepsi diantaranya :

1. Ketersediaan informasi sebelumnya; ketiadaan informasi ketika


seseorang menerima stimulus yang baru bagi dirinya akan
menyebabkan kekacauan dalam mempersepsi. Oleh karena itu, dalam
bidang pendidikan misalnya, ada materi pelajaran yang harus terlebih
dahulu disampaikan sebelum materi tertentu. Seseorang yang datang di
tengah-tengah diskusi, mungkin akan menangkap hal yang tidak tepat,
lebih karena ia tidak memiliki informasi yang sama dengan peserta
diskusi lainnya. Informasi juga dapat menjadi cues untuk
mempersepsikan sesuatu.
2. Kebutuhan; seseorang akan cenderung mempersepsikan sesuatu
berdasarkan kebutuhannya saat itu. Contoh sederhana, seseorang akan
lebih peka mencium bau masakan ketika lapar daripada orang lain
yang baru saja makan.
3. Pengalaman masa lalu; sebagai hasil dari proses belajar, pengalaman
akan sangat mempengaruhi bagaimana seseorang mempersepsikan
sesuatu. Pengalaman yang menyakitkan ditipu oleh mantan pacar, akan
mengarahkan seseorang untuk mempersepsikan orang lain yang
mendekatinya dengan kecurigaan tertentu. Contoh lain yang lebih
ekstrim, ada orang yang tidak bisa melihat warna merah [dia
melihatnya sebagai warna gelap, entah hitam atau abu-abu tua] karena
pernah menyaksikan pembunuhan. Di sisi lain, ketika seseorang
memiliki pengalaman yang baik dengan bos, dia akan cenderung
mempersepsikan bosnya itu sebagai orang baik, walaupun semua anak
buahnya yang lain tidaksenangdengansibos.

Faktor psikologis lain yang juga penting dalam persepsi adalah berturut-
turut: emosi ,impresi dan konteks.

1. Emosi; akan mempengaruhi seseorang dalam menerima dan mengolah


informasi pada suatu saat, karena sebagian energi dan perhatiannya
(menjadi figure) adalah emosinya tersebut. Seseorang yang sedang
tertekan karena baru bertengkar dengan pacar dan mengalami
kemacetan, mungkin akan mempersepsikan lelucon temannya sebagai
penghinaan.
2. Impresi; stimulus yang salient / menonjol, akan lebih dahulu
mempengaruhi persepsi seseorang. Gambar yang besar, warna kontras,
atau suara yang kuat dengan pitchtertentu, akan lebih menarik seseorang
untuk memperhatikan dan menjadi fokus dari persepsinya. Seseorang
yang memperkenalkan diri dengan sopan dan berpenampilan menarik,
akan lebih mudah dipersepsikan secara positif, dan persepsi ini akan
mempengaruhi bagaimana ia dipandang selanjutnya
3. Konteks; walaupun faktor ini disebutkan terakhir, tapi tidak berarti
kurang penting, malah mungkin yang paling penting. Konteks bisa
secara sosial, budaya atau lingkungan fisik. Konteks
memberikan ground yang sangat menentukan
bagaimanafigure dipandang. Fokus pada figure yang sama, tetapi
dalam ground yang berbeda, mungkin akan memberikan makna yang
berbeda

2. Sensasi
Sensasi pada dasarnya merupakan tahap awal dalam penerimaan
informasi. Sensasi, atau dalam bahasa inggrisnya sensation, berasal dari
kaca latin, sensatus, yang artinya dianugerahi dengan indra, atau intelek.
Secara lebih luas, sensasi dapat diartikan sebagai aspek kesadaran yang
paling sederhana yang dihasilkan oleh indra kita, seperti temperatur tinggi,
warna hijau, rasa nikmatnya sebatang coklat.sebuah sensasi dipandang
sebagai kandungan atau objek kesadaran puncak yang privat dan spontan.
Benyamin B. Wolman (1973, dalam rakhmat, 1994) menyebutkan
sensasi sebagai pengalaman elementer yang segera, yang tidak
memerlukan penguraian verbal, simbolis, atau konseptual, dan terutama
sekali berhubungan dengan kegiatan alat indra.Apa pun definisi sensasi,
fungsi alat indra dalam menerima informasi dari lingkungan sangat penting.
Melalui alat indra, manusia dapat memahami kualitas fisik lingkungannya.
Lebih dari itu, melalui alat indralah, manusia memperoleh pengetahuan dan
semua kemapuan untuk berinteraksi dengan dunianya. Tanpa alat indra,
manusia sama, bahkan mungkin rendah lebih dari rumput-rumputan, karena
rumput dapat juga mengindra cahaya dan humiditas ( Lefrancois, 1974, dalam
rahmat, 1994 ).
Bagian penting dari teori deteksi sinyal yang berpengaruh besar
terhadap psikologi adalah implikasinya dalam pembelajaran ambang
penginderaan. Berdasarkan teori tersebut disimpulkan bahwa ambang
penginderaa bukan hanya kekuatan sinyal. Faktor-faktor yang
mempengaruhi ambang penginderaan adalah :
a. kekuatan sinyal;
b. sifat-sifat tugas/pekerjaan;
c. harapan individu;
d. konsekuensi-konsekuensi berupa penghargaan atau hukuman;
e. norma/standar/ukuran yang dikenakan individu.

Pengetahuan tentang factor-faktor yang mempengaruhi ambang


penginderaan manusia di atas memungkinkan kita untuk memahami
mengapa dan bagaimana individu hanya menerima stimulus/informasi
tertentu darin sekian banyak stimulus/informasi yang lain dari dunia
disekelilingnya.

F. Teori Deteksi Sinyal


Signal detection theory (SDT) adalah teknik yang bisa digunakan untuk
mengevaluasi sensitivitas dalam pengambilan keputusan. Awalnya
dikembangkan oleh periset radar di awal tahun 1950an (Peterson et al., 1954),
nilai SDT dengan cepat diakui oleh ilmuwan kognitif dan disesuaikan untuk
diterapkan dalam pengambilan keputusan manusia (Tanner and Swets, 1954;
Green and Swets, 1966) . Premis umum SDT adalah keputusan diambil dengan
latar belakang ketidakpastian, dan tujuan pembuat keputusan adalah untuk
menggoda keputusan keputusan dari kebisingan latar belakang. SDT dapat
diterapkan pada situasi pengambilan keputusan biner dimana respon pengambil
keputusan dapat dibandingkan dengan kehadiran atau tidak adanya target yang
sebenarnya. Keuntungan SDT sebagai ukuran pengambilan keputusan adalah
memberikan ukuran sensitivitas tanpa satuan, tanpa mempedulikan bias subjek,
yang dapat dibandingkan dengan sensitivitas lainnya melalui situasi yang
sangat berbeda.
SDT telah diterapkan dalam berbagai topik, termasuk penelitian memori
(Banks, 1970), akurasi diagnostik radiologi (Obuchowski, 2003), dan perhatian
yang berkelanjutan pada individu dengan ADHD (Huang-Pollock et al., 2012).
Bukti lebih lanjut tentang kegunaan SDT berasal dari fakta bahwa SDT sering
dibahas dalam kursus pengantar dan buku teks. Namun, meski dengan SDT
sebagai alat evaluatif, mekanisme SDT biasanya tidak dibahas dalam buku teks
sarjana, yang menunjukkan bahwa banyak siswa tidak diajarkan bagaimana
menerapkan SDT secara praktis dalam karir universitas mereka. Salah satu
alasannya adalah bahwa prosedur itu sendiri mungkin tampak menipu.
Sebagian besar sumber SDT membahas teori tersebut dengan ketelitian yang
melampaui pengetahuan matematika sebagian besar mahasiswa sarjana (Fisher,
2014). Namun, penerapan prinsip dasar SDT hanya membutuhkan pengetahuan
statistik yang tidak sempurna dan dapat dengan mudah diajarkan di tingkat
sarjana
Alasan lain bahwa SDT mungkin tidak tercakup dalam kurikulum sarjana
adalah kurangnya contoh menarik untuk menunjukkan kegunaan SDT.
Seringkali, contoh terkait dengan kinerja sensorik dan penerapan praktis teknik
SDT ke situasi pengambilan keputusan tingkat tinggi tidak segera terlihat oleh
siswa. Sebagai contoh, Goldstein (2014) dan Wolfe dkk. (2015), dua buku teks
pendahuluan untuk Sensasi dan Persepsi, diskusikan teori SDT sehubungan
dengan sensitivitas pendengaran dalam konteks kebisingan. Namun, ada
beberapa contoh menarik yang bisa digunakan di kelas untuk menunjukkan
fleksibilitas SDT kepada peserta didik. Mengingat pentingnya pembelajaran
aktif melalui contoh nyata ketika mempelajari prinsip-prinsip statistik abstrak
inheren seperti SDT (misalnya, Watts, 1991; Garfield dan Ben-Zvi, 2007),
tanggung jawabnya adalah pada pendidik untuk mengembangkan contoh
menarik untuk menarik minat mahasiswa sarjana.
G. Penyimpanan Ikonik dan Ekhoik
1. Penyimpanan Ikonik
Neiser (1967) menamai kesan kesan visual untuk menetap selama
jangka waktu singkat (sehingga dapat diproses lebih lanjut) sebagai memori
ikonik (iconic memory). Bagi banyak psikolog kognitif, istilah memory
menyiratkan adanya penyandian (coding) dan penyimpanan (storage)
informasi yang melibatkan proses proses kognitif tingkat tinggi.
Penyimpanan ikonik hanyalah menyerupai semacam arsip foto tentang
medan penglihatan. Setiap arsip hanya bertahan sekitar satu detik. Tujuan
arsip adalah memberikan otak kesempatan untuk mampu menyamai
kecepatan informasi visual yang diterima dari mata.
Banyak peneliti menemukan bahwa informasi yang diindera
direpresentasikan dengan akurat dalam memori ikonik, namun menghilang
dengan cepat (sekitar 250 milidetik hingga 4 detik) jikalau tidak dikirimkan
ke tahap tahap pemrosesan selanjutnya.
George Sperling (1960) memberikan argument bahwa jika ikon (atau
kesan visual) sedang memudar saat partisipan berusaha melaporkan seluruf
huruf dalam penyimpanan ikoniknya, maka partisipan mungkin hanya
melaporkan sebagian dari keseluruhan huruf tersebut. Sperling
mengasumsikan bila ia dapat menyusun sebuah cara untuk menguji memori
parsial atau bagian dari memori ikonik, ia dapat menghitung ukuran
penyimpanan ikonik yang sesungguhnya. Sperling mengembangkan suatu
teknik pelaporan-parsial. Jika para partisipan berupaya mengingat sembilan
huruf, mereka mungkin hanya sungguh-sungguh mampu mengingat empat
atau lima. Namun, dalam penelitiannya, Sperling menyajikan huruf-huruf
tersebut dengan nada yang berbeda seperti tinggi, sedang, dan rendah.
2. Penyimpanan Echoik
Menurut Niesser (1967) penyimpanan echoic serupa dengan
penyimpanan ikonik dalam dua hal: (1) informasi sensorik mentah
disimpan dalam ruang penyimpanan (agar informasi mentah dapat diolah
lebih lanjut) dan (2) jangka waktu penyimpanannya sangatlah singkat
(sama dengan memori ikonik, yakni sekitar 250 milidetik hingga 4 detik).
Seperti penyimpananya ikonik yang berfungsi menyediakan waktu
tambahan untuk mengamati stimuli yang menghilang dari penglihatan,
penyimpanan ekonik memberikan waktu tambahan bagi kita yang
mendengarkan pesan. Kegunaan penyimpanan ekonik menjadi jelas apabila
mempertimbangkan kerumitan proses dalam memahami sebuah
pembicaraan sederhana. Implus implus auditorik yang diindera sebagai
percakapan akan bertambah jumlahnya seiring berlalunya waktu.
Informasi yang terkandung dalam satu bagian kecil percakapan, musik,
atau bunyi-bunyian lain tidak akan bermakna kecuali ditempatkan dalam
konteks yang tepat, bersama suara-suara lain. Penyimpanan ekhoik
berfungsi sebagai lem yang secara singkat menyimpan informasi
auditorik sehingga seluruh informasi auditorik dapat dipahami.
Untuk menguji keberadaan ekhoik Moray, Bates, dan Barnett (1965)
menggunakan peralatan stereo dengan spiker ganda untuk menghasilkan
stimulasi auditorik. seorang partisipan diminta mendengarkan nada-nada
yang berbeda-beda dari keempat speaker tersebut, dan para partisipan
diminta untuk fokus pada satu sinyal auditorik yang diterima olehnya dari
apa yang dia tangkap oleh pendengarannya dari keempat sumber suara
yang berbeda-beda tadi, setelah itu partisipan diminta untuk mengulang apa
yang diingat dari hasil mendengarkan tadi (metode pelaporan penuh),
namun dalam metode pelaporan parsial yang dibantu oleh alat bantu
untuk membantu partisipan mengingat kembali apa yang dia dengar dari
keempat speaker tadi. Hasil percobaan ini mengindikasi bahwa metode
pelaporan parsial (yang dibantu oleh alat bantu) untuk mengingat kembali
apa yang telah didengar jauh lebih baik dibandingkan dengan pelaporan
secara langsung (tanpa alat bantu). Hasil ini menjadi dukungan terhadap
gagasan bahwa informasi auditorik juga disimpan selama beberapa saat
dalam penyimpanan sensorik, lebih tepatnya di penyimpanan ekhoik.
DAFTAR PUSTAKA

Budiningsih, C. Asri. 2005. Belajar dan pembelajaran, cet.1 Jakarta: Rineka Cipta

Bloom, Benjamin S., etc. 1956. Taxonomy of educational objectives : the

classification of educational goals, handbook I cognitive domain. New

York : Longmans, Green and Co.

Glass. A. L and Holyoak. K. J. (1986). Cognition. Second Sdition.Mc Graw-Hill

International, Auckland.

Gagne, M. Robert. 1970. The conditions of learning, United States of America.

Jalaluddin, Rahmat. 2008. Psikologi komunikasi. : Bandung Remaja Rosdakarya .

Solso, L. R., Maclin, H. O., dan Maclin, K. M. (2008). Psikologi kognitif. Jakarta:
Erlangga

Suharnan (2005). Psikologi kognitif. Surabaya: Srikandi.

Slameto. 2003. Belajar dan faktor yang mempengaruhinya. Jakarta : Rineka Cipta.

Anda mungkin juga menyukai