DOSEN PENGAMPU :
NURZENA M,Ag
Disusun Oleh :
KELOMPOK 11
DIMAS DWI PRABOWO (12110114461)
ILHAM SIDIK HIDAYATULLAH (12110114525)
KELAS 1-A
JURUSAN PENDIDIKAN
AGAMA ISLAM FAKULTAS
TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SULTAN SYARIF KASIM RIAU
1443 H/2021 M
KATA PENGANTAR
Pekanbaru, 23
September 2021
ii
Kelompok 11
iii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR............................................................................................ii
DAFTAR ISI.........................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN....................................................................................1
BAB II PEMBAHASAN...................................................................................2
3.1 Kesimpulan..............................................................................................13
3.2 Saran........................................................................................................13
Daftar Pustaka......................................................................................................14
iv
BAB I
PENDAHULUAN
1
BAB II
PEMBAHASAN
2
kepada “benda-benda” dimaksudkan adalah bahwa “benda- benda” diberi
kesempatan untuk berbicara tentang hakikat dirinya. Pernyataan tentang
hakikat “benda-benda” tidak lagi bergantung kepada orang yang membuat
pernyataan, melainkan ditentukan oleh “benda-benda” itu sendiri.
Akan tetapi, “benda-benda” tidaklah secara langsung memperlihatkan
hakikat dirinya. Apa yang kita temui pada “benda-benda” itu dalam
pemikiran biasa bukanlah hakikat. Hakikat benda itu ada di balik yang
kelihatan itu. Karena pemikiran pertama (first look) tidak membuka tabir
yang menutupi hakikat, maka diperlukan pemikiran kedua (second look).
Alat yang digunakan untuk menemukan hakikat pada pemikiran kedua ini
adalah intuisi. Istilah yang digunakan Husserl menunjukkan penggunaan
intuisi dalam menemukan hakikat adalah Wesenschau: melihat (secara
intuitif) hakikat gejala-gejala.
Sebenarnya upaya mengganggu dunia subyek oleh peneliti
bagaimanapun perlu dalam penelitian. Jika tidak, peneliti akan membuat
tafsiran dan harus mempunyai kerangka konsep untuk menafsirkannya.
Peneliti kualitatif percaya bahwa mendekati orang dengan tujuan mencoba
memahami pandangan mereka dapat menghalangi pengalaman subyek.
Bagi peneliti kualitatif terdapat perbedaan dalam (1) Derajat mengatasi
masalah metodologis/konseptual ini dan (2) cara mengatasinya. Sebagian
peneliti mencoba melakukan “deskripsi fenomenologis murni”. Di pihak
lain, peneliti lainnya kurang memperdulikan dan berusaha membentuk
abstraksi dengan jalan menafsirkan data berdasarkan “segi pandangan
mereka”. Apapun posisi seorang peneliti, yang jelas ia harus menyadari
persoalan teoretis dan isu metodologis ini.
Peneliti kualitatif cenderung berorientasi fenomenologis, namun
sebagian besar diantaranya tidak radikal, tetapi idealis pandangannya.
Mereka memberi tekanan pada segi subjektif, tetapi mereka tidak perlu
menoklak kenyataan adanya “di tempat sana”, artinya mereka tidak perlu
mendesak atau bertentangan dengan pandangan orang yang mampu
menolak tindakan itu. Sebagai gambaran diberikan contoh, misalnya guru
mungkin percaya bahwa ia mampu menembus dinding bata, tetapi untuk
3
mencapainya memerlukan pemikiran. Hakikatnya, batu itu keras ditembus,
namun guru itu tidak perlu merasakan bahwa ia tidak mampu berjalan
menembus dinding itu. Peneliti kulaitatif menekankan berpikir subyektif
karena, sebagai yang mereka lihat, dunia di dominasi oleh subyek yang
kurang keras dbandingkan dengan batu. Manusia kurang lebih sama
dengan ‘mesin kecil’ yang dapat melakukan sesuatu. Kita hidup dalam
imajinasi kita, lebih banyak berlatar simbolik daripada konkret
Fenomenologi dapat di golongkan menjadi dua pengertian. Dalam
pengertian yang lebih luas, fenemologi di artikan sebagai ilmu tentang
fenomen. Atau apa saja yang tampak. Dalam hal ini, fenomenologi
merupakan sebuah pendekatan filsafat yang berpusat pada analisis
terhadap gejala yang membanjiri kesadaran manusia. Sedangkan dalam
arti yang lebih sempit lagi, fenomenologi di artikan sebagai ilmu tentang
gejala yang menampakan diri pada kesadaran kita.4
Termasuk dalam studi agama, pendekatan fenomenologi menjadi
suatu metode dalam memahami agama lain dengan sudut pandang netral
serta menanggalkan identitas diri sendiri (epoche) serta berusaha
menghadirkan pengalaman keagamaan dari orang lain.5
2.2 Metode Pendekatan Fenomenologis dalam Studi Islam.
Agama adalah ekspresi simbolik yang bermacam-macam dan juga
merupakan respon seseorang terhadap sesuatu yang dipahami sebagai nilai
yang tidak terbatas. Ekspresi simbolik merupakan karakteristik utama dalam
memahami makna agama. Dengan demikian, tema pokok penelitian ilmiah
terhadap agama adalah fakta agama dan pengungkapannya atau dalam bahasa
sederhananya upaya menjadikan agama sebagai sasaran penelitian. Data-data
yang digunakan diperoleh melalui pengamatan terhadap kehidupan dan
kebiasaan keagamaan manusia ketika mengungkapkan sikap-sikap
keagamaannya dalam tindakan-tindakan seperti doa, ritual-ritual, konsep-
konsep religiusnya, kepercayaan terhadap yang suci dan sebagainya.
Meskipun membicarakan hal yang sama, berbagai disiplin mengamati
4
Lorens Bagus, Kamus Filsafat,....,hlm. 234.
5
(Abdullah, 1996)
4
danmeneliti dari aspek-aspek tertentu yang sesuai dengan tujuan dan
jangkauannya.
Persoalannya, agama tidak konstan akan tetapi selalu menyesuaikan
dengan kondisi sosial masyarakat, dalam arti keduanya saling mempengaruhi.
Sehingga menurut Taufik Abdullah, setidaknya penelitian agama pada
umumnya bermuara pada tiga poin utama, yaitu:
1. Menempatkan agama sebagai doktrin yang berangkat dari keinginan
mengetahui esensi ajaran dan kebenaran agama, sebagaimana
dilakukan para mujtahid dan pemikir agama. Dalam hal ini kajian
didalamMenenya adalah ilmu-ilmu keagamaan atau juga
perbandingan agama.
2. Memahami struktur dan dinamika masyarakat agama, dimana agama
merupakan awal dari terbentuknya suatu komunitas atau kesatuan
hidup yang diikat oleh keyakinan akan kebenaran hakiki yang sama
dan memungkinkan berlakunya suatu patokan pengetahuan yang juga
sama. Sehingga, meskipun berasal dari suatu ikatan spiritual, para
pemeluk agama membentuk masyarakat sendiri yang berbeda dari
komunitas kognitif lainnya.
3. Mengungkapkan sikap anggota masyarakat terhadap agama yang
dianutnya (psikologi agama). Jika kategori pertama mempersoalkan
substansi ajaran dengan segala refleksi pemikiran terhadap ajaran;
kategori kedua meninjau agama dalam kehidupan sosial dan dinamika
sejarah; kategori ketiga adalah usaha untuk mengetahui corak
penghadapan masyarakat terhadap simbol dan ajaran agama.
Penelitian agama tidak cukup hanya bertumpu pada konsep agama
(normatif) atau hanya menggunakan model ilmu-ilmu sosial, melainkan
keduanya saling menopang. Peneliti yang sama sekali tidak memahami
agama yang diteliti, akan mengalami kesulitan karena realitas harus dipahami
berdasarkan konsep agama yang dipahami.
Berangkat dari permasalahan tersebut, pendekatan-pendekatan
metodologis dalam studi atau kajian tentang agama secara terus menerus
mendapat perhatian cukup besar dari para intelektual agama. Dalam
5
perkembangannya kemudian dirumuskan berbagai pendekatan yang diadopsi
atau berdasarkan disiplin-disiplin keilmuan tertentu seperti sejarah, filsafat,
psikologi, antropologi, sosiologi termasuk juga fenomenologi. Pendekatan
yang diupayakan untuk sekilas dibahas dalam tulisan ini adalah pendekatan
fenomenologi agama, dalam pengertian sebuah kajian yang dilakukan untuk
memahami esensi (makna) dan atau melalui manifestasi fenomena
keagamaan dari agama tertentu.
Pendekatan atau metode yang paling dekat dan berhubungan dengan
pendekatan historis adalah pendekatan fenomenologis. Hal ini dikarenakan
fenomenologi dan sejarah itu saling melengkapi. Fenomenologi tidak dapat
berbuat tanpa etnologi, filologi, dan disiplin kesejarahan lainnya. Sebaliknya,
fenomenologi memberikan disiplin kesejarahan untuk memberi arti
keagamaan yang tidak dapat mereka pahami. Oleh sebab itu, memahami
agama dalam kajian fenomenologi berarti memahami agama dari sejarah,
memahami sejarah dalam arti menurut dimensi keagamaannya. 6
Fenomenologi sebagai Metode bertujuan memahami pemikiran-pemikiran,
tingkah laku, dan lembagalembaga keagamaan tanpa mengikuti teori-teori
filsafat, teologi, metafisika, ataupun psikologi. Salah satu cara untuk
memahami fenomenologi agama adalah menganggapnya sebagai reaksi
terhadap pendekatan-pendekatan historis, sosiologis, dan psikologis.
Pendekatan fenomenologis berusaha mempelajari dan memahami
berbagai gejala keagamaan sebagaaimana apa adanya dengan cara
membiarkan manifestasi-manifestasi pengalaman agama berbicara bagi
dirinya sendiri. Pendekatan ini muncul pada akhir abad ke-20, terutama
karena pengaruh filsafat yang dikembangkan Edmund Husserl. Oleh sebab
itu, pengetahuan tentang fenomenologi sebagai disiplin filsafat juga
diperlukan agar dapat menerapkan pendekatan fenomenologis tadi secara baik
ketika mempelajari suatu gejala keagamaan.7
Pendekatan fenomenologis merupakan upaya untuk membangun suatu
metodologi yang koheren bagi studi agama. Terdapat beberapa filsafat yang
6
Adeng Muchtar Ghazali, Ilmu Perbandingan Agama, (Bandung: Pustaka Setia, 2000), hlm. 41.
7
Djam’annuri, Ilmu Perbandingan Agama: Pengertian dan Obyek Kajian, (Yogyakarta: Kurnia
Kalam Semesta, 1998), hlm. 20.
6
dapat digunakan sebagai dasar dibangunnya pendekatan ini seperti; filsafat
Hegel dan filsafat Edmund Husserl.8
1. Filsafat Hegel.
Dalam karyanya The Phenomenology of Spirit mempunyai tujuan
untuk menunjukkan pada pemahaman bahwa seluruh fenomena dalam
berbagai keragamannya tapi hanya didasarkan pada satu esensi atau
kesatuan dasar.
2. Filsafat Edmund Husserl.
Terdapat dua konsep yang mendasari karyanya dan menjadi titik tolak
metodologis yang bernilai bagi studi fenomenologis terhadap agama
yaitu; epoch yang terdiri dari pengendalian atau kecurigaan dalam
mengambil keputusan, dan pandangan eidetic yaitu pandangan yang
terkait dengan kemampuan melihat apa yang ada sesungguhnya.
Tugas pendekatan ini adalah mendeskripsikan, mengintegrasikan atau
menyusun tipologi dari semua data yang diperoleh dari seluruh agama dunia.
Ada tiga tugas yang harus dipikul oleh fenomenologi agama, yakni:
a) Mencari hakikat ketuhanan.
b) menjelaskan teori wahyu.
c) meneliti tingkah laku keagamaan.9
Bleeker menguraikan suatu cara kerja ganda yang menjadi karakteristik dari
pendekatan fenomenologi, yaitu: teori epoche, yakni penangguhan sementara
dari semua penelitian terhadap masalah kebenaran, dan eidetio-vision yang
dapat dijelaskan sebagai penelitian terhadap esensi-esensi. Prinsip eidetik
menjadikan eidos sebagai tujuan penelitian, yakni apakah yang menjadi
esensi dalam fenomenologi agama.
Van der Leeuw memberikan catatan tujuh fase penelitian
fenomenologis10, yaitu:
1) Memberikan nama gejala.
2) Menyisipkan ke dalam kehidupan itu sendiri.
3) Memperdalam pengertian-pengertian agamis tentang hakikat di dalam
8
Peter Connolly, Aneka Pendekatan Studi Agama, (Yogyakarta: LKiS, 2011), hlm. 110
9
Adeng Muchtar Ghazali, Op. Cit., h. 42.
10
Ibid., hlm. 43.
7
epoche.
4) Memberikan pengertian agamis yang telah diperdalam.
5) Mengetahui pengertian-pengertian agamis yang telah diperdalam.
6) Mengoreksi dengan menyelidiki kebenarannya, pengertian, atau
tujuan bahan fenomenologis yang umum atau yang lazim.
7) Memperkenalkan pengertian agamis yang telah diperdalam beserta
maksudnya.
Fenomenologi tidak berusaha untuk membandingkan agama-agama
sebagai unit yang luas, tetapi memisahkan diri dari setting historis. Fakta-
fakta dalam fenomena yang sama yang didapati pada berbagai macam agama,
dibawanya bersama, dan dipelajarinya di dalam kelompok-kelompok. Tugas
pendekatan ini adalah mengklasifikasikan data yang sangat banyak dan
beragam dengan cara tertentu sehingga memperoleh gambaran menyeluruh
tentang isi keagamaan yang terkandung di dalamnya. Gambaran yang
menyeluruh ini bukanlah merupakan ringkasan sejarah agama, tetapi survei
yang sistematis tentang data-data agama.
8
keagamaan.
c. Perbandingan dalam pengertian terbatas dimana mengkomparasikan
berbagai tradisi keagamaan, namun fenomenologi tidak berusaha
menyamakan atau mengunggulkan salah satu tradisi keagamaan
tertentu.
d. Menghindari reduksionisme, dalam arti murni memahami fenomena
keagamaan dalam term sosiologi, psikologi, antropologi dan ekonomi
saja tanpa memperhatikan kompleksitas pengalaman manusia,
memaksakan nilai-nilai sosial pada isu-isu transendental dan
mengabaikan intensionalitas unik para pelaku tradisi keagamaan.
e. Menunda pertanyaan tentang kebenaran, dalam hal ini untuk
mengembangkan wawasan terhadap esensi terdalam suatu
pengalaman keagamaan. Fenomenologi berupaya terlibat
atauberpartisipasi langsung untuk memperoleh empati pemahaman
yang asli.
f. Terakhir mengembangkan struktur esensial dan makna sebuah
pengalaman keagamaan.
Sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya, tujuan metode ini adalah
mengungkapkan atau mendekripsikan makna sebagaimana yang ada dalam
data atau gejala. Dalam kerja penelitiannya fenomenologi dapat mengacu
pada tiga hal, yaitu filsafat, sejarah, dan pada pengertiannya yang lebih luas.
Dengan demikian, “fenomenologi agama” dalam acuan yang pertama
menghubungkan dirinya sebagai salah satu aliran alam filsafat dan
sumbangannya terhadap studi agama sebagai salah satu disiplin ilmu. Adapun
acuan yang kedua memasukkan pendapat peneliti (terdahulu) yang telah
menerapkan metodologi fenomenologi dalam penelitian tentang sejarah
agama. Dengan sendirinya mereka mempergunakan religi sederhana sebagai
data, dan meletakkan ekspresi keagamaan dalam bentut simbol- seperti
bentuk-bentuk upacara keagamaan- sebagai fokus perhatiannya.
Mungkin yang paling relevan dalam hubungannya dengan penelitian
agama Islam dalam perspektif ilmu budaya adalah acuan ketiga, yaitu
penerapan metode fenomenologi secara lebih luas. Metode ini bisa diterapkan
9
dalam menelaah (meneliti) ajaran-ajaran, kegiatan-kegiatan, lembaga-
lembaga, tradisi-tradisi, dan simbol-simbol keagamaan.
Dengan mengacu pada tiga kerja penelitian dalam metode fenomenologi
maka langkah-langkah penelitian yang akan dilakukan diharapkan akan
menghasilkan:
1. Deskripsi tentang tidak saja ajaran, tetapi juga berbagai bentuk
ekspresi keagamaan yang bersifat tata-upacara, simbolik atau mistis.
2. Deskripsi tentang hakikat kegiatan keagamaan, khususnya dalam
hubungannya dengan bentuk ekspresi kebudayaan.
3. Deskripsi tentang perilaku keagamaan, berupa;
a) Deskripsi ontologis Deksirpsi ini memusatkan perhatiannya
pada “objek” kegiatan keagamaan. Objek ini dapat berupa
Tuhan, “Yang Suci” atau “Yang Gaib”, “Kekuasaan” dan
sebagainya.
b) Deskripsi psikologis Perhatian diletakkan pada kegiatan
keagamaan itu sendiri. Di dalam penerapannya, Malinowski,
misalnya, menghubungkannya dengan fungsi kegiatan itu
dalam masyarakat.
c) Deskripsi Dialektik Apa yang memperoleh perhatian di sini
adalah hubungan antara subjek dan objek dalam kegiatan
keagamaan. Bisa menentukan diri pada pengalaman
keagamaan, bisa juga memfokuskan diri pada peran simbol-
simbol keagamaan itu sebagai dasar bagi manusia dalam
“mengalami” dunianya.
2.4 Problem Pendekatan Fenomenologis dalam Studi Islam.
Terlepas dari beberapa kelebihan pendekatan fenomenologi, terdapat
beberapa kesulitan untuk memahami esensi dari suatu pengalaman
keagamaan dan manifestasi. Dalam hal ini beberapa kritik terhadap
fenomenologi agama diantaranya:
a. Peranan deskriptif. Fenomenologi agama mengklaim pendekatannya
deskriptif murni yang resisten terhadap campur tangan peneliti, namun
tidak mustahil seorang fenomenolog memiliki kepentingan maksud-
10
maksud tertentu dan dalam mengontrol data dan metode yang
digunakan. Dalam hal ini kurang tepat jika fenomenologi diklaim
sebagai pendekatan deskriptif murni.
b. Melihat peristiwa keagamaan tanpa melihat akar historisnya.
Fenomenologi agama dinilai cenderung memperlakukan fenomena
keagamaan dalam isolasi sejarah seolah-olah sejarah tidak diperlukan
dalam menentukan relevansi fakta-fakta fenomena bagi praktisi
agama. Dalam prakteknya seringkali fenomenologi agama tidak
mampu mengkontekstualisasikan fenomena-fenomena keagamaan
yang dikaji.
c. Peranan intuisi. kesulitan peneliti dalam hal ini adalah menentukan
sisi yang benar dan dapat diterima. Term “objektif” dan “intuisi”
adalah sesuatu yang kontradiktif, terlebih ketika menggunakan data-
data yang bersifat intuitif untuk diverivikasi dalam wilayah objektif.
d. Persoalan empati. Adanya kekhawatiran terjadinya konversi agama
karena tuntutan untuk berpartisipasi langsung dalam praktek dan ritual
keagamaan.
Kesulitan pertama yang dihadapi dalam upaya membangun suatu
pendekatan metologi alternatif yang berakar pada ontologi Islami terletak
pada penyingkiran wahyu tuhan dari wilayah ilmu. Benar bahwa
penyingkiran ini memiliki asal usul dalam batasan tradisi ilmiah Barat
sebagai akibat dari konflik internal antara keagamaan Barat dengan
komunitas ilmiah. Juga benar wahyu dan ilmu tidak pernah di pahami sebagai
dua hal yang ekslusif. Namun saorang sarjana muslim hampir tidak pernah
dapat mengabaikan fakta bahwa wahyu keutuhan berada di luar keaktivitas
ilmiah modern.11
Penyingkiran Barat modern terhadap wahyu dari wilayah ilmu tidak di
dasarkan pada penolakan atas kenyataan bahwa wahyu Tuhan membuat
pernyataan yang tidak jelas tentang watak realitas. Penyingkiran itu lebih
didasarkan pada pernyataan bahwa hanya realitas empiris yang dapat
dipahami. Karena realitas non empiris (metafisis) yang tidak dapat
11
Laosy Safi, Sebuah Refleksi Perbandingan Metode Penelitian Islam dan Barat Ancangan
metodologi Alternatif, Terj, Imam Khoiri, (Jakarta: PT Tiara Wacana Yoga,2001), hlm. 203.
11
diverifikasi melalui pengalaman, maka Ia tidak dapat di masukan ke dalam
wilayah ilmu. Maka di tegaskan menurut Kant bahwa aktivitas ilmiah mesti
dibatasi pada realitas empiris, karna akal manusia tidak dapat menentukan
realitas absolut.
Argumen di atas gagal melihat bahwa wahyu (paling tidak dalam bentuk
final dan islami) mencari justifikasinya di dalam realitas empiris. Dari sudut
pandang wahyu Tuhan, realitas empiris adalah manifestasi realitas
transendental, dan oleh karnanya memiliki suatu makna hanya dalam
kaitannya dengan yang transendental. Bahkan Alqur’an menjelaskan dengan
gamblang bahwa laterdiri dari ayat dimana pemahaman terhadapnya
bergantung kepada proses pemikiran, kontemplasi, dan penalaran. Bahwa
untuk memahami kebenaran wahyu, orang harus mendekatinya dengan cara
yang sama dengan pendekatan terhadap fenomena fenomena sosial atau
bahkan fenomena alam. Alasannya, kebenaran seluruh fenomena itu
tergantung pada kemampuan teori teori yang dibangun oleh para sarjana dan
ilmuwan berdasarkan data yang berasal dari fenomena itu dalam
menghasilkan penjelasan yang memuaskan terhadap realitas yang di alami.
12
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Dari pembahasan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa fenomenologi
merupakan suatu metode analisa juga sebagai aliran filsafat, yang berusaha
memahami realitas sebagaimana adanya dalam kemurniannya. Terlepas dari
kelebihan dan kekurangannya, fenomenologi telah memberikan kontribusi
yang berharga bagi dunia ilmu pengetahuan. Ia telah mengatasi krisis
metodologi ilmu pengetahuan, dengan mengembalikan peran subjek yang
selama ini dikesampingkan oleh paradigma positivistik – saintistik.
3.2 Saran
Dengan mengetahui materi tentang BAB Pendekatan Fenomenologi Studi
Islam ini di harapkan kita sebagai mahasiswa ataupun calon pendidik,mampu
mengambil pelajaran dan hikmah dari materi yang telah kami buat ini.
Sehingga kita bisa memberikan pemahaman kepada calon peserta didik yang
kita bimbing nantinya. Serta kami menyarankan kepada pembaca untuk
mencari dan mengupas lebih dalam lagi tentang pembahasan ini.Kami
menyadari bahwa dalam penulisan materi ini banyak kekurangan dan
kesalahan . Maka dari itu kami meminta kritik dan saran dari para pembaca
sekalian.
13
Daftar Pustaka
14