Anda di halaman 1dari 18

Makalah

AGAMA ISLAM
“Fenomenologi Dalam Agama Islam”

Oleh:

Nama :
NIM :
Dosen Pengampuh :

Program Studi
Jurusan
Fakultas Teknik
Universitas Negeri Gorontalo
2023
KATA PENGANTAR

Dengan mengucapkan puji syukur tehadap Tuhan Yang Maha Esa, atas segala
rahmat dan karunia serta pentunjuk-Nya, sehingga kelompok kami dapat
menyelesaikan makalah yang berjudul “Makalah Tentang Fenomenologi dalam
Agama Islam”.
Dalam pembuataan makalah ini kami menyadari banyak keterbatasaan dan
kekurangaan yang dirasakan mengingat pengetahuaan dan pengalamaan kami
yang masih terbatas. Berkat bantuan dari berbagai pihak baik secara langsung
maupun tidak langsung, sehingga keterbatasaan dan kekurangaan tersebut dapat
diatasi sehingga kelompok kami dapat menyelesaikan makalah ini dengan baik.
Oleh karena itu, kritik dan saraan dari semua pihak sangat kami harapkan
untuk kesepurnaan makalah yang kami buat, semoga makalah ini dapat
bermanfaat untuk menambah wawasam bagi kita semua, Aamiin.

Gorontalo, November 2023

Penulis

i
DAFTAR ISI

Kata Pengantar............................................................................................i
Daftar Isi......................................................................................................ii

Bab I Pendahuluan
A. Latar Belakang.........................................................................1
B. Rumusan Masalah.....................................................................4
C. Tujuan.......................................................................................4

Bab II Pembahasan
A. Pengertian dan Fungsi Fenomenologi.......................................5
B. Penggunaan Fenomenologi Dalam Studi Islam........................8
C. Pendekatan Fenomenologi Dalam Studi Islam.........................10
D. Penerapan Fenomenologi Dalam Studi Islam...........................13

Bab III Penutup


A. Kesimpulan...............................................................................15

Daftar Pustaka.............................................................................................16

ii
iii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Masalah pendekatan dalam kajian Islam telah mendorong perhatian banyak
sarjana di bidang studi Islam (Islamic Studies). Awalnya, kajian Islam hanya
memperoleh tempat yang sangat terbatas dan hanya dikaji dalam konteks
history of religions, comparative study of religios atau religions wissenschaft
pada umumnya.
Dalam kaitanya dengan studi agama, makna istilah fenomenologi tidak
pernah terbekukan secara tegas. Maka perlu kiranya suatu kecermatan dalam
upaya menentukan faktor-faktor yang mencakup dalam pendekatan
fenomenologis. Pendekatan fenomenologis memiliki karekteristik tersendiri
yang berbeda dengan pendekatan lainya dalam memahami agama.
Filsafat positivisme dengan paradigma kuantitatif - ilmiah dalam studi sosial
dan humaniora telah menghegemoni sekian lama di era moderen pasca
renaissance Eropa, namun kemudian terkesan memudar setelah munculnya
filsafat fenomenologi yang dielaborasi menjadi sebuah pendekatan dalam
paradigma kualitatif-alamiah di era posmodernisme guna melakukan kegiatan
penelitian ilmiah khususnya dalam studi ilmu-ilmu sosial dan humaniora.
Fenomenologi sebagai sebuah pendekatan terasa belum dipahami secara
logis pada masa-masa awal ketika Edmund Husserl (1859-1938) sejak pertama
kali mencetuskannya. Setelah menunggu sekian lama kemudian terjadilah
perkembangan yang sangat spektakuler dalam dunia penelitian sehingga
pendekatan fenomenologis mampu diterjemahkan dengan baik dalam studi
ilmu-ilmu sosial dan humaniora, tidak terkecuali studi Islam.
Islam merupakan sebuah sistem universal yang mencakup seluruh aspek
kehidupan manusia. Dalam Islam, segala hal yang menyangkut kebutuhan
manusia, dipenuhi secara lengkap. Semuanya diarahkan agar manusia
mampu menjalani kehidupan yang lebih baik dan manusiawi sesuai dengan
kodrat kemanusiaanya. Apabila hal itu dilaksanakan, maka akan selamat dalam

4
kehidupan dunia dan akhirat. Layaknya sebuah sistem, Islam memiliki sumber
ajaran yang lengkap, yaitu berupa Al-Qur’an dan Hadis. Rasulullah menjamin,
jika seluruh manusia berpegang teguh dengan Al- Qur’an dan Hadis dalam
kehidupannya, maka ia tidak akan pernah tersesat selama-lamanya.
Studi Islam yang dimaksud dalam materi ini adalah upaya memahami
dengan menganalisis secara mendalam hal-hal yang berkaitan dengan agama
Islam, pokok-pokok ajaran Islam, sejarah Islam, maupun realitas
pelaksanaannya dalam kehidupan melalui beberapa metode dan pendekatan
yang secara operasional-konseptual dapat memberikan pandangan tentang
Islam. Tentunya, menemukan dan menguji pendektan-pendekatan tersebut
dilakukan melalui penelitian. Penelitian (reaserch) adalah upaya sistematis dan
objektif untuk mempelajari suatu masalah dan menemukan prinsip-prinsip
umum.3 Dari gambaran permasalahan tersebut, penulis perlu memaparkan
secara komprehensif beberapa materi tentang karakteristik studi Islam beserta
perkembangannya dan berbagai metode pendekatan studi Islam..
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana pengertian dan fungsi fenomenologi?
2. Bagaimana penggunaan fenomenologi dalam studi Islam?
3. Bagaimana pendekatan fenomenologi dalam studi Islam?
4. Bagaimana penerapkan fenomenologi dalam studi islam?
C. Tujuan
1. Bagaimana pengertian dan fungsi fenomenologi?
2. Bagaimana penggunaan fenomenologi dalam studi Islam?
3. Bagaimana pendekatan fenomenologi dalam studi Islam?
4. Bagaimana penerapkan fenomenologi dalam studi islam?

5
BAB II
PEMBAHASAAN

A. Pengertian dan Fungsi Fenomenologi


Istilah fenomenologi berasal dari bahasa Yunani phainomen dari
phainesthai/phainomai/phainein yang berarti menampakkan atau
memperlihatkan.4 Dan terbentuk dari akar kata fantasi, fantom dan fosfor yang
artinya sinar atau cahaya. Dari kata itu terbentuk kata kerja tampak, terlihat
karena bercahaya. Dalam bahasa Indonesia sering dipakai dalam istilah gejala
yaitu suatu hal yang tidak nyata dan semu, kebalikan kenyataan, juga dapat
diartikan sebagai ungkapan kejadian yang dapat diamati lewat indra. Atau
secara harfiah fenomena dapat di artikan sebagai suatu gejalah atau sesuatu
yang menampakkan. Fenomenologi juga di artikan ilmu pengetahuan (logos)
tentang apa yang tampak (phainomenon).
Lebih lanjut dijelaskan bahwa fenomena dipandang dari dua sudut.
Pertama, fenomena selalu “menunjuk ke luar” atau berhubungan dengan
realitas di luar pikiran. Kedua, fenomena di pandang dari sudut kesadaran kita,
karena selalu berada dalam kesadaran kita. Maka dalam memandang fenomena
harus terlebih dahulu melihat “penyaringan” atau ratio, sehingga mendapatkan
kesadaran yang murni. Fenomenologi menghendaki ilmu pengetahuan secara
sadar mengarahkan untuk memperhatikan contoh tertentu tanpa prasangka
teoritis lewat pengalaman yang berbeda.
Kant dan Fries mempergunakan istilah fenomenologi sebagai pelajaran
filsafat yang memusatkan perhatiannya pada gejala-gejala.5 Sedangkan
fenomenologi secara terminologi dapat didefinisikan dengan suatu disiplin
ilmu yang mencoba mengkaji realitas yang memiliki objek dunia atau benda,
dimana tidak ada hal tanpa hal lain. Benda biasa dilihat sebagai suatu objek
yang dapat dilihat, dipegang, diraba, atau didengar. Identik dengan dirinya
sendiri dan berada dalam ruang yang kemudian muncul sebagai hal yang
terjadi dalam suatu waktu.

6
Fenomenologi memberi tekanan pada keperluan melukiskan gejala-gejala
tanpa prasangka. Istilah fenomenologi dipakai untuk pertama kali oleh J.H.
Lambert (1728-1777), yang menyebut fenomenologi sebagai sebuah
penyelidikan kritis mengenai hubungan antara sesuatu yang lepas dari
pertimbangan dan sesuatu sebagai akibat pengalaman kita.
Dari beberapa pengertian di atas, jelas bahwa Fenomenologi Agama
merupakan cabang Ilmu Agama yang mengkaji fenomena keagamaan secara
sistematis bukan historis sebagaimana sejarah agama.
Aliran fenomenologi lahir sebagai reaksi metodelogi positivistik yang di
perkenalkan Comte (Waters, 1994: 30). Pendekatan positivistik ini selalu
mengandalkan seperangkat fakta sosial yang bersifat objektif, atas segala yang
tampak secara kasat mata. Dengan demikian, metodologi ini cenderung
melihat fenomena hanya dari kulitnya, dan kurang mampu memahami makna
dibalik gejala yang tampak tersebut. Sedangkan fenomenologi berangkat dari
pola pikir subjektivisme, yang tidak hanya memandang dari suatu gejala yang
tampak, akan tetapi berusaha menggali makna di balik gejala itu (Campbel,
1994: 233).
Fenomenologi adalah ilmu mengenai fenomena yang dibedakan dengan
sesuatu yang sudah menjadi atau disiplin ilmu yang menjelaskan dan
mengklasifikasikan fenomena, atau studi tentang fenomena (Kuswarno, 2009:
1) Plato mendefinisikan fenomenologi sebagai studi tentang struktur
pengalaman, atau struktur kesadaran. Menurut Plato, fenomenologi merupakan
studi tentang “fenomena”, tentang penampilan suatu atau sejumlah hal yang
muncul dari kesadaran pengalaman orang lain, termasuk cara kita memberikan
makna terhadap hal-hal yang mengemuka dari dalam pengalaman tersebut.
Apa yang kita alami terhadap orang lain termasuk presepsi (mendengar,
melihat, meraba, mencium dan lain-lain), hal percaya, tindakan mengingat,
memutuskan, merasakan, menilai, mengevaluasi adalah pengalaman dari tubuh
kita yang terdeskripsi secara fenomenologis.
Fenomenologi mampu nengungkap objek secara meyakinkan, meskipun
objek itu berupa objek kognitif maupun tindakan ataupun ucapan.

7
Fenomenologi mampu melakukan itu karena segala sesuatu yang dilakukan
oleh seseorang selalu melibatkan mental (Collin, 1997: 111).
Dimyati (2000: 67-90), dengan menyadur beberapa gagasan Husserl,
menyatakan bahwa fenomenologi merupakan analisis deskriptif dan
introspektif tentang kedalaman dari semua bentuk kesadaran dan pengalaman
langsung yang meliputi indrawi, konseptual, moral, estetis dan religius.
Fenomenologi adalah suatu metode yang secara sistematis berpangkal pada
pengalaman dan melakukan pengolahan-pengolahan pengertian.
Manusia adalah makhluk yang melakukan komunikasi, interaksi, partisipasi,
dan penyebab yang bertujuan. Kekhususan manusia terletak pada
intensionalitas psikisnya yang ia sadari, yang dikaitkan dengan dunia arti dan
makna. Dunia makna manusia ini dapat diteliti dengan metode fenomenologi.
Menurut (Moustakas, 1994) dalam buku penelitian kualitatif dan desain
riset, fenomenologi sebagai metode penelitian paling tidak, metodologi yang
mendasari fenomenologi mencakup empat tahap:
Bracketing, adalah proses mengidentifikasi dengan “menunda” setiap
keyakinan dan opini yang sudah terbentuk sebelumnya tentang fenomena yang
sedang diteliti. Dalam hal demikian seorang peneliti akan diberi peluang untuk
berusaha kembali seobjektif mungkin dalam menghadapi data tertentu.
Bracketing sering disebut sebagai “reduksi fenomenologi”, dimana seorang
peneliti mengisolasi pelbagai fenomena, lalu membandingkan dengan
fenomena lain yang sudah diketahui sebelumnya.
Intuition, terjadi ketika seorang peneliti tetap terbuka untuk mengaitkan
makna-makna fenomena tertentu dengan orang-orang yang telah
mengalaminya. Intuisi mengharuskan peneliti kreatif berhadapan dengan data
yang bervariasi, sampai pada tingkat tertenu memahami pengalaman baru yang
muncul. Bahkan, intuisi mengharuskan peneliti menjadi seseorang yang benar-
benar tenggelam dalam fenomena tersebut.
Analysing, analisis melibatkan proses seperti coding (terbuka, axial, dan
selektif), kategorisasi sehingga membuat sebuah pengalaman mempunyai
makna yang penting. Setiap peneliti diharapkan mengalami “kehidupan”

8
dengan data akan dia deskripsikan demi memperkaya esensi pengalaman
tertentu yang bermunculan.
Describing, yakni menggambarkan. Pada tahap ini, peneliti mulai
memahami dan dapat mendefinisikan fenomena menjadi “fenomenon”
(fenomena yang menjadi). Langkah ini bertujuan untuk mengomunikasikan
secara tertulis maupun lisan dengan menawarkan suatu solusi yang berbeda.
Berikut ini fungsi dari fenomenologi: Sebagai pembelajaran dalam
keagamaan. Dengan memahami tentang fenomenologi, seseorang di
mungkinkan dapat memahami hakikat keberagamaan secara mendalam. Di
karenakan, fenomenologi itu mengajarkan tentang fenomena-fenomena yang
terjadi terhadap keagamaan khususnya agama Islam .
Sebagai konstruksi taksonomis untuk mengklasifikasikan fenomena dengan
melintasi batas-batas komunitas agama, budaya, dan zaman. Pokok dari
aktivitas ini adalah mencari struktur pengalaman keagamaan dan keluasan
prinsip-prinsip yang tampak mengoperasikan bentuk perwujudan
keberagamaan manusia secara keseluruhan.
Fenomenologi berfungsi sebagai ilmu pengetahuan secara sadar
mengarahkan untuk memperhatikan contoh tertentu tanpa prasangka teoritis
lewat pengalaman-pengalaman yang berbeda dan bukan lewat koleksi data
yang besar untuk suatu koleksi umum diluar substansi sesungguhnya, dan
tanpa berkontaminasi kecenderungan psikologisme dan naturalisme.
Sebagai wadah untuk berfikir kritis dalam menanggapi fenomena
keberagamaan. Berfungsi untuk mengungkapkan atau mendeskripsikan makna
sebagaimana yang ada dalam data (gejala) dalam bentuk kegiatan- kegiatan,
tradisi-tradisi, dan simbol keagamaan.
Berfungsi untuk memahami pemikiran, tingkah laku, dan lembaga- lembaga
keagamaan tanpa mengikuti salah satu teori filsafat, teologi, metafisika,
ataupun psikologi untuk memahami islam. Karena pada dasarnya semua
ciptaan Tuhan itu mengagungkan kebesaran-Nya dengan caranya masing-
masing. Jadi, semua yang ada di alam ini bisa dilihat dengan kacamata agama
untuk mengantarkan pada pemahaman terhadap Yang Maha Esa.

9
B. Penggunaan Fenomenologi Dalam Studi Islam
Fenomenologi Husserl dijadikan sebagai landasan dalam fenomenologi
agama. Fenomenologi agama menjadikan agama sebagai objek studi menurut
apa adanya. Atau dengan kata lain, ia menjelaskan fenomena keagamaan
sebagai yang ditunjukkan oleh agama itu sendiri. Dalam hal ini kaum
fenomenolog agama mencegah sikap memandang fenomena keagamaan itu
menurut visi mereka sendiri manifestasinya yang beragam atau memahami
sifat-sifat yang unik pada fenomena keagamaan serta untuk memahami peranan
agama dalam sejarah dan budaya manusia.
Pendekatan fenomenologi dalam studi agama muncul sebagai reaksi
terhadap beberapa pendekatan sebelumnya, yaitu: Pendekatan teologi yang
normatif (atau sebut saja: teologis-normatif). Dalam mengkaji tradisi agama,
pendekatan ini digunakan untuk menghasilkan dan menyumbangkan
pemahaman yang lebih baik mengenai dunia agama. Sehingga menjadikan
agama tertentu (terutama agamanya sendiri) sebagai agama yang benar,
sementara agama lain salah.
Pendekatan reduksionis. Pendekatan ini melihat agama lebih sebagai fakta-
fakta intelektual, emosional, psikologis dan sosiologis. Di sini agama diselidiki
melalui beberapa disiplin di luar ilmu agama (teologi). Ilmu-ilmu ini dalam
melihat agama (termasuk persoalan ketuhanan) menghasilkan beberapa
kesimpulan, misalnya ia sebagai pemerasan ekonomis (Marx), frustasi jiwa
manusia (Feuerbach), suatu fase manusia dalam keadaan keterbelakangan
(Comte), dan lain-lain. Ketika mencari asal-usul agama, ahli sosiologi agama
memulai kerjanya dalam masyarakat yang paling “primitif”. Melalui penelitian
terhadap masyarakat yang paling “awal/primitif” itu diharapkan diperoleh
pemahaman mengenai proses perkembangan agama sepanjang sejarah.
Fokus utama fenomenologi agama adalah aspek pengalaman keagamaan,
dengan mendeskripsikan atau menggambarkan fenomena keagamaan secara
konsisten dalam orientasi keimanan atau kepercayaan objek yang diteliti.
Pendekatan ini melihat agama sebagai komponen yang berbeda dan dikaji
secara hati-hati berdasarkan sebuah tradisi keagamaan untuk mendapatkan

10
pemahaman di dalamnya. Fenomenologi agama muncul dalam upaya untuk
menghindari pendekatan-pendekatan yang sempit, etnosentris dan normatif
dengan berupaya mendeskripsikan pengalaman- pengalaman agama dengan
akurat
C. Pendekatan Fenomenologi Dalam Studi Islam
Fenomenologi berasal dari bahasa yunani “Phainoai”, yang berarti
“menampak” dan phainomenon merujuk pada “yang menampak”. Istilah
fenomenologi diperkenalkan oleh Johan Heirinckh. Pelopor aliran
fenomenologi adalah Edmund Husserl. Jika dikaji lagi fenomenologi itu
berasal dari phenomenom yang berarti realitas yang tampak. Dan logos yang
berarti ilmu. Jadi fenomenologi adalah ilmu yang berorientasi untuk
mendapatkan penjelasan dari realitas yang tampak.
Fenomenologi berusaha mencari pemahaman bagaimana manusia
mengkontruksikan makna dan konsep penting dalam kerangka
intersubyektifitas (pemahaman kita mengenai dunia dibentuk oleh hubungan
kita dengan orang lain). (Kuswarno, 2009: 2) fenomenologi berasumsi bahwa
orang-orang secara aktif menginterpretasi pengalaman-pengalamannya dan
mencoba memahami dunia dengan pengalaman pribadinya (Littlejohn, 2009:
57).
Pendekatan fenomenologi memahami makna atau hakikat yang sebenarnya
dari suatu gejala objek yang dikaji melalui jiwa atau kesadaran objek itu
sendiri. Dalam arti bahwa pendekatan fenomenologi yang dikembangkan dari
pendekatan fenomenologis, membiarkan gejala yang diteliti berbicara sendiri
secara tulus dan apa adanya, tidak boleh ada upaya- upaya luar dari sang
peniliti membuat prakonsepsi yang macam-macam, apalagi berlebih-lebihan.
Berbeda dengan pendekatan ilmiah positivistik, pendekatan fenomenologi
dapat memahami adanya keterkaitan objek dengan nilai-nilai tertentu, misalnya
keadilan, kemanusiaan dan lain-lain.
Pendekatan fenomenologi merupakan tradisi penelitian kualitatif yang
berakar dari filosofi dan psikologi, serta berfokus pada internal dan
pengalaman sadar seseorang. Pendekatan fenomenologi untuk mempelajari

11
kepribadian dipusatkan kepada pengalaman individual - pandangannya pribadi
terhadap dunia (Atkinson, 2011: 57). Pendekatan fenomenologi menggunakan
pola pikir subjektivisme yang tidak hanya memandang masalah dari suatu
gejala yang tampak, akan tetapi berusaha menggali makna dibalik setiap gejala
itu (Kuswarno, 2009: 7). hingga saat ini.
Bagi Schutz, tugas utama fenomenologi ialah mengkonstruksi dunia
kehidupan manusia “sebenarnya” dalam bentuk yang mereka alami sendiri.
Realitas dunia tersebut bersifat intersubjektif dalam arti bahwa anggota
masyarakat berbagi presepsi dasar mengenai dunia yang mereka
internalisasikan melalui sosialisasi dan memungkinkan mereka melakukan
interaksi atau komunikasi (Kuswarno, 2009: 110).
Dalam pandangan Schutz, manusia adalah makhluk sosial, sehingga
kesadaran akan kehidupan dunia sehari-hari adalah kesadaran sosial. Manusia
dituntut untuk saling memahami satu sama lain, dan bertindak dalam
kenyataan yang sama. Sehingga, ada penerimaan timbal balik, pemahaman atas
dasar pengalaman bersama, dan tipikasi atas dunia bersama. Melalui tipikasi
inilah manusia belajar menyesuaikan diri kedalam dunia yang lebih luas,
dengan juga melihat diri kita sendiri sebagai orang yang memainkan peran
dalam situasi tipikal (Kuswarno, 2009: 18).
Jadi dalam kehidupan totalitas masyarakat, setiap individu menggunakan
simbol-simbol yang telah diwariskan padanya, untuk memberi makna pada
tingkah lakunya sendiri (Kuswarno, 2009: 18). Dengan kata lain, ia menyebut
manusia sebagai “aktor”. Ketika seseorang melihat atau mendengar apa yang
dikatakan atau diperbuat aktor, maka dia akan memahami makna dari tindakan
tersebut.
Dalam dunia sosial ini disebut sebagai sebuah “realitas interpretif”
(interpretive reality). Dimana, makna subjektif yang terbentuk dalam dunia
sosial para aktor berupa sebuah “kesamaan” dan “kebersamaan” (Kuswarno,
2009: 110). Sehingga sebuah makna disebut sebagai intersubjektif Inti
pemikiran Schutz adalah bagaimana memahami tindakan sosial melalui
penafsiran. Dimana, tindakan sosial merupakan tindakan yang berorientasi

12
pada perilaku orang atau orang lain pada masa lalu, sekarang dan akan
datang.
Proses penafsiran dapat digunakan untuk memperjelas atau memeriksa
makna yang sesungguhnya, sehingga dapat memberikan konsep kepekaan yang
implisit. Dengan kata lain, mendasarkan tindakan sosial pada pengalaman,
makna dan kesadaran. Manusia mengkontruksi makna di luar arus utama
pengalaman melalui proses “tipikasi”. Hubungan antara makna pun
diorganisasi melalui proses ini, atau biasa disebut stock of knowledge
(Kuswarno, 2009: 18).
Beberapa karakteristik dasar fenomenologi dapat dilihat dalam 5 poin.
Pertama, watak deskriptif. Kedua, antireduksionisme. Ketiga, intensionalitas.
Keempat, pengurungan (epoche). Kelima, Eidetic vision (Rusli, 2008: 143).
Selain itu beberapa hal di bawah menjadi landasan epistemologis pendekatan
ini dalam fenomena sosial budaya:
Fenomenologi memandang manusia sebagai makhluk yang memiliki
kesadaran. Pengetahuan pada manusia ini berawal dari interaksi atau
komunikasi di antara manusia, antara satu individu dengan individu lain.
Karena kesadaran tersebut lahir dari proses interaksi dan komunikasi, maka ia
bersifat intersubyektif. Perangkat pengetahuan ini menjadi pembimbing
individu dalam mewujudkan perilaku-perilaku dan tindakan-tindakannya.
Dengan demikian, perilaku dan tindakan individu tidak berdasar pada situasi
yang obyektif, namun oleh kesadarannya terhadap hal tersebut. Adanya
typification atau pemberian tipe-tipe terhadap unsur-unsur yang ada dalam
kehidupan manusia. Pengakuan bahwa kehidupan manusia merupakan
kehidupan yang bermakna. Dalam memahami gejala sosial menuntut pula
pemahaman atas kerangka kesadaran yang digunakan untuk membangun
perangkat pemaknaan tersebut. Metode yang tepat dalam memahami
gejala sosial adalah dengan mengetahui dan memahami “hakikat” dari
gejala yang dipelajari tersebut (Ahimsa-Putra, 2012: 281-283). Memahami
dalam konteks ini adalah mengetahui pandangan-pandangan, pengetahuan,
nilai-nilai, norma, aturan yang ada dalam suatu masyarakat atau yang dianut

13
oleh individu. Setelah itu menetapkan relasinya dengan perilaku warga
masyarakat, perilaku sebuah kolektivitas atau perilaku individu tertentu
(Ahimsa- Putra, 2012: 285).
Pendekatan ini memiliki dua unsur pokok yang tak terpisahkan. Unsur yang
pertama adalah usaha untuk menunda prasangka dan ide atau konsepsi awal
tentang sesuatu yang sedang diteliti atau yang dikenal dengan “epoche”
‘pengurungan’ (bracketing) (Kockelmans, 1994: 43; Rusli, 2008: 145 dan
Langdridge, 2007: 17). Epoche adalah pengurungan semua anggapan dan
penilaian sebelumnya dan memposisikan diri terhadap obyek dengan setiap
pengalaman konkret yang dialami oleh peneliti dan pelaku (Kockelmans, 1994:
43 dan Langdridge, 2007: 17). Inti dari epoche adalah keraguan, yaitu keraguan
tentang natural attitude atau prasangka yang telah dimiliki sebelumnya
(Langdridge, 2007: 17). Unsur kedua adalah eidetic vision atau eidetic
intuition. Eidetic vision berarti melihat ke dalam jantung makna (makna
agama). Pada unsur ini, peneliti melihat, mengenali secara komprehensif dan
mendeskripsikan fenomena yang ditemui sebagai suatu kesatuan makna (unity
of meaning) (Rusli, 2008: 145 dan Kockelmans, 1994: 43).
Untuk menggambarkan keseluruhan tindakan seseorang, Schutz
mengelompokkanya dalam dua fase, yaitu : In-order-to-motive (Um-zu-motiv),
yaitu motif yang merujuk pada tindakan dimasa yang akan datang. Dimana
tindakan yang dilakukan oleh seseorang pasti memiliki tujuan yang telah
ditetapkan.
Because motives (weil Motiv), yaitu tindakan yang merujuk pada masa lalu.
Dimana tindakan yang dilakukan seseorang pasti memiliki alasan dari masa
lalu ketika ia melakukanya.
D. Penerapan Fenomenologi Dalam Studi Islam
Dalam penerapan pendekatan fenomenologis, khususnya yang berkaitan
dengan fenomena keagamaan, Prof. Dr. Heddy Shri Ahimsa-Putra (2012: 298-
300), pakar antropologi menetapkan beberapa prinsip etis- metodologis yang
perlu diperhatikan.
Pertama, tidak menggunakan kerangka pemikiran tertentu untuk menilai

14
kebenaran pandangan subyek. Hal tersebut dikarenakan tugas peneliti bukanlah
menilai atau menentukan kebenaran pandangan keagamaan yang diteliti,
namun mendeskripsikannya sebaik mungkin melalui perspektif penganutnya.
Kedua, pandangan keagamaan yang didapat juga tidak memerlukan
penilaian. Dalam kacamata fenomenologi, semua “kesadaran” adalah “benar”.
Ketiga, dalam melihat fenomena atau subyek, peneliti
dapat dianalogikan sebagai “murid” yang ingin memahami pandangan
keagamaan suatu individu atau komunitas dan bermaksud
mendeskripsikannya sesuai pemahaman individu tersebut.
Keempat, peneliti harus selalu mengingat bahwa tujuan utamanya adalah
mengungkapkan pandangan, keyakinan atau kesadaran kolektif masyarakat
terhadap suatu fenomena keagamaan. Karenanya, hendaknya peneliti menahan
diri dari memberikan pendapat yang mungkin bertolak belakang dengan
pandangan subyek. Konsep-konsep inilah yang akan dibawa dalam ranah
komunikasi antaragama sebagai pendekatan awal dalam memahami konsepsi
agama menurut kacamata penganutnya.

15
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Fenomenologi adalah suatu ilmu yang mempelajari tentang gejala-gejala
yang nampak. Jelas bahwa Fenomenologi Agama merupakan cabang Ilmu
Agama yang mengkaji fenomena keagamaan secara sistematis bukan historis
sebagaimana sejarah agama.
Fungsi dari fenomenologi adalah sebagai pembelajaran dalam keagamaan.
Dengan memahami fenomenologi, seseorang dimungkinkan dapat memahami
hakikat keberagamaan secara mendalam. Dikarenakan, fenomenologi itu
mengajarkan tentang fenomena-fenomena yang terjadi terhadap keagamaan
khususnya Islam. Perkembangan pendidikan Islam terbagi menjadi lima
periode, yaitu periode pembinaan pendidikan Islam, pertumbuhan pendidikan
Islam, kejayaan pendidikan Islam, kemunduran pendidikan Islam, dan periode
pembaharuan pendidikan Islam.
Penggunaan atau posisi fenomenologi dalam kajian Agama dan Studi Islam
adalah mengkaji dan kemudian mengerti pola atau struktur agama atau
menemukan esensi agama di balik manifestasinya yang beragam atau
memahami sifat-sifat yang unik pada fenomena keagamaan serta untuk
memahami peranan agama dalam sejarah dan budaya manusia.
Pendekatan fenomenologi merupakan tradisi penelitian kualitatif yang
berakar dari filosofi dan psikologi, serta berfokus pada internal dan
pengalaman sadar seseorang. Pendekatan fenomenologi untuk mempelajari
kepribadian dipusatkan kepada pengalaman individual-pandangannya pribadi
terhadap dunia.
Dalam penerapan pendekatan fenomenologis, khususnya yang berkaitan
dengan fenomena keagamaan, Prof. Dr. Heddy Shri Ahimsa-Putra (2012: 298-
300), pakar antropologi menetapkan 4 prinsip etis-metodologis yang perlu
diperhatikan.

16
DAFTAR PUSTAKA

Ahimsa-Putra, Heddy Shri. 2012. Fenomenologi Agama: Pendekatan


Fenomenologi Untuk Memahami Agama. Paper in Walisongo Journal, Vol.
20, No. 2, November 2012, 271-304.

Batubara, Chuzaimah, Iwan, dan Hawari Batubara. Handbook Metodologi Studi


Islam. Jakarta Timur: Prenada Media, 2018.

HM, Abubakar. Pendidikan Islam di Era Peradaban Modern. Yogyakarta:


Penerbit : K-Media, 2020.

Ilyas, M. Zeni Rochmatullah, dan Afdol Abdul Hanaf. Pendekatan Studi Islam.
Yogyakarta: Jejak Pustaka, 2022.

Langdridge, Darren. 2007. Phenomenological Psychology: Theory, Research and


Method. Essex: Pearson Education Limited.

Nasution, Harun. Islam ditinjau dari Berbagai Aspeknya. Jakarta: UI Press, 1985.
Nurhakim, M. Metodologi Studi Islam. Malang: UMM Press, 2021.

Nurhasanah, Neneng, Amrullah Hayatuddin, dan Yayat Rahmat Hidayat.


Metodologi Sudi Islam. Jakarta: Amzah, 2018.

M. Zeni Rochmatullah Ilyas dan Afdol Abdul Hanaf, Pendekatan Studi Islam.
Yogyakarta: Jejak Pustaka, 2022.

Rusli. 2008. Pendekatan Fenomenologi Dalam Studi Agama: Konsep, Kritik dan
Aplikasi. Paper in journal ISLAMICA, Vol. 2., No. 2, March 2008, 141-
153

Save M. Dagun, Filsafat Eksistensialisme. Jakarta : Rineka Cipta, 1990.


Syamsudin Abdullah, dkk. Fenomenologi Agama. Jakarta: Depag RI, 1984.
Slamet, Achmad. Buku Ajar Metodologi Studi Islam (Kajian Metode
dalam Ilmu Keislaman). Yogyakarta: Deepublish, 2016.

Supiana. Metodologi Studi Islam. Jakarta Pusat: Direktorat Jenderal Pendidikan


Islam Kementerian Agama, 2012.

Syafaq, Hammis, Amin Tohari, Nurul Asiya Nadhifah, Umi Hanifah, dan Marli
Candra. Pengantar Studi Islam. Surabaya: Nuwailah Ahsana, 2021.

17

Anda mungkin juga menyukai