Anda di halaman 1dari 13

PENDEKATAN FENOMENOLOGIS

Studi Kasus : antara Islam di Maroko dan Islam di Indonesia

Guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah Pendekatan Studi Islam

DOSEN PENGAMPU

Dr. H. Akhmad Patah, M. Ag.

(19610727 198803 1 002)

DISUSUN OLEH :

Vania Cahyaningtyas
18201010035

MAGISTER BAHASA DAN SASTRA ARAB

FAKULTAS ADAB DAN ILMU BUDAYA

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA

YOGYAKARTA

2019
DAFTAR ISI
BAB I .............................................................................................................................................. 3

PENDAHULUAN ......................................................................................................................... 3

A. Latar Belakang ......................................................................................................................... 3

B. Rumusan Masalah.................................................................................................................... 4

C. Tujuan Penelitian ..................................................................................................................... 4

BAB II ............................................................................................................................................ 5

PEMBAHASAN ............................................................................................................................ 5

A. Definisi Fenomenologis ........................................................................................................... 5

B. Beberapa Pandangan tentang Fenomenologis ......................................................................... 5

a. W.F. Hegel ........................................................................................................................... 6

b. Edmund Husserl ................................................................................................................... 6

C. Fungsi Fenomenologis ............................................................................................................. 7

D. Pengaplikasian Fenomenologis antara Islam di Maroko dan Islam di Indoneisa dalam Kajian
Studi Islam ...................................................................................................................................... 9

E. Kelebihan dan Kekurangan Fenomenologis ............................................................................ 9

a. Kelebihan ............................................................................................................................. 9

b. kekurangan ......................................................................................................................... 10

BAB III......................................................................................................................................... 12

PENUTUP .................................................................................................................................... 12

A. Kesimpulan ............................................................................................................................ 12

DAFTAR PUSTAKA .................................................................................................................. 13

Page 2 of 13

P S I Fenomenologis
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Pendekatan dalam kajian islam menuai banyak perhatian terutama dibidang studi islam. Yang
awalnya kajian islam hanya dipelajari melalui historical ditambah juga mempelajari
perbandingan agama lainnya. Semua itu sangat nampak terlihat mendapat tempat sangat terbatas
untuk bekal seseorang dalam meyakini agama islam.

Kaitannya dengan studi agama, maka istilah fenomenologis sangat berperan erat dan tegas.
Nah, oleh karena dari itu pendekatan fenomenologis ini perlu suatu kecermatan dalam upaya
menentukan faktor-faktor yang mencakup didalamnya. Karena pendekatan fenomenologis ini
memiliki karakteristik tersendiri yang berbeda dengan pendekatan lainnya dalam memahami
agama.

Pendekatan fenomenologi merupakan upaya membangun suatu metodologi yang koheren


bagi studi agama. Begitu juga fenomenologi lahir dan diterapkan dalam studi agama sebagai
suatu metode penelitian ilmiah yang ditawarkan dengan pendekatan-pendekatan teologis.
(Connolly, 1999).

Maka dari itu sangat diperlukan metode pendekatan fenomenologis yang didalamnya
melakukan usaha dalam mengkaji studi agama secara netral dari pengaruh dari tradisi budaya
serta keyakinan yang tanpa didasarkan syariat agama islam di masyarakat umum. Karena
mayoritas di zaman sekarang hanya memahami agama tanpa memperhatikan dimensi ruang,
waktu, dan perbedaan budaya masyarakat.

Arah dari pendekatan fenomenologi bertujuan memberikan penjelasan makna secara jelas
tentang apa yang yang disebut dengan perilaku keagamaan. Sebagai sebuah ilmu yang relatif
kebenarannya, pada pendekatan ini tidak dapat berjalan sendiri. Secara operasional, ia
membutuhkan perangkat lain, misalnya sejarah, filologi, arkeologi, studi literatur, psikologi,
sosiologi, antropologi, dan sebagainya. Pemakalah disini akan membatasi membahas didalamnya

Page 3 of 13

P S I Fenomenologis
dengan lebih memfokuskan bagaimana tata cara pendekatan fenomenologis dalam kajian studi
islam dan menurut pandangan ilmuwan secara umum.

B. Rumusan Masalah
a) Apa definisi dari fenomenologis ?
b) Bagaimana pandangan fenomenologis menurut para ilmuwan ?
c) Bagaimana peran fenomenologis dari pengaplikasian antara Islam di Maroko dan Islam
di Indonesia dalam kajian studi islam ?
d) Apa fungsi serta kelebihan dan kekurangan dari fenomenologis ?

C. Tujuan Penelitian
a) Untuk mengetahui definisi dari fenomenologis.
b) Untuk mengetahui pandangan fenomenologis menurut para ilmuwan.
c) Untuk mengetahui peran fenomenologis dari pengaplikasian antara Islam di Maroko dan
Islam di Indonesia dalam kajian studi islam.
d) Untuk mengetahui fungsi serta kelebihan dan kekurangan fenomenologis.

Page 4 of 13

P S I Fenomenologis
BAB II

PEMBAHASAN

A. Definisi Fenomenologis
Istilah fenomenologi berasal dari bahasa Yunani phainomen dari phainesthai
/phainomai/phainein yang berarti menampakkan atau memperlihatkan.1 Sedangkan
fenomenologi secara terminologi dapat didefinisikan dengan suatu disiplin ilmu yang mencoba
mengkaji realitas yang memiliki objek dunia atau benda, dimana tidak ada hal tanpa hal lain.
Benda biasa dilihat sebagai suatu objek yang dapat dilihat, dipegang, diraba, atau didengar.
Identik dengan dirinya sendiri dan berada dalam ruang yang kemudian muncul sebagai hal yang
terjadi dalam suatu waktu.2

Menurut Noeng Muhadjir, secara ontologis pendekatan fenomenologi dalam penelitian


agama mengakui empat kebenaran (sensual, logik, etik, transendental).3

 Sensual : pengalaman yang berasal dari panca indra dan sekaligus menunjukkan
objek kajian studi islam berupa objek yang dapat diindra.
 Logik : sarana utuk berfikir sistematis, valid dan dapat dipertanggungjawabkan.
 Etik : membicarakan tentang pertimbangan-pertimbangan tentang tindakan-tindakan
nilai baik buruk, susila tidak susila dalam hubungan antar manusia.
 Transendental : sesuatu yang pasti kebenarannya, sehingga ia bersifat laten dan
harus diterima tanpa ada kritikan.4

B. Beberapa Pandangan tentang Fenomenologis


Dalam perkembangannya G.W.F. Hegel dan Edmund Husserls yang disebut-sebut sebagai
peletak dasar-dasar fenomenologi.

1
Save M. Dagun, Filsafat Eksistensialisme (Jakarta : Rineka Cipta, 1990 ), hlm. 1.
2
M. A. W. Brouwer, Alam Manusia dalam Fenomenologi, (Jakarta: Kanisius, 1995), hlm.6.
3
Noeng Muhadjir, Metodologi Penelitian Kualitatif (Yogyakarta: Rake Sarasin, 1989), hlm. 19.
4
Ibid, hlm., 183-185.
Page 5 of 13

P S I Fenomenologis
a. W.F. Hegel
Dalam bukunya The Phenomenologi of the Spiru yang diterbitkan pada 1806, Hegel
berpendapat bahwa fenomenologi berkaitan dengan pengetahuan sebagaimana tampak kepada
kesadaran, sebuah ilmu pengetahuan menggambarkan apa yang dipikirkan, dirasa dan diketahui
oleh seseorang dalam kesadaran dan pengalamannya saat itu.

Proses tersebut mngantarkan pada perkembangan kesadaran fenomenologi melalui sians dan
filsafat “menuju pengetahuan yang absolut”. Hegel mengembangkan pemahaman bahwa esensi
(wesen) dipahami melalui peyelidikan terhadap tampilan-tampilan dan perwujudan atau
manifestasi (erschinugnen).

Hegel menunjukkan bagaimana hal itu mengantarkan kepada satu pemahaman bahwa semua
fenomena dalam keberagamannya, berakar pada esensi atau kesatuan mendasar (geist atau
spirit). Hubungan antara esensi dan manifestasi tersebut memberikan pemahaman bahwa agama
dan keagamaan merupakan sesuatu berbeda.5

b. Edmund Husserl
Edmund Husserl, seorang filusuf Austria adalah tokoh yang dianggap memberikan landasan
folisofis pendekatan intuitif non-empiris dalam fenomenologi. Dalam beberapa
bukunya Logische Unterschungen, Ideen zu einer reinen Phanamenologi, Formale und
transzedentale logic, dan Erfahrung und Urteil, Husserl mengatakan rumusan tersebut
berangkat dari mainstream pemikiran pada saat itu bahwa science alone is the ultimate court of
appeal (sains adalah satu-satunya pengadilan tertinggi). Hal itu menunjukkan bahwa metode
ilmiah adalah satu-satunya metode untuk mencapai kebenaran dan mengesampingkan
pengetahuan-pengetahuan yang lain. Husserl membantah pendapat tersebut dengan mengatakan
bahwa pengalaman hidup (Life Experiences) dapat dipertimbangkan untuk digunakan sebagai
alat bantu mengeksplorasi realitas.

Menurut Husserl, fenomenologi merupakan sebuah kajian tetntang struktur kesadaran yang
memungkinkan kesadaran-kesadaran tersebut menunjuk kepada objek-objek diluar dirinya. Dari
5
Clive Erricker, Pendekatan Fenomenologis dalam Peter Connolly (ed), Aneka Pendekatan Studi Agama terj.
Imam khoiri, (Yogyakarta: Lkis, 2009), hlm. 110.
Page 6 of 13

P S I Fenomenologis
sana ia kemudian memunculkan istilah „reduksi fenomenologi‟. Bahwa suatu pikiran bisa
diarahkan kepada obyek-obyek yang non eksis dan riil. Reduksi fenomenologis tidak
menganggap bahwa sesuatu itu ada, melainkan terdapat „pengurangan sebuah kebenaran‟, yaitu
dengan mengesampingkan pertanyaan tentang keberadaan yang riil dari obyek yang dipikirkan.

Berangkat dari asumsi tersebut Husserl kemudian merumuskan dua konsep yang kemudian
menjadi landasan utama dalam kajian fenomenologi. Dua kosep tersebut adalah epoche dan
eidetic vision.

a) Epoche vision. Kata epoche berasal dari bahasa yunani berarti menunda semua penilaian atau
pengurangan (bracketing). Hal ini berarti bahasa fenomena yang tampil dalam kesadaran
adalah benar-benar natural tanpa dicampuri oleh pre supposisi pengamat. Karena pada
dasarnya membawa konsep-konsep dan konstruk-konstruk pandangan adalah sesuatu yang
mempengaruhi dan merusak hasil penilaian.
b) Eidetic vision berarti „yang melihat‟ atau pengandaian terhadap ephoche yang merujuk pada
pemahaman kognitif (intuisi) tentang esensi, ciri-ciri yang penting dan tidak berubah dari satu
fenomena yang memungkinkan untuk mengenali fenomena tersebut.
c) Menurut penjelasan Elliston, phenomenology then means..to let what shows itself and in terms
of itself, just as it shows itself by and from itself (fenomenologi dapat berarti membiarkan apa
yang menunjukkan dirinya sendiri dilihat melalui dan dalam batas-batas dirinya sendiri,
sebagaimana ia menunjukkan dirinya melalui dan darinya sendiri). Untuk itu Husserl
menggunakan istilah „intensionalitas‟, yakni realitas yang menampakkan diri dalam kesadaran
individu atau kesadaran intensional dalam menangkap fenomena apa adanya.6

C. Fungsi Fenomenologis
Berikut ini fungsi dari fenomenologi :

a) Sebagai pembelajaran dalam keagamaan. Dengan memahami tentang fenomenologi,


seseorang di mungkinkan dapat memahami hakikat keberagamaan secara mendalam.

6
Ibid, hlm., 111.
Page 7 of 13

P S I Fenomenologis
Dikarenakan, fenomenologi itu mengajarkan tentang fenomena-fenomena yang terjadi
terhadap keagamaan khususnya agama Islam.
b) Sebagai konstruksi taksonomis untuk mengklasifikasikan fenomena dengan melintasi batas-
batas komunitas agama, budaya, dan zaman. Pokok dari aktivitas ini adalah mencari struktur
pengalaman keagamaan dan keluasan prinsip-prinsip yang tampak mengoperasikan bentuk
perwujudan keberagamaan manusia secara keseluruhan.
c) Fenomenologi berfungsi sebagai ilmu pengetahuan secara sadar mengarahkan untuk
memperhatikan contoh tertentu tanpa prasangka teoritis lewat pengalaman-pengalaman yang
berbeda dan bukan lewat koleksi data yang besar untuk suatu koleksi umum diluar substansi
sesungguhnya, dan tanpa berkontaminasi kecenderungan psikologisme dan naturalisme.
d) Sebagai wadah untuk berfikir kritis dalam menanggapi fenomena keberagamaan.
e) Berfungsi untuk mengungkapkan atau mendeskripsikan makna sebagaimana yang ada dalam
data (gejala) dalam bentuk kegiatan-kegiatan, tradisi-tradisi, dan simbol keagamaan.
f) Berfungsi untuk memahami pemikiran, tingkah laku, dan lembaga-lembaga keagamaan tanpa
mengikuti salah satu teori filsafat, teologi, metafisika, ataupun psikologi untuk memahami
islam. Karena pada dasarnya semua ciptaan Tuhan itu mengagungkan kebesaran-Nya dengan
caranya masing-masing. Jadi, semua yang ada di alam ini bisa dilihat dengan kacamata agama
untuk mengantarkan pada pemahaman terhadap Yang Maha Esa.

Setidaknya ada enam langkah atau tahapan pendekatan fenomenologi dalam studi agama yang
ditawarkan oleh Geradus Van der Leeuw dalam bukunya Relegion in essence and
manifestation: A study in phenomenology of religion

a) Mengklasifikasikan fenomena keagamaan dalam kategorinya masing-masing seperti kurban,


sakramen, tempat-tempat suci, waktu suci, kata-kata atau tulisan suci, festival dan mitos. Hal
ini dilakukan untuk dapat memahami nilai dari masing-masing fenomena.
b) Melakukan interpolasi dalam kehidupan pribadi peneliti, dalam arti seorang peneliti dituntut
untuk ikut membaur dan berpartisipasi dalam sebuah keberagaman yang diteliti untuk
memperoleh pengalaman dan pemahaman dalam dirinya sendiri.
c) Melakukan ephoce atau menunda penilaian (menjamin istilah Husserl) dengan cara pandang
yang netral.
Page 8 of 13

P S I Fenomenologis
d) Mencari hubungan structural dari informasi yang dikumpulkan untuk memperoleh
pemahaman yang holistic tentang berbagai aspek terdalam suatu agama.
e) Tahapan-tahapan tersebut menurut Van der Leeuw secara alami akan menghasilkan
pemahaman yang asli berdasarkan „realitas‟ atau menifestasi dari sebuah wahyu.
f) Fenomenologi tidak berdiri sendiri (operate in isolation) akan tetapi berhubungan dengan
pendekatan-pendekatan yang lain untuk tetap menjaga objektivitas.7

D. Pengaplikasian Fenomenologis antara Islam di Maroko dan Islam di Indoneisa


dalam Kajian Studi Islam
Kajian atau studi agama, terutama studi agama islam menjadi sangat penting untuk melihat
peran agama dalam kehidupan masyarakat yang mungkin disebut sebagai komunitas islam.
Dalam konteks tersebut ditemukan dua hal penting yaitu islam sebagai kekuatan dogmatic-
normatif. Dogmatic yaitu mengandung arti bahwa orang berpegang pada keyakinan-keyakinan
mereka tanpa berpikir dan hanya ikut-ikutan saja. Sedangkan normatif yaitu berpegang teguh
pada norma, aturan, kaidah, dan ketentuan-ketentuan yang berlaku.

Di Maroko, komunitas islam dinilai lebih natural nuansa keislamannya. Sedangkan di Asia
Tenggara, khususnya di Indonesia terjadi sinkretisme (perpaduan ajaran dari berbagai aliran) dan
perilaku keagaman sehingga menimbulkan kesulitan tersendiri dalam melihat kasus-kasus
tersebut dalam rentang perkembangan dan adaptasi ajaran islam dengan budaya lokal. Untuk itu
kajian atau studi islam sangat mungkin menggunakan pendekatan fenomenologis untuk melihat
latar belakang sejarah hubungan antara komunitas islam yaitu sebagai pelaku agama dan islam
yaitu sebagai sumber tata nilai.8

E. Kelebihan dan Kekurangan Fenomenologis

a. Kelebihan
 Fenomenologi agama berorientasi pada faktual deskriptif, dimana tidak concern pada
penilaian evaluatif akan tetapi mendeskripsikan secara tepat dan akurat suatu fenomena
7
Erricker, Op.Cit., hlm 110.
8
Drs. Achmad Slamet, M.S.I., Metodologi Studi Islam (Kajian Metode dalam Ilmu Keislaman). (Yogyakarta :
Deepublish Publisher, 2016), hlm. 151.
Page 9 of 13

P S I Fenomenologis
keagamaan seperti ritual, simbol, ibadah (individual maupun seremonial), teologi (lisan
atau tulisan), personal yang dianggap suci, seni dan sebagainya.

 Tidak berusaha menjelaskan fenomena yang dideskripsikan, terlebih membakukan


hukum-hukum universal untuk memprediksikan persoalan-persoalan keagamaan dimasa
depan, akan tetapi untuk mencari pemahaman yang memadai terhadap setiap persoalan
keagamaan.

 Perbandingan dalam pengertian terbatas dimana mengkomparasikan berbagai tradisi


keagamaan, namun fenomenologi tidak berusaha menyamakan atau mengunggulkan
salah satu tradisi keagamaan tertentu.

 Menghindari reduksionisme, dalam arti murni memahami fenomena keagamaan dalam


term sosiologi, psikologi, antropologi dan ekonomi saja tanpa memperhatikan
kompleksitas pengalaman manusia, memaksakan nilai-nilai sosial pada isu-isu
transendental dan mengabaikan intensionalitas unik para pelaku tradisi keagamaan.

 Menunda pertanyaan tentang kebenaran, dalam hal ini untuk mengembangkan wawasan
terhadap esensi terdalam suatu pengalaman keagamaan. Fenomenologi berupaya terlibat
atau berpartisipasi langsung untuk memperoleh empati pemahaman yang asli.

 Terakhir mengembangkan struktur esensial dan makna sebuah pengalaman keagamaan.

b. kekurangan
 Peranan deskriptif. Fenomenologi agama mengklaim pendekatannya deskriptif murni
yang resisten terhadap campur tangan peneliti, namun tidak mustahil seorang
fenomenolog memiliki kepentingan maksud-maksud tertentu dan dalam mengontrol data
dan metode yang digunakan. Dalam hal ini kurang tepat jika fenomenologi diklaim
sebagai pendekatan deskriptif murni.

Page 10 of 13

P S I Fenomenologis
 Melihat peristiwa keagamaan tanpa melihat akar historisnya. Fenomenologi agama dinilai
cenderung memperlakukan fenomena keagamaan dalam isolasi sejarah seolah-olah
sejarah tidak diperlukan dalam menentukan relevansi fakta-fakta fenomena bagi praktisi
agama. Dalam prakteknya seringkali fenomenologi agama tidak mampu
mengkontekstualisasikan fenomena-fenomena keagamaan yang dikaji.

 Peranan intuisi. kesulitan peneliti dalam hal ini adalah menentukan sisi yang benar dan
dapat diterima. Term “objektif” dan “intuisi” adalah sesuatu yang kontradiktif, terlebih
ketika menggunakan data-data yang bersifat intuitif untuk diverifikasi dalam wilayah
objektif.

 Persoalan empati. Adanya kekhawatiran terjadinya konversi agama karena tuntutan untuk
berpartisipasi langsung dalam praktek dan ritual keagamaan.

Page 11 of 13

P S I Fenomenologis
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Fenomenologi merupakan suatu ilmu yang mempelajari tentang gejala-gejala yang
nampak. Jelas bahwa Fenomenologi Agama merupakan cabang Ilmu Agama yang mengkaji
fenomena keagamaan secara sistematis bukan historis sebagaimana sejarah agama.

Posisi fenomenologi dalam kajian Agama dan Studi Islam adalah mengkaji dan kemudian
mengerti pola atau struktur agama atau menemukan esensi agama di balik manifestasinya yang
beragam atau memahami sifat-sifat yang unik pada fenomena keagamaan serta untuk memahami
peranan agama dalam sejarah dan budaya manusia.

Fungsi dari fenomenologi adalah Sebagai pembelajaran dalam keagamaan. Dengan


memahami tentang fenomenologi, seseorang di mungkinkan dapat memahami hakikat
keberagamaan secara mendalam. Di karenakan, fenomenologi itu mengajarkan tentang
fenomena-fenomena yang terjadi terhadap keagamaan khususnya agama Islam.

Page 12 of 13

P S I Fenomenologis
DAFTAR PUSTAKA
Dagun, Save M. 1990. Filsafat Eksistensialisme, Jakarta : Rineka Cipta.
M. A. W. Brouwer. 1995. Alam Manusia dalam Fenomenologi , Jakarta : Kanisius.
Muhadjir, Noeng. 1989. Metodologi Penelitian Kualitatif, Yogyakarta : Rake Sarasin.
Erricker, Clive. 2009. Pendekatan Fenomenologis dalam Peter Connolly (ed), Aneka
Pendekatan Studi Agama terj. Imam khoiri, Yogyakarta : Lkis.
Mudzhar, Atho. 2007. Pendekatan studi Islam dalam Teori dan Praktek, Yogyakarta :
Pustaka Pelajar.
Dr. Djam‟annuri, M.A. 2003. Studi Agama – Agama Sejarah dan Pemikiran, Yogyakarta
: Pustaka Rihlah.
Slamet, Ahmad. 2016. Metodologi Studi Islam (Kajian Metode dalam Ilmu Keislaman),
Yogyakarta : Deepublish Publisher.

Page 13 of 13

P S I Fenomenologis

Anda mungkin juga menyukai